Agus Sunarto
http://www.suarakarya-online.com/
Semalam saya bermimpi begitu indah, Kang,” kata Rofiq kepada tetangganya. “Saya memasuki kehidupan yang begitu dinamis, tapi tenang dan menggetarkan. Segalanya penuh dengan cinta.”
“Seperti dalam sinetron atau film itu?”
“Bukan tentang manusia baik dan manusia jahat seperti itu. Manusia dalam impian saya, ada dalam ketegangan baik dan buruk. Semua tindakan didukung oleh sebab sosiologis dan psikologis.”
“Ceritanya tentang apa?”
“Tentang sebuah negara yang damai. Tentang masyarakat yang saling membantu.
Tentang kekuasaan yang saling melindungi. Tentang orang pintar yang mendidik. Tentang orang kaya yang menolong. Tentang orang miskin yang optimis. Tentang alam yang begitu indah. Tentang puasa dari nafsu berlebihan.”
Rofiq menerawang mengingat kembali apa yang pernah diimpikannya. Pikiran dan hatinya begitu khusuk merasakan kembali angin kedamaian yang pernah menyentuhnya, kehangatan api yang pernah mengelusnya, kesuburan tanah yang pernah menggembirakannya.
Saking menakjubkannya mimpi yang diingat kembali itu, wajah Rofiq bercahaya. Senyumnya mengembang, matanya bersinar, pipinya berseri, baju dan segala yang dipakainya tiba-tiba begitu serasi.
Kang Oman begitu takjub melihat perubahan wajah Rofiq. Baru kali ini ia melihat Rofiq secakep itu. Kang Oman menepuk-nepuk bahunya, ingin segera mengetahui mimpi yang pernah dialami Rofiq.
“Ceritakanlah selengkapnya, seperti apa keindahan mimpimu itu.”
Lama Rofiq mereka-reka kata untuk merasakan kembali mimpinya.
“Ceritakanlah Rofiq.”
“Sekali waktu, ketika semua manusia mempraktekkan hidupnya seperti alam, di dunia ini tidak dikenal perselisihan sampai bunuh-bunuhan, tipu menipu, saling mementingkan individu atau golongan. Semuanya mengalir seperti air, datang dan pergi seperti matahari yang menerangi dan menggelapkan tanpa direkayasa, berembus seperti angin tanpa dibebani kepentingan, subur dan gersang seperti tanah tanpa melihat golongan atau ras atau perbedaan lainnya. Kalaupun ada badai, topan, gunung meletus, semua itu dipahami sebagai takdir yang tak bisa dimungkiri. Itu semua malah mendekatkan manusia akan keagungan Tuhan.”
“Terus?”
“Semua peraturan diatasi oleh semua orang. Wah, pokoknya begitu menakjubkan, Kang Oman. Semuanya penuh cinta. Saya tidak bisa menceritakannya lebih lanjut. Barangkali semua perbendaharaan kata-kata saya habis pun tidak bisa menggambarkan mimpi saya itu.”
Rofiq mengingat kembali mimpi menakjubkan itu. Wajahnya bercahaya, matanya bersinar, bibirnya berseri. Kang Oman terpesona melihat wajah Rofiq. Dia seperti melihat pegunungan dengan lekuk-lekuk lembahnya, semilir anginnya, kebeningan telaganya, kemerduan kicau burungnya, kelincahan kijang, dan keberagaman binatangnya.
“Ceritakanlah, Rofiq, saya ingin mendengarkan mimpimu selengkapnya. Sejujurnya, sudah lama saya merindukan cerita seperti itu.”
“Tapi saya merasa tidak akan mampu menceritakan kembali, Kang. Saya hanya bisa merasakannya.”
Kang Oman menyesal mendengarkannya.
* * *
Dalam setiap obrolan di warung kopi, pos ronda, tukang kue serabi, Kang Oman selalu menceritakan keterpesonaannya melihat Rofiq. Rofiq diceritakan dengan begitu memesona: wajah bercahaya, senyum menawan, mata sesejuk telaga, pakaian serasi dengan tubuh yang tegap.
“Cakepan mana dengan pemain sinetron yang sering muncul di televisi itu, Kang Oman?” tanya salah seorang peserta obrolan di warung kopi, suatu senja.
“Jangan bandingkan dengan pemain sinetron, karena kelasnya memang beda. Wajah bercahaya Rofiq tidak bisa dibuat-buat, dengan kosmetik yang paling modern dan paling mahal sekalipun.”
“Lalu, bandingannya dengn apa?”
“Ya, jangan dibandingkan. Terlalu riskan kalau senyum menawan Rofiq harus dibandingkan dengan senyum lainnya. Itu baru Rofiq-nya. Belum lagi dengan mimpinya, yang Rofiq sendiri merasa terpesona. Ah, ingin sekali saya mendengar cerita yang sesungguhnya dalam mimpi-mimpi itu.”
Orang orang menanggapi obrolan Kang Oman dengan berbagai macam sikap. Ada yang tersenyum, mengangguk-angguk, berdecak, ada juga yang tidak peduli, berkali-kali dia malah makan pisang goreng dan menyeruputnya.
Obrolan itu berkembang ke obrolan obrolan lain di tempat-tempat lainnya. Cerita dari mulut ke mulut memang kadang lebih hebat dari cerita aslinya. Beberapa hari setelah Rofiq bercerita kepada Kang Oman, orang sekampung tahu cerita tentang Rofiq dan mimpinya.
Obrolan-obrolan yang menghangat menjadi kepenasaran yang perlu pembuktian. Sekali waktu orang-orang sepakat untuk mendatangi rumah Rofiq dan menanyakan secara langsung mimpinya itu. Memang banyak yang percaya dengan cerita Kang Oman, tapi tidak sedikit yang setengah-setengah dan yang tidak percaya sama sekali.
Mereka yang percaya berdasar pada pengetahuan mereka tentang Rofiq selama ini. Rofiq dikenal sebagai warga yang tidak banyak omong. Ke mana-mana ia selalu tidak lupa menyunggingkan senyum buat siapa saja yang berpapasan dengannya.
Rofiq ramah kepada siapa saja. Tidak jarang orang yang punya kebutuhan mendesak meminta tolong kepada Rofiq. Biasanya Rofiq mengusahakan, meski barangkali hasilnya tidak maksimal.
Rofiq memang bukan orang yang kaya. Dia hidup biasa saja bersama istrinya yang juga sederhana, bertani dengan kebun dan sawah yang tidak begitu luas.
Pernah sekali waktu ada anak yatim yang sakit parah. Orang orang angkat tangan untuk menolongnya, termasuk orang orang kaya di kampung, karena memerlukan biaya yang besar. Tanpa banyak omong, Rofiq mengantar anak itu ke rumah sakit, menjual hartanya untuk biaya, termasuk baju-baju bagusnya dan televisi yang dimilikinya.
Tapi, tidak juga berarti Rofiq jarang bicara. Rifiq pernah berbantah-bantah dengan Pak Camat saat pak Camat bersikeras menganjurkan (tentu dengan sedikit memaksa) agar warga menjual tanah di lereng gunung yang ada mata air besarnya kepada orang kota. Kata Rofiq, kalau tanah di seputar itu dijual, artinya sumber air pun terjual. Mau dari mana warga kampung memenuhi kebutuhan airnya nanti?
Warga kampung yang asalnya diam saja mendukung Rofiq waktu itu. Mereka protes dan berani menjaga lereng gunung bermata air besar itu setiap hari, sampai orang kota itu membatalkan rencananya.
Setelah peristiwa itulah orang-orang segan kepada Rofiq. Rofiq yang petani kecil itu lebih dihormati dibanding orang kaya lainnya yang punya tanah lebih luas, atau pegawai kantoran yang pakaiannya selalu bagus.
“Jadi, memang tidak ada yang diragukan kalau Rofiq mengalami mimpi seperti itu,” kata seseorang. Orang menanggapinya ada yang mengangguk, berdecak, tak acuh, dan sebagainya.
* * *
Malam begitu sunyi. Angin berembus pelan, hinggap dari daun ke daun, membunyikan suara kresek-kresek-kresek yang bersahutan dengan suara jangkrik dan binatang malam lainnya. Tidak ada orang yang keluar rumah kecuali tiga orang yang terkantuk-kantuk di pos ronda itu. Di sebelah utara, gunung yang begitu banyak menghasilkan air itu berdiri gagah.
Sebenarnya, tidak ada yang istimewa malam itu, kecuali bagi Kang Oman. Sejak tengah malam, Kang Oman mendengar ada orang yang menangis. Setelah menajamkan telinganya dan menyusuri asal suara tangis, Kang Oman berkesimpulan bahwa suara itu datang dari rumah Rofiq, tetangganya itu.
Kang Oman mengintip dari celah-celah bilik. Di dalam rumah kecil yang diterangi lampu tempel itu, Kang Oman melihat Rofiq sedang bersimpuh di lantai yang beralaskan tikar.
Guncangan badan dan suara tangis itu seperti ditahan, tapi mungkin Rofiq tak bisa menahan air mata yang berjatuhan. Kang Oman melihat butiran butiran air itu bercahaya. Tiba-tiba Kang Oman merasa begitu senyap dan rendah diri. Semalaman Kang Oman tidak bisa tidur.
“Kenapa menangis, Rofiq?” tanya Kang Oman besok siangnya.
Rofiq yang sejak semula tidak mau membicarakan hal itu, diam saja.
“Semalam saya mendengar dan melihat kamu menangis. Ceritakanlah, jangan sungkan-sungkan.”
Rofiq menarik napas panjang sebelum kemudian bicara. “Sesungguhnya, dalam pengakuan yang paling dalam, kita hanyalah kumpulan kekalahan dan air mata.”
Kang Oman tidak lagi bertanya. Pertanyaan yang telah disiapkan sejak semalam tiba-tiba menjadi pertanyaan yang sebenarnya mesti dijawab oleh dirinya sendiri.
* * *
Suatu siang, orang orang mendatangi rumah Rofiq. Mereka ingin membuktikan cerita Kang Oman yang ditambah lagi cerita air mata Rofiq yang bercahaya. Mereka mengetuk pintu. Tapi tidak ada jawaban. Mereka kemudian mengintip.
Mereka melihat Rofiq bersama istrinya sedang bersimpuh di tikar. Mereka tidak berani lagi mengetuk pintu. Mereka terpesona dengan cahaya yang memancar dari wajah suami istri itu. Mereka bertekad untuk menunggu sampai Rofiq membuka pintu. Tapi siang itu Rofiq tidak membuka pintu.
Setelah menjelang senja, orang-orang terkejut saat melihat Rofiq bersama istrinya datang dari kebun. Rofiq menyapa dengan ramah dan mempersilakan orang orang masuk.
Senyumnya mengembang, senyum tidak akan bisa dilupakan oleh orang-orang yang menyaksikannya. Rofiq menanyakan, apakah kedatangan warga kampung itu ada satu keperluan atau hanya bertandang biasa.
Orang orang tidak menjawab. Berbagai pertanyaan yang memenuhi kepala mereka tidak bisa keluar dari mulutnya. Mereka terpesona oleh senyum dan cahaya wajah Rofiq, dan sejuknya udara di dalam rumah Rofiq. Semuanya merasakan begitu tenang dan indah.
Orang orang pulang dengan menyimpan berbagai pertanyaan: jadi, siapa yang tadi berada di rumah Rofiq? Cahaya apa yang terpancar dari wajahnya? Senyuman yang menawan seperti itu kapan bisa dilihatnya lagi? Udara apa yang begitu sejuk di rumah Rofiq?
Setumpuk pertanyaan itu masih tetap tidak terjawab bertahun-tahun kemudian, juga setelah Rofiq dan istrinya meninggal dunia. Orang orang yang pernah menyaksikan cahaya wajah Rofiq, senyum menawannya, butir-butir air matanya yang menggetarkan, sejuknya udara rumah Rofiq, menceritakan pengetahuan itu dari mulut ke mulut.
Bertahun-tahun kemudian, syahdan, untuk mewujudkan kedamaian seperti yang dialami Rofiq itu, orang orang kampung itu mau melakukan apa saja. Termasuk bertikai, berperang, merampok, mencuri, menindas, dan sebagainya. Seluruhnya untuk kedamaian dan keindahan yang pernah diperlihatkan Rofiq. ***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
27/06/10
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar