Dwicipta
Kompas, 2006/05/07
Di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Idenburg, di Batavia beredar kisah konyol tentang Raden Sukmakarto, seorang bangsawan Jawa anak Bupati Blora, mahasiswa STOVIA yang tak menyelesaikan studinya karena asyik berpesiar ke Eropa. Bakatnya dalam bidang kesenian telah menggemparkan seluruh Hindia Belanda. Namun peristiwa di gedung Nederlandsch-Indie Kunstkring-lah yang membuat ia menjadi lelaki paling terkenal di Batavia di masa itu.
Ketika lagu Wilhelmus van Nassau mulai mengumandang di gedung Nederlandsch-Indie Kunstkring, seorang lelaki pribumi berdestar dan berterompah malah menyanyikan lagu aneh berbahasa Jawa meskipun nada-nadanya selaras dengan lagu kebangsaan Belanda tersebut. Sontak saja beberapa hadirin dalam ruangan bersuasana khidmat itu menoleh ke arahnya. Belangkon yang dikenakannya dipakai terbalik sejak irama lagu kebangsaan Belanda mulai mengalir. Tubuhnya yang pendek dengan kulit coklat seperti memberi warna tersendiri dari kumpulan bangsa-bangsa kulit putih yang berdandan anggun malam itu. Sekalipun ia merasa beda di antara sebagian besar pengunjung, tak sedikit pun terpancar kerendah-dirian pada dirinya.
Seorang opsir dan dua pembantunya, setelah mendapat laporan dari seorang kacung, meninggalkan tempatnya berdiri di belakang Gubernur Jenderal Idenburg yang sedang berbahagia meresmikan gedung kesenian itu dan melangkah menuju pada lelaki berpakaian Jawa itu. Mereka menggelandang lelaki ganjil itu ke ruang pemeriksaan sementara.
“Apa yang kau nyanyikan? Apakah kau menghina ratu kami?” tanya opsir itu setelah menggelandang lelaki aneh itu ke ruang keamanan.
Laki-laki itu memandang sang opsir dengan raut muka tiada salah. Wajahnya tak membersitkan apa pun selain ketidaktahuan ketika ia digelandang begitu saja dari ruang peresmian dan melewati lorong-lorong yang dindingnya dipenuhi oleh lukisan-lukisan Rembrandt. Justru sepanjang digelandang, mulutnya berdecak-decak kagum mengamati lukisan pelukis Belanda itu walaupun hanya mengamatinya sambil lalu. Dan ketika sudah berada di kantor keamanan di lantai dua itu, ia tak henti-hentinya memandangi potret seorang Jenderal di masa perang Jawa, penakluk pemberontakan Diponegoro dan Bonjol.
“Ia kurang hidup dengan memegang tongkat komando seperti itu, sementara sorot matanya tak membersitkan kekejaman dan keculasan seperti yang ia praktikkan di masa perang,” katanya bak seorang kampiun kurator lukisan.
Opsir itu murka dan menampar mukanya.
“Dasar Inlander! Apakah kau tak mendengar pertanyaanku?! Perbuatanmu di ruang peresmian sudah cukup mengantarkanmu di tiang gantungan. Sekarang kau menghina tuan Jenderal De Kock yang terhormat,” katanya dengan gusar.
“Aku seorang seniman, apakah aku salah kalau berpendapat? Bukankah gedung ini dibangun untuk keagungan kesenian Hindia Belanda?” kata lelaki berkulit sawo matang itu dengan mimik menuntut.
“Bahkan seorang seniman sekalipun harus punya aturan, bukan seperti pemberontak macam kamu,” jawab sang opsir. “Apa yang kau nyanyikan di ruang peresmian itu?”
“Wilhelmus van Nassau.”
“Itu bukan lagu kebangsaan bangsa kami. Itu lagu Jawa.”
“Karena kunyanyikan dalam bahasa Jawa. Kalau tuan sekiranya tahu bahasa Jawa, tentu tuan akan mengerti lagu itu,” jawabnya dengan enteng. Pukulan tangan beberapa kali dari opsir tinggi besar itu membuat darah meleleh dari mulut dan hidungnya. Barangkali bibir dan tulang rawannya pecah dipukuli oleh opsir itu dan dua pengawalnya.
“Kau mau menipu kami?!”
“Saya tidak menipu, Tuan. Saya bicara sesungguhnya.”
Opsir itu meninggalkan ruang keamanan yang disulap menjadi ruang interogasi dalam waktu singkat. Tak lama setelah meninggalkan ruangan itu, ia kembali lagi dengan membawa seorang Belanda lain yang berpakaian indah dan pesolek.
“Coba kau nyanyikan lagi lagu yang tadi kau lantunkan di ruang peresmian,” Opsir itu memerintahnya.
Lelaki itu memandang sang opsir yang tak sedikit pun memiliki senyum. Ketika ia beralih memandang orang Belanda berpakaian sipil dan pesolek itu, ia mendapati kesan bersahabat pada dirinya. Sinar matanya menunjukkan rasa belas kasihan melihat hidung dan mulutnya mengeluarkan darah.
“Saya tidak pernah melihat tuan sebelumnya,” katanya tanpa mengindahkan perintah Opsir itu.
Sang Opsir murka dan berniat melayangkan pukulan padanya, namun Belanda pesolek itu memberikan isyarat supaya ia menghentikan perbuatannya.
“Saya baru datang dari Surabaya. Saya tinggal di sana selama tiga tahun. Tentu saja tuan tak mengenal saya,” katanya dengan bahasa Jawa yang halus.
“Oh, tuan bisa berbahasa Jawa? Ah, tuan sungguh berbudaya, tahu di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Siapa nama tuan?”
“Nama saya Hooykaas. Katanya tuan menyanyikan Wilhelmus van Nassau dalam bahasa Jawa. Apakah benar tuan telah menyanyikannya dalam bahasa Jawa?”
“Benar.”
“Bagaimana tuan menerjemahkan lagu itu ke dalam bahasa Jawa? Ingin rasanya saya mendengarkannya dari mulut tuan sendiri,” katanya.
“Apakah tuan benar-benar mau mendengarkan? Saya kira semua orang Belanda berbudaya. Tapi saya malah mendapatkan pukulan.”
“Pukulan dan kekerasan fisik adalah tata cara interogasi, tuan. Tata cara sesama orang berbudaya lain lagi bukan? Ayolah, saya ingin mendengarkan tuan menggubah lagu kebangsaan negeri kami,” kata Belanda pesolek itu dengan suara halus.
Lelaki itu kemudian menyanyikan lagu Jawa yang terdengar aneh di telinga opsir dan dua pengawalnya itu. Sementara Belanda pesolek bernama Hooykaas mendengarkan nyanyiannya dengan saksama. Wajahnya yang berdahi lebar sedang memikirkan sesuatu. Setelah lelaki itu selesai menyanyikan lagunya, bola mata Hooykaas bersinar-sinar gembira.
“Aha, tuan bisa menggubah liriknya ke dalam bahasa Jawa yang indah. Tak pernah kudengarkan lagu kebangsaan kami dinyanyikan dalam bahasa selain bahasa Belanda. Tuan benar-benar memiliki darah seni yang kuat,” katanya.
Opsir yang mendengarkan komentar Belanda pesolek itu tertegun mendengar komentarnya.
“Tapi ia menghina ratu karena menyanyikan lagu kebangsaan dengan cara yang aneh. Tuan Gubernur Jenderal tentu akan murka dan menjatuhkan hukuman mati padanya. Tubuhnya akan dicerai-beraikan dengan empat kuda yang lari ke empat penjuru mata angin. Tuan tahu Peter Elberfeld? Nasib tuan tidak akan jauh seperti dia dahulu,” katanya.
Tuan Hooykaas memandang opsir yang tadi menyiksa lelaki itu. Tiba-tiba cahaya terang seperti melintas dari dahi lebarnya dan merasuk ke dalam kepalanya. Ia memalingkan muka ke arah lelaki itu. Tangannya bergerak ke arah kantong saku dan mengambil sapu tangannya. Diserahkannya benda putih persegi empat terbuat dari bahan sutra halus dan berkilat kepada lelaki itu.
“Hapuslah darah tuan. Nasib hidup tuan barangkali tidak lama lagi. Pertama tuan menghina bangsa kami dengan menyanyikan lagu Wilhelmus van Nassau dalam bahasa Jawa. Kedua, menurut pengakuan opsir kami, tuan membalikkan belangkon yang tuan pakai ketika lagu kebangsaan kami mulai berkumandang. Itu perbuatan menghina bangsa tuan sendiri. Dan yang ketiga, masih menurut opsir kami, tuan menghina lukisan potret salah satu pahlawan perang kami di tanah Hindia ini, seorang strateeg yang andal seperti Jenderal De Kock,” katanya dengan senyum simpul.
Sambil menghapus darah yang masih menetes dari mulut dan hidungnya, ia melirik sebentar ke arah lukisan itu.
“Ah, aku yakin tuan tahu belaka letak kesalahan lukisan ini. Bagaimana Jenderal besar semacam De Kock tak memiliki syarat-syarat seperti yang saya katakan pada opsir tuan ini. Dia seorang strateeg seperti kata tuan tadi, tapi di mana tuan dapati kesan itu pada lukisan ini,” katanya sambil menunjuk lukisan yang ada di sisi kirinya. “Bisa tuan bandingkan ketika pelukis kami yang tersohor di daratan Eropa melukis Pangeran Diponegoro, musuh Jenderal De Kock pahlawan tuan itu. Padahal bangsa tuan memiliki pelukis-pelukis yang tersohor di seluruh dunia. Bangsa kami hanya memiliki Raden Saleh.”
“Ah, saya kagum pada tuan. Rupanya tuan memiliki pandangan yang luas. Apakah tuan pernah melihat lukisan Raden Saleh?” tanyanya dengan penuh rasa ingin tahu.
“Ya, tuan. Saya pernah merantau ke negeri tuan, dan tinggal di Paris selama dua tahun. Telah saya cari seluruh lukisan raden Saleh di seluruh Eropa. Saya datang ke bekas rumahnya di Belanda. Apa pekerjaan tuan kalau saya boleh tahu?” tanyanya dengan raut muka acuh tak acuh.
“Saya seorang penulis. Saya datang dari negeri Belanda dan tinggal di Hindia Belanda karena tertarik dengan alam khatulistiwa yang dituliskan sastrawan besar kami, Multatuli. Sastrawan Agung Goethe dari negeri Jerman saja kagum dengan Hindia Belanda. Itulah sebabnya saya sampai di sini. Sedangkan tuan Gubernur Jenderal Idenburg adalah teman saya semasa menyelesaikan studi di Belanda. Itulah sebabnya saya dipanggil dalam peresmian gedung ini,” katanya.
“Kabarnya tuan Gubernur Jenderal sangat menghormati kesenian dan para intelektual. Itulah sebabnya saya berani menyanyikan lagu kebangsaan tuan dalam bahasa bangsa kami,” sergahnya.
“Tentu saja, Tuan. Dia amat menghormati kesenian. Tapi dia juga penguasa politik di negeri ini.”
“Oh, benarkah? Tapi seorang penguasa negeri sekalipun tak akan dengan mudah menjatuhkan hukuman bukan? Saya dengar dia banyak memanggil kaum intelektual dan seniman Hindia Belanda ke kantornya dan untuk acara-acara resmi. Ia memang keras terhadap aktivitas politik kaum pribumi seperti Dr Cipto dan Suwardi dan orang dari negeri tuan sendiri seperti Douwes Dekker. Tapi orang seperti saya apakah menghina bangsa tuan?”
Belanda pesolek itu terpukau dengan ketenangan dan wajah tiada bersalah dari lelaki itu. Ucapannya tajam, namun apa yang keluar dari mulutnya amat menarik hatinya. Rencananya berjalan mulus. Opsir yang menginterogasi lelaki itu duduk gelisah di atas kursinya, mengetukkan jemarinya pada meja. Opsir itu silih berganti dengan tuan Hooykaas menanyai Raden Sukmakarto perihal perilaku-perilakunya di gedung itu. Yang satu dengan upaya menyudutkannya ke arah hukuman, sedangkan pihak yang lain berusaha mengarahkan pembicaraan ke arah kesenian. Keduanya bersitegang dan hampir adu mulut untuk menentukan apakah inlander yang kini mereka interogasi itu bersalah.
Akhirnya mereka bersepakat menyerahkan persoalan itu kepada tuan Gubernur Jenderal setelah acara berlangsung.
Desas-desus perilaku Raden Sukmakarto menyebar di seluruh Batavia. Orang-orang mulai bertaruh tentang berapa banyak waktu bagi lelaki nyentrik itu untuk menghirup napas bebas di muka bumi. Sampai pada saat ia dipanggil Tuan Gubernur Jenderal Idenburg ke kantornya di Weltevreden, orang-orang di seluruh Batavia diam-diam menunggu-nunggu dengan tidak sabar.
Entah bagaimana kejadiannya ketika bertemu dengan tuan Gubernur Jenderal Idenburg, Raden Sukmakarto keluar dari kantor Gubernur Jenderal itu dengan wajah berbinar-binar gembira. Orang-orang bertanya padanya kenapa ia tak dihukum mati seperti perkiraan sebagian besar orang. Tapi lelaki berkulit sawo matang dengan penampilan ganjil itu tak memberikan jawaban memuaskan. Ia hanya bercerita di dalam kantor tuan Gubernur Jenderal, ia menyanyikan banyak lagu-lagu Eropa dan memainkan musik klasik kesukaan tuan Gubernur Jenderal sampai lelaki yang paling berkuasa di Batavia itu tertidur.
“Setelah bangun dari tidurnya ia menyuruhku pergi, dan selamatlah aku dari hukuman mati,” katanya dengan raut muka tiada bersalahnya.
Kisah Raden Sukmakarto itu menyebar menjadi berita heboh di Batavia, mengalahkan kedatangan rombongan pentas musik dan para pelukis negeri Belanda yang datang dan mengadakan pameran di Gedung yang baru diresmikan itu. Muncul pula desas-desus lain bahwa lelaki berkulit sawo matang itu telah membohongi tuan Hooykaas dengan mengganti lirik lagu yang dinyanyikannya di dalam gedung peresmian dan di depan tuan Hooykaas sendiri. Sejak itu para intel melayu selalu mengikutinya. Namun mereka tak kunjung memiliki alasan kuat untuk membongkar desas-desus yang beredar itu.
Yogyakarta, Akhir Februari 2006
Sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2006/05/07/tambo-raden-sukmakarto/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar