08/12/10

Puisi, Sejarah, Santet *

Sebentuk ‘Surat Kreatif’ kepada Fatah Yasin Noor, Penulis Kumpulan Puisi Rajegwesi
Mashuri **
http://sastra-indonesia.com/

Sejarah adalah mimpi buruk (James Joyce)

Bung Fatah Yasin Noor yang terhormat.
Mungkin kita belum pernah bersua, namun dalam kesempatan ini aku berikhtiar bersua denganmu lewat puisi-puisimu. Siapa tahu aku dan dirimu bertemu atau berpapasan di teks-teks puisimu, dan pertemuan itu bisa aku untai menjadi buah pikiranku. Jika aku tak bisa menemuimu di sana, aku akan merangkum kealpaan itu dalam praduga yang berlatar pada sosio-kultur yang melahirkan teks-teks puisimu, juga sosiokultur yang mematri nilai-nilai dan kearifan ke jiwamu.

Oleh karena itu, aku akan bertumpu pada ingatan-ingatan kolektif, kearifan dan kenaifan tradisi, juga mungkin sebentuk hasrat yang tergurat di bait-baitmu, yang kadang lancar. Kadang patah-patah. Dan, seringkali membuat aku harus menakik alur pikir dan perasaanku untuk membalik teks-teks puisimu, agar aku bisa mengintip rahasia dan misteri yang tersimpan di sana. Mengingat topografi dan historiografi tradisi dan budaya Banyuwangi, aku melihat beberapa puisi patah-patahmu adalah niscaya. Aku teringat saat A. Solzeynistin, mengakui tulisan tentang pulau penjara pada masa-masa rezim komunis berkuasa di Rusia: ‘Gulag’, yang tak senada, dan mungkin patah-patah, karena kondisi saat menulisnya sambil berlari dan itu adalah keniscayaan dari kesusastraannya. Mungkin aku terlalu gegabah, tetapi ini adalah salah satu caraku untuk bersua denganmu.

Ah, lupakan soal itu. Yang jelas, apapun alasannya puisi tetaplah penting, apalagi untuk zaman kini, ketika suara-suara begitu banyak yang mendesak ingin menguasai ruang kita dan menuntut untuk didengar. Dan, itu yang aku tangkap dari spiritmu: adanya keyakinan yang begitu penting pada puisi. Tak peduli kata orang, ihwal akhir romantik peran penyair. Aku menangkap begitu banyak kesungguhan dalam puisimu yang menegaskan bahwa puisi itu juga masih sangat penting dalam lingkar sengkarut realitas yang demikian hiperreal, dan kondisi kekinian kita yang rapuh.

Mungkin ini adalah problem akut kita bersama yang masih meraba-raba arah gerak dunia dan menjadi pengekor yang teguh. Aku menangkap puisimu bermain dalam wilayah itu. Spirit puisimu ingin ‘mendamaikan’ masa lalu dan masa kini. Apalagi realitas sejarah ‘lokal’-mu begitu luka. Jika dalam konteks sosio-kulturmu, itu sebagai cara terapi dalam merakit trauma-trauma sejarah, karena kita memang tak cerdas untuk ihwal itu dan selalu mengulang hal-hal yang sama, meski di masa lalu hal itu sering berperistiwa.

Sebagaimana yang dianggit Octavio Paz, bahwa puisi adalah penyembuh bagi sebuah ‘luka sejarah’. Hal itu karena sejarah Brang Wetan/ Blambangan, selalu saja menempati wilayah periferi dalam sejarah mapan Jawa. Pada masa Majapahit, ia juga berada di ruang-ruang subordinat, terutama dalam kisah perseteruan Damarwulan-Menakjinggo. Pada lanskap kultur Jawa, Damarwulan adalah pahlawan. Tetapi aku yakin dalam kultur Brang Wetan/Blambangan, terdapat anggapan yang berbeda, dan hero itu Menak Jinggo. Kondisi ‘muram’ itu berlangsung hingga kondisi mutakhir, ketika isu dukun santet merebak. Padahal, selama ini, telah terjadi pemaknaan yang salah kaprah dalam dunia santet. Santet bagi orang Osing berbeda dengan santet bagi masyarakat awam dan dipahami oleh khalayak riuh. Bahkan, lagu ‘Genjer-Genjer’ yang netral itu tiba-tiba begitu subversif pada masa Orde Baru dan disangkutpautkan dengan Gerakan 30 September, dan dianggap sebagai lagu wajib Gerwani dalam berpesta.

Dengan sedikit latar itu, tak heran, dari baris-baris puisimu, aku melihat begitu banyak warisan yang berusaha kau baca dalam kekinian, dengan tak segan kau berkata: sejarah adalah luka, sebagaimana yang dikatakan James Joyce, bahwa sejarah adalah mimpi buruk. Namun bukan berarti kau abai pada sejarah dan menganggapnya tidak penting. Aku masih meyakini bahwa kau sebagaimana Ortega Y. Gaset, yang tetap ‘gamang’ melihat masa depan, dan menganggap bahwa sejarah itu adalah ‘harta’ yang berharga. Dengan tegas Gaset mengatakan bahwa manusia tak punya kodrat dan yang dipunyai hanya sejarah. Aku melihat kau berada di persimpangan antara kodrat dan sejarah.

Sejarahmu demikian luka dan kau masih bimbang dalam kekinian. Meski demikian, keyakinan begitu besar dalam kekinianmu yang masih carut-marut itu. Ketika membuka bukumu Rajegwesi, aku bersua dengan gelisah dan optimismu itu. Dalam “Elegi Perjalanan Hidup”, yang kautulis pada 1991, aku melihat adanya kegamangan itu. Sebagaimana manusia modern Indonesia, yang masih terombang-ambing antara tradisi lokalnya dengan tradisi dari Barat yang sering disebut modern. Memang sering kali kita mendengar jangan tangisi kematian tradisi, tetapi mengingat zaman kini, sepertinya kita masih begitu butuh pada tradisi. Tentu yang patut ditimba adalah spirit tradisi sebagai progres kreatif. Karena sungguh, seringkali kita asing dengan tradisi kita sendiri. Aku dalam puisimu “Rajegwesi” (hal 50) yang kautulis pada 2007, adalah kita.

…di saat gending itu menggerakkan angin
maka di sanalah aku tahu bagaimana wajahmu
sekian lama menempati peta asing

Hal itu tidak hanya dalam “Rajegwesi” saja. Bahkan, dari sajak-sajak yang kautulis dan bertahun 1991, sebanyak 13, aku melihat adanya rasa gelisah pada ingatan, kenangan, dan kekinian. Dan, aku merasa, inilah ruh yang hidup dan menghidupi sajakmu. Dalam “Laut” (hal 22), kesadaran sejarahmu demikian tinggi: sejarah luka, juga berbagai pendikreditan arketipe budaya sekaligus ‘salah baca’-nya.

Laut yang terhampar di hadapanku
Senantiasa menyentuh luka yang tiada pernah sembuh
Telah terkubur berabad
Abad, sehingga aku tak tahu di mana
Akan kubuang masa laluku. Laut telah
Sesak oleh sejarah

Kau terus ‘Membaca. Mengaji lautan sejarah” (“Manusia Sehari”, hal 18). Kau seakan-akan menunjuk ada sesuatu yang tidak ‘alami’ terjadi di lingkungan budayamu, dan merasa “Di sini waktu berhenti. Jam-jam kehilangan jarum” (“Cerita”, hal 19). Kau begitu menolak kebekuan waktu. Kesadaran yang menguasaimu adalah kesadaran ‘modern’ dengan progres. Tetapi realitas-kekinian seakan membekukan dan waktu seakan berhenti seperti yang kau lontarkan. “Sehari waktu telah berhenti mengenal manusia. Melebur diri. Hanyut oleh kesementaraan waktu yang berhenti. (“Cerita”, hal 19). “O ini abad sudah enggan disapa”. (“Untuk Jari-jari”, 20)

Ingatan, kenangan, sejarah dan panggilan dari ‘Ibu’ menjadi ruh hidup puisi-puisimu yang lainnya. Seperti dalam “Perimbangan” (hal. 17)./Telah kulihat ibu/Memanggil namaku/Agar segera berangkat/Melupakan catatan harian/ Yang hanya menyimpan sunyi/ Telah melukai tubuh sendiri/ Tiap hari.

Dalam “Jalan Alam” (hal. 59) ditulis 2008. /Aku meletakkan telapak tanganku di dadamu/ Juga perlahan-lahan seperti ingin menghapus kenangan/. Begitu pula dalam “Kerinduan” (hal. 66), ditulis 2009: /Aku berupaya menemuimu,/ Karena begitu lama aku mengembara/ Di labirin kesia-siaan./ Engkau adalah rumah yang lama kutinggalkan/.

Dalam sajak lain yang ditulis pada 2009, juga menyangkut ihwal kenangan dan usia. “Dahan Kelapa dalam Dadamu” (hal. 70):/ Ingin segera sampai ke rumahmu./ Meletakkan gerimis./ Atas nama pikiran kosong./ Juga ingatan yang terkotak hijau. Dalam “Dan Waktu” (hal. 78): /usia empat puluh tujuh,/… sejarah puisi yang terlupakan/. Dan, pada “Sampiran Setan” (hal. 80) mengerucut pada hal-hal sublim sekaligus kontradiktif: sebuah perjalanan telah sampai, sekaligus mempertanyakan tentang sesuatu yang dianggap ‘terberi’.

Memang, meski secara umum, bait-bait puisimu tak menyimpan bentuk metrum ‘Sabuk Mangir’, ‘Jaran Goyang’, tradisi ‘Warung Bathokan”, dan lainnya yang memasang atribut identitas kulturmu, tetapi aku menangkap adanya sinyal itu. Bahkan, ada usaha untuk mengembalikan makna santet yang sesungguhnya sebagai sebentuk usaha meraih mahabbah/cinta dan demi cinta. Tentu saja, kau juga merajutnya dengan sajak-sajak cinta yang ciamik, sajak persembahan yang mantap, juga sajak-sajak yang kau sebut ‘puisi-puisi tak terduga’ yang lain.

Sungguh, berpuluh sajak-sajak berbinar ihwal cinta. Tentu cinta di sini, bukan cinta sejoli, birahi, tetapi cinta yang menguniversal dalam kemanusiaamu. Sajak-sajak cintamu demikian banyak. Aku terpaku pada sajak cintamu, yang berjudul “Yashinta Nur Safitri” (hal 82), yang kautulis pada 2009. Aku lalu teringat bahwa kumpulan sajak ini juga kau persembahkan pada nama itu. Aku menduga ia adalah buah hatimu.

Bung Fatah Yasin Noor yang terhormat.
Aku termasuk orang yang kagum pada sub kultur Osing, yang tradisi lisan dan tulisannya terus terpelihara. Sastranya terus tumbuh secara mandiri dan kompleks. Bisa jadi karena begitu banyak ‘agen kebudayaan’ di sana, yang membacanya dalam kekinian, sebagaimana engkau membacanya. Mungkin banyak orang yang merasa gelisah ketika sebuah laju budaya berhenti pada ornamen, arketif pasif dan kebudayaan menjadi kata benda. Aku menangkap beberapa puisimu meruju ke situ. Kau ingin membaca warisan bukan dalam kapasitas masa lalu, tetapi dalam kekiniannya. Sehingga terkesan ada nada miris ketika kau bicara warisan masa lalu.

Hal ini kau tegaskan dalam sajak “Kelahiran” (hal. 31). Berikut ini kutipan beberapa bait:

Mataku terpejam diam-diam mengusung
Kemiren dalam tubuhku menjadi fosil
Serupa penari Gandrung yang tengah bermimpi
Tentang bulan dan suara using ditalu-talu

Tapi, di kota aku sempat mengelus patung-patung itu
Jejak masa lalu yang semakin mengabur
Hanya kukenali kembali rintihan-rintihan lembut
Yang nyaris tak terdengar dalam dadaku

O Tradisi pesisir: perahumu dihimpit gunung

Hal itu juga juga tampak pada dua sajak yang kau tulis pada tahun 2006, judulnya “Banyuwangi” (hal. 27) dan “Sebentuk Kisah” (hal. 32). Dalam “Banyuwangi”. /Banyuwangi,/ Terasa merdu suaramu di telingaku/ Lantaran jauh aku meninggalkanmu/. Banyuwangi,/ Kesempitan melapangkan jalanku ke duna/ Lantaran dialek Using yang begitu-begitu saja. /Kini sayup-sayup kudengar lagi suaramu/ Mengusung carut-marut penampakanmu/. Adapun dalam “Sebentuk Kisah”, aku lirik ‘hanya’ bersua ‘sebutir pasir’ dalam ‘kamar’ pertaruhan realitasnya, dan selalu dijejali dengan menemukan ‘tv yang selalu menyala.

Dari dua sajak tersebut tersebut, terdapat nada masqul menghadapi ‘yang begitu-begitu saja’ dan ‘carut marut’, dan dirimu berkehendak untuk memberi nilai lebih dari yang sudah ada. Jika Adonis alias Ali Ahmad Said meminjam ‘ruh’ puitik Mutanabbi untuk mendobrak kebuntuan kreativitas bangsa Arab pasca kalah Perang dengan Israil, aku melihat ada hasrat demikian besar dalam puisi-puisimu. Kau begitu luka memahami masa lalumu, dan dengan puisi kau menyurat sebuah kesaksian, bahwa mesti ada yang tetap dan berubah. Tentu warisan masa lalu yang kau angankan itu adalah dinamika Osing, Kemiren, juga Banyuwangi dengan tradisi dan kultur yang begitu kaya dan mandiri. Dan, kau ingin warisan itu tidak hanya ‘begitu-begitu saja’ tapi ‘hidup’.

Kau menegaskan dalam “Elegi Perjalanan Hidup” (hal. 14), puisi pertama dalam kumpulan Rajegwesi.

Ah hidup!
Masih mengais-ngais juga di bumi
Segala hulu yang mengalirkan sejarah
Kini meretas di jari-jariku

Optimisme masih kau pegang meski kau alirkan lewat suara sajakmu yang ironi. /Dan kini secupang cinta telah menodai tujuan yang/ Telah kubangun lewat keping waktu (“Ia Mendengar Suaraku”, hal. 15). Sajak-sajakmu yang lain juga menyebut beberapa tempat, tokoh, mitos, alih kode dan campur kode dan lainnya terkait dengan Osing dan Banyuwangi. Kau juga meruyak wilayah spiritualisme Islam, dengan mengunggah puisi yang yang sunyi dan mengungkai kaidah-kaidah sufisme.

Adapun pada tahun-tahun 2007, sajakmu cukup banyak yang berbicara tentang Kemiren. Di antaranya “Hantu di Kemiren” (hal 41), “Dosa Kemiren” (hal. 43), “Magma Kemiren” (hal. 44), dan “Geriap Kemiren” (45). Nada dan suasana yang terbangun ‘muram’, sebuah introspeksi pada ruang dan waktu yang tak tepat, menyoal perspektif umum/mapan yang riil, tapi ganjil. Ihwal ragam kulturmu juga membukit di ‘Sebukit Rinjani”, yang kau tulis 2009 (hal. 75), meski nadanya berbeda dengan sajak tahun 2007.

Dalam sajak tahun 2007 “Desa-desa di Kemiren” ( hal.47), kau menegaskan gejolak itu dalam di antara dua tanda kutip.

“Di sini tak ada apa-apa, saudara
Pergilah di kota-kota
telah tersimpan riwayatku yang basi”

Dalam “Sebukit Rinjani” (2009), yang bentuknya mirip prosa, sepertinya ada usaha untuk berdamai. “Sudahlah, hanya secangkir kopi. Engkau hanya mencari orang yang terkesima. Menggenggam peninggalan Majapahit erat-erat. Yang dekat dari sini hanya Gunung Ijen.” Suasana yang berbeda dari tahun sebelumnya juga kau tabalkan dengan mengambil ikon Gandrung dalam sajak yang kautulis pada 2009, judulnya “Belerang di Tubuhmu” (hal 77)

Tak ada bau bangkai di sini.
Hanya jejak-jejak Gandrung yang menempel
di beranda rumahmu
Selendang merah yang kusam

Bung Fatah Yasin Noor yang terhormat.
Meski berbeda, aku melihat kau tetap memandang ‘jejak-jejak’ itu sebagai hal yang ‘kusam’. Artinya, kau tetap istiqomah dalam memandang masa lalu dan warisan tradisi itu sebagai hal yang harus ditafsir ulang dan diberi notasi dalam kekiniannya yang tidak terjebak pada masa lalu…

Demikianlah, pada akhirnya, beribu maaf aku gelar di sini, karena harus menyudahi pembicaraan yang mungkin terlalu melenceng jauh dari perkiraan dan bertele-tele. Namun bagiku ini adalah sebentuk ‘kenikmatan’ dan ‘rekreasi’ yang menyenangkan. Aku sudah berikhtiar ‘membaca’ 70 puisimu, yang ditulis mulai 1991—2009, dengan jumlah dan jeda yang berbeda. Tak ada sajak dari tahun 1992—1995 dan 2000—2005. Rinciannya: tahun 1991 (13 sajak), 1996 (6 sajak), 1997 (1 sajak), 1998 (2 sajak), 1999 (1 sajak), 2006 (1 sajak), 2007 (14 sajak), 2008 (8 sajak), dan 2009 (25 sajak). Paparan singkat ini adalah hasil perjumpaanku dengan beberapa puisimu.

Aku memang hanya fokus pada hal ihwal yang berbau sejarah, tradisi dan ingatan-ingatan kolektif saja, karena sajak-sajakmu mendedah banyak hal, yang tentu saja tidak kuasa kubaca semua. Bahkan, bisa jadi, banyak hal dari sajak-sajakmu yang luput dan itu karena keterbatasanku yang tak mungkin bisa mendedah seluruhnya dan sempurna. Semoga bermanfaat. Wallahu muwafiq ila aqwamit thariq. (*)

*) Disampaikan sebagai prasaran dalam acara “Geladak Sastra” di Mojokerto, pada Minggu, 26 September 2010. Belum diedit.
**) Penulis puisi, prosa dan esai.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita