http://teaterapakah.blogspot.com/
Peran: Seorang Dionisian
Dionisian:
Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos.
Teruskan, mabukkan, pestakan, sukaria, topeng, rumbai-rumbai, musik, tari, nyanyi. Rayakan dewa anggur, kesuburan, dan ramalan. Pesta musim panas, bumi baru, kesuburan setelah membeku. Kemabukan tiada tara. Mari terbang, melayang, jungkir dan balikkan. Tanpa kemabukan bukan lagi teater namanya, dan tak ada lagi hasrat serta manfaat gunanya. Bukanlah cinta tanpa mabuk kepayang-payang, barangkali cuma letup sesaat dan tak sengaja kayak kentut. “Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian,” ujar Chairil Anwar dalam Krawang-Bekasi. Tanpa kemabukan bagaimana bisa bertahan antara realitas dan mimpi?
Kami Dionisian-dionisian setiamu, dalam kemabukan, kerasukan, cinta, dan bermain.
Dengan kemabukan kami rasuki roh-roh dan mainkan mereka, peran-peran, jadi hidup, bertindak, menjalani takdir lakon. Dalam lingkaran tari dan koor “nyanyian kambing” kami sembahkan drama Dionisian, bahkan kami perankan Sang Dewa Mabuk, Dionisos Maha Tuan Asal-muasal Drama. Kami rayakan kambing, pengganti ritus kanibalisme kuno, sesajen sebutir kepala manusia. Drama mengubah ritus darah dan nyawa menjadi seni.
Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos.
Dengan kemabukan dan kesyahidan kami hidupkan Sayidina Husein, cucu kesayangan Nabi, beserta anak-anak, keluarga, dan para pengikutnya, berguguran sehabis perlawanan habis-habisan yang gagah berani dalam Perang Karbala. Kami hidupkan kembali di arena Teater Takziah, “teater dukacita”, selama hari-hari ritual Asyura di bulan Muharam yang suci. Kami nyanyikan penderitaan dan kesyahidan Sayidina Husein bin Ali; perlawanan terhadap ketidakadilan dan penindasan dengan keteguhan otoritas moralnya. Juga kami deklamasikan kebrutalan para penindas, pelibas, pembantai, yang otoritasnya tirani berbendera agama. Di tangan tiran agama jadi sektarian, eksklusif, pembenaran ideologi. Agama bukan lagi sirath-al-mustaqim, jalan lempang, jalan pencerdasan, pembebasan, pencerahan. Teater menemukan dan membangkitkan penderitaan/catharsis dan kesyahidan/martyrdom.
Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos.
Kami adalah shaman, pawang, bomoh, dukun, “terkun”, “orang pintar”, “orang tua”, “orang aneh”, orang suci, wali, pendeta, peramal, paranormal, “para tidak normal”, atau terserah sapaan apa saja yang kalian pantas-pantaskan. Dengan kemabukan dan kerasukan dan kesurupan, trance, ekstase, kami tinggalkan tubuh kasar, dan naik ke langit, dunia-atas, berkendara roh kuda atau angsa; berbahasa langit, mempelajari ilmu langit dan mengambil untuk mengajarkannya kepada dan menyembuhkan orang bumi. Memohon Penguasa Dunia Atas agar menerima persembahan, dan mendapat petunjuk beerkenaan cuaca yang akan datang, panen, berburu, dan juga sesajen apa yang dibutuhkan. Atau turun ke dunia-bawah, menemani-membimbing roh ke hunian baru, atau mengambil roh dari kuasa hantu-mambang-danyang. Kami mediator antara dunia nyata dan dunia lain.
Dengan irama pukulan genderang atau rebana di tangan dan hentakan giring-giring di kaki, jenis musik tonal; mantera, doa, dzikir yang berulang-ulang; mengundang mahluk gaib pembantu, berbicara dengan bahasa rahasia, “bahasa hewan”, menirukan jeritan binatang buas, dan kicauan burung. Irama kendang, giring-giring, tari, nyanyi, makin lama makin keras, makin liar, konsentrasi penuh ke dunia lain, kami shaman mencapai kesadaran yang lain.
Kami lakukan perjalanan sangat dramatik ke kraton Penguasa Dunia Bawah; kami perankan dewa-dewa dan tokoh-tokoh lainnya; kami berdialog dengan hantu-mambang-danyang dan hewan serta burung. Dramatisasi tingkat tinggi kehidupan dewa-dewa oleh kami para anggota kultus-misteri. Kami “mulut para dewa”.
Kami hidupkan suara seorang samurai sebagai saksi di pengadilan, bahwa dia dibunuh oleh tertuduh, si perampok, bukan oleh pedang di tangan isterinya sendiri, dalam tragedi Rashomon. Kami pawang dalam tari misteri lais atau sintren; kami mendapuk, memerankan, Besut—mbekto maksut/pembawa tujuan—dalam drama ritual Ludruk Besutan; kami di mulut Gandrung Seblang “mewahyukan” apa yang harus dilaksanakan penduduk pada ritus Seblang di tahun mendatang.
Kami senantiasa mempertahankan kehidupan, kesehatan, kesuburan, dan “dunia terang”; melawan kematian, penyakit, kemandulan, malapetaka, dan “dunia gelap”. “Drama misteri” menyambungkan masa lampau ke masa kini, menelusuri masa kini sampai masa primordial, asal-muasal segala hal.
Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos.
Kami Dionisian-dionisian setiamu, mengalami jatuh-bangun, pasang-surut, sedih dan gembira, bahkan menikmatinya. Tapi kini, aku dalam ketegangan yang menyesakkan, menyebalkan, membosankan, nyaris menjijikkan. Aku melata, mengenaskan, bagai orong-orong dalam gorong-gorong, tersekap di labirin, di hunian mutakhir: ruko. Ukuran: 5X10X10 meter, dua lantai. Lantai bawah tempat usaha dan kerja apa saja, lantai atas ruang tinggal, makan, minum, tidur, masak, macak, manak dan berak.
Aku turun-naik, naik-turun, entah sudah berapa ribuan kali. Mirip ritus komedi-kuda-putar, atau bajing-dalam-kerangkeng-pusing, atau kakatua-dengan-gelang-dan-rantai-panjang-keliling-batang-besi-tempat-hinggap-abadinya. Sudah ribuan meter jalan-lari-terbang masih juga tetap di titik semula.
Aku manusia ruko. Nenek-moyang dulu kala manusia gua, zaman berburu dan meramu; berbicara dengan bahasa uh-uh-uh. Gua rumah kedua, “rumah pertama” di atas pepohonan, tidak bisa tidur nyenyak, sering terkejut, terjaga, dan tidur-tidur ayam, agar tak jatuh ke tanah dimangsa predator. Keterkejutan dan keterjagaan primordial itu tertinggal di otak belakang sampai kini, dan sering muncul dalam mimpi “jatuh dari ketinggian”, baik selonjor di ranjang maupun lantai. Semak belukar adalah perbatasan genting: yang berbalik ke rimba menjadi orang utan, yang turun ke padang rumput menjadi homo-sapien; berladang, bertanam, bertugal, menabur benih, bertegal, bersawah; menjadi manusia pertanian, pedalaman, pedesaan, perkampungan, pinggiran. Ketika migrasi dan tranformasi ke manusia urban terjadi diversifikasi besar-besaran sesuai kelas hunian: dari manusia istana, menara, kondominium sampai manusia kapsul dan kondom.
Manusia kondom bagian dari MT4: Manusia Tanpa Tempat Tinggal Tetap, antara lain, berupa kapsul, ujudnya gerobak, cikar, dokar, sepeda, becak, atau bermotor, cukup dilembari gombal atau karton, gampang bongkar-pasang-pindah. Yang berbentuk kurungan tegak menonjol atau rebah ke samping, sama sekali tertutup plastik putih, mirip kondom gede.
Dan meledak Revolusi Abu-abu.
O Dewa Mabuk!
Sang pemimpin, pra-revolusi dedengkot demokrasi, pasca-revolusi tersibak watak asli, gila sanjungan dan otoriter, campuran kekanakan, kelatahan dan kepala batu. Di masa kanak, dia digendong, dikudang, digadang-gadang, ditimang-timang kakeknya dengan senandung sindiran, setengah ramalan: Putu, putu, abote koyo watu—gede-gede mbentuki watu. Cucuku, cucuku, bobotnya seberat batu—besar nanti menimpuki dengan batu. Dia canangkan dan terapkan trilogi yang dialektis-dinamis-romantis-nostalgis: TRISAMARA—sama-rasa, sama-rata-sama-ragam. Di sektor hunian, segala gedung, segala pencakar langit, segala perumahan, segala gubuk, di-retool: didinamit, dirontokkan, dihancur-leburkan, diratakan sepermukaan bumi asal, dan diperintahkan bagi setiap keluarga inti dua lantai ruko. Pembangunan ruko besar-besaran oleh pabrik ruko-prefab/bongkar-pasang. Pembangunan semesta rencana revolusioner yang diiringi semangat lagu lama lirik plesetan: Dari barat sampai ke timur berjajar ruko-ruko, sambung-menyambung menjadi satu itulah Republik Ruko… Aku manusia ruko, saksi akhir sejarah arsitektur.
Wajah bumi berubah total. Tidak ada lagi keaslian lama atau alami. Pedesaan, perkotaan, pedalaman, pesisiran, bantaran sungai, hutan, huma, gunung, sabana, semak belukar, kebun kangkung, lahan tidur, padang gambut, pulau kosong, delta gosong; semua dikepung, dijalari, dijajari, digantungi, ditumpuki, digudangi, atau dipersiapkan bagi karya arsitektur agung mutakhir: ruko.
Saat bangun pagi, saat belum siap buka mata benar-benar, selalu rona melankolis di langit timur dan pikiran sepi sendiri sepanjang malam, aku berada di ruko sendiri, atau mungkin juga ruko tetangga, asrama, gardu jaga, rumah sakit, penjara, penampungan sementara, kontrakan abadi, guest-house, hotel, motel, losmen, luar kota, kota lain, ibukota, pulau sini, pulau seberang, atau ruko trailer ditarik truk yang bisa kembara ke mana-mana. Tidak ada bedanya. Ranjang standar, kamar standar, hunian rakitan. Keunikan dan kekhasan milik masalalu. Aku mengais-ais remah-remahnya.
Pergi, masuk, keluar, pulang, ngendon, ngendok, andok, minggat, menghindar, terlantar, bertualang, menjauh, mendekat, bahkan menghilang sekalipun: dalam sekapan ruko. Mereka tidak hilang, mungkin hanya tersesat, terlalu jauh atau lama di luar ruko sendiri, tak bisa pulang kandang, selalu keliru masuk alamat lain. Semua ruko sama dan serupa. Harus ingat betul peta, letak, kawasan, wilayah, susunan, kelompok, ruang, sektor, nomor. Ruko kehilangan penghuni, bukan penghuni kehilangan ruko, tapi kehilangan akal.
Aktivitas apa pun: transaksi, negosiasi, janji, kencan, selingkuh, tatap muka, inisiasi, jual-beli-sewa, belanja, ngutil, memborong, memboyong, gotong-royong, tanggung-renteng, menalangi, ngebosi, bersaing, saling-silang, sidang, debat, silat, arisan, ngrumpi, ngantri, pemilu, kampanye; kebaktian, meditasi, pengajian, salat jamaah, pengakuan dosa, retret, i’tikaf, misa; kuliah, sekolah, pacaran, bolos, coblosan, tawuran, keluyuran, cangkruk, tenguk-tenguk, mabuk, flai, nyetun; mandi kembang, mandi susu, mandi kucing, bobok-bobok siang, obok-obok malam, ngamar, “karaoke”, mandi kuyup sekalian ketimbang cincang-cincing, mandi keris setahun sekali, mandi ruwatan, mandi mayat; hidup, sakit, koma, failit, bangkrut, dipenjara, diamankan, “dipinjam instansi lain”, dipermak, dihilangkan, dipancung, digantung, dihukum mati tak pernah dieksekusi, dikremasi; segalanya dicukupi oleh Departemen Ruko. Baju adalah kulit kedua, ruko adalah langit kedua, pengayom dan pengendali apa-dan-siapa saja.
O Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos.
Aku melata, menelengkan kuping, menempelkan, mencari, menanggap, menangkap, menyabet udara, meraih-raih suara/bunyi gres, baru, yang tidak baku. Kutunggu, tak terdengar apa pun, sunyi, lama sekali, hampa. Kebisuan itu menggantung, memadat, serasa akan menyedot atau menimpaku. Segera kubuka jendela dan seperti rangkaian kereta dan gerbong…lebih sejuta jendela terdengar buka dan bunyi menggerendeng serempak bersama!
Setiap hari, bunyi/suara serentak-segerak, setajam-sepelan, sepanjang- sependek, selengking-seinterval, senada-se-staccato, sesepele-semelompong, segema-segemuruh, seruang-sewaktu: merongrong/menindih/menghisapku. Gedoran dinding, getaran kaca, kreotan ranjang, helaan napas, igauan tidur, gemertak gigi-gerigi, sendawa, tapakan kaki naik-turun tangga, tepuk nyamuk, tabokan, tempelengan, siulan mulut, nyanyi kamarmandi, kepakan sayap, meong kucing, cicit tikus, cericit burung, dentingan piring, tarikan kursi, gemerincing kunci, sobekan kertas, goresan/klik korek api, geseran buah catur, krobokan cairan, kibasan handuk, kucuran kencing. Buka-tutup pintu WC, ngejan dan lepas, telepok berak dan grujukan air; bahkan bentuk-rupa-bau tai pun sepadan-serupa. Berkat standarisasi teknologi “ma-min”, makanan-minuman, mutakhir: pentolan bakso.
Bakso, adalah akhir sejarah gastronomi atau seni makan-memakan, diawali oleh diversifikasi ma-min instant. Segalanya serba instan: dari mi, nasi, santan, susu, krim, buah, sampai sari buah, air mineral, kolak, degan kopyor, gudeg, gado-gado, rendang, empek-pek, botok, nyamikan, kudapan, snack dan tiwul serta jajanan pasar lainnya. Departemen Gastronomi perintah hanya boleh satu bentuk dan warna ma-min, maka terciptalah kemasan pentolan daging dan bukan daging, mulai ukuran gotri, kelereng, bola bekel, golf, kasti, tenis, sepak raga/tekong, sampai boling dan basket. Berisi segala jenis ma-min serba instan, dibikin di pabrik besar Departemen dan dipasok ke seluruh Republik dengan armada truk katering. Republik pun bertambah julukannya dan menjadi setengah resmi: Republik Ruko & Bakso. Sempurna dan lengkap sudah, samarasa-samarata-samaragam merasuk hingga rinci-rinci dan inti prikehidupan. Mimpi pun mulai dibakukan dengan “paket stimulan”, hasil litbang obat dan jamu, Departemen Sehat dan Waras.
O Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos.
Aku dalam ketegangan yang menyesakkan, menyebalkan, membosankan, nyaris menjijikkan. Melata, mengenaskan, bagai tikus eksperimen di labirin laboratorium. Jalan, lari, ketabrak dinding, mundur, berputar, berhenti, jalan, berbalik, lari-lari, ketubruk lorong buntu, mundur, mengendap-endap, berbelok, loncat ke ujung lorong lain, rebut hadiah bakso…
O Dewa Mabuk,
Aku mengangankan, melesat ke awang-awang, berkendara roh puisi Sultan Walad, putra Sufi Agung Jalaluddin Rumi:
Kata-kata adalah tangga ke langit
Sesiapa menaikinya ke atap ia sampai
Bukan langit biru atap itu
Tapi atap di balik segala langit dunia
Glodak! Kubuka pintu WC, dan sejuta lebih pintu WC bergelodak, buka-tutup-telepok-grojok serentak! Masih kupegangi pintu, aku berdiri di ambang, tidak masuk dan tutup, hanya mendengar-nikmati gemuruh sejuta lebih pintu dan lubang tai bernyanyi koor pagi buta. Aku setengah ngantuk, kemulan sarung, bungkus tidur antik kawasan tropik, tanpa baju dan celana. WC duduk itu kering dan masih rapi terbungkus kertas cap dagang hotel. Aku baru sadar, sedang bermalam di hotel, urusan kondangan di sebuah kota—kecil atau besar apa pula bedanya?—pantai utara. Ternyata agak berbeda. Pantai di seberang jalan masih tetap pesisir landai, tanpa ditanami serial ruko-ruko, hanya ditancapi papan pengumuman besar tulisan merah: DILARANG BERAK. Sebelum Revolusi pantai utara WC terpanjang sedunia, masuk buku “Rekor Sejagat-Rat”, penerbit pabrik ciu gambar manuk.
Timbul iseng semasa usia pancaroba, mengusili barang atau tempat atau milik umum yang baru. Kaca mobil atau etalase toko kucorat-coret dengan kata-kata cabul, atau di gedung pencakar langit kupilih lantai puncak, kuludahi westafel, kukencingi urinoir, kuberaki WC wangi, dengan memandangi awan-gemawan, seperti burung terbang sambil crat-cret-crot mengecat udara dan bumi.
Setengah ngantuk, kemulan sarung, aku keluar hotel, tanpa toleh kanan-kiri lari menyeberangi jalan, sarung berkibar-kibar, niat memberaki Dilarang Berak…
Entah dari kanan entah kiri, truk besar panjang menanduk, aku terpental, jatuh terkapar di aspal, telanjang bulat. Sarung terbang, tersangkut truk, menutupi kaca depan, sopir kaget, tak bisa lihat jalan, oleng, menabrak tanggul pantai, terguling. Pintu belakang trailer ma-min terbuka, kaldu dan ribuan bola-bola bakso tumpah dan banjir ke jalan, bergelindingan, berenang, berlomba, berkejaran. Bagai tarikan magnet bola-bola daging dan bukan daging mengerubuti dan menempeli tubuhku. Daging ketemu daging tumbuh daging ketemu daging tumbuh… Mengerubuti ujung kaki sampai ubun-ubun seperti serbuan ikan piranha.
Ujung-ujung jari kaki dan tangan ditumbuhi pentilan-pentilan ukuran gotri; kedua ketiak disangga pentolan boling sehingga dua tangan terangkat siap terbang. Kedua lutut ditamengi petolan tenis; kantong pelir ditempeli dua pentolan bekel seperti sepasang roda, menyangga batang zakar tegak seperti meriam mini penangkis serangan udara, di ujungnya pentolan kelereng mirip peluru. Persis di pusar pentolan golf pada posisi tee, untuk pukulan pertama. Tiga pentolan mirip “bola raga dari rotan” di bidang dada sebagai perisai, atau “tiga buah dada perempuan Mars”. Garis mulut didereti pentolan kelereng mirip untaian gigi-gerigi, dari telinga ke telinga. Kedua telinga tambah melebar oleh sepasang pentolan basket. Hidung lebih akbar ketimbang Pinokio karena dipanjangkan pentolan tenis+bekel+kelereng +gotri. Pada dahi dua pentolan tenis plus jadi sepasang tanduk Viking. Rambut lebih gimbal ketimbang megabintang Reggae karena segala pentolan segala ukuran melekat-rekat, memilin-plintir, dikeramas kaldu daging, berlemak-peak.
Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos,
Di pagi sedang merekah, Dionisian setiamu mempersembahkan instalasi, “Manusia Baru”, pada latar baru, kanvas aspal.
Surabaya, 2008
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
1 komentar:
Pak Akhu, membaca puisi sampaian nih, membuatku semakin pusing, lha seluruh masalah di jagad kau jadikan satu puisi yg namanya "Dewa Mabuk" ha..ha..samarasa,samaragam? sandiwara hidup?
Posting Komentar