01/06/13

Teologi Citra Tuhan, Ibnu Arabi (Bagian II)

M. Harir Muzakki
http://sastra-indonesia.com

Ruzbihan Baqli Shirazi

Rusbihan Baqli Shirazi adalah seorang Sufi Persi akhir abad 12. Dia memiliki tradisi mistik cinta yang dikatakan oleh Corbin “fideles d’amour.”31 Bukunya, Sharh’i Shatiyat merupakan karya terkenal untuk melestarikan tulisan-tulisan dan kata-kata al-Hallaj dan penafsiran pemikiran al-Hallaj yang seringkali sulit difahami. Oleh karena itu, sangatlah membantu untuk meneliti penafsiran tentang pernyataan al-Hallaj di atas. Dalam komentarnya, “pribadi itu” secara jelas disamakan dengan Adam, dan hadis imago Dei dikutip.

Kata-kata gnostis (al-Hallaj) yang mengagumkan, ‘Dia mewujudkan diri-Nya sendiri pada pribadi, dan menjadi sama dengan-Nya.’ Maksudnya bahwa Tuhan menciptakan Adam dan menghiasi makhluk-Nya dengan pakaian-pakaian (kiswat) cinta (khullat) penciptaan. ‘Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan citra yang dimiliki-Nya’ (kata al-Hallaj), Dia melihatnya sepanjang masa keabadian-Nya, sehingga Dia memanifestasikan diri-Nya sendiri (tajalli konad) padanya (Adam) dengan Esensi-Nya dan seluruh Sifat-Sifat-Nya. ‘Dia mengajarkan Adam seluruh nama’ (2:31) (kata al-Hallaj). ‘Dia mengkhususkan Adam dengan sifat-sifat yang sama dengan sifat-sifat (yang dimiliki-Nya), yaitu karakter (nu’ut) dan sifat-sifat, sehingga cahaya Esensi-Nya muncul padanya, dan oleh karena itu Dia menjadikannya sempurna dengan semua Sifat-Sifat keabadian-Nya. Ketika dia (pribadi ini, yaitu Adam) diperkuat (mutamakin) dengan Ketinggian Tuhan dan Keagungan-Nya, dia akan memiliki semua Sifat-Sifat Tuhan. Melaluinya, (Tuhan) memanifestasikan diri-Nya pada makhluk-makhluk-Nya dengan seluruh Sifat-Sifat-Nya, sehingga dia menjadi khalifah kerajaan-Nya dan model (sunna) petunjuk ciptaan-Nya.32

Namun, bukan hanya pada kutipan di atas, Baqli mengutip hadis imago Dei dalam penafsirannya dari kata-kata al-Hallaj. Pernyataan kedua adalah tentang komentar kata-kata al-Hallaj sebagai berikut:
Alam nyata (mulk) dan alam yang tidak nyata (malakut) merupakan manifestasi (payda) dalam bentuk Adam dan anak cucunya. Dia mewujudkan diri-Nya melalui tindakan-tindakan-Nya (sama’i) dan nama-nama-Nya. Ketika kekuasaan-Nya (subuhat) turun melalui munculnya dunia nyata dalam al-Qur’an Yang Agung, karena kekuasaan dan Sifat-Sifat Baik (hasanat) adalah milik-Nya.33
Pada kutipan di atas, tema faham makrokosmos-mikrokosmos terlihat. Komentar Ruzbihan adalah sebagai berikut:

Dua bentuk penciptaan dari Kerajaan ke bumi merupakan manifestasi dalam bentuk Adam, karena dia merupakan mikrokosmos (kaun asghar). Barang siapa melihat Adam, maka ia telah melihat (segala sesuatu) dari Singgasana ke bumi. “Kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di alam semesta dan dalam jiwa mereka,” (941/53). Lewat perbuatan (fi’il), Dia mewujudkan dirinya ke dalam ketiadaan. Alam semesta itu muncul dengan seluruh isinya dari perbuatan-perbuatan (sana’i). Dia mewujudkan diri-Nya dari keabadian melalui tindakan (fi’il). Dia menciptakan Adam muncul bersama dengan seluruh sifat-sifat (Nya). Berkaitan dengan hal ini, Muhammad bersabda:34 “Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan citra-Nya, yaitu sesuai dengan bentuk dunia (kawn) yang muncul dari perbuatan itu. Dan kejadian ini, ketika dunia nyata (‘alam mulk) dan kesaksian besar (shahadat-i kubra) muncul.35

Dalam penafsiran di atas, Ruzbihan Baqli menunjukkan bahwa Adam diciptakan sesuai dengan citra bentuk alam semesta. Jadi, dia mengkaitkan hadis imago Dei dengan tema faham makrokosmos-mikrokosmos.

Di samping itu, beberapa komentar tentang kata-kata al-Hallaj ini, Ruzbihan Baqli sering mengutip hadis imago Dei dalam bukunya Sharh e-Shathiyat. Jika dibandingkan dengan al-Ghazali, penjelasan Ruzbihan Baqli di atas, hadis ini mengandung sedikit spekulasi metafisika dan teologi, dan mencerminkan tradisi faham sufi awal yang lebih diyakini.

Komentar pertama, hadis ini dipandang sebagai salah satu dari shathahat (ungkapan ganjil) Nabi Muhammad, dan juga hadis, ‘Aku melihat Tuhan dalam bentuk yang paling indah.’ Tentang hadis ini, komentarnya adalah sebagai berikut:

Mengenai maksud hadis, “Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan citra-Nya,” ia merupakan sedikit informasi tentang manifestasi (tajalli) esensi kesatuan (Tuhan) (‘ayn-i jam’) atas esensi keterpisahan (‘ayn-i tafsiqa), sehingga kekasih dibentuk dengan sifat-sifat yang paling dicintai. Tuhan memanifestasikan diri-Nya pada Adam lewat seluruh sifat-sifat-Nya; Dia mengeluarkan Adam (ke dalam wujud) dengan manifestasi seluruh Sifat-Sifat-Nya; kemudian Dia memanifestasikan diri-Nya dari misteri Esensinya pada jiwanya (Adam). Kasih Sayang muncul pada Adam sebagai sifat-sifat Kasih Sayang (bukan sebagai esensinya). Dengan kasih kasih sayang-Nya, Tuhan menciptakan transenden sifat-Nya yang tak terbatas pada masa primordial demi Adam.36 Dia memberi pakaian kepadanya (Adam) pada masanya yang khusus dengan misteri Esensi-Nya dalam wilayah kemutlakan-Nya, sehingga dari Keabadian, dia (Adam) menjadi homochrome/sama khrom (hamrang) bersama dengan Keabadian. Dia (Adam) adalah abadi, bukan non-existensi. Dia (dalam realitasnya) adalah Tuhan, bukan Adam. Dan hadis, “Aku melihat Tuhan (dalam bentuk yang paling indah),” (maksudnya bahwa) Tuhan menghiasi perbuatan (Nya) dengan Keabadian.

Cahaya Esensi-Nya tertutupi oleh Cahaya Sifat-Sifat-Nya. Kemudian Esensi-Nya memanifestasikan diri-Nya Sendiri dalam perbuatan-Nya, dan tindakan-Nya menjadi esensi-Nya. Dia menunjukkan diri-Nya Sendiri kepada Muhammad sebagai Muhammad. Muhammad merupakan perhiasan-Nya. Untuk memiliki sifat dalam keadaan primordial-Nya bukanlah bentuk yang tidak diketahui oleh Tuhan. Tidak ada subtansi penciptaan wujud tanpa manifestasi (tajalli) keabadian primordial. Jika kamu mengetahui bahwa segala sesuatu adalah Dia, Keabadian tidak akan menjadi temporal, tetapi Dia menunjukkan bentuk-Nya dengan cara apapun yang Dia inginkan. Dia menunjukkan keindahan-Nya yang abadi kepada kekasih dalam cermin tindakan-Nya, sehingga Dia menjadiklan eksistensi (yaitu, kekasihnya) secara keseluruhan kembali pada (sifat-Nya) Yang Maha Pengasih. Ini (yaitu, kembalinya seluruh wujud seorang kepada Cinta) merupakan tindakan yang tepat (sunnat) untuk para kekasih terhadap yang paling dicintai.37

Pernyataan awal Ruzbihan Baqli merupakan penegasan antara kemutlakan dan keabadian Tuhan pada saat yang sama. Kemutlakan diungkapkan sebagai “kesatuan absolut” (tauhid), “esensi pemisahan” (‘ayn-i tafriqa), “pemisahan Bukit Qaf” (Qaf-i Tafsiqa),38 dan dihubungkan dengan gnosis (ma’rifa).39 Emanasi Tuhan merupakan manifestasi Tuhan (tajalli) yang dinyatakan sebagai “tingkat ketidakjelasan” (maqam-i iltibas), “esensi kesatuan” (‘ayn-i jam)40 dan dikaitka dengan cinta (mahabba, ishq).41 Pada tingkat ini, Tuhan mewujudkan Esensi-Nya dalam tindakan dan sifat-sifat-Nya, dan menunjukkan diri-Nya kepada kekasih dalam bentuk duniawi yang paling dicintai. Yang dicintai adalah cermin ketuhanan dan akhirnya diserupakan dengan Diri Tuhan.

Jika kamu membaca gilden book (name-i muzawwar), maka kamu akan memahami pada beberapa sisi keindahan penciptaan pemakaian simbol “Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan citra-Nya.” Keindahan-keindahan penciptaan mengandung cahaya tindakan (Tuhan). Susunan Adam mewarisi keindahan milikku, dan kedekatan kekasih memiliki warisan kasih dari Wajah itu. Kamu membaca tentang “Adam” (dari hadis di atas), ayat al-Qur’an menyatakan, “tundukkan dirimu kepada Adam” (2:34). Makhluk hidup tidak memiliki sifat-sifat yang dimiliki manusia ini, karena manusia memiliki kesinambungan makna dari, “Aku tiupkan kepadanya ruh-Ku” (15/29) dan “Aku ciptakan Adam dengan kedua tangan-Ku” (38/75). Keindahan-keindahan yang tersembunyi (mukhaddarat-i azal) muncul pada wajah manusia untuk mendapatkan lokus (ayat al-Qur’an) “Sungguh Kami muliakan anak turun Adam,” (17:70) pada saat penghancuran jiwa, karena cermin merupakan esensi kesatuan (‘ayn-i jami’). Perhatikan hadis berikut, “Barang siapa melihatku, maka dia melihat Tuhan,” karena dalam hadis ini terdapat makna yang tidak jelas (iltibas) dan kesatuan (ittihad).42

Jadi, ia berada dalam konteks manifestasi Tuhan dalam bentuk keindahan dan kesamaan yang mendasar antara Tuhan dan yang dicintai, yang mana hadis ini dikutip. Meskipun demikian, cinta mistis yang luar biasa, kekasih dan yang dicintai menyatu, dan ia merupakan kekasih mistis yang menjadi tempat manifestasi Tuhan. Dalam konteks ini muncul sebuah tema pengenalan mistis tentang sifat Tuhan bersama-sama dengan hadis imago Dei.

Untuk melihat pakaian (libas) Keindahan Tuhan pada sifat Adam merupakan kebahagiaan cinta sejati pada bentuk alam semesta. Barangsiapa mencapai keadaan (hal) dengan “mendapatkan (sifat ketuhanan)” akan menabur benih cinta abadi dalam hal “Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan citra-Nya” … Ketika seorang yang kehilangan cinta abadi menyelamatkan jiwanya keluar dari tabir lautan yang diciptakan, maka dia akan melihat keindahan Tuhan di tempat manapun yang tidak memiliki jejak. Dia tidak dapat menahan Keagungan Matahari. Dia dikatakan sebagai berikut:

“Tatkala Tuhan menampakkan diri-Nya pada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur (luluh) dan Musa pun jatuh pingsan” (7/143) pada benda-benda yang bersifat temporal, sehingga Aku dapat menunjukkanmu di dunia ini pada baju itu bentuk Adam.43

Ketika manusia diberi kelebihan dengan dua relasi ini (yaitu, raga dan jiwa), dia memperoleh sifat-sifat Tuhan. Dia (manusia) menerangi dunia dengan cahaya-Nya. Berkaitan dengan manusia, Allah berfirman: “Aku menciptakanmu, maka sempurnakanlah bentukmu” (60:64). Ketika Dia menganugerahkan kesempurnaan kepada manusia, Dia memuji diri-Nya tanpa batas waktu, dan berfirman:

“Maha suci Allah, Pencipta yang paling baik” (23/14). Rahasia ini bahwa pengendali jiwa-jiwa dan tubuh-tubuh, inti lautan cahaya, satria bagain-bagian rahasia-rahasia (yaitu, Muhammad) …….ketika dia mengatakan pada maqam cinta keluar daro rahasia emoasi cinta dalam kebutaan gnosis terkait dengan pakian kesatuan dirinya dalam tindakan, “Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan citra-Nya.”44

Kesimpulannya, dua ciri khas penjelasan Ruzbihan tentang hadis imago Dei akan dipaparkan di sini. Pertama, dia tidak membedakan citra Tuhan dengan manusia, yaitu Adam yang diciptakan sesuai dengan citra-Nya, sebagaimana pendapat Philo dan para pendeta Kristen pada masa awal. Kedua, dia seringkali menggunakan istilah “manifestasi” (tajalli). Tuhan memanifestasikan diri-Nya pada Adam melalui seluruh Nama-Nama dan Sifat-Sifat. Alam semesta itu sendiri adalah manifestasi Tuhan melalui perbuatan-perbuatan dan sifat-sifat-Nya. “Kamu tentu melihat seratus ribu manifestasi pada setiap atom dan setiap batu.”45 Konsep “manifestasi” akhirnya digunakan oleh Ibn ‘Arabi, dan menjadi doktrin utama ontologinya. Akan tetapi, bagi Ruzbihan Baqli, istilah ini tidak memiliki landasan filsafat. Secara keseluruhan, penjelasan Ruzbihan penuh dengan metafor (kiasan) dan ungkapan-ungkapan yang tidak jelas, namun sedikit mengandung filsafat dan teologi. Dalam hal ini, dia termasuk kelompok mistis yang sama sebagaimana al-Hallaj.

Al-Ghazali

Sebelum Ibn ‘Arabi, al-Ghazali merupakan pemikir paling penting yang berusaha menjelaskan hadis imago Dei yang digunakan dalam konsep teologi dan filsafat. Jabre dan Altman telah membahas penjelasan al-Ghazali tentang hadis ini.46 Altman memcurahkan perhatiannya secara khusus pada hubungan antara hadis ini dengan hadis Delphic, “Barang siapa yang mengetahui dirinya sendiri, maka dia mengetahui Tuhannya” dan membandingkan al-Ghazali dan Ibn ‘Arabi dalam aspek ini. Namun, sayangnya analisisnya dinodai dengan penerjemahan yang tidak akurat, Mishkat al-Anwar oleh Gairdner, yang terjamahan itu dijadikannya sebagai titik tolak analisisnya.47

Al-Ghazali membahas hadis ini berulangkali. Di sini kami mengkaji hadis imago Dei dalam kitab Ihya’ ‘ulum al-Din,48 Imla’ fi Ishkalat al-Ihya’, al-Maqsad al-Asma’ fi Sharh Ma’ani Asma’ Allah al-Husna,49 Mishkat al-Anwar,50 al-Madnum al-Saghir.51

Ihya’ ‘Ulum al-Din

Dalam kitab Ihya’ hadis imago Dei muncul beberapa kali. Masalah yang paling penting, ketika dia menyimpulkan lima sebab cinta, seluruhnya terdapat dalam bahasan masalah cinta manusia terhadapTuhan.52 Kelima sebab cinta adalah hubungan dan penyatuan antara dua hal, misalnya similes simili gaudet. Al-Ghazali menegaskan bahwa kelima sebab cinta juga terdapat antara manusia dan Tuhan, karena terdapat hubungan rahasia yang tersembunyi antara keduanya. Sebagian darinya dapat terlihat, sedangkan lainya tidak. Yang pertama kewajiban moral manusia untuk berusaha mendapatkan sifat ketuhanan. Manusia diperintahkan Tuhan meniru sifat-Nya (takhalluq bi–akhlaq Allah). Di sini, hubungan antara Tuhan dan manusia terletak pada kesamaan sifat, seperti “Keadilan,” “Kebaikan” dan “Kasih Sayang.”53 Namun, sifat-sifat tersebut tidak dijelaskan dalam konteks teologi, akan tetapi dalam konteks etika yang bersifat praktis. Kewajiban moral ini berupa menteladani sifat Tuhan sebanyak mungkin, telah muncul pada masa Plato dan diterima secara luas pada akhir zaman kuno.54

Mengenai hubungan yang tidak boleh dibicarakan, al-Ghazali mengisyaratkan bahwa mereka memiliki sesuatu yang harus dilakukan dengan mengikuti ayat al-Qur’an sebagai berikut: “Manusia akan menanyatakanmu tentang ruh; katakanlah bahwa ruh termasuk urusan (amr) Tuhan” (17:85). Dan dia melanjutkan:

Ayat ini menunjukkan bahwa ruh adalah urusan Tuhan (amr rabbani) berada di luar batas fikiran manusia. Lebih jelasnya, firman Allah sebagai berikut: “Ketika Aku menjadikan dan meniup kepadanya ruh-Ku” (915:29, 38:72). Karena inilah, para malaikat menundukkan diri kepadanya. Ini terkait dengan firman Allah: “Aku akan menjadikan khalifah di muka bumi” (38:26), karena jika dia tidak melalui hubungan ini, Adam tidak akan ada gunanya menjadi wakil Tuhan. Juga terkait dengan hadis, “Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan citra-Nya.” Mereka yang mempunyai pemahaman dangkal berpendapat bahwa tidak ada bentuk (sura) kecuali bentuk luar yang dapat difahami melalui indera, dan mereka menyamakan (shabbahu) Tuhan dan berpendapat bahwa Dia memiliki tubuh dan bentuk fisik. Tuhan Maha Tinggi dari segala kebodohan mereka yang mengatakan tentang-Nya. Juga berkaitan dengan Firman Allah kepada Musa:

“Aku sedang sakit, dan kamu tidak menjenguk-Ku.” Musa bertanya: “Wahai Tuhan bagaimana hal ini mungkin?” Tuhan berkata kepadanya: “Hamba-Ku si fulan sakit, dan kamu tidak menjenguknya. Jika kamu menjenguknya, maka kamu tentu menemukan-Ku di tempatnya.” Tentang hubungan ini, tidak akan muncul kecuali melalui ketaatan diri secara sungguh-sungguh (muwazaba ‘ala al-nawafil) setelah melaksanakan kewajiban-kewajiban agama dengan baik, sebagaimana Tuhan berkata, “Hamba selalu mendekatkan diri kepada-Ku, melalui ketaatan secara sungguh-sungguh hingga Aku mencintainya, dan Aku menjadi pendengarannya ketika dia mendengar, menjadi matanya ketika dia melihat, menjadi mulutnya ketika dia berbicara.” Mengenai masalah ini, saya harus menghentikan pena sampai di sini.55

Dari uraian di atas, terkait dengan hubungan yang tidak dapat diungkapkan antara manusia dan Tuhan, berikut beberapa pernyataan yang harus diperhatikan:

1. Hadis imago Dei menunjukkan lebih tinggi, persesuaian yang tidak bisa dijelaskan antara manusia dan Tuhan.
2. Hubungan terletak pada ruh manusia, yang ditiupkan Tuhan ke dalam diri manusia, dan termasuk wewenang Tuhan.
3. Hubungan memiliki sesuatu yang harus dilakukan melalui penyatuan mistis dengan Tuhan, sebagaimana dinyatakan dua hadis terakhir.

Imla’ fi Ishkalat al-Ihya’

Imla’ adalah karya pendek yang ditulis oleh al-Ghazali untuk menjelaskan persoalan-persoalan pelik dalam kitab Ihya’. Salah satu masalah yang dibahas adalah makna hadis imago Dei.56

Setelah menolak beberapa penafsiran yang mana kata ganti “citra” dijelaskan dengan merujuk pada selain Tuhan, al-Ghazali memberikan dua penafsiran hadis ini. Penafsiran pertama, kata ganti dijelaskan sebagai masalah kepemilikan (idafa mulkiya). Dia mengajukan contohnya seperti “hambanya,” “rumahnya” dan berpendapat bahwa hubungan antara Tuhan dan citra hanya seperti hubungan antara pemilik budak dengan budak.57 Penafsiran ini sama dengan pandangan Ibn Hazm.58 Namun, menurut al-Ghazali, penafsiran ini mengarah pada penegasan bahwa “citra-Nya” berarti alam semesta yang lebih besar secara keseluruhan, karena alam semesta milik Tuhan par excellence. Jadi, hadis tersebut memberikan maksud bahwa Tuhan menciptakan manusia sebagai salinan kecil alam semesta. Akhirnya, dia menyebutkan secara rinci hubungan antara manusia, mikrokosmos dan alam semesta, makrokosmos.59

Penafsiran kedua, kata ganti digunakan sebagai masalah pengkhususan (idafa al-takhsis).60 Karena, dia tidak memberikan contoh dalam masalah ini, apa yang dimaksudkan al-Ghazali dengan istilah ini tidak jelas. Apapun “menyandaran khusus” ini maksudnya barangkali, hadis ditafsirkan sebagai petunjuk kesamaan bagian nama-nama Tuhan dengan Adam: Tuhan adalah Hidup, Berkuasa, Mendengar, Melihat, Mengetahui, Berkehendak, Berbicara, Berbuat dan Tuhan juga menciptakan Adam hidup, berkuasa dan seterusnya.61 Dalam penafsiran “citra-Nya,” nampaknya disamakan dengan Nama-Nama-Nya, meskipun al-Ghazali tidak menyatakan secara tegas. Agaknya, dia menekankan bahwa kesamaan nama-nama ini hanya berarti bahwa nama-nama tersebut dinyatakan dengan cara yang sama, tak lebih dari itu.

Adam memiliki bentuk (nyata), yang dapat diindera, dibentuk, diciptakan, ditentukan secara jelas. Tuhan disamakan dengan bentuk hanya dalam ungkapan (bi’i-lafd), karena Nama-Nama Tuhan, seperti ‘Hidup,” “Berkuasa” dan seterusnya tidak menyatu (tajtami’) dalam sifat-sifat Adam kecuali pada nama-nama yang hanya ungkapan-ungkapan yang bersifat eksternal (‘ibarat talaffuz). Janganlah berfikir untuk menolak Sifat-Sifat (Tuhan) ini. Hal ini bukanlah maksud kami. Tujuan kami hanya membedakan sejauh mungkin antara dua bentuk (yaitu, bentuk Tuhan dan bentuk manusia), sehingga sifat-sifat Adam tidak bisa menyatu dengan Sifat-Sifat Tuhan kecuali dalam penyebutan nama-nama.62

Pernyataan di atas dapat difahami melalui pandangan doktrin Nama-Nama dan Sifat-Sifat Tuhan dalam mazhab Asy’ariyah. Tuhan adalah “Hidup” dengan (sifat) hidup, namun kelompok Mu’tazilah menolak eksistensi Sifat-Sifat itu sebagai wujud yang berbeda dengan Zat.63 Seperti pendapat Asy’ariyah, al-Ghazali tidak menolak eksistensi Sifat-Sifat itu, yang tidak terpisah dari dan sama dengan Zat. Namun, “Hidup” (sebagai suatu sifat Tuhan) bukanlah hidup menurut pengertian kita, yang kita fahami dan terapkan pada makhluk. Sifat-sifat tersebut sama hanya dalam ungkapan.64

Penjelasan al-Ghazali yang kedua ini sungguh tidak gamblang sebagai penafsiran hadis imago Dei. Jika, nama-nama Adam dan Tuhan seluruhnya berbeda dalam makna, seperti homonim, dimana persesuaian antara keduanya? Meskipun sebuah jawaban tidak ditemukan dalam kitab Imla’, namun pembahasan yang lebih rinci tentang kesamaan nama-nama dapat ditemukan dalam bukunya yang lain, Maqsad al-Asna fi Sharh ma’ani Asma’ Allah al-Husna.

Maqsad al-Asna fi Sharh Ma’ani Asma’ Allah al-Husna

Maqsad merupakan penafsiran tentang makna 99 nama Allah. Pada pendahuluan buku ini, al-Ghazali membahas masalah teologi mengenai hubungan antara “nama” (ism), “yang dinamai” (musamma) dan “penamaan” (tasmiya.)65 Masalah persamaan antara antara Tuhan dan manusia dengan panjang lebar dijelaskan pada bagian akhir pendahuluan buku ini, yang berjudul “Petunjuk bagi Kesempurnaan dan Kebahagiaan Manusia menjadi Bayangan Sifat Tuhan dan Menghiasi dengan Makna Sifat-Sifat dan Nama-Nama-Nya, sejauh hal ini mungkin bagi manusia.66 Di sini, argumennya sungguh tidak lengkap dan sulit untuk mengikuti logikanya secara tepat, Jabir mengatakan, “on est frappe de prima abord par le caractere etrange du developpmement.”67

Awalnya, dia membedakan dua kelompok manusia sesuai dengan pemahaman mereka terhadap makna Nama-Nama Tuhan, kelompok yang tidak beruntung dan beruntung. Kelompok pertama secara lebih rinci dibagi ke dalam tiga sub kelompok. Pertama, termasuk mereka yang hanya mendengar pelafatan Nama-Nama; pemahaman mereka seperti pemahaman binatang-binatang dan orang-orang asing. Kedua, terdiri dari orang-orang yang memahami makna Nama-Nama Tuhan dengan penjelasan yang rinci (tafsir) dan aturan-aturan yang lazim. Ini adalah pemahaman ahli bahasa atau seperti pemahaman manusia pada umumnya, yang memahami bahasa Arab. Ketiga, mereka yang meyakini dengan penuh keyakinan bahwa makna Nama-Nama tersebut milik Tuhan. Tingkat pemahaman ini dapat disamakan dengan pemahaman orang-orang muda, secara benar, namun ini merupakan pemahaman sebagian besar mereka yang terpelajar (‘ulama).68

Kedua adalah kelompok orang-orang beruntung yang dinamakan muqarrabun69 (manusia yang mendekatkan diri kepada Tuhan semaksimal mungkin). Lebih rinci mereka dibagi ke dalam tiga sub kelompok. Pertama, mereka yang memahami makna Nama-Nama Tuhan sesuai dengan pemahaman seorang sufi, yaitu melalui “penyingkapan” (mukasyafa) dan “melihat langsung” (mushahada). Kedua, termasuk mereka yang mengagumi kebesaran Nama-Nama Tuhan, selanjutnya dimengerti dan ingin memilikinya sebanyak mungkin mereka dapat dan mendekati Tuhan melalui Nama-Nama ini. Untuk memperolehnya, seorang harus membersihkan keinginan-keinginan lain dari hati, jika tidak maka benih keinginan ini yang tertanam dalam hati, tentu tidak akan tumbuh secara baik. Ketiga, termasuk mereka yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memperoleh (iktisab) Sifat-Sifat Tuhan sejauh kemampuan mereka dapat memperolehnya, dan meniru Sifat-Sifat Tuhan dan menghiasi diri mereka dengan Sifat-Sifat itu. Melalui cara ini, manusia akan menjadi seperti Tuhan (rabbani) dan sama tingkatannya dengan malaikat.70

(Bersambung)
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2013/06/teologi-citra-tuhan-ibnu-arabi-bagian-ii/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita