Yusri Fajar
__Pelangi Sastra Malang
Mengidentifikasi, menganalisa dan mencipta karya sastra berwarna lokal dalam dunia global yang dipenuhi hibriditas kultural adalah sebuah kerja interdisipliner (sastra dan budaya) dan kreatif yang menantang. Apalagi jika lokalitas selalu diidentikkan dengan berbagai keunikan suatu daerah. Terlebih lagi jika keunikan itu didasarkan pada aspek-aspek budaya tradisional dan identitas masa lampau. Tidak mudah memetakan warna lokal karena seringkali dalam nilai-nilai lokal terdapat muatan nilai universal dan global.
Percampuran, pergesekan bahkan kontestasi khasanah lokal dan global inilah yang menyebabkan pembicaraan tradisi lokal tidak bisa dipisahkan dari konstruksi identitas nasional dan global. Lokalitas dan warna lokal[1] di satu sisi bisa dianggap ‘kontra produktif’ dengan integrasi nasional karena dinilai ‘primordial’ dan berpotensi resisten terhadap mainstream global. Namun di sisi lain berbagai khasanah budaya lokal berpotensi memperkaya muatan sebuah karya seni dan menjadi penciri sebuah komunitas di bawah naungan sebuah negeri yang terbentuk dari keragaman etnik, suku dan ras. Lebih jauh, lokalitas dan warna lokal bisa dipandang sebagai kekuatan yang menghindarkan sastrawan dari penciptaan karya yang hanya bertumpu pada isu-isu global dan nasional
Di samping karya sastra bertema universal yang merepresentasikan budaya dalam ruang bangsa dan negara, ada karya sastra etnik, yang menggambarkan budaya etnis tertentu. Di Amerika misalnya, istilah sastra etnik (ethnic literature) digunakan untuk menggambarkan karya-karya sastra yang ditulis oleh para penulis peranakan Asia. Para penulis peranakan dari luar Amerika ini menulis karya sastra yang mengusung budaya ‘oriental’ dari negeri asal mereka yang berbeda dengan budaya orang-orang kulit putih. Lebih dari itu, sastra etnik ini juga menjadikan berbagai lokasi dan rentangan waktu di negeri asal penulis sebagai setting yang didialektikkan dengan ruang dan waktu Amerika. Karya-karya penulis peranakan Asia ini juga dinilai menjadi media untuk merepresentasikan identitas mereka. Pengarang-pengarang peranakan Asia di Amerika seperti Amy Tan, Maxine Hong Kingston, Jhumpa Lahiri, dan Khaled Khusaini memiliki karakteristik tema dan teknik naratif yang berbeda dengan pengarang Amerika asli, meski universalitas tema bisa ditemukan dalam dua kelompok pengarang ini. Eksotika dan entitas esoteris dalam karya-karya mereka, meski menandai warna lokal akar budaya mereka, tetap diterima bahkan digandrungi pembaca sastra dari berbagai negara di dunia. Di Indonesia, selain para sastrawan yang mengusung tema universal-nasional-global, ada kelompok sastrawan yang mengusung warna lokal, seperti Korrie Layun Rampan yang merepresentasikan budaya etnik dayak, Ahmad Tohari dan Umar Kayam yang merefleksikan budaya Jawa, Ajip Rosidi yang membawa warna Sunda, Oka Rusmini yang memasukkan unsur budaya Bali, dan Andrea Hirata yang mewarnai karyanya dengan budaya Melayu, dan beberapa sastrawan lainnya.
Dalam ‘ruang antara’ (in-between space) di mana entitas lokal dan global saling bernegosiasi dan berdialektika, membincang diskursus lokalitas dan warna lokal dalam sastra tetap relevan, asalkan tidak semata sebagai ‘klangenan’. Hal ini penting untuk ditegaskan karena praksis proses kreatif yang bersumber dari warna lokal, jika diwacanakan seharusnya juga perlu direvitalisasikan[2] melalui tindakan nyata. Universal dan lokal saling melengkapi antara satu dan lainnya. Budi Darma menyatakan sastra bersifat lokal karena tema universal tidak mungkin berdiri di awang-awang, tetapi pasti berpijak pada ciri-ciri lokal dan waktu (2003:12). Tema cinta adalah tema universal yang menembus batas daerah dan bangsa. Namun keunikan fenomena percintaan pada masing-masing wilayah membuat narasi cinta dan berbagai peristiwa yang melingkupinya bisa berbeda. Lebih jauh, lokalitas dalam sastra tidak semata berkaitan dengan tema, namun juga latar (setting) yang menjadi ciri khas suatu daerah. Latar pesisir dan agraris misalnya membentuk budaya masyarakat dengan karakteristik berbeda.
Dalam lingkup budaya etnik di Jawa Timur, salah satu sastrawan yang mampu menggali dan membangun citra etnisitas dalam karyanya adalah Zawawi Imron, penyair celurit emas yang dalam pentas nasional dikenal kental memasukkan warna lokal Madura. Dengan demikian perkembangan khasanah sastra lokal di daerah atau kota tertentu di Jawa Timur tidak bisa dilepaskan dari konstruksi budaya dan perkembangan yang ada di dalamnya dan yang berkembang di luar dirinya. Apalagi Jawa Timur adalah provinsi multi-etnik. Ayu Sutarto membagi budaya di Jawa Timur dalam sub-sub kebudayaan, seperti budaya Arek, Mataraman, Tengger, Osing, Samin dan Madura (2004:1). Meskipun kategorisasi ini perlu terus diredifinisi karena hibriditas budaya terus berkembang seiring modernisasi, globalisasi, dan migrasi dalam kelompok etnik tertentu ke wilayah etnik lain. Misalnya, ciri khas kawasan budaya arek, yang beberapa wilayahnya meliputi Surabaya, Mojokerto, Sidoarjo dan Malang, perlu secara simultan dikaji perkembangannya dan dipertanyakan otentisitasnya karena banyak pendatang dari berbagai latar budaya yang menetap di dalamnya, termasuk mereka dari wilayah Jawa Mataraman. Apakah Malang Raya—yang secara historis menyimpan khasanah kepurbakalaan, narasi-narasi kerajaan, dan mengalami transformasi di era penjajahan, serta dihiasi eksotika alam dan lingkungan,—termanifestasikan dalam karya sastra? Apakah identitas-identitas budaya ‘Malangan’ menjadi sumber penciptaan para sastrawan yang hidup di era ketika lokalitas dan warna lokal mulai termarginalkan dari mainstream kebudayaan global?
Sastra Berwarna Lokal dan Lokalitas Malang
Sebagaimana perkembangan sastra di berbagai wilayah di Indonesia, Malang juga menyimpan khasanah sastra mulai dari yang ‘klasik’ hingga yang kontemporer. Cerita Panji adalah khasanah folklor yang ceritanya ditemukan di hampir 20 candi di Jawa Timur termasuk Malang. Cerita Panji juga pernah digunakan oleh Kerajaan Singasari untuk mengobarkan semangat kepahlawanan. Namun minimnya pewaris aktif dan pasif dari cerita rakyat ini menyebabkan cerita Panji tidak banyak diketahui oleh generasi mutakhir. Padahal gaung dan pengaruh cerita Panji ini, menurut Ajib Rosidi, sampai di Campa, Melayu dan Filipina (1986:5). Sementara folklor yang terkait dengan kearifan ekologis juga bisa ditemukan di Malang Raya yang merupakan kawasan yang dikelilingi pegunungan, diperkaya dengan perkebunan apel, sumber mata air, air terjun, dan kawasan pertanian. Misalnya folklor lisan yang terkait dengan sumber air Polaman (berasal dari kata ‘Pa-ulaman yang berarti tempat memelihara air) di Lawang Malang yang dulu merupakan daerah kekuasaan kerajaan Kediri dan Raja Kediri biasanya berkunjung ke sumber air ini; mitos yang dipercaya terkait cerita ini adalah jika ada pasangan yang berpacaran di sekitar kawasan sumber Polaman maka mereka akan menikah (Wurianto, 2009:6). Mitos semacam ini tidak bisa dilepaskan dari kepercayaan-kepercayaan supranatural yang mengakar dalam masyarakat yang belum banyak tersentuh teknologi dan ilmu pengetahuan yang mengedepankan logika-logika ilmiah.
Sementara cerita-cerita berlatar kejayaan kerajaan Tumapel (yang kemudian dikenal dengan nama Singhasari) dengan tokoh-tokoh terkenal seperti Kendedes, Ken Arok dan Tunggul Ametung, telah mengilhami para seniman baik sastrawan, pekerja teater dan sineas. Naskah drama radio, misalnya, yang populer di era 80an salah satunya adalah kisah dari tokoh-tokoh ini. Bahkan cerita Ken Arok dan Kendedes yang menjadi ikon historis Malang juga mengilhami para sineas untuk mengangkatnya ke layar lebar. Khasanah lokal Malang yang dikemas dalam media elektronik ini menjadi menasional. Namun lokalitas pada konteks ini merambah ranah komersial karena telah dikomodifikasikan di pentas nasional demi meraih keuntungan.
Dalam khasanah sastra kontemporer, warna lokal Malang bisa dibilang tidak telalu kental ditemukan dalam karya sastra, jika dibandingkan misalnya dengan warna lokal Dayak yang dinarasikan Korrie Layun Rampan dan nuansa Jawa dalam prosa Darmanto Jatman dan Kuntowijoyo. Ratna Indraswari Ibrahim, prosais Malang, menulis dua buah novel berjudul ‘Lemah Tanjung’ dan ‘Pecinan Kota Malang’. Novel Lemah Tanjung dari segi tema memiliki muatan universal karena menyuarakan krisis lingkungan dan konflik antara aktivis lingkungan di Malang dan pemilik modal. ‘Lokalitas’ dalam novel ini lebih berkaitan dengan Lemah Tanjung yang merupakan hutan kota yang dimiliki Malang dan sebenarnya menjadi salah satu ikon natural yang bisa mendukung citra Malang sebagai kota berhawa sejuk dan dianugerahi berbagai keindahan pemandangan. Fenomena eksploitasi alam yang dilukiskan Ratna tidak bisa dilepaskan dari kepentingan-kepentingan global dan kapitalisme. Lebih jauh deskripsi-deskripsi Malang dan superioritas alamnya menjadi bagian dari komitmen Ratna dalam mempertahankan lingkungan. Komitmen ini dibuktikan Ratna tidak hanya melalui karya sastranya yang bernafas lingkungan tetapi juga dengan mendirikan lembaga swadaya Masyarakat Entropic Malang yang berupaya memperjuangkan lingkungan. Novel Lemah Tanjung memiliki dimensi lokal dan universal (nasional bahkan global). Isu lingkungan yang diangkat Ratna memberikan warna bagi diskursus sastra lingkungan di wilayah regional, nasional dan internasional. Persoalan degradasi lingkungan di Malang karena ulah para pemilik modal ini juga dinarasikan oleh Titik Qomariah, cerpenis yang terlibat langsung dalam perlawanan ruislag Lemah Tanjung, dalam cerpennya ‘Senja’ yang dimuat dalam kumpulan cerpen ‘Pledooi: Pelangi Sastra Malang dalam Cerpen’ (Mozaik Books: 2009). Dalam karya-karya yang menyuarakan perjuangan pelestarian lingkungan ini, khasanah alam tidak lagi semata menjelma metafora-metafora keindahan, namun menjadi entitas yang mendorong pergerakan dan perlawanan para aktivis lingkungan sebagaimana tercermin dalam sepak terjang para tokoh yang ada di dalamnya.
Novel ‘Pecinan Kota Malang’ jika dibaca secara seksama, maka yang kental di dalamnya adalah tema universal seperti eksistensi kelompok minoritas, integrasi budaya dan kehidupan keturunan etnis cina, serta hubungan orang pribumi dan peranakan cina yang juga bisa ditemukan di daerah lain. Novel karya Ratna ini menunjukkan bahwa Malang adalah kota multietnik yang dihiasi negosiasi identitas dan budaya masyarakatnya. Diaspora Cina pada umumnya memiliki mainstream budaya yang hampir seragam di berbagai kota-kota di Indonesia. Karakteristik Malang pada tahun 1950an, sebagai salah satu latar novel ‘Pecinan Kota Malang’, dinarasikan dengan baik oleh Ratna.”Kota Malang, pada tahun 50-an betul-betul sejuk. Kota yang dikelilingi gunung ini, kalau pagi masih berkabut. Kota ini ditata cantik oleh Herman Thomas Karsten, seorang arsitek Hindia Belanda” (PCM[3], 2008:1). Sebagai sebuah kota yang dulu menjadi salah satu kota hunian para penjajah Belanda, hawa malang tentu menyenangkan, mirip dengan hawa di negara-negara Eropa yang sejuk. Namun kenyamanan alam Malang di waktu lampau itu telah berubah, dan Ratna juga menceritakannya. “Malang, memang bukan Malang 10 tahun yang lampau. Udara panas menyergap kedatangannya. Anggraeni semakin kecewa, karena Malang seperti kota metropolis mini yang angkuh” (PCM, 2008:13). Transformasi ini tentu makin menghilangkan karakteristik Malang dilihat dari aspek alam dan perkembangan peradaban.
Sepeninggal Ratna Indraswari Ibrahim, jantung sastra di Malang terus berdenyut dan lokalitas serta warna lokal Malang turut serta memompanya. Keberadaan komunitas-komunitas sastra, baik itu di dalam kampus dan luar kampus, mampu membangkitkan semangat para pengarang muda, meskipun yang penting juga untuk dicatat adalah beberapa penulis di Malang tidak berproses melalui komunitas sastra. Dalam kumpulan cerpen Malang Post 2011, Denny Mizhar yang juga pegiat komunitas Pelangi Sastra Malang menulis sebuah cerpen berjudul ‘Air Terjun’. Jika dikaitkan dengan lokalitas dan warna Malang cerpen ini merupakan eksplorasi mitos air terjun Coban Rondo, salah satu lokasi wisata di Malang Raya yang cukup terkenal. Denny berusaha mentransformasikan cerita rakyat daerah Coban Rondo dalam perspektif kekinian. Tokoh Dewi Anjarwati dalam cerpen Denny adalah tokoh yang lekat dalam legenda Coban Rondo. Dalam Cerpen “Air Terjun” Denny ingin menekankan bahwa mitos juga masih masih dipercaya oleh manusia yang hidup di era modern.
Jika Denny berusaha mengangkat khasanah folklor Malang, penulis lain mencipta karya sastra dengan mengusung identitas lokal Malang yang tercermin melalui bahasa. Penyair Chakra Herlaut misalnya menulis puisi berjudul “Tua Kota Tua” untuk melukiskan Malang.”/Di sini aku berdiri/dilalui oskab dan dipayungi asap keramik sore hari/memandang kota tua yang sinis balik memandangi/” (manuskrip antologi puisi ‘Malang’ 2011 hal 7). Kata ‘oskab’ secara arbitrer telah disepakati oleh arek-arek Malang (kera-kera Ngalam) untuk mengacu pada ‘bakso’. Susunan terbalik ini menjadi ciri khas dialek Malang. Nuansa sastra berwarna lokal Malang dari segi bahasa lebih jauh bisa dilihat dalam puisi Ganis Rumpoko yang berjudul ‘Ngalam’ yang juga tertera dalam manuskrip antologi puisi ‘Malang’ 2011 hal 43:
N G A L A M
Ebes-emes
Wanyik-wanyok
Sam-kam
Halak-nganem
Nakam-kubam
Idrek-rudit
Sinam-kipa
Adapes-libom
Halokes-rontak
Utas, aud, agit…ubir
Ledome…sing tail ngingub dan tewur…
Tiap ayas karo nawak-nawak uklam-uklam di Ngalam
selalu dengar bahasa kilaban
Dari mana asalnya genaro-genaro itu bisa beristilah kerakera?!
Kadit itreng, Rulud!!
Mayoritas diksi dalam puisi Ganis di atas merepresentasikan bahasa khas Malang. Dalam konstruksi identitas, bahasa merupakan salah satu unsur penting, selain aspek budaya lainnya. Bahasa dialek Malang tersebut menegaskan lokalitas dan warna lokal. Bahasa tidak sekedar bagian dari struktur bentuk namun telah menjadi ruh identitas dan berkorelasi dengan tema bermuatan budaya. Bahasa juga menunjukkan jati diri penulis dan tokoh-tokoh ciptaannya. Posisi bahasa ‘Malangan’ dalam puisi di atas sama dengan bahasa Jawa dan bahasa etnik lainnya yang digunakan pengarang untuk menandai identitas kultural tokoh dan menegaskan ‘lokalitas’ memiliki ciri khas di tengah dialektika global. Orang dari luar Malang mengenal Malang salah satunya dari bahasanya./Tiap ayas karo nawak-nawak uklam-uklam di Ngalam/selalu dengar bahasa kilaban/ (Tiap saya dengan kawan-kawan jalan-jalan di Malang selalu terdengar bahasa ‘kebalikan’). Di berbagai kota di Indonesia spanduk bertuliskan ‘Ongis Nade’ (Singo Edan) sering berkibar. “Halak-nganem” (Kalah Menang) Aremania tetap memberikan dukungan. Hibriditas lokal dan nasional dalam puisi di atas tak terelakkan. ‘Kadit’ (tidak) adalah petanda dari bahasa Indonesia, sementara ‘Rulud’ (dulur) adalah petanda dari bahasa Jawa yang berarti saudara. Negosiasi warna lokal dan nasional dengan demikian sangat berpotensi melahirkan hibriditas kultural yang termanifestasikan dalam karya sastra.
Persoalan dan Tantangan Proses Kreatif Sastra Malang
Malang Raya terus berkembang menjadi area berbudaya hibrid dan dipenuhi para pendatang dari berbagai latar belakang budaya. Dalam masyarakat multikultural eksistensi warna lokal berpotensi tersubordinasikan bahkan menghilang. Ada beberapa persoalan yang melingkupi upaya menjadikan khasanah budaya lokal sebagai sumber inspirasi penciptaan karya sastra. Pertama, pada situasi di mana budaya-budaya tradisional yang dianggap sebagai pendukung utama nilai-nilai lokal mulai kehilangan penyangga-penyangga utamanya, seperti pewaris aktif dan pasifnya, maka eksplorasi lokalitas dalam proses kreatif sastra juga tidak akan memberikan warna kental dan signifikan karena muatan lokal hanya terkesan artifisial. Para pembaca karya sastra yang tidak mengenali warna lokal pada gilirannya juga akan terasing dengan karya yang mereka baca. Meskipun yang perlu digarisbawahi, lokalitas dan warna lokal bukanlah entitas yang statis, namun terus berkembang karena persentuhannya dengan warna nasional dan global. Penggalian khasanah lokal dengan paradigma bersastra modern mungkin dan perlu dilakukan, sehingga warna lokal tidak dinarasikan dalam perspektif yang ketinggalan zaman. Kedua, generasi sastrawan mutakhir mayoritas adalah generasi yang jauh dari tradisi lokal dan hidup dalam persimpangan berbagai budaya. Sehingga genre dan tema karya sastra yang diangkat juga merefleksikan pengaruh global. Dominasi tema dan gaya bersastra dari Eropa dan Amerika terbukti memengaruhi para sastrawan Indonesia sejak lama. Gaya bersastra barat yang dianggap lebih superior melahirkan konsekuensi negasi tema-tema lokal yang dinilai inferior. Ketiga, warna lokal sebagai sumber penciptaan sastra berwarna lokal tidak lagi lestari. Padahal, entitas dan praktek budaya lokal yang bisa dilihat dan dihayati secara langsung akan mampu melahirkan kedalaman narasi, dari pada hanya mendasarkan penciptaan karya pada eksplorasi teks-teks yang merupakan proyek-proyek dokumentasi budaya daerah. Jika dikaitkan dengan Malang Raya, berbagai fakta dan fenomena yang terjadi di dalamnya ini tidak lepas dari akselerasi pembangunan di Malang yang melahirkan gelombang budaya massa dan ciri khas metropolitan. Dalam transformasi ini posisi sastra berwarna lokal dihadapkan pada tantangan-tantangan, apakah bisa berkembang dan diterima oleh pembaca sastra.
Ruang ekspresif dan praksis budaya lokal masih mungkin terbuka. Proses kreatif sastra berwarna lokal tidak hanya bisa termanifestasikan dalam bahasa sebagai media dan pembentuk identitas, namun juga berbagai ritual dan tradisi yang menjadi ciri khas suatu daerah dan aspek-aspek budaya lokal lain seperti makanan, pakaian. Lokalitas dan warna lokal selama ini didominasi oleh latar budaya dari daerah-daerah yang memang memiliki keunikan dan akar budaya seperti sastra berwarna lokal Dayak, Madura, Jawa, Sunda, dan juga Bali.
Malang memberikan warna pada proses kreatif sastra dari khasanah budaya yang dimilikinya, seperti kisah-kisah berlatar kerajaan dan situs kepurbakalaan, cerita rakyat berbasis kearifan lokal dan lingkungan, fenomena multietnik, dan dialek lokal yang menjadi ciri khas. Jika lokalitas dan warna lokal Malang tidak digali, dipertahankan dan dijadikan sumber inspirasi maka identitas Malang hanya akan tinggal kenangan dan berada dalam angan-angan, sementara ruh kulturalnya termarjinalkan dan terancam hilang dalam pusaran global.
Daftar Pustaka:
Darma, Budi. 2003. “Sastra Kita: Menghadapi Masa Depan”. Dalam Abdul Rozak Zaidan dan Dendy Sugono (ed). Adakah Bangsa dalam Sastra?. Jakarta: Progress dan Pusat Bahasa.
Ibrahim, Ratna Indraswari. 2008. Pecinan Kota Malang. Malang: Human Publishing.
______________. 2003. Lemah Tanjung. Jakarta: Grassindo.
Mishar, Denny. 2011. “Air Terjun”. Dalam Barisan Hujan: Antologi Cerpen Pilihan Malang Post 2010. Solo: Gazzamedia.
Qomariah, Titik. 2009. “Senja”. Dalam Pledooi: Pelangi Sastra Malang dalam Cerpen. Malang: Mozaik books.
Rosidi, Ajib.1986. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta.
Sutarto, Ayu. 2004. “Pendekatan Kebudayaan: Wacana Tandingan Untuk Mendukung Pembangunan di Provinsi Jawa Timur”. Dalam Ayu Sutarto dan Setya Yuwono Sudikan (ed). Pendekatan Kebudayaan dalam Pembangunan Provinsi Jawa Timur. Jember: Kompyawisda.
Wurianto, Arif Budi. 2009. Aspek Budaya pada Upaya Konservasi Air dalam Situs Kepurbakalaan dan Mitologi Masyarakat Malang. Malang: UMM.
[1] Dalam kamus Collins Cobuild Advanced Learner’s English Dictionary (2003:845), ‘locality’ (lokalitas) didefinisikan sebagai ‘small area of a country or a city’ (bagian wilayah dari negara atau kota), sementara frase ‘Local colour’ (warna Lokal) digunakan untuk mendeskripsikan “customs, traditions, dress, and other things which give a place or period of history its own particular character” (berbagai kebiasaan, tradisi, pakaian dan berbagai khasanah budaya lainnya yang memberi ciri khas suatu daerah atau periode tertentu).
[2] Pertengahan tahun 90an pernah ada upaya revitalisasi ‘sastra pedalaman’ yang merupakan ‘counter’ atas dominasi pusat-pusat sastra. Namun, saya di sini ingin lebih memberikan tekanan pada urgensi mengeksplorasi warna lokal yang bisa memberi ciri dari ‘lokalitas’ sebagai tempat sastrawan berproses kreatif yang tentu bisa memperkuat gaya dan isi karya-karya sastrawan di daerah.
[3] ‘Pecinan Kota Malang’ karya Ratna Indraswari Ibrahim
___________
*) Tulisan Ini pernah di Sampaikan pada Acara Diskusi Sastra “Pemikiran dan Lokalitas dalamb Sastra Jawa Timur” yang diselenggarakan oleh Pelangi Sastra Malang dan Dewan Kesenian Jawa Timur.
**) Sastrawan, Pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya Malang, Alumnus Universitas Bayreuth Bayern Jerman.
Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/pelangi-sastra-malang/malang-raya-dalam-sastra-lokalitas-dan-warna-lokal-di-tengah-dinamika-global/330859616943029
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar