11/08/08

KERJA KEPENYAIRAN. TENTANG MASA LALU PENYAIR TARDJI

Ribut Wijoto

Seorang lelaki muda, selanjutnya kita panggil saja dengan sebutan Tardji, berkeinginan menulis puisi. Sebelumnya memang, ia pernah membaca puisi, sebuah puisi yang dianggapnya bagus. Yang tidak menggurui, tidak menyodorkan “seruan provokatif”, tidak menghardik. Tapi justru dengan itu, ia tergugah. Ia sependapat dengan kata-kata, terkesima dengan kalimat-kalimat, dan ia ingin menuliskannya kembali. Tentu saja, ia menulis dengan kata-kata yang lain, menyajikan dalam kalimat-kalimat yang berbeda. Di dalam anggapannya, menulis puisi adalah kerja yang unik, menantang, menggiurkan, sekaligus penuh kerahasiaan.

Seorang Tardji lalu lebih banyak lagi membaca puisi, tidak hanya puisi yang dikultuskan “berwibawa”. Dari sekian banyak puisi yang dibaca, memang ada yang benar-benar berwibawa, seperti yang pertama kali ia baca. Selebihnya, ia rasa sebaiknya dimasukkan dalam kumpulan puisi remaja. Kadangkala terlalu ngotot dengan keinginan, kadangkala terlalu manja dengan kata-kata, sepertinya kata-kata adalah batu bata yang dapat dipakai memebangun rumah model apa saja, kapan saja. Seorang Tardji sedemikian menghormati kata-kata, dan memang, ia meyakini, “penyair adalah orang yang hidup dalam dunia kata-kata”.

Meskipun kadangkala, ia berbeda pendapat dengan banyak orang tentang berwibawa tidaknya sebuah puisi, Tardji sepenuhnya sadar, ada hal-hal lain di luar puisi yang lebih menentukan penerimaan pembaca. Entah anggapan kritikus sastra, entah terlalu seringnya dibicarakan, entah terlalu seringnya dibacakan, entah alasan penciptaannya yang mencengangkan. Mungkin juga, disebabkan penyairnya menjalani hidup teramat puitis.

Misalnya gemar bertindak tidak sopan, melanggar aturan, jarang mandi -jarang makan, tidak beristri -beristri terlalu banyak, atau karena si penulis puisi telah “berhasil” dibidang lain, yang tidak berhubungan sama sekali dengan dunia kepenyairan. Tardji tetap yakin dengan aparat kritiknya sendiri. Puisi berwibawa karena kata-kata, karena kalimat-kalimat, karena teks yang utuh dan sekaligus memancar memasuki lorong-lorong imajinasi. Pernah Tardji mengenal seorang penulis puisi yang dengan getol mengkesankan bahwa puisinya adalah simbol pemberontakan terhadap kekuasaan yang korup, pelurusan terhadap nilai-nilai moral, pembelaan kepentingan kaum bawah… Tardji hanya tersenyum, setelah dibaca, puisi tersebut akan lebih berharga bila ditulis sebagai artikel kemanusiaan. Memang berapologi, memberi paradigma kepenyairan itu penting, tapi akan menjadi tidak penting/berharga bila tidak dibarengi kualitas puisi itu sendiri.

Puisi, bagaimanapun juga, adalah sebuah sikap. Dan sebuah sikap, tentu saja, memihak kaum tertentu, meminggirkan kaum yang lain. Karena itu, beban puisi tidaklah ringan. Puisi mesti menyelinap di antara sekian banyak kepentingan, sekaligus terbebas dari sekian banyak kegiatan penyingkiran. Puisi bukanlah tentara, yang katanya demi “negara boleh melenyapkan nyawa manusia”, dan puisi bukanlah pelacur, yang setelah dibayar, boleh tenteng kemana saja. Tapi, puisi mesti bersikap sebagai tentara, mesti loyal seperti halnya pelacur, atau puisi mesti cerdas sebagaimana cendekia, bahkan bijak seperti Budha.

Kesadaran Penciptaan
Tardji, karena sedemian ingin tidak hanya berpuisi, tapi juga “turut berpendapat” dalam lalu-lintas perpuisian. Maka, Tarji belajar kepada para penyair yang telah berhasil. Belajar kepada para penyair tanah air, dan dibantu sedikit kemampuan berbahasa asing, Tardji belajar kepada penyair luar tanah air.

Hasilnya, Tardji menyakini, setidaknya ada tiga kesadaraan yang dibutuhkan seorang penyair yang ingin berhasil. Pertama, kesadaran untuk membaca realitas/ masyarakat, kedua, membaca puisi (atau karya sastra bentuk lain) dari pengarang sebelumnya, ketiga, membaca puisi (atau karya sastra bentuk lain) dari pengarang sejaman.

Membaca realitas membawa pengertian turut menyelami persoalan yang menggelibat di masyarakat. Agar puisi tidak mengada-ada. Sejauh yang Tardji baca, puisi berwibawa senantiasa dekat dengan kondisi masyarakat. Dan, itu tidak mungkin terwujud bila tidak ada pemahaman terhadap persoalan masyarakat. Secara lebih lebar, masyarakat dapat diartikan sebagai tradisi, perilaku aktual, dan kebudayaan. Dari tanah air, Tardji melihat ada puisi yang lahir dari persilangan antara masyarakat bawah, kerajaan, dan penjajahan.

Puisi demikian berciri organis (rima dan bentuk yang ketat), mendayu-dayu seakan rindu kebebasan, gelisah yang terpendam, romantik disebabkan tidak setuju dengan yang terjadi pada kekinian. Juga semasa riuh-rendah kemerdekaan, puisi yang berhasil dan kebal jaman adalah yang berciri menggebu-gebu, menyeruak-sengak, merenggut perhatian, jujur, serta penuh kejutan. Puisi seperti itu, memang hanya milik jamannya, sehingga justru dapat dibaca sebagai pelajaran melihat jaman. Misalkan masyarakat berbentuk jam, maka puisi adalah ritmis tik-taknya.

Misalkan masyarakat adalah botol, puisi adalah perih lukanya. Yang patut dicermati, hubungan masyarakat dengan puisi bukanlah hubungan logis, misalnya antara perempuan di dunia nyata dengan perempuan di dalam cermin. Ada sublimasi dalam puisi.

Demikian juga yang terjadi di luar tanah air, kondisi masyarakat berpengaruh kuat dalam teks puisi. Mungkin tidak dalam kesengajaan penciptaan, sebab konon ada yang meyakini puisi adalah gerak bawah sadar, tapi seorang penyair berwibawa selalu peka dan responsif dengan masyarakat. Munculnya aliran-aliran dalam puisi, atau karya sastra, membuktikan kepekaan pengarang dalam menyelami realitas. Tahun 1914, Andre Breton mendeklarasikan Manifesto Surealisme yang pertama. Saat itu dunia barat, Eropa dan Amerika, sedang tekun-tekunnya mendewakan rasionalitas, surealisme menemukan bentuknya melalui karya sastra “dada”.

Yaitu, pemberontakan menyeluruh terhadap rasionalitas, tanpa kompromi. Teks puisi menjalin kode-kode bahasa estetiknya dengan logika yang “tak masuk akal”, misalnya pemakaian logika tumbuhan, hewan, atau juga kartu domino. Surealisme pertama, dada, dapat digambarkan sebagai perahu nelayan yang berlayar dari pasar ke pasar. Tahun 1936, Andre Breton mendeklarasikan Manifesto Surealisme yang ketiga. Saat itu dunia barat baru saja dilanda PD I, surealisme menemukan bentuk melalui psikoanalisa. Teks puisi mendistribusikan kode-kodenya memakai logika mimpi.

Tardji, pada dasarnya, memang seorang petualang. Gemar mengarung luas pengetahuan. Tardji menelusuri sejarah puisi hingga pada bentuk-bentuk yang paling primitif. Tardji menemukan mantera. Puisi anonim, tanpa pengarang tunggal, dan karenanya dekat dengan masyarakat, menjadi milik masyarakat. Kata-kata dalam mantera menyadarkan Tardji, bahwa kata dalam puisi tidak harus memiliki beban pengertian, yang lebih penting adalah bangunan teks yang mistis.

Lalu Tardji singgah pada Chairil, memperoleh pelajaran tentang puisi simbolis. Ke-aku-an yang utama. Sublimasi diri yang menukik dan menggema. Bahwa puisi tidak harus, kalau bisa jangan, berkompromi dengan bahasa masyarakat. Benar, bahasa puisi lahir dari masyarakat, tapi setelah jatuh ke tangan penyair, bahasa seakan direnggut dari realitas. Menjadi milik diri.
Selain itu, Tardji juga bergaul dengan puisi para penyair lain yang sempat tercatat. Mengakrapinya. Mencocok-cocokkan penilaiannya dengan penilaian kritikus. Kepada puisi yang dipuja, ia mencari sebab dipuja. Kepada puisi yang terhina, ia cari tahu kenapa terhina.

Terhadap puisi luar tanah air, Tardji amat terkesima dengan bentuk-bentuk puisi Perancis. Tardji kagum pada puisi Baudelaire yang tajam, berjiwa, tragik, dan memabukan. Kata-kata dalam puisi ibarat “hutan lambang” yang tak ‘kan selesai dirambahi. Tardji berdecak kagum pada puisi Mallarme yang hitam, hitam, dan hitam. Puisi, begitulah Tardji saksikan, sederajat dengan agama. Puisi hanya untuk diyakini. Tetapi, Tardji paling takjub pada puisi Rimbaud yang mistis, magis, terbebas dari segala ikatan. Puisi hadir untuk puisi itu sendiri. Puisi yang apabila dibaca seperti menyedot, membetot, memecah-mecah, menghamburkan jiwa ke “daerah tak dikenal”.

Tardji menemukan titik singgung antara puisi penyair Perancis dengan puisi penyair tanah air. Antara Chairil dengan Baudelaire, antara Mahatmanto dengan Mallarme, antara Rimbaud dengan masyarakat pemantera. Mungkin mereka tidak saling kenal, tidak saling membaca karya, tapi ekspresi estetik dan kejiwaan, mendekatkan puisi mereka.

Sebagai seorang yang ingin menjadi penyair, Tardji tidak sendirian. Ada banyak penyair dan calon penyair yang hidup sejaman. Mereka pesaing Tardji. Mereka dapat mengangkat dan menegakkan serta menjatuhkan Tardji.

Mereka dan Tardji sama-sama membaca sejarah puisi, hidup pada jaman yang sama, pada realitas dan persoalan masyarakat yang sama. Sangat mungkin, mereka dan Tardji melahirkan bentuk puisi yang sama. Dan, tentu saja, itu kejadian yang tidak diharapkan. Karenanya Tardji, mungkin juga mereka, membaca puisi dan kecenderungan puisi para penyair sejaman. Untuk meyakini diri, “saya berbeda” atau “puisi saya paling puitis”.

Naluri Kepenyairan
Membaca puisi, seberapa pun banyaknya, tentu saja, belum bisa diakui sebagai penyair. Syarat mutlak menjadi penyair adalah puisi. Memang, banyak orang menyebut seseorang penyair tapi belum pernah membaca puisi ciptaannya. Atau, ada seseorang yang sudah mengaku penyair padahal belum menulis lebih dari 50 puisi, bahkan mungkin baru menulis kurang dari 5 puisi. Tardji ingin, dan ini yang sedang diusahakannya, diakui sebagai penyair karena intens menulis puisi.

Berdasarkan yang Tardji baca, seorang penyair setidaknya dihinggapi dua sifat; peka dan bebal. Seorang penyair, Tardji tahu itu, menulis puisi karena kepekaannya. Panca indra penyair, yang ini Tardji juga tahu, tidak mudah tersentuh oleh gejala dan peristiwa yang ada. Penyair nyaris imun dari gerak realitas. Hanya saja pada momen-momen tertentu, ini yang Tardji belum bisa, penyair lebih peduli dari siapa pun.

Pada saat-saat seperti itu, penyair menyatakan bahwa setiap peristiwa, mekipun remeh, mewakili peristiwa yang lebih besar. Istilah Jawanya, kesatuan antara jagad cilik dengan jagad gedhe. Misalnya, suatu ketika seorang penyair melihat ada kuburan China yang diterangi cahaya bulan, sang penyair takjub dan berhenti lama. Ia lekas pulang dan menulis puisi,…bulan di atas kuburan.

Kepekaan penyair adalah keunikan yang terberi, ada dengan sendirinya. Tetapi Tardji, berdasarkan pada yang telah dibaca, meyakini bahwa kepekaan inspirasi puisi bisa dimiliki dangan cara dipelajari dan dibiasakan.

Maka sejak saat itu, Tardji menjalani kepenyairan. Pada mulanya ia pura-pura kurang nafsu makan karena belum dapat inspirasi, pura-pura belum mengantuk meski sudah pukul tiga pagi, pura-pura terkejut melihat daun jatuh, pura-pura cuek dalam menyeberangi jalan. Akhirnya, Tardji benar-benar sering kurang nafsu makan meski lapar, benar-benar tidak bisa tidur sampai pagi setiap hari, benar-benar sering terkejut tiap melihat daun jatuh, benar-benar sering terserempet kendaraan bila menyeberang.

Tardji pun menulis puisi. Tiap hari. Selagi masih bisa, kegiatan-kegiatan di luar menulis puisi dihindari. Setiap hari, hidup hanya menulis puisi. Satu, dua, tiga belas,…, berpuluh puisi Tardji tulis. Tiap beberapa puisi selesai, cepat ia kirim ke media massa. Demikian seterusnya. Tak henti-henti, sebab penyair adalah orang yang bebal.

Lima tahun sesudahnya, ada beberapa puisi Tardji dimuat. Bahkan, ada disertakan dalam antologi puisi regional. Tardji pun siap-siap mengeluarkan “kredo” bagi kepenyairannya. Kredo yang dapat menjembatani antara puisi dengan kritik, dapat membangun hubungan antara puisi dengan masyarakat. Maka pada suatu malam yang riang, pada suatu pesta perjamuan, diantara banyak wartawan, undangan, kerabat, dan teman dekat; Tardji berteriak “akulah penyair!”

________Surabaya

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita