Sutejo
*
Kompas, 28 Sep 2017
Di
Hari Aksara Internasional yang jatuh pada 8 September kali ini ada hal menarik
mengaitkannya dengan berita Kompas (6/9), yakni tentang optimisme industri
perbukuan yang menjanjikan di masa depan. Sebuah penanda kehidupan literasi.
Optimisme itu diungkapkan oleh Deputi Bidang Pemasaran Bekraf, Joshua
Simandjuntak. Pertama, industri penerbitan termasuk 5 terbesar dari 16
subsektor industri kreatif sehingga perlu terus didorong kualitasnya. Kedua, penerbit
buku perlu memastikan kontensnya bermutu, menarik, dan mampu memanfaatkan
strategi pemasaran global. Jika pesan ini terealisasi, maka akan mendorong
penguatan budaya literasi yang telah dicanangkan Kemendikbud sebelumnya.
Cermin
Inspirasi
12
tahun lalu sebelum Gerakan Literasi Sekolah (GLS) diluncurkan oleh Kemendikbud,
Gramedia telah mempelopori dengan menerbitkan Bukuku Kakiku (2004). Saya
membelinya di Gramedia Surabaya tanggal 24/8/2004, sesuai tanggal dan tanda
tangan yang ada di balik sampul buku, halaman pertama. Buku menarik yang
dieditori oleh St. Sularto dkk, diprakatai Jakob Oetama, dan “dikatapengantari”
Fuad Hasan itu begitu inspiratif.
Buku
itu meresonansikan ingatan yang kuat pada dua hal. Pertama, fenomena booming
buku Harry Potter jilid pertama, yang jika dibandingkan dengan kejadian di
Taiwan, Thailand, dan Australia –sungguh berbeda. Ilustrasi ketimpangan budaya
literasi itu ditulis oleh Jakob Oetama. Ia berkesimpulan begini, “Kita
disadarkan, dibandingkan dengan rasio penduduknya, jumlah tiras buku yang
terbit di negeri kita lebih rendah bukan saja dibandingkan Jepang atau
negara-negara industri Barat, melainkan juga India, bahkan juga lebih rendah
daripada sesama negara Asia Tenggara.” (2004:vii-viii).
Kedua,
fisolofi buku sebagai kaki, yang dieksplorasikan oleh Sindhunata, kemudian
dijadikan judul buku. Sungguh, tidaklah sederhana. Filosofi itu
melingkar-lingkar di tataran filsafat, sastra, kesadaran, psikologi-sosial,
peradaban, kebudayaan, sejarah, bahkan yang paling substil lingkaran
spiritual-perenial yang transendal (2004:337-353). Sebuah tamasya spiritual
yang indah dan menggugah.
Tetapi,
kemudian jengah ketika menjejaki kaki literasi di negeri ini. Saya ikut empatif
atas keprihatinan Taufiq Ismail tentang lemahnya budaya literasi di Indonesia,
sebagaimana diberitakan dalam separo halaman Kompas dengan judul “Horison” dan
Gerakan Sastra di Sekolah (15/9/2003, hal. 34). Sebuah realita ironis ketika
itu, ketika Taufiq menghadap Mendikbud Wardiman Djojonegoro, justru dijawab untuk
membuktikan pernyataan keprihatinannya dengan dasar angka-angka (data). Saat
itulah, tantangan itu dibuktikan Taufiq dengan melakukan “research sederhana”, snapshot
(potret sesaat) untuk menangkap gejala yang muncul ke permukaan.
Snapshot
itu diarahkan pada persoalan seputar kewajiban membaca buku sastra, bimbingan
menulis, dan pengajaran sastra di SMU tempat mereka belajar. Hasilnya? Tentu,
mencemaskan. Untuk jenjang SMU di AS selama tiga tahun dituntut membaca 32
buku, di Jepang dan Swiss 15 buku, dan Singapura, Malasyia, Thailand, serta
Brunei Darussalam rata-rata 5-7 buku. Di Indonesia, diperoleh angka 0 buku,
setelah era Algemeene Middelbare School (AMS) Hindia Belanda. Saat itu,
ditemukan angka 15-25 judul buku sastra. Sungguh ironis.
Potret
demikian menjadi semacam cermin inspirasi untuk direfleksikan dengan berbagai
lapis dan kualitas kegiatan untuk membudayakan literasi.
Fajar
Literasi
Di
era Mendikbud Anies Baswedan, ada fajar literasi yang menjanjikan, yakni
program GLS yang pokok inspirasinya adalah (i) target pembelajaran berbasis
literasi dengan kewajiban membaca buku nonteks pelajaran sejumlah 6 buku (SD),
12 buku (SMP), dan 18 buku (SMA/SMK), (ii) dibentuknya Tim Literasi Sekolah
(TLS) yang bertanggungjawab atas operasionalisasi GLS, (iii) kewajiban 15 menit
sebelum pelajaran untuk membaca buku nonpelajaran berikut kegiatan
pengiringnya, dan (iv) integrasi GLS dengan penumbuhan budi pekerti (PBP).
Buku
desain GLS sendiri baru Januari 2016 ditandatangai Dirjend Dikmenum, Hamid
Muhammad. Dari desain GLS itu, dapat dimengerti posisi kemampuan literasi kita
di peringkat ke-2 bawah (research PISA, 2012) dari 65 negara peserta dan
peringkat ke-4 bawah (data PIRLS, 2011) dari 48 negara peserta di satu sisi dan
di sisi lain bagaimana desain dan tahapan penting itu beroreantasi memajukan
budaya literasi di Indonesia. Bahkan, kecerdasan literasi yang diimpikan tidak
saja pada tataran literasi dini (early literacy), literasi dasar (basic
literacy), literasi perpustakaan (library literacy) tetapi juga literasi media
(media literacy), literasi teknologi (technology literacy), dan literasi visual
(visual literacy).
Meski
Mendikbud ganti, GLS tidak boleh henti. Jadikan GLS sebagai gerakan nasional
yang perlu didukung oleh pemerintah pusat, provinsi, daerah, dinas, satuan
pendidikan, orang tua, masyarakat, dan berbagai pihak yang memungkinkan. Sebuah
tonggak perubahan besar dan mendasar untuk memajukan budaya literasi. Satu poin
terpenting adalah kewajiban membaca selama 15 menit sebelum kegiatan belajar
dimulai. Jika Jepang hanya memprogramkan 10 menit membaca di awal pelajaran
bisa seperti sekarang ini, maka jika bangsa ini konsisten melakukannya maka
harapannya tentu jauh lebih dahsyat hasilnya.
Belajar
dari Jepang, yang telah melaksanakan pembiasaan 10 menit membaca sebelum
pembelajaran sekitar 35 tahun lalu (era 80-an), maka tak mengherankan jika kini
Jepang tercatat sebagai negara dengan tingkat akselerasi peradaban ilmu paling
depan. Hebatnya, kebijakan itu mendapatkan dukungan penuh oleh orang tua dan
masyarakat yang dikenal sangat fanatik. Meskipun mendapatkan banyak kritik dari
ahli pendidikan karena terlalu behavioristik karena faktor reward dan punishment
sebagai pengiringnya. Tak heran, bangsa Jepang dalam buku Spiritual Reading karya
Raghib As-Sirjani, dituliskan sebagai negara dengan tingkat konsumsi buku
paling tinggi di dunia dengan 40 buku perorang dalam setahun. Sementara, Eropa
rata-rata 10 buku, Arab rata-rata 20 lembar, dan Indonesia belum diketahui
(2007:78).
Kembali
pada inspirasi Bukuku Kakiku, sebuah kado berarti dari Gramedia di hari buku
nasional (2004) yang bertemakan “Dengan Buku Menuju Indonesia Baru”, maka ada
hal inspiratif yang menarik untuk dikemukakan. Meski, ini terjadi 12 tahun yang
lalu. Buku berisi 22 artikel inspiratif dari orang-orang inspiratif, saksi
peradaban dan kebudayaan Indonesia, yang menuangkan pengalamannya bergulat
mesra bersama buku. Mereka rata-rata, tergerak, terinspirasi, berubah, dan
terakselerasi hidupnya lewat buku.
Nama-nama
besar seperti Ajip Rosidi, Ariel Haryanto, Azyumardi Azra, Benjamin
Mangkoedilaga, Budi Darma, Daud Joesoef, Franz Magnis-Suseno, Meilani Budianta,
Mochtar Pabottinggi, Sudhamek AWS, Shindunata, Yohanes Surya, Taufik Abdullah,
dan lainnya. Sebuah keteladan dalam berliterasi yang menarik untuk dicatat
dalam sejarah kebudayaan negeri ini.
Sebuah
harmonisasi keteladan penerbit buku dan tokoh literasi untuk dijadikan cermin
inspirasi di satu sisi dan di sisi lain pentingnya memanfaatkan momentum “fajar
literasi” yang telah diagendakan bangsa Indonesia.
Akhirnya
Untuk
menghidupkan GLS tak boleh melupakan inspirasi pergulatan tokoh-tokoh itu dalam
berliterasi di kancah nasional dan internasional. Bukankah kehidupan apapun
dalam proses mendaki tangga kesuksesan akan lebih mudah jika berangkat dari
sebuah model? Hidup sesungguhnya hanyalah peniruan berulang dari yang telah
terjadi, kemudian dimodifikasi-kreasikan sesuai dengan tuntutan waktu.
Di
sinilah, maka GLS justru penting untuk diakselerasikan dalam mendorong kemajuan
bangsa. Dengan gerakan literasi yang immersive dipastikan akan mampu menyentuh
bawah sadar generasi sehingga menyadarkan, menggerakkan, memaknakan perubahan
bangsa di masa depan. Tinggal membutuhkan konsistensi dari Kemendikbud kini
dalam merealisasikannya. Jangan sampai justru adagium “ganti menteri ganti pula
kebijakannya” mengalami pembenaran empirik.
Kita
tunggu saja action Mendikbud untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa besar
berbasis budaya literasi. Kapal perang “Fregat GLS” dengan sejumlah peluru kendali
untuk menaklukkan musuh-musuh peradaban bernama kebodohan. Sementara itu, peran
para tokoh literasi dan pernerbit buku sebagai stakeholder penyokongnya wajib
juga untuk dipikirkan.
*)
Sutejo, doktor alumnus Unesa Surabaya. Pendiri “Sekolah Literasi Gratis” STKIP
PGRI Ponorogo, Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar