08/10/10

Kota Puisi

Aris Kurniawan
http://www.lampungpost.com/

Sekembali dari terowongan itu, Darja mendapati gerobak ketopraknya masih teronggok di sisi jalan. Gerobak itu seperti menunggu tuannya dengan setia. Keadaannya masih utuh. Piring, gelas, sendok, stoples plastik, cobek, ulekan, ember, semuanya masih lengkap. Letaknya tak bergeser sama sekali. Bahkan beberapa butir air sisa bilasan di punggung piring belum lagi kering. Hanya kantung plastik yang terlihat sedikit menyembul keluar, bergetar-getar ditiup angin.

Darja mengerjap-ngerjapkan matanya, celingukan tiga kali. Cuaca masih terang. Dilihatnya jam tangannya. Masih pukul setengah lima sore. Lantas dengan perasaan yang masih dirongrong kebingungan, didorongnya ia punya gerobak. Baru beberapa langkah, dari arah berlawanan dilihatnya Narti, istrinya, bejalan tergesa menuju ke arahnya.

Darja menyeka wajahnya dengan sebelah tangan. Dia tak ingin Narti mengetahui kebingungannya. Perempuan itu suka ngedumel kalau melihatnya melamun, atau tampak seperti baru sadar dari lamunan. Lantas menyindir-nyindir tentang cita-citanya jadi penyair. Meracik dan mengulek bumbu ketoprak saja belum becus, mau jadi penyair, begitu Narti pernah berkata. Dia memang keterlaluan. Apa coba hubungannya mahir ngulek ketoprak dengan menulis puisi? Padahal dulu Narti selalu bilang puisi-puisi Darja bagus. Indah tiara tara. Dan gara-gara dirayu dengan puisi pula Narti jadi pacar Darja hingga akhirnya mereka menikah. Perempuan memang selalu ada maunya.

Dari kejauhan Darja sudah dapat melihat muka Narti yang semrawut seperti kain tak disetrika. Seakan sudah tahu hari ini jualannya hanya habis separuh. Bisa ditebak sebentar lagi mulut perempuan itu bakal menumpahkan ceramah tentang cara jualan yang benar. Bagaimana memasang muka kepada pelanggan. Ceramah akan diakhiri dengan kalimat yang sama, yaitu “Abang sih jualan melamun mulu. Kalau nggak melamun pembeli diajak ngobrol puisi. Mikir dong Bang….” Dasar perempuan, kamu pikir orang melamun itu tidak pakai pikiran?

Maka sebelum dia sampai, Darja telah memutuskan untuk tidak akan pernah menceritakan peristiwa yang baru saja dialaminya. Salah-salah Narti makin mempanjang durasi acara ceramahnya. Bisa memicu migrainnya kambuh.

Benar saja, begitu sampai Narti langsung nyap-nyap. Tapi kali ini Darja bertekad tak peduli. Darja sibuk mengingat-ingat peristiwa yang baru saja dialaminya beberapa menit lalu. Ya, beberapa menit saja, tapi mengapa terasa begitu lama berlangsung? Seperti bertahun-tahun? Peristiwa yang baginya sendiri terlalu sulit dimengerti, tapi sungguh-sungguh dia alami secara begitu nyata, sangat nyata, bahkan lebih nyata dari kenyataan. Ah!

Rasanya tidak ada yang salah dengan terowongan itu. Lorong di bawah jalan tol yang menghubungkan Kampung Krapyak di sebelah utara dengan Kampung Semantak di selatan. Orang-orang di kedua kampung itu selalu melalui lorong berukuran lebar dua meter dan tinggi satu setengah meter itu. Dan sejauh yang dia tahu semua berjalan baik-baik saja. Memang pernah ada kabar berembus bahwa terdapat hantu penunggu lorong tersebut. Hantu seorang warga yang mati secara misterius gara-gara menolak pembebasan tanahnya untuk pembangunan jalan tol tersebut. Konon hantu itu gemar mengganduli orang yang melintas di terowongan.

Tapi, peristiwa yang dialami Darja sama sekali tidak ada urusannya dengan kabar tentang hantu yang diembus-embuskan orang itu. Lagi pula Darja sudah lama tidak percaya dengan cerita-cerita hantu semacam itu. Seperti orang-orang di Kampung Krapyak yang mau menyeberang ke Kampung Semantak dan sebaliknya, saban hari Darja melalui terowongan tersebut. Dinding-dindingnya dilabur cat putih susu, di sudut langit-langit terpasang lampu cukup terang. Sore tadi Darja melintas di sana, dan tidak terjadi apa-apa seandainya Darja tidak berbalik ke dalam terowongan lantaran dia merasa penasaran ingin membaca sampai habis sebait tulisan di dinding terowongan. Tulisan biasa-biasa saja yang digoreskan menggunakan arang kerjaan iseng anak muda. Huruf-hurufnya sama sekali jauh dari kesan rapi. Mana ada tulisan yang digoreskan arang terlihat rapi. Huruf r tampak seperti huruf n dan kadang k. Tapi begitulah, dia tambatkan sebentar gerobak ketopraknya di mulut terowongan demi memenuhi rasa penasarannya. Dia merasa tulisan itu seperti puisi.

Setelah dibaca secara penuh penghayatan dan berulang-ulang, tulisan itu memang puisi. Sangat indah. Penyair manakah yang iseng menggoreskannya di dinding terowongan ini? Pertanyaan ini bukan bagian penting dari kejadian yang dialami Darja. Sebab, beberapa detik berikutnya puisi itu menariknya ke dalam pusaran. Lantas, entah bagaimana prosesnya, tahu-tahu Darja terempas ke sebuah gang yang lengang. Permukaan gang yang terbuat dari paving block membuat kulitnya sedikit lecet-lecet. Anda pernah melihat bagaimana Mr. Bean jatuh ke bumi? Begituah kira-kira yang terjadi pada Darja. Itulah sudut kota yang hanya dia kenal lewat bait-bait puisi seorang penyair kondang yang digandrunginya.

Lamat-lamat dia dengar puisi itu…
Kota itu tak bernama
Dinding-dindingnya sangat tua
Dan musik menggenang sepanjang jalan-jalannya
Yang sunyi.

Darja bangkit dan mempertajam pendengarannya. Lalu dia bergerak menelusuri sumber suara. Berjalan tersaruk mengikuti udara yang dirambati suara lantunan orang membaca puisi. Darja mendapati dirinya bagai mabuk oleh kebahagiaan. Dia meraba detak jantungnya untuk memastikan kejadian ini bukan bagian dari lamunan.

Dari dulu Darja memang sangat menggandrungi puisi, dan menjadi penyair merupakan cita-cita terbesarnya sejak remaja. Alangkah bahagianya menjadi penyair, begitu dia selalu berpikir. Adakah yang lebih hebat dan mulia dari seorang penyair? Cita-cita ini menghuni benaknya sejak dia terpesona melihat tetangganya yang jadi penyair. Berambut gondrong, pintar ngomong, berbaju agak kumal, dan punya banyak pacar. Apa saja yang dilakukannya orang maklum karena dia penyair.

Demi merintis cita-citanya, Darja pun masuk ke Fakultas Sastra jurusan puisi. Saban hari tak ada yang dikerjakannya selain menulis puisi dan membaca buku-buku teori tentang puisi. Berdiskusi hampir saban malam tentang puisi dengan siapa saja yang kebetulan bertemu atau berkunjung ke kamar indekosnya yang penuh dengan buku puisi. Tidak seperti penyair umumnya yang malas menata kamar, Darja menata buku-buku puisi koleksinya dengan rapi. Dia susun berdasarkan tahun terbit. Dia melarang keras jika ada yang bermaksud meminjam koleksi bukunya itu.

“Cita-cita kok jadi penyair sih, Darja. Apa tidak ada yang lain?” tanya bapaknya.

“Tidak ada artinya hidup ini selain jadi penyair, Pak.”

“Jadi orang jangan berlebihan dong, Darja. Tapi sudahlah, terserah kamu. Tapi ingat, jadilah penyair yang berguna untuk rakyat.”

“Maksud Bapak?”

“Membela rakyat, Darja.”

“O, tentu saja, Pak,” sahut Darja sekenanya lantaran tidak betul-betul paham dengan tema pembicaraan yang terjadi begitu saja. Kalau ingat percakapan ini Darja ragu sendiri, benarkah ini terjadi dalam sebuah kenyataan atau sekadar di panggung drama?
Darja terus berjalan tersaruk-saruk dengan dada dirasuki perasaan sukacita. Udara kota tua itu menyemburkan harum di penciumannya. Benar-benar kota puisi, bisiknya. Adakah puisi berbau harum? Hanya Darja yang bisa menjelaskan secara pasti. Dia sampai di sebuah kafe yang di dalamnya tengah berlangsung pembacaan puisi. Dari sinilah rupanya asal suara itu. Darja nyelonong begitu saja ke tengah-tengah hadirin yang tengah khusyuk menyimak pembacaan puisi. Cara mereka menyimak pembacaan puisi membuat Darja terkagum-kagum setengah mati. Dia celingukan tiga kali seperti kebiasaannya kalau sedang mumet mencerna peristiwa tak lazim, lantas menyadari betapa tak ada penyair favoritnya di sana. Bahkan tak ada satu pun yang dikenalnya. Astaga ini negeri mana ya? Gumam Darja, bego seperti biasa. Mendadak sepotong tangan menjawil pundaknya.

“Darja?”

“Eh, Anda siapa ya?”

“Ah Darja kenapa kamu jadi pelupa? Tinggal di mana sih kamu selama ini? Pasti di lembah kemiskinan ya? Pantes mudah lupa,” bisik seseorang yang ternyata perempuan berdada dan berbokong besar dengan leher jenjang dan bibir seksi menawan serta tatapan mata penuh rayuan.

Perempuan itu mengajak Darja menginap di kamar apartemennya di lantai 13. Pada pertemuan pertama itu mereka langsung bercinta secara dahsyat sekali. Darja sampai tak mengira dirinya masih mampu bercinta dengan begitu dahsyat. Maklum saja selama ini dia seperti telah kehilangan gairah bercinta dengan Narti. Selain pintar nyap-nyap, mulut Narti berbau amoniak.

“Kamu ternyata tidak hanya berbakat jadi penyair, Darja. Kamu berbakat jadi seorang pemain cinta yang luar biasa.” Puji perempuan yang bahkan namanya Darja belum sempat tahu.

“Sebenarnya kita pernah bertemu di mana sih sebelum ini?” Darja bertanya setelah mengenakan kembali celana jins semata wayang andalannya.

“Alah Darja, itu sudah tak penting sekarang.”

“Tapi siapa namamu? Kenapa kamu mau membawaku kemari dan bercinta denganku?”

“Darja, Darja, kenapa sih kamu selalu ingin tahu hal-hal yang penting seperti itu?”

“Baiklah, tapi apakah namamu juga tidak penting kuketahui?”

“Namaku Julia, Darja. Julia Perez, lengkapnya. Ingat pakai z, bukan s.”

“Terima kasih Julia. Terus apa acara kita selanjutnya?”

Julia Perez menjelaskan, di kota ini setiap orang tidak punya kesibukan apa pun selain menulis dan membaca puisi, kemudian bercinta sepuasnya. Semua warga kota ini dibekali kartu ATM dengan saldo yang terus bertambah.

“Semua kebutuhan hidup kita sudah ditanggung pemerintah,” ujar Julia Perez seraya menyalakan sebatang rokok, mengisapnya dengan nikmat, lantas mengembuskan asapnya ke wajah Darja, membuat laki-laki itu tergeragap dan batuk-batuk.

“Menyenangkan sekali,” kata Darja mulai reda gugupnya.

“Mulanya ini memang menyenangkan, Darja. Tapi lama kelamaan kami ternyata merasa bosan juga. Ingin sesekali pulang menjenguk ke lembah kemiskinan tempat asalmu itu.” Julia Perez memungut sebotol vodka dari kulkas berdinding tembus pandang. Lantas mengangsurkannya pada Darja.

“Kami bosan menulis puisi dengan tema itu-itu juga. Pasir pantai, cangkang kerang, wayang, tali kutang. Kami ingin menulis tentang kemiskinan. Tapi mana bisa? Kami hidup dalam gelimang kemewahan. Kamu tahu Darja, kemewahan bikin orang jadi bebal.”

Namun, berada di kota puisi yang penuh kenikmatan itu tak membuat Darja melupakan hari-harinya sebagai penjual ketoprak, sebagai suami yang acap ditindas istri. Terkenang suara Narti kala perempuan itu mengajari bagaimana meracik dan mengulek ketoprak secara cepat dengan hasil yang tetap baik.

“Kemahiran meracik dan mengulek ketoprak menjadi ukuran sejauh mana kamu mampu menulis puisi yang berkualitas,” kata Narti sok tahu. Tentu saja Darja tak sudi mempercayai ocehan istrinya itu.
**

Tiga minggu sejak kejadian itu, pada suatu sore yang biasa-biasa saja, ketika angin berembus apa adanya, Narti sendirian berjualan ketoprak. Dia mendorong gerobak sendiri dengan air mata berlinangan. Dia tak mau lewat melalui terowongan itu. Tak ingin mendengar suara Darja merinith-rintih membaca puisi.
Pondok Pinang Juli 2010.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita