Surat Terbuka Pramoedya Ananta-Toer kepada Keith Foulcher
http://arusbawah20.wordpress.com/
Salam,
Surat 26 Februari 1985 saya terima kemarin, juga surat terbuka Achdiat K. Mihardja untuk teman-teman (sarjana) Australia yang dilampirkan. Terimakasih.
Lampiran itu memang mengagetkan, apalagi menyangkut-nyangkut diri saya, dan tetap dalam kesatuan semangat kaum manikebuis pada taraf sekarang: membela diri dan membela diri tanpa ada serangan sambil merintihkan kesakitannya masa lalu, yang sebenarnya lecet pun mereka tidak menderita sedikit pun. Total jendral dari semua yang dialami oleh kaum manikebuis dalam periode terganggu kesenangannya, belum lagi mengimbangi penganiayaan, penindasan, penghinaan, perampasan dan perampokan yang dialami oleh satu orang Pram. Setelah mereka berhasil ikut mendirikan rezim militer, dengan meminjam kata-kata dalam surat terbuka tsb.:
“All forgotten and forgiven” dan revisiannya: “We’ve forgiven but not forgotten.” Saya hanya bisa mengelus dada. Kemunafikan dan keangkuhan dalam paduan yang tepat, seimbang dengan kekecilan nyalinya dalam masa ketakutan. Dan Bung sendiri tahu, perkembangan sosial- budaya-politik–di sini Indonesia–bukan semata-mata ulah perorangan, lebih banyak satu prosedur nasional dalam mendapatkan identitas nasional dan mengisi kemerdekaan. Tak seorang pun di antara para manikebuis pernah menyatakan simpati–jangan bayangkan protes–pada lawannya yang dibunuhi, kias atau pun harfiah. Sampai sekarang. Misalnya terhadap seniman nasional Trubus. Japo[?] Lampong. Apalagi seniman daerah yang tak masuk hitungan mereka. Di mana mereka sekarang. Di mana itu pengarang lagu Genjer-genjer? Soekarno mengatakan: Yo sanak, yo kadang, yen mati m[?a]lu kelangan. Yang terjadi adalah– masih menggunakan suasana Jawa: tego larane, tego patine.
Masalah pokok pada waktu itu sederhana saja: perbenturan antara dua pendapat; revolusi sudah atau belum selesai. Yang lain-lain adalah masalah ikutan daripadanya. Saya sendiri berpendapat, memang belum selesai. Buktinya belum pernah muncul sejarah revolusi Indonesia. Karena memang belum ada distansi dengannya. Belum merupakan kebulatan yang selesai. Maka para sejarawan takut. Malah kata revolusi nasional cenderung dinamai dan dibatasi sebagai perang kemerdekaan.
Pertentangan manikebu dan pihak kami dulu tidak lain cuma soal polemik. Memang keras, tapi tak sampai membunuh, kan? Kan itu memang satu jalan untuk mendapatkan kebenaran umum, yang bisa diterima oleh umum? Bahwa pada waktu itu terjadi teror yang dilakukan oleh orang-orang Lekra sebagaimana dituduhkan sekarang, betul- betul saya belum bisa diyakinkan. Beb Vuyk dalam koran Belanda menuduh: teror telah dilakukan orang-orang Lekra terhadap beberapa orang, antaranya Bernard IJzerdraad. Waktu ia datang ke Indonesia dan menemuinya sendiri, IJzerdraad menjawab tidak pernah diteror. Dan Beb Vuyk tidak pernah mengkoreksi tulisannya. Beb Vuyk sendiri meninggalkan Indonesia setelah kegagalan pemberontakan PRRI-Permesta, kemudian minta kewarganegaraan Belanda.
Mungkin ia merasa begitu pentingnya bagi Indonesia sehingga dalam usianya yang sudah lanjut merasa berkepentingan untuk mendirikan kebohongan terutama untuk menyudutkan saya. pada hal dalam polemik-polemik tsb. saya hanya menggunakan hak saya sebagai warganegara merdeka untuk menyatakan pendapat. Dan saya sadari hak saya. Seperti sering kali saya katakan: kewarganegaraan saya peroleh dengan pergulatan bukan hadiah gratis.
Dan apa sesungguhnya kudeta gagal G-30S/PKI itu? Saya sendiri tidak tahu. Sekitar tanggal 24 bulan lalu saya menerima fotokopi dari seorang wartawan politik Eropa dari Journal of Contemporary Asia, tanpa nomor dan tanpa tahun, berjudul: “Who’s Plot–New Light on the 1965 Events,” karangan W.F. Wertheim. Itulah untuk pertama kali saya baca uraian dari orang yang tak berpihak. Juga itu informasi pertama setelah 20 tahun belakangan ini. Rupa-rupanya karena ketidaktahuan saya itu saya harus dirampas dari segala-galanya selama 14 tahun 2 bulan + hampir 6 tahun tahanan kota (tanpa pernyataan legal), tanpa pernah melihat dewan hakim yang mendengarkan pembelaan saya. Memang sangat mahal harga kewarganegaraan yang harus saya bayar. Maka juga kewarganegaraan saya saya pergunakan semaksimal mungkin. Itu pun masih ada saja orang yang tidak rela. Juga surat pada Bung ini saya tulis dengan menjunjung tinggi harga kewarganegaraan saya.
Sekarang akan saya tanggapi tulisan A.K.M. Ia tidak ada di Indonesia waktu meletus peristiwa 1965 itu. Tetapi saya sendiri mengalami. Saya akan ceritakan sejauh saya alami sendiri, untuk tidak membuat terlalu banyak kesalahan.
Pada 1 Oktober 1965 pagihari saya dengar dari radio adanya gerakan Untung. Kemudian berita tentang susunan nama Dewan Revolusi. Sebelum itu pengumuman naik pangkat para prajurit yang ikut dalam gerakan Untung dan penurunan pangkat bagi mereka yang jadi perwira di atas letkol. Sudah pada waktu itu saya terheran-heran, kok belum-belum sudah mengurusi pangkat? Ini gerakan apa, oleh siapa?
Saya lebih banyak di rumah daripada tidak. Kerja rutine ke luar rumah adalah dalam rangka menyiapkan Lentera dan mengajar pada Res Publika. Dan sangat kadang-kadang ke pabrik pensil di mana saya “diangkat” jadi “penasihat.”
Jadi di rumah itu saja saya “ketahui” beberapa hal yang terjadi dari suara-suara luar yang datang. Mula-mula datang Abdullah S.P., itu penantang Hamka, waktu itu baru saja bekerja di sebuah surat kabar Islam yang baru diterbitkan, dan yang sekarang saya lupa namanya. Ia mengatakan merasa tidak aman dan hendak mengungsi ke tempatku. Saya keberatan, karena memang tidak tahu situasi yang sesungguhnya. Seorang pegawai tatausaha Universitas Res Publika datang ke rumah menyerahkan honor, dan mengatakan Universitas ditutup karena keadaan tidak aman.
Ia menyerahkan honor lipat dari biasanya. Beberapa hari kemudian datang pegawai dari pabrik pensil, juga menyerahkan honor, juga lipat dari biasanya, karena pabrik terpaksa ditutup, keadaan gawat. Kemudian datang seorang teman yang memberitakan, rumah Aidit dibakar, demikian juga beberapa rumah lain. Ia juga memberitakan tentang cara massa bergerak. Mereka menyerang rumahtangga orang, kemudian datang para petugas berseragam yang tidak melindungi malah menangkap yang diserang. “Saya yakin Bung akan diperlakukan begitu juga,” katanya. Soalnya apa dengan saya? tanyaku. “Kesalahan bung, karena bung tokoh.” Itu saja? Tempatku di sini, kataku akhirnya.
Seorang penjahit, yang pernah dibisiki larangan menjahitkan pakaian saya oleh tetangga anggota PNI– penjahit itu juga tetangga–menawarkan tempat aman pada saya nun di Brebes (kalau saya tidak salah ingat). Saya ucapkan terimakasih. Mengherankan betapa orang lain dapat melihat, keamananku dalam ancaman. Seorang teman lain datang dan menganjurkan agar saya lari. Mengapa lari? tanya saya. Apa yang saya harus larikan? Diri saya? dan mengapa?
Kemudian datang seorang pengarang termuda yang saya kenal. Biasanya ia langsung masuk ke belakang dan membuka sendiri lemari makan. Ia tidak mengulangi kebiasaannya. Tingkahnya menimbulkan kecurigaan. Saya masih ingat kata- kata yang saya ucapkan kepadanya: saya seorang diri dari dulu, kalau pengeroyok memang hendak datangi saya akan saya hadapi seorang diri; tempat saya di sini.
Keadaan makin lama makin gawat. Isteri saya baru dua bulan melahirkan. adalah tepat bila ia dan anak-anak untuk sementara menginap di rumah mertua. Papan nama saya, dari batu marmer, bertahun-tahun hanya tergeletak, sengaja saya pasang di tembok depan dengan lebih dahulu memahat tembok. Sebagai pernyataan: saya di sini, jangan nyasar ke alamat yang salah.
Di tempat lain isteri kedua mertua saya mengadakan selamatan untuk keselamatan saya. Sementara itu saya tetap tinggal di rumah menyiapkan ensiklopedi sastra Indonesia. Dalam keadaan lelah saya saya beralih mempelajari Hadits Bukori. di malam hari semua lampu saya padamkan dan saya duduk seorang diri di beranda. Teman saya hanya seorang, adik saya yang pulang ke Indonesia untuk menyiapkan disertasinya, Koesalah Soebagyo Toer.
Kemudian datang tanggal 13 Oktober 1965 jam 23.00. Tahu-tahu rumah saya sudah dikepung. Lampu pagar dari 200 watt–waktu tegangan hanya 110, namun dapat dianggap terlalu mewah untuk kehidupan kampung–saya nyalakan. Di depan pintu saya lihat orang lari menghindari cahaya. Mukanya bertopeng. Tangannya membawa pikar. Malam-malam, dengan topeng pula, langsung terpikir oleh saya, barang itu tentu habis dirampoknya dari rumah yang habis diserbu. Saya tahu itu pikiran jahat. apa boleh buat karena suara- suara gencar memberitakan ke rumah, pihak militer mengangkuti anak-anak sekolah ke atas truk dan disuruh berteriak-teriak menentang Soekarno. Saya tidak pernah melihat sendiri. Saya percaya, karena pelda (atau peltu?) yang tinggal di depan rumah saya, sudah dua malam berturut- turut bicara keras di gang depan rumah, bahwa militer punya politik sendiri, Soekarno sudah tidak ada artinya. Konon ia bekas KNIL. Malah pada malam kedua ia buka mulut keras-keras sambil mondar-mandir, dan saya merasa itu ditujukan pada saya, rokok kretek saya cabut dari bibir dan saya lemparkan padanya. Terdengar ia melompat sambil memekik.
Jadi kalau saya punya pikiran jahat seperti itu bukan tidak pada tempatnya. Nah, setiap lampu pagar saya matikan, muncul gerombolan di depan pintu. Bila saya nyalakan lagi mereka lari. Jelas mereka muka-muka yang saya telah kenal. Tak lama kemudian batu-batu kali tetangga samping, yang dipersiapkan untuk membangun rumah, berlayangan ke rumah saya. Itu tidak mungkin dilemparkan oleh tenaga satu orang. Paling tidak dua orang dengan jalan membandulnya dengan sarung atau dengan lainnya. Kalau anak-anak saya masih di rumah, terutama bayi 2 bulan itu, saya tak dapat bayangkan apa yang bakal terjadi. Batu besar berjatuhan di dalam rumah menerobosi genteng dan langit-langit. Jadi benar-benar orang menghendaki kematian saya. Saya ambil tongkat pengepel dari kayu keras, juga mempersenjatai diri dengan samurai kecil (pemberian Joebaar Ajoeb sekembalinya dari Jepang). Ini hari terakhir saya, di sini, di tempat saya. Saya tahu, takkan mungkin dapat melawan satu gerombolan, tapi saya toh harus membela diri? Jalan kedua untuk bertahan adalah memberi gerombolan itu sesuatu yang mereka ingat seumur hidup: kata-kata yang lebih ampuh dari senjata.
Dengan suara cukup keras saya memekik: Ini yang kalian namai berjuang? Kalau hanya berjuang aku pun berjuang sejak muda. Tapi bukan begini caranya. Datang ke sini pemimpin kalian! Berjuang macam apa begini ini?
Ingar-bingar terhenti. Juga lemparan batu. Tiba-tiba sebongkah besar batu kali menyambar paha saya dan melesat mengenai pintu depan yang sekaligus hancur.
Lemparan batu menjadi hebat kembali. Lampu pagar sengaja dihancurkan dengan lemparan juga.
Saya dengar suara: Mana minyaknya. Sini, bakar saja. Tetapi saya dengar juga suara orang tua tetangga sebelah kiri saya, seorang dukun cinta: jangan, jangan dibakar, nanti rumah saya ikut terbakar. Tak lama kemudian terdengar suara lagi: jangan lewat di tanah saya. Waktu saya lihat ke dalam rumah adik saya sudah tidak ada. Rupanya ia meloloskan diri dari pintu pagar belakang dan langsung memasuki tanah sang dukun cinta.
Dan betul saja kata teman itu: kemudian datang orang- orang berseragam. Metode kerja yang kelak akan terus- menerus dapat dilihat. Mereka terdiri dari polisi dan militer. Saya belum lagi sempat menggunakan tongkat dan samurai saya, mereka belum lagi memasuki pekarangan rumah saya.
Komandan militer operasi dan gerombolannya saya bukakan pintu. Mereka masuk dan langsung menyalahkan saya: sia- sia melawan rakyat. Kontan saya jawab: Gerombolan, bukan rakyat.
Setelah mereka memeriksa seluruh rumah ia bilang lagi: Siapkan, pak mari kami amankan, segera pergi dari sini. Saya berteriak memanggil adik saya. Dia muncul, entah dari mana. Dijanjikan akan diamankan, saya siapkan naskah saya Gadis Pantai untuk diselesaikan dan mesin tulis. Pada seorang polisi dalam team itu saya bertanya: kenal saya? Kenal, pak. Tolong selamatkan semua kertas dan perpustakaan saya. di situ adalah perkerjaan Bung Karno (waktu itu saya belum sampai selesai menghimpun cerpen-cerpen Bung Karno, dan korespondensi Soekarno-Sartono-Thamrin masih belum memadai untuk diterbitkan). Dia berjanji untuk menyelamatkan.
Mereka giring kami berdua melalui gang. Gerombolan itu berjalan mengepung di samping dan belakang. Ada yang membawa tombak, keris, golok, belati. Benar, alat negara itu tidak menangkap gerombolan penyerbu, malah menangkap yang diserbu. Dan sebanyak itu dikerahkan untuk menumpas satu-dua orang. Hebat benar
membikin momentum qua perjuangan. Sampai di sebuah lapangan gang jurusan belakang rumah, sebelum dinaikkan ke atas Nissan mereka ikat tanganku ke belakang dan menyangkutkan ke leher, sehingga rontaan pada tangan akan menjerat leher. Tali mati. Bukan simpul mati yang diajarkan di kepanduan. Tali mati.
Macam ikatan yang dipergunakan untuk tangkapan yang akan dibunuh semasa revolusi dulu. Tentu saja saya menyesal akan mati dalam keadaan seperti ini. Lebih indah bila dengan bertarung di atas tanah tempat saya tinggal. Melewati jembatan depan rumahsakit umum pusat Koptu Sulaiman menghantamkan gagang besi stennya pada mataku. Cepat saya palingkan kepala dan besi segitiga itu tak berhasil mencopot bola mata tetapi meretakkan tulang pipi. Saya memahami kemarahannya, bukan padaku sebenarnya, tapi pada atasannya, karena tak boleh ikut memasuki rumah saya. Mereka bawa kami ke Kostrad, kalau saya tidak keliru. Yang sedang piket adalah seorang Letkol. Kami diturunkan di situ, dan pada perwira itu saya minta agar kertas dokumentasi dan perpustakaan diselamatkan.
Kalau Pemerintah memang menghendaki agar diambil, tapi jangan dirusak. Ia menyanggupi. Dari situ kami dibawa memasuki sebuah kompleks perumahan yang saya tak tahu kompleks apa. Dari jendela nampak puncak emas Monas. Kemudian saya dapat mengenali rumah itu; hanya masuknya tidak berkelok- kelok melalui kompleks, tetapi langsung dari jalan raya, karena pada 1955 di ruang yang sama saya pernah menemui Erwin Baharuddin, bekas sesama tahanan Belanda di penjara Bukitduri.
Piket mengambil semua yang saya bawa di tangan, naskah dan mesin tulis, juga samurai yang tersisipkan dalam kaos kaki. Waktu ia tinggal seorang diri rolex saya dikembalikan, berpesan supaya jangan kelihatan, sembunyikan baik-baik. kami dipersilakan ke sebuah ruangan tempat di mana sudah menggeloyor di lantai beberapa orang. Seorang adalah Daryono dari suatu SB (entah SB apa) dan seorang perjaka jangkung tetangga sendiri. Piket yang mengembalikan jamtangan itu memasuki ruangan tempat kami tergolek di lantai. Di sebuah papantulis besar tertulis dengan kapur: Ganyang PKI. Ia pergi ke situ dan menghapus tulisan itu sambil berguman: apa saja ini!
Seorang bocah berpangkat kopral, bermuka manis, menghampiri dan menanyai ini-itu. Saya tanyakan apa pangkatnya. Ia menjawab dengan pukulan dan tempeleng, kemudian pergi. Kurang lebih dua jam kemudian saya lihat Nissan patrol datang dan menurun-nurunkan barang. Beberapa contoh ditaruh di atas meja di ruangan tempat kami menggeletak di lantai. Saya kenal benda-benda itu: kartotik file saya sendiri, dokumentasi potret sejarah, malah juga klise timah yang saya siapkan untuk saya pergunakan dalam jangka panjang. Saya jadi mengerti perpustakaan dan dokumentasi saya, jerih-payah selama lima belas tahun telah dibongkar, 5.000 jilid buku dan beberapa ton koleksi suratkabar. Angka-angka itu saya dapatkan dari sarjana perpustakaan yang sekitar dua tahun membantu saya.
Tangkapan-tangkapan baru terus berdatangan. Ada yang sudah tak bisa jalan dan dilemparkan ke lantai. Kemudian datang tangkapan yang langsung mengenali saya.
Ia bertanya mengapa saya berlumuran darah. Baru waktu itu saya sadar kemejaku belang-bonteng kena darah sendiri, demikian juga celana, yang rupanya teriris batu kali yang dilemparkan. Dialah yang bercerita, semua kertas saya diangkuti militer. Massa menyerbu dan merampok apa saja yang ada, sampai-sampai mangga yang sedang sarat berbuah digoncang buahnya. Tak ada satu cangkir atau piring tersisa. Rumah bung tinggal jadi bolongan kosong blong.
Jangan dikira ada perasaan dendam pada saya; tidak. Justru yang teringat adalah satu kalimat dari Njoto, yang A.K.M. juga kenal: Tingkat budaya dan peradaban angkatan perang kita cukup rendah, memprihatinkan, kita perlu meningkatkannya. Saya juga teringat pada kata-kata lain lagi: Kalau kau mendapatkan kebiadaban, jangan beri kebiadaban balik, kalau mampu, beri dia keadilan sebagai belasan. Dalam tahanan di RTM tahun 1960 saya mendapatkan kata baru dari dunia kriminal: brengsek. Sekarang saya dapat kata baru pula: di-aman-kan, yang berarti: dianiaya, sama sekali tidak punya sangkut-paut dengan aman dan keamanan. Sebelum itu saya punya patokan cadangan bila orang bicara denganku: ambil paling banyak 50% dari omongannya sebagai benar. Sekarang saya mendapatkan tambahan patokan: Kalau yang berkuasa bilang A, itu berarti minus A. Apa boleh buat, pengalaman yang mengajarkan.
Di antara orang kesakitan di kiri dan kanan saya, di mana orang tidak bisa dan tidak boleh ditolong, terbayang kembali wartawan Afrika–saya sudah tidak ingat dari Mali, Ghana atau Pantai Gading–yang waktu naik mobil pertanyakan: Apa Nasakom itu mungkin? Apa itu bukan utopi?
Saya jawab: di Indonesia diperlukan suatu jalan. Setiap waktu bom waktu kolonial bisa meletus. Itu kami tidak kehendaki. Nampaknya Nasakom sebagai kenyataan masih dalam pembinaan. Dia bilang: Kalau Nasakom gagal? Bukankah itu berarti punahnya pemerintah sipil, karena Nasakom tersapu? Jawabku: Kami hanya bisa berusaha. Dia bilang lagi: Kalau Nasakom disapu, tidak akan lagi ada kekuatan nasionalis, agama maupun komunis! Dialog selanjutnya saya sudah tak ingat.
Pagi itu-itu diawali kedatangan serombongan wartawan Antara, tanpa sepatu, semua lututnya berdarah. Di antaranya paman saya sendiri, R. Moedigdo, yang saya tumpangi hampir 3,5 tahun semasa pendudukan Jepang. Dia pun tak terkecuali. Kemudian saya dengar, mereka baru datang dari tangsi CPM Guntur dan habis dipaksa merangkak di atas kerikil jalanan. Menyusul datang power. Orang- orang militer melempar-lemparkan tangkapan baru itu dari atas geladak dan terbanting ke tanah. Ruangan telah penuh- sesak dengan tangkapan baru, sampai di gang-gang. Itu berarti semakin banyak erangan dan rintihan. Di antaranya terdapat sejumlah wanita. Sedang gaung dari pers yang menyokong militer sudah sejak belum ditangkap, tak henti- hentinya menalu gendang untuk membangkitkan emosi rakyat terhadap PKI dan organisasi massanya: Gerwani di Lubangbuaya memotongi kemaluan para jendral dan melakukan tarian cabul dan semacamnya, tipikal buah pikiran orang yang tak pernah mempunyai cita-cita. Bulu kuduk berdiri bukan karena tak pernah menduga orang Indonesia bisa membuat kreasi begitu kejinya.
Kemudian datang waktu pemeriksaan. Saya dibawa ke ruang pemeriksaan, yang sepanjang jam, siang dan malam diisi oleh raungan dan pekikan. Juga dari mulut wanita. Memang ruang yang saya masuki waktu itu tidak seriuh biasanya. Alat-alat penyetrum tidak dikerahkan. Di pojokan seorang KKO bertampang Arab, hitam, tinggi dan langsing, dingan kaki bersepatu bot menginjak kaki telanjang yang diperiksanya. Dan di antara jari-jemari pemuda malang itu disisipi batang pensil dan tangan itu kemudian diremas si pemeriksa sambil tersenyum dan bertanya: Ada apa? Ada apa kok memekik? Di samping pemuda itu adalah saya, diperiksa oleh seorang letnan (atau kapten?) bernama Nusirwan Adil.
Di luar dugaan pemeriksaan terhadap saya tidak disertai penganiayaan seperti dideritakan pemuda malang di samping kiri saya. Pemeriksa itu tenang dan sopan, dan mungkin cukup terpelajar dan beradab. Ia memulai dengan pertanyaan mengapa saya berdarah-darah.
Jawab: terjatuh.
Tapi itu bukan termasuk dalam acara pemeriksaan.
Pertanyaan: Bagaimana pendapat tentang gerakan Untung?
Jawab: tidak tahu sesuatu tentangnya.
Pertanyaan: Apa membenarkan gerakan itu?
Jawab: Kalau mendapat kesempatan mempelajari kenyataan- kenyataannya yang authentik mungkin dalam lima tahun sesudahnya saya akan bisa menjawab pertanyaan itu.
Sebelum meneruskan tentang pemeriksaan ini saya sisipkan dulu beberapa hal sebelum penangkapan saya.
Pertama: sejak semula saya sependapat bahwa gerakan Untung, yang kemudian dinamai G-30S/PKI, adalah gerakan dalam tubuh angkatan darat sendiri. Pendapat itu tetap bertahan sampai sekarang, juga sebelum membaca tulisan Wertheim dalam Journal of Contemporary Asia. Berita-berita pengejaran dan pembunuhan semakin hari semakin banyak dan menekan.
Kedua: seorang perwira intel pernah datang berkunjung khusus untuk menyampaikan, bahwa militer akan memainkan peranan kucing terhadap PKI sebagai tikus.
Tiga: dua mahasiswa UI telah dilynch di jalanan raya yang baru dibangun, masih lengang, di sekitar kampus.
Keempat: pemeriksaan terhadap para tangkapan berkisar pada dua hal, pertama keterlibatan dalam peristiwa Lubangbuaya, kedua keanggotaan Pemuda Rakyat dan PKI.
Kelima: beberapa hari sebelum penangkapan seorang pegawai Balai Pustaka mengumumkan dalam harian Api Pancasila di Jakarta, bahwa saya adalah tokoh Pemuda Rakyat. Karena sebagai pelapor ia menyebutkan diri pegawai Balai Pustaka, jadi saya datang menemui direktur BP–waktu itu Hutasuhut, kalau saya tidak salah ingat–dan mengajukan protes karena BP dipergunakan sebagai benteng untuk menyebarkan informasi yang salah tentang saya. Direktur BP menolak protes saya. Pegawai yang menulis itu tinggal beberapa puluh langkah dari rumah saya. Dalam peristiwa plagiat Hamka ia pernah mengirimkan surat pembelaan untuk Hamka dan hanya sebagian daripadanya saya umumkan.
Dan memang ruangan rumah saya pernah dipinjam untuk pendirian ranting Pemuda Rakyat. Tetapi itu bukan satu- satunya. Kalau sore ruangan belakang juga menjadi tempat taman kanak-kanak (reportase tentangnya pernah ditulis oleh Valentin Ostrovsky, kalau saya tidak meleset mengingat). Setiap Kamis malam ruangan depan dipergunakan untuk tempat diskusi Grup diskusi Simpat Sembilan. Setiap pertemuan didahului dengan pemberitahuan pada kelurahan. Jadi tidak ada sesuatu yang dapat dituduhkan illegal.
Keenam: seseorang menyampaikan pada saya, mungkin juga pada sejumlah orang lagi, kalau diperiksa adakan anggota PKI atau ormasnya, akui saja ya–tidak peduli benar atau tidak; soalnya mereka tidak segan-segan membikin orang jadi invalid seumur hidup untuk menjadi tidak berguna bagi dirinya sendiri pun untuk sisa umurnya selanjutnya. Dan, tidak semua orang tsb., dapat saya sebut namanya, karena memang tidak mampu mengingat–hampir 20 tahun telah liwat.
Jadi waktu pemeriksa menanyakan apakah saya anggota PKI, saya jawab ya.
Pertanyaan: Apakah percaya negara ini akan jadi negara komunis?
Jawab: Tidak dalam 40 tahun ini.
Sebabnya?
Faktor geografi dan konservativitas Indonesia.
Cuma itu sesungguhnya isi pemeriksaan pokok. Tetapi karena selama dalam penahanan itu harian Duta Masyarakat memberitakan reportase tentang penyerbuan gerombolan itu ke rumah saya dan rumah S. Rukiah Kertapati, di mana disebutkan di rumah saya ditemukan buku-buku curian dari musium pusat dan di rumah Rukiah setumpuk permata, jadi pemeriksaan berpusat pada soal pencurian tsb. Memang saya pernah meminjam satu beca majalah, harian dan buku dari musium pusat. Yang belum saya kembalikan adalah Door Duisternis to Licht Kartini dan harian Medan Prijaji tahun 1911 dan 1912. Kalau arsip itu tersusun baik, akan bisa ditemukan, bahwa sumbangan saya ada 10 kali lebih banyak dari pada yang masih saya pinjam.
Dengan demikian pemeriksaan selesai. Benar-tidaknya omongan saya ini dapat dicek pada proces verbal, sekiranya masih tersimpan baik pada instansi yang berwenang.
Bila ada selisih, soalnya karena waktunya sudah terlalu lama.
Mungkin Bung bertanya dari mana saya tahu ada berita dalam Duta Masyarakat yang menuduh saya mencuri. Ya, pada suatu pagi muncul seorang kapten di ruang tempat serombongan tahanan. Ia langsung mengenali saya, sebaliknya saya mengenal dia sebagai sersan di RTM tahun 1960. Ia bertubuh tinggi, berkulit langsat dan bibir atasnya suwing. Saya tak dapat mengingat namanya. Suatu malam ia kunjungi aku di kamar kapalselam (sel isolasi) di RTM itu. Banyak mengobrol, antara lain ia bercerita pernah ikut pasukan merah dalam Peristiwa Madiun. Pagi itu ternyata ia berpangkat kapten. Langsung ia bertanya di mana Sjam. Itu untuk pertama kali saya dengar nama itu. Tapi ia segera membatalkan pertanyaanya dengan kata-kata: Ah, Pak Pram sastrawan, tentu tidak tahu siapa dia. Ramahnya luarbiasa, bawahannya diperintahkannya untuk mengambilkan kopi dan menyediakan veldbed untuk saya. Dan hanya perintah pertama yang dilaksanakan. Setelah ia pergi seorang sersan gemuk yang terkenal galak, dari Sulawesi, kalau tak salah ingat, juga seorang haji, memanggil saya dengan ramahnya dan menyuruh saya membaca Duta Masyarakat itu.
Nah Bung, setelah pemeriksaan satu rombongan dikirim ke CPM Guntur. Sebelum pergi saya minta pada Nusyirwan Adil untuk membebaskan adik saya, karena baru saja datang ke Indonesia untuk menyiapkan disertasinya. Ia luluskan permintaan saya, diketikkan surat pembebasan. Sebelum pergi ia saya titipi jam tangan saya, untuk dipergunakan belanja istri saya.
Di Guntur hanya untuk didaftar dan dirampas apa yang ada dalam kantong para tangkapan. Sepatu sampai sikatgigi dan ikatpinggang. Waktu itu baru saya sadari di dalam kantong saya masih tersimpan honorarium dari Res Publika dan pabrik pensil. Semua dirampas dengan alasan: nanti dalam tahanan agar tidak dicuri temannya.
Dari guntur kami dibawa ke Salemba. Tangan tetap di atas tengkuk dan tubuh harus tertekuk, tidak boleh berdiri tegak, setinggi para penangkap. Dalam pelataran-pelataran penjara itu nama dibaca satu-persatu oleh seorang militer. Waktu sampai pada giliran saya ia berhenti dan berseru: Lho, Pak Pram, di sini ketemu lagi? Peltu (atau pelda) itu adalah pengawal bersepedamotor yang mengawal sebuah sedan biru-tua dalam bulan November 1960 dari Peperti Peganggsaan ke RTM Jl. Budi Utomo. Dalam sedan itu saya, setelah diminta “diwawancarai” oleh Sudharmono, mayor BC Hk. Dan peltu atau pelda di depanku Oktober 1965 itu adalah Rompis.
Sejak itu berkelanjutan perampasan hak-hak kewarganegaraan dan hak-hak sipil saya selama hampir 20 tahun ini. Dan Bung Keith, tidak satu orang pun dari kaum manikebuis itu terkena lecet, tidak kehilangan satu lembar kertas pun. Sampai sekarang pun mereka masih tetap hidup dalam andaian, sekiranya kaum kiri menang.
Dari menara andaian itu mereka menghalalkan segala: perampasan, penganiayaan, penghinaan, pembunuhan. Tetap hidup dalam kulit telur keamanan dan kebersihan, suci, anak baik-baik para orangtua, dan anak emas dewa kemenangan. Paling tidak sepuluh tahun lamanya saya melakukan kerjapaksa, mereka satu jam pun tidak
pernah. Nampaknya mereka masih tidak rela melihat saya hidup keluar dari kesuraman. Waktu saya baru pulang dari Buru, banyak di antaranya yang memperlihatkan sikap manis. Bukan main. Tetapi setelah saya menerbitkan BM, wah, kembali muncul keberingasan.
Tentang A.K.M. sendiri pertama kali saya mengenalnya pada tahun 1946, di sebuah hotel di Garut. Ia tidak mengenal saya. Waktu itu saya sedang dalam sebuah missi militer. Ia datang ke hotel itu dan ngomong-ngomong dengan pemiliknya. Namanya tetap teringat, karena waktu itu ia redaktur majalah Gelombang Zaman yang terbit di Garut.
Pertemuan kedua ialah di Balai Pustaka, waktu ia masih jadi pegawai Balai Pustaka yang dikuasai oleh kekuasaan pendudukan Belanda. Setelah penyerahan kedaulatan ia jadi sep saya dalam kantor yang sama–ya saya sebagai pegawai negeri dengan pengalaman semasa revolusi sama sekali tidak diakui, karena semua pegawainya bekas pegawai kekuasaan Belanda. Sewaktu ia hidup aman di Australia, ternyata ia masih dalam hidup dalam andaian, dan sebagaimana yang lain- lain tetap membiakkan pengalaman kecil-mengecil semasa Soekarno untuk jadi gabus apung dalam menyudutkan orang- orang semacam saya. Titik tolaknya tetap andaian. Semua tidak ada yang mencoba menghadapi saya secara berdepan, dari dulu sampai detik saya menulis ini.
Dalam pada itu yang dirampas dari saya sampai detik ini belum dikembalikan. Rumah saya diduduki oleh militer, dari sejak berpangkat kapten sampai mayor atau letkol, bahkan bagian belakang disewakan pada orang lain. Itu pun hanya rumah kampung, namun punya nilai spiritual bagi keluarga dan saya sendiri. Barangkali ada gunanya saya ceritakan.
Saya mendirikannya pada tahun 1958 bulan-bulan tua. pajak Honoraria seorang pengarang adalah 15 persen, langsung dipotong oleh penerbit. Waktu saya menyiarkan protes tentang tingginya pajak yang 15 persen, tidak lebih dari seminggu kemudian perdana menteri Djuanda menaikkannya jadi 20 persen, sama dengan pajak lotre. Maka juga pendirian rumah itu melalui ancang-ancang panjang. Kumpul-kumpul dulu kayu dari meter kubik pertama hingga sampai sepuluh dst. Saya merencanakan rumah berdinding bambu sesuai dengan kekuatan. Sepeda motor saya, BSA 500cc.–sepeda motor militer sebenarnya–juga dikurbankan. Tiba-tiba mertua lelaki datang dan mengecam: mengapa mesti bambu? Itu terlalu mahal biayanya. Menyusul perintah: tembok! Ternyata bukan asal perintah. Ia tinggalkan pada saya dua puluh ribu rupiah. Kalau sudah ada, kembalikan, katanya lagi. Maka jadilah rumah tembok yang terbagus di seluruh gang. Ternyata tidak sampai di situ ceritanya. Rekan-rekan yang tidak bisa mengerti, seorang pengarang bisa mendirikan rumah, mulai dengan desas-desusnya. Satu pihak mengatakan, saya telah kena sogok Rusia. ada yang mengatakan RRT. Teman-teman yang dekat mengatakan saya telah kena sogok Amerika. Orang tetap tidak percaya seorang pengarang bisa membangun rumah sendiri. Mereka lupa, dalam Bukan Pasar Malam telah saya janjikan pada ayah saya untuk memperbaiki rumah, dalam tahun pertama saya keluar dari penjara Belanda. yang saya lakukan lebih daripada apa yang saya janjikan, saya bangun baru, dan pada masanya adalah rumah terbagus di seluruh kompleks, sekali pun hanya berdinding kayu jati. (Sekarang memang jati lebih mahal dari tembok).
Kami sempat meninggali rumah kampung itu hanya sampai tahun 1965 atau 7 tahun. Orang yang tidak berhak justru selama hampir 20 tahun. Iseng-iseng pernah saya tanyakan; jawabnya seenaknya: apa bisa membuktikan rumah itu bukan pemberian partai? Habis sampai di situ. Pada yang lain mendapat jawaban: jual saja rumah itu, separohnya berikan pada penghuninya. Dan saya bilang: saya tidak ada prasangka orang yang menghuni rumah saya itu dari golongan pelacur. Walhasil sampai sekarang tetap begitu saja.
Baik, kaum manikebuis masih belum puas dengan segala yang saya alami. Saya sama sekali tidak punya sedikitpun perasaan dendam. Setiap dan semua pengalaman indrawi mau pun jiwai, bukan hanya sekedar modal, malah menjadi fondasi bagi seorang pengarang.
Apa yang dialamai A.K.M. semasa Soekarno masih belum apa-apa dibandingkan yang saya alami. Peristiwa Kemayoran? Pada 1958 sepulang dari Konferensi Pengarang A- A di Tasykent lewat Tiongkok saya tidak diperkenankan lewat Hongkong dan terpaksa lewat Mandalay, Burma. Artinya, dengan kesulitan tak
terduga. Sampai di Rangoon pihak Kedutaan RI tidak mau membantu memecahkan kesulitan saya. Apa boleh buat, tidak ada jalan bagi saya daripada mengancamakan memanggil para wartawan Rangoon dan Jawatan Imigrasi Burma, memberikan pernyataan, bahwa ada kedutaan yang tak mau mengurus warganegaranya yang terdampar. Mereka terpaksa mengurus saya sampai tiba di Jakarta. Dari Rangoon kemudian datang surat yang menuntut macam- macam. Saya hanya menjawab dengan caci-maki dengan tembusan pada menteri luarnegeri, waktu itu Dr. Subandrio. Saya harap surat itu masih tersimpan dalam arsip. Peristiwa itu terjadi berdekatan dengan hari saya menghadap Bung Karno untuk menyerahkan dokumen keputusan Konferensi di samping juga bingkisan dari Ketua Dewan Menteri Uzbekistan, Syaraf Rasyidov, kepadanya, disaksikan oleh beberapa orang, diantaranya Menteri Hanafi. Tak terduga dalam pertemuan itu terjadi sedikit pertikaian dengan Bung Karno. Ia memberi saya suatu instruksi dan saya menolak, karena sebagai pengarang saya punya porsi kerja sendiri. Pertikaian ini kemudian melarut, yang saya anggap wajar, sampai akhirnya atas perintah Nasution saya ditahan di RTM, kemudian ke tempat lebih keras di Cipinang, karena menentang PP 10.
Hampir satu tahun dalam penjara, kemudian dilepaskan dalam satu rombongan dan dengan satu nafas dengan para pemberontak PRRI-Permesta sebagai hadiah terbebasnya Irian Barat. Pada hal tidak lebih dari 3 tahun sebelumnya Nasution itu-itu juga memberi saya surat penghargaan no. 0002 untuk bantuan pada angkatan perang dalam melawan PRRI di SumBar.
Penahanan 1960-61 itu merupakan pukulan pahit bagi saya. Bukan saya yang melakukan adalah kekuasaan Pemerintah saya sendiri. Juga sama sekali tidak ada setitik pun keadilan di dalamnya. Saya merasa hanya menuliskan apa yang saya anggap saya ketahui, dan berdasarkan padanya pendapat saya sendiri. Dengan nama jelas, lengkap. Alamat saya pun jelas, bukan seekor keong yang setiap waktu dapat memindahkan rumahnya. Saya membutuhkan pengadilan. Dan itu tidak diberikan kepada saya. Dalam isolasi ketat di Cipinang saya kirimkan surat pada Bung Karno melalui Ngadino, kemudian mengganti nama jadi Armunanto, kepala redaksi Bintang Timur dan anggota DPA. Surat itu bertujuan untuk mendapat hukuman yang justified, entah sebagai pengacau, entahlah sebagai penipu.
Setidak-tidaknya bukan yang seperti sekarang. Ia tidak meneruskannya, dengan alasan ada orang lain menyimpan tembusannya. Orang itu adalah H.B. Jassin. Saya yakin surat itu masih tersimpan.
Dapat Bung bandingkan, bahwa andaian kesulitan semasa Soekarno masih tidak berarti dengan kenyataan kesulitan yang saya sendiri alami.
Saya heran, bahwa di dalam halaman 2 A.K.M. menyatakan keheranannya mengapa namanya dicoret dari daftar pencalonan Front Nasional. Terasa lucu dan naif, selama ia sendiri tidak punya kekuasaan untuk menentukannya. Katanya Lekra membakari bukunya? Saya baru tahu dari halaman itu. Mungkin Boen S. Oemarjati yang berhak memberi penjelasan.
Di halaman 3 alinea pertama terdapat kisah yang mengagumkan tentang Taslim Ali. Saya sering datang ke tempatnya di gedung perusahaan Intrabu. Jadi dalam gambaran saya orang yang “selalu menterornya dengan meletakkan pestol di atas meja” -nya itu adalah saya. Pramoedya Ananta Toer. Soalnya surat Goenawan Muhammad tertanggal 28 November 1980 pada Sumartana mengatakan (hlm.3): “Achdiat pernah bercerita, bahwa Pram pernah datang ke Balai Pustaka dengan meletakkan pistol di meja.” Kapan itu terjadi? Pestol siapa? Siapa yang saya temui dan saya teror? Kiranya, kalau Goenawan tak berandai- andai, A.K.M. sendiri yang berhak menjawab. Dalam alam kemerdekaan nasional memang pernah saya bersenjata api. Suatu hari dalam 1958. Bukan pestol, tapi parabellum. Tempat: dalam sebuah jeep dalam perjalanan antara Bayah dengan Cikotok. Saksi: seorang letnan angkatan darat. Ia membutuhkan bantuan saya untuk menyelidiki benar-tidaknya ada boulyon-boulyon emas disembunyikan oleh Belanda sebelum meninggalkan Jawa pada 1942 di dasar tambang mas Cikotok, dengan kesimpulan, bahwa semua itu omong kosong belaka. Mengapa bersenjata? Karena sebelumnya sebuah kendaraan umum telah dicegat DI, dibakar. Dan bangkainya masih nongkrong di pinggir jalan. Sebagai pengarang saya masih lebih percaya kepada kekuatan kata daripada kekuatan peluru yang gaungnya hanya akan berlangsung sekian bagian dari menit, bahkan detik. Dan saya pun tidak pernah bisa diyakinkan ada orang datang untuk menteror Taslim Ali. Apa yang bisa didapatkan dari dia?
Sebaiknya A.K.M. menyebut jelas siapa nama penteror itu.
Di halaman 5 tulisan A.K.M. alinea terbawah ditulis bahwa: “di depan rumahnya saya sempat menyusukan selembar 10 ribu rupiah ke dalam kepalannya. Dia agaknya begitu terharu, sehingga nampak matanya basah tergenang,” dan “saya tahu Pram tentu butuh duit ketika itu.” Memang agak janggal menampilkan saya saya semacam itu. Pada waktu itu saya tidak dapat dikatakan dalam kesulitan keuangan. Segera setelah pulang dari Buru sejumlah bekas tahanan Buru datang pada saya minta dibantu memecahkan kesulitan mereka mencari penghidupan. Memang pihak gereja telah banyak membantu, dan saya menghormati dan menghargai jasanya pada mereka dengan tulus. Tetapi selama status dan namanya bantuan barang tentu tidak mencukupi kebutuhan apalagi untuk keluarganya. Jadi saya dirikan sebuah PT pemborong bangunan, sebuah usaha yang bisa menampung banyak tenaga. Pada waktu A.K.M. datang ke rumah telah 36 orang ditampung, sebagian berkeluarga. Tidak kurang dari 5 rumah dikerjakan, di antara 2 rumah mewah. Ada di antara mereka menumpang ada saya. Usaha ini telah dapat memberi hidup (terakhir) 60 orang dengan keluarganya. Tapi kesulitan itu? Beberapa kali datang intel, yang dengan lisan mengatakan, rumah saya jadi tempat berkumpul tapol.
Beberapa orang dari kantor kotapraja memberi ultimatum untuk menyediakan uang sekian ratus ribu dalam sekian hari. Seseorang datang dan mengibar-ngibarkan kartu identitasnya sebagai intel Hankam. Seorang datang mengaku sebagai pegawai sospol Depdag dengan tambahan keterangan, teman-temannya orang Batak banyak, dan orang tidak selamanya waspada. Tak akan saya katakan apa maksud kedatangan mereka. Itu yang datang dari luar. Kesulitan dari dalam pun tak kalah banyaknya. Teman-teman bekas tapol rata-rata sudah surut tenaganya karena tua. Mereka belum terbiasa dengan teknik baru pembangunan rumah sekarang.
Mereka tidak terbiasa dengan material baru dan pengerjaannya. Di samping itu kerjapaksa berbelas tahun tanpa imbalan tanpa penghargaan, setiap hari terancam hukuman, telah berhasil merusakkan mental sebagian dari mereka. Dalam pekerjaan yang mereka hadapi mereka tidak berbekal ketrampilan vak. Sedang impian berbelas tahun dalam posisinya sebagai budak-budak Firaun adalah terlalu indah. Seorang yang di Buru mempunyai setiakawan begitu tinggi dan diangkat jadi kepala kerja, kemudian lari membawa uang, dan bukan sedikit. Seorang yang relatif masih muda, suatu malam datang dengan membawa truk dan mengangkuti material bangunan yang telah tersedia dan menjualnya di tempat lain dengan harga rendah untuk dirinya sendiri. Seorang lagi yang juga tergolong muda, sama sekali tanpa ketrampilan tukang, mendadak mengorganisasi pemogokan dengan tuntutan berlipat dari hasil kerjanya. Pick-up Luv Chevrolet, sumbangan teman- teman Savitri, dalam 3 bulan sudah berban gundul dan penyok-penyok.
Pukulan lain yang tak kurang menyulitkan datang. Memang sudah diselesaikan sekitar 8 rumah dengan keadaan seperti itu. Kemudian dua di antara yang dibangunkan rumahnya tidak mau melunasi kewajibannya, mengetahui kedudukan hukum kami lemah. Berkali-kali Savitri minta pertanggungjawaban atas bantuan teman-temannya yang diberikan. Saya tak mampu lakukan itu. Tidak lain dari saya sendiri yang akan merasa malu, dan semua harus saya telan sendiri. Akhirnya saya perintahkan pembubaran PT itu tanpa pernah memberikan pertanggungjawaban pada teman- teman Savitri.
Nah Bung, seperti itu situasi waktu terima selembar sepuluh ribu itu, yang sama sekali tidak pernah saya kira akan dipergunakan oleh A.K.M. untuk memperindah gambaran tentang dirinya. Semua kebaikan tidak akan sia-sia memang bila tidak berpamrih. Dengan pamrih pun tentu saja tidak mengapa, sejauh setiap tindak manusia yang sadar pasti mempunyai motif. Tetapi bila pemberian dipergunakan sebagai investasi, yang setiap waktu dikutip ribanya, sekalipun hanya riba moril, itu memang betul-betul investasi, bukan pemberian. Dan siapa di dunia ini tidak pernah menerima? Waktu saya baru datang dari Buru dan sejumlah orang yang datang hanya untuk bersumbang. Jumlahnya dari 60 sampai 100 ribu, di antaranya 3 mesin tulis, yang tiga-tiganya langsung diteruskan untuk tapol yang lebih memerlukan.
Demikian juga halnya dengan uang pemberian. Saya pribadi praktis tidak ada uang dalam kantong. Itu akan kelihatan bila berada di luar rumah. Di Buru pun ada sejumlah pemberi, dari lingkungan dalam dan luar tapol, dari satu sampai sepuluh ribu. Dalam keadaan sulit di Buru pun orang normal tidak bisa tinggal jadi penerima saja. Terutama pihak gereja Katholik pernah memberi keperluan tulis-menulis saya setiap bulan. Bahkan pernah saya terima 2 kali berturut satu kardus besar berisi kacamata, dan pakaian untuk saya pribadi. (Sampai sekarang saya simpan.) Maksud saya hanya untuk menerangkan, pada bangsa-bangsa terkebelakang, atau menurut redaksi baru bangsa-bangsa yang berkembang, memberi adalah keluarbiasaan dan menerima adalah kebiasaan yang perlu dinyatakan.
Jangan dikira saya menulis demikian dengan emosi. Tidak. Suatu dialog bagi saya tetap lebih menyenangkan daripada monolog. Setidak-tidaknya dialog adalah pencerminan jiwa demokratis. Tetapi ucapan all forgiven and forgotten atau we’ve forgiven but not forgotten, benar- benar produk megalomaniak yang disebabkan mendadak bisa melesat dari kompleks inferiornya, bukan karena kekuatan dalam, tapi luar dirinya.
Tentang Pancasila di hlm. 6, saya takkan banyak bicara kecuali menyarankan untuk membuka-buka kembali pers Indonesia semasa Soekarno, khususnya sekitar sebab mengapa presiden RI membubarkan konstituante itu. Golongan mana yang menolak dan mana yang menerima Pancasila sebelum dapat interpretasi atau pun revisi, formal ataupun non- formal.
Dalam hubungan ini saya teringat pada ucapan Nyoto, kalau tidak salah di alun-alun Klaten pada tahun 1964, bahwa nampak ada kecenderungan pada suatu golongan masyarakat (saya takkan mungkin mampu mereproduksi redaksinya) yang membaca kalimat-kalimat Pancasila menjadi: Satu, Ketuhanan yang Maha Esa; Dua, Ketuhanan yang Maha Esa; Tiga, Ketuhanan yang Maha Esa; Empat, Ketuhanan yang Maha Esa; dan Lima, Ketuhanan yang Maha Esa. Dia tidak dalam keadaan bergurau.
Selama 14 tahun dalam tahanan ucapan Nyoto bukan saja menjadi kebenaran, lebih dari itu. Dakwah-dakwah yang diberikan, atau lebih tepatnya dengan istilah orde baru santiaji, orang tidak menyinggung sila-sila lain sesudah sila pertama, kalau menyinggung pun hanya sekedar penyumbat botol kosong: beragama dan tidak beragama berarti sembahyang. Tidak bersembahyang berarti tidak pancasilais, bisa juga anti-pancasila. Ya, buntut panjang itu rupanya diperlukan untuk menterjemahkan alam pikiran formalis Pribumi Indonesia, tidak mampu membebaskan diri dari lambang-lambang, upacara, hari peringatan, pangkat dan tanda-tandanya–dan bagi suku Jawa cukup lengkap di dideretkan dalam sastra wayang.
Berdasarkan pengalaman sendiri saya dapat katakan: Revolusi Indonesia tidak digerakkan oleh Pancasila; ia digerakkan oleh patriotisme dan nasionalisme. Baru pada 1946 saya pernah mendapat tugas untuk memberi penerangan tentang Pancasila dan PBB kepada pasukan. Selanjutnya tetap tidak ada pertautan antara Pancasila dengan Revolusi.
Saya menghormati pandangan A.K.M. tentang Pancasila yang ia yakini, sekali pun dengan Pancasila itu juga orang- orang sejenis kami di-buru-kan sampai 10 tahun, dan A.K.M. tidak pernah melakukan sesuatu protes. Dan pertanyaan kemudian, apakah ia tetap berpandangan demikian–artinya tak perlu melaksanakannya dalam praktek–pada waktu kepentingan dan keselamatan jiwanya terancam? Bicara di lingkungan aman memang lebih mudah untuk siapapun, dan: tanpa pembuktian.
Dalam hubungan Pancasila dengan demokrasi barat di hlm. 7 sebagai pesan A.K.M. pada rekan-rekannya sarjana Australia saya mempunyai kisah.
Pada 1984, Mr. Moh. Roem terkena serangan jantung dan dirawat di RSCM. Seorang dokter menjemput saya, mengatakan, Pak Roem menginginkan kedatangan saya. Saya tak pernah mengkaji apakah itu keinginan Pak Roem atau ambisi si dokter itu saja. Langsung saya berangkat bersama dengannya. Di ruang itu Pak Roem tidur dalam keadaan masih dihubungkan pada alat pengontrol jantung. Penjemput saya langsung menemani perawat sehingga hanya kami berdua di situ tanpa saksi. Menghadapi orang dalam keadaan gawat tentu saja saya tidak bicara apa-apa. hanya beliau yang bicara sampai lelah, sebagai pertanda saya harus mengundurkan diri untuk menghemat tenaga yang beliau perlukan sendiri. Terlalu banyak yang disampaikannya pada saya untuk orang dalam keadaan gawat seperti itu. Satu hal yang berhubungan dengan Pancasila dan demokrasi Barat, dan beliau sebagai ahli hukum, adalah: 50 + 1? Ya, biar begitu perlu dipertimbangkan dengan adil, tidak seperti selama ini dinilai. Dalam sejarah kita telah dibuktikan, bahwa kesatuan Indonesia terwujud hanya karena demokrasi parlementer Barat.
Nah, Bung Keith, inti persoalan dengan kaum manikebu cukup jelas: saya menggunakan hak saya sebagai warganegara Indonesia, hak yang juga ada pada kaum manikebu. Omong kosong bila dikatakan pada waktu itu mereka tak punya media untuk menerbitkan sanggahan. Waktu sekarang, waktu secara formal hak sanggah melalui mass media tidak ada, saya tetap menyanggah dengan berbagai cara yang mungkin, kalau memang ada yang perlu disanggah. Sedang ucapan Pak Roem tsb., ternyata adalah pesan politik terakhir. Beberapa minggu kemudian beliau meninggal dunia.
Saya belum selesai. Masih ada satu hal yang perlu disampaikan, hanya di luar hubungan dengan surat terbuka Achdiat K. Mihardja.
Tak lama setelah pertemuan kita terakhir saya menerima surat dari M.L., yang intinya tepat suatu jawaban terhadap saya. Tentu saja saya mendapat kesan kuat, pembicaraan kita Bung teruskan padanya. Terima kasih, bahwa hal-hal yang tidak jelas sudah dibikin terang olehnya.
Untuk tidak keliru membikin estimate tentang saya dalam persoalan khusus ataupun umum ada manfaatnya saya sampaikan bahwa saya menyetujui kehidupan bipoler. Saya membenarkan adanya dua superpower, bukan saja sebagai kenyataan, juga sebagai pernyataan makro nurani politik ummat manusia. Kalau hanya ada satu superpower akibatnya seluruh dunia akan jadi bebeknya. Dua superpower mewakili kekuatan ya dan kekuatan tidak, kekuasaan dan opposisi. Dalam tingkat nasional saya menyetujui kehidupan bipoler. Ada kekuasaan ada opposisi. Kalau tidak, rakyat akan jadi bebek pengambang, dengan kepribadian tidak berkembang. Demokrasi dengan opposisi adalah juga pernyataan makro nurani politik nasional. Dia adalah juga pencerminan mikro nurani pribadi manusia, yang tindakannya ditentukan oleh ya atau tidak. Hewan dengan serba naluri tak memerlukan nurani. Ia tak mengenal ya ataupun tidak.
Semoga surat kelewat panjang ini–lebih tepat usaha pendokumentasian diri sendiri–ada manfaatnya. Saya tidak ada keberatan bila diperbanyak.
Salam pada semua yang saya kenal, juga pada M.L. dan Savitri yang pernah saya kecewakan.
Belakangan ini kesehatan saya agak membaik. Soalnya saya menggunakan ramuan tradisional yang ternyata mengagumkan. Dengan pengamatan melalui tes urine dengan benedict kadar gula yang positif dalam 24 jam dapat menjadi negatif, yang tidak dapat saya peroleh melalui sport dan kerja badan selama 2 minggu.
Salam hangat untuk Bung sendiri dan keluarga.
Tetap (tanda tangan).
Jakarta, 5 Maret 1985
Demi Demokrasi 2 (1985); an English translation is in Indonesia Reports, cultural and social supplement (August 1986)
Dijumput dari: http://arusbawah20.wordpress.com/2010/08/23/surat-terbuka-pramoedya-ananta-toer-kepada-keith-foulcher/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar