01/05/10

Langit Ketiga Puluh Tiga

Sunlie Thomas Alexander
suaramerdeka.com

Ketika bunga padma mekar, itulah saat baginya untuk pergi mencari jalan menuju langit ketiga puluh tiga, sam sip sam thian 1). Hanya di kala bunga padma mekarlah, ia dapat menemukan jalan itu. Sebagaimana yang selalu dikatakan pamannya yang tua. Mengapa, pamannya juga tidak mengerti. Karena memang begitulah petunjuk yang terdapat dalam Kitab Thung Su 2) yang tak dapat ditawar-tawar, tukas pamannya.

Tetapi kini, di sebuah tebing tinggi, ia terpaksa berhenti sejenak. Dia tengadahkan wajah ke langit. Mencoba mencari posisi matahari. Sia-sia. Langit begitu muram dengan awan hitam tebal yang bergumpalgumpal. Karena itu untuk mengetahui waktu yang tepat pun sulit baginya. Padahal ia harus segera menuju ke timur, ke arah matahari terbit. Arah mana orang-orang selalu menghadap dengan tiga batang hio di depan dada saat memanjatkan doa. Karena arah itulah yang telah diberitahu oleh seekor burung kundul tanpa bulu ekor yang dilihat di tepi hutan karet tiga hari lalu. Burung itu sambil memekik keras terbang ke arah timur dari pinggiran hutan terbakar.

Ia memang selalu yakin Song Ti 3) akan senantiasa membimbingnya lewat pertandapertanda di langit dan bumi. Namun saat ini, ketika letak matahari pun tak dapat diketahui, pertanda apakah yang diberikan mendung?
Maka diletakkannya buntalan kainnya di tanah tebing. Membuka ikatan buntalan itu, lalu mengeluarkan sebuah kompas dari sana.
Dia cari-cari tempat yang datar hingga ditemukan sebuah batu cadas yang pipih untuk meletakkan kompas. Dia perhatikan dengan saksama kompas pemberian seorang pendeta bermata kudus itu berputar, menunggu sampai huruf E terdiam.

Untuk beberapa waktu, ia masih terpaku di atas tebing tinggi itu, memandang ke kejauhan dengan mata terpicing. Berharap menemukan sebuah pondok atau pohon lebat tempat ia dapat berteduh bila hujan tiba-tiba runtuh. Tetapi sejauh matanya sanggup memandang, yang tampak hanyalah hamparan rumput kering meranggas dengan sebuah sungai kecil yang mengalir di kejauhan. Namun firasatnya mengatakan kalau di balik sungai kecil itu ada perkampungan. Dia masukkan kompas kembali ke dalam buntalan lalu bergegas berlari menuruni tebing. Hujan rintik-rintik langsung menyergap begitu kaki menginjak padang rumput kering. Sejenak hatinya agak ragu, namun ia cepat-cepat membaca doa untuk memusnahkan segala ganjaran:

Lam bu kiu khou khiu lan Kwan See Iem Pou Sat,
Pek chian ban ek hut, heng ho sua sou hut 4)

Doa itu, yang diajarkan oleh pamannya, memancar bagaikan sebuah mata air di pegunungan yang melenyapkan dahaga, menyiram kebimbangannya. Ia pun berlari kencang menerobos hujan yang menderas.

***

Ia berangkat pada hari suci Kwan Iem Pou Sat 5) mencapai moksa, 19 Lak Gwee.
Ketika itu hujan juga turun dengan derasnya 6). Pamannya mengiringi kepergiannya dengan menabuh sebuah gendang kecil berwarna merah yang biasa digunakan dalam ritual di kelenteng sambil melantunkan syairsyair dari Kitab Suci Koo Ong Kwan See Iem Keng.

Sebuah kitab yang syahdan bila dibaca sebanyak 1000 jurus, akan membuat kesulitan pupus seperti embun disapa matahari pagi. Bahaya api tak akan mendekati, senjata tajam tidak mempan, kemarahan berbalik jadi kesukaan, dan kematian menjadi kehidupan. Itu juga kata pamannya, meski pada awalnya ia hanya percaya dengan setengah hati. Tetapi sejak kecil ia memang telah diwajibkan membaca kitab tersebut dengan tekun, hingga menghafal semua doa-doa yang terdapat di dalamnya.
Pagi itu, sesudah bersujud kepada delapan Pou Sat dan membakar tiga batang hio menghadap ke langit timur dengan bergegas karena hujan rintik-rintik mulai turun, ia pun meninggalkan rumah yang membesarkannya.
Sebenarnya hatinya masih diliputi perasaan was-was mesti meninggalkan pamannya yang tua, yang akan tinggal sendirian setelah kepergiannya. Tetapi perjalanan itu telah begitu lama memanggil, sejak pamannya membuka Kitab Thung Su pada suatu malam dan menemukan takdirnya tertera di sana. Ia tahu, ia tidak akan dapat menolak takdir itu lantaran tanggal, bulan, dan tahun kelahirannya tercantum jelas di sana. Sebagaimana Hou Xiang Tjhe 7) tidak dapat menolak takdir menjadi dewa, meskipun harus menjalani tiga kali reinkarnasi.

Sejak semula ia tahu, kalau perjalanan ini tidaklah mudah. Akan penuh dengan rintangan. Tak urung pada malam itu ia sempat tergetar. Dan tak dapat memejamkan mata hingga pagi menjelang. Teringat ia pada kisah Rahib Tang yang mendapat takdir melakukan perjalanan ke Barat untuk mencari kitab Mahayana dengan dikawal tiga siluman yang bertaubat.

***

Masa kecilnya dihabiskan di kampung kecil yang hibuk dengan doa, dengan bunyi gong yang nyaring bergema dari kelenteng tua, dan santer aroma hio itu. Setiap pagi dan sore, berduyun-duyun orangótua-muda, besar-kecil, laki-perempuanóbakal datang ke kelenteng besar yang dijaga dua buah arca Khilin 8) di muka pintunya tersebut.
Memohon rezeki, penyembuhan penyakit, atau meminta jodoh. Pamannya selalu sibuk melayani orang-orang yang datang, membuka-buka Kitab Sam Se Su 9), membacakan pantun dan syair-syair, juga mantera bagi para Thung Se 10)yang akan menjadi perantara dewa-dewi dalam ritual. Ia selalu membantu. Memotong kertas-kertas kuning untuk phu 11), atau menyiapkan hio dan gelas-gelas berisi air putih. Tak jarang pula ialah yang menabuh gong besar dari kuningan, tiga puluh tiga kali. Dari perlahan hingga semakin cepat hingga suara gong yang lantang bergaung jauh ke ujung tanjung.

Bila siang hari dan kelenteng sepi dari pengunjung, biasanya ia akan duduk di bawah sebatang pohon ceri besar di seberang kelenteng sambil memperhatikan laju perahu-perahu sampan para nelayan yang menyisir sungai berkelok-kelok. Sampai sampansampan itu lenyap di belakang kelenteng.
Kadang ia akan mengeluarkan seruling bambu dari dalam tas rumput resam yang selalu dibawa, memainkan lagu-lagu tua yang sering dinyanyikan pamannya. Suara tiupan seruling itu akan terbawa angin, saling tindih-menindih dengan suara gesekan daundaun bambu yang tumbuh rimbun di seberang sungai.
Lalu pada malam-malam yang panjang, sambil duduk berdiang di depan tungku di dapur, pamannya akan berkisah tentang riwayat Buddha, juga bagaimana para Pou Sat dan dewa-dewi menempuh jalan berliku-liku hingga mencapai langit ketiga puluh tiga.
Tempat segala yang baik dan bijak berdiam.
Pintu gerbangnya dijaga oleh Dewa Erl Lang bermata tiga dan Anjing Langit. Tak ada seorang pun yang dapat memasuki gerbang suci tersebut selain orang-orang yang memang telah ditakdirkan Song Ti untuk memasukinya, tukas sang paman. Pamannya juga mengajarinya membaca pelbagai macam mantera pengundang dewa. Yang dihafalnya dengan tersendat-sendat

Thi mun sam sip sam thian thai kau cu
Thai song ng ngian cin lo kiun
Bong mu chit chien liung tu cun12)

Sampai pagi itu, ia terbangun pagi-pagi sekali. Udara yang masih diliputi kabut tipis begitu dingin menggigit. Setelah memberi makan ayam dan bebek peliharaan, ia melihat bunga padma di kolam ikannya telah mekar. Ia tahu, itulah tanda baginya untuk pergi. Hari itu adalah hari kesempurnaan Kwan Iem Pou Sat.

***

Aku mendengar cerita ini dari seorang tua di sebuah kota kecil yang pikuk. Kota yang terletak di tepian timur sungai kecil keruh itu dulunya –kata orang tua yang bicara denganku-adalah sebuah kampung yang kumuh, miskin, dan terbelakang. Para penduduknya selalu berwajah murung dan lebih suka menghabiskan waktu dengan melamun, bermain gaple atau menyabung ayam. Bila Tuan datang ke kampung itu, yang akan Tuan temui hanyalah pemandangan yang sangat tidak menyenangkan. Jalanjalan berdebu dipenuhi sampah, rumahrumah tua tak terawat yang lebih mirip kandang berdempetan. Dengan lelaki-lelaki yang termenung sepanjang hari di muka rumah bersama segelas kopi, perempuan-perempuan dekil yang selalu bermuka masam, serta anak-anak yang kurus kering berperut buncit.
Kampung itu betul-betul terpencil. Satu-satunya penghubung kampung tersebut dengan dunia luar hanyalah jembatan bambu kecil di sungai yang tinggal menunggu waktunya ambruk. Untuk menemukan kendaraan bermotor, Tuan harus berjalan kaki puluhan kilo hingga tiba di kampung lain yang terdekat.

Sampai pada suatu hari, ketika hujan turun dengan begitu deras, padahal telah berbulan-bulan hujan tak turun, Llewatlah orang suci itu dengan sebuah buntalan kumal, dengan sekujur tubuh yang basah kuyup. Wajahnya begitu elok, bercahaya laksana malaikat. Membuat perempuan-perempuan terpukau takjub. Dan ketika ia berbicara, suaranya penuh wibawa dengan tutur kata yang begitu halus. Karena itu percayakah, Tuan, kalau begundal yang paling laknat pun seolah menjadi tak berdaya?
Serempak pintu-pintu rumah segera terbuka untuknya singgah berteduh (Syahdan, orang suci itu sendiri juga nyaris tak percaya. Ia jadi terkenang pada pendeta bermata kudus tinggal di atas bukit yang memberinya sebuah kompas. Pendeta tua yang telah mengajarinya membaca pertanda di langit).
Maka ia pun memilih salah satu rumah, yaitu rumah orang tua yang bercerita padaku.
Karena hujan tidak juga reda sementara hari semakin gelap, akhirnya orang suci itu memutuskan untuk bermalam di rumah tersebut. Orangñorang kampung pun seketika berdatangan mengerumuninya. Mendapatkan kejadian yang tak disangka-sangkanya itu, sambil menyantap ubi rebus dan menghirup kopi yang disuguhkan, orang suci itu akhirnya bercerita. Ia bicara tentang penderitaan Buddha dan perjalanan para Pou Sat, seperti yang selalu dikisahkan pamannya kepadanya. Juga mengenai dirinya sendiri.
Orang-orang yang mendengarkan jadi ternganga dengan muka terbengong-bengong, lalu berebutan menciumi tangannya.

Ah, aku jadi ikut-ikutan terpukau mendengar cerita yang dituturkan orang tua yang kutemui di kota kecil itu… Konon, ketika keesokan pagi-pagi sekali, orang suci itu akan berangkat lagi meneruskan perjalanannya ke timur, orang-orang kampung melepaskannya dengan air mata bercucuran.
Anak-anak dan para perempuan bergantian memeluknya.

Begitulah Tuan, setelah keberangkatannya, di kampung itu pun mulai terjadi perubahan yang tak terduga. Wajah para penduduk berangsur-angsur mulai tampak cerah.
Perempuan-perempuan mulai suka bernyanyi ketika mandi-mencuci di sungai dan anakanak tampak begitu riang bermain.
Kemudian seperti digerakkan oleh sesuatu yang gaib, tak dinyana satu per satu para lelaki diikuti para perempuan mulai kembali turun ke ladang. Ada pula yang berternak dan membuka warung makan di pinggir jalan.
Entah kenapa, kehadiran orang suci itu bukan hanya membangkitkan semangat para penduduk tetapi juga seperti membawa berkah.
Hujan menjadi kerap turun, menyuburkan kembali tanah-tanah yang retak, membuat tanaman-tanaman meruap hijau segar.

“Orang-orang tak henti-hentinya bersyukur. Setiap kali malam Minggu tiba, mereka berkumpul di tanah lapang, tua-muda hingga kanak-kanak. Mereka bernyanyi, menabuh gendang dan rebana, lalu berjoget dengan riuh,“ kata orang tua yang bicara denganku itu menerawang.

Tak lama kemudian satu demi satu para perantau pun mulai berpulangan. Termasuk yang telah meninggalkan kampung puluhan tahun dan belum pernah sekali pun pulang lagi. Hal itu kemudian disusul dengan berdatangannya orang-orang asing. Mereka membuka perkebunan sawit, toko-toko, bahkan kemudian mendirikan pabrik es.
Dalam kurun waktu lima tahun, siapa yang menduga kampung kumuh yang senyap itu telah berubah menjadi sebuah kota kecil yang hiruk-pikuk.

Aku semakin tercengang. Tapi orang tua yang bicara padaku itu tiba-tiba berhenti berkisah. Sekilas aku menangkap sebersit sinar matanya yang begitu pilu. Aku menunggu dengan jantung berdebar-debar.
Cukup lama. Sampai akhirnya ia kembali membuka mulut bicara. Suaranya terdengar serak dan parau, seperti menyimpan suatu beban yang amat berat.

Dengan mata berkaca-kaca, ia kemudian bercerita bagaimana pada suatu sore sepulang dari ladang, ia menemukan ibunya sedang bergelut dengan seorang lelaki asing dalam kamar. Amarahnya tanpa dapat dibendung, langsung mendidih serupa minyak sayur yang dituangkan ke atas wajan panas. Tanpa berpikir panjang, dikuncinya pintu rumah dari luar. Lalu dengan tubuh bergetar dituangkannya bensin ke sekeliling rumah dan langsung menyalakan korek api hingga dalam waktu sekejap saja, papan-papan lapuk rumah tua peninggalan mendiang ayahnya itu telah berderak-derak dilahap lidah api yang meliuk-liuk ganas. Sambil tertawa terbahakbahak seperti orang kurang ingatan, ia pun berkacak pinggang menyaksikan bagaimana rumah yang membesarkannya itu semakin tenggelam dalam kobaran api bersama jeritan-jeritan histeris di dalamnya. Aku merasa kedua lutut goyah, dan mulutku begitu kering. Kejadian itu telah puluhan tahun yang lalu, waktu itu orang tua yang menceritakan padaku masihlah seorang pemuda tanggung.

Aku tidak tahu –agaknya juga tidak seorang pun yang tahu, termasuk lelaki tua yang berkisah padaku–di mana orang suci itu sekarang. Ke mana ia pergi dan apakah ia berhasil menemukan jalan menuju langit ketiga puluh tiga. Aku hanya mengenang cerita tentang orang suci itu sebagai sebuah cerita yang aneh dan menuliskannya untuk Tuan.

Bangka, 2004-2007/ Yogyakarta, 2010

Catatan:


1. Sam sip sam thian: langit lapis ketiga puluh tiga. Dalam khazanah mitologi, konon merupakan khayangan tingkat tertinggi. Tempat Kaisar Giok (Nyuk Fong Thai Ti) dan para dewata berdiam.
Keberadaannya sering digambarkan secara profan dalam sejumlah karya sastra Cina klasik seperti Si Yu Ki, Nan Yu Ki, Tung Yu Ki dan lain-lainnya yang sangat kental dengan ajaran Buddha. Penyebutannya juga ditemukan dalam banyak mantera ritual Lok Thung (trance) yang dilakoni para penganut Senisme (berasal dari kata Sen=dewa).
2. Thung Su: semacam buku pintar yang berisi berbagai perihal tentang dunia-akhirat.
3. Song Ti: salah satu sebutan untuk Tuhan.
4. Dikutip dari Kitab Suci Koo Ong Kwan See Iem Keng.
5. Pou Sat: Bodhisatva.
6. Pada hari-hari suci para Bodhisatva (dan dewata), konon diyakini akan selalu turun hujan deras.
7. Hou Xiang Tjhe: salah satu dari Delapan Dewa (Pat Sien). Konon ia menolak keras takdirnya menjadi dewa lantaran cintanya kepada isteri dan ibunya yang sudah tua. Sehingga Kerajaan Langit menghukumnya bereinkarnasi sampai tiga kali.
8. Khilin: binatang Barongsay, binatang ganjil perpaduan singa dan naga.
9. Sam Se Su: sejenis buku primbon.
10. Thung Se: medium/ pengantara para dewata dalam ritual Lok Thung (trance).
11. Phu: kertas kuning persegi panjang yang berisi mantera penolak bala.
12. Mantera mengundang Dewa Thai Song Lo Kiun.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita