Junaidi *
Riau Pos, 22 Mei 2011
DARI berbagai literatur tentang kritik sastra atau ilmu sastra ditemukan makna kritik sastra sebagai kegiatan “menghakimi.” Bila dilihat dari kata “kritik” yang berasal dari Bahasa Yunani, kata kritik memang bermakna “menghakimi”. Mari kita lihat penjelasan Welek (1978: 22-36) tentang asal kata kritik, yakni krites (seorang hakim), krinein (menghakimi), criterion (dasar penghakiman), dan kritikos (hakim kesusastraan). Ini bermakna kerja seorang kritikus sastra seperti seorang hakim yang bertugas menghakimi atau “judge” karya sastra berdasarkan kriteria-kriteria tertentu yang telah menjadi konvensi dalam dunia sastra. Kegiatan kritik sastra sebenarnya telah dilakukan oleh orang Yunani, yakni Xenophanes dan Heraclitus untuk mengkritik seorang pujangga yang bernama Homerus yang menulis cerita tentang dewa-dewi secara tidak elok dan bohong. Setelah itu kegiatan kritik sastra dilanjutkan oleh Aristophanes, Plato, dan Aristoteles. Buku kritik sastra pertama ditulis oleh Julius Caesar Sealiger yang berjudul Criticus. Buku ini berisi perbandingan antara penulis Yunani dan Latin.
Istilah “menghakimi” ternyata juga digunakan untuk menjelaskan kegiatan kritik sastra di Indonesia. Pradopo (2002: 32) menyatakan dengan tegas “kritik sastra itu merupakan bidang studi untuk menghakimi karya sastra untuk memberi penilaian dan keputusan mengenai bermutu atau tidaknya suatu karya sastra”. Selanjutnya Pradopo (1988) juga menyatakan bahwa kritik sastra ialah pertimbangan baik buruk karya sastra. Dalam konteks bahasa Indonesia kata “menghakimi” tampaknya mempunyai makna terlalu berlebihan jika di bawa ke ranah kritik sastra. Seolah-olah karya sastra itu bersalah dan dianggap sebagai terdakwa sehingga ia perlu dihakimi oleh seorang hakim. Bila merujuk kepada makna menghakimi, penilaian baik/buruk, dan penilaian bermutu/tidak bermutu terhadap karya sastra, maka sangat berat beban kritikus sastra. Kritikus sastra diberikan super power untuk menentukan nasib karya sastra. Kritikus sastra bukan Tuhan. Ada makna keangkuhan dalam diri seorang kritikus bila ia diposisikan sebagai seorang hakim. Bagaimana mungkin seorang kritikus sastra benar-benar dapat menilai secara objektif sebuah karya sastra itu baik/buruk dan bermutu/tidak bermutu? Memang dalam kesusastraan ada konvensi-konvensi tertentu yang disepakati sebagai kriteria karya sastra. Tetapi kita harus ingat bahwa ekspresi yang terdapat dalam karya sastra bersifat khas atau invidual sehingga kita pasti menemukan kesulitan untuk menilai karya sastra secara benar-benar objektif. Kita memang sepatutnya memberikan penghargaan terhadap disusunnya konvensi-konvensi tentang karya sastra karena itu dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan dan peningkatan kualitas karya sastra. Yang perlu diingat adalah bahwa konvensi-konvensi itu bukan standar yang pasti yang harus dipatuhi. Konvensi-konvensi itu bersifat relatif dan kemungkinan tidak bisa diterapkan dalam semua karya sastra karena sifat khas karya sastra.
Membumikan Kritik Sastra
Mungkin salah satu penyebab kurang berkembangnya kritik sastra dibandingkan dengan kreativitas penulisan karya sastra adalah anggapan terlalu beratnya tugas seorang kritikus sastra. Orang takut bila berperan menjadi hakim, apalagi bila kita ingat anggapan yang mengatakan “sebelah kaki hakim di surga dan sebelah lagi di neraka”. Akibatnya, orang takut salah membuat tafsiran sendiri terhadap karya sastra sehingga ia pun enggan untuk menulis ulasan tentang karya sastra. Beberapa mahasiswa jurusan sastra juga sering menjawab mereka takut salah dalam memaknai karya sastra padahal mereka sebenarnya mampu memberikan ulasan.
Eloknya kegiatan kritik sastra tidak dipandang sebagai kegiatan yang eksklusif dan berat sehingga orang-orang tertentu saja yang mampu membuat kritik sastra. Setiap orang yang bersedia membaca karya sastra secara serius dan berulang-ulang mampu menulis karya sastra. Anggap saja kegiatan menulis kritik sastra sebagai respon, tanggapan, atau komentar setelah membaca karya sastra. Kita diberikan hak dan ruang untuk menginterpretasikan karya sastra berdasarkan pengetahuan dan pengalaman sejauh kita mempunyai justifikasi terhadap apa yang kita sampaikan. Karya sastra itu bukan kitap suci sehingga tidak perlu takut salah memaknainya. Penafsiran kitap suci saja bisa berbeda, apalagi penafsiran karya sastra. Karya sastra itu perlu diinterpretasikan. Jika tidak dinterpretasikan karya sastra itu menjadi tidak bermakna. Oleh karena itu, salah satu cara untuk menemukan makna yang terdapat dalam karya sastra adalah dengan melakukan “kritik” terhadap karya sastra.
Saya pikir yang terpenting dalam kritik sastra adalah memberikan tanggapan atau respon terhadap karya sastra dalam bentuk ulasan. Setelah kita membaca karya sastra, kita memberikan ulasan atau tanggapan yang merupakan bagian dari interpretasi. Ketika kita memberikan interpretasi terhadap karya sastra, sebenarnya kita telah melakukan aktivitas kritik sastra. Bekal pengetahuan tentang dasar-dasar kesusastraan, pengantar kritik sastra dan teori sastra memang akan lebih memperkuat analisis terhadap karya sastra. Tetapi itu bukan yang harus ditakuti. Keberagaman dan kompleksitas teori sastra bukan halangan untuk menulis kritik sastra. Biarlah orang-orang yang serius di kampus memikirkan itu secara lebih serius.
Kegunaan Kritik Sastra
Sama hal dengan karya sastra, kritik sastra tentu saja mempunyai manfaat sehingga ia perlu dikembangkan. Perkembangan kreativitas sastra seharusnya sejalan dengan perkembangan kritik sastra. Tetapi kenyataan menunjukan orang lebih banyak menulis karya sastra dibandingkan menulis kritik sastra. Ada orang yang memposisikan diri hanya menulis karya sastra. Ada juga orang mengambil dua peran, sebagai sastrawan sekaligus kritikus sastra. Ada lagi orang yang hanya berfokus menjadi kritikus dan tidak tergoda untuk menulis karya sastra. Itu adalah pilihan. Setiap orang mempunyai alasan untuk menempatkan posisinya dan tidak ada larangan untuk mengambil satu peran atau dua peran sekaligus.
Pilihan untuk menjadi kritikus sastra tentu saja ada dasarnya. Ini bisa dilihat dari fungsi kritik sastra yang dirumuskan oleh pakar ilmu sastra. Sarjono (1992: 48) menyimpulkan tiga kegunaan kritik sastra: (i) untuk pengembangan keilmuan sastra, (ii) untuk perkembangan kesusastraan, dan (iii) untuk kepentingan masyarakat yang menginginkan penerangan tentang karya sastra. Kegunaan pertama diarahkan pada perkembangan ilmu sastra yang lebih bersifat akademik, yakni menyusun dasar, konsep, dan teori yang berkaitan kesusastraan. Pengakuan kajian sastra sebagai ilmu perlu terus ditingkatkan agar ilmu sastra memberikan kontribusi bagi umat manusia. Pada kegunaan kedua kritik sastra diharapkan dapat mendorong dan meningkatkan perkembangan kreativitas sastra sehingga karya-karya sastra yang dihasilkan menjadi lebih menyentuh persoalan-persoalan kemanusian dan disampaikan secara lebih elok pula. Sedangkan kegunaan tiga lebih melihat peranan kritik sastra dalam membantu masyarakat untuk memahami pesan-pesan yang disampaikan dalam karya sastra. Tidak semua orang dapat memahami karya sastra dengan mudah sebab beberapa penulis menggunakan cara-cara khas untuk menyampaikan pesan melalui karya sastra. Kadang-kadang diperlukan pemahaman dan pemikiran mendalam untuk memahami karya sastra, seperti yang dilakukan oleh kritikus sastra. Kritik sastra bisa menjembatani pesan yang disampaikan pengarang kepada pembacanya sehingga karya sastra itu dapat lebih mudah dipahami oleh para pembaca.
Pendekatan Kritik Sastra
Paling tidak ada dua bentuk kritik sastra yang sering kita lihat: pertama, kritik sastra yang dilakukan di kampus oleh para dosen dan mahasiswa. Kritik sastra di kampus sering diklaim orang kampus sebagai kritik sastra yang bersifat akademis dan ilmiah karena disusun sesuai dengan konvensi-konvensi ilmiah. Kritik sastra di kampus ditulis sebagai persyaratan akademis untuk naik pangkat, tugas mata kuliah, dan tugas akhir (skripsi, tesis dan disertasi). Kritik sastra di kampus akan diuji oleh dosen yang bertindak sebagai hakim. Setelah diuji, akan dijilid dan disimpan di rak-rak perpustakaan. Para pembaca kritik itu biasa orang-orang kampus saja. Kedua, kritik sastra yang diterbitkan media massa seperti koran, majalah, dan buletin. Kritik sastra yang ada di media massa diklaim oleh sebagian orang kampus sebagai karya yang tidak ilmiah sebab tidak disusun memenuhi standar-standar ilmiah. Memang tidak cukup ruang untuk menggungkapkan kaedah ilmiah dalam kritik sastra yang diterbitkan di Koran. Ruangnya terbatas. Dikotomi ilmiah dan tidak ilmiah perlu direnungkan lagi sebab kritik sastra yang ditulis di media massa juga merupakan hasil perenungan dan pemikiran yang mendalam oleh seorang kritikus.
Sebagai pengetahuan dasar untuk memposisikan karya sastra dengan elemen lainnya, eloknya kita perhatikan pandangan Abrams (1958: 6) tentang total situation of a work of art. Ini bermakna bahwa karya sastra itu berada pada posisi sentral sedangkan elemen lain yang berkaitan dengan karya sastra adalah alam semesta, pengarang, dan pembaca. Keempat elemen itu saling berkaitan tetapi mengarah kepada karya sastra sehingga karya sastra itu sendiri menjadi pusat perhatian kajian sastra.
Berdasarkan konsepsi hubungan karya sastra, dirumuskan empat pendekatan dalam kritik sastra:
(i) objektif: pendekatan yang berfokus hanya pada karya sastra itu sendiri,
(ii) ekspresif: pendekatan yang memberikan perhatian lebih kepada penulis karya sastra,
(iii) mimetik: pendekatan yang lebih menitikberatkan pada alam semesta atau masyarakat, dan
(iv) pragmatik: pendekatan yang lebih memberikan perhatian kepada pembaca karya sastra. Keempat pendekatan inilah yang kemudian dikembangkan oleh para ahli sastra sehingga lahir berbagai pendekatan dan teori sastra dalam studi sastra. Berdasarkan konsepsi ini juga lahir kajian sastra yang bersifat instrinsik (unsur dalam karya sastra) dan ekstrinsik (unsur luar karya sastra).
Bagi kritikus sastra diberikan hak untuk memilih pendekatan mana yang akan digunakan. Setiap pendekatan yang dipilih tentu saja memiliki alasan-alasan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Karakteristik karya sastra yang akan dikritik juga akan mempengaruhi pilihan pendekatan yang akan digunakan. Misalnya karya sastra yang mengangkat persoalan-persoalan sosial yang terdapat dalam masyarakat lebih cocok didekati dengan pendekatan mimetik sebab karya sastra dianggap mencerminkan masyarakat. Sedangkan karya sastra yang lebih menonjolkan unsur bentuk, lebih cocok didekati dengan pendekatan objektif yang lebih memperhatikan relasi struktur dalam karya sastra. Karya sastra yang lebih menonjolkan ekspresi pemikiran dan pengalaman penulis lebih elok dilihat dengan pendekatan pragmatik. Selanjutnya, bila kita ingin melihat bagaimana tanggapan pembaca terhadap karya sastra, kita dapat memilih pendekatan pragmatik.
Memulai Kritik Sastra
Hal yang paling krusial dalam kegiatan kritik sastra adalah mulai melaksanakan tahapan-tahapan kritik sastra. Berikut beberapa tahapan yang dilewati:
(i) Memilih karya sastra yang menarik untuk untuk dikritik. Tidak semua karya sastra menarik untuk dikritik. Pilih karya sastra yang menarik minat Anda dan isu yang diangkatnya mempunyai nilai khas bagi orang lain. Misalnya karya sastra yang berkaitan dengan isu aktual yang berkembang dalam masyarakat. Atau bisa saja dipilih karya sastra yang sedang populer dan ditulis oleh pengarang terkenal.
(ii) Membaca secara serius. Membaca karya sastra untuk kepentingan penulisan kritik sastra perlu dilakukan berulang-ulang agar pemahaman kita mendekati pesan yang disampaikan pengarang. Bagian-bagian penting yang terdapat dalam karya sastra perlu ditandai secara khusus untuk memudahkan kita melakukan pendalam terhadap bagian itu.
(iii) Tentukan topik atau gagasan utama yang terdapat dalam karya sastra sebagai bahan yang akan dikritik. Cari gagasan yang khas, aneh dan dapat menarik perhatian orang.
(iv) Mulailah menulis sambil melakukan interpretasi dan pemaknaan terhadap bagian-bagian penting yang menjadi fokus pembahasan. Jika memungkinkan mencari referensi atau pendapat orang lain tentang gagasan yang terdapat dalam karya itu. Dalam melakukan proses interpretasi memang diperlukan perenungan untuk memaknai karya itu dan jangan takut membuat penafsiran.
(v) Lupakan beberapa saat draf tulisan yang telah ditulis untuk memberikan kesempatan kepada pikiran kita untuk memikirkan hal lain dengan harapan ada ide-ide baru yang muncul ketika mulai menulis atau memperbaiki draf awal.
(vi) Lakukan penyempurnaan, perbaikan, dan baca ulang.
(vii) Lakukan pengeditan bahasa dan ejaan.
(viii) Kirimkan ke media massa agar apa yang sudah ditulis dapat dibaca orang lain dan mudah-mudahan itu memberikan manfaat. Jangan pikirkan apakah tulisan kita dibaca atau tidak dibaca orang lain. Yang penting kita telah melakukan kegiatan kritik sastra dan itu tentu saja memberikan kontribusi bagi perkembangan kreativitas sastra dan kritik sastra.
Penutup
Anda tidak perlu menjadi hakim untuk menjadi kritikus sastra. Mulailah membaca, menafsir, memaknai, menulis dan menerbitkannya. Itulah proses menulis kritik sastra. Selamat menulis!***
*) Dr Junaidi, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unilak dan Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Riau. Tinggal di Pekanbaru.
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/05/kritik-sastra-bukan-menghakimi.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar