Sunlie Thomas Alexander
suaramerdeka.com
Ketika bunga padma mekar, itulah saat baginya untuk pergi mencari jalan menuju langit ketiga puluh tiga, sam sip sam thian 1). Hanya di kala bunga padma mekarlah, ia dapat menemukan jalan itu. Sebagaimana yang selalu dikatakan pamannya yang tua. Mengapa, pamannya juga tidak mengerti. Karena memang begitulah petunjuk yang terdapat dalam Kitab Thung Su 2) yang tak dapat ditawar-tawar, tukas pamannya.
Tetapi kini, di sebuah tebing tinggi, ia terpaksa berhenti sejenak. Dia tengadahkan wajah ke langit. Mencoba mencari posisi matahari. Sia-sia. Langit begitu muram dengan awan hitam tebal yang bergumpalgumpal. Karena itu untuk mengetahui waktu yang tepat pun sulit baginya. Padahal ia harus segera menuju ke timur, ke arah matahari terbit. Arah mana orang-orang selalu menghadap dengan tiga batang hio di depan dada saat memanjatkan doa. Karena arah itulah yang telah diberitahu oleh seekor burung kundul tanpa bulu ekor yang dilihat di tepi hutan karet tiga hari lalu. Burung itu sambil memekik keras terbang ke arah timur dari pinggiran hutan terbakar.
Ia memang selalu yakin Song Ti 3) akan senantiasa membimbingnya lewat pertandapertanda di langit dan bumi. Namun saat ini, ketika letak matahari pun tak dapat diketahui, pertanda apakah yang diberikan mendung?
Maka diletakkannya buntalan kainnya di tanah tebing. Membuka ikatan buntalan itu, lalu mengeluarkan sebuah kompas dari sana.
Dia cari-cari tempat yang datar hingga ditemukan sebuah batu cadas yang pipih untuk meletakkan kompas. Dia perhatikan dengan saksama kompas pemberian seorang pendeta bermata kudus itu berputar, menunggu sampai huruf E terdiam.
Untuk beberapa waktu, ia masih terpaku di atas tebing tinggi itu, memandang ke kejauhan dengan mata terpicing. Berharap menemukan sebuah pondok atau pohon lebat tempat ia dapat berteduh bila hujan tiba-tiba runtuh. Tetapi sejauh matanya sanggup memandang, yang tampak hanyalah hamparan rumput kering meranggas dengan sebuah sungai kecil yang mengalir di kejauhan. Namun firasatnya mengatakan kalau di balik sungai kecil itu ada perkampungan. Dia masukkan kompas kembali ke dalam buntalan lalu bergegas berlari menuruni tebing. Hujan rintik-rintik langsung menyergap begitu kaki menginjak padang rumput kering. Sejenak hatinya agak ragu, namun ia cepat-cepat membaca doa untuk memusnahkan segala ganjaran:
Lam bu kiu khou khiu lan Kwan See Iem Pou Sat,
Pek chian ban ek hut, heng ho sua sou hut 4)
Doa itu, yang diajarkan oleh pamannya, memancar bagaikan sebuah mata air di pegunungan yang melenyapkan dahaga, menyiram kebimbangannya. Ia pun berlari kencang menerobos hujan yang menderas.
***
Ia berangkat pada hari suci Kwan Iem Pou Sat 5) mencapai moksa, 19 Lak Gwee.
Ketika itu hujan juga turun dengan derasnya 6). Pamannya mengiringi kepergiannya dengan menabuh sebuah gendang kecil berwarna merah yang biasa digunakan dalam ritual di kelenteng sambil melantunkan syairsyair dari Kitab Suci Koo Ong Kwan See Iem Keng.
Sebuah kitab yang syahdan bila dibaca sebanyak 1000 jurus, akan membuat kesulitan pupus seperti embun disapa matahari pagi. Bahaya api tak akan mendekati, senjata tajam tidak mempan, kemarahan berbalik jadi kesukaan, dan kematian menjadi kehidupan. Itu juga kata pamannya, meski pada awalnya ia hanya percaya dengan setengah hati. Tetapi sejak kecil ia memang telah diwajibkan membaca kitab tersebut dengan tekun, hingga menghafal semua doa-doa yang terdapat di dalamnya.
Pagi itu, sesudah bersujud kepada delapan Pou Sat dan membakar tiga batang hio menghadap ke langit timur dengan bergegas karena hujan rintik-rintik mulai turun, ia pun meninggalkan rumah yang membesarkannya.
Sebenarnya hatinya masih diliputi perasaan was-was mesti meninggalkan pamannya yang tua, yang akan tinggal sendirian setelah kepergiannya. Tetapi perjalanan itu telah begitu lama memanggil, sejak pamannya membuka Kitab Thung Su pada suatu malam dan menemukan takdirnya tertera di sana. Ia tahu, ia tidak akan dapat menolak takdir itu lantaran tanggal, bulan, dan tahun kelahirannya tercantum jelas di sana. Sebagaimana Hou Xiang Tjhe 7) tidak dapat menolak takdir menjadi dewa, meskipun harus menjalani tiga kali reinkarnasi.
Sejak semula ia tahu, kalau perjalanan ini tidaklah mudah. Akan penuh dengan rintangan. Tak urung pada malam itu ia sempat tergetar. Dan tak dapat memejamkan mata hingga pagi menjelang. Teringat ia pada kisah Rahib Tang yang mendapat takdir melakukan perjalanan ke Barat untuk mencari kitab Mahayana dengan dikawal tiga siluman yang bertaubat.
***
Masa kecilnya dihabiskan di kampung kecil yang hibuk dengan doa, dengan bunyi gong yang nyaring bergema dari kelenteng tua, dan santer aroma hio itu. Setiap pagi dan sore, berduyun-duyun orangótua-muda, besar-kecil, laki-perempuanóbakal datang ke kelenteng besar yang dijaga dua buah arca Khilin 8) di muka pintunya tersebut.
Memohon rezeki, penyembuhan penyakit, atau meminta jodoh. Pamannya selalu sibuk melayani orang-orang yang datang, membuka-buka Kitab Sam Se Su 9), membacakan pantun dan syair-syair, juga mantera bagi para Thung Se 10)yang akan menjadi perantara dewa-dewi dalam ritual. Ia selalu membantu. Memotong kertas-kertas kuning untuk phu 11), atau menyiapkan hio dan gelas-gelas berisi air putih. Tak jarang pula ialah yang menabuh gong besar dari kuningan, tiga puluh tiga kali. Dari perlahan hingga semakin cepat hingga suara gong yang lantang bergaung jauh ke ujung tanjung.
Bila siang hari dan kelenteng sepi dari pengunjung, biasanya ia akan duduk di bawah sebatang pohon ceri besar di seberang kelenteng sambil memperhatikan laju perahu-perahu sampan para nelayan yang menyisir sungai berkelok-kelok. Sampai sampansampan itu lenyap di belakang kelenteng.
Kadang ia akan mengeluarkan seruling bambu dari dalam tas rumput resam yang selalu dibawa, memainkan lagu-lagu tua yang sering dinyanyikan pamannya. Suara tiupan seruling itu akan terbawa angin, saling tindih-menindih dengan suara gesekan daundaun bambu yang tumbuh rimbun di seberang sungai.
Lalu pada malam-malam yang panjang, sambil duduk berdiang di depan tungku di dapur, pamannya akan berkisah tentang riwayat Buddha, juga bagaimana para Pou Sat dan dewa-dewi menempuh jalan berliku-liku hingga mencapai langit ketiga puluh tiga.
Tempat segala yang baik dan bijak berdiam.
Pintu gerbangnya dijaga oleh Dewa Erl Lang bermata tiga dan Anjing Langit. Tak ada seorang pun yang dapat memasuki gerbang suci tersebut selain orang-orang yang memang telah ditakdirkan Song Ti untuk memasukinya, tukas sang paman. Pamannya juga mengajarinya membaca pelbagai macam mantera pengundang dewa. Yang dihafalnya dengan tersendat-sendat
Thi mun sam sip sam thian thai kau cu
Thai song ng ngian cin lo kiun
Bong mu chit chien liung tu cun12)
Sampai pagi itu, ia terbangun pagi-pagi sekali. Udara yang masih diliputi kabut tipis begitu dingin menggigit. Setelah memberi makan ayam dan bebek peliharaan, ia melihat bunga padma di kolam ikannya telah mekar. Ia tahu, itulah tanda baginya untuk pergi. Hari itu adalah hari kesempurnaan Kwan Iem Pou Sat.
***
Aku mendengar cerita ini dari seorang tua di sebuah kota kecil yang pikuk. Kota yang terletak di tepian timur sungai kecil keruh itu dulunya –kata orang tua yang bicara denganku-adalah sebuah kampung yang kumuh, miskin, dan terbelakang. Para penduduknya selalu berwajah murung dan lebih suka menghabiskan waktu dengan melamun, bermain gaple atau menyabung ayam. Bila Tuan datang ke kampung itu, yang akan Tuan temui hanyalah pemandangan yang sangat tidak menyenangkan. Jalanjalan berdebu dipenuhi sampah, rumahrumah tua tak terawat yang lebih mirip kandang berdempetan. Dengan lelaki-lelaki yang termenung sepanjang hari di muka rumah bersama segelas kopi, perempuan-perempuan dekil yang selalu bermuka masam, serta anak-anak yang kurus kering berperut buncit.
Kampung itu betul-betul terpencil. Satu-satunya penghubung kampung tersebut dengan dunia luar hanyalah jembatan bambu kecil di sungai yang tinggal menunggu waktunya ambruk. Untuk menemukan kendaraan bermotor, Tuan harus berjalan kaki puluhan kilo hingga tiba di kampung lain yang terdekat.
Sampai pada suatu hari, ketika hujan turun dengan begitu deras, padahal telah berbulan-bulan hujan tak turun, Llewatlah orang suci itu dengan sebuah buntalan kumal, dengan sekujur tubuh yang basah kuyup. Wajahnya begitu elok, bercahaya laksana malaikat. Membuat perempuan-perempuan terpukau takjub. Dan ketika ia berbicara, suaranya penuh wibawa dengan tutur kata yang begitu halus. Karena itu percayakah, Tuan, kalau begundal yang paling laknat pun seolah menjadi tak berdaya?
Serempak pintu-pintu rumah segera terbuka untuknya singgah berteduh (Syahdan, orang suci itu sendiri juga nyaris tak percaya. Ia jadi terkenang pada pendeta bermata kudus tinggal di atas bukit yang memberinya sebuah kompas. Pendeta tua yang telah mengajarinya membaca pertanda di langit).
Maka ia pun memilih salah satu rumah, yaitu rumah orang tua yang bercerita padaku.
Karena hujan tidak juga reda sementara hari semakin gelap, akhirnya orang suci itu memutuskan untuk bermalam di rumah tersebut. Orangñorang kampung pun seketika berdatangan mengerumuninya. Mendapatkan kejadian yang tak disangka-sangkanya itu, sambil menyantap ubi rebus dan menghirup kopi yang disuguhkan, orang suci itu akhirnya bercerita. Ia bicara tentang penderitaan Buddha dan perjalanan para Pou Sat, seperti yang selalu dikisahkan pamannya kepadanya. Juga mengenai dirinya sendiri.
Orang-orang yang mendengarkan jadi ternganga dengan muka terbengong-bengong, lalu berebutan menciumi tangannya.
Ah, aku jadi ikut-ikutan terpukau mendengar cerita yang dituturkan orang tua yang kutemui di kota kecil itu… Konon, ketika keesokan pagi-pagi sekali, orang suci itu akan berangkat lagi meneruskan perjalanannya ke timur, orang-orang kampung melepaskannya dengan air mata bercucuran.
Anak-anak dan para perempuan bergantian memeluknya.
Begitulah Tuan, setelah keberangkatannya, di kampung itu pun mulai terjadi perubahan yang tak terduga. Wajah para penduduk berangsur-angsur mulai tampak cerah.
Perempuan-perempuan mulai suka bernyanyi ketika mandi-mencuci di sungai dan anakanak tampak begitu riang bermain.
Kemudian seperti digerakkan oleh sesuatu yang gaib, tak dinyana satu per satu para lelaki diikuti para perempuan mulai kembali turun ke ladang. Ada pula yang berternak dan membuka warung makan di pinggir jalan.
Entah kenapa, kehadiran orang suci itu bukan hanya membangkitkan semangat para penduduk tetapi juga seperti membawa berkah.
Hujan menjadi kerap turun, menyuburkan kembali tanah-tanah yang retak, membuat tanaman-tanaman meruap hijau segar.
“Orang-orang tak henti-hentinya bersyukur. Setiap kali malam Minggu tiba, mereka berkumpul di tanah lapang, tua-muda hingga kanak-kanak. Mereka bernyanyi, menabuh gendang dan rebana, lalu berjoget dengan riuh,“ kata orang tua yang bicara denganku itu menerawang.
Tak lama kemudian satu demi satu para perantau pun mulai berpulangan. Termasuk yang telah meninggalkan kampung puluhan tahun dan belum pernah sekali pun pulang lagi. Hal itu kemudian disusul dengan berdatangannya orang-orang asing. Mereka membuka perkebunan sawit, toko-toko, bahkan kemudian mendirikan pabrik es.
Dalam kurun waktu lima tahun, siapa yang menduga kampung kumuh yang senyap itu telah berubah menjadi sebuah kota kecil yang hiruk-pikuk.
Aku semakin tercengang. Tapi orang tua yang bicara padaku itu tiba-tiba berhenti berkisah. Sekilas aku menangkap sebersit sinar matanya yang begitu pilu. Aku menunggu dengan jantung berdebar-debar.
Cukup lama. Sampai akhirnya ia kembali membuka mulut bicara. Suaranya terdengar serak dan parau, seperti menyimpan suatu beban yang amat berat.
Dengan mata berkaca-kaca, ia kemudian bercerita bagaimana pada suatu sore sepulang dari ladang, ia menemukan ibunya sedang bergelut dengan seorang lelaki asing dalam kamar. Amarahnya tanpa dapat dibendung, langsung mendidih serupa minyak sayur yang dituangkan ke atas wajan panas. Tanpa berpikir panjang, dikuncinya pintu rumah dari luar. Lalu dengan tubuh bergetar dituangkannya bensin ke sekeliling rumah dan langsung menyalakan korek api hingga dalam waktu sekejap saja, papan-papan lapuk rumah tua peninggalan mendiang ayahnya itu telah berderak-derak dilahap lidah api yang meliuk-liuk ganas. Sambil tertawa terbahakbahak seperti orang kurang ingatan, ia pun berkacak pinggang menyaksikan bagaimana rumah yang membesarkannya itu semakin tenggelam dalam kobaran api bersama jeritan-jeritan histeris di dalamnya. Aku merasa kedua lutut goyah, dan mulutku begitu kering. Kejadian itu telah puluhan tahun yang lalu, waktu itu orang tua yang menceritakan padaku masihlah seorang pemuda tanggung.
Aku tidak tahu –agaknya juga tidak seorang pun yang tahu, termasuk lelaki tua yang berkisah padaku–di mana orang suci itu sekarang. Ke mana ia pergi dan apakah ia berhasil menemukan jalan menuju langit ketiga puluh tiga. Aku hanya mengenang cerita tentang orang suci itu sebagai sebuah cerita yang aneh dan menuliskannya untuk Tuan.
Bangka, 2004-2007/ Yogyakarta, 2010
Catatan:
1. Sam sip sam thian: langit lapis ketiga puluh tiga. Dalam khazanah mitologi, konon merupakan khayangan tingkat tertinggi. Tempat Kaisar Giok (Nyuk Fong Thai Ti) dan para dewata berdiam.
Keberadaannya sering digambarkan secara profan dalam sejumlah karya sastra Cina klasik seperti Si Yu Ki, Nan Yu Ki, Tung Yu Ki dan lain-lainnya yang sangat kental dengan ajaran Buddha. Penyebutannya juga ditemukan dalam banyak mantera ritual Lok Thung (trance) yang dilakoni para penganut Senisme (berasal dari kata Sen=dewa).
2. Thung Su: semacam buku pintar yang berisi berbagai perihal tentang dunia-akhirat.
3. Song Ti: salah satu sebutan untuk Tuhan.
4. Dikutip dari Kitab Suci Koo Ong Kwan See Iem Keng.
5. Pou Sat: Bodhisatva.
6. Pada hari-hari suci para Bodhisatva (dan dewata), konon diyakini akan selalu turun hujan deras.
7. Hou Xiang Tjhe: salah satu dari Delapan Dewa (Pat Sien). Konon ia menolak keras takdirnya menjadi dewa lantaran cintanya kepada isteri dan ibunya yang sudah tua. Sehingga Kerajaan Langit menghukumnya bereinkarnasi sampai tiga kali.
8. Khilin: binatang Barongsay, binatang ganjil perpaduan singa dan naga.
9. Sam Se Su: sejenis buku primbon.
10. Thung Se: medium/ pengantara para dewata dalam ritual Lok Thung (trance).
11. Phu: kertas kuning persegi panjang yang berisi mantera penolak bala.
12. Mantera mengundang Dewa Thai Song Lo Kiun.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar