Dwi Arjanto, Hermien Y. Kleden
Majalah Tempo, 8 Nov 1999
TIDAK mudah menampilkan sosok Asrul Sani, penyair, sutradara, dan penulis skenario yang oleh orang film kini dianggap legenda. Asrul juga dokter hewan lulusan Institut Pertanian Bogor dan pernah menjadi anggota DPR selama tiga masa jabatan. Pengetahuannya sebagai dokter hewan hampir tidak dipraktekkan. Namun, selaku sastrawan dan seniman film, Asrul Sani tak pernah berhenti berkarya. Selain dikenal sebagai penyair Angkatan 45, dia juga menulis cerita pendek, esai, serta skenario film dan televisi. Anehnya, Asrul menyebut dirinya amatir dalam bidang-bidang ini. Sebab, “Seorang amatir melakukan sesuatu karena kesenangan.”
Asrul Sani memenangi piala Golden Harvest dalam Festival Film Asia 1970 untuk filmnya Apa yang Kaucari, Palupi. Sejak filmnya yang pertama, Titian Serambut Dibelah Tujuh (1959), disusul Pagar Kawat Berduri (1961), hampir ke-20 film yang disutradarainya mengangkat tema dengan muatan sosial politik yang pekat. Demikian juga cerita dan skenario film yang digubahnya—dua yang terakhir berupa komedi populer, yakni Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1985) dan Naga Bonar (1986). Dari tangannya juga bermunculan film televisi yang memikat—yang acap ditayangulangkan adalahMahkamah. Beberapa di antaranya bahkan diputar di Malaysia dan Singapura.
Istrinya, Mutiara Sani, ikut membintangi film layar lebar dan film televisi arahannya. Respons dari penonton cukup mendukung masa itu, terutama ketika serial televisi Siti Nurbaya—dengan skenario dari Asrul Sani yang dibuat berdasarkan novel klasik karya Marah Roesli—ditayangkan, jauh sebelum televisi Indonesia dilanda banjir sinetron. Ironisnya, Asrul, yang banyak dilibatkan dalam upaya menumbuhkan perfilman nasional, justru menyaksikan kehancuran film Indonesia itu sendiri. Menurut Asrul, penghancuran itu dengan sukses dilakukan Harmoko selama 15 tahun “berkuasa” sebagai menteri penerangan.
Asrul Sani, yang tak tertandingi di arena debat, menjadi anggota DPR selama 16 tahun. Ia sempat dicap sebagai “pemberontak” karena acap melancarkan kritik terhadap pemerintah. Katanya, aura demokrasi sudah menguap dari parlemen kita sejak 1971.
Bersama-sama Chairil Anwar dan Rivai Apin, Asrul Sani dikenal sebagai pelopor Angkatan 45 (ketiganya terwakili dalam kumpulan puisi Tiga Menguak Takdir). Tonggak mereka adalah Surat Kepercayaan Gelanggang, 18 Februari 1950, sebuah manifesto yang ditulis Asrul dan mencuatkan “konsepsi budaya” Angkatan 45. Dokumen ini diterbitkan pada 23 Oktober 1950, setahun setelah Chairil meninggal.
Asrul, ayah enam anak, kelahiran Rao, Sumatra Barat, 10 Juni 1927, adalah bungsu dari tiga bersaudara, anak pemuka adat Sultan Marah Sani Syair Alamsyah. Ditemui di kediamannya awal Oktober lalu, Asrul, yang rambut dan berewoknya telah bersepuh perak, tampak sehat dan bugar. Ingatannya jernih dan mendetail, bahkan tentang banyak hal sepanjang usianya yang sudah 72 tahun itu. Wartawan TEMPO Dwi Arjanto dan Hermien Y. Kleden tiga kali menemuinya di rumahnya, di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan.
Petikannya:
Apa yang ada di benak Anda sewaktu menyusun Surat Kepercayaan Gelanggang?
Terus terang, ada satu kesombongan. Kami merasa tidak perlu dibatasi dengan kebanggaan tentang Borobudur atau Shakespeare, misalnya. Apa yang ada di dunia adalah milik kita semua. Dan itu yang menjadi kenyataan.
Mengapa harus sombong?
Setiap pemuda itu sombong, tidak bisa tidak. Dia tidak akan maju kalau tidak arogan. Dia harus bisa separuh sinting memandang keyakinannya. Kalau tidak, dia juga tidak akan bisa berdemonstrasi. Sebagaimana umumnya gerakan avant garde, Angkatan 45 hanya berjalan di depan—sampai suatu saat ada orang lain yang lebih jeli yang memanfaatkan keuntungan. Angkatan 45 tidak punya waktu. Dia berlari terlalu cepat untuk mengejar apa yang diinginkan.
Apa saja yang dilakukan Angkatan 45 dengan semangat avant garde-nya?
Mereka membuka horizon-horizon baru, yang semestinya dilanjutkan. Sayang, generasi berikutnya tidak mendapat kesempatan menumbuhkan hal itu dengan caranya sendiri.
Apakah pertumbuhan itu berhenti?
Tidak berhenti. Sebab, bagaimanapun, ada yang muncul. Di Taman Ismail Marzuki, semasa Orde Baru, tetap saja ada ceramah. Tapi, yang bertanya, pengetahuannya sangat kurang. Kebebasan untuk mendapatkan buku bermutu amat terbatas. Yang paling fatal adalah sikap meniadakan polemik, meniadakan pertukaran pikiran. Sekarang, pertukaran pikiran itu berkembang kembali kendati orang masih ragu-ragu menggunakan bahasa setajam mungkin.
Bagaimana pergulatan antarkomponen inti Angkatan 45?
Yang menyatukan adalah kesamaan tanggapan terhadap penggunaan bahasa Pujangga Baru: kita menganggap bahasa Pujangga Baru tidak mengutarakan apa yang ingin diutarakan, tapi lebih mementingkan penyesuaian diri dengan kaidah-kaidah tata bahasa.
Menarik bahwa pengarang Angkatan 45, yang rata-rata anak priayi pegawai negeri, “memberontak” terhadap bahasa Pujangga Baru, yang mencerminkan kehalusan berbahasa kaum priayi.
Benar bahwa pengarang Angkatan 45 itu semuanya anak pegawai negeri. Tapi, anehnya, sudah lepas penghormatan kita terhadap priayi. Kita berpendapat, kelompok paling lemah waktu itu adalah pegawai negeri. Nilai intrinsik dalam Surat Kepercayaan Gelanggang adalah bahwa kita mencari manusia yang sudah dilepaskan dari bajunya. Kita menentang pendapat bahwa budaya kita hanya dibuat oleh bangsa kita.
Memangnya ada yang salah dari anggapan yang berkembang sebelum itu, yakni bahwa kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan Timur dan merupakan kumpulan dari puncak kebudayaan daerah?
Kebudayaan lahir seperti air yang mengalir. Kita boleh saja mengatakan menjunjung nasionalisme dengan menetapkan suatu pakaian yang “asli” Indonesia. Bukan itu yang ada dalam kenyataan. Kita tidak lagi berjalan dengan langkah-langkah kecil karena memakai kain kebaya, tapi bisa leluasa dengan celana blue jeans. Itu yang tampak dalam novel Saman. Masalahnya, pakaian baru ini akan diapakan? Kita jangan munafik mengatakan cinta pakaian nasional tapi tidak pernah memakainya. Apalagi baju nasional ternyata lebih mahal dari pakaian biasa.
Angkatan 45 sering disebut sebagai pembaharu pertama dalam khazanah sastra kita. Apa sebenarnya yang akan mereka capai?
Suatu angkatan mencari kebenarannya sendiri dalam situasi tersendiri dari zaman yang berlangsung.
Dan zaman kepada siapa Angkatan 45 terikat adalah revolusi.
Benar. Dalam film, misalnya, Usmar Ismail (pelopor perfilman Indonesia) mengatakan tujuannya adalah membawa revolusi ke layar putih. Dalam bidang kesenian, yang dikaji adalah keunikan manusia, yang amat perlu membuat kita lebih manusiawi.
Dalam pengertian yang bagaimana?
Menghargai pendapat orang lain. Suatu bangsa yang tradisi kesusastraannya tinggi dapat menghargai perbedaan pendapat. Kesusastraan membuat kita lebih manusiawi. Dengan membaca sastra, kita mengadakan dialog dengan diri sendiri. Demokrasi, hak asasi manusia, martabat manusia itu tidak bisa kalau tidak ada contohnya. Dan kesusastraan membawa pencerahan (enlightenment).
Kata-kata Anda mengingatkan pada apa yang ditulis Sjahrir di Penjara Glodok dalam bukunya,Renungan Indonesia: “Bagaimana kita bicara tentang manusia sedangkan kita tidak membaca novel?”
Lo, waktu itu, pelajar Indonesia memang malu membaca novel. Jangankan itu, bahkan Bung Hatta pun malu. Ketika di antara tumpukan bukunya ditemukan novel, Bung Hatta tidak mengaku kalau dia yang membelinya. Membaca novel pada masa itu dianggap membuang-buang waktu.
Bagaimana frame besar Angkatan 45 sebagai sebuah generasi kesusastraan?
Media yang dipergunakan tidak lagi berhasil mengutarakan apa yang ingin diutarakan. Kalau sekiranya zaman itu menjadi zaman yang sangat cepat, cara pengutaraan yang lambat tidak bakal dipakai lagi. Ada konflik dengan Takdir Alisjahbana di masa itu—sebuah konflik yang lebih banyak hubungannya dengan realitas sebagai sumber bahasa dan sumber penafsiran. Makanya, Angkatan 45 disebut angkatan pembaharu, yang sebelumnya telah dirintis Armijn Pane lewat novel Belenggu.
Armijn Pane merintis pembaruan sebuah angkatan lewat Belenggu, tapi tampaknya ia gagal melukiskan realitas masyarakat. Roman ini, yang bermain di Sawahbesar dan Tanjungpriok, tidak memberikan gambaran Jakarta pada waktu itu.
Ini memang masalah pengarang Indonesia. Realitas adalah sesuatu yang dia rekayasa saja, tidak ada hubungannya dengan sejarah. Begitu pula karya-karya memoar pengarang Indonesia. Memoar Jenderal Nasution, misalnya, hanya sedikit memberikan gambaran utuh, kendati ada beberapa bagian di buku itu yang menceritakan lingkungannya. Itu berbeda, misalnya, dengan memoar Laksamana Maeda yang dia tulis setelah Kaisar Jepang mengumumkan penyerahan Jepang kepada Sekutu.
Apa yang ditulis Maeda?
Ia tidak bercerita tentang kegundahan hatinya atas keputusan Tenno Heika. Dia kembali ke kantornya, duduk dekat jendela, menghadap ke jalan. Di situ ada pohon flamboyan. Lalu, ia menulis, “Pohon flamboyan sudah mulai berbunga, tanda musim hujan sudah mulai datang.” Maeda menuliskan realitas hati manusia yang berada pada titik nadir—tanpa perlu menyebut soal penyerahan Jepang kepada Sekutu yang begitu menggundahkan hatinya.
Dan soal realitas pula yang membuat Rivai Apin (Angkatan 45) mengejek-ejek Sutan Takdir Alisjahbana atau STA (Pujangga Baru) bahwa STA terlalu banyak retorika dan bahasa berbunganya.
Pujangga Baru memang tidak efektif dalam penggunaan bahasa. Angkatan 45 lalu memelopori pembebasan bahasa Indonesia dari kungkungan, baik oleh Pujangga Baru maupun sebelumnya. Dua orang yang sangat penting dalam membebaskan bahasa Indonesia menjadi alat pengutaraan pribadi adalah Chairil Anwar dan Bung Karno. Sukarno itu sangat tidak puas dengan bahasa Indonesia. Kita bisa membaca bahasanya yang hidup dalam bukunya Sarinah.
Masa? Bukankah buku itu ditulis dengan bahasa Indonesia yang baku?
Itu edisi yang telah direvisi. Anda harus membaca Sarinah edisi asli, yang diterbitkan pertama kali. Setelah Bung Karno menjadi presiden, buku itu kembali diterbitkan, tapi bahasanya diperbaiki sesuai dengan bahasa Indonesia yang baku, sehingga keasliannya hilang. Padahal, versi asli bahasanya sangat hidup, misalnya istilah “ahli fikir” dia tulis “macam-macam fikir”. Konkret sekali.
Bagaimana kedekatan Anda dengan Bung Karno?
Suatu ketika, saya menemui Bung Karno tatkala saya mau membuat film Tauhid di Mekah. Dia bertanya, “Pernahkah kamu membaca buku Tolstoy—sastrawan besar Rusia—tentang dua orang suami-istri? Pada suatu malam, keduanya hanya punya sepotong roti. Lalu, datang seseorang yang kelaparan. Suami-istri itu berunding, lalu memutuskan untuk memberikan roti itu kepada si orang lapar. Itu agama. Apa kamu menggambarkan hal seperti ini?” Lain dengan Sjahrir. Dia memberikan buku Roti dan Anggur, lalu saya disuruh menyusun arti sosialisme sendiri.
Benarkah generasi pertama kita yang memimpin Indonesia memang punya rasa kebudayaan (sense of culture) yang tinggi?
Benar. Suatu ketika, pada 1963, Bung Karno berkata kepada Roeslan Abdoelgani, “Roes, selama kamu tidak mengerti kebudayaan, kamu tidak akan mengerti politik.” Dan mereka banyak sekali membaca. Sekali waktu, Bung Karno memberi saya satu buku yang dia kagumi, memoar Alexander Herzen, seorang revolusioner Rusia yang romantik. Katanya, “Kau saja yang baca karena toh enggak ada yang bakal baca buku ini.”
Kembali ke soal Angkatan 45. Bagaimana awal perkenalan dengan Chairil Anwar, salah seorang karib Anda itu?
Saya ketemu Chairil pertama kali di Senen, sewaktu dia sedang berada di toko buku bekas. Sesudah Belanda jatuh, kan, mereka bisa melego buku-buku dengan harga murah. Chairil itu suka bermacam-macam buku. Dia seorang otodidak. Pendidikannya hanya SMP zaman Belanda, tapi dia bisa berbahasa Inggris, Belanda, dan Jerman. Pergaulan para sastrawan pada masa itu tergolong terbatas. Saya juga berkenalan dengan Usmar Ismail di Pusat Kebudayaan. Saya ke sana karena senang mendengarkan musik dan akhirnya berkenalan dengan Cornel Simanjuntak. Dia (Chairil) juga sangat blakblakan, termasuk blakblakan mengkritik, sehingga pernah dia berkelahi dengan H.B. Jassin karena hal itu.
Bukankah pertengkaran itu terjadi pada suatu acara pembacaan sajak di Gedung Kesenian Jakarta pada 1943?
Ya. Waktu itu kami datang sebelum pertunjukan. Chairil marah kepada Jassin karena ia menulis puisi yang tidak disukai Chairil. Padahal, H.B. Jassin suka senewen, apalagi kalau di depan orang banyak. Dia sedang asyik menghafal teks ketika tiba-tiba Chairil menyerangnya dengan kata-kata bahwa Jassin tidak mengerti puisi dan segala macam. Langsung saja Jassin menempeleng Chairil. Saya bisa memahami kejadian itu. Jassin bukannya tidak mengerti sifat Chairil yang blakblakan, tapi dia sendiri sedang menghadapi suasana grogi. Saya cuma bilang kepada Chairil, “Buat apa kau lawan si Jassin itu? Badannya saja lebih besar dari kau.”
Bagaimana persahabatan Anda, Rivai, dan Chairil?
Kami bertiga punya perjanjian tidak akan pernah saling tipu. Suatu saat, dia (Chairil) meminjam mesin tik dari saya. Beberapa lama kemudian, dia datang subuh-subuh ke rumah saya. Katanya, “Kita sudah berjanji tidak akan saling tipu, kan?” Saya mengiyakan. Lalu, dia bilang, “Mesin tiknya telah saya jual.” Dia tidak bekerja apa-apa. Tiap hari ya ke Senen itu, baca buku. Dan buku apa saja yang dia pinjam dari kawannya ya dijual. Barang apa saja yang dia pinjam dari temannya dijual. Dan itu tanpa rasa bersalah. Chairil adalah orang yang hidup 100 persen dari puisi. Akibatnya? Keluarganya harus ikut menanggung gaya hidupnya yang seperti ini.
Misalnya?
Anaknya, yang semata wayang, tidak mengenalnya. Padahal, Chairil sangat mencintai anak itu. Anak itu pernah dia “culik” dari istrinya, tapi dikembalikannya setelah dibujuk-bujuk. Kalau dia sudah tidak pulang tiga hari, saya sering diajak ke rumahnya untuk jadi tameng. “Istriku punya ikan. Kau bisa digorengkan ikan.” Dia betul-betul takut kepada istrinya, lebih-lebih kalau wanita ini sudah berkacak pinggang. Badannya yang besar itu benar-benar menakutkan buat Chairil, yang berbadan kecil dan kurus.
Sebagai teman yang begitu dekat, mengapa Anda tidak ikut mengantarkan dia ke pusara saat ia meninggal pada 1949?
Dia meninggal saat saya sedang di Bogor. Saya baru tahu peristiwa itu dua hari setelah ia dimakamkan. Dia meninggal tepat pada waktunya. Kalau dia hidup, barangkali dia sekarang berada di penjara karena berkali-kali menipu. Dia juga meninggal pada saat puncaknya sebagai penyair. Puisinya sudah selesai dan puncak keindahan itu bisa tersimpan selamanya.
Sajak Chairil yang terakhir adalah Derai-Derai Cemara. Di antaranya, dia menulis, “Hidup hanya menunda kekalahan….” Apakah ini juga gambaran dia “selesai” sebagai penyair?
Dia tidak kehilangan kreativitas menjelang meninggal pada 1949 itu. Tapi, sebagai penyair, dia sudah selesai. Dari omongan dan tulisannya menjelang akhir hayatnya, dia seorang esais yang baik—kendati dia belum jadi esais. Kami bertiga sempat berbicara lama. Waklu itu, Rivai sempat bilang kepadanya, “Lebih baik kau mengalah karena tak ada lagi yang dipertahankan dengan cara apa pun. Mulailah kembali dengan bentuk lain.”
Setelah Chairil meninggal, pertentangan apa yang membuat Anda juga berpisah dengan Rivai Apin?
Rivai itu tidak pernah berubah. Pada 1960-an, ada kutub politik komunis dan antikomunis. Yang “di tengah” itu tidak ada. Saya bilang ke Rivai agar pergi ke Eropa. Prof. Berlin, Ketua Bagian Kebudayaan di Kedutaan Besar Belanda, mengusahakan agar Rivai bisa pergi ke Belanda. Tapi, informasi yang beredar di sana, dia bergaul dengan orang-orang kiri. Akibatnya, ia tidak mendapat izin masuk Belanda.
Toh, dia ke Eropa juga setelah mendapat undangan pergi ke Berlin Timur?
Ya, dia pergi ke sana dan, sesudah itu, tertutuplah dia dengan dunia Barat. Bersamaan dengan itu, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) mulai aktif menawarkan bermacam-macam kedudukan, termasuk mengusulkan Rivai Apin menjadi anggota DPRD Jakarta Fraksi PKI. Tapi, bagaimanapun, Rivai tidak pernah berubah.
Maksud Anda?
Dia hampir tidak pernah menulis sewaktu memimpin Zaman Baru (majalah kebudayaan Lekra). Dan dia tidak mau melarikan diri setelah peristiwa G30S karena menganggap itulah konsekuensi dari pilihan berpolitik. Dia mengalami suatu situasi di mana dia sudah akan disingkirkan. Saya mencari dia setelah itu. Dia menunjukkan sajak-sajaknya. Saya mengerti kenapa kalangan komunis tidak bisa menerima sajak-sajaknya.
Pindah ke awal 1960-an. Saat itu, iklim politik kebudayaan diwarnai beberapa polarisasi, antara lain Lesbumi (Lembaga Seniman dan Budayawan Muslim Indonesia, yang didirikan Asrul Sani dan Djamaludin Malik, yang berafiliasi ke Nahdlatul Ulama). Bagaimana Lesbumi memosisikan diri waktu itu dalam polemik kebudayaan, misalnya?
Politik mulai masuk kebudayaan setelah kehidupan politik macet total, yaitu setelah presiden menjadi presiden seumur hidup dan pemimpin besar revolusi. Di situlah Lekra mulai agresif. Waktu itu, kita mengharap Sitor Situmorang, yang memimpin Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), bisa menghadapi Lekra. Nyatanya tidak. Sitor adalah penyair yang hebat tapi seorang politikus picisan. Karena terlalu kenes, dia mudah sekali dimainkan Lekra. Sesudah LKN makin jauh, mulai kita rasakan perlunya lembaga lain.
Tapi bukankah waktu itu Nahdlatul Ulama (NU) sama sekali tidak mau campur soal kebudayaan?
Memang. Tapi kalangan NU kaget setelah Lekra membuat suatu pertunjukan di Pekalongan berjudul Haji Tuan Tanah—sekitar 1964-1965. Mereka mulai menerima bahwa suatu kesenian tidak bisa diabaikan begitu saja. Sesudah itu, keterlibatan golongan pesantren dalam kesenian makin besar. Lesbumi tadinya dibentuk untuk kepentingan politik. Tapi belakangan, setelah keadaan berubah, yang menonjol adalah aspek kebudayaan.
Apa yang Anda rasakan dalam ingar-bingar polarisasi tersebut?
Teror. Itu betul-betul teror. Saat bangun tidur pagi, yang pertama kita baca di koran adalah teror dari pihak mereka, pelarangan, pemecatan. Saya bukan pegawai negeri sehingga tidak bisa dipecat. Tapi Taufiq Ismail, yang pegawai negeri, sangat terpukul dengan pemecatannya sebagai pegawai negeri.
Anda memang bukan pegawai negeri di zaman Sukarno. Tapi Anda menjadi anggota parlemen selama 16 tahun dalam masa Orde Baru. Mengapa bertahan di Senayan hingga 1982, padahal Anda menyebut demokrasi sudah berakhir pada 1971?
Ada semacam solidaritas—jadi bukan karena alasan pragmatis. Terus terang, saya tidak banyak dipengaruhi suasana. Pada 1971, saya masuk Fraksi NU—sebuah sayap yang bisa disebut idealis, yang masih bisa menegakkan semacam kontrol. Pada 1982, saya keluar dari Senayan. Saat itu, semua sarana untuk mengembangkan pemikiran dibunuh—karena dianggap sebagai polemik. Lalu, semuanya bergulir seperti yang sudah kita saksikan: selama 32 tahun, tidak ada pemikiran baru. Tidak ada pemimpin masyarakat yang bisa tumbuh tanpa legalisasi kekuatan militer.
Omong-omong, apa pernah berpraktek sebagai dokter hewan?
Sewaktu berpraktek di kampus dulu. Setelah itu, tidak lagi. Di kampus, saya belajar berpikir sistematis. Itulah keuntungannya. Saya menganggap pendidikan adalah pendidikan pribadi. Saya tidak bisa menjual apa yang ada di diktat. Tapi saya bisa menjual apa yang bisa saya olah sendiri.
Sumber: http://id-id.facebook.com/notes/tentang-sastra-dan-budaya/wawancara-asrul-sani-angkatan-45-membebaskan-bahasa-indonesia-majalah-tempo-8-no/178250935563573
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar