Muhammad Yasir
Ada pohon besar yang tumbuh persis di tepi Sungai Elo dan Sungai Progo; dua
sungai berair bening dan keruh - semacam simbol kehidupan orang-orang Indonesia
Kecil masa lalu dan masa kini - yang bertemu dan mengalir bersamaan dan, aku
pastikan, akan membuat engkau lupa tentang persoalan hidup, hingar-bingar
kehidupan, dan kekacauan ekonomi dan politik di tanah terjajah ini. Telingamu juga
akan mendengar dengan jelas riak dari pertemuan keduanya. Riak ini semacam
seorang Agam Wispi tua yang sedang membacakan puisi “Pulang” untuk mendiang
kekasihnya, Indonesia, dan pergulatan dirinya dengan kenyataan hidup sebagai
seorang eksil di tepi kanal Amsterdam. Aroma rerumputan dan uap tanah ketika
pagi hari tiba, seakan-akan mengharuskan siapa saja yang datang ke sana, duduk
dan merenung - di sinilah kekuatan alam yang terkandung dalam sungai-sungai
itu membawa engkau ke puncak kesadaran:
engkau telah disangsikan sebagai seorang manusia, seorang Indonesia Kecil, asli
dan kolot, dan kelemahanmu secara bersamaan akan digilas keheningan. Aku
benar-benar menyukai ini. Maksudku, ketika aku melakukan permenungan di sana,
dalam keadaan setengah sadar-setengah bermimpi, aku menikmati ejekan dari
rerumputan dan kupu-kupu yang terbang bebas tanpa beban, walau hidupnya hanya
seminggu saja! Jika engaku seorang pelukis dan kita bertemu di sini, aku yakin,
engkau akan melukis keadaan ini lebih baik dari Joko Pekik dengan Berburu
Celeng-nya itu. Kubayangkan, engkau akan melukis seorang anak kecil sebagai
simbol kesucian dan kejujuran yang lahir dari riak sungai dengan roman wajah
yang cantik dan belum dijajah tetek-bengek watak manusia terjajah yang jahat.
Juga engkau akan melukis beberapa malaikat di bawah anak kecil itu sebagai
simbol bahwa kesucian dan kejujuran, bagaimana pun kejahatan dan nafsu berkuasa
menyerangnya, takkan mampu mencabut sehelai rambutnya pun! Oh, aku benar-benar
menyukai keadaan di sini. Kelak, jika masih hidup seribu tahun lagi, aku akan
mendirikan rumah di sini dan hidup bersama istri dan anak-anakku, tanpa
dakwaan. Nasib buruk, biarkan sekali ini aku bermenung dengan tenang. Jangan
melulu datang seperti kawanan anjing berdarah yang kekenyangan setelah
menggonggongi kemudian memangsa seorang pedagang kecil yang berdagang karena
takut kelaparan! Oh! Jika pedagang itu adalah pemburu yang handal, timah panas
dari senapan laras panjangnya akan menembus perutmu! Terang sudah. Sial, entah
mengapa pikiran semacam ini tak lekang-lekang dariku. Ini seperti diriku yang
lain. Ini pula yang membuatku tidak benar-benar nyaman dalam menghayati kuasa
alam di sini. Dan, aku hampir lupa tentang kisah ini.
Empat kilometer dari tepi sungai itu, Boroubudur yang menjadi simbol
peradaban masa lampau masih berdiri tegak nyaris mengalahkan batas pandang
mata. Si pemilik kawasan ini, seorang pelukis berumur setengah abad lebih,
memang seorang yang pandai dan peka pula. Dia sadar dengan membeli lahan nyaris
dua hektar ini, dia akan memiliki banyak waktu dan dukungan dari alam untuk
melukis. Pada masa lalu, di sinilah Ajip Rosidi, seorang Sastrawan Indonesia
yang pernah eksil ke Jepang karena menolak tunduk terhadap Orde Baru, rezim
diktator Soeharto, hidup dan menulis beberapa karyanya. Jadi aku bisa merasakan
semilir angin menghembuskan bau kesaksian kata-kata terhadap realitas sebelum
aku dan mungkin engkau hidup sebagai generasi yang sungsang. Hal lain yang juga
akan membuatmu lupa ketika berada di sini adalah pekarangan rumah kayu - semua
rumah milik pelukis ini adalah rumah kayu - yang dinaungi rindang pepohonan
besar dan juga bunga-bunga yang tumbuh tak seberisik bunga baja di pintu
gerbang pabrik pengolahan minyak di desa-desa yang jauh, yang menerimaku hidup
selama berpuluh tahun di sana. Pada suatu malam, Sony Santosa, nama pelukis
itu, aku, dan Nundang Rundagi, anak lelaki mendiang Ajip Rosidi, duduk di
pekarangan itu bersama sepasang kekasih muda dari Francis yang berkunjung untuk
sekadar menikmati lukisan dan menghisap ganja. Aku adalah peminum sejak remaja
di desaku. Karena itu, akulah yang ditunjuk Nundang untuk menuangkan Tuak dari
Kalimantan bagian Timur sebagai pelepas dahaga dan perawat akal sehat.
Terdengar jelas, sekali dua, Sony berbicara dalam bahasa Francis dengan
sepasang kekasih muda itu. Sementara, aku dan Nundang asyik menenggak Tuak
sembari mendengarkan Nundang membacakan puisi-puisinya. Nundang mengatakan
bahwa dirinya adalah Penyair Celoteh. Dia lebih berkomitmen kepada celotehnya
dari pada teks di kertas atau di mana saja. Kupikir, tidak seorang pun boleh
keberatan dengan pilihannya itu. Penyair, tidak seperti pelukis. Pun
sebaliknya.
Ketika alkohol yang terkandung dalam air warisan leluhur itu mulai bekerja
membantu akal sehat dan ginjalku, perbincangan Sony dan sepasang kekasih muda
itu serta kata-kata yang melasat dari mulut Nundang tak terdengar jelas di
telingaku. Aku ingat tigapuluh kaki dari pekarangan ini, pintu galeri pribadi
Sony senantiasa terbuka. Ke sanalah aku seorang diri dengan botol Tuak yang
terisi setengah. Barangkali karena aku bukan seorang penikmat lukisan, aku
tidak bisa memaknai beberapa lukisan Sony yang terpajang membisu dan kedinginan
di dinding galeri. Akan tetapi, ada satu lukisan epik yang membuatku takjub;
lukisan reflika relief yang ada di dinding Boroubudur. Jika aku tidak keliru
mengingat, lukisan itu menunjukan barisan orang masa lampau entah akan
melakukan apa. Memperhatikan dengan sayu lukisan itu membuat ingatanku bekerja
ekstra dan membawaku kepada satu kenangan yang juga tak pernah lekang dariku.
Ingatan tentang para buruh perkebunan kelapa sawit yang kehormatan diri dan
kebijaksanaan hidup mereka dicengkeram begitu erat oleh tangan si pemilik
perkebunan. Aku lupa berapa jumlah mereka. Aku ingat dalam barisan itu ada tiga
perempuan paruh baya. Saat itu, sekolah menugaskanku untuk mengikuti magang di
perkebunan yang sama. Jadilah aku berdiri di sebelah seorang asisten sebagai
saksi mata kebengisan para petugas perkebunan. Mataku yang remaja dipaksa
menyaksikan penindasan sampai habis dan terus menerus diulang selama seratus
hari penuh tanpa perlawanan. Para buruh perempuan adalah orang-orang
dikalahkan. Kolaborasi antara negara dan pemilik perkebunan berhasil membuat
mereka benar-benar menjadi Indonesia Kecil yang bisu dan tertindas.
“Bangsat!” Maki asisten di sebelahku, seorang Batak. “Sudah kuperintahkan
kalian semua untuk menebar pupuk lima blok dan kalian hanya mampu satu blok
saja?! Apa yang akan kukatakan kepada Tuan Manajer? Kawanan binatang pemalas
kalian ini!”
Seorang buruh, lelaki paruh baya, mengatakan bahwa beberapa orang di antara
mereka sedang sakit dan pihak administrasi perkebunan tidak memberikan izin.
Dengan terpakasa dan takut, beberapa orang turun bekerja. Akan tetapi, apa
peduli seorang asisten. Yang paling terpenting adalah semua pupuk harus disebar
hari ini. Aku yang berdiri di sebelahnya, mulai naik darah tapi sekuat tenaga
kutahan agar tidak meletup. Tak lama kemudian, buruh perempuan paruh baya
meminta agar asisten itu memberi mereka waktu untuk beristirahat. Apa peduli
seorang asisten. Tidak ada waktu beristirahat diberikan. Mereka harus kembali
bekerja demi kesehatan kelapa sawit dan nama baiknya di mata si pemilik
perkebunan. Lagi-lagi, dengan terpaksa, para buruh perkebunan kembali bekerja
dalam keadaan sakit. Tidak ada keadilan bagi mereka. Keadilan hanya ada dalam
imajinasi belaka! Aduh, nasib buruk! Sial! Mengapa tidak seorang lelaki pun
yang berani menghantam asisten itu. Termasuk aku?! Oh! Aku hanya menjadi
generasi cengeng yang sama bisunya seperti mereka. Dan, tanpa sadar, aku
berteriak parau yang entah tentang apa.
“Mengapa?” Tanya seorang perempuan dari Francis, seorang hippies, yang
tanpa kutahu juga memperhatikan lukisan yang sama.
“Tidak begitu menarik untuk kuceritakan,” aku menjawab sembari menenggak
Tuak.
“Mau?” Tawarnya sembari mengulurkan tangannya yang menjepit lintingan
terbaik itu.
“Terbaik.”
Menjelang tengah malam, Sony dan Nundang mengajakku duduk di beranda
rumahnya. Di sana beberapa kaleng bir tak sabar menunggu dibuka dan ditenggak.
Angin berhembus sepoi-sepoi tanpa bau-bauan dari Kota Yogyakarta. Jangkrik
mengerik terdengar seperti seorang teaterawan tua yang bermonolog di konser
hall taman budaya dengan penonton sama tuanya. Dedaunan berguguran buku-buku bajakan
di taman yang konon akan membuat engkau pintar. Di bawah sinar lampu, diapit
dua tebing, Sungai Elo dan Sungai Progo tiada henti mengeluarkan riaknya. Kali
ini, riak itu terdengar seperti suara tanpa energi, tanpa kekuatan dari
orang-orang yang hidup dalam keterasingan di kaki Gunung Merapi dan Gunung
Sumbing. Aku segera lupa barisan orang masa lampau dalam lukisan Sony dan para
buruh yang sakit dan terus bekerja agar keesokan hari mereka terbebas dari
kelaparan. Sony dan Nundang duduk persis di hadapanku. Jadilah ini semacam
acara pembacaan putusan pengadilan hidup dari angkatan tua kepada angkatan muda
yang meringsak dalam elegi pemiskinan sepertiku. Akan tetapi, aku telah
menyiapkan diri dengan menenggak habis sekaleng bir. Selebihnya, aku memberikan
penghormatan tertinggi terhadap orang-orang di hadapanku.
“Sebelum aku memiliki tempat ini,” Sony yang menjadi pengkotbah pertama,
“Kota Jakarta sama sekali tidak memberikan dunia yang layak kepadaku. Aku
menjadi bengal dan liar, sehingga itu yang membuatku memutuskan untuk
meninggalkannya demi merantau ke sebuah tempat terpencil di Bali. Anak muda
sepertimu, aku tidak yakin, akan mampu bertahan dengan uang empatpuluh ribu
rupiah dan beberapa buah arang - aranglah yang membuatku jadi seperti sekarang ini.
Sebagai pelukis muda yang hidup di kotanya para pelukis terkemuka, aku hanya
memiliki satu komitmen: aku harus dilihat sebagai seorang pelukis yang sama.
Untuk itu, aku bekerja di beberapa galeri. Pekerjaanku adalah mencari lukisan
yang memiliki estetika dan nilai jual yang tinggi. Tentu saja, semua itu diatur
oleh kebutuhan galeri, karena galeri memiliki pembelinya tersendiri. Setiap
hari aku bekerja, bahkan hampir lupa bahwa aku seorang pelukis. Pada suatu
waktu, engkau bayangkan sendiri! Seorang pelukis muda dengan arangnya
memberanikan diri untuk menggelar pameran kecil-kecilan. Waktu itu,
ekspresisionis adalah aliran yang kupilih. Dari pameran itulah, beberapa
penikmat lukisan arang, tentu saja, memberikan apresiasi mereka terhadap
karya-karyaku dengan membelinya. Dari hasil itulah aku dapat hidup dan
membawaku kepada mendiang seorang perempuan, seorag Francis, yang pada akhirnya
menjadi Istriku. Engkau juga harus mencatat, bahwa perjalanan yang engkau
lakukan harus disertai dengan cinta dan keyakinan. Cinta akan meredam
perasaanmu yang berkecamuk. Dengan catatan, engkau harus bersungguh-sungguh
terhadap cinta itu. Sementara keyakinanmu jangan sekali pun engkau penjarakan
di dirimu saja! Jadikan setiap langkah kakimu adalah keyakinanmu atas hidupmu. Nah,
sekarang tenggaklah lagi bir itu!”
Karena dipersilakan, aku pun menenggak bir kaleng kedua.
Di sebelah Sony, Nundang tampak tak sabar memberikan kotbahnya. Rambutnya
yang panjang dan berwarna putih, sekali dua mengganggu pandang matanya. Matanya
menatapku sayu. Aku merasakan tatapan itu seperti tatapan seorang lelaki tua
yang kehilangan banyak waktu di masa mudanya. Terkhusus Nundang, dia hidup
dalam pengasingan bersama mendiang ayahnya di Jepang sebagai Indonesia Kecil
yang turut serta melakukan penolakan untuk tunduk. Kadang, dia tampak seperti
seorang pemuda yang dihantui dunia barunya sebagai seorang Penyair Celoteh.
Celotehannya yang sudah terdengar di mana-mana, tidak lantas menyelamatkannya
dari kesepian dunia barunya itu. Ah! Aku harus memekakan telingaku untuk
benar-benar memaknai setiap celotehannya. Lihatlah! Nundang yang kesepian akan
segera memulai kotbahnya.
“Hei anak muda dari Kalimantan!” Kata Nundang, “terbanglah seperti Enggang
yang luhur. Terbanglah ke cakrawala dan tembuslah setiap pesakitan kehidupanmu
yang menggumpal seperti awan-gemawan mendung. Jika engkau tidak bisa terbang,
jadilah kuat dan tajam seperti mandau. Jangan sekali pun tunduk pada kegagalan
hidup. Apalagi menangisinya! Cuih! Airmatamu sesungguhnya diciptakan Tuhan hanya
untuk Tuhan, ibu, dan kekasihmu! Engkau harus hidup sebagaiamana yang kau
ingin, bukan sebagaimana yang dikatakan orang dan negara ini. Selama aku hidup
di Jepang, aku berkawan dengan orang-orang sepertimu, sepertiku, mudah
terjerembab dalam persoalan hidup dan nasib buruk. Aku melihat mereka, sebagai
orang-orang yang pernah menjajah kita, semacam memiliki kekuatan untuk bangkit.
Meskipun, beberapa di antara mereka memilih bunuh diri setelah menenggak Sake.
Ha-ha… apakah aku tampak seperti seorang Pastor bagimu, anak muda? Ha-ha…
keterasingan kami telah membawaku kepada pilihan hidup yang sunyi, menjadi
penyair. Bagiku, hanya seorang penyair yang bisa mengambil kata-kata dari
airmata dan membuat orang yang mendengarkan akan mengalami katarsis. Karena engkau
pun seorang penyair, jadilah liar dan pemberang terhadap nasib buruk yang
katamu selalu datang dan enggan lekang itu! Orang seperti aku dan juga Sony
tiadalah memiliki kemampuan menyelam ke dalam kehidupanmu. Engkaulah yang
dititahkan Tuhan untuk hidup. Maka, hiduplah! Jika engaku menyerah dan tunduk,
bukankah artinya kau melecehkan Tuhan?! Ha-ha…”
“Dengar! Engkau mendengar? Riak itu seperti ibu kita yang sedang menangisi
kita!” Sony menyela.
“Ya! Dengarkan lebih lagi, itu terdengar suara istrimu yang merindukanmu,
bukan?!” Tambah Nundang.
Pada tenggakan terakhir bir ketiga, aku undur diri dari pembicaraan itu.
Sony dan Nundang mempersilakan. Aku pun turun dari beranda, berjalan menuju
kursi kayu di tepi sungai. Di sana, aku benar-benar merasa sendirian dan ketika
mendongak ke langit, aku melihat wajah Ibuku dikelilingi wajah para barisan
para buruh perkebunan. Aku merasakan setiap tatapan mereka seperti menginginkan
pembebasan. Akan tetapi, untuk membebaskan diri dari elegi pesakitan saja
tiadalah aku memiliki kemampuan. Istriku yang jauh, bagaimana pun, begitu
sabarnya menunggu kedatanganku dengan nasib baik tersemat dalam saku kemeja.
Tidak sekali dua, dia menceritakan orang-orang menyebut namaku dalam
hardikannya. Mendengar itu, aku merasa seperti dibawa kembali ke ingatan
bagaimana para buruh perkebunan dimaki dan dilecehkan oleh seorang asisten
tanpa perlawanan. Dan, ketika aku hendak menghantam asisten itu, para mandor di
belakangnya menghantamku lebih dulu. Kurasakan, hantaman demi hantaman itu seperti
nyata dan benar-benar membuatku sakit. Aku pun merasakan setiap hantaman
seperti kata-kata ibu yang kuingkari, sehingga aku harus meninggalkannya
seorang diri demi dunia baru yang menjijikan; dunia yang membuat kehidupan
seperti lotere, siapa pun yang lebih dulu atau paling terakhir mencabut,
kehormatan diri dan kebijaksanaan mereka seharga hadiah yang didapat. Oh! Kedua
lelaki itu, Sony dan Nundang, tiba-tiba hadir dalam permenunganku. Hus!
Bergegas aku mengakhiri permenunganku. Mereka, tidak kubiarkan mengejek dan
menertawakanku, karena keduanya bagian dari masa lalu yang mengacaukan tatanan
hidup masa kini.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar