Zen Hae
http://korantempo.com/
M. AAN MANSYUR (semoga Allah memuliakan namanya) adalah satu dari sedikit penyair muda usia yang layak dibicarakan. Ia telah menerbitkan tiga buku, yaitu kumpulan sajak Hujan Rintih-Rintih (2005) dan novel Perempuan, Rumah Kenangan (2007), dan kumpulan sajak Aku Hendak Pindah Rumah (Nala Cipta Litera, Makassar, 2008), yang dibicarakan dalam tulisan ini. Sajak-sajaknya, terutama dalam buku terbarunya, adalah seperangkat upaya yang cukup menjanjikan: sepenggal jawaban atas problematika persajakan Indonesia mutakhir.
Jika mayoritas puisi kita hari ini, sebagaimana dikatakan Nirwan Dewanto lebih dari 2,5 tahun lalu, berupa tumpukan dan kocokan kata untuk mencapai keajaiban dan keganjilan, maka sajak-sajak Aan adalah komposisi untuk mencapai kesederhanaan dan kewajaran. Jika kebanyakan penyair hanya mendedahkan keruwetan (dan bukan kompleksitas), kritik Nirwan pada kesempatan yang lain lagi, maka penyair kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, 14 Januari 1982 ini menyuguhkan kemudahan pemaknaan.
Begitulah, mengambil bentuk sajak bebas Aan sesekali menampilkan permainan rima, yang ternyata bukan bayangan pantun atau syair. Gemar pada bait-bait yang membengkak, ia juga bisa berhemat dengan semacam epigram dan haiku. Dengan keharuan kaum Romantik, Aan menggunakan semua bentuk itu untuk membicarakan hampir seluruh isi dunia, dari kasih tak sampai hingga kasih pada ibu, dari hujan pagi hingga kafe pada sebuah benteng, dari kritik sosial sampai hakikat sajak itu sendiri.
Sajak "Engkau dan Sajakku" bisa dibaca sebagai ancangan si penyair, sebuah "pernyataan politis" tentang puisi dan tradisi yang melingkupinya. Posisinya sebagai urutan pertama di buku Aku Hendak Pindah Rumah (182 halaman) menjadi penting. Ia bisa dibaca sebagai sajak yang berdiri sendiri yang tidak berkaitan dengan 100 sajak lainnya, tetapi juga dapat dilihat sebagai sajak-model yang akan membayang-bayangi sajak-sajak berikutnya dalam buku itu. "Engkau selalu sengaja memilih busana yang sederhana /agar kecantikanmu tidak karam dalam kemewahan. / Aku selalu sengaja memilih bahasa yang bersahaja saja / agar makna sajakku tidak lenyap di perangkap ungkapan."
Lihatlah, betapa paradoksalnya si "penyair". Ia menggunakan bahasa kiasan tetapi juga cemas, merasa makna sajaknya terancam dan akan lumpuh dalam bangunan sajak yang penuh dengan ungkapan, metafora dan sejenisnya. Sebab bahasa kiasan, kita tahu, cenderung mengalihkan makna kepada sesuatu yang lain sehingga menimbulkan makna baru--dan bisa jadi bukan itu yang diinginkan penyairnya. Karena itu ia lebih memilih "bahasa yang bersahaja" saja agar makna sajaknya bisa sampai dengan selamat kepada pembaca. Agar selamat dari nonsense.
Jika bahasa yang bersahaja dipercaya bisa menyelamatkan makna sebuah sajak, maka itu baru separuh kebenaran. Separuhnya lagi adalah terpenuhinya kewajiban moral sajak: ia harus jujur--dengan bahasa yang bersahaja atau dengan bahasa yang penuh kiasan. Bait ke-3 dan ke-4 sajak "Kepada Seorang Perempuan di Kuala" menegaskan: "Ketahuilah puisi harus jujur, katanya, / meskipun harus bicara dengan bahasa asing, bahasa yang hening atau yang paling bising. // Puisi enggan menanggung rahasia." Tidak penting benar, sebagaimana Hermes, apakah ia akan menyampaikan seluruh rahasia atau hanya yang dituntut darinya.
Sementara "Dunia yang Lengang" mesti dicatat sebagai sajak yang paling berhasil menjalankan siasat si penyair: sajak yang bersahaja sekaligus jujur. Berikut ini kutipan utuhnya:
Sebuah usaha, agar orang-orang
lebih banyak bicara dengan mata,
pemerintah membuat aturan ketat:
setiap orang hanya berhak memakai
seratus tiga puluh kata per hari, pas.
Jika telepon berdering, aku meletakkan
gagangnya di telingaku tanpa menyebut Halo.
Di restoran aku menggunakan jari telunjuk
memesan mi atau Coto Makassar. Aku secermat
mungkin melatih diri patuh aturan dan berhemat.
Tengah malam, aku telepon nomor kekasihku
di Jakarta, dengan bangga aku bilang padanya:
Aku menggunakan delapan puluh sembilan
kata hari ini. Sisanya kusimpan untukmu.
Jika ia tak menjawab, aku tahu, pasti
ia telah menghabiskan semua jatahnya,
maka aku pelan-pelan berbisik: Aku
mencintaimu, sebanyak lima belas kali.
Setelah itu, kami hanya duduk membiarkan
gagang telepon di telinga kami dan saling
mendengar dengus napas masing-masing
Demikianlah, sajak ini menampilkan dirinya dengan penuh kewajaran. Makna kata-katanya gampang dipahami, sintaksisnya lumayan kokoh, jaringan semantiknya mudah dilacak. Tidak ada bahasa kiasan. Samar-samar kita bisa mendengar permainan rima, juga enjambement yang dirancang sedemikian rupa, tetapi bukan itu yang penting. Yang kita dapatkan bukanlah godaan musikal atau tamasya metaforis sebagaimana banyak kita temukan dalam sajak Indonesia hari ini, tetapi sebuah cerita yang mengandung makna tertentu. Keharuan yang menyisakan humor. Adukan likat antara ortodoksi, amuk cinta, dan hening: ia yang ternyata mengatakan lebih banyak hal ketimbang 130 kata yang telah terpakai. Sebuah ironi yang muncul dari ambisi untuk lebih mendayagunakan bahasa visual dan pembatasan bahasa verbal.
Namun, waspadalah. Sajak-sajak model begini adalah kaum minoritas di dalam "empat rumah dan dua taman" yang dibangun Aan. Jumlah mereka di bawah sepuluh jari. Selebihnya, sajak-sajak yang lahir dari keterombang-ambingan penyairnya: antara hasrat akan kebersahajaan dan godaan keajaiban dan keganjilan, antara tekad merintis jalan sendiri dan bernaung di bawah bayangan penyair-model, baik dari khazanah nusantara maupun khazanah dunia. Antara menemukan dan kehilangan.
Bisa jadi, kebersahajaan tidak menarik lagi. Ia hanyalah jalan sunyi di tengah kekayaan dan keriuhan pengucapan sajak mutakhir kita--sesuatu yang justru cukup berhasil dicoba Joko Pinurbo di masa sebelumnya. Ia ibarat orang yang berpakaian sederhana di tengah mal yang mirip panggung peragaan busana. Ia bisa tenggelam dan dilupakan orang jika saja penyairnya tidak punya siasat yang lebih jitu lagi. Harus segera dibuktikan kebersahajaan bukanlah kata ganti untuk kemiskinan tapi cerminan dari "kekayaan jurus dan bentuk" penyairnya.
Sebagaimana terbukti secara permanen pada Wislawa Szymborska. Peraih Hadiah Nobel Sastra 1996 ini membangun kecemerlangan sajak-sajaknya justru dengan menyuling setiap kata, memangkas metafora, dan meninggalkan tradisi sajak lirik-murni. Tetapi ia kemudian membunyikan renungan intelektual (sebagaimana yang terjadi pada sajak Polandia modern umumnya), di samping menyusupkan ironi dan humor. "Ia dengan sadar menempuh risiko, menampilkan muslihat magisnya lewat larik-larik tajam antara sajak dan esai," begitu pujian Czeslaw Milosz.
Aan tidak mengejar sajak esaistis, hanya prosais. Ia suka pada ironi tapi kurang tertarik pada humor. Ia gampang sekali terharu tapi masih bisa memoles keharuan itu dengan semacam "intelektualitas". Ia merumuskan pengertian, menguraikan makna terdalam sebuah kata, untuk memperluas jangkauan sajak itu sendiri. Sajak "Riwayat Dinding dan Dingin" akan terperosok ke dalam kecengengan kalau saja aku liriknya tidak "berfilsafat" tentang hal-hal sederhana semisal "dinding" dan "dingin". Misalnya, dinding dibuat "untuk memisah-misahkan" aku dan kau, sementara dingin diciptakan agar "yang terpisah direkatkan, agar yang aku dan yang kau disatukan kembali". Begitulah kemesraan intelektualistis itu tercipta dalam suasana yang sebenarnya biasa-biasa saja, nyaris klise.
Jika membunyikan renungan intelektual, "berfilsafat", masih menjadi kebutuhan mewah sajak-sajak Aan, juga sajak-sajak kita pada umumnya, maka mencoba berbagai bentuk perumpamaan sudah menjadi kebutuhan dasar. Yang paling sederhana adalah menampilkan peralihan makna, dari yang harfiah menjadi yang metaforis (sajak "Walau Waktu Telah Jauh, Juga Kau). Atau, menampilkan sejumlah perumpamaan dan itu diupayakan sewajar dan semudah mungkin. Jika perlu dituntun oleh bait sebelumnya supaya pembaca tidak kesulitan mencari maknanya. Seperti bait ke-3 dan ke-4 sajak "Sajak buat Istri yang Buta dari Suaminya yang Tuli" berikut ini:
Di kepalamu ada bando berhias bunga,
kau merasakannya tetapi mungkin tidak
tahu bunga-bunga itu adalah melati putih.
Sementara di kepalaku bertengger sepasang
burung merpati, bulunya juga berwarna putih.
Aku selalu mengenangkan, hari itu, kita
adalah sepasang pohon di musim semi.
Kau pohon penuh kembang. Aku pohon
yang ditempati burung merpati bersarang.
Maksud sajak ini sungguh sederhana. Ia ingin mempertentangkan secara ironis pengalaman indrawi, penglihatan yang lebih dominan ketimbang pendengaran dan penginderaan lainnya, sebagaimana kerap terjadi dalam bentuk-bentuk citraan sajak dan prosa kita. Seorang pengantin laki-laki yang tuli mencoba menceritakan serinci mungkin suasana pesta pernikahannya kepada pengantin perempuan yang buta. Tetapi karena ketuliannya ia tidak mendengar apa sih yang diperbincangkan para tamu dan ia sangat ingin tahu itu semua dari istrinya. Dengan kata lain, sebuah lukisan suasana baru berhasil ketika ia menggabungkan berbagai hasil pengindraan. Sajak ini ditutup dengan sebuah apostrof yang memancing humor sekaligus haru:
Aku lihat, orang-orang datang dan tersenyum.
Mereka berbincang sambil menyantap makanan.
Tapi aku tak dengar apa yang mereka bincangkan.
Maukah kau mengatakannya padaku, Sayang?
*) Buku-bukunya; Rumah Kawin (kumpulan cerita, 2004) dan Paus Merah Jambu (kumpulan puisi, 2007). Tulisan di atas, yang bersambung ke minggu depan, pernah disampaikan versi awalnya pada Temu Penyair Lima Kota di Payakumbuh, Sumatera Barat, 27-29 April 2008.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar