Raudal Tanjung Banua
http://sastra-indonesia.com/
Pada tanggal 4 Jan 1960, Albert Camus, penulis lakon Caligula, meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil dekat Villeblein. Ia lahir di Mondovi, Aljazair, 7 November 1913, tetapi lebih dikenal dalam khazanah filsafat dan sastra Prancis. Berasal dari keluarga veteran Marne, Camus mencecap kehidupan yang sulit; kemiskinan, perang dan penyakit. Mungkin pengalaman ini yang membekas pada aktivitas dan karya-karyanya kemudian.
Camus misalnya, bergabung dengan koran bawah tanah Combat yang mewartakan penderitaan manusia di tengah kecamuk perang dunia kedua. Sebagai filsuf yang hidup sezaman dengan Sartre, Camus menolak pandangan kaum materialisme dan kaum idealisme. Yang pertama menganggap eksistensi manusia sama dengan eksistensi materi atau benda-benda; yang kedua kelewat mengagungkan pikiran manusia di atas segalanya. Sembari itu, ia melancarkan otokritik terhadap kaum eksistensialisme yang kadangkala menisbikan hakikat kemerdekaan manusia.
Sementara karya dramanya yang masyhur, Caligula, pada kenyataannya lahir sebagai sublimasi pengalaman empiris dan filosofisnya, sehingga sangat kritis, pedas dan memiliki keberpihakan yang tidak konvensional.
Ke dalam khazanah sastra-drama Indonesia, Caligula diterjemahkan oleh Asrul Sani, yang meninggal 11 Januari (kebetulan sama-sama Januari) 2004 di Jakarta. Asrul lahir di Rao, Pasaman, Sumatera Barat, 10 Juni 1926 dan dikenal luas dalam khazanah sastra, teater, film dan pemikir budaya tanah air.
Asrul di antaranya mendirikan perkumpulan “Gelanggang Seniman Merdeka” bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin; mengasuh rubrik budaya “Gelanggang” di warta sepekan Siasat; serta bersama-sama pula menerbitkan buku puisi monumental Tiga Menguak Takdir. Dalam teater, ia antara lain dikenal sebagai pendiri dan Direktur Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) yang menjadi tonggak teater modern (akademik) Indonesia, di samping menerjemahkan banyak lakon asing pilihan, termasuk Caligula. Di film, namanya abadi bersama karya film yang disutradarai-nya seperti Pagar Kawat Berduri, Apa yang Kau Cari Palupi, Salah Asuhan dan drama Makhamah.
Kenyataan bahwa Asrul Sani sebagai pemikir kebudayaan, terlihat dari pernyataan “Surat Kepercayaan Gelangga-ng” yang digagasnya. Surat yang dimuat pertama kali dalam “Gelanggang”/Siasat, 23 Oktober 1950 itu, menjadi sangat terkenal terutama karena pandangannya yang menyatakan “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia; dan kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tak ingat kepada melap-lap kebudayaan lama sampai berkilat untuk dibanggakan.”
Lalu, apakah hubungan antara Albert Camus, Caligula dan Asrul Sani? Tentu saja sebuah hubungan sangat kompleks, sarat dengan idiom kemanusiaan yang menarik untuk diaktualkan.
Albert Camus – Asrul Sani: Tindakan dan Pandangan
Albert Camus merupakan sosok yang ingin terlibat dal-am segala hal; tak hanya merenungkan segala sesuatu dari meja kafe–sebagaimana dilakukan Sartre dan kekasihnya, Simone de Beauvoir–atau dari belakang meja akademi dalam konteks Asrul Sani, melainkan terjun langsung ke lapangan kebudayaan.
Empirisme ini melahirkan gagasan dan tindakan yang memberi antitesa pada kemapanan. Camus misalnya tidak dapat menerima begitu saja ungkapan rasionalitas yang ditoreh Descrates, Corgito ego sum, “Aku berfikir maka aku ada”, namun melangkah lebih jauh, “Aku memberontak maka aku ada!” Lewat cara ini, Camus tidak menerima begitu saja paham eksistensialisme yang telah dirintis dengan bersahaja oleh Kierkegaard atau Nietzsche yang heroik —dan tidak pula menjadi varian bagi kemegahan Sartre. Meskipun dibanding Sartre, Camus lebih dikenal sebagai sastrawan ketimbang filsuf, sesuatu yang ironis dan tak adil sebenarnya.
Padahal, pandangan Camus mewarnai filsafat eksistensialisme dengan antitesa terhadap kaum materialisme dan idealisme, sekaligus otokritik trhadap eksistensialisme. Camus percaya bahwa untuk menjadi “ada” manusia harus merumuskan “cara” dan menempuh “upaya” dan itu tidak mungkin dilakukan oleh benda-benda; akan tetapi “cara” dan “upaya” itu terletak di atas kemerdekaan diri, jiwa yang otonom. Ada suara pemberontakan di situ, tapi sekaligus kearifan merumuskan pandangan relatif netral.
Di sisi lain, Asrul Sani menyadari eksistensi manusia Indonesia dibangun lewat proses kebudayaan yang agung dimasa silam, tapi itu tidak bisa diisolasi dari dunia-lapang luas. “Surat Pernyataan Gelanggang” sesungguhnya berangkat dari sini: menjadi antitesa “Polemik Kebudayaan” antara STA & Armjn Pane. Namun, “jalan tengah” yang ditawarkan Asrul kerap dipahami sebagai “jalan aman”, padahal itulah jalan ideal.
Nirwan Dewanto misalnya, kerap mengutip pernyataan ini secara sepenggal, khususnya “kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia” yang kemudian dianggap mewakili pandangan Asrul dkk. Padahal, pernyataan itu mestilah dipahami secara utuh, tak sepenggalan, apalagi berpretensi memojokkan. Nirwan menganggap ketegasan sikap tersebut sebagai “upaya meminta-minta” pada dunia, khususnya Barat, padahal disimpulkan dari sekerat kalimat! Sungguh ironis!
Teks dan Konteks Caligula: Mempertimbangkan Eksistensi Kebudayaan Kita
Caligula merupakan karya masterpiece Albert Camus yang memuat pandangannya terhadap hidup, takdir dan nasib sebagai satu-kesatuan rumusan eksistensialisme. Bukan suatu kebetulan, sebagai penerjemah, Asrul juga berurusan deng-an idiom “takdir” dalam merumuskan posisi dan eksistensi (kebudayaan) manusia Indonesia. Kata “takdir” pada buku puisi Asrul dkk. kadang ditafsirkan merujuk Sutan Takdir Alisyahbana (STA) yang pandangannya hendak dibongkar Asrul. Akan tetapi, “takdir” juga merujuk pada pusaran eksistensialisme, katakanlah dalam konteks kesastrawanannya yang mesti menjalani takdir: “dikutuk” untuk terus menjadi manusia gelisah, seperti Sisiphus atau Caligula.
Teks Caligula sendiri bercerita tentang menghilangnya Caligula, seorang raja muda, dari istana; membawa kesedihan mendalam atas meninggalnya orang yang dicintainya, Drusila. Ia mengembara di lorong kota Roma sembari mengolah pikirannya perihal hidup dan nasib. Sejauh manakah kemerdekaan manusia atas takdir kalau orang yang dicintai seorang raja pun tak luput dari kerkap tangan takdir? Takdir macam apakah yang dijalani manusia shingga harus menderita, misalnya oleh perang dan pembunuhan?
Pertanyaan-pertanyaan ini mengantar Caligula pada kesimpulan bahwa takdir mesti dilawan karena mengancam kemerdekaan dan eksistensi manusia. Ia pulang, dan segera melaksanakan gagasan pencerahan tersebut: hidup yang keras dan tak terduga, manusia yang akan mati dan tidak berbahagia, haruslah dihadapi dengan cara yang keras dan tak terduga pula. Maka tak terduga, Caligula menzalimi kerajaannya: membunuh, memperkosa, dan melecehkan rakyatnya sendiri. Absurditas ini memberi antitesa pada takdir: kalau manusia mati dan ia tak bahagia, maka harus ada tindakan yang membuat mati tidak sekadar persoalan bahagia atau menderita, tapi persoalan cara dan upaya mempertahankan eksistensi.
Kita bisa mengaktualkan teks ini dalam konteks dunia sekarang yang penuh paradoks dan ironisme. Ada ancaman terhadap eksistensi (kebudayaan) manusia karena yang menang tampaknya adalah pandangan materialisme yang menganggap manusia tak ubahnya benda-benda yang bisa dieksploitasi seenaknya. Lewat imprealisme gaya baru, kapitalis-me dan militerisme internasional, pandangan itu mewujud terutama di negaranegara dunia ketiga, termasuk Indonesia! Sementara itu, kaum idealisme yang kelewat jumawa mengagungkan pikiran, jelas masih bertengger di menara gading dan sebagian menjadi korban (kalau tidak pengikut), kekuasaan. Sudah barang tentu ini mengancam eksistensi budaya dan ekologi, mematikan nalar dan daya kritis, dan yang lebih tragis: mengancam kemerdekaan manusia dalam menentukan nasib sendiri. Perdagangan bebas, perang dan invansi, jelas menolak “cara” dan “upaya” lain di luar mainstream.
Reaksi terhadap hal itu muncul beragam dari yang kooperatif hingga yang radikal seperti terorisme. Di satu sisi, terorisme menyebabkan kegoncangan pada seluruh tatanan hidup manusia (termasuk kebudayaan) tapi sebenarnya berpangkal pada satu soal: eksistensi. Tragedi 11 September yang mengguncang AS (kemudian juga Jakarta dan Bali, di sini!) jelas mengancam eksistensi umat manusia, akan tetapi di sisi lain sadarkah kita bahwa ada juga kelompok manusia yang eksistensinya tak terakui? Kelompok inilah yang kemudian bertindak dengan “cara” dan “upaya” yang sangat tidak lazim—membajak pesawat, menabrak menara, mele-dakkan bom (bunuh diri)—sebagaimana Caligula bertindak dengan caranya sendiri.
Di sinilah suara Camus kembali bergema: manusia, sia-papun ia, harus merebut eksistensinya, yang berarti mere-but kemerdekaannya, dari ketertindasan apapun. Karena manusia bukan objek, tapi subjek, maka berbagai “cara” dan “upaya” ditempuh dalam menghadapi tekanan nasib. Semestinya kita bertanya: siapa yang menekan dan siapa yang tertekan? Siapa yang tidak merdeka dan siapa yang leluasa? Di balik kutuk dan serapah terhadap teroris (sebagaimana juga terhadap Caligula), sesungguhnya kita perlu sedikit menyisakan suara jernih: bukankah Amerika dan sekutunya lewat noe-imperialisme, kapitalisme dan militer-isme dengan leluasa menekan eksistensi kelompok lain? Ketertindasan, apa boleh buat, telah memunculkan “cara” dan “upaya” yang tidak lazim dalam sejarah perjuangan eksistensi umat manusia. Separatisme, fundamentalisme, juga terorisme adalah sederet cara dan upaya yang terpaksa ditempuh untuk menunjukkan keberadaan diri atau kelompok tersisih.
Betapapun cara dan upaya itu tidak lazim, bahkan mengancam eksistensi itu sendiri, namun tidaklah untuk didiamkan dan dibutakan. Menjawab cara dan upaya yang tidak lazim dengan caracara yang juga tidak lazim seperti penangkapan konyol, main tuduh, perang, agresi, dan operasi militer hanya akan berbuntut pada kenyataan bahwa kekerasan adalah cara yang lazim. Maraknya jaringan terorisme, serta bergolaknya sejumlah daerah di Indonesia dari Aceh hingga Papua, boleh jadi berpangkal dari tertindasnya kebudayaan, rusaknya ekologi dan terancamnya eksistensi para pendukungnya. Tapi bukankah kita seperti membutakan mata , menulikan telinga?
Kalau demikian kenyataannya,maka penerjemahan Asrul Sani atas lakon Caligula karya Albert Camus, bertahuntahun yang lalu, memiliki nilai aktual dan relevansi dalam mempertimbangkan sikap dan eksistensi kebudayaan kita, baik ke luar maupun ke dalam, hingga hari ini. Ke luar, bagaimanakah sikap bangsa ini atas hegemoni kebudayaan kapital dan industrial; apakah mesti dilanjutkan atau ditiru untuk menggilas eksistensi kebudayaan non mainstream? Ke dalam, apa kabar kebudayaan Indonesia hari ini, apa kabar kemanusiaan kita, di tengah hingar-bingar politik reformasi, otonomi atau MTV?***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar