Pementasan ”Hikayat Puyu-puyu” oleh Sanggar Teater Mara
Jefri al Malay *
http://www.riaupos.co/
Pentas teater ‘’Hikayat Puyu-puyu’’ oleh Sanggar Teater Mara pada 27-28 April 2012 di Anjung Seni Idrus Tintin merupakan sebuah pentas teater yang kisahnya terinspirasi dari cerita rakyat Bengkalis yang berjudul ‘’Syair Ikan Terubuk’’. Dikisahkan dalam syair yang begitu dekat dengan masyarakat Bengkalis itu, Putri Puyu-puyu menolak keinginan Ikan Terubuk untuk mendapatkan cintanya dengan alasan mereka hidup di dua alam yang berbeda. Terubuk hidup di air asin sedang Putri Puyu-puyu hidup di air tawar. Penolakan itu mengakibatkan Terubuk murka dan akhirnya membuat keputusan menyerang Putri Puyu-puyu.
Di tangan Hang Kafrawi sebagai penulis naksah sekaligus sutradara dalam pentas teater “Hikayat Puyu-puyu”, menemukan celah baru untuk dijadikan tafsiran yakni pada kata “penolakan”. Ia merumuskan bahwa penolakan dengan kesadaran akan kebenaran serta keteguhan hati adalah sebuah perjuangan yang di sini tentu saja diperuntukkan bagi kaum tertindas yang terwakili dalam pentas tersebut oleh Putri Puyu-puyu. Sedang yang berkuasa dan menindas adalah Terubuk dan pasukannya. Terubuk dengan kekuasaannya merasa bisa melakukan apa saja apalagi bila kehendaknya tak terpenuhi. Dari sinilah Hang Kafrawi meramu ceritanya.
Tentu saja sebagai sebuah karya seni yang notabene lahir dari penggambaran kembali dan pencerminan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar kita. Dalam hal ini, Hang Kafrawi memotret peristiwa yang belum lama terjadi di tanah Tanjung Padang, di mana sebuah perusahaan besar ingin meluluh-lantakkan keseimbangan di pulau tersebut dengan menanam tumbuhan yang tak sesuai habitatnya, semata-mata memenuhi keperluan produksi perusahaan.
Bila disimak, bukankah ada keterkaitan erat dari kedua peristiwa antara ‘’Syair Ikan Terubuk’’ dan tragedi Tanjung Padang baru-baru ini di mana setting tempatnya sama-sama terjadi di Pulau Padang. Sama ada hal itu sebuah kebetulan belaka atau seperti yang dikemukakan Hang Kafrawi bahwa karya seni (sastra) adakalanya tak hanya jadi cerminan atas apa yang berlaku pada hari ini, tapi seringkali jadi “ramalan” untuk masa yang akan datang atau berisi gagasan yang futuristik. Lihat saja karya “Syair Ikan Terubuk” yang lahir berabad yang lalu seolah-olah menggambarkan peristiwa yang berlaku pada masa kini di tanah Tanjung Padang, meski dalam bentuk yang berbeda. Karenanya dapat pula dikatakan, Hang Kafrawi tak hanya menjadikan “Syair Ikan Terubuk” sebagai inspirasi dalam pentasnya tapi juga melakukan tafsiran ulang atas cerita rakyat Kabupaten Bengkalis tersebut.
Aspek Pemanggungan
Lalu, bagaimana berbagai perihal di atas dikemas jadi sebuah pentas teater? Seperti kita ketahui, ada banyak gagasan untuk dijadikan sandaran sebuah pentas teater dinilai baik. Misalnya dengan menimbang unsur kebenaran dari penalaran suatu situasi yang bisa diterima akal sehat. Adanya unsur kejujuran dan pementasan yang bicara artinya sebuah pentas teater hendaklah menambah wawasan terhadap diri dan orang lain, memberi arti pada kondisi manusia. Dan yang tak kalah pentingnya adalah unsur tontonan, dalam artian menarik minat, perhatian serta bisa memberi pengalaman berharga. Unsur tontonan tentu saja tak hanya bicara sebatas hiburan belaka tapi juga memberi kesempatan pada penonton untuk mengindentifikasi dirinya dengan pribadi yang berada dalam pementasan yang dapat mereka pahami, berfaedah dan menarik.
Sehubungan dengan itu, dapat pula dijelaskan aspek yang tersusun menyatu dalam batang tubuh pentas teater ‘’Hikayat Puyu-puyu’’. Di mana pementasannya diawali musik yang ditata Ridho. Suguhan musik pembukanya cukup menarik, dengan eksplorasi atas irama-irama maulud, berdah, barzanji dan marhaban yang disenandungkan beberapa orang otomatis mengajak imajinasi penonton masuk ke ceruk wilayah Riau pesisir. Ditambah syairnya yang telah diubah-suaikan dengan syair kisah ‘’Hikayat Puyu-puyu’’ dalam pementasan tersebut. Lalu tak berapa lama, masuk semua aktor, melakukan gerakan melingkar menggunakan gerak-gerak teater tradisi Mak Yong. Memang gerakan berjalan dan menari yang melingkar dalam teater tradisi Mak Yong dilakukan pemain untuk keluar masuk panggung dalam sebuah adegan yang ditingkah gendang panjang bertalu-talu.
Yang mengejutkan setelah itu adalah pemain membentuk format pola lantai tarian dan dengan suguhan musik masa kini, mereka melakukan gerakan tari ala boys band. Terlepas apa hubungannya dengan konsep garapan, tapi setakat ini tepukan penonton yang rata-rata remaja bergemuruh menyaksikan hal itu. Memang unsur tarian begitu beragam dan cukup memberi warna dalam pementasan teater ‘’Hikayat Puyu-puyu’’. Menurut saya, itu sengaja jadi pilihan bentuk atau konsep garapannya karena secara teks, ‘’Hikayat Puyu-puyu’’ yang ditulis Hang Kafrawi yang notabene juga seorang penyair, dialog-dialognya sarat kata-kata puitis, membincangkan peristiwa demi peristiwa menggunakan perlambangan kata-kata. Kontan saja bila tak ada upaya menjelajahi unsur-unsur pemanggungan, teks naskah ‘’Hikayat Puyu-puyu’’ akan jadi begitu monoton di atas pentas. Karena proses perpindahan teks ke panggung sudah tentu menjadi kerja yang lain pula di tangan seorang sutradara.
Pilihan tarian yang barangkali jadi ciri khas pementasan bagi sanggar teater Mara adalah upaya menjaga tempo pementasan agar tak jadi tontonan yang menjenuhkan. Tarian yang disuguhkan adalah bentuk-bentuk gerakan yang menggambarkan kisah atau adegan yang terjadi dalam pementasan. Artinya, gerak tari tak berdiri sendiri tapi menyatu dalam adegan-adegan pemanggungan teater, salah satu misalnya bagaimana penjelajahan gerak tari membungkus penutup pentas ‘’Hikayat Puyu-puyu’’, yakni proses penyerangan Terubuk dan pasukannya terhadap pasukan Puyu-puyu.
Pada pemilihan tokoh dan karakter, sutradara juga memberi sebuah tawaran yang menurut saya cukup menyegarkan. Sesungguhnya kisah ‘’Hikayat Puyu-puyu’’ adalah sebuah kisah yang bertemakan tragedi. Tapi lagi-lagi saya menyaksikan ada upaya lain untuk menguatkan unsur tontonan dari pentas tersebut. Digambarkan misalnya pada beberapa karakter pemain yang menggunakan gaya bermain bangsawan atau The Great Style dan juga ada beberapa aktor yang bermain sangat santai atau kalau boleh saya katakan gaya realisme ala Melayu. Di sinilah titik terang untuk mengatakan pentas teater ‘’Hikayat Puyu-puyu’’ merupakan peristiwa antara tragedi dan gurau senda.
Bagaimana tidak? Beberapa aktor yang bermain dengan gaya realisme ala Melayu yang saya katakan tadi, dalam hal ini terwakili oleh peran Fahrudin sebagai Malung, Jumadi sebagai Senunggang dan Sulaiman sebagai Bawal. Mereka ini merupakan pasukan Terubuk yang bermain sangat santai tak ubah seperti keseharian orang-orang Melayu Pesisir, baik dari logat maupun bahasa tubuh. Gurau senda tak lepas dari permainan atau akting mereka tapi sesungguhnya yang sedang mereka bicarakan adalah peristiwa tragedi. Ini yang saya kira moment atau sisi ironisnya. Bukankah hal itu merupakan gambaran realita dalam keseharian kita? Betapa banyak orang-orang yang kini melakukan kesewenangan, penindasan, dan maksiat lainnya hanya sembari bergurau senda dan menganggap hal itu cuma permainan belaka? Mereka tak lagi memperhitungkan hati nurani dan nilai-nilai kemanusiaan. Bagi mereka, dengan kesempatan dan kekuasaan yang dimiliki bahkan sambil tertawa terbekah-bekah, semuanya bisa tercapai dengan tidak bersusah payah.
Sedang di pihak Puyu-puyu, Riki yang berperan sebagai Badar dan Jamal sebagai Keli. Mereka adalah pengawal yang juga bermain dengan karakter lepas atau santai. Dalam ketakberdayaan dan kesedihan, suasana gurau senda tak lepas dari permainan mereka meski di satu sisi, Tuan Putri Puyu-puyu dalam keadaan cemas dan gundah. Barangkali ini juga menggambarkan sebuah situasi di mana tatkala manusia berada di ambang kegelisahan dan kesedihan bahkan ketidakberdayaan, gurau senda menjadi salah satu pilihan untuk menyikapinya. Namun demikian bukanlah sikap itu menunjukkan kekalahan yang mutlak tapi bergurau pada batasnya. Ketika sebagai pengawal yang kemudian dititahkan oleh pimpinannya Puyu-puyu untuk mempertahankan hak dan marwah mereka sampai ke titik darah penghabisan, kedua pengawal itu juga dengan tegas ikut menegakkan keyakinan dan kebenaran yang mereka junjung.
Selebihnya adalah karakter atau tokoh-tokoh dalam pentas ‘’Hikayat Puyu-puyu’’ yang mengkerucutkan pentas ini menjadi tontonan tragedi. Di antaranya Terubuk yang diperankan Deni Afriadi, Ridwan sebagai Tenggiri, Zulfa sebagai Kurau, Syarifuddin sebagai Belut, Siti Aminah sebagai Puyu-puyu dan Rosi sebagai Tapah. Dapat dikatakan, masing-masing ketokohan mereka membangun puncak atau klimak dari pementasan ini. Tapi kemudian apa yang dapat disimpulkan di akhir pementasan ‘’Hikayat Puyu-puyu’’ ini adalah peran Belut yang kemudian menurut hemat saya, dialah menjadi tokoh sentral. Karena penyerangan yang dilakukan Terubuk terhadap Puyu-puyu semata-mata disebabkan sifat Belut yang bermuka dua. Bahkan ia terkesan mengadu-domba kedua belah pihak. Belutlah dalang penyerangan tersebut. Adapun pesan inilah yang saya kira merangkum dari keseluruhan pementasan sebab begitu banyak pihak atau orang-orang yang memiliki sifat seperti belut di zaman sekarang ini. Menangkap keuntungan baik berupa materi atau kepuasan batin atas penderitaan orang lain. Dia merasakan kepuasan yang tak terkira bila rencana busuknya berjalan mulus.
Demikianlah berbagai aspek pemanggungan yang diramu Hang Kafrawi dalam pentas teaternya ‘’Hikayat Puyu-puyu’’. Segala bentuk penjelajahan ataupun penawaran yang dihidangkan tentu saja menjadi sajian yang dinikmati penonton dengan berbagai aneka rasa, tergantung dari mana dan siapa yang mengapresiasikannya. Dan saya kira begitulah seharusnya karya seni sampai ke pangkuan penonton. Tak ada kepastian mutlak untuk mengatakan sebuah karya seni menjadi sempurna selain dari penikmatnya masing-masing yang menentukan. Setidaknya Hang Kafrawi dan kawan-kawan telah melakukan sebuah upaya memotret peristiwa keseharian dan kemudian menjadikan karya dalam bentuk komunikasi seni pada khalayak. Begitulah salah satu kerja seniman seperti yang pernah dikatakan Rendra bahwa fenomena yang sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat bisa diolah dan diberi ruang tafsir secara kreatif. Dengan demikian seniman bisa menunjukkan jati dirinya karena kesenian mereka yang otentik, unik serta relevan dengan kebutuhan dalam kehidupan manusia. Terakhir, sebagai penonton dan penikmat teater, saya ucapkan syabas pada sanggar Teater Mara atas pementasannya. Jaya selalu teater di Riau.***
*) Jefri al Malay, Penikmat teater dan alumni AKMR Jurusan Teater. Kini tercatat sebagai mahasiswa Universitas Lancang Kuning Jurusan Sastra Melayu sekaligus mengabdi di SMA 2 Bengkalis sebagai guru. /6 Mai 2012
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar