Afrizal Malna
Pikiran Rakyat, 27 Juni 2009.
DUA kali saya membaca buku kumpulan puisi Di Atas Viaduct (Bandung dalam Puisi Indonesia). Dari dua kali membaca buku itu, saya merasa setelah melampaui 250 halaman, pembacaan saya terasa mulai rusak atau saya mulai berubah menjadi “pembaca yang rusak” setelah 250 halaman. Saya merasa nyaman membaca puisi di bawah seratus puisi, lebih dari itu rasanya ada kereta yang berantakan dalam diri saya. Kereta bahasa yang kehilangan sensitivitasnya, kata-kata gagal berada dalam sintaksisnya, dan pemaknaan dilumpuhkan.
Pada sisi lain (dalam pembacaan yang rusak itu), saya disadarkan juga oleh kesan betapa besarnya penyair memiliki “kekuasaan” atas kata. Kepada siapakah kata yang dikuasai penyair itu dipertanggungjawabkan? Kesan di mana “sikap atas kata” diperlakukan sebagai “kekuasaan atas kata”, terutama dalam membuat pernyataan.
Pengalaman itu membuat saya tertarik mengamati apa yang terjadi dengan diri saya sendiri ketika membaca kumpulan itu. Jadi, bukan saya yang membaca sastra, melainkan “sastra yang membaca saya”.
Pertama, saya cukup terprovokasi oleh pengenalan saya atas Bandung, terutama seringnya saya menggunakan kereta untuk pergi ke Bandung. Jalan mana pun yang saya tempuh untuk ke Bandung, selalu melalui jalan berkelok, mendaki, dan menurun.
Kedua, strukturisasi pembagian puisi yang dilakukan Ahda Imran menjadi enam pengelompokan puisi (Priangan, Angin Bandung, Sukardal, Kota Kita, Di Atas Viaduct, dan Bagi Sebuah Kenangan), ikut memprovokasi munculnya kategori tematik dalam membaca buku ini. Dengan sengaja saya tidak ingin memasuki lebih jauh identifikasi yang telah dilakukan Ahda Imran (penyunting) hingga munculnya pengelompokan-pengelompokan ini. Akan tetapi, dengan kesadaran ini pun, jalan yang telah dibuat Ahda tetap menuntun saya dalam membaca puisi-puisi dalam buku ini hingga pada kelokan tertentu saya mulai berpisah dengan kategorisasi Ahda.
Keris yang Hilang dalam Sumur
Saya tidak tahu apa perbedaan antara Parahyangan dengan Priangan. Apakah Priangan sama dengan konsep Parahyangan yang mengacu pada konteks masa lalu, konsep ruang budaya dan spiritual dalam membaca wilayah Hindu Sunda. Apabila kedua istilah ini merupakan sebuah pergeseran, untuk saya pergeseran ini sangat menakjubkan, bagaimana Parahyangan yang secara harfiah merupakan tanah para dewa berubah menjadi Priangan yang mungkin bisa dibaca sebagai para priang, riang, gembira. Istilah Priangan pun, pada beberapa puisi mengalami genderisasi di mana Priangan juga identik sebagai gadis perawan dan hampir seluruh puisi yang menyinggung perawan, memperlihatkan begitu pentingnya keperawanan, kecuali pada puisi Ratna Ayu Budhiarti yang membawa puitika paling berbeda dari rata-rata penyair yang puisinya terkumpul dalam kumpulan ini.
Kumpulan puisi Ramadhan KH (Priangan Si Jelita: 1956), 53 tahun lalu, menggunakan istilah Priangan dalam puisi yang muncul lebih awal dan hingga kini digunakan banyak penyair, terutama yang berdomisili di Jawa Barat. Kumpulan ini masih kaya menggunakan berbagai dekorasi puisi-puisi lama dari permainan rima, pantun, pilihan vokal dan konsonan, serta ikon budaya Sunda. Seruling dan pantun digunakan untuk tangisan dan dunia lama itu (Sunda sebagai personifikasi Priangan si jelita) seperti keris yang hilang di sumur. Pernyataan ini tidak hanya keras dan tajam, tetapi juga memperlihatkan begitu pentingnya keris dan sumur dalam ikon budaya Sunda. Sebuah metafora yang bisa dibaca sebagai “tenggelamnya Sunda lama”.
Kini, tidak hanya keris yang hilang dalam sumur, namun sumur pun ikut hilang. Kita hampir tidak pernah bisa menemukan lagi istilah sumur dalam puisi-puisi yang ada dalam kumpulan ini setelah Ramadhan menggunakannya pada 1956. Baru empat puluh tahun kemudian, tahun 1996, Kurnia Effendi menggunakannya kembali dalam puisinya “Sumur Bandung”.
Pengaruh Ramadhan, tidak hanya penggunaan istilah Priangan yang terus dipakai penyair dari generasi setelah Ramadhan, tetapi juga reproduksi mitologi Sunda. Yang menarik, mitologi yang paling banyak direproduksi adalah legenda Dayang Sumbi atau Sangkuriang dan Jaka Tarub. Kedua mitos ini kebetulan sangat genderistik dan seksis. Reproduksi mitos yang memperkuat identitas Priangan sebagai perempuan dan perempuan ini sebenarnya adalah perempuan yang menderita. Selalu ada unsur “petaka” dalam hubungan perempuan dan lelaki. Mitologi ini menjadi sumber reproduksi untuk Apip Mustopa, Arahmaiani, dan Acep Iwan Saidi. Terkadang, mitologi ini juga digunakan sebagai perluasan misteri.
Strategi Narasi Sunda
Sebagai strategi teks dalam puisi, muncul pertanyaan sebenarnya mau dibawa ke mana narasi Priangan ini dengan seluruh pernik-pernik masa lalu dan mitologinya? Apakah kemunculan generasi baru yang sudah tidak pernah mengalami Sunda lama lewat pengenalannya terhadap Bandung sebagai kota lama akan memunculkan strategi teks yang lain? Pertanyaan ini menarik untuk mengukur perubahan yang terjadi dalam estetika puisi yang berkaitan dengan perubahan kota.
Sebagian besar penyair yang pernah mengalami masa Bandung lama, paling tidak sampai generasi yang lahir dekade ‘50-an dan paruh ‘60-an, melihat Bandung masa kini seperti telah berkhianat kepada Bandung masa lalu. Priangan dan Sunda sebagai strategi teks untuk melawan Bandung masa kini, apakah merupakan strategi teks untuk memaksakan Bandung sebagai kota representasi budaya Sunda?
Besarnya daya tarik kota ini tampaknya memang telah membuat sekian banyak penyair mengharapkan kota ini ikut mengakomodasi indeks-indeks kesundaan. Penyair melakukan personifikasi sedemikian rupa atas kota ini, seperti yang dilakukan Ayie S. Bukhary pada (Aom Bandung): aku adalah Bandung yang dinyatakan sebagai mantra.
Garam Hitam (Priangan-Penderitaan)
“Priangan Si Jelita” Ramadhan KH, oleh penyair berikutnya kian bergeser menjadi Priangan sebagai penderitaan. Pembalikan ini eksplisit dinyatakan Acep Iwan Saidi dan Juniarso Ridwan dalam sajak mereka dengan judul yang sama, “Priangan Si Derita”. Puisi yang menyatakan kota yang bertambah ganas, Priangan tidak perawan lagi dan kerusakan ekologi kota Bandung.
Bandung yang pernah dipuja sebagai Parisnya Jawa, dalam puisi Soni Farid Maulana (Variasi Parijs van Java), dilihat seperti menelan garam hitam yang pahit. Antara Ciwidey ke Tangkubanparahu, seruling telah berganti dangdut. Indeks kemerosotan ini ditandai dengan seruling sebagai representasi primordial yang sudah tergantikan dengan dangdut.
Dalam ketegangan politik narasi antara Sunda dan Negara, puisi Soni memperlihatkan dua kali sudah Priangan dikhianati setelah keris yang hilang dalam sumur (Ramadhan KH), kini dangdut yang telah menggantikan seruling (Soni). Bandingkan dengan sebaliknya yang dinyatakan Rustam Effendi dalam puisinya: seruling dan pantun aku campakkan yang justru dilakukan untuk melawan narasi lama.
Saya tertarik untuk melihat bagaimana perubahan Bandung sebagai negatif dengan menggunakan Priangan, seruling, dan dangdut sebagai pembanding. Bagaimanakah sebenarnya indeks primordial ditempatkan dalam kota seperti Bandung yang terus mengalami berbagai proses urbanisasi dan menghadapi permintaan pasar atas produk-produk kebudayaan? Pemilihan indeks itu adalah pilihan yang tidak membuka ruang antara mana yang boleh berubah dan yang tidak boleh berubah. Priangan bukan kota modern, Bandung bukan kota Priangan, dan seruling bukan dangdut. Munculnya dangdut tidak berarti berhubungan langsung dengan hilangnya seruling.
Karno Kartadibrata memiliki strategi puitika yang berbeda untuk memperlihatkan perubahan kota dalam puisinya BRAGABRAGABRAGA: Tuan//apakah yang dibicarakan sepasang remaja itu//ketika pulang dari bioskop “Braga Sky”?// Apakah terkesan mode pakaian baru yang//dilihatnya?//Lalu janji apa dan harapan apa yang mereka//bisikkan?//Apakah yang terpikirkan oleh nyonya semuda//itu yang shopping di sini, nah dari toko ini lalu//ke toko itu?//beli majalah “Femina” dan novel “Karmila”?//
Karno hampir tidak membuat pernyataan apa pun dalam puisinya itu. Ia hanya melakukan semacam identifikasi atas yang disaksikannya dan kemudian membawanya ke strategi narasi di mana strategi ini tetap bergerak dalam lingkup strategi puitika yang ditawarkannya. Karno tidak menggunakan narasi tradisi untuk melawan narasi modern. Karno menggunakan narasi dari konteksnya sendiri, bukan dari konteks yang lain.
Mitologi dalam Strategi Teks Kontemporer
Dalam bagian lain, kita menemukan strategi teks yang berbeda, yaitu menggunakan mitologi dalam tindakan dekonstruksi terhadap mitologi itu sendiri. Dekonstruksi seperti ini dapat kita lihat dalam puisi Mardi Luhung (Sangkuriang), atau puisi Sitor Situmorang (Dayang Sumbi, Kenapa Kau Tolak Cintaku?).
Mitos dibongkar dengan mengajukan cara pandang di luar indeks mitos itu sendiri. Akan tetapi lewat pembongkaran itu pula, konstruksi makna dari mitos itu terbuka dengan gamblang. Sitok Srengenge dalam sajaknya “Libido Sangkuriang,” lebih gamblang lagi melihatnya: bahwa cinta bisa mengubah darah. Yessi Anwar dalam sajaknya “Dari Bayangan Kotaku,” Dayang Sumbi berubah menjadi “piring sumbing” untuk pada gilirannya memperlihatkan bahwa anjing lebih setia dari manusia.
Strategi teks dalam sajak mereka tidak lagi menggunakan mitologi sebagai indeks tradisi atau kepercayaan-kepercayaan primordial untuk melawan masa kini, melainkan sebaliknya. Nilai-nilai masa kini digunakan untuk mengubah atau membongkar sistem makna yang terdapat dalam mitos. Strategi teks seperti ini memperlihatkan sikap pragmatis untuk memutuskan hubungan reproduksi mitos atas waktu masa kini.
Kota, Kuasa Kata
Ketika hubungan reproduksi mitos tidak diputus, mitos tidak lagi mengandaikan adanya perjalanan waktu dan tumbuhnya sistem nilai yang lain. Kita melihat hal ini misalnya pada sajak Apip Mustopa “Telah Musnah Sangkuriang” yang menyatakan Bandung sebagai pemusnahan atas Sangkuriang. Mitos Sangkuriang di sini menjadi klaim nilai yang dipertentangkan dengan perubahan kota.
Klaim ini lebih eksplisit muncul dalam sajak Eddy D. Iskandar “Bandung” yang mengatakan Bandung telah berubah dan ingin kembali ke wajah kota lama. Diro Aritonang (Rindu Bandung): Bandung sudah linglung dan bingung. Sarabunis Mubarok (Bandung): kota yang sakit, sudah seperti WC jalanan. Yayat Hendayana (Dendang Bandung): sampah dan pengap, rumah semakin sempit. Rohyati Sofyan (Sajak Bandung (teu) Disayang): Cikapundung tempat bidadari mandi sudah berubah menjadi limbah pabrik. Juniarso Ridwan (Asap di Atas Bandung): kota membalik cerita, mengubah narasi lama. Deddy Koral (Potret Kota): rakyat kecil menderita dan pejabat korup. Beni Setia (Sajak Tengah Hari): kota yang memaksa kita menjadi tidak berdaya dan orang gila bertambah banyak. Perubahan kota Bandung yang dikecam juga terdapat dalam sajak Nandang Darana atau Dian Hartati.
Kekuasaan penyair atas kata ditempuh dalam mempraktikkan puisi untuk melawan negara atau untuk mengingatkan negara. Tidak seluruh penyair menggunakan strategi narasi yang sama untuk melawan negara. Saini KM misalnya, dalam sajaknya “Bandung” mengatakan, kota sudah berubah, menghapus kota dalam peta hidupmu. Ketika kota telah berubah, dia bukan lagi peta dalam hidupmu. Lihat lagi puisi Atasi Amin (Kota), semua telah berubah, kecuali nasihat bapak kepada anaknya: jangan ke kota.
Masih dengan semangat puisi mbeling, Remy Sylado dalam puisinya “Kota Kita,” memperlihatkan Bandung sebagai hiruk-pikuk berbagai bahasa dari berbagai indeks budaya (lokal, kolonial, dan dunia masa kini). Kota musik di mana Scott Mckenzie, John Lenon, Mick Jagger, dan lain sebagainya menjadi warga terhormat kota ini.
Perbedaan ini memperlihatkan dua kemungkinan. Pertama, penyair memang bekerja sebagai penjaga nilai-nilai lama dengan cara menguasai kata. Kedua, penyair merupakan bagian dari komunitas narasi yang tidak bisa mengakses perubahan karena dia justru memperlakukan puisi sebagai “kuasa kata” yang membuat blok budaya dalam reproduksi strategi teks dirinya sendiri.
Tubuh dan Kota
Ketika praktik kuasa atas kata berlangsung sedemikian rupa sebagai reproduksi narasi puisi, tubuh menjadi penting untuk didengar. Lewat cara pandang ini, puisi tidak lagi diwacanakan untuk membaca kota. Ahda Imran dalam puisinya “Simpang Lima, Malam,” mengatakan: tubuhku adalah pikiran, di luar semua yang pernah kuceritakan padamu. Tubuh memiliki strategi teks lain di luar pikiran yang telah menjadi cerita antara aku (pencerita), kota (cerita), dan kamu (yang diceritakan). Puisi digunakan untuk membaca diri sendiri dengan tubuh sebagai pembaca dan penulisnya sekaligus.
Acep Zamzam Noor (Lanskap Kota Bandung): tubuh yang terhuyung-huyung ditelan kota. Juniarso Ridwan (Ahoaho Bandung): tubuh yang terbenam beton. Badung (Sebuah Insomia): tubuh yang tidak pernah bisa tidur, kemudian menghadapi momen-momen yang hilang.
Pertemuan antara tubuh dan kota tidak pernah terjadi. Sebaliknya, kota menjadikan tubuh sebagai pusat konflik. Kota sebagai ruang, bangunan, dan mobilitas, tidak lagi bisa mengukur batas-batas kodrati tubuh. Kota tumbuh untuk menyakiti tubuh yang menghuninya. Ketika hubungan kota dan tubuh tidak terwacanakan dalam visi dan tata kota, kota dibiarkan tumbuh sebagai representasi ruang yang tidak melibatkan tubuh untuk berbagai aktivitas yang dilakukan sepanjang hari.
Narasi Gender
Politik identitas dalam narasi gender antara Priangan dan Bandung berlangsung secara tidak berimbang. Sepanjang itu pula, hampir tidak ada penyair perempuan yang masuk ke dalam narasi gender seperti ini. Dalam konteks ini pula, Nenden Lilis A (Rumentang Siang, Suatu Malam) dan Ratna Ayu Budiarti (Untuk Seseorang Yang Menjadikan Aku Sebagai Kekasih Gelapnya) menulis dalam ruang gender yang berbeda.
Kedua sajak itu, yang satu ditulis 1995, satunya lagi 2004, berjarak hampir sepuluh tahun. Nenden generasi kelahiran 1971 dan Ratna kelahiran 1981. Dua generasi yang berbeda 10 tahun, hampir sama persis dengan jarak waktu ke dua sajak di atas. Nenden memperlihatkan idealisme, misteri atas hubungan dan ruang, serta strategi teks yang berat dan muram. Menggunakan setting gedung teater. Sementara itu, Ratna memperlihatkan sikap pragmatis atas hubungan. Hubungan tidak dilihat sebagai misteri waktu, melainkan sebagai penawaran dan pemilikan. Menggunakan setting gedung bioskop, dan mall. Menggunakan tubuh sebagai bahasa lewat fitness body language. Menggunakan strategi teks yang cair dan gamblang. Puisi Ratna berbeda dengan kebanyakan puisi dalam kumpulan ini pada umumnya, lebih dekat dengan puisi Karno Kartadibrata. Bentuk puisi yang sebelumnya sering kita anggap sebagai prosaik.
Puisi Nenden melihat hidup sebagai teater nasib, di mana ada penonton yang tak bernama, tak terkenali yang tetap berada dalam gedung teater walau pertunjukan telah usai dan penonton lain telah pulang. Penonton tak bernama itu seperti mata yang tidak pernah tidur mengawasi teater nasib itu, sedangkan puisi Ratna melihat hidup lebih sebagai pasar tawar-menawar. Ruang hidup mereka adalah ruang di mana mereka bertindak sebagai “yang menonton” dan bukan “yang ditonton”. Tak ada misteri juga tak ada lagi yang disucikan.
Ratna bisa dikatakan generasi yang lahir sepenuhnya setelah Bandung berubah dan tidak pernah mengalami Bandung lama yang pernah disebut sebagai “kota kembang”. Apakah narasi Priangan akan tetap berlanjut dalam puisi-puisi setelah generasi Ratna?
Saya kembali mengamati diri saya setelah saya selesai menulis makalah ini. Saya terpaku pada ketegangan antara kota dan kata. Suatu saat kota adalah kata ketika kota mampu menjadikan dirinya sebagai rumah naratif yang melahirkan cerita. Suatu saat, kata adalah kota ketika kata mampu membuat ruang untuk terjadinya gerakan bahasa.***
(Artikel ini disarikan dari makalah penulis yang disampaikan dalam Bedah Buku Di Atas Viaduct, Bandung dalam Puisi Indonesia, di Aula Pikiran Rakyat, 23 Juni 2009).
Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=210370915658448
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar