27/06/10

Sebuah Mimpi

Agus Sunarto
http://www.suarakarya-online.com/

Semalam saya bermimpi begitu indah, Kang,” kata Rofiq kepada tetangganya. “Saya memasuki kehidupan yang begitu dinamis, tapi tenang dan menggetarkan. Segalanya penuh dengan cinta.”
“Seperti dalam sinetron atau film itu?”

“Bukan tentang manusia baik dan manusia jahat seperti itu. Manusia dalam impian saya, ada dalam ketegangan baik dan buruk. Semua tindakan didukung oleh sebab sosiologis dan psikologis.”
“Ceritanya tentang apa?”
“Tentang sebuah negara yang damai. Tentang masyarakat yang saling membantu.

Tentang kekuasaan yang saling melindungi. Tentang orang pintar yang mendidik. Tentang orang kaya yang menolong. Tentang orang miskin yang optimis. Tentang alam yang begitu indah. Tentang puasa dari nafsu berlebihan.”

Rofiq menerawang mengingat kembali apa yang pernah diimpikannya. Pikiran dan hatinya begitu khusuk merasakan kembali angin kedamaian yang pernah menyentuhnya, kehangatan api yang pernah mengelusnya, kesuburan tanah yang pernah menggembirakannya.

Saking menakjubkannya mimpi yang diingat kembali itu, wajah Rofiq bercahaya. Senyumnya mengembang, matanya bersinar, pipinya berseri, baju dan segala yang dipakainya tiba-tiba begitu serasi.

Kang Oman begitu takjub melihat perubahan wajah Rofiq. Baru kali ini ia melihat Rofiq secakep itu. Kang Oman menepuk-nepuk bahunya, ingin segera mengetahui mimpi yang pernah dialami Rofiq.
“Ceritakanlah selengkapnya, seperti apa keindahan mimpimu itu.”
Lama Rofiq mereka-reka kata untuk merasakan kembali mimpinya.
“Ceritakanlah Rofiq.”

“Sekali waktu, ketika semua manusia mempraktekkan hidupnya seperti alam, di dunia ini tidak dikenal perselisihan sampai bunuh-bunuhan, tipu menipu, saling mementingkan individu atau golongan. Semuanya mengalir seperti air, datang dan pergi seperti matahari yang menerangi dan menggelapkan tanpa direkayasa, berembus seperti angin tanpa dibebani kepentingan, subur dan gersang seperti tanah tanpa melihat golongan atau ras atau perbedaan lainnya. Kalaupun ada badai, topan, gunung meletus, semua itu dipahami sebagai takdir yang tak bisa dimungkiri. Itu semua malah mendekatkan manusia akan keagungan Tuhan.”
“Terus?”

“Semua peraturan diatasi oleh semua orang. Wah, pokoknya begitu menakjubkan, Kang Oman. Semuanya penuh cinta. Saya tidak bisa menceritakannya lebih lanjut. Barangkali semua perbendaharaan kata-kata saya habis pun tidak bisa menggambarkan mimpi saya itu.”

Rofiq mengingat kembali mimpi menakjubkan itu. Wajahnya bercahaya, matanya bersinar, bibirnya berseri. Kang Oman terpesona melihat wajah Rofiq. Dia seperti melihat pegunungan dengan lekuk-lekuk lembahnya, semilir anginnya, kebeningan telaganya, kemerduan kicau burungnya, kelincahan kijang, dan keberagaman binatangnya.

“Ceritakanlah, Rofiq, saya ingin mendengarkan mimpimu selengkapnya. Sejujurnya, sudah lama saya merindukan cerita seperti itu.”
“Tapi saya merasa tidak akan mampu menceritakan kembali, Kang. Saya hanya bisa merasakannya.”
Kang Oman menyesal mendengarkannya.

* * *

Dalam setiap obrolan di warung kopi, pos ronda, tukang kue serabi, Kang Oman selalu menceritakan keterpesonaannya melihat Rofiq. Rofiq diceritakan dengan begitu memesona: wajah bercahaya, senyum menawan, mata sesejuk telaga, pakaian serasi dengan tubuh yang tegap.

“Cakepan mana dengan pemain sinetron yang sering muncul di televisi itu, Kang Oman?” tanya salah seorang peserta obrolan di warung kopi, suatu senja.

“Jangan bandingkan dengan pemain sinetron, karena kelasnya memang beda. Wajah bercahaya Rofiq tidak bisa dibuat-buat, dengan kosmetik yang paling modern dan paling mahal sekalipun.”
“Lalu, bandingannya dengn apa?”

“Ya, jangan dibandingkan. Terlalu riskan kalau senyum menawan Rofiq harus dibandingkan dengan senyum lainnya. Itu baru Rofiq-nya. Belum lagi dengan mimpinya, yang Rofiq sendiri merasa terpesona. Ah, ingin sekali saya mendengar cerita yang sesungguhnya dalam mimpi-mimpi itu.”

Orang orang menanggapi obrolan Kang Oman dengan berbagai macam sikap. Ada yang tersenyum, mengangguk-angguk, berdecak, ada juga yang tidak peduli, berkali-kali dia malah makan pisang goreng dan menyeruputnya.

Obrolan itu berkembang ke obrolan obrolan lain di tempat-tempat lainnya. Cerita dari mulut ke mulut memang kadang lebih hebat dari cerita aslinya. Beberapa hari setelah Rofiq bercerita kepada Kang Oman, orang sekampung tahu cerita tentang Rofiq dan mimpinya.

Obrolan-obrolan yang menghangat menjadi kepenasaran yang perlu pembuktian. Sekali waktu orang-orang sepakat untuk mendatangi rumah Rofiq dan menanyakan secara langsung mimpinya itu. Memang banyak yang percaya dengan cerita Kang Oman, tapi tidak sedikit yang setengah-setengah dan yang tidak percaya sama sekali.

Mereka yang percaya berdasar pada pengetahuan mereka tentang Rofiq selama ini. Rofiq dikenal sebagai warga yang tidak banyak omong. Ke mana-mana ia selalu tidak lupa menyunggingkan senyum buat siapa saja yang berpapasan dengannya.

Rofiq ramah kepada siapa saja. Tidak jarang orang yang punya kebutuhan mendesak meminta tolong kepada Rofiq. Biasanya Rofiq mengusahakan, meski barangkali hasilnya tidak maksimal.

Rofiq memang bukan orang yang kaya. Dia hidup biasa saja bersama istrinya yang juga sederhana, bertani dengan kebun dan sawah yang tidak begitu luas.

Pernah sekali waktu ada anak yatim yang sakit parah. Orang orang angkat tangan untuk menolongnya, termasuk orang orang kaya di kampung, karena memerlukan biaya yang besar. Tanpa banyak omong, Rofiq mengantar anak itu ke rumah sakit, menjual hartanya untuk biaya, termasuk baju-baju bagusnya dan televisi yang dimilikinya.

Tapi, tidak juga berarti Rofiq jarang bicara. Rifiq pernah berbantah-bantah dengan Pak Camat saat pak Camat bersikeras menganjurkan (tentu dengan sedikit memaksa) agar warga menjual tanah di lereng gunung yang ada mata air besarnya kepada orang kota. Kata Rofiq, kalau tanah di seputar itu dijual, artinya sumber air pun terjual. Mau dari mana warga kampung memenuhi kebutuhan airnya nanti?

Warga kampung yang asalnya diam saja mendukung Rofiq waktu itu. Mereka protes dan berani menjaga lereng gunung bermata air besar itu setiap hari, sampai orang kota itu membatalkan rencananya.

Setelah peristiwa itulah orang-orang segan kepada Rofiq. Rofiq yang petani kecil itu lebih dihormati dibanding orang kaya lainnya yang punya tanah lebih luas, atau pegawai kantoran yang pakaiannya selalu bagus.

“Jadi, memang tidak ada yang diragukan kalau Rofiq mengalami mimpi seperti itu,” kata seseorang. Orang menanggapinya ada yang mengangguk, berdecak, tak acuh, dan sebagainya.

* * *

Malam begitu sunyi. Angin berembus pelan, hinggap dari daun ke daun, membunyikan suara kresek-kresek-kresek yang bersahutan dengan suara jangkrik dan binatang malam lainnya. Tidak ada orang yang keluar rumah kecuali tiga orang yang terkantuk-kantuk di pos ronda itu. Di sebelah utara, gunung yang begitu banyak menghasilkan air itu berdiri gagah.

Sebenarnya, tidak ada yang istimewa malam itu, kecuali bagi Kang Oman. Sejak tengah malam, Kang Oman mendengar ada orang yang menangis. Setelah menajamkan telinganya dan menyusuri asal suara tangis, Kang Oman berkesimpulan bahwa suara itu datang dari rumah Rofiq, tetangganya itu.

Kang Oman mengintip dari celah-celah bilik. Di dalam rumah kecil yang diterangi lampu tempel itu, Kang Oman melihat Rofiq sedang bersimpuh di lantai yang beralaskan tikar.

Guncangan badan dan suara tangis itu seperti ditahan, tapi mungkin Rofiq tak bisa menahan air mata yang berjatuhan. Kang Oman melihat butiran butiran air itu bercahaya. Tiba-tiba Kang Oman merasa begitu senyap dan rendah diri. Semalaman Kang Oman tidak bisa tidur.
“Kenapa menangis, Rofiq?” tanya Kang Oman besok siangnya.
Rofiq yang sejak semula tidak mau membicarakan hal itu, diam saja.
“Semalam saya mendengar dan melihat kamu menangis. Ceritakanlah, jangan sungkan-sungkan.”

Rofiq menarik napas panjang sebelum kemudian bicara. “Sesungguhnya, dalam pengakuan yang paling dalam, kita hanyalah kumpulan kekalahan dan air mata.”

Kang Oman tidak lagi bertanya. Pertanyaan yang telah disiapkan sejak semalam tiba-tiba menjadi pertanyaan yang sebenarnya mesti dijawab oleh dirinya sendiri.

* * *

Suatu siang, orang orang mendatangi rumah Rofiq. Mereka ingin membuktikan cerita Kang Oman yang ditambah lagi cerita air mata Rofiq yang bercahaya. Mereka mengetuk pintu. Tapi tidak ada jawaban. Mereka kemudian mengintip.

Mereka melihat Rofiq bersama istrinya sedang bersimpuh di tikar. Mereka tidak berani lagi mengetuk pintu. Mereka terpesona dengan cahaya yang memancar dari wajah suami istri itu. Mereka bertekad untuk menunggu sampai Rofiq membuka pintu. Tapi siang itu Rofiq tidak membuka pintu.

Setelah menjelang senja, orang-orang terkejut saat melihat Rofiq bersama istrinya datang dari kebun. Rofiq menyapa dengan ramah dan mempersilakan orang orang masuk.

Senyumnya mengembang, senyum tidak akan bisa dilupakan oleh orang-orang yang menyaksikannya. Rofiq menanyakan, apakah kedatangan warga kampung itu ada satu keperluan atau hanya bertandang biasa.

Orang orang tidak menjawab. Berbagai pertanyaan yang memenuhi kepala mereka tidak bisa keluar dari mulutnya. Mereka terpesona oleh senyum dan cahaya wajah Rofiq, dan sejuknya udara di dalam rumah Rofiq. Semuanya merasakan begitu tenang dan indah.

Orang orang pulang dengan menyimpan berbagai pertanyaan: jadi, siapa yang tadi berada di rumah Rofiq? Cahaya apa yang terpancar dari wajahnya? Senyuman yang menawan seperti itu kapan bisa dilihatnya lagi? Udara apa yang begitu sejuk di rumah Rofiq?

Setumpuk pertanyaan itu masih tetap tidak terjawab bertahun-tahun kemudian, juga setelah Rofiq dan istrinya meninggal dunia. Orang orang yang pernah menyaksikan cahaya wajah Rofiq, senyum menawannya, butir-butir air matanya yang menggetarkan, sejuknya udara rumah Rofiq, menceritakan pengetahuan itu dari mulut ke mulut.

Bertahun-tahun kemudian, syahdan, untuk mewujudkan kedamaian seperti yang dialami Rofiq itu, orang orang kampung itu mau melakukan apa saja. Termasuk bertikai, berperang, merampok, mencuri, menindas, dan sebagainya. Seluruhnya untuk kedamaian dan keindahan yang pernah diperlihatkan Rofiq. ***

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita