05/10/11

Camus, Caligula, Asrul Sani: Mempertimbangkan Kembali (Eksistensi) Kebudayaan Kita

Raudal Tanjung Banua
http://sastra-indonesia.com/

Pada tanggal 4 Jan 1960, Albert Camus, penulis lakon Caligula, meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil dekat Villeblein. Ia lahir di Mondovi, Aljazair, 7 November 1913, tetapi lebih dikenal dalam khazanah filsafat dan sastra Prancis. Berasal dari keluarga veteran Marne, Camus mencecap kehidupan yang sulit; kemiskinan, perang dan penyakit. Mungkin pengalaman ini yang membekas pada aktivitas dan karya-karyanya kemudian.

Camus misalnya, bergabung dengan koran bawah tanah Combat yang mewartakan penderitaan manusia di tengah kecamuk perang dunia kedua. Sebagai filsuf yang hidup sezaman dengan Sartre, Camus menolak pandangan kaum materialisme dan kaum idealisme. Yang pertama menganggap eksistensi manusia sama dengan eksistensi materi atau benda-benda; yang kedua kelewat mengagungkan pikiran manusia di atas segalanya. Sembari itu, ia melancarkan otokritik terhadap kaum eksistensialisme yang kadangkala menisbikan hakikat kemerdekaan manusia.

Sementara karya dramanya yang masyhur, Caligula, pada kenyataannya lahir sebagai sublimasi pengalaman empiris dan filosofisnya, sehingga sangat kritis, pedas dan memiliki keberpihakan yang tidak konvensional.

Ke dalam khazanah sastra-drama Indonesia, Caligula diterjemahkan oleh Asrul Sani, yang meninggal 11 Januari (kebetulan sama-sama Januari) 2004 di Jakarta. Asrul lahir di Rao, Pasaman, Sumatera Barat, 10 Juni 1926 dan dikenal luas dalam khazanah sastra, teater, film dan pemikir budaya tanah air.

Asrul di antaranya mendirikan perkumpulan “Gelanggang Seniman Merdeka” bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin; mengasuh rubrik budaya “Gelanggang” di warta sepekan Siasat; serta bersama-sama pula menerbitkan buku puisi monumental Tiga Menguak Takdir. Dalam teater, ia antara lain dikenal sebagai pendiri dan Direktur Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) yang menjadi tonggak teater modern (akademik) Indonesia, di samping menerjemahkan banyak lakon asing pilihan, termasuk Caligula. Di film, namanya abadi bersama karya film yang disutradarai-nya seperti Pagar Kawat Berduri, Apa yang Kau Cari Palupi, Salah Asuhan dan drama Makhamah.

Kenyataan bahwa Asrul Sani sebagai pemikir kebudayaan, terlihat dari pernyataan “Surat Kepercayaan Gelangga-ng” yang digagasnya. Surat yang dimuat pertama kali dalam “Gelanggang”/Siasat, 23 Oktober 1950 itu, menjadi sangat terkenal terutama karena pandangannya yang menyatakan “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia; dan kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tak ingat kepada melap-lap kebudayaan lama sampai berkilat untuk dibanggakan.”

Lalu, apakah hubungan antara Albert Camus, Caligula dan Asrul Sani? Tentu saja sebuah hubungan sangat kompleks, sarat dengan idiom kemanusiaan yang menarik untuk diaktualkan.

Albert Camus – Asrul Sani: Tindakan dan Pandangan

Albert Camus merupakan sosok yang ingin terlibat dal-am segala hal; tak hanya merenungkan segala sesuatu dari meja kafe–sebagaimana dilakukan Sartre dan kekasihnya, Simone de Beauvoir–atau dari belakang meja akademi dalam konteks Asrul Sani, melainkan terjun langsung ke lapangan kebudayaan.

Empirisme ini melahirkan gagasan dan tindakan yang memberi antitesa pada kemapanan. Camus misalnya tidak dapat menerima begitu saja ungkapan rasionalitas yang ditoreh Descrates, Corgito ego sum, “Aku berfikir maka aku ada”, namun melangkah lebih jauh, “Aku memberontak maka aku ada!” Lewat cara ini, Camus tidak menerima begitu saja paham eksistensialisme yang telah dirintis dengan bersahaja oleh Kierkegaard atau Nietzsche yang heroik —dan tidak pula menjadi varian bagi kemegahan Sartre. Meskipun dibanding Sartre, Camus lebih dikenal sebagai sastrawan ketimbang filsuf, sesuatu yang ironis dan tak adil sebenarnya.

Padahal, pandangan Camus mewarnai filsafat eksistensialisme dengan antitesa terhadap kaum materialisme dan idealisme, sekaligus otokritik trhadap eksistensialisme. Camus percaya bahwa untuk menjadi “ada” manusia harus merumuskan “cara” dan menempuh “upaya” dan itu tidak mungkin dilakukan oleh benda-benda; akan tetapi “cara” dan “upaya” itu terletak di atas kemerdekaan diri, jiwa yang otonom. Ada suara pemberontakan di situ, tapi sekaligus kearifan merumuskan pandangan relatif netral.

Di sisi lain, Asrul Sani menyadari eksistensi manusia Indonesia dibangun lewat proses kebudayaan yang agung dimasa silam, tapi itu tidak bisa diisolasi dari dunia-lapang luas. “Surat Pernyataan Gelanggang” sesungguhnya berangkat dari sini: menjadi antitesa “Polemik Kebudayaan” antara STA & Armjn Pane. Namun, “jalan tengah” yang ditawarkan Asrul kerap dipahami sebagai “jalan aman”, padahal itulah jalan ideal.

Nirwan Dewanto misalnya, kerap mengutip pernyataan ini secara sepenggal, khususnya “kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia” yang kemudian dianggap mewakili pandangan Asrul dkk. Padahal, pernyataan itu mestilah dipahami secara utuh, tak sepenggalan, apalagi berpretensi memojokkan. Nirwan menganggap ketegasan sikap tersebut sebagai “upaya meminta-minta” pada dunia, khususnya Barat, padahal disimpulkan dari sekerat kalimat! Sungguh ironis!


Teks dan Konteks Caligula: Mempertimbangkan Eksistensi Kebudayaan Kita

Caligula merupakan karya masterpiece Albert Camus yang memuat pandangannya terhadap hidup, takdir dan nasib sebagai satu-kesatuan rumusan eksistensialisme. Bukan suatu kebetulan, sebagai penerjemah, Asrul juga berurusan deng-an idiom “takdir” dalam merumuskan posisi dan eksistensi (kebudayaan) manusia Indonesia. Kata “takdir” pada buku puisi Asrul dkk. kadang ditafsirkan merujuk Sutan Takdir Alisyahbana (STA) yang pandangannya hendak dibongkar Asrul. Akan tetapi, “takdir” juga merujuk pada pusaran eksistensialisme, katakanlah dalam konteks kesastrawanannya yang mesti menjalani takdir: “dikutuk” untuk terus menjadi manusia gelisah, seperti Sisiphus atau Caligula.

Teks Caligula sendiri bercerita tentang menghilangnya Caligula, seorang raja muda, dari istana; membawa kesedihan mendalam atas meninggalnya orang yang dicintainya, Drusila. Ia mengembara di lorong kota Roma sembari mengolah pikirannya perihal hidup dan nasib. Sejauh manakah kemerdekaan manusia atas takdir kalau orang yang dicintai seorang raja pun tak luput dari kerkap tangan takdir? Takdir macam apakah yang dijalani manusia shingga harus menderita, misalnya oleh perang dan pembunuhan?

Pertanyaan-pertanyaan ini mengantar Caligula pada kesimpulan bahwa takdir mesti dilawan karena mengancam kemerdekaan dan eksistensi manusia. Ia pulang, dan segera melaksanakan gagasan pencerahan tersebut: hidup yang keras dan tak terduga, manusia yang akan mati dan tidak berbahagia, haruslah dihadapi dengan cara yang keras dan tak terduga pula. Maka tak terduga, Caligula menzalimi kerajaannya: membunuh, memperkosa, dan melecehkan rakyatnya sendiri. Absurditas ini memberi antitesa pada takdir: kalau manusia mati dan ia tak bahagia, maka harus ada tindakan yang membuat mati tidak sekadar persoalan bahagia atau menderita, tapi persoalan cara dan upaya mempertahankan eksistensi.

Kita bisa mengaktualkan teks ini dalam konteks dunia sekarang yang penuh paradoks dan ironisme. Ada ancaman terhadap eksistensi (kebudayaan) manusia karena yang menang tampaknya adalah pandangan materialisme yang menganggap manusia tak ubahnya benda-benda yang bisa dieksploitasi seenaknya. Lewat imprealisme gaya baru, kapitalis-me dan militerisme internasional, pandangan itu mewujud terutama di negaranegara dunia ketiga, termasuk Indonesia! Sementara itu, kaum idealisme yang kelewat jumawa mengagungkan pikiran, jelas masih bertengger di menara gading dan sebagian menjadi korban (kalau tidak pengikut), kekuasaan. Sudah barang tentu ini mengancam eksistensi budaya dan ekologi, mematikan nalar dan daya kritis, dan yang lebih tragis: mengancam kemerdekaan manusia dalam menentukan nasib sendiri. Perdagangan bebas, perang dan invansi, jelas menolak “cara” dan “upaya” lain di luar mainstream.

Reaksi terhadap hal itu muncul beragam dari yang kooperatif hingga yang radikal seperti terorisme. Di satu sisi, terorisme menyebabkan kegoncangan pada seluruh tatanan hidup manusia (termasuk kebudayaan) tapi sebenarnya berpangkal pada satu soal: eksistensi. Tragedi 11 September yang mengguncang AS (kemudian juga Jakarta dan Bali, di sini!) jelas mengancam eksistensi umat manusia, akan tetapi di sisi lain sadarkah kita bahwa ada juga kelompok manusia yang eksistensinya tak terakui? Kelompok inilah yang kemudian bertindak dengan “cara” dan “upaya” yang sangat tidak lazim—membajak pesawat, menabrak menara, mele-dakkan bom (bunuh diri)—sebagaimana Caligula bertindak dengan caranya sendiri.

Di sinilah suara Camus kembali bergema: manusia, sia-papun ia, harus merebut eksistensinya, yang berarti mere-but kemerdekaannya, dari ketertindasan apapun. Karena manusia bukan objek, tapi subjek, maka berbagai “cara” dan “upaya” ditempuh dalam menghadapi tekanan nasib. Semestinya kita bertanya: siapa yang menekan dan siapa yang tertekan? Siapa yang tidak merdeka dan siapa yang leluasa? Di balik kutuk dan serapah terhadap teroris (sebagaimana juga terhadap Caligula), sesungguhnya kita perlu sedikit menyisakan suara jernih: bukankah Amerika dan sekutunya lewat noe-imperialisme, kapitalisme dan militer-isme dengan leluasa menekan eksistensi kelompok lain? Ketertindasan, apa boleh buat, telah memunculkan “cara” dan “upaya” yang tidak lazim dalam sejarah perjuangan eksistensi umat manusia. Separatisme, fundamentalisme, juga terorisme adalah sederet cara dan upaya yang terpaksa ditempuh untuk menunjukkan keberadaan diri atau kelompok tersisih.

Betapapun cara dan upaya itu tidak lazim, bahkan mengancam eksistensi itu sendiri, namun tidaklah untuk didiamkan dan dibutakan. Menjawab cara dan upaya yang tidak lazim dengan caracara yang juga tidak lazim seperti penangkapan konyol, main tuduh, perang, agresi, dan operasi militer hanya akan berbuntut pada kenyataan bahwa kekerasan adalah cara yang lazim. Maraknya jaringan terorisme, serta bergolaknya sejumlah daerah di Indonesia dari Aceh hingga Papua, boleh jadi berpangkal dari tertindasnya kebudayaan, rusaknya ekologi dan terancamnya eksistensi para pendukungnya. Tapi bukankah kita seperti membutakan mata , menulikan telinga?

Kalau demikian kenyataannya,maka penerjemahan Asrul Sani atas lakon Caligula karya Albert Camus, bertahuntahun yang lalu, memiliki nilai aktual dan relevansi dalam mempertimbangkan sikap dan eksistensi kebudayaan kita, baik ke luar maupun ke dalam, hingga hari ini. Ke luar, bagaimanakah sikap bangsa ini atas hegemoni kebudayaan kapital dan industrial; apakah mesti dilanjutkan atau ditiru untuk menggilas eksistensi kebudayaan non mainstream? Ke dalam, apa kabar kebudayaan Indonesia hari ini, apa kabar kemanusiaan kita, di tengah hingar-bingar politik reformasi, otonomi atau MTV?***

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita