11/09/10

Prof Dr Abdul Hadi WM: Indonesia tak Punya Rumah Kebudayaan Sendiri

Abdul Hadi W. M., Syahruddin El-Fikri (Pewawancara)
http://www.republika.co.id/

Sistem pendidikan modern telah mengajarkan paham materialistik sehingga menafikan nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah bahasa.

Agama Islam banyak memengaruhi kebudayaan bangsa Indonesia, khususnya bidang sastra. Munculnya sastra Melayu juga dipengaruhi oleh sastra Islam. Tak heran bila kemudian bangsa ini melahirkan banyak tokoh sastra yang andal. Sayangnya, kini kesusastraan Melayu yang menjadi ciri khas bangsa ini mulai kehilangan arah. ”Indonesia sudah tak memiliki rumah secara kultural lagi,” kata Prof Dr Abdul Hadi WM, guru besar Universitas Paramadina Mulya (UPM), Jakarta, kepada Syahruddin El-Fikri, wartawan Republika.

Hal ini disebabkan adanya kesalahan dalam sistem pendidikan Indonesia yang mengajarkan bahasa hanya sebagai alat komunikasi dan cenderung materialistik. Berikut petikannya.

Bagaimana sejarah masuknya Islam di Melayu dan pengaruhnya terhadap kebudayaan setempat?

Islam mulai berkembang pesat pada masa berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Indonesia sekitar akhir abad ke-13 M. Dan, bersamaan dengan selesainya perang salib serta penaklukan Baghdad oleh tentara Mongol yang dipimpin Hulago Khan. Itu menimbulkan banyak pengungsian besar-besaran. Di antara mereka ada intelektual, ulama, dan lainnya dari India hingga Indonesia. Mereka yang pindah tersebut bukan hanya dari Arab, tetapi Islam dari pemerintahan masa Abbasiyah di Baghdad dengan kebudayaan Persia. Dan, mazhabnya menganut Mazhab Syafi’i.

Dari sini, kemudian, agama Islam masuk ke Indonesia melalui Kerajaan Samudera Pasai. Dengan berdirinya kerajaan tersebut, institusi Islam terus berkembang, termasuk institusi pendidikannya dan kesusastraan. Pendidikan pada masa itu pertama kali mengenalkan huruf Arab (Melayu). Kemudian, bahasa Melayu menjadi pengantar bahasa pendidikan. Itulah yang berkembang pesat waktu itu.
Seiring dengan dijadikannya bahasa Melayu sebagai bahasa perdagangan, bahasa Melayu pun makin berkembang luas. Karena itu, bahasa Melayu dijadikan sarana untuk menafsirkan, menerjemahkan, atau menyadur karya-karyta penulis Arab dan Persia ke dalam bahasa yang ada di Nusantara. Dari sinilah kesusastraan berkembang.

Pada abad ke-13, berkembang bahasa Melayu dan orang menulis dalam huruf Arab. Bagaimana awal mulanya?

Kita tidak terlalu banyak mengetahui. Tapi, tulisan-tulisan pada makam raja-raja itu telah menunjukkan hal tersebut. Misalnya, dalam Prasasti Trengganu di Kedah (Malaysia) atau makam di Binjei Tujuh, itu masih bercampur dengan bahasa Melayu lama. Kemudian, kita mengetahui teks pertama yang sampai kepada kita sekarang, yaitu satu teks kuno pada zaman raja Pasai setelah Samudera Pasai ditaklukkan Majapahit pada 1380. Dari sini, kita bisa lihat peralihan bahasa Melayu dalam prasasti di Trengganu ke Binjei Tujuh. Kondisi ini menujukkan bahwa bahasa Melayu telah berkembang luas.
Bukti-bukti ini sering kali diabaikan oleh peneliti sastra. Bukan sengaja diabaikan. Tapi, karena kurang fokus. Padahal, bahasa Melayu sekarang ini adalah hasil perkembangan agama Islam di Nusantara.

Jadi, bahasa Melayu itu dipengaruhi oleh perkembangan agama Islam ketika masuk ke Indonesia?

Ya. Pertama, sebuah bahasa harus menampung konsep-konsep sebelumnya. Jadi, bahasa Melayu mengandung muatan bahasa Arab yang sangat banyak. Istilahnya, kata-kata dalam bahasa Arab dan Parsi (Persia) paling banyak diserap oleh bahasa Melayu. Sedangkan, bahasa Jawa lebih banyak menyerap bahasa Sansekerta yang berafiliasi dalam bahasa Hindu.

Bagaimana kondisi sastra Arab-Melayu saat ini bila dibandingkan sebelumnya atau awal masuknya Islam?

Khazanah sastra Melayu yang dihasilkan atau berasal dari Islam itu sangat banyak, terutama yang ditulis sejak abad ke-14 sampai abad ke-19.

Saat itu, banyak sekali bahasa Arab yang ditulis dalam bahasa Melayu. Itu hampir sebagian besar khazanah yang ada dalam sastra Persia dan Arab karena ada pengaruhnya ke Persia secara kultur. Kalau mazhab, baru ke Arab. Kita kaya sekali dengan khazanah dalam saduran sastra Arab yang ditulis dalam sastra Melayu.

Ada dua jenis sastra, yaitu sastra kitab dan sastra fiksi. Sastra kitab adalah karya-karya mengenai fikih, ushuluddin, kalam, tasawuf, tafsir, dan hadis yang ditulis dalam bahasa sastra. Bahkan, bahasa sastra juga masuk dalam bahasa undang-undang (yurisprudensi), seperti yurisprudensi pemerintahan, adat, dan sebagainya. Karena itu, tidak mengherankan bila Undang-Undang Minangkabau atau UU Aceh terdapat syair-syair di dalamnya. Sedangkan, UU kita sekarang ini sangat kering dari nilai-nilai sastra.

Adapun sastra fiksi terdapat prosa dan puisi, termasuk sastra hikayat dan syair. Ada sastra Adab (undang-undang politik dan pemerintahan). Ini memang tidak ada sangkut pautnya dengan agama, tetapi punya tata pemerintahan, undang-undang, dan lainnya. Di sinilah sumber adat. Karena itu, ada istilah “adat bersandi syarak dan syarak bersandi kitabullah”. Sastra adab dan fiksi sumbernya dari Alquran dan hadis.

Di dunia Melayu, ada dua pilar kebudayaan, yaitu syariah dan tasawuf. Selain budaya lokal, juga diperkuat dengan syariah dan tasawuf. Inilah pilar utama kebudayaan di Indonesia. Karena itu, kebudayaan Islam di Indonesia dan kesusastraannya tidak bisa melupakan syariah dan tasawuf.
Orang-orang yang lex pengetahuannya tentang ini tidak mengerti bahasa dan kesusastraan Melayu. Mereka juga menurunkan masalah estetika dan etika (ilmu jiwa dan psikologi) tentang pentingnya hati dan perasaan dari tasawuf. Tetapi, pucuknya metafisika, pandangan yang tersembunyi di balik intuisi kita.

Ketika sastra Melayu dipengaruhi dengan dua pilar tadi, bagaimana dengan sastra yang dilakukan Hamzah Fansuri?

Sastra Hamzah Fansuri itu macam-macam. Dia masuk pada sastra sufi. Ketika dia belajar tentang asas metafisik dalam melihat kehidupan ini, hal itu diimplementasikan dalam estitika dan etika.
Estetika sufi melihat bahwa apa yang ada dalam dunia ini merupakan kendaraan untuk mencapai kesadaran yang lebih tinggi. Jadi, bagaimana seni dijadikan kendaraan untuk membebaskan diri dari tiga hawa nafsu. Nafsu lawwamah, amarah, dan sufiyah dari badaniah untuk mencapai nafsu muthmainnah (ketenangan jiwa). Mereka membebaskan diri dari hal-hal kebendaan yang dapat merusak alam pikiran dan kesadaran mereka dengan hal-hal yang bersifat keduniawian.

Jadi, ketika kemudian ada orang menganggap Hamzah Fansuri terlalu melebih-lebihkan kedekatan dirinya kepada Tuhan, sebenarnya pandangan itu salah?

Ya, itu nggak apa-apa. Hal itu tidak masalah. Bahasa berlebih-lebihan adalah melampaui batas. Artinya, kalau kita berlebih-lebihan dan melampaui batas, memang dilarang. Tetapi, apa yang dilakukan oleh seorang Hamzah Fansuri karena nilai-nilai dan semangat keberagamaannya dalam bidang tasawuf sehingga dia dekat dengan Tuhannya. Bukan berarti hal ini berlebih-lebihan. Dalam bidang lain pun, kalau kita berlebih-lebihan, itu salah. Jadi, orang yang menyamakan Hamzah Fansuri dengan paham wujudiyah karena orang tersebut belum sampai pada maqam seperti yang dialami Hamzah Fansuri. Kalau kamu mampu, tidak apa-apa. Artinya, mampu itu tidak sampai merusak.

Berarti, semuanya tergantung cara memandangnya dalam pendekatan apa. Begitu?

Y. Apakah kalau saya membaca 1000 buku sastra dianggap berlebih-lebihan? Tidak karena saya mampu. Tapi, kalau anak kecil membaca buku sebanyak itu, tentu akan berlebih-lebihan karena mereka tidak mampu.

Jadi, seperti Al-Hallaj, karena adanya orang yang salah dalam memahaminya?

Selama sesuatu itu bisa ditafsirkan, tidak hanya secara formal (takwil), hal itu masih boleh. Tapi, kalau tidak bisa, akan lain masalahnya. Misalnya, Alquran mengatakan, ”Ke mana pun kamu memandang, akan senantiasa tampak wajah Allah.”

Lalu, pertanyaannya, wajah Allah itu seperti apa? Kalau kalimat wajah Allah di sini ditafsirkan dengan harfiah atau panteistik, semuanya akan kacau. Di sinilah perlunya pandangan lain yang menjelaskan secara nyata maksud dari wajah Allah itu yang bermakna, wajah batin. Wajah batin bahwa Allah itu mempunyai berbagai macam sifat. Sifat Tuhan itu seperti apa, Rahman dan Rahim serta lainnya. Jadi, melihat sifat itu dengan mata hati.

Begitu juga kalau orang memaknai hadis Nabi. Misalnya, ”Malaikat tidak akan masuk ke dalam sebuah rumah yang di dalamnya terdapat gambar binatang.” Kalau begitu, malaikat maut tidak akan masuk. Jadi, ini bisa ditafsirkan. Maksudnya adalah hadis ini lebih bersifat khusus. Begitu juga ketika Sulaiman membuat gambar patung dan lainnya.

Al-Ghazali dalam menafsirkan hadis ini menjelaskan, janganlah membuat gambar yang menjijikkan atau mengajarkan orang seperti sifat kebinatangan. Secara umum, hadis itu bisa dimaknai bahwa malaikat tidak akan masuk ke rumah orang yang memiliki hati atau sifat-sifat binatang. Jadi, maknanya sangat luas.

Kembali ke sastra Melayu. Agama Islam sangat besar pengaruhnya dalam membangun kebudayaan dan kesusastraan Melayu?

Ya. Pertama, jika kita membaca sastra Melayu, itu sangat luar biasa. Namun, untuk kondisi sekarang ini, bangsa Indonesia tercerabut dari akarnya setelah pendidikan modern. Contohnya, ketika kita menggunakan huruf Latin, generasi Indonesia abad ke-20 ini tak bisa lagi membaca warisan nenek moyang mereka yang ditulis dalam bahasa Arab-Melayu atau Pegon, huruf Lampung, huruf Bugis, dan lainnya.

Kedua, kita tidak diajarkan tentang sejarah dengan benar. Dan, ketiga, bahasa hanya dijadikan sebagai alat komunikasi semata. Padahal, bahasa menyimpan wacana warisan yang sangat penting dalam membentuk karakter budaya bangsa. Jadi, seharusnya yang dikenalkan kepada peserta didik adalah bagaimana teks-teks di zaman dulu untuk menumbuhkan semangat anak didik untuk mempelajari sastra.

Anak-anak di Jepang bisa menulis huruf kanji. Begitu juga di India. Tapi, di Indonesia, anak-anak kita tak ada yang mengetahui lagi bagaimana huruf Melayu, seperti Pegon, huruf Jawi, dan lainnya.

Berarti, ada kesalahan dalam sistem pendidikan kita saat ini?

Jepang tidak mengubah huruf. Jepang menjadi modern karena keberanian mereka mengenalkan kebudayaan dan kesusastraan Jepang kepada anak didiknya, tapi mengubah kebudayaannya. Sementara itu, di Indonesia, hal itu tidak lagi dilakukan.

Bagaimana dengan sistem pendidikan sekarang yang mencoba mengenalkan bahasa daerah di sekolah masing-masing?

Ya, ini bagus. Namun, bahasa tersebut masih diajarkan sebagai bahasa komunikasi semata, bukan sebagai bahasa yang memiliki nilai-nilai yang sangat tinggi.
Ketika dulu saya masih sekolah rendah (SR), kita sudah mendapatkan bahasa pengantar dalam bahasa ibu (Madura), baru masuk kelas tiga dipelajari bahasa Indonesia. Bahasa ibu itu sangat membantu kita untuk mengenal suatu konsep-konsep kehidupan dunia sekitar. Kemudian ketika SMP dan SMA, saya belajar sastra Jawa kuno sastra Melayu, dan Indonesia.

Lalu, siapa yang harus bertanggung jawab dalam masalah ini ketika anak-anak Jawa sudah tidak lagi mengenal, bahkan menulis huruf Honocoroko?

Mestinya, pertanyaan ini diajukan pada pemegang kebijakan bangsa ini. Sudah benarkah sistem pendidikan modern kita sekarang? Sejak beberapa tahun Orde Baru berkuasa, sistem pendidikan kita menjadi ala Amerika. Padahal, Amerika itu tidak punya sejarah, seperti Eropa. Pendidikan Amerika itu pragmatis dan tertuju pada hal yang konkret dan tidak belajar tentang sesuatu yang abstrak. Akibatnya, dalam menyelesaikan masalah, selalu yang konkret saja.

Berbeda dengan Jepang, gonta-ganti perdana menteri dan dimasuki kebudayaan Hindu dan Buddha. Namun, mereka tidak terpengaruh dengan kebudayaan itu, apalagi mengubah kebijakan yang sudah baik. Ibarat software, sekarang ini kondisi kita sudah rusak.

Apakah karena masyarakat kita yang terpengaruh dengan sesuatu yang instan (sesaat) juga?

Iya. Ini karena masalah pendidikan juga. Zaman Belanda mengajarkan materi tentang kebudayaan hingga 90 persen budaya barat dibandingkan kebudayaan sendiri.
Anak-anak muda Indonesia saat ini lebih familiar dengan tarian balet, jazz, disko, dan sebagainya ketimbang Reog Ponogoro. Ini kan nggak lucu.

Bagaimana membenahi sastra Melayu agar bisa lebih diterima kembali?

Saat ini, di Sumatra sudah mulai dilakukan. Batasan sejarahnya jelas. Paling baik diutamakan karya-karya unggul, misalnya puncak-puncaknya dulu. Selanjutnya, baru masuk pada karya-karya lainnya. Jadi, anak didik itu mengenal kebudayaan mereka sendiri-sendiri. Ajarkan kembali sastra Melayu dan kebudayaan bangsa sendiri. Bahasa bukan alat komunikasi saja. Bagaimana mau mempelajari karya Bung Karno atau Bung Hatta kalau tidak memahami perkembangan bahasa.

Jadi, akibat ini adalah banyak anak didik kita yang perilakunya menjadi menyimpang?

Ya. Akhirnya, akhlak dan pendidikan budi pekerti terabaikan karena lebih mengejar persoalan materi. Saat ini, kita tidak memiliki rumah secara kebudayaan. Secara politik sudah kacau balau, ekonomi tidak punya, lebih parah lagi tidak punya rumah kebudayaan.

Pemahaman terhadap agama juga makin hari makin dangkal. Agama dipelajari cuma sebatas ritual, bukan penghayatan. Agama dipandang sudah cukup bila sering mengikuti pengajian di kantor-kantor, hotel, dan gedung mewah. Mereka mengukur keberagamaan seseorang dari banyaknya orang mengikuti pengajian, bukan dari kualitas yang diajarkan.

Apa yang membedakan sastra Islam dan sastra Islami di Indonesia?

Sastra Islam di Indonesia sudah ada sejak masuknya Islam ke Indonesia. Kemudian, hal ini dikenal dengan sastra Melayu yang mengadopsi kebudayaan Islam. Sastra Islam itu lebih luas, sedangkan sastra Islami itu lebih terbatas.
Sementara itu, sastra religi lebih luas lagi karena dia bisa berupa sastra Hindu, Islam, Buddha, dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita