Yetti A. KA
harianhaluan.com, 16 Okt 2011
Era globalisasi memiliki relevansi dengan kebebasan berekspresi. Pada zaman ini orang-orang merayakan kediriannya dengan bermacam-macam cara. Keadaan ini ditunjang pula oleh akses informasi dan fasilitas yang tersedia, terutama di kota-kota besar. Orang-orang dengan mudah mendapatkan apa yang ia inginkan. Situasi ini dijawab oleh hadirnya berbagai teknologi sebagai pendukung euphoria itu.
Salah satu teknologi yang paling digemari masyarakat adalah televisi. Televisi jelas memiliki daya tarik luar biasa, di samping menimbulkan pengaruh yang tidak bisa dianggap sepele. Dari televisi orang bisa mengetahui dunia lain tanpa perlu datang ke sana. Televisi juga bisa membuat orang berada pada ketaksadaran yang mengasyikkan, tempat di mana orang melupakan rasa sakit; kemiskinan, pengangguran, harga-harga sembako yang mencekik, dan biaya sekolah yang mahal (dalam iklannya boleh gratis).
Daya tarik televisi pun dibuat sedemikian rupa dengan program-program siaran yang selalu berganti sesuai selera pasar atau tergantung dari jenis siaran apa yang paling disukai. Keseragaman tidak bisa dihindarkan. Antara stasiun televisi saling mengintip dan mencontek. Lalu hasil kerja ‘kilat’ dari proses dangkal itulah yang disodorkan pada penonton.
Penonton perempuan jelas menjadi salah satu pertimbangan dalam meluncurkan program-program televisi. Apalagi disinyalir ibu-ibu rumah tangga merupakan kelompok yang paling banyak menghabiskan waktu di depan televisi. Karena itu juga televisi berlomba-lomba membuat acara gosip dan sinetron. Star dalam Brooks (2009: 273) berpendapat:
karena kita benar-benar menandai pengondisian, subjek laki-laki dan perempuan memiliki posisi berbeda dalam hubungannya dengan semua wacana ini. Konvergensi wacana di dalam suatu teks dan posisi subjek yang ditawarkan pemirsa menandai opera sabun dan opera olah raga sebagai sesuatu yang diarahkan pada gender.
Wacana feminin jelas membuat penonton perempuan merasa menemukan dunianya dalam program televisi. Dalam acara gosip, misalnya, hasrat ibu-ibu dalam hal ‘membicarakan orang lain’ menjadi terpenuhi dan terpuaskan. Hiburan semacam ini bukan tanpa maksud. Semua itu jelas-jelas dikondisikan pada konstruksi gender yang terbangun dalam masyarakat tentang perempuan yang lebih banyak bicara daripada berpikir. Pembedaan itu dalam teori feminis (Humm, 2002) dikatakan sebagai pengontrolan dan pengeksploitasian atas perempuan dengan mengasosiasikan perempuan dengan tubuh (perasaan, organ-organ) dan laki-laki dengan pikiran.
Reality show Antara Kenyataan dan Kepalsuan
Di tengah maraknya acara gosip dan sinetron, hadir pula program reality show. Keunggulan reality show dibanding program lain adalah kemampuannya melibatkan emosional penonton yang seolah-olah melihat pengalamannya sendiri dalam tayangan itu. Orang miskin bisa melihat kemiskinan yang begitu dekat dengannya sekaligus membangun mimpinya melalui tayangan Bedah Rumah (RCTI, ) dan Tukar Nasib (SCTV ). Atau juga perempuan dewasa merasa memiliki pengalaman yang sama dengan seorang perempuan yang sering disakiti pasangannya dalam acara semacam Masihkah Kau Mencintaiku (RCTI) dan Orang Ketiga (Trans TV) atau kisah pencarian tentu saja jalan ceritanya berbelit-belit, dan karenanya semakin membuat penasaran—terhadap seseorang dari masa lalu di program Termehek-Mehek (Trans TV).
Reality show seringkali membuat penonton ikut menangis dan larut dalam suasana yang diciptakan. Maka unsur keharuan dibuat sedemikian dramatis. Dalam acara Tolong (RCTI), misalnya, seseorang yang telah melakukan pertolongan akan mendapat ‘ganjaran’ sejumlah uang. Tapi itu juga tidak gratis. Ia harus melakukan adegan menangis dan memperlihatkan rasa bersyukur kepada Tuhan berkali-kali, kemudian diminta berlari-lari pulang untuk mengabarkan keberuntungan itu kepada keluarga yang lain sembari terus menangis. Di sinilah, kehidupan tampak tak jelas lagi, mana yang nyata mana yang reality show. Batas itu mejadi samar. Dan tidak begitu penting lagi untuk dipikirkan.
Bergerak keluar dari masalah kemiskinan dan kesedihan, muncul reality show yang sedikit menghibur dan memamerkan perempuan-perempuan cantik, yaitu Take Me Out (Indosiar). Penonton diajak menyaksikan perempuan-perempuan dari berbagai profesi bersaing dalam memilih pasangan, secara terbuka dan blak-blakan. Tayangan itu, ternyata, tidak juga semata-mata sebagai ajang cari jodoh, perempuan-perempuan itu terkadang punya motif yang berbeda, antara lain ingin menunjukkan bakat bernyanyi atau akting sambil berharap ada rumah produksi yang melirik mereka.
Tidak heran jika kemudian demam reality show serupa itu merupakan perayaan dua hal sekaligus, yakni kesediaan perempuan menjadi objek, sekaligus subjek. Dua kenyataan yang juga mulai kabur maknanya, apakah ia sebagai tubuh yang ada dalam realitas atau reality show. Dalam hal ini peran industri pertelevisian menjadi tak terbantahkan dalam memberi ruang-ruang ekspresi yang ambiguitas bagi perempuan, terlepas ada yang suka atau tidak.
Persoalannya, bagaimanakah hubungan perempuan dan televisi (reality show) dalam kaca mata posfeminis?
Gerakan Perempuan dari Feminisme ke Posfeminisme
Perempuan dikatakan oleh kaum feminis gelombang kedua (tahun 60-an) sebagai makhluk yang tertindas dan sub-ordinat. Dengan kata lain Fromm (2002: 174) mendefinisikan hubungan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan adalah sebuah hubungan antara sebuah kelompok yang menang dengan kelompok yang dikalahkan. Menyikapi kenyataan itu maka sejumlah gerakan feminis menginginkan pengakuan yang sama, baik hak dan kesempatan, antara laki-laki dan perempuan. Perjuangan mereka kemudian diarahkan pada bagaimana perempuan dapat merebut ruang-ruang (publik) yang selama ini hanya ditempati kaum laki-laki. McNeil dalam Brooks (2009: 42) mengatakan:
Perempuan yang melahirkan feminisme gelombang kedua, dapat dianggap sebagai anak perempuan dari pencerahan, di mana mereka dipandang mewarisi beberapa asumsi pencerahan. Di awal hari-hari keras pada penghujung 1960-an dan 1970-an, mereka menciptakan gerakan yang memegang janji bagi pengetahuan tentang relasi gender yang lebih baik dan meningkat, dan melalui pengetahuan ini—pembebasan perempuan. Pengetahuan dan pembebasan dianggap sebagai tujuan yang terus meningkat dan saling berhubungan: sejauh perempuan memperoleh pengetahuan yang lebih tentang posisi mereka di dunia, diduga bahwa kuasa mereka untuk mentransformasikan posisi mereka akan meningkat selaras dengan hal tersebut.
Brooks (2009: 42) menjelaskan bahwa strategi kunci yang dipakai oleh feminis pada gelombang kedua ini dirancang untuk mengungkap sifat dasar patriarki dan penindasan serta untuk membangun ruang-ruang khusus bagi perempuan.
Feminisme jelas datang dari Barat (Eropa). Kadang kala, dalam memandang persoalan perempuan, cenderung men-general-kan persoalan. Patron yang dipakai juga dari kehidupan perempuan kulit putih, kelas atas, atau paling tidak terpelajar. Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah akan sama masalah yang dihadapi antara perempuan Eropa dan Asia (Apalagi Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis)? Jelas berbeda. Dan apa mungkin memakai pisau yang sama dalam menyikapi kondisi-kondisi yang berbeda itu? Contohnya saja, bagi perempuan kulit berwarna (Afrika) relasi antara laki-laki dan perempuan belum tentu sama dengan yang ada di Prancis atau Amerika. Belum lagi jika membicarakan perempuan-perempuan di ‘dunia ketiga’ lainnya yang barangkali memiliki prioritas berbeda untuk diperjuangkan.
Kesadaran akan adanya perbedaan membuat feminism mendapat tantangan dari dalam maupun dari luar gerakan itu. Dari sana lahir posfeminis, dapat dilihat dalam analisis Faludi (dalam Alice) yang dikutip Brooks (2009: 5):
Pada tahun 80-an penerbitan dari New York Times hingga Vanity Fair sampai The Nation telah mengeluarkan berkas-berkas tuduhan yang senantiasa melawan gerakan perempuan, dengan kepala berita seperti ‘KETIKA FEMINISME GAGAL’ atau ‘KEBENARAN YANG MENGERIKAN TENTANG PEMBEBASAN PEREMPUAN.’ Mereka menganggap, kampanye untuk persamaan hak perempuan bertanggung jawab pada hamper semua kesengsaraan yang mengungkung perempuan, dari depresi sampai kekurangan tabungan, dari bunuh diri remaja ke penyakit ketidakteraturan makan sampai corak kulit yang buruk…Tetapi, apa yang membuat perempuan tidak bahagia pada dekade terakhir ini bukanlah soal ‘persamaan’ mereka yang belum mereka miliki melainkan meningkatnya tekanan untuk menghentikan, dan bahkan membalikkan, pencarian perempuan terhadap persamaan.
Posfeminisme telah melakukan serangan balik pada feminisme dengan mengedepankan adanya perbedaan dan menolak slogan persamaan. Selain itu posfeminisme, seperti juga gerakan postmodern yang dikatakan Lyotard (2003: xxvi) sebagai ketakpercayaan terhadap metanarasi, adalah suatu tindakan yang tidak menginginkan ukuran-ukuran yang kaku, bahwa perempuan harus begini dan tidak boleh begitu. Maka hadirlah fenomena perempuan-perempuan yang fashionable, genit, smart tapi santai, dan tentu saja eksis dalam berbagai bidang keilmuan tanpa harus berteriak-teriak tentang persamaan.
Perempuan dan Televisi dalam Wacana Posfeminisme
Dikotomis antara laki-laki dan perempuan dalam hal ini bukan lagi untuk membahas persoalan ordinat dan sub-ordinat sebagaimana yang digaungkan kaum feminis gelombang kedua yang menginginkan adanya persamaan, melainkan pada usaha identifikasi bahwa perempuan jelas berbeda dengan laki-laki. Perbedaan ini oleh posfeminis diperlihatkan dengan cara ia memperlakukan tubuhnya, atau menempatkan dirinya di tengah-tengah kehidupan sosial yang tanpa beban, tanpa agenda-agenda besar feminisme. Brooks (2009: 235) mengutip Bordo:
Tubuh perempuan yag benar-benar melawan bukanlah tubuh yang berperang melawan seksualisasi dan objektifikasi feminin, melainkan tubuh—sebagaimana Cathy Schwictenberg telah meletakkan hal tersebut yang ‘menggunakan simulasi secara strategis dalam cara-cara yang menantang gagasan stabil tentang gender sebagai bangunan besar perbedaan seksual…suatu politik erotik yang di dalamnya tubuh perempuan dapat diubah kembali dalam perubahan identitas yang terus-menerus yang berbicara dengan gaya yang plural.
Bordo mengambil contoh seorang Madonna yang menampilkan suatu model heteroseksual perempuan yang independen dari semacam kontrol patriarki. Ia memiliki seksualitas yang menegaskan ketimbang menolak tatapan laki-laki, menggodanya dengan tatapannya sendiri secara (sengaja) tak bermutu dan vulgar, menantang siapapun yang memanggilnya pelacur (Brooks, 2009).
Televisi jelas berperan penting dalam kehidupan seorang Madonna. Melalui televisi Madonna dikenal oleh jutaan orang di dunia. Secara tidak langsung televisi menjadi media perlawanan Madonna terhadap nilai-nilai yang mapan.
Tubuh yang menggoda ala Madonna, juga tampak pada kegenitan perempuan-perempuan dalam berbagai acara di televise belakangan ini. Dalam acara gosip, kehidupan artis dikupas sedemikian rupa lengkap dengan prilaku atau kesalahannya. Si artis sendiri, meski tampak terganggu, tapi membiarkan dirinya disorot kamera dan mengeluarkan macam-macam ekspresi. Sementara, perempuan yang menonton acara itu, merasa punya kepentingan untuk mengetahui kebenaran atau pembelaan si artis. Bahkan ia melibatkan emosinya dengan bersungut-sungut di depan televisi jika artis kesayangannya diberitakan yang tidak-tidak.
Pengarahan atau pengondisian ini lebih dahsyat lagi terjadi pada acara reality show. Tubuh-tubuh perempuan, baik sebagai tubuh fisik maupun tubuh sosial, meluapkan kefemininan yang selama ini terkungkung dalam batas-batas antara pantas dan tidak pantas.
Perempuan dalam reality show, mewakili banyak kepentingan. Di sana ada nilai ekonomi dan gerakan sosial. Sebagai gerakan (posfeminisme), perempuan-perempuan itu berupaya menunjukkan keberadaan mereka kepada publik yang selama ini ditutup-tutupi atau ditahan-tahan. Perempuan tidak harus lagi tampil setegas laki-laki, tapi memilih menjadi dirinya sendiri. Kefemininan yang alami, manis, dan ekspresif. Televisi mengambil kesempatan itu untuk memenuhi hasrat perempuan tampil lepas. Sebuah simbiosis mutualisme yang saling menghendaki.
***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar