06/02/09

Jendela Tua

Iyut Fitra
http://cetak.kompas.com/

Selalu. Pada akhirnya kita akan pulang pada kesendirian. Setelah suami meninggal. Setelah anak-anak memilih rantau sebagai tujuan kehidupan. Dan rumah gadang hanya tinggal sebagai simbol kekokohan yang sebenarnya teramat rapuh dan sunyi. Di sanalah bermukimnya para ibu tua. Dengan kebaya lusuh. Dengan selendang usang. Menyulam waktu yang tak terukur. Menjahit rentang tak terkira. Lengang. Dan sendiri. Tapi hidup, tentu akan terus berjalan.

Sebuah jam lama di tonggak rumah gadang menunjukkan pukul delapan malam. Ibu tua itu baru saja selesai berdoa setelah sholat isya. Dengan sedikit tertatih ia berjalan menuju almanak yang tergantung di dinding. Setelah mengamati angka demi angka dalam almanak tersebut, perhatiannya beralih pada sebuah foto keluarga dengan bingkai yang lumayan besar di sisi dinding yang lain.

Ibu tua itu mengamati satu persatu foto yang terpampang tersebut. Suaminya. Dan lima orang anaknya. Tiga laki-laki dan dua orang perempuan. Entah mengapa, mereka sama-sama tersenyum saat berfoto. Ibu tua menghela nafas panjang.

”Kesunyian juga akhirnya yang menetaskan rindu. Suara anak-anak. Canda keluarga. Barangkali adalah arus kebahagiaan yang hanyut ke muara. Adakah kesendirian dapat melunasi semua itu?” ibu tua itu bergumam sendiri, lalu berjalan menuju kursi kayu untuk memulai aktivitasnya tiap malam, menjahit. Merenda kain pintu atau taplak meja sebagai perintang waktu sebelum larut mengirimkan kantuk. Sebelum ia benar-benar jenuh dengan rangkak malam yang akhir-akhir ini ia rasa bergerak sangat lamban.

Usianya sudah enam puluh lima tahun. Meski wajahnya masih mencerminkan ketegaran, tapi semua itu tidak mampu menghadang tiap lembar rambutnya yang memutih serta kulitnya yang keriput. Semenjak ketiga anaknya yang laki-laki beristri, dan kedua anaknya yang perempuan bersuami dan memilih menetap di rantau, serta semenjak suaminya meninggal, rumah gadang itu mulai sunyi. Hanya Upik, seorang anak perempuan tetangga yang masih kelas enam SD yang menemani kehidupannya menjalani hari-hari. Tak banyak kesulitan memang dalam hidupnya. Selain harta dan tanah pusaka yang banyak menghasilkan seperti kelapa, padi, jagung dan sebagainya, anak-anaknya pun tidak pernah absen untuk mengirimkan uang tiap bulan. Tapi kesunyian dengan apa harus dibayarnya?

”Apa yang dapat dimaknai dari rumah gadang kebesaran. Lengkung luas kelapangan. Tanah, sawah, dan tanaman yang berlimpah. Sementara sekeping jiwa larut dalam lengang...,” sering ia keluhkan itu. Sering perasaan itu mendatangi dan mengganggu ketenangan malam-malamnya.

Tiap hari dilalui oleh ibu tua seolah-olah waktu tak ada guna. Bangun pagi-pagi. Setelah sholat subuh dia mulai memasak. Lalu membersihkan rumah. Lalu mencabut-cabut rumput. Lalu menunggu Upik pulang sekolah. Lalu makan. Lalu menjahit. Lalu tidur. Lalu...

Sering ia tersenyum sendiri apabila mendengar lantunan tape dari rumah tetangga dengan lirik pantun Minang yang menggelitik: Kalaupun ada batang cumanak. Daunnya banyak yang muda. Kalaupun ada banyak dunsanak. Tapi tak ada tempat beriya. Ya, mereka semua jauh. Rantau lebih memikat mereka ketimbang dusun yang lengang. Gegas kota lebih membuat hidup terasa berdenyut dibanding lengking bangsi yang merusuh hati. Ibu tua tak sanggup memaksa mereka untuk pulang, untuk menetap di kampung. Apalagi semua anaknya telah memiliki rumah sendiri di rantau. Memiliki keluarga sendiri.

”Mungkin ini yang ibu-ibu lupa. Yang kita lupa. Bahwa suatu saat suami pasti pergi. Anak-anak pergi. Dan kita kembali sendiri!” gumam ibu tua itu kembali tersenyum sendiri.

Di jendela, ibu tua menatap jauh ke halaman. Anak-anak bermain lumpur, berlempar-lemparan. Ada yang berkejar layang-layang putus. Di ujungnya, gunung Sago terhampar jelas. Waktu itu pun menyergapnya. Sesuatu yang bernama kenangan. Lembar-lembar di satu kurun yang disebut lampau. Ketika ia mengajak anak-anaknya ke sawah. Berjalan di pematang. Mengantarkan kawa (makanan dan minuman) untuk petani-petani yang mengerjakan sawahnya. Seraya tertawa-tawa mereka akan berebutan menangkap capung-capung merah dan belalang. Mereka bermain ke sungai. Mandi-mandi. Lalu makan bersama-sama dengan para petani. Dengan samba lado dan ikan asin yang dibuatnya di rumah. Lalu mereka pulang setelah senja. Setelah pelangi melengkungi hamparan sawah luas yang menguning. Ah, kenangan!

Ibu tua meninggalkan jendela itu. Ia kembali menuju almanak. Matanya tak lepas-lepas dari angka-angka tersebut seolah-olah ada satu harapan yang ingin digenggamnya. Sebentar lagi lebaran. Anak-anaknya akan pulang. Dan tentu bersama suami dan istri mereka serta cucu-cucunya. Kesunyiannya akan pecah. Gumpal lengang yang selama ini menyesak dada akan mencair dan mengalir. Ia harus bersiap untuk menyambut mereka. Ibu tua tersenyum puas. Sangat lepas.

”Upik, seminggu lagi mereka pulang. Tolong peram pisang yang ditebang kemaren. Etek Suni paling suka kolak dicampur lemang!”

”Jangan lupa minta jagung pada Pak Simuh. Pak Adang Kalun pasti minta jagung bakar!”

”Kita nanti akan buat samba lado tanak buat Etek Eti!”

”Oya, Upik. Juga pangek ikan buat Pak Etek Rustam!”

”Pical buat Pak Angah!”

Upik kadang bingung. Kadang ucapan-ucapan ibu tua sudah seperti orang meracau. Tapi bocah kecil itu mencoba memahami dengan usianya sendiri, betapa menggunungnya rindu yang menggumpal di diri ibu tua. Dengan patuh ia siapkan apa yang diminta oleh ibu tua.

Sementara sang ibu tua, segala sesuatu terhadap tingkah dan lakunya terlihat berlebihan. Beras yang masih ada di tambah. Takut nanti tidak cukup, katanya. Setiap hari ia bersihkan rumah. Debu-debu. Kain pintu ditukar dengan yang baru. Begitu juga dengan gorden dan taplak meja. Halaman dan perkarangan diupahkan untuk membersihkannya. Pagar rumah dicat. Ibu tua terlihat riang dan girang. Sebentar-sebentar ia melihat almanak. Sebentar-sebentar ia tersenyum. Sebentar-sebentar ia beralih melihat foto keluarga. Foto di mana mereka semua sedang tersenyum.

”Sunyi akan pecah dari rumah ini!” ucapnya seakan-akan baru saja memenangkan sebuah pertarungan panjang. Itu terlihat dari wajah keriputnya yang menjelma berseri-seri penuh kesenangan.

Jendela rumah gadang. Sebuah bingkai tempat menatap hari dan waktu. Keramain dan kesunyian. Keindahan dan kepahitan. Segala yang bernama masa lampau, hari ini, maupun jelang esok, akan tergambar sebagai sebuah potret. Refleksi dari sebuah perjalanan yang dititahkan oleh Tuhan. Dan setiap pergulirannya akan menjelma menjadi gambar kehidupan.

Tapi ibu tua mungkin lupa dengan gerak yang bernama perubahan. Ketika anak-anak, menantu dan cucu-cucu yang ditunggu-tunggunya pulang, ia sama sekali tidak melihat sunyi yang pecah. Tidak menyaksikan lengang yang cair. Tak ada yang mengalir ke muara. Hanya diam yang kejam. Justru yang ditemukannya adalah sebuah siksaan baru yang bernama keasingan.

Ia tidak mengerti lagi dengan bahasa anak-anaknya yang telah jauh bertukar. Dengan ucapan-ucapan mereka yang terdengar aneh. Kadang terdengar keras dan tidak sopan. Sikap dan tingkah laku mereka terlihat sangat berjauhan dengan kebiasaan orang-orang di kampung. Mereka telah mengusung kota ke rumah gadang ibu tua. Jantung ibu tua tertusuk. Pedih. Sangat pedih. Ia merasa rindunya telah menghantam kepalanya. Ia ingin menangis. Apalagi ketika mereka lebih memilih makan ke restoran ketimbang mencicipi masakan yang jauh-jauh hari sudah dipersiapkan ibu tua. Ia merasa dirinya limbung dan segera akan rubuh. Matanya berkunang-kunang. Panas.

Di jendela, sehari setelah anak-anak, menantu dan cucunya kembali ke kota, ibu tua tertegun menatap jauh ke halaman. Di belakangnya Upik diam tak berkata-kata. Dendang dari tape tetangga tak terasa mengiringi tetes tangis ibu tua yang titik menimpa selendang usangnya: Kalau dipikir-pikir benar. Luka hati jika tambah parah. Rendahlah ngarai dipandangi. Sebab selarut selama ini. Kalian tau apa yang membuat sedih. Dikira kalian datang mengobati. Berharap luka kan sembuh. Mengapa asam kalian siramkan. Tak ada lagi yang sesakit ini. Bila tak ingat Tuhan. Tentu lebih baik memilih mati.

Ibu tua mencoba tersenyum mendengar dendang tersebut. Dihapusnya airmata. Lalu menatap ke arah Upik.

”Upik, ketuaan adalah kesunyian. Serupa usia. Atau mungkin waktu yang juga sudah tua. Pada akhirnya kita memang tak akan dapat mengelak dari kesendirian. Rindu hanyalah sebatas keinginan. Apa pun selebihnya adalah milik Tuhan!” ucap ibu tua itu. Lalu menutup jendela. Dan senja pun turun di kampung itu.

Payakumbuh, September 2008.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita