17/05/11

Tempat, Non-Tempat: Pergulatan Al-Hallaj dan Nietzsche

Asarpin *
http://sastra-indonesia.com/

Nietzsche adalah al-Hallaj yang diasingkan orang dalam negerinya. Ia lolos dari tangan para mullah, tapi terjerambab ke tangan para dokter!
–Mohammad Iqbal, Javid Namah (Kitab Keabadian), terj.Mohamad Sadikin, Panjimas, 1987, h. 80

Ia seorang sufi, yang dalam riwayat dicatat sebagai yang paling berani, dan karena itu ia dihukum mati. Para periwayat menyebutkan, ia seorang keturunan Persia dari garis kakeknya, tapi tentu saja ia bukan orang Persia tulen, atau orang Arab asli. Ia mungkin seorang hibrid. Tempatnya ada di mana-mana sekaligus tak di mana-mana. Tanah airnya seluas benua.

Sayang sekali ia hidup pada zaman ketika rahasia pengalaman puncak kebatinan hanya bisa dinyatakan lewat bahasa bisu kesyuhadaan. Rahasia pengalaman pribadinya dianggap belum sudi dibagi. Maka, ketika pergolakan kekuasaan memuncak di negerinya, ia pun sempat meninggalkan tanah airnya dan mengembara ke belahan dunia, berharap menjadi warga negara dunia. Mula-mula ia bertolak dari Jazirah Arabia untuk menyeberang ke India, Turkestan, bahkan sampai ke perbatasan negeri Cina. Dalam perjalanan mencari sumber-sumber mata air kesucian itu, sang darwis yang dekat dengan kaum papa itu ternyata masih menyempatkan diri untuk mengunjungi majelis para darwis di berbagai negeri Islam di tanah Asia.

Dalam lawatannya ke negeri seberang, bergulat dalam batinnya puspa pertanyaan: “Siapakah Kau, dia berkata, Kau! Tetapi untuk-Mu, kata ‘di mana’ berarti tak bertempat. Dan tak ada kata ‘di mana’ yang melekat padaNya. Pikiran pun tak sanggup membayangkanNya, pada suatu saat yang memberi peluang untuk mengetahui ‘di mana’ Kau berada. Engkaulah Tuhan yang meliputi setiap kata ‘di mana’, hingga sampai pada kata ‘tak ada di mana-mana’. Jadi, di manakah Kau?”

Sang sufi membayangkan ”tempat”-nya adalah ”non-tempat” (”Di mana” tidak lagi memiliki tempat, tulisnya dalam puisi terkenal). Tapi walau bagaimana pun ia menggunakan sebuah tempat tertentu pada tingkatan kosmis, di mana prinsip yang menentukan adalah hierarki para wali. Dan terbukti sejak itu, sang darwis yang menganjurkan lebih baik memberi makan yatim-piatu ketimbang pergi haji ini, memaklumkan dirinya sebagai guru sejati, dan mencoba menuliskan untaian tafsirnya tentang at tawasin al-azal wa al-Iltibas sebelum datangnya zaman nirakhir; tentang sebuah dalih menjadi dalil; tentang sebuah titik lingkaran yang tak terputus.

Kelak ajarannya menggegerkan para penguasa ketika ia berfatwa: “Dan akulah tanda penampakan-Nya: ana’l Haqq: sebuah kata yang sering diterjemahkan di sini menjadi ”Akulah Kebenaran”. Bahkan ada yang mempelintirnya menjadi ”Akulah Allah”. Sejak menyatakan ini sampai hari ini, hampir semua penyair sufi Persia pernah menyebut namanya, memujinya, menghadirkan alusi terhadap ketragisan hidupnya. Fariuddin Attar, Jalaluddin Rumi, hingga Khomeini, menabuh ”Tambur Mansur” sebagai bukti kecintaan kepada sufi yang tak lain adalah al-Hallaj ini.

II

Di sebuah tempat yang jauh, puluhan abad kemudian, muncul seorang pujangga-filsuf di tanah Jerman, yang sepanjang hidupnya telah menuliskan aforisme-afotegma perjalanan seorang suci dari Persia—sebuah negeri yang menurutnya memiliki banyak pemikir yang berani berkata jujur dan membidik lurus. Dalam usia tiga puluh tahun, ia meninggalkan kampung halamannya, mengembara turun gunung dan mendaki lembah-lemabah sunyi di belantara kusut dan sahara luas tak bertepi. Dalam suatu perjalanan ia berjumpa dengan orang suci di tengah hutan. Ketika orang suci itu sudah berpaling di hadapannya, ia pun bergumam: “Sungguhkah ini? Orang suci di tengah hutan itu belum mendengar, bahwa, Tuhan telah mati!”

Filsuf ini dikenal sebagai mistikus, walau di Eropa, kata Iqbal, tak seorang pun kenal akan liku-liku jalan mistik. Nietzsche adalah filsuf-mistik besar Jerman yang pengaruhnya masih terasa hingga kini.

Tapi siapa Nietzsche? Apakah ia metamorfosis al-Hallaj? Tak penting riwayat hidup tokoh ini. Yang jelas, ide-idenya yang anti-ide telah mengguncang singgasana kepausan dan keuskupan Jerman. Akibat untaian penanya yang paling pribadi, segalanya seolah tertidur dan bangun seketika oleh pekiknya yang terkenal: ”Tuhan telah Mati!”

Dalam jiwa yang hancur, fisik yang didera derita, sang tokoh kita tetap memaksakan untuk meneruskan perjalanan menuju negeri yang tak bertepi, ketika Tuhan tak lagi disebut-sebut sebagai dewa penolong. Dalam setiap perjalanan, ia menjumpai orang ramai di sebuah pasar yang ribut membincangkan ajarannya: “Di sana mereka tertawa, mereka tidak mengerti diriku; aku bukan mulut bagi telinga-telinga ini”, gumamnya.

Dalam fantasinya yang liar, ia pun berkhayal duduk di sebuah tempat yang belum pernah dilewati oleh telapak kaki manusia, kecuali binatang-binatang buas yang siap memangsa, lalu bersama kapal-kapal yang memuat lumpur dari muntahan bumi yang terabaikan, ia berangkat mengarungi samudera luas tak bertepi.

Sang filsuf yang sering dianggap sebagai ”pembunuh Tuhan” ini, berkali-kali menjelaskan pendiriannya tentang berfilsafat dengan palu. Dengan palu, hidupnya menjadi gairah, menjadi kreatif. Gairah pencarian dan dahaga estetiknya menghunjam sampai ke relung terdalam penafsiran. Dialah si penantang gereja paling ulung di Jerman dan pernah menyatakan Sabda Zarahustra yang menantang register Kitab Suci dan Anti-Krist yang mengingkari keberadaan Trinitas suci.

***

Nah, kisah perjalanan kedua virtuoso yang hidup di zaman yang sangat berjauhan itu, ibarat sebuah lautan pengetahuan yang paling sering digali, namun hingga kini tak pernah kering untuk ditimba kembali dari berbagai sisi.

Saya sendiri tak tahu siapa sesungguhnya Zarahustra orang Persia—si jenius yang meninggalkan jejaknya di belakang meja untuk mengembara ke dunia yang lebih luas itu—sebagaimana dikisahkan Friedrich Nietzsche lewat semangat amsal manusia pujangganya dalam Zarahustra (saya kutip dari versi terjemahan H.B.Jassin).

Apakah Zarahustra sebagai sosok alim Zoroaster yang pernah mengajarkan dualisme kehidupan di tanah Persia, yang pernah diuraikan dengan sangat mengagumkan oleh Tagore dalam salah satu bab buku The Religion of Man? Entahlah. Yang saya ketahui ialah: al-Hallaj memang orang Bagdad, tapi semua orang tahu bahwa si jenius agung yang dipancung pada masa Dinasti Abbasiyah dipimpin oleh Sultan al-Muqtadir itu seorang yang berdarah Persia dan ajarannya sangat khas para filsuf-sufi Persia.

Kita tahu, karya al-Hallaj yang terkemuka, at tawasin, telah diterjemahkan sejak abad ke-15 di Jerman melalui seorang ahli teologi Protestan jerman: F.A.D. Tholuck. Bisa jadi Nietzsche pernah bersentuhan dengan pemikiran al-Hallaj jauh sebelum ia menulis tentang Zarahustra yang mengingatkan kita pada Zoroaster di negeri Iran lama itu. Gumam-gumah lirih kedua pujangga yang kesepian itu begitu menghunjam kesadaran ratusan, atau mungkin ribuan manusia di muka bumi.

Zoroaster adalah ”penjaga malam hari, yang berdiri di puncak, sendirian menghadap ke Timur dan menyanyikan lagu-lagu pujaan cahaya kepada dunia yang tertidur ketika matahari muncul dari tepi cakrawala”, tulis Tagore.

Apakah yang kita rasakan setelah mengikuti maksim-maksim singkat dari kedua pemikir-sufi yang paling terkemuka itu? Adakah sesuatu yang bisa membuat kita ingin mencampakkannya jauh-jauh ke dasar jurang, atau membuat kita justru takzim, luluh ke dalam amor fati dan kefanaan yang masih belum habis-habisnya itu? Adakah selapis tipis makna selain nama dan makna, selain isyarat dan tempat, yang bisa membuat kita merasa bahagia tidak sebagaimana mengupas kulit bawang, dan tidak sekadar merepotkan pikiran sendiri oleh maksim-maksim dan aforisme-aforismenya yang keras kepala?

Sekali lagi, hanya Nietzsche yang tahu apa yang dimaui dengan amor fati-nya, sebagaimana al-Hallaj sendiri lebih tahu apa makna di balik kefanaan dalam ajaran Zen-Avesta—kitab suci yang dibawa Zoroaster—yang diakui kebenarannya oleh kakeknya. Namun, jika delusi John Forbes Nash—sang penderita skizofrenia yang kemudian mengantongi Hadiah Nobel itu—bisa dipercaya, barang kali Zarahustra adalah nabi bagi orang Iran lama—negeri yang “orangnya mudah bersimpati dan berbelarasa kepada orang yang kesepian”.

Zoroaster atau Zarahustra, bukan orang yang “mempunyai unta kuning” (sebagaimana ungkapan orang Iran untuk orang yang dianggap tidak waras namun cerdas). Warna kuning adalah warna gila, sebagaimana berkali-kali juga kita temukan dalam prosa-prosa Iwan Simatupang yang sangat fasih menerjemahkan kegelandangan Nietzsche.

Kita tahu, pandangan sufistik yang pernah hidup di Iran sejak Zoroaster sampai Khomeini di dasarkan pada tiga prinsip yang terkenal: kepatuhan pada imam, resistensi/revolusi terhadap tiran, kesucian diri seperti bayi. Api dianggap suci. Cahaya dan kegelapan terus berseteru. Anak-anak adalah harapan masa depan.

Para pemikir Iran dikenal sangat apresiatif terhadap dunia anak-anak, karena selain mengajarkan makna kepolosan dan kemurnian, anak-anak sering melahirkan ungkapan-ungkapan yang justru dianggap paling orisinal dan murni. Saya ingat Husein Thabataba’i—si cilik usia lima tahun yang telah fasih hapalan Quran dan meraih gelar doktor kehormatan dari Islamic University College Inggris yang hidup di zaman kita kini—sambil bermain mobil-mobilan dan menarik-narik kabel mikrofon, secara spontan ia menanggapi pertanyaan-pertanyaan penggemarnya dengan mengeluarkan ayat-ayat Quran dengan bahasa Persia yang sangat sastrawi dan syarat inspirasi.

Baik al-Hallaj maupun Nietzsche, banyak bersinggungan dengan dunia fantasi infantil. Apa yang menarik pada kedua tokoh ini bukan pada ada tidaknya pengaruh al-Hallaj terhadap Nietzsche, melainkan ketajaman imajinasi al-Hallaj yang telah menyumbang bagi perkembangan genre tafsir alegori mistikum. ”Dalam sifat dasar Adikodrati, kata al-Hallaj, terkandung sifat dasar adimanusia”. Dalam Adimanusia, kata Nietzsche, terkandung sifat Adikodrati. Di kalangan sufi, Adam sering dianggap adimanusia yang menjadi huwa huwa, ”persis Dia”, tapi kata Ibnu ’Arabi pula: ”Dia bukan Dia”.

Al-Hallaj telah mengajarkan tentang lingkaran “titik primordial”, Nietzsche seakan mengganti radar kecemasan Eropa dengan mengatakan: “kembalinya segala sesuatu secara abadi” setelah munculnya Adimanusia (Ubermensch). Dan bahala yang menimpa al-Hallaj di tiang gantungan puluhan abad lampau itu, telah mengajarkan pada kita tentang rahasia rasa pribadi yang tak sudi dibagi, sebagaimana juga bisa kita baca pada getaran imaji Albert Camus atau George Orwell ketika menuliskan adagium-adagiumnya saat menatap dingin tubuh para martir yang terkulai lemas di tiang gantungan dalam esai-esai mereka yang brilian.

”Bunuhlah aku, O sahabat-sahabatku yang terpercaya”, pekik al-Hallaj, ”karena dalam pembunuhanku adalah kehidupanku”. ”Aku mati sebagai mineral, dan menjadi tanaman. Aku mati sebagai tanaman, dan muncul sebagai hewan. Aku mati sebagai hewan, dan aku adalah manusia”, tulis Rumi dalam secarik sajak alegori mistik yang mengenang al-Hallaj.

Dalam melukiskan tragisnya kematian, al-Hallaj menjawabnya dengan prosa kefanaan—prosa kematian sekaligus kehidupan kembali. Kematiuan mesti disambut karena mempercepat pertemuan dengan Kekasih. Tragedinya, seperti halnya kisah bahala dalam legenda lama, epos atau mitos, sering kali resisten terhadap kekuasaan, dan oleh karena itu mereka tak bisa lama menghirup udara dunia. Para martir, sepanjang hidupnya, kerap kali berada dalam ruang antara dan bayang-bayang kematian. Hanya dengan begitu mereka bisa hidup dalam lorong-lorong jiwa manusia dalam setiap zaman dan masa. Al-Hallaj menggapi kehidupan yang berpuncak-puncak melalui kematian. Dan inilah tujuan para sufi. ”Maut itu indah, sebab ia menggabungkan sahabat dengan Sahabat”, tulis sufi Yahya.

Al-Hallaj dan para martir sesudahnya, telah menunjukkan kepada kita sebelum yang lain-lain tentang bagaimana cara memanusiawikan kematian. Namun, para martir kerapkali membikin orang-orang yang ditringgalkannya hidup dalam ”epidemi kematian”. Para martir tak jarang justru membius kita dengan keinginan untuk berkorban demi perubahan nilai perjuangan. Padahal, seperti ditandaskan Nietzsche, mengorbankan diri demi perubahan nilai perjuangan hanya akan menjerumuskan orang lain yang fanatik ke lembah kematian.

Dengan memilih sebagai martir, murid-murid al-Hallaj merasa apa yang diajarkannya adalah benar, bahkan menganggap dirinya sebagai wali di atas para wali. Pernahkah kita di sini membayangkan al-Hallaj menghayati Tuhannya sebagai apa yang dalam bahasa kita dengan sederhana sering dinamakan “kemanunggalan aritmetik”? Sebuah penyatuan, di mana, katanya, “Tuhan tak pernah bisa terumuskan, tak memiliki perhitungan, permulaan, atau akhir yang dapat mencapai-Nya”.

Sufi memang akrab dengan misteri-misteri bilangan, dan tak henti-hantinya mempersoalkan bilangan-bilangan yang dianggap misteri dan mengandung nilai khusus. Ketika suatu waktu al-Hallaj ingin menyampaikan kesaksian mata batinnya, seorang tiba-tiba berlari mencari pertolongan padanya dengan jiwa yang kosong. Karena takut pada percikapan kembang api yang berletusan di udara, dan tertipu oleh segala hasrat dunia, hancur, berantakan, lalu dari dalam mulutnya tampak mengeluarkan percikan lidah api.

Sebagai mana dilukiskan al-Hallaj lewat perlambangan yang agak absurd namun dahsyat ini: “Aku mengisap samudera keabadian yang dalam, karena ia yang mencapai Titik Primordial akan menyusuri tepian laut malam hari; membiarkan diri digaram olehnya, berguling dalam debu-debu api. Sayang, ia tiba-tiba menghilang dari pandanganku, dan aku melihat sekawanan burung bertebaran di tubuhnya; terbang dengan dua sayap batinnya. Sayang, ia tak percaya apa yang aku katakan; ia lebih memilih terus terbang hingga di kejauhan malam”.

Di tengah samudera yang kelam, bayangan ke hitam-hitaman seakan datang menerjang, dan sang petualang pun berkata: “Aku terbang dengan kepak sayapku, nuju Kekasihku. O, karena tak satu pun menyerupai Ia, lalu ia pun roboh; terjungkal dalam laut pemaknaan, tenggelam. Ia bertanya kepadaku soal kesucian, kujawab: retakkan sayap-sayapmu dengan pedang kefanaan. Bila tidak, jangan berharap ikut aku.”

Mari kita renungkan juga permadani kata yang diucapkan al-Hallaj ini: “Keagungan bagi Tuhan yang Mahasuci, Ia yang takkan pernah terjangkau ajaran-ajaran para ahli makrifat, bahkan intuisi para Rasulullah yang menerima wahyu suci sekali pun”. Atau, seperti kritiknya tentang dikotomi “orang awam” dan “orang terpilih” sebagai apa yang disebutnya dengan jalan ke “lorong-lorong waktu dari apa yang mereka tempuh itu ternyata lenyap; dualitas itu pun kabur, dua tonggak itu pun lebur, dua dunia keadaan itu pun hancur; dan segala bukti dan makrifat pun habis-kikis-tak berbekas!”

Dalam kitab at-tawasin bab ”Misbah Kenabian” terjemahan Muhammad Al-Fayyadl, al-Hallaj melukiskan Muhammad sebagai “substansinya cahaya, dawuhnya profetik, makrifatnya surgawi, bentuk ekspresinya berlogat Arab, bangsanya ‘bukanlah Timur atau Barat.’” itulah bangsa yang ”non-tempat”. Sebuah pandangan yang menarik dibandingkan dengan ungkapan Nietzsche yang ditulis belakangan dalam Penari Jagatnya, yang tidak lagi terikat pada suatu tempat saja, melainkan dengan ringan memutar dan beralih dari satu posisi ke posisi lain. Dan inilah yang dicari Nietzsche: Tuhan yang menari.

Penari Jagatnya Nietzsche, kata Huston Smith dalam Agama-Agama Dunia, adalah sang Warga Dunia itu, yang mengingatkan kita pada Descartes yang tetap akan menjadi putra kandung dari kebudayaan yang melahirkannya, tetapi ia akan mempunyai hubungan darah dengan semua kebudayaan yang ada. Bukan Barat bukan Timur, inilah warga dunia yang belum sempat terwujud kendati telah lama jadi impian para penyair dan kaum sufi.

—————
Tentang Penulis: Asarpin lahir dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung, dengan skripsi berjudul Magi dan Religi dalam Pendekatan Fenomenologi. Selama kuliah, aktif berorganisasi di lingkungan internal kampus, dan suka baca buku religi, filsafat, dan sastra. Belakangan mulai tertarik dengan buku-buku sains.

Setelah kuliah, pernah hijrah ke Jakarta. Di kota banjir dan rawan penggusuran ini sempat magang di kampung kaum miskin kota dalam rangka pelatihan Pendampingan Komunitas Miskin Perkotaan yang dikoordinir oleh Urban Poor Consortium (UPC) Jakarta. Setelah magang kemudian bergabung dengan UPC dan sempat menjadi staf Litbang selama tiga tahun (2002-2005).

Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Pernah memimpin beberapa kali demonstrasi bersama kaum miskin di Jakarta dan di Lampung.

Tahun 2008 diundang Kepala Kantor Bahasa Propinsi Lampung sebagai penyaji tentang apresiasi sastra dalam rangka Kemah Sastra Siswa dan Guru SMA Se-Propinsi Lampung. Tahun 2009 mengikuti program penulisan Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) untuk genre Esai. Terakhir sebagai pembicara pada ”Temu Sastra Nusantara MPU—V” 1-3 Oktober 2010” di Taman Budaya, Lampung.

Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post dan Radar Lampung, serta sesekali menulis tinjauan buku di media lokal dan nasional. Di antara esai-esai yang pernah dipublisir, sebagian diterbitkan kembali di buku ini dengan sejumlah revisi.

Karya yang telah diterbitkan adalah Cerita-cerita Jak Bandar Negeri Semuong (BE Press, Bandarlampung, 2009), yaitu buku kumpulan cerpen berbahasa Lampung. Buku ini meraih penghargaan Sastra Rancage dari Yayasan Rancage Bandung tahun 2010. Menulis beberapa puisi yang tidakpernah diterbitkan. Juga beberapa cerita pendek dan cerita panjang yang masih terus dalam pengolahan.
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita