30/05/10

S. YOGA DALAM LIMA TANGGA KEPUITISAN

Imamuddin SA
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Cukup sulit dewasa ini memberikan penilaian terhadap karya sastra, lebih khususnya puisi. Memakai standart penilaian yang bagaimana untuk diterapkan pada sebuah karya sastra? Hal itu disebabkan oleh keberadaan karya sastra itu sendiri. Karya sastra kontemporer lebih bersifat bebas dari ikatan-ikatan atau aturan perpuisian. Inilah yang kiranya menjadikan seorang kritikus sastra harus memutar otak lebih serius lagi. Ujung-ujungnya hal ini akan mengarah pada satu bentuk kritik yang bersifat impresionis. Kritik yang memberikan tafsiran-tafsiran untuk mengagumkan dan untuk menimbulkan kesan yang indah kepada pembaca. Padahal secara konsep dasar, kritik sastra itu bertumpu pada pertimbangan baik-buruk sebuah karya berdasarkan nilai-nilai tertentu.

Nilai-nilai tersebut dapat bertumpu pada pengalaman jiwa seorang pengarang. Itulah yang kemudian dapat dijadikan standart penilaian karya sastra secara objektif. Sebagaimana Rachmat Djoko Pradopo, ia melakukan penerapan kritik sastra berdasarkan lima tingkat pengalaman jiwa manusia. Kelima tingkat pengalaman jiwa tersebut meliputi neveau anorganis; tingkat jiwa yang rendah dan berorientasi pada pola bunyi, irama, baris sajak, majas dan lain-lain, neveau vegetatif; tingkat seperti tumbuh-tumbuhan dan berorietasi pada suasana, neveau animal; tingkat yang dicapai seperti hewan dan berorientasi pada unsur nafsiah, neveau human; tingkat yang hanya dicapai oleh manusia dan berorientasi pada sifat luhur kemanusiaan, dan neaveau religius/filosofis; tingkat tertinggi dan berorientasi pada renungan-renungan yang mengarah pada hakekat hidup dan kehidupan. Berdasarkan fenomena itu, marilah sejenak kita mendedah puisi S Yoga yang berjudul Jaran Goyang berdasarkan pada tingkat pengalaman jiwa kemanusiaannya.

Kita mulai dari tingkat yang paling bawah, yaitu neveau anorganis. Puisi penyair kelahiran Purworejo ini kental dengan persajakan. Rimanya tertata rapi. Persajakannya sangat konsisten dan seimbang. Itu terlihat dari jumlah baris dalam tiap baitnya. Mulai bait pertama hingga terakhir, puisi ini tersusun atas tiga baris dalam tiap baitnya.

Rima yang disematkan dalam puisi Jaran Goyang begitu mendominasi keseluruhan puisi. Ditinjau dari huruf akhir dalam setiap baitnya, S Yoga tidak banyak menggunakan variasi rima. Ia cukup menggunakan rima rata dengan pola “aaa”. Vokal “u” melingkupi bait pertama, ke tiga, ke lima, dan ke enam. Bait pertama dapat dilihat dari penyematan kata bernafsu-rayu-menjebakmu. Bait ketiga ditandai dengan kata wajahmu¬-selalu-tabu. Bait kelima terlihat dari penyematan kata merayumu¬-membenciku-apiku. Bait keenam ditandai dengan kata berbulu-rohmu-malamku. Nada-nada tersebut membangun suasana yang begitu berat, mendalam, dan mengharukan dalam kepribadian. Vokal “i” mewarnai bait ke empat, ke tujuh, dan ke lima belas. Itu ditandai dengan penyematan kata diri-kubimgkai-abadi (bait ke-4), hati-mati-berseri (bait ke-7), ati-abadi-suci (bait ke-15). Bunyi huruf tersebut terasa ringan diucapakan namun ragkaian kata-katanya mengisyaratkan sesuatu yang berat. Jadi, untuk menggapai hidup yang abadi yang penuh dengan kenikmatan itu sangat mudah diucapkan namun begitu berat untuk dilakukan. Vokal “a” menghiasi bait ke tiga belas; surga-seberapa-selamanya, dan bait ke sembilan belas; dipaksa-diminta-berlaksa. Bunyi-bunyi tersebut merupakan bunyi yang datar. Ini menggambarkan suatu kewajaran. Sudah sewajarnya seorang manusia mendambakan surga dalam keabadiannya. Sudah sewajarnya manusia hidup itu ada paksaan, persembahan, serta ada perbandingan/pertimbangan-pertimbangan. Konsonan “l” mewarnai bait ke dua; kanti¬l-kinti¬l-kekal yang membangun suasana sakral yang kental dan berkait. Konsonan “n” melingkupi bait ke delapan; penyamun-kegelapan-bulan yang mengisyaratkan akan kepastian. Konsonan “ng” terlihat pada bait ke sembila; gamang-hilang-kuning menggambarkan jiwa yang tidak tenang. Konsonan “k” mewarnai bait ke sepuluh; semak-rangkak-berjarak, dan bait ke delapan belas; kemaruk-remuk-berkecamuk. Bunyi-bunyi tersebut membangun suasana perjalanan. Konsonan “t” melingkupi bait sebelas; berkabut-pucat-nikmat, bait dua belas; aurat-kudapat-kujerat, bait empat belas; luput-langsat-keramat, bait enam belas; kabut-kusut-kalut, dan bait tujuh belas; lewat-larut-kalimat. Bunyi-bunyi tersebut mencerminkan kesakralan/kefundamentalan hidup. Konsonan “r” mewarnai bait ke dua puluh; altar-diantar-samar yang mencerminkan suatu bentuk kebenaran.

Jika ditelisik dari bunyi akhir kata dalam tiap baitnya, S Yoga menggunakan dua rima, yaitu rima patah dan rima rata. Rima patah terdapat pada bait dua, lima, tujuh, delapan, sembilan, sebelas, empat belas, tujuh belas, sembilan belas, dan dua puluh. Itu terlihat dari kata-kata; kanti¬l-kinti¬l-kekal (bait dua), merayumu¬-membenciku-apiku (bait lima), hati-mati-berseri (bait tujuh), penyamun-kegelapan-bulan (bait delapan), gamang-hilang-kuning (bait sembilan), berkabut-pucat-nikmat (bait sebelas), aurat-kudapat-kujerat (bait dua belas), luput-langsat-keramat (bait empat belas), lewat-larut-kalimat (bait tujuh belas), keamruk-remuk-berkecamuk (bait delapan belas), dipaksa-diminta-berlaksa (bait sembilan belas), altar-diantar-samar (bait dua puluh). Adapun rima ratanya adalah bait sepuluh; semak-rangkak-berjarak, dan bait enam belas; kabut-kusut-kalut.

Majas metafora tampak hadir dalam puisi S Yoga ini. Ungkapan “mantraku terbang (bait 1, baris 1), apiku (bait 5, baris 3), birahi berbulu (bait 6, baris 1), bunga-bunga (bait 7, baris 1), cahaya bulan (bait 8, baris 3), anjing malam (bait 10, baris 1), semak (bait 10, baris 1), lidi lanang (bait 13, baris 1), buah pinang yang kuning langsat (bait 14), kabut (bait 16 baris 1), kabut (bait16 baris 1 dan 3), asap dapur (bait 17, baris 1), dan nyala damar di sentong (bait 17, baris 2) merupakan gambaran metaforanya. Dalam ungkapan mantraku terbang, kata mantra yang notabenenya adalah kata-kata yang berkekuatan magis (dapat dikatakan sebagai doa) disamakan dengan seekor burung atau sesuatu hal yang dapat terbang. Ia secara visual dapat melayang-layang ke angkasa. Kata apiku merupakan persamaan dari hasrat yang diliputi oleh nafsu. Kata bulu identik dengan kehangatan. Sesuatu yang memberikan kehangatan akan mencupta kedamaian. Jadi, kata birahi berbulu disamakan dengan nafsu (jiwa) yang damai/tenang. Bunga bunga disamakan dengan kehidupan yang bahagia. Pencerahan atau petunjuk tingkah laku yang benar dimetaforkan dengan ungkapan cahaya bulan. Anjing malam mengarah pada penyepadanan dengan keberingasan dan keliaran nafsu. Semak merupakan satu bentuk penyepadanan dengan citra Nabi Musa saat beraudensi dengan tuhan di Bukit Tursina yang diwujudkan dalam bentuk semak yang terbakar. Semak tersebut merupakan isyarah akan hakekat ketuhanan. Lidi lanang biasanya dipakai oleh para pawang hujan untuk menolak hujan. Pada ungkapan ini tidaklah mengarah pada penangkalan hujan, namun mengarah pada kebajikan dan kesucian sebab ungkapan itu dirangkainya dengan kata surga. Penyair bermaksud melakukan penangkalan terhadap segala bentuk keburukan yang muncul dari dalam pribadinya dengan sedikit kebajikan dan kesucian hatinya. Jadi ungkapan lidi lanang disamakan dengan penyucian diri (hati). Buah pinang yang kuning langsat berorientasi pada buah pinang yang tengah masak/matang. Dalam hal ini unrkapan tersebut disamakan dengan buah kuldi yang pernah termakan oleh Adam dan Hawa saat berada di surga. Kabut pada baris ke-1 bait 16 disamakan dengan alam atau kehidupan yang samar (gaib) sedangkan pada baris ke-3 dimetaforkan dengan Tuhan Yang Maha Gaib. Asap dapur disepadankan dengan kepribadian yang buruk/kotor. Nyala damar dimetaforkan dengan cahaya hati/petunjuk, sedangkan sentong berkonotasi pada tempat damar menyala. Dalam hal ini sentong disepadankan dengan hati itu sendiri.

Dalam tingkat neveau vegetatif tampak bermacam-macam suasana yang membangun kepribadian si “aku” yang tecermin dalam sajak ini. Suasana-suasana tersebut berorientasi pada suasana yang begitu berat, mendalam, dan mengharukan dalam pribadi pengarang (bait 3, 5, dan 6). Suasana hati yang gontai, cemas dan tidak tenang juga telukiskan (bait 1, 9, dan 18). Hal ini seoalah-olah muncul sebagai suatu kewajaran dalam realitas perjalanan hidup si “aku” dalam mencari hakekat kesejatian tuhannya (bait 3, 4, 11, dan 12). Suatu harapan juga tertuang dalam sajak ini (bait 19 dan 20).

Tingkat pengalaman jiwa yang selanjutnya adalah neveau animal. Ini berupa nafsu-nafsu hidup, tanggapan-tanggapan indraan yang konkret, dan nafsu-nafsu jasmaniah. Nafsu-nafsu hidup dan jasmaniah tergambarkan melalui ungkapan “goda dan rayu (bait 1), merayumu dan membenciku (bait 5), murka (bait 7), rindu, cemas dan gamang (bait9), hati luka dan duka (bait 18), kebahagiaan, dipaksa (bait 19). Godaan, rayuan, kebencian, amarah, kerinduan, kecemasan, sakit hati, kesedihan, kebahagiaan, paksaan merupakan gambaran dari eksistensi nafsu. Semuanya bertumpu pada nafsu. Tanggapan indraan yang konkirit tecermin dari kata-kata uba rampe (sesaji-sesaji dalam ritual mistis), bunga mawar, kenanga dan kantiil (perkengkapan yang disediakan dalam ritual memantrai sesuatu), topeng (wajah palsu), apiku (sesuatu yang bersifat menyala, berkobar, dan membakar), berbulu (sesuatu yang menimbulkan kehangatan), bunga-bunga (gambaran yang indahdan memesona), cahaya bulan (sesuatu yang bersifat menerangi), burung hantu (gambaran dari malam dan ketakutan), anjing malam (gambaran dari sesuatu yang liar dan menakutkan), pucat (wajah yang tidak segar berseri yang menandakan bahwa diri seseorang itu sakit atau ketakutan), aurat (suatu aib atau agian-bagian tubuh seseorang yang mampu merangsang nafsu sahwat), surga (tempat yang indah yang penuh dengan kenikmatan), kulsi (buah yang enyesatkan yang menjadikan Adam dan Hawa terlempar dari surga), nyala damar (sesuatu yang bersifat menerangi dalam kegelapan), dan altar (tempat suci sebagai pemujaab/persembahan kurban kepada dew-dewa).

Tingkat keempat, neveau human dalam sajak ini tampak sebagai kesadaran si “aku” bahwa segalanya akan tiada arti jika ia tidak mampu menemukan, memandang, dan menyayangi kekasihnya (bait 3 dan 4). Kesadaran juga muncul dalam bait ke-11. Ini mengisyaratkan bahwa si “aku” mengikhlaskan penderitaan sesaat sebab ia sadar bahwa ada kebahagiaan yang lebih nikmat di balik semua itu. Si “aku” juga sadar, demi petunjuk dan jalan terang menuju sang kekasih, ia mebiarkan dirinya berada dalam kegelapan dan keheningan dari hal-hal yang mampu menggoda hatinya (bait 12). Kesadaran untuk bersabar juga muncul kembali dalam pribadi si “aku”. Ia tidak akan memaksa akan kedatangan kebahagiaan melalui kehadiran kekasihnya. Ia membiarkannya datang dengan sendirinya seiring perjalanan waktu, sebab itulah yang dinamakan kewajaran hidup. Dan inilah yang akan merangkai kebahagiaan yang lebih melimpah-ruah (bait 19). Si “aku” juga sadar bahwa kasih sayang kekasihnya lebih tinggi dari kasih sayangnya. Sebab kekasihnya tidak lain adalah Tuhan Yang Maha Esa (bait 20).

Tingkat kelima adalah neveau religius/filosofi. Tingkat inilah yang tampak begitu kental dalam keutuhan puisi. Puisi ini mengarah pada perjalanan hidup si “aku” dalam melakukan hakekat kesejatian tuhan agar ia di kemudian hari berolehkan kebahagiaan dan kemuliaan. Sudah tampak jelas dari judulnya, Jaran Goyang, ini adalah mantra pengasihan untuk memikat hati seseorang. Tapi di sini beda. Judul itu berkonotasi pada yang lain. Si “aku” berusaha memikat tuhan dengan puja-puji doa dalam munajatnya. Ia mempersiapkan hal-hal dalam persembahan cinta kasih, ketulusan, dan kesucian hatinya agar tuhan berkenan cinta padanya dan selalu dekat dengannya.

mantraku terbang bersama malam bernafsu
adakah yang tak akan goyah karena goda dan rayu
telah kusiapkan uba rampe guna menjebakmu

bunga mawar, kenanga, dan kantil
agar kau selalu terpikat dan kintil
wahai kekasih berelok rupa dalam singgasana kekal (bait 1 dan 2).

Si aku menyadari bahwa segala pancaran kenikmatan yang diberikan tuhan kepadanya tidak aka berarti apa-apa apabila ia tak mampu dekat dan cinta kepada tuhannya. Ia semakin kecewa jika tuhan hanya sebatas bayangan angan dalam jiwanya saja. Ia menganggap bahwa perjalanan hidup yang telah dilaluinya haya sebatas kepura-puraan. Ia belum menemukan kesejatian hidup yang abadi.

apakah artinya cahaya wajahmu
bila tak bisa kupandang dan kusayang selalu
hanya bayangan melayang di batas angan dan tabu

bila tak kutemukan sukmamu dalam diri
hanyalah topeng hidup yang kupakai dan kubingkai
tak terwujud kesejatian hidup yang abadi (bait 3 dan 4).

Penegasan dilakukan oleh si “aku”. Ia menegaskan bahwa ia telah melakukan usaha-usaha tertentu dengan jalan menghadirkan kesucian hati dari perbuatan-perbuat nista yang menimbulkan kebencian tuhannya. Dengan hal itu, ia semakin yakin, bahwa kini tuhan telah semain dekat bersama hasratnya yang menggebu. Ia lantas mendamaikan nafsunya agar kebajikan berselimut dalam dirinya yang kemudian mampu menjadikan tuhan jatuh hati dan iba oleh doa munajatnya.

telah lama kugiring agar semua arwah merayumu
yang tak sudi kupinang karena membenciku
kini kupastikan engkau semakin dekat dengan apiku

yang selalu kunyalakan dengan birahi berbulu
agar harum tubuh menakjubkan rohmu
hingga hati luluh melihat doa malamku (bait 5 dan 6).

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita