28/02/09

Sajak Sahaya Sengaja Bersahaja

Zen Hae
http://korantempo.com/

M. AAN MANSYUR (semoga Allah memuliakan namanya) adalah satu dari sedikit penyair muda usia yang layak dibicarakan. Ia telah menerbitkan tiga buku, yaitu kumpulan sajak Hujan Rintih-Rintih (2005) dan novel Perempuan, Rumah Kenangan (2007), dan kumpulan sajak Aku Hendak Pindah Rumah (Nala Cipta Litera, Makassar, 2008), yang dibicarakan dalam tulisan ini. Sajak-sajaknya, terutama dalam buku terbarunya, adalah seperangkat upaya yang cukup menjanjikan: sepenggal jawaban atas problematika persajakan Indonesia mutakhir.

Jika mayoritas puisi kita hari ini, sebagaimana dikatakan Nirwan Dewanto lebih dari 2,5 tahun lalu, berupa tumpukan dan kocokan kata untuk mencapai keajaiban dan keganjilan, maka sajak-sajak Aan adalah komposisi untuk mencapai kesederhanaan dan kewajaran. Jika kebanyakan penyair hanya mendedahkan keruwetan (dan bukan kompleksitas), kritik Nirwan pada kesempatan yang lain lagi, maka penyair kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, 14 Januari 1982 ini menyuguhkan kemudahan pemaknaan.

Begitulah, mengambil bentuk sajak bebas Aan sesekali menampilkan permainan rima, yang ternyata bukan bayangan pantun atau syair. Gemar pada bait-bait yang membengkak, ia juga bisa berhemat dengan semacam epigram dan haiku. Dengan keharuan kaum Romantik, Aan menggunakan semua bentuk itu untuk membicarakan hampir seluruh isi dunia, dari kasih tak sampai hingga kasih pada ibu, dari hujan pagi hingga kafe pada sebuah benteng, dari kritik sosial sampai hakikat sajak itu sendiri.

Sajak "Engkau dan Sajakku" bisa dibaca sebagai ancangan si penyair, sebuah "pernyataan politis" tentang puisi dan tradisi yang melingkupinya. Posisinya sebagai urutan pertama di buku Aku Hendak Pindah Rumah (182 halaman) menjadi penting. Ia bisa dibaca sebagai sajak yang berdiri sendiri yang tidak berkaitan dengan 100 sajak lainnya, tetapi juga dapat dilihat sebagai sajak-model yang akan membayang-bayangi sajak-sajak berikutnya dalam buku itu. "Engkau selalu sengaja memilih busana yang sederhana /agar kecantikanmu tidak karam dalam kemewahan. / Aku selalu sengaja memilih bahasa yang bersahaja saja / agar makna sajakku tidak lenyap di perangkap ungkapan."

Lihatlah, betapa paradoksalnya si "penyair". Ia menggunakan bahasa kiasan tetapi juga cemas, merasa makna sajaknya terancam dan akan lumpuh dalam bangunan sajak yang penuh dengan ungkapan, metafora dan sejenisnya. Sebab bahasa kiasan, kita tahu, cenderung mengalihkan makna kepada sesuatu yang lain sehingga menimbulkan makna baru--dan bisa jadi bukan itu yang diinginkan penyairnya. Karena itu ia lebih memilih "bahasa yang bersahaja" saja agar makna sajaknya bisa sampai dengan selamat kepada pembaca. Agar selamat dari nonsense.

Jika bahasa yang bersahaja dipercaya bisa menyelamatkan makna sebuah sajak, maka itu baru separuh kebenaran. Separuhnya lagi adalah terpenuhinya kewajiban moral sajak: ia harus jujur--dengan bahasa yang bersahaja atau dengan bahasa yang penuh kiasan. Bait ke-3 dan ke-4 sajak "Kepada Seorang Perempuan di Kuala" menegaskan: "Ketahuilah puisi harus jujur, katanya, / meskipun harus bicara dengan bahasa asing, bahasa yang hening atau yang paling bising. // Puisi enggan menanggung rahasia." Tidak penting benar, sebagaimana Hermes, apakah ia akan menyampaikan seluruh rahasia atau hanya yang dituntut darinya.

Sementara "Dunia yang Lengang" mesti dicatat sebagai sajak yang paling berhasil menjalankan siasat si penyair: sajak yang bersahaja sekaligus jujur. Berikut ini kutipan utuhnya:

Sebuah usaha, agar orang-orang
lebih banyak bicara dengan mata,
pemerintah membuat aturan ketat:
setiap orang hanya berhak memakai
seratus tiga puluh kata per hari, pas.

Jika telepon berdering, aku meletakkan
gagangnya di telingaku tanpa menyebut Halo.
Di restoran aku menggunakan jari telunjuk
memesan mi atau Coto Makassar. Aku secermat
mungkin melatih diri patuh aturan dan berhemat.

Tengah malam, aku telepon nomor kekasihku
di Jakarta, dengan bangga aku bilang padanya:
Aku menggunakan delapan puluh sembilan
kata hari ini. Sisanya kusimpan untukmu.

Jika ia tak menjawab, aku tahu, pasti
ia telah menghabiskan semua jatahnya,
maka aku pelan-pelan berbisik: Aku
mencintaimu, sebanyak lima belas kali.

Setelah itu, kami hanya duduk membiarkan
gagang telepon di telinga kami dan saling
mendengar dengus napas masing-masing

Demikianlah, sajak ini menampilkan dirinya dengan penuh kewajaran. Makna kata-katanya gampang dipahami, sintaksisnya lumayan kokoh, jaringan semantiknya mudah dilacak. Tidak ada bahasa kiasan. Samar-samar kita bisa mendengar permainan rima, juga enjambement yang dirancang sedemikian rupa, tetapi bukan itu yang penting. Yang kita dapatkan bukanlah godaan musikal atau tamasya metaforis sebagaimana banyak kita temukan dalam sajak Indonesia hari ini, tetapi sebuah cerita yang mengandung makna tertentu. Keharuan yang menyisakan humor. Adukan likat antara ortodoksi, amuk cinta, dan hening: ia yang ternyata mengatakan lebih banyak hal ketimbang 130 kata yang telah terpakai. Sebuah ironi yang muncul dari ambisi untuk lebih mendayagunakan bahasa visual dan pembatasan bahasa verbal.

Namun, waspadalah. Sajak-sajak model begini adalah kaum minoritas di dalam "empat rumah dan dua taman" yang dibangun Aan. Jumlah mereka di bawah sepuluh jari. Selebihnya, sajak-sajak yang lahir dari keterombang-ambingan penyairnya: antara hasrat akan kebersahajaan dan godaan keajaiban dan keganjilan, antara tekad merintis jalan sendiri dan bernaung di bawah bayangan penyair-model, baik dari khazanah nusantara maupun khazanah dunia. Antara menemukan dan kehilangan.

Bisa jadi, kebersahajaan tidak menarik lagi. Ia hanyalah jalan sunyi di tengah kekayaan dan keriuhan pengucapan sajak mutakhir kita--sesuatu yang justru cukup berhasil dicoba Joko Pinurbo di masa sebelumnya. Ia ibarat orang yang berpakaian sederhana di tengah mal yang mirip panggung peragaan busana. Ia bisa tenggelam dan dilupakan orang jika saja penyairnya tidak punya siasat yang lebih jitu lagi. Harus segera dibuktikan kebersahajaan bukanlah kata ganti untuk kemiskinan tapi cerminan dari "kekayaan jurus dan bentuk" penyairnya.

Sebagaimana terbukti secara permanen pada Wislawa Szymborska. Peraih Hadiah Nobel Sastra 1996 ini membangun kecemerlangan sajak-sajaknya justru dengan menyuling setiap kata, memangkas metafora, dan meninggalkan tradisi sajak lirik-murni. Tetapi ia kemudian membunyikan renungan intelektual (sebagaimana yang terjadi pada sajak Polandia modern umumnya), di samping menyusupkan ironi dan humor. "Ia dengan sadar menempuh risiko, menampilkan muslihat magisnya lewat larik-larik tajam antara sajak dan esai," begitu pujian Czeslaw Milosz.

Aan tidak mengejar sajak esaistis, hanya prosais. Ia suka pada ironi tapi kurang tertarik pada humor. Ia gampang sekali terharu tapi masih bisa memoles keharuan itu dengan semacam "intelektualitas". Ia merumuskan pengertian, menguraikan makna terdalam sebuah kata, untuk memperluas jangkauan sajak itu sendiri. Sajak "Riwayat Dinding dan Dingin" akan terperosok ke dalam kecengengan kalau saja aku liriknya tidak "berfilsafat" tentang hal-hal sederhana semisal "dinding" dan "dingin". Misalnya, dinding dibuat "untuk memisah-misahkan" aku dan kau, sementara dingin diciptakan agar "yang terpisah direkatkan, agar yang aku dan yang kau disatukan kembali". Begitulah kemesraan intelektualistis itu tercipta dalam suasana yang sebenarnya biasa-biasa saja, nyaris klise.

Jika membunyikan renungan intelektual, "berfilsafat", masih menjadi kebutuhan mewah sajak-sajak Aan, juga sajak-sajak kita pada umumnya, maka mencoba berbagai bentuk perumpamaan sudah menjadi kebutuhan dasar. Yang paling sederhana adalah menampilkan peralihan makna, dari yang harfiah menjadi yang metaforis (sajak "Walau Waktu Telah Jauh, Juga Kau). Atau, menampilkan sejumlah perumpamaan dan itu diupayakan sewajar dan semudah mungkin. Jika perlu dituntun oleh bait sebelumnya supaya pembaca tidak kesulitan mencari maknanya. Seperti bait ke-3 dan ke-4 sajak "Sajak buat Istri yang Buta dari Suaminya yang Tuli" berikut ini:

Di kepalamu ada bando berhias bunga,
kau merasakannya tetapi mungkin tidak
tahu bunga-bunga itu adalah melati putih.
Sementara di kepalaku bertengger sepasang
burung merpati, bulunya juga berwarna putih.

Aku selalu mengenangkan, hari itu, kita
adalah sepasang pohon di musim semi.
Kau pohon penuh kembang. Aku pohon
yang ditempati burung merpati bersarang.

Maksud sajak ini sungguh sederhana. Ia ingin mempertentangkan secara ironis pengalaman indrawi, penglihatan yang lebih dominan ketimbang pendengaran dan penginderaan lainnya, sebagaimana kerap terjadi dalam bentuk-bentuk citraan sajak dan prosa kita. Seorang pengantin laki-laki yang tuli mencoba menceritakan serinci mungkin suasana pesta pernikahannya kepada pengantin perempuan yang buta. Tetapi karena ketuliannya ia tidak mendengar apa sih yang diperbincangkan para tamu dan ia sangat ingin tahu itu semua dari istrinya. Dengan kata lain, sebuah lukisan suasana baru berhasil ketika ia menggabungkan berbagai hasil pengindraan. Sajak ini ditutup dengan sebuah apostrof yang memancing humor sekaligus haru:

Aku lihat, orang-orang datang dan tersenyum.
Mereka berbincang sambil menyantap makanan.
Tapi aku tak dengar apa yang mereka bincangkan.
Maukah kau mengatakannya padaku, Sayang?

*) Buku-bukunya; Rumah Kawin (kumpulan cerita, 2004) dan Paus Merah Jambu (kumpulan puisi, 2007). Tulisan di atas, yang bersambung ke minggu depan, pernah disampaikan versi awalnya pada Temu Penyair Lima Kota di Payakumbuh, Sumatera Barat, 27-29 April 2008.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita