Alan Woods
Diterjemahkan Pandu Jakasurya
dari “The Chinese Revolution of 1949 – Part One”, Alan Woods, 1 Oktober 2009.
Bagi kaum Marxis, Revolusi Tiongkok adalah peristiwa terbesar kedua dalam sejarah umat manusia, yang kebesarannya hanya dapat diungguli oleh Revolusi Bolshevik 1917. Jutaan manusia, yang sampai saat itu telah diperlakukan seperti binatang-binatang pemikul beban imperialisme, mematahkan rantai imperialisme dan kapitalisme, dan menapaki panggung sejarah dunia.
Revolusi Tiongkok Pertama 1925-1927 adalah sebuah revolusi proletarian yang otentik. Tetapi revolusi tersebut gugur sebelum waktunya karena kebijakan-kebijakan keliru yang diinstruksikan Stalin dan Bukharin, yang menempatkan klas pekerja Tiongkok di bawah borjuasi yang konon demokratis pimpinan Chiang Kai-shek. Partai Komunis Tiongkok (PKT) melebur ke dalam Kuomintang (KMT). Bahkan, Stalin mengundang Chiang Kai-shek untuk menjadi anggota Komite Eksekutif Komunis Internasional (Komintern).
Kebijakan pembawa malapetaka ini menyebabkan kekalahan yang katastrofik pada tahun 1927 ketika sang “borjuis-demokrat” Chiang Kai-shek mengorganisir pembantaian terhadap orang-orang Komunis di Shanghai. Penghancuran klas pekerja Tiongkok menentukan watak Revolusi Tiongkok selanjutnya. Sisa-sisa Partai Komunis melarikan diri ke pedesaan. Di sana mereka mulai mengorganisir perang gerilya berbasis kaum tani. Secara fundamental ini mengubah jalannya Revolusi.
Kebusukan Borjuasi
Revolusi 1949 berhasil karena kebuntuan feodalisme dan kapitalisme di Tiongkok. Nasionalis-borjuis Chiang Kai-shek, yang merebut kekuasaan pada tahun 1927 di atas mayat-mayat para pekerja Shanghai yang tercabik-cabik, mempunyai dua dekade untuk menunjukkan apa yang dapat diperbuatnya. Tetapi, pada akhirnya Tiongkok semakin bergantung pada imperialisme, persoalan agraria tetap tidak terselesaikan, dan Tiongkok masih merupakan sebuah negeri yang terbelakang, semi-feodal, dan semi-kolonial. Borjuasi Tiongkok, bersama dengan semua klas ber-properti lainnya, bertali-temali dengan imperialisme dan membentuk sebuah blok reaksioner untuk menentang perubahan.
Kebusukan borjuasi Tiongkok tersingkap manakala kaum imperialis Jepang menyerang Manchuria pada 1931. Semasa perjuangan untuk mengalahkan para penyerbu Jepang, kaum Komunis Tiongkok menawarkan sebuah front-persatuan kepada kaum borjuis-nasionalis Kuomintang yang dipimpin oleh Chiang Kai-shek. Tapi, dalam kenyataannya level kerjasama antara pasukan-pasukan Mao dan KMT semasa Perang Dunia Kedua minim adanya. Aliansi PKT dan KMT adalah front-persatuan dalam namanya saja.
Perjuangan Tiongkok melawan Jepang terjadi seiring dengan berkobar dan meluasnya Perang Dunia Kedua (PD II). Kaum Komunis memiliki andil terbesar dalam perjuangan melawan Jepang. Di lain pihak pasukan-pasukan KMT lebih mengonsentrasikan diri untuk memerangi kaum Merah. Pada Desember 1940, Chiang Kai-shek menuntut agar Tentara Baru Keempat PKT angkat kaki dari Provinsi Anhui dan Provinsi Jiangsu. Ini menyebabkan bentrokan besar antara Tentara Pembebasan Rakyat (TPR atau PLA, People’s Liberation Army) dan pasukan-pasukan Chiang. Beberapa ribu orang tewas. Ini menandai berakhirnya apa yang disebut-sebut sebagai front-persatuan.
PD II berakhir dengan semakin menguatnya imperialisme AS dan Rusia-nya Stalin. Konflik yang tak terelakkan di antara mereka sudah terlihat jelas sebelum akhir Perang tersebut. Pada 9 Agustus 1945, pasukan-pasukan Soviet meluncurkan Operasi Ofensif Strategis Manchuria (Manchurian Strategic Offensive Operation) untuk menyerang Jepang di Manchuria dan di sepanjang perbatasan Tiongkok-Mongolia. Dalam sebuah serangan kilat, tentara Soviet menghancurkan tentara Jepang dan menduduki Manchuria. 700 ribu pasukan Jepang yang ditempatkan di wilayah itu menyerah. Tentara Merah menaklukkan Manchukuo, Mengjiang (pedalaman Mongolia), bagian utara Korea, bagian selatan Sakhalin, dan Kepulauan Kuril.
Kekalahan kilat yang dialami Tentara Kwantung-nya Jepang oleh Tentara Merah tidak disebut-sebut oleh siapapun sekarang ini. Tapi ini merupakan faktor yang signifikan dalam menyerahnya Jepang dan berakhirnya PD II. Ini juga merupakan unsur yang signifikan dalam perhitungan Washington di Asia. Kaum imperialis AS takut jangan-jangan Tentara Merah Soviet akan langsung bergerak melalui Tiongkok dan memasuki Jepang, sebagaimana Tentara Merah Soviet telah mencapai Eropa Timur. Jepang akhirnya menyerah kepada AS setelah Angkatan Udara AS menjatuhkan bom-bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Tujuan utama dari penghancuran kota-kota Jepang ini adalah untuk memperlihatkan kepada Stalin bahwa sekarang AS telah memiliki senjata baru yang mengerikan dalam gudang senjatanya.
Di bawah kondisi “menyerah tanpa syarat”-nya Jepang yang didiktekan oleh Amerika Serikat, pasukan Jepang diperintahkan untuk menyerah kepada pasukan Chiang, dan bukan kepada kaum Komunis di wilayah-wilayah Tiongkok yang diduduki. Sebab-musabab pasukan Jepang menyerah kepada Uni Soviet semata-mata karena KMT tidak mempunyai pasukan di sana. Chiang Kai-shek memerintahkan pasukan Jepang agar tetap berada di pos mereka untuk menerima KMT dan tidak menyerahkan senjata mereka kepada kaum Komunis.
Setelah Jepang menyerah, Presiden AS Truman sangat jelas berkenaan dengan apa yang dimaksudnya dengan “menggunakan Jepang untuk membendung kaum Komunis.” Dalam memoarnya ia menulis:
“Sepenuhnya jelas bagi kita bahwa bila kita memerintahkan Jepang untuk segera meletakkan senjata mereka dan berangkat ke daerah pesisir, segenap negeri akan diambilalih oleh kaum Komunis. Karena itu kami harus mengambil langkah yang tidak biasa, yakni menggunakan lawan sebagai sebuah garnisun sampai kita dapat mengangkut pasukan Nasional Tiongkok ke Tiongkok Selatan dan mengirim Angkatan Laut untuk menjaga kota-kota pelabuhan laut.”
Stalin dan Revolusi Tiongkok
Posisi apa yang diambil Moskow dalam semua perkara ini? Mula-mula Tentara Merah mengizinkan TPR untuk memperkuat
posisinya di Manchuria. Tapi, pada November 1945 Tentara Merah berbalik dari posisi semula. Chiang Kai-shek dan imperialis AS merasa ngeri terhadap prospek pengambilalihan Komunis atas Manchuria setelah kepergian Soviet. Karena itu Chiang membuat kesepakatan dengan Moskow untuk menunda penarikan-mundur mereka sampai ia selesai menempatkan cukup anak buah yang paling terlatih serta perlengkapan modernnya ke wilayah tersebut. Pasukan KMT kemudian diangkut ke wilayah itu dengan pesawat udara Amerika Serikat. Lalu pihak Rusia mengizinkan mereka untuk menduduki kota-kota kunci di Tiongkok Utara. Sementara itu pedesaan tetap di bawah kontrol PKT.
Kenyataannya, Stalin tidak memercayai pemimpin-pemimpin PKT. Ia tidak yakin bahwa mereka akan berhasil merebut kekuasaan. Birokrasi Moskow lebih tertarik untuk mempertahankan hubungan persahabatan dengan pemerintahan Chiang Kai-shek daripada mendukung Revolusi Tiongkok. Setelah Revolusi, dengan getir Mao mengeluhkan bahwa duta besar asing terakhir yang meninggalkan Chiang Kai-shek adalah duta besar Soviet. Stalin mendesak Mao untuk bergabung dalam pemerintahan koalisi dengan Kuomintang, sebuah gagasan yang mula-mula diterima Mao:
“Sementara perang berlanjut, Mao Tse-tung telah menuntut agar kaum Nasionalis setuju untuk mendirikan sebuah pemerintahan koalisi guna menggantikan pemerintahan satu-partai mereka, Stalin dan Molotov telah mengatakan bahwa kedua pihak Tiongkok harus bertemu. Pada 14 Agustus 1945, Uni Soviet bergerak selangkah lebih jauh. Ia merundingkan dengan pemerintahan Chiang Kai-shek sebuah Perjanjian Persahabatan dan Aliansi Tiongkok-Soviet (Sino-Soviet Treaty of Friendship and Alliance). Selanjutnya Stalin menasihati kaum Komunis Tiongkok bahwa pemberontakan mereka “tidak memiliki prospek” dan bahwa mereka harus bergabung dengan pemerintahan Chiang serta membubarkan tentara mereka.
Pada hari yang sama, kaum Nasionalis menandatangani Perjanjian mereka dengan Uni Soviet, Chiang Kai-shek—atas desakan Jenderal Hurley—mengundang Mao Tse-tung agar mengunjungi Chungking untuk ikut dalam diskusi.”
(Edward E. Rice, Mao’s Way, p.114, penekanan saya, AW)
Pada akhirnya, karena tak terelakkan, perundingan-perundingan gagal dan perang sipil dimulai lagi. Uni Soviet memberikan bantuan yang sangat terbatas kepada TPR, sementara AS membantu kaum Nasionalis dengan pasukan dan perlengkapan militer senilai ratusan juta dollar. Jenderal Marshall mengaku bahwa tidak ada bukti apapun bahwa Uni Soviet memasok TPR. Faktanya, TPR merebut senjata-senjata yang ditinggalkan Jepang, termasuk beberapa tank. Belakangan, sejumlah besar pasukan KMT yang terlatih dengan baik menyerah dan bergabung dengan TPR dengan membawa persenjataan mereka. Senjata-senjata tersebut hampir semuanya dibikin di AS.
Pasukan-pasukan Soviet secara sistematis membongkar basis industrial Manchuria (senilai sampai 2 milyar dollar), memuat ke kapal seluruh pabrik-pabrik ke USSR. Faktanya, sebagaimana telah kita lihat, Stalin skeptis tentang prospek keberhasilan Mao, dan berusaha untuk mempertahankan hubungan yang baik dengan Chiang Kai-shek, sebagaimana ditunjukkan oleh Schram:
“Polanya terus dibikin kabur baik oleh kesibukan Stalin dengan keamanan negara Soviet, maupun oleh tidakadanya antusiasmenya terhadap sebuah gerakan revolusioner yang dinamis yang mungkin tidak dapat dikendalikannya.”
(Stuart Schram, Mao Tse-Tung, hlm. 239.)
Jadi, benih-benih konflik Sino-Soviet sudah ada sejak awal: Bukan sebuah konflik ideologis, seperti yang seringkali dikemukakan, tetapi sekadar sebuah konflik kepentingan antara dua birokrasi yang saling bersaing, yang masing-masing dengan penuh kewaspadaan membela kepentingan-kepentingan nasional sempit, wilayah, sumber daya, kuasa, dan hak-hak istimewa mereka. Nasionalisme yang sempit ini sepenuhnya kontras dengan internasionalisme proletariannya Lenin dan Trotsky. Lenin menyatakan dalam lebih dari satu kali kesempatan bahwa ia akan bersedia untuk mengorbankan Revolusi Rusia bila itu diperlukan untuk mencapai kemenangan revolusi sosialis di Jerman.
Bila Stalin dan Mao berdiri di atas program Leninisme, sudah seharusnya mereka akan segera mengedepankan penciptaan sebuah Federasi Sosialis Uni Soviet dan Tiongkok, yang akan memberikaan faedah yang luar biasa besar bagi seluruh rakyat. Akan tetapi hubungan-hubungan mereka malah didasarkan pada kepentingan-kepentingan nasional yang sempit dan kalkulasi-kalkulasi yang sinis. Pada akhirnya ini mengakibatkan situasi yang sangat-sangat buruk, di mana para “kamerad” Rusia dan Tiongkok menggelar “perdebatan” dengan menggunakan bahasa roket dan selongsong artileri mengenai perbatasan yang dibuat pada abad ke-19 oleh seorang Tsar Rusia dan Kaisar Tiongkok.
AS Membantu Chiang Kai-shek
Pihak Amerika berambisi untuk membuat Tiongkok menjadi wilayah pengaruh AS (yang dalam praktik, sebuah negeri semi-koloni) setelah PD II. Tetapi, setelah semua pengalaman kelam PD II, rakyat Amerika tidak bakalan siap untuk mendukung sebuah peperangan baru dalam rangka menaklukkan Tiongkok. Yang lebih penting, tentara-tentara Amerika pun tidak akan siap untuk bertempur dalam peperangan seperti itu. Karena itu, ketidakmampuan imperialisme AS untuk mengintervensi Revolusi Tiongkok adalah sebuah unsur penting dalam rumusan politik.
Dalam kondisi begini, kaum imperialis AS terpaksa melancarkan manuver dan intrik. Washington mengutus Jenderal George C. Marshall ke Tiongkok pada 1946, yang katanya bertujuan untuk menyusun perundingan-perundingan antara TPR-nya Mao dan Chiang Kai-shek. Tetapi, dalam prakteknya, ternyata tujuannya adalah untuk memperkuat Chiang dengan menyediakan senjata, uang, dan perlengkapan dalam rangka membangun pasukan Nasionalis sebagai persiapan untuk melancarkan sebuah opensif yang baru. Manuver ini tidak memperdaya Mao begitu saja. Mao setuju untuk berpartisipasi dalam perundingan-perundingan, tetapi terus mempersiapkan diri untuk menghadapi bangkitnya permusuhan.
Kendati imperialisme AS tidak mampu berintervensi dalam perang sipil 1946-9, Washington memberikan uang, senjata, dan pasokan dalam jumlah yang sangat besar kepada kubu Nasionalis. Amerika Serikat membantu KMT dengan pasokan-pasokan militer baru senilai ratusan juta dollar. Tapi, banyak senjata yang dikirimkan Washington di kemudian hari justru digunakan oleh orang-orang Vietnam untuk melawan tentara AS, sebab hampir semua perangkat keras militer itu direbut oleh pasukan-pasukan Mao.
Sejak Konferensi Menteri-menteri Luar Negeri Uni Soviet, Amerika Serikat, dan Inggris di Moskow pada Desember 1945, Amerika Serikat telah menganut “kebijakan non-intervensi dalam masalah internal Tiongkok”. Tentu saja ini sebuah sandiwara belaka, sama saja dengan kebijakan “non-intervensi” di Spanyol semasa Perang Sipil, ketika “negara-negara demokrasi” memboikot Republik Spanyol, sementara Hitler dan Mussolini mengirim senjata dan anak buah mereka untuk mendukung Franco.
Imperialisme AS memasok Kuomintang dengan pesawat pengebom, pesawat tempur, senapan, tank, peluncur roket, pistol otomatis, bom bensin, proyektil gas, dan senjata-senjata lainnya untuk tujuan tersebut. Sebagai imbalan, Kuomintang memindahtangankan kepada imperialisme AS hak-hak berdaulat Tiongkok atas wilayahnya sendiri, perairan, dan kawasan udara, mengizinkannya untuk mendapatkan hak-hak pelayaran dalam negeri dan privilese-privilese komersial khusus, serta memperoleh privilese-privilese khusus dalam urusan domestik dan luar negeri Tiongkok. Pasukan-pasukan AS bersalah atas banyak kekejaman terhadap rakyat Tiongkok: Membunuh rakyat, memukuli mereka, melindas mereka dengan mobil, dan memerkosa kaum perempuan, semuanya dengan kekebalan hukum.
Revolusi Agraria
Pada Juli 1946, dengan dukungan aktif imperialisme AS, Kuomintang menjerumuskan Tiongkok ke dalam perang sipil besar-besaran dengan kebrutalan yang tiada taranya dalam sejarah Tiongkok. Chiang Kai-shek meluncurkan sebuah ofensif kontra-revolusioner melawan TPR. Ia telah melakukan persiapan seksama, dan pada waktu itu KMT mempunyai pasukan sebanyak hampir tiga setengah kali lipat daripada TPR. Sumber-sumber materialnya pun jauh lebih unggul. Ia mempunyai akses ke industri-industri modern dan sarana-sarana komunikasi modern, yang justru tidak dimiliki oleh TPR. Secara teoritis, seyogyanya Chiang dapat meraih kemenangan dengan mudah.
Pada tahun pertama perang sipil (Juli 1946-Juni 1947), Kuomintang berada pada posisi ofensif dan TPR terpaksa berada dalam posisi defensif. Mula-mula pasukan-pasukan Chiang bergerak maju dengan cepat, menduduki banyak kota dan daerah yang dikontrol oleh TPR. Pasukan-pasukan KMT mencapai sesuatu yang nampak sebagai sebuah kemenangan yang menentukan tatkala mereka merebut ibukota TPR, Yenan. Banyak pengamat menganggap hal ini sebagai pertanda kekalahan yang menentukan bagi TPR. Tapi anggapan ini tidak tepat. Berhadapan dengan rintangan yang sama sekali tidak menguntungkan, Mao memutuskan untuk melakukan penarikan-mundur yang strategis. Mao mengambil keputusan untuk tidak berupaya mempertahankan kota-kota besar dengan pasukan-pasukan yang kurang unggul. Alih-alih ia berkonsentrasi pada daerah-daerah pedesaan, di mana ia mempunyai basis yang solid di kalangan kaum tani; dari sana ia dapat mengumpulkan-kembali dan mengonsentrasikan pasukan-pasukannya untuk melancarkan serangan balik.
Apa yang gagal disadari kaum imperialis AS dan Chiang Kai-shek adalah bahwa senjata paling efektif yang ada di tangan TPR bukanlah senapan atau tank, tetapi propaganda. TPR menjanjikan kepada kaum tak bertanah dan kaum tani yang kelaparan bahwa dengan berjuang untuk TPR mereka akan bisa merebut tanah pertanian dari para tuan-tanah. Dalam hampir semua kasus, daerah pedesaan sekitar dan kota-kota kecil telah berada di bawah kontrol TPR jauh sebelum kota-kota besarnya. Inilah asal-muasal teori Mao, “Desa Mengepung Kota”.
Ketika Stalin mengubah garis Komintern dari kebijakan-kebijakan ultra-kiri “Periode Ketiga” (1928-34) menjadi kebijakan-kebijakan oportunis frontisme-popular, Mao merevisi program agrarianya. Ia meninggalkan kebijakan sebelumnya yang radikal, yakni “tanah bagi penggarap”, dan menggantikannya dengan kebijakan yang lebih moderat, yakni penurunan harga sewa tanah. Ia mempunyai gagasan untuk memenangkan dukungan dari “para tuan-tanah yang progresif” (!). Tapi, setelah 1946 ia mengubah lagi kebijakannya:
“Kebijakan agraria yang selanjutnya adalah lebih radikal daripada kebijakan agraria dalam periode 1937-45, yang melibatkan penurunan bunga pinjaman dan harga sewa daripada reformasi agraria yang menyeluruh; tetapi taktik-taktik baru ini dimaksudkan bersifat gradual dan disesuaikan dengan kondisi-kondisi setempat. Mao masih bermaksud mengikutsertakan kaum menengah-kaya yang patriotik dalam ‘front-persatuan yang sangat luas’ yang ingin dia pertahankan. Baru setelah beberapa tahun kaum Komunis mengontrol daerah tersebut, semua tanah didistribusikan ulang; untuk sementara reforma tidak boleh memengaruhi lebih dari sepersepuluh penduduk. Mao juga menyebabkan pemberlakuan kembali ‘tiga aturan disiplin’ dan ‘delapan pokok perhatian’; dalam satu atau lain bentuk, ini telah mengekspresikan selama hampir dua puluh tahun penghormatan terhadap penduduk sipil dan pencegahan terhadap penjarahan, yang membedakan Tentara Merah dari semua tentara yang pernah dilihat kaum tani Tiongkok pada masa silam, dan sangat berkontribusi dalam memenangkan dukungan penduduk.”
(Stuart Schram, Mao Tse-Tung, p.242.)
Di setiap desa, TPR mendistribusikan tanah kepada kaum tani. Tetapi mereka selalu menyisakan sejumlah kapling—untuk prajurit-prajurit dari tentara Chiang Kai-shek. Para prajurit KMT yang tertangkap tidak dibunuh atau diperlakukan buruk, sebaliknya mereka diberi makan dan diberi perawatan medis, dan kemudian diberi pidato-pidato politik yang mengutuk rezim Chiang Kai-shek yang korup dan reaksioner. Kemudian para tawanan dikirim pulang untuk menyebarkan pesan di kalangan kaum tani dan prajurit-prajurit lainnya bahwa TPR bermaksud mendistribusikan tanah para tuan-tanah kepada kaum tani.
Dengan menjanjikan tanah kepada kaum tani, TPR berhasil memobilisir kaum tani dalam jumlah yang sangat besar agar dapat digunakan untuk bertempur dan menyediakan dukungan logistik. Ini terbukti sangat efektif. Tentara Chiang barangkali mengalami tingkat desersi tertinggi dari tentara manapun dalam sejarah. Artinya, kendati banyak jatuh korban, TPR sanggup untuk terus bertempur dengan pasokan rekrutmen baru yang konstan. Semasa Kampanye Huaihai saja mereka mampu memobilisir 5.430.000 kaum tani untuk bertempur melawan pasukan-pasukan KMT. Stuart Schram menunjukkan bahwa TPR bertambah besar secara dramatis:
“Semasa 1945 pasukan-pasukan militer yang berada di bawah komando Tentara Rute VIII dan Tentara Baru IV telah meluas dari jumlah sekitar setengah juta menjadi sekitar satu juta orang. Pasukan Kuomintang kira-kira empat kali lebih banyak dari jumlah tersebut. Pada pertengahan 1947, setelah setahun perang sipil berskala besar, perbandingannya bergeser dari satu banding empat menjadi satu banding dua.”
(Stuart Schram, Mao Tse-Tung, hlm. 242.)
Ofensif Terakhir
Clausewitz mengutarakan bahwa perang adalah kelanjutan dari politik dengan cara lain. Politik memainkan peran yang sangat penting dalam setiap perang, terutama dalam perang sipil. Kendati pihak Amerika (seperti biasanya) mempertahankan fiksi bahwa ini merupakan perang antara “Komunisme dan Demokrasi”, faktanya boneka Tiongkok mereka, Chiang Kai-shek, adalah seorang diktator yang brutal. Akan tetapi, barangkali di bawah tekanan Washington, Chiang berpura-pura memperkenalkan sejumlah “reforma demokratis” dalam rangka membungkam para pengkritiknya di dalam dan di luar negeri.
Ia mengumumkan sebuah konstitusi baru dan Majelis Nasional yang baru, yang tentu saja menyisihkan kaum Komunis. Mao segera mengutuk “reforma-reforma” tersebut sebagai sebuah penipuan. Massa-penduduk lebih menaruh perhatian pada korupsi yang merajalela dalam pemerintahan, serta kekacauan politik dan ekonomi: Khususnya hiperinflasi yang massif, yang mengakibatkan jatuhnya standar-standar hidup. Ada protes-protes mahasiswa yang besar di seluruh negeri terhadap imperialisme.
Di daerah-daerah yang dikontrol oleh pasukan-pasukan Nasionalis, rezim Teror Putih berkuasa. Chiang mengadopsi taktik yang persis sama dengan para penyerang Jepang: Membakar, menjarah, memerkosa, dan membunuh. Jutaan pria dan wanita, muda dan tua, dibantai. Ini memberikan kepada mereka kebencian penduduk dan justru makin memperkuat dukungan bagi TPR.
Secara teori, pihak Nasionalis masih memiliki satu keunggulan yang besar daripada TPR. Di atas kertas, mereka menikmati keunggulan yang nyata baik dalam jumlah personel maupun senjata. Mereka mengontrol wilayah dan penduduk yang jauh lebih besar daripada seteru mereka. Mereka juga menikmati dukungan internasional yang sangat besar dari AS dan Eropa Barat. Tapi itu hanya teori saja. Realitas di lapangan sangat berbeda. Pasukan-pasukan Nasionalis menderita karena tidakadanya semangat juang dan merajalelanya korupsi—yang sangat mengurangi kemampuan mereka untuk bertempur; dan dukungan sipil terhadap mereka telah runtuh.
Pasukan-pasukan Nasionalis yang mengalami demoraliasasi dan tidak berdisiplin meleleh di hadapan derap-laju yang tak terbendung dari Tentara Pembebasan Rakyat. Mereka menyerah atau melarikan diri, meninggalkan begitu saja persenjataan mereka. Penawanan atas sejumlah besar pasukan KMT memberikan kepada TPR tank, artileri berat, dan aset-aset persenjataan-gabungan lainnya yang dibutuhkan untuk meneruskan operasi-operasi ofensif di sebelah selatan Tembok Besar. TPR bukan hanya mampu merebut kota-kota Kuomintang yang memiliki pertahanan yang sangat kuat, tapi juga mengepung dan menghancurkan formasi-formasi pasukan gerak-cepat Kuomintang, seratus ribu atau beberapa ratus ribu pada saat yang bersamaan. Pada April 1948 mereka merebut kota Luoyang, yang memutus pasokan bagi tentara KMT dari Xi’an.
TPR mampu meneruskan kontra-ofensif, yang memaksa Kuomintang meninggalkan rencananya untuk melakukan serangan umum. Setelah merebut senjata dalam jumlah yang sangat besar, TPR mampu memperbaiki kemampuan militernya, membentuk artileri dan kesatuan teknis-nya sendiri, serta menguasai taktik untuk menyerang titik-titik sasaran yang memiliki pertahanan yang kuat. Sebelum ini, TPR tidak mempunyai pesawat tempur atau tank, tapi segera sesudah ia membentuk artileri dan kesatuan teknis yang lebih unggul daripada yang dimiliki tentara Kuomintang, ia sanggup melancarkan bukan hanya pertempuran gerak cepat (mobile warfare) tetapi juga pertempuran posisional (positional warfare). Menurut perkiraan Mao sendiri:
“[…] setiap bulan [TPR] menghancurkan rata-rata sekitar 8 brigade dari pasukan reguler Kuomintang (sama dengan delapan divisi pada masa kini).”
(“Carry the Revolution through to the end”, December 30, 1948, Mao, SW, volume IV, hlm. 299)
Perubahan situasi militer ini benar-benar sukar dipercaya. TPR, yang selama bertahun-tahun kalah dalam jumlah, pada Juli-Desember 1948 akhirnya beroleh keunggulan atas pasukan Kuomintang dalam jumlah tentara. Ini adalah jumlah yang diberikan Mao pada waktu itu:
“Pada tahun pertama, 97 brigade, termasuk 46 brigade yang sama sekali dihancurkan; dalam tahun kedua, 94 brigade, termasuk 50 yang sama sekali dihancurkan; dan dalam paroh pertama tahun ketiga, menurut perhitungan yang tidak lengkap, 147 divisi, termasuk 111 divisi yang sama sekali dihancurkan. Dalam enam bulan ini, jumlah divisi musuh yang sama sekali dihancurkan adalah 15 lebih banyak dari jumlah keseluruhan dalam dua tahun sebelumnya. Front musuh secara keseluruhan runtuh sama sekali. Pasukan lawan di Timur Laut telah sepenuhnya dihancurkan, mereka yang di sebelah utara Tiongkok akan segera dihancurkan, dan di sebelah timur Tiongkok dan Dataran Tengah hanya ada beberapa pasukan musuh yang tersisa. Pemusnahan pasukan utama Kuomintang di sebelah utara Sungai Yangtse sangat memudahkan penyeberangan yang akan dilakukan oleh Tentara Pembebasan Rakyat dan perjalanannya ke selatan untuk membebaskan seluruh Tiongkok. Seiring dengan kemenangan pada front militer, rakyat Tiongkok telah mencetak kemenangan-kemenangan menakjubkan pada front politik dan front ekonomi. Karena alasan ini, opini publik dunia luar, termasuk seluruh pers imperialis, tidak lagi memperdebatkan kepastian kemenangan di seantero negeri dari Perang Pembebasan Rakyat Tiongkok.”
(“Carry the Revolution through to the end”, December 30, 1948, Mao, SW, volume IV, p. 299)
Tidak ada alasan untuk tidak mempercayai bahwa secara substansial perkiraan ini akurat. Semua sejarahwan borjuis menerima bahwa pada periode tersebut pasukan-pasukan Chiang sedang terpukul mundur dalam kondisi yang kacau-berantakan dan bahwa TPR dengan cepat kian bertambah besar dan kuat.
London, 1 Oktober 2009
Diterjemahkan oleh Pandu Jakasurya dari “The Chinese Revolution of 1949 – Part One”, Alan Woods, 1 Oktober 2009.
Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=195781613784045
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar