Wan Anwar **
http://sastra-indonesia.com/
Perkenalan saya dengan hal ihwal Kendari masih amat terbatas. Dua kali menginjakkan kaki di Kendari (dan Raha) jelas tidak cukup untuk mengenal dan apalagi memahami Kendari (manusia, masyarakat, alam, sejarah, dan kebudayaannya). Meski demikian beberapa kenangan melekat dalam ingatan. Itu cukuplah membuat Kendari menjadi suatu tempat khusus dalam diri saya. Kenangan itu sebagian bersifat pribadi, sebagian lagi menyangkut kemasyarakatan dan kebudayaan.
Dua kali ke Kendari (sekali bersama rombongan Sastrawan Bicara Siswa Bertanya, sekali lagi bersama pelukis Herry Dim), masing-masing kurang lebih seminggu, telah mengenalkan saya pada banyak hal. Pengenalan yang paling menyenangkan tentu saja karena mendapati banyak kawan di Kendari yang intens menggeluti kesenian, khususnya teater dan sastra. Entah kenapa jika di suatu kota mendapati sejumlah orang menggeluti kesenian, hati ini sedikit tenteram. Selalu ada harapan, dengan adanya orang-orang berkesenian, maka “pembangunanisme”, modernisasi, dan gelegak globalisasi sedikit banyak akan “dikontrol”, dikritisi, dan bahkan dinegoisasi sehingga pembangunan tidak melulu berpijak pada percepatan ekonomi dan pembangunan fisik lainnya. Ini penting karena pembangunan seyogyanya mencakupi keutuhan dan keunikan manusia itu sendiri: darah-daging, lahir-batin manusia dan masyarakatnya.
Jika benar harapan di atas, berarti saya berpandangan bahwa kesenian (katakanlah teater dan sastra) adalah suara lain, mungkin ganjil dan kecil, yang memiliki daya untuk bernegoisasi dengan suara (budaya/kuasa) dominan yang seringkali menghegemoni keadaan. Suara dominan antara lain modernisasi atau globalisasi yang datang dari berbagai penjuru dunia, utamanya semangat kapitalisme dari negara-negara Barat. Saya katakan “antara lain”, karena suara dominan dapat saja berupa “ideologi pusat” bernama Jakarta, bahkan budaya tradisi yang tidak selalu berisi “kearifan-kearifan lokal”.
Suara dominan agaknya sudah menjadi “wataknya” sendiri melakukan kooptasi, hegemoni, dominasi yang pada ujungnya “penaklukan” pada suara-suara kecil yang disisihkan. Sebagai manusia/ masyarakat yang pernah mengalami pahit-getirnya penjajahan dunia Barat (kolonialisme), adakalanya kita melestarikan watak kolonial, selain tentu menumbuhkan kesadaran dan kewaspadaan. Sementara itu sebagai bangsa yang lahir dari keragaman budaya, bahkan keragaman kerajaan di masa lampau, tidak jarang kita mewarisi sifat chauvinis (membanggakan masa silam kerajaan/etnisitas) yang gilirannya menumbuhkan rasisme dan penindasan terhadap si liyan (the other). Oleh karena itu setiap suara dominan, dari manapun sumbernya, harus dikritisi bahkan dilawan.
Dapatkah kesenian, sastra dan teater khususnya, melawan suara dominan? Bukankah kesenian, hampir di manapun dan kapanpun, selalu menjadi suara sunyi yang kesepian? Dengan kata lain tidak dapat mengalahkan non-kesenian, katakanlah politik dan ekonomi?
Tentu saja kita tidak bicara soal “mengalahkan” melalui kerja kesenian karena ambisi mengalahkan bagian dari sifat penindasan. Kesenian, dengan suara sunyinya, beritikad untuk “menghilangkan” penindasan, sekurang-kurangnya suara dominan dapat mempertanyakan kembali dominasinya. Selebihnya, suara dominan akan menghargai suara-suara sunyi terpinggirkan, melakukan interaksi intensif, dan pada gilirannya suara-suara sunyi terpinggirkan mampu turut serta membangun kompleksitas budaya dan masyarakat. Dengan kata lain interaksi suara dominan dan suara-suara terpinggirkan menghasilkan budaya kreatif dan produktif.
Tapi apa yang saya ketahui tentang Kendari? Suara dominan macam apa yang “menguasai” Kendari? Suara-suara terpinggirkan apa pula yang sedang berinteraksi, bahkan melawan, suara dominan?
Sekali lagi pengetahuan saya tentang Kendari amat terbatas. Dalam dua kali kunjungan ke kota di Tenggara Sulawesi ini saya hanya tahu bahwa di Kendari ada banyak toko menjual makanan lezat biji jambu mente. Di beberapa titik lokasi teluk Kendari ada komunitas Bajo. Di teluk Kendari ada keramaian malam muda-mudi berkencan, restoran terapung, jalan-jalan lebar lengang di kanan-kirinya melayah hutan bakau, kapal-kapal jet-foil di Pelabuhan Kendari, warung remang-remang dengan musik hingar bingar, pasar Wua-wua di salah satu bagian kota, mini market dan supermarket, restoran-restoran fast-food, warung-warung tenda malam hari menjajakan sea-food, lalu lintas angkot berseliweran dengan mobil-mobil pribadi seperti di banyak kota di Indonesia umumnya, kampus luas tetapi asrama mahasiswanya kurang terurus, perumahan dosen di mana Ahid Hidayat tinggal, perusahaan tambang dan penyeberangan ke Makasar di Kolaka, pelabuhan fery di Tampo yang menghubungkan Kendari dengan Muna dan Buton. Ah apalagi ya? Pengetahuan saya tentang Kendari benar-benar terbatas.
Kadang menyesal mengapa sewaktu di Kendari tidak banyak “berpetualang” untuk mengetahui kekhasan Kendari. Saya belum sempat secara mendalam bertanya pada kawan-kawan mengenai empat etnis (Tolaki, Muna, Buton, dan Moronene) dominan di Kendari. Saya belum sempat bertanya sejarah, mitos, dan cerita-cerita rakyat Kendari. Saya belum tahu bagaimana lembaga adat menyelesaikan jika ada konflik antar-etnis atau sesama etnis. Meski saya bersyukur sedikit tahu bagaimana caranya orang luar Kendari kalau ingin meminang gadis Kendari.
Saya berharap bisa datang lagi ke Kendari. Selain untuk mengenal lebih jauh Kendari, saya juga ingin jalan-jalan ke Buton. Dari beberapa buku sejarah dan filologi, kesultanan Buton sering menjadi bahan pembicaraan, terutama dalam kontaknya dengan kerajaan di Makasar, Bima, kerajaan di Jawa dan Sumatera, dan kolonial Belanda di masa silam. Kontak-kontak yang selain menunjukkan awal modernisasi/globalisasi, juga kontak-kontak menyangkut negoisasi (perkawinan putra-putri antarkerajaan misalnya) untuk menghindar konflik dan perang (meski konflik dan perang terjadi juga). Semua itu agaknya penting untuk lebih mengenal, menghayati, dan memahami Kendari.
Tapi saya beruntung sempat menyeberang ke Raha/Muna, meskipun saya iri kepada penyair Cecep Syamsul Hari yang begitu tiba di Raha sebuah sajak berjudul “Raha” lahir dari tangannya. Oleh pemilik hotel (hotel yang sebenarnya rumah) di Raha saya diantar ke sebuah desa, malam-malam, untuk melihat kain tenun khas Muna. Pada kedatangan kedua, saya lebih beruntung karena sepanjang malam ditemani Gani, Roy, dan Inal (yang pertama seniman Kendari asal Mandar, yang lainnya seniman Raha) jalan-jalan ke pantai/pelabuhan Raha. Bersama mereka saya menikmati lampu-lampu neon berderet sepanjang pelabuhan, menikmati debur ombak pelahan, serbuan angin laut, dan kesibukan malam pelabuhan. Mereka bicara banyak tentang Muna, meski sebagian tak terekam dalam ingatan. Mereka bercerita tentang tugu pembatas Raha, tentang kebersahajaan seorang ibu tokoh politik di negeri ini, tentang kontu kowuna (batu berbunga), tentang rencana pembangunan hotel di tepi pantai menjelang PORDA, tentang sumber minyak di bawah tanah Raha, dan tentang penebangan kayu jati yang terus berlangsung hingga kini.
Ah kayu jati? Dengan sedih malam itu saya saksikan bagaimana truk-truk mengangkut kayu jati yang sudah diikat rapi dan langsung dimasukkan ke kapal-kapal yang akan menyeberangkannya entah kemana. “Kayu jati Raha kualitasnya nomor wahid,” begitu kata Roy. Saya terhenyak sejenak: kayu jati, nomor wahid! Betul-betul spiritual: kayu jati kayu yang hebat (makanya kita menggunakan ungkapan “jati diri” untuk mengungkapkan etos bangsa) dan wahid bukankah ahad (satu)? Pulau Muna ini pulau yang menyimpan “jati” kualitas ahad! Tentu tak elok jika penggerogotan atasnya (baik alam maupun kebudayaan) dibiarkan. Pada kesempatan ini saya ingin meminta sesuatu pada Roy dan Inal: jaga pulaumu dengan seluruh dayamu. Dapatkah kesenian berperan dalam hal ini?
Pada sebuah pagi, Roy dan Inal mengantar saya ke Pasar Raha. Sebuah kehidupan cukup ramai dibandingkan jalan-jalan kota Raha yang lengang dan lebih banyak dilintasi sepeda motor. Wa Ode Erawaty, gadis Raha yang juga menemani, mampu membuat sejuk kota Raha yang panas. Kulitnya yang putih kehitaman seperti kulit roti tak matang di pembakaran: mengingatkan saya pada sebuah film Prancis yang tokohnya (orang kulit putih) ingin berkulit coklat sebagai bentuk negoisasi budaya terhadap tempat tinggalnya: sebuah kota di Amerika Latin, bekas jajahan Prancis!
Penyeberangan ke Raha (sekali melalui Tampo, sekali lagi melalui pelabuhan Kendari) juga menyimpan kenangan. Dari laut lepas yang tidak terlalu keras ombaknya dapat terlihat bagaimana indahnya tepi-tepi Sulawesi Tenggara. Di selat Cempedak ombak memang membuat jantung agak berdetak, tetapi pada saat itulah tercipta sebuah sajak:….jantung berdetak di selat cempedak/ pulau-pulau meminta untuk kudekap/ superjet melaju ke laut biru/ memburu yang kita tuju…(2004)
Apa yang kita tuju? Siapakah “kita”? Pada saat itu yang ada: saya, Era, dan Gani, selebihnya penumpang lain. Tapi dalam konteks tulisan ini, izinkan saya memaknainya secara lain: apa yang kita tuju dengan berkesenian, entah itu berteater atau bersajak sebagaimana dilakukan kawan-kawan yang dihimpun Teater Sendiri ini?
***
Betapa senang ketika Syaifuddin Gani mengirim sms kepada saya yang intinya meminta saya mengantari sajak-sajak yang diantologikan menjadi buku Sendiri 3. Buku ini akan diluncurkan/dibacakan dalam pembukaan Festival Teater Pelajar (FTP) Se-Sulawesi Tenggara dalam rangka 14 tahun Teater Sendiri yang diasuh Achmad Zain, sebuah kelompok teater yang aktif mementaskan garapannya, baik di kota Kendari, Sulawesi Tenggara umumnya, Makasar, Banjarmasin, Samarinda, Surabaya, Yogyakarta, maupun Jakarta. Sesuai namanya, meski mungkin “sendiri”, mereka terus berproses, sebagaimana ditekadkan Achmad Zain melalui sajaknya: Din/ melangkahlah selama kaki kanan/ dan kaki kiri belum menyatu (sajak “Sembilan Anak Tangga”). Ungkapan sederhana yang mengejutkan, sekaligus simbolik mengingat judul “Sembilan Anak Tangga” mengisyaratkan keharusan tuntasnya menempuh perjalanan untuk mencapai tangga sepuluh: dan di puncak tangga ada cahaya membias/ biarkan menerpa wajah kita. Sejenis puncak pencerahan atau spiritual hasil proses perjalanan yang akan menjelmakan “jati diri” para pejalan budaya.
Pengalaman dua kali menikmati Kendari (dan Raha) ternyata tidak sama dengan pengalaman membaca lebih dari 100 sajak dari 11 penyair dalam buku ini. Itu adalah bukti bahwa Kendari dalam pencerapan saya adalah segugus versi dan Kendari yang direspons/ dihadirkan 11 penyair adalah versi yang lain. Keberagaman pencerapan, juga tafsir, amat tergantung pada pengetahuan dan pengalaman setiap orang, baik secara kuantitatif maupun terutama kualitatif. Setiap individu adalah perspektif dan karena itu akan melahirkan gambar yang beragam. Dari asumsi ini saja sudah muncul keharusan berkomunikasi, bahkan bernegoisasi, dalam merespons hal-ihwal yang hadir baik secara diakronis (perspektif waktu) maupun sinkronis (perspektif ruang). Uraian ini tidak lain sebentuk komunikasi dan negoisasi dalam perspektif ruang dan waktu pencerapan.
Negoisasi budaya niscaya tak terelakkan. Pengalaman-pengalaman pahit di masa silam (sejarah) karena ulah kolonialisme dan kenyataan kini yang jauh dari harapan adalah kontradiksi yang menuntut negoisasi. Sekurang-kurangnya respons bila solusi belum mungkin dilakukan. Lagi pula sajak tidak ada urusan dengan solusi, jika pun ada biarlah pembaca yang bicara. Kontradiksi itu sering membuat para penyair gelisah sebagaimana diungkapkan Syaifuddin Gani dalam “Langit Tak Terjangkau” yang merespons Losari (pantai di Makasar): sepanjang losari/ kau sabdakan cerita-cerita silam/ dan kau tikamkan lagu asing…..dan si mata biru itu/ telah lama berlalu/suatu saat aku akan datang lagi, katanya/ tak lagi memanggul senjata/ tapi mendulang sejarah dan pusaka.
Negeri ini memang sudah merdeka, tapi apakah betul merdeka sebenar-benar merdeka? Tentu belum. Selain beragam kuasa dari berbagai belahan penjuru dunia terus mengintai, kita juga harus berhadapan dengan para penindas dari negeri dan lingkungan sendiri. Kau lirik dalam sajak di atas bereaksi atas keasingan di kotanya:…kalau kau datang, kuberondong kau/ dengan sebilah siri’/ katamu, sambil pasakkan pagar dan pugar. Cukup tegas bahwa kuasa lokal, mungkin kearifan lokal (siri’) dalam sajak itu dihadapkan pada suara dominan (modernisasi/ globalisasi yang berbau Barat) yang representasinya “anak dara berbaju bodo/ menari di atas panggung” di tengah “kecapi yang merintih dan teriris”.
Dalam cara berpikir dikotomis atau oposisi biner adalah lumrah bila hitam dihadapkan pada putih, tradisi ditentangkan pada modernisasi. Akan tetapi kuasa dominan tidak selalu datang dari Barat dan tradisi tidak selalu menjadi harapan. Sering muncul kebimbangan dan persoalan di sini. Meski dengan sajak yang anasirnya kurang terjaga, dalam sajak “Kekalahan Dini Hari” Sendri Yakti mengungkapkan persoalan itu: Malam marut, kata-kata mengerucut/ menerobos sejarah yang menggumuh di sudutsudut/ di udara merambat musik bingar, igau yang riuh/ percakapan jadi liat dan menoreh pedih/ sudah kulupa, kapan negeri ini merdeka…. kita berdebat tentang feodal yang kataku belel/ tapi masih kau panggil ayahmu ode/ tak seperti kudecak lidah/ dan memanggil kucingku sultan…
Dua sajak di atas, meski bukan sajak terbaik dari kedua mereka, melukiskan situasi masyarakat poskolonial, di mana sisa kolonialisme masih mengganjal, modernisasi dan globalisasi tak bisa membuat manusia tentram, tetapi pada saat bersamaan tradisi lokal belum mampu menaungi manusia dalam rasa betah. Kembali ke tradisi lokal belakangan dianggap sebagai jalan untuk menyikapi keadaan. Tentu saja bukan tradisi asal tradisi, melainkan kearifan lokal yang dapat membantu menyelesaikan banyak soal kehidupan dewasa ini yang kian kompleks. Sayangnya seperti diungkapkan Irawan Tinggoa tradisi sebatas ritus belum dapat berbuat banyak. Perhatikan sajak “Ritus Mosehe”, terutama bait terakhir: sepejam matataawu dihunuskan:/kerbau putih sebagai tumbal/darahnya bercecer mengusir sesal/ia lemas telah mengusir tikai/yang tak padam.
Di antara penyair dalam buku ini, Irawan Tinggoa menunjukkan hasrat besar merespons banyak soal dengan pendekatan tradisi lokal. Sekurang-kurangnya banyak istilah-istilah lokal dibaurkan ke dalam komposisi sajaknya yang cukup lancar mengalir. Kepekaannya pada momen dan hasratnya untuk “mengucapkan” tradisi berpotensi untuk melahirkan sajak sederhana tetapi mendalam. Responsnya terhadap suasana kota terasa sederhana dan jenaka: selokan kota gerah berpenuh cena/di tepi-tepi rumah kumuh membuncah/mengepul bau kemenyan/menebar aroma kematian/seorang dukun kota/sesaat meringis diserang bala diare (sajak “Kota”).
Hiruk pikuk kota siang malam di banyak daerah di negeri ini sering menjadi tema dan kegelisahan para penyair ketika memaknai diri dan kehidupan di sekitarnya. Memang kontradiksi (harapan dan kenyataan berbeda) adakalanya menarik direspons dengan sederhana dan jenaka sebagaimana dilakukan Irawan dalam sajak “Kota” di atas. Lihat pulalah sajak Karmil Edo Sendiri yang berjudul “Gelap”. Sajaknya yang merespons kota dimainkan lincah dengan wacana Edison (penemu listrik) dan Einstein (penemu teori relativitas) dalam ikatan persoalan gelap dan terang keadaan. Bait akhir sajak ini jelas merupakan kritik terhadap perilaku sebagian masyarakat yang suka melakukan “transaksi” di “tempat gelap”.
Saya tidak tahu apakah di Kendari dan sekitarnya ada tradisi lisan yang mengandalkan kekuatan irama dan bunyi kata. Yang jelas Didit Marshel tampak kuat memainkan irama dan bunyi kata-kata, sebagian mirip pantun bahkan mantra, meski pada sebagian sajak terasa dipaksakan. Kekuatan memainkan irama dan bunyi kata tampak tegas dalam “Negeri Batu” misalnya. Banyak kata batu yang tentu bukan sembarang batu digunakan Didit untuk mengkritisi kehidupan kita sekarang yang memang sudah membatu. Sebuah keadaan yang meminta dipecahkan, oleh sejenis “kapak” (idiom Sutardji Calzoum Bachri) atau oleh benda khas di lingkungan Kendari dan sekitarnya.
Sajak pada umumnya memang suara lain, suara aneh yang ganjil, yang sunyi dan kesepian, di tengah riuh kota, manusia dan masyarakat batu yang berkata-kata bukan atas kesadaran. Suara penyair dikekalkan dalam kata. Dan kata, sebagaimana diungkapkan Irianto Ibrahim, meski diambil oleh orang tidak akan pernah kehilangan hakikatnya. Bacalah “Sajak untuk Dhani” yang menghidupkan kata-kata dalam permainan dan renungan:…Tetaplah bersama kata/ Biarkan ia tumbuh dan tegak berdiri/ Ketika satu orang mengambil satu daunnya/ tidak berarti ia kehilangan nama pohonnya.
Kata, itulah harta penyair yang paling berharga. Jika penyair kehilangan kata, habis sudahlah eksistensinya. Itu sebabnya setiap saat penyair bergulat dengan kata. Tentu saja bukan semata bermain sekedar memainkan kata-kata, melainkan menggali kemungkinan kata-kata. Ironisnya sekarang ini penyair hidup di masyarakat yang nyaris kehilangan kata-kata. Benda-benda telah menggantikan komunikasi sehari-hari. Benda-benda merebut posisi kata sebagai citra. Benda-bendalah yang kini menjadi citra: rumah, mobil, handphone, pakaian, dan benda-benda produk industri lainnya. Teater mutakhir di negeri ini, juga di dunia, menyikapi kenyataan ini dengan menghadirkan pergelaran tanpa kata-kata. Teater kembali ke akarnya semula: tubuh dan segala kemungkinan potensi tubuh.
Lalu apa yang akan dilakukan penyair ketika kata telah direbut iklan dan retorika politik? Haruskan kita hanya dan hanya berkawan sunyi sebagaimana diungkapkan Iqbal Oktavian dalam sajak “Bersama Kesunyian”? Atau “kita hanya kuasa/ menunggu kapan saat itu tiba/ di mana waktu berhenti/ dan kita ditagih pertanggungjawaban/ sang waktu (sajak “Perjalanan Waktu” karya Tongis Alamsyah)? Dan karenanya kita tak perlu melakukan apa-apa karena kata yang kita cipta akan sia-sia, karena waktu dan tempat kita berdiam telah melakukan segalanya, dan kita cukup “melekat pada tubuhmu” (sajak “Kota Muna” karya Royan Ikmal”). Dan kemudian alam memberi musibah karena kita melalaikannya seperti diungkapkan Royan Ikmal dalam “Syair Muna yang Terbang”?
Saya kira saya tak perlu pesimis. Meski sajak-sajak para penyair di buku ini lebih banyak menyampaikan gambaran muram, tetapi kesetiaannya untuk terus berkata-kata membuat saya cukup optimis. Kesanggupan mereka bertahan di “negeri batu” dan keriangan mereka “memainkan” kata-kata tentu menambah optimisme saya. Pasti saya akan lebih optimis jika mereka lebih serius belajar membaca dalam pengertiannya yang luas, lebih khusuk mempelajari masa silam dan masa kini, baik di Kendari maupun di luar Kendari.
Masalah penyair tentu bukan sekedar kata-kata. Jika kata-kata itu representasi kehidupan, interaksi kehidupan, dan unsur pembentuk kehidupan, maka persoalan mendasar penyair adalah kehidupan itu sendiri. Menyelami kehidupan tidak selalu harus melulu langsung, melainkan bisa melalui kata-kata para penjelajah kehidupan. Untuk memuliakan kata-kata, seorang penyair dapat memulainya
dengan serius membaca karya-karya penyair lain dalam bentangan sejarah sastra Indonesia, sejarah sastra dunia, bahkan sejarah sastra di Kendari dan sekitarnya.
***
Secara jujur harus dikatakan, sejauh terlihat dari sajak-sajak dalam buku ini, pergulatan para penyair selayaknya diintensifkan. Pada sejumlah sajak mereka tidak jarang masih terdapat kelemahan dasar komposisi yang mungkin disebabkan karena belum utuhnya pengalaman puitik, belum pekanya pada kata-kata, belum tajamnya mencipatakan ungkapan segar, atau belum terlatih mengontrol logika imajinasi yang membuat anasir sajak tidak saling mendukung makna atau kegelisahan penyairnya. Adakalanya pula hasrat untuk menyampaikan sesutu terlalu kuat sehingga baris/ bait sajak menjadi pengap oleh kata-kata abstrak.
Menulis sajak barangkali ibarat mendaki puncak. Pada awalnya kita berjalan di keriuhan banyak orang, berkawan kata-kata klise, lalu memasuki kampung-kampung sunyi, pematang-pematang lengang, lembah yang membuat hati gelisah, rumpun-rumpun rimbun di mana hanya ada satu dua orang melintas, menaiki tebing terjal atau licin, berkenalan dengan akar dan juntaian pohon-pohon besar, gelap dan dingin, matahari tak terlihat, bulan entah di mana, hingga akhirnya sampai di puncak setelah pori-pori tubuh meneteskan jutaan keringat.
Atau seperti menuju samudera dengan gelombang tak terkira. Pada mulanya kita bertamasya saja di bibir pantai, berenang di tepian, agak ke tengah dan mulai merasakan gelombang di permukaan dan kedalaman, terus berenang ke tengah hingga akhirnya menyatu dengan samudera di mana segala jenis karang, gelombang, ikan, topan, dan badai lautan menjadi bagian diri dan kehidupan.
Baik dalam mendaki puncak maupun menembus samudera, perkara latihan tentu penting. Akan tetapi keberanian memasuki pahit-getir kehidupan dan kejujuran mengungkapkan kepada orang lain tidak kalah pentingnya. Mungkin kita tidak menjadi apa-apa, tidak menjadi pahlawan atau pujaan, tidak diberi hadiah seperti para pendaki gunung atau peloncat indah dan perenang dalam perlombaan. Akan tetapi kita telah berdialog dengan mereka, dengan yang menjangkau samudera di atas kapal atau melihat puncak dari helikopter: meyakinkan mereka bahwa kata, suara lain yang aneh dan ganjil itu, bisa “sekuasa” benda-benda. Itulah kira-kira negoisasi budaya.
Selamat berulang tahun Teater Sendiri. Karena engkau telah “bernegoisasi” dengan berbagai suara, termasuk suara dominan, di Kendari, percayalah diri engkau tidak akan pernah sendiri. ***
Cipocok-Serang, 15 Agustus 2006
Pukul 01.16 WIB
_________________
** Wan Anwar, penyair dan esais. Bekerja sebagai editor di majalah sastra Horison dan sebagai dosen di FKIP Untirta Banten. Bukunya yang sudah terbit: Sebelum Senja Selesai (2002), Sepasang Maut (2004), dan Kuntowijoyo dan Dunianya (2006). Tinggal di Cipocok-Serang, Banten.
* Catatan dari Syaifuddin Gani:
Pada tahun 2006, saya menghubungi Kang Wan Anwar (Alm.) untuk membaca dan menulis pengantar buku puisi “Sendiri 3″. Dengan senang hati, Kang Anwar menerimanya. Saya selalu membaca ulang tulisan ini almarhum. Di bagian awal tulisannya, sangat menarik dan mengaharukan, bagaimana pandangan dan penghayatannya tentang Kendari. Semoga almarhum mendapat tempat yang indah di sisi-Nya.
Sumber: http://kendarisyaifuddingani.blogspot.com/2010/03/kendari-dan-negoisasi-diri.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar