Awalludin GD Mualif
Belum pula Syawal
menyempurnakan hitungan harinya, ujaran dan ajakan untuk menjauhi serta
membenci kelompok lain sudah menggaung kembali. Seorang Khotib mudah, energik,
berapi-api dan tampan menyuarakan hal itu. Saya mencoba berhusnudhon bahwa
niatnya tulus meski sedikit ...
Memang, bagi orang-orang yang merasa dirinya
paling benar dan merasa sebagai pemegang "otoritas umat" meyakini
fitrah manusia itu satu, sewarna, sekeyakinan dan seterusnya sepertinya
niscaya. Sampai-sampai mereka menyuarakannya lewat mimbar-mimbar masjid untuk
meyakinkan umat bahwa rahmat bukanlah warna pelangi. Tapi ya pelangi itu
sendiri. Hmmm, lumayan juga ne retorikanya. Dia meyakini pelangi tetapi mengingkari
warna-warni pelangi.
Lantas, dengan berbusa-busa dia mencoba
meyakinkan jamaah jika berbeda atau perbedaan itu hanya ada dalam satu warna,
bukan diantara banyak warna. Saya semakin tak paham. Yang namanya berbeda ya
berbeda, bukan sama. Piye toh, gumam saya dalam hati. Sementara itu warna yang
benar adalah warna yang mereka yakini. Diluar warna itu mereka anggap salah.
Asyik juga mendengar khotbah seperti itu,
padahal songkok, baju, surban dan sarungnya lebih dari satu warna. Mungkin kaos
dalam dan celana dalamnya juga beda warna, ups. Hehehe. Saya jadi khusuk
memperhatikan penampilan khatib ketimbang isi khotbahnya.
Rasa-rasanya sebaris puisi Gus Mus,
"Khotbah-khotbah kegamaan yang membuat orang sakit jiwa" seperti itu
terus akan ada, entah. Bukankah khotbah keagamaan seharusnya menyehatkan dan
menyenangkan, bukan?
Mending mangan Ingkung tengah sawah. Hahahaha.
Kopi
hitam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar