08/12/10

Seorang Odysseus dari Solo [Halim H.D.]

http://majalah.tempointeraktif.com/

SUATU pagi di Surakarta, 1995. Seorang lelaki yang berpenampilan sederhana bergegas menemui beberapa kawannya. Ia menitipkan sepotong pesan, “Kalau terjadi sesuatu, tolong cek keberadaan saya di kejaksaan.” Sesudah teman-temannya paham, ia buru-buru pergi kantor kejaksaan di daerah Kepatihan, Solo. Di sana ia mesti menjelaskan kiriman lewat pos yang diterimanya, beberapa jurnal kesenian dari Amerika dan Eropa.

Lelaki berkacamata minus ini me-mang kerap menghadapi panggilan aparat. Selain dari kejaksaan, ia kerap mendapat “undangan” dari komando rayon militer (koramil) dan komando distrik militer (kodim). Hanya, saat ia menghadapi panggilan kejaksaan kali ini, teman-temannya tak perlu cemas terlalu lama karena ia akhirnya pulang dengan selamat.

Halim H.D., nama orang itu, bukan-lah seorang aktivis politik. Dia hidup dari dunia kesenian meski bukan seorang seniman. Lelaki berusia 52 tahun ini memiliki peran yang cukup penting dalam pengembangan seni di negeri ini. Halim menjadi otak pengelolaan berbagai kegiatan, dari pertunjukan hingga seminar. Perannya lebih sering di balik layar. “Sulit kalau ditanya apa pekerjaan saya. Saya lebih suka menyebut diri saya sebagai penulis atau kadang-kadang art networker,” katanya.

Kini Halim tinggal di rumah kontrakan di Kampung Tegalharjo, Jebres, Solo, yang sudah ditempatinya sejak enam tahun silam. Di rumah inilah ia kerap mengadakan acara pemutaran film untuk penduduk setempat. Bila bepergian ke kota lain untuk merancang atau menghadiri kegiatan seni, Halim, yang sampai sekarang masih bujangan, hanya berbekal sandal jepit dan tas kain berisi buku.

Sebagai orang Cina, kehadirannya di dunia seni menjadi unik. Nama aslinya Liem Goan Lay, sepotong nama yang tak dikenal warga seni Indonesia. Lain kalau kita menyebutnya Halim Hardja atau biasa disingkat Halim H.D. Hampir semua seniman mengenal nama itu. Nama tersebut disandangnya ketika ia masih di SMP, tak lama setelah Soe-harto mencanangkan “program pembauran” yang memaksa nama-nama asli Cina dihilangkan.

Halim mencintai seni sejak kecil. Ia terlibat pementasan drama sejak duduk di kelas empat sekolah rakyat. Saat menjadi aktor di panggung, Halim pernah lupa naskah yang mesti dihafalnya karena gugup. Sejak saat itu, ia memilih menjadi koordinator. Kegiatan ini dia lakukan pula di rumah. Halim mengatur latihan dan pementasan Gelora Cening, nama kelompok gambang kromong milik kakaknya. Kegiatan semacam ini berlanjut hingga sekarang, hanya skalanya lebih besar.

Dibesarkan oleh pasangan Lim Cing Siang dan Kun Oo Nie, Halim punya sembilan saudara. Dia lahir di Kampung Paramarayan, Serang, Banten, pada 25 Juni 1952. Meski ayahnya seorang pedagang sekaligus petani, Halim tak pernah dipaksa meneruskan bisnis orang tuanya. Ketika masih duduk di sekolah rakyat, ia sebetulnya sudah dipercayai oleh ayahnya untuk mengelola sebuah gudang. Apalagi Halim sudah bisa menentukan kadar air barang dagangannya, dari melinjo, kacang tanah, keledai, sampai beras. Tapi keluarganya sangat demokratis. Dia juga dibiarkan pergi ke gereja bersama kawan-kawannya kendati orang tuanya menganut Buddhis-Konfuisme.

Sikap itu mungkin dipengaruhi oleh banyaknya bacaan di perpustakaan pribadi keluarga Lim Cing Siang. Mereka juga berlangganan koran. Jangan heran jika Halim doyan membaca sejak kecil. Terinspirasi novel Agatha Christie dan buku-buku filsafat, ia sempat tertarik menjadi detektif atau filsuf. Akhirnya ia belajar di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada sejak 1972 dan keluar tanpa lulus pada 1977.

Latar belakang pendidikannya membuat Halim kian berbeda dari orang Cina umumnya, yang cenderung menggeluti dunia bisnis—begitulah pandangan terhadap budaya Cina. Dia kurang setuju terhadap cara mengekspresikan budaya Cina hanya dengan menonjolkan barongsai dan liong. Di mata Halim, ini sekadar “Mandarinisasi”. Yang lebih penting, bagaimana orang Cina berperan tak cuma di dunia ekonomi, tapi juga di bidang sosial dan budaya. “Kini orang Cina kehilangan kepemimpinan yang memiliki perspektif sosial yang kuat,” ujarnya tegas.

Orang-orang Cina zaman dulu lebih berakar. Halim mencontohkan keberadaan organisasi Hok Tek Beng di Banten. Organisasi yang berdiri sejak 1919 ini menyelenggarakan berbagai kegiatan sosial, dari menolong orang sakit, mengurus kematian, hingga membantu korban bencana.

Kehidupan Halim di dunia seni bukanlah tujuannya sejak awal. “Aku sebenarnya tertarik dengan hal-hal baru,” ujarnya. Dorongan inilah yang memberinya kekuatan mengayuh sepeda sepanjang 30-an kilometer dari Yogya ke Parangtritis demi melihat acara Kaum Urakan. Saat itu ia masih bersekolah di SMA di Yogyakarta. Bersama beberapa teman, dia bolos sekolah untuk melihat aksi W.S. Rendra dan Arief Budiman, yang dikenalnya lewat majalah Horison.

Pada 1980-an, ia kerap mondar-mandir ke Salatiga untuk berkumpul dengan Ariel Heryanto dan Arief Budiman, pendiri Yayasan Geni. Pertemuan ini lebih bersifat berbagi pengalaman. Halim ketika itu aktif mengorganisasikan sebuah koperasi untuk buruh.

Kedekatannya dengan Arief Budiman dan Ariel Heryanto sempat mendatangkan masalah saat ia mengadakan sarasehan kesenian bertajuk “Sastra Kontekstual” di Solo pada Oktober 1984. Pihak Akademi Seni Karawitan Indonesia sebagai penyelenggara hampir membatalkan acara itu. Mereka khawatir kehadiran Arief dan Ariel akan mengundang petaka karena keduanya tengah diincar pemerintah Orde Baru. Akhirnya Murtidjono, pemimpin Taman Budaya Surakarta, mengusulkan memakai Monumen Pers.

Halim sendiri juga sering diincar. Banyak surat yang tidak sampai ke rumahnya atau mampir dulu di kantor kodim, koramil, ataupun kejaksaan. Akibatnya, ia sering dipanggil dan diinterogasi. “Terus terang saya takut karena berhadapan dengan institusi yang bisa melakukan apa pun,” ujarnya.

Dia memang tak sampai ditahan. Tapi pernah selama berhari-hari Halim diperiksa dari pukul sembilan pagi hingga tiga sore. Pertanyaan yang diajukan berkisar tentang apakah ia mengenal beberapa nama. Dengan diplomatis Halim menjawab bahwa ia tentu saja mengenal nama-nama tersebut dari koran. Urusan dengan aparat ini berlangsung hingga 1995.

Rintangan dari aparat tidak mengendurkan aktivitasnya di dunia seni. Halim terus mengembara. Terkadang sekadar menonton pertunjukan, kerap pula ia memprovokasi kawan-kawannya agar bersemangat melakukan kegiatan seni. Dialah yang berperan mementaskan Takeya Contemporary Dance Company (TCDC-Tokyo) di Solo pada 1995.

Bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan Philippines Educational Theater Association (PETA), Halim pernah pula mengorganisasikan workshop teater dan sastra untuk masyarakat pedesaan di berbagai kota di Jawa pada 1983-1988. Lima tahun silam, ia pun memprakarsai terselenggaranya Makassar Arts Forum.

Pada 1989-1992, giliran ia menularkan pengetahuannya dengan mengajarkan budaya di Universitas Michigan, Amerika. Halim juga sempat menjadi asisten riset Benedict Anderson, Indonesianis dari Cornell University. Bahkan, pada 1998, ia menjadi pembicara dalam acara “Konferensi Studi Indonesia-Asia” di Melbourne, Australia.

Kelincahan dan juga kesederhanaan Halim membuat kawan-kawannya heran. “Saya heran, dari mana ia mendapat uang hingga bisa pergi ke mana-mana. Saya kenal Halim sejak 1970-an dan sekarang masih saja seperti itu,” kata Suprapto Suryodarmo, pendiri Padepokan Lemah Putih, Solo, yang juga jebolan Fakultas Filsafat UGM.

Keheranan itu dijawab enteng oleh Halim. Ia mengaku dibiayai teman-temannya yang menampung dan mengundangnya datang ke berbagai kota.

Mirip Odysseus dalam mitologi Yunani yang suka mengembara, Halim tidak pernah berhenti menjelajahi dunia seni, jauh dari hiruk-pikuk urusan bisnis yang biasa digeluti orang Cina. Ketika TEMPO menemuinya awal Agustus silam, ia sedang berkemas untuk bepergian ke Tegal. Setumpuk pakaian dan buku sudah disiapkan. Bersama dengan dalang Ki Enthus Susmono, ia akan mengadakan sebuah workshop. “Saya sedang mendorong teman-teman di sana untuk membuat semacam festival kebudayaan pesisir,” katanya.

Tentu kali ini Halim tak perlu repot-repot meninggalkan sepotong pesan buat kawan-kawannya di Solo.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita