Parakitri T. Simbolon
http://majalah.tempointeraktif.com/
TIDAK SULIT membicarakan pergerakan kebangsaan kita menurut kajian sarjana asing. Pilihan sangat banyak, baik dalam bentuk, cakupan kurun waktu, maupun sudut pandang. Yang sulit adalah menemukan satu-dua perkara yang terus mengusik rasa ingin tahu setelah selesai membaca sejumlah kajian, sendiri-sendiri ataupun serangkaian, ibarat seutas benang merah yang menjelujuri permasalahan gerakan kebangsaan kita selama ini. Ini sulit, karena benang merah menuntut kesinambungan sejumlah kajian, padahal satu kajian lebih sering menolak atau mengubah kajian lain.
***
Itulah yang terjadi dengan kajian-kajian sarjana asing tentang pergerakan kebangsaan kita, yang dimulai dengan trilogi J.Th. Petrus Blumberger. Ketiga kajian Blumberger itu: De Communistische Beweging in Nederlandsch-Indië (1928), De Nationalistische Beweging in Nederlandsch-Indië (1931), dan De Indo-Europeesche Beweging in Nederlandsch-Indië (1939).
Seperti tampak pada ketiga judul itu, Blumberger memahami pergerakan kebangsaan kita terdiri atas berbagai aliran (stroomingen) dan pergerakan nasional dianggapnya hanya salah satu aliran yang terdiri atas beberapa organisasi, seperti Perhimpunan Indonesia, studieclub, Partai Nasional Indonesia, dan Pemufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia. Aliran lain terdiri atas pergerakan ras dan etnis, agama, ekonomi, serta kepentingan umum lain (moderne geestesstromingen), yang mencakup Budi Utomo, Sarekat Islam, Paguyuban Pasundan, organisasi komunis, gerakan kepanduan, dan lain-lain.
Blumberger mengambil bahan-bahan kajiannya dari sumber-sumber resmi pemerintah Hindia Belanda. Itulah ikhtisar-ikhtisar politik dalam maklumat-maklumat pemerintah, seperti Laporan Kolonial (Koloniale Verslagen), ikhtisar pers dari Balai Pustaka, dan risalah-risalah parlemen Belanda (Kamer) serta Hindia Belanda (Volksraad). Maklum, ia bekas asisten residen.
Trilogi Blumberger pada dasarnya hanya mengolah secara sistematis sumber-sumber sejarah resmi yang ada waktu itu mengenai proses evolusi sosial Hindia Belanda. Ia memaparkan timbul dan berkembangnya cara-cara baru menghadapi pemerintah, yakni organisasi-organisasi perhimpunan dan partai serta sikap pemerintah jajahan menghadapi semua itu. Namun, terkesan juga rasa yakin Blumberger bahwa cara-cara baru itu bermaksud menimbulkan kesulitan besar (groote problemen) bagi pemerintah jajahan untuk menentukan politik masa depan.
Pada 1946 sampai 1952 terbit sedikitnya empat buku, dua di antaranya tetap mengandalkan sumber-sumber yang sedikit-banyak sama dengan yang digunakan oleh Blumberger, yang dalam semangat dan pandangan bertentangan dengan Blumberger. Keempat buku itu: J.H. François, 37 Jaar Indonesische Vrijheidsbeweging (1946); Alexandre von Arx, l’Évolution Politique en Indonésie (1949); D.M.G. Koch, Om de Vrijheid. De Nationalistische Beweging in Indonesië (1951); dan George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (1952).
Dengan caranya masing-masing, keempat kajian mengemukakan bahwa pergerakan kebangsaan kita sesuai dengan semangat zaman bahkan kewajiban moral. Itulah hak setiap bangsa untuk mencapai kemerdekaan. Malah Von Arx menganggap negara-negara penjajah memikul tanggung jawab moral untuk membantu dan mendorong pergerakan kebangsaan mencapai kemerdekaan. Hanya dengan memenuhi kewajiban moral itu, perdamaian dunia bisa ditegakkan. Yang terjadi di Indonesia adalah karena penjajah melanggar kewajiban moral tersebut.
Kahin berpendirian bahwa sebagai kewajiban moral, mencapai kemerdekaan bisa dilakukan dengan revolusi bila perlu. Ini berarti, bukannya organisasi pergerakan yang menimbulkan kesulitan bagi pemerintah jajahan, sebagaimana menurut Blumberger, melainkan sebaliknya.
Pada 1953 terbitlah kajian J.M. Pluvier, Overzicht van de Ontwikkeling der Nationalistische Beweging in Indonesië in de Jaren 1930 tot 1942. Kajian ini sebagian besar merupakan hasil pemeriksaan silang antara bahan-bahan Ikhtisar Pers Pribumi dan Cina-Melayu terbitan Balai Pustaka (Overzicht van de Inlandsche en Maleisch-Chineesche Pers) di satu pihak dan siaran rahasia bagi kalangan terbatas mengenai politik keamanan (Politiek-Politioneele Overzichten) oleh Kejaksaan Agung Hindia Belanda.
Dengan demikian, Pluvier berhasil antara lain mengubah anggapan keliru mengenai pergerakan kebangsaan kita pada 1930-1942 sebagai masa lesu, tidak berdaya, terhadap kekuasaan penjajahan yang sedang jaya-jayanya. Dengan argumen yang ketat, Pluvier mengukuhkan bahwa pergerakan 1930-1942 sama jayanya dengan pergerakan kemerdekaan 1908-1929. Dua-duanya sama-sama merupakan ungkapan Kebangkitan Timur, ”het Oosters Reveil”, hasil persentuhan Timur dan Barat selama 400 tahun.
Salah satu implikasi kajian Pluvier ini adalah bahwa anggapan Belanda mengenai kemerdekaan Indonesia sebagai hadiah Jepang sama sekali tidak berdasar. Implikasi lain yang tak kalah penting adalah menyangkut rahasia keberdayaan itu. Jika pada masa yang paling mematikan, seperti 1930-1942, pergerakan kebangsaan kita memang betul tidak kurang berdaya daripada masa-masa sebelumnya, akan timbul pertanyaan-pertanyaan sekitar sumber atau letak keberdayaan itu, siapa yang berperan di dalamnya, dan bagaimana keberdayaan itu tetap terpelihara sekalipun dalam masa sulit.
Pengertian dan pertanyaan yang sama rupanya timbul juga pada sarjana lain, di tempat lain, dan dalam waktu yang berdekatan. Contoh, Robert van Niel dari Russell Sage College, Amerika Serikat, The Emergence of the Modern Indonesian Elite (1954/1960). Jawaban Van Niel, keberdayaan itu terletak pada the leader group of Indonesian society, sedangkan the Indonesian society itu hanyalah satu di antara empat kelompok dalam the East Indian society di samping kelompok Eropa (Belanda), Tionghoa, dan Arab. Untuk memahami keberdayaan ini, Van Niel mengupas social change selama 25 tahun pertama abad XX, khusus di kalangan the leader group of Indonesian society.
Hidup di bawah penjajahan, perkembangan Indonesian society dan the leader group-nya juga sangat dipengaruhi oleh colonial policies, practices, and attitudes. Dinamika Indonesian society dan serba perubahan pola kepemimpinannya dalam menghadapi pengaruh itu selama 25 tahun membentuk landasan sosial Indonesia merdeka kemudian.
Jawaban Van Niel ini menjadi kurang meyakinkan dengan terbitnya pada 1976 kajian Susan Abeyasekere, One Hand Clapping: Indonesian Nationalists and the Dutch 1939-1942. Setelah para pemimpin yang berhaluan nonkoperasi habis ditangkap dan dibuang, tampillah pemimpin yang berhaluan koperasi. Namun, tuntutan mereka yang paling lunak pun, seperti Indonesia berparlemen, sama sekali dianggap sepi oleh Belanda, padahal Belanda sedang berada dalam keadaan perang.
Menyedihkan bahwa para pemimpin yang berhaluan koperasi itu tidak bisa berbuat apa-apa terhadap sikap Belanda yang tak masuk akal itu, sampai Jepang masuk. Nasib yang sama lagi-lagi menimpa para pemimpin yang berhaluan nonkoperasi di bawah kekuasaan Jepang. Jadi semua pemimpin pergerakan tidak berhasil mencapai apa-apa dengan kekuatan sendiri, hanya dapat menyerahkan nasib pada kekuatan luar. Benar-benar bagai one hand clapping, tangan bertepuk sebelah.
Sikap para pemimpin ini sangat bertentangan dengan asas perjuangan Indonesische Vereeniging (kemudian Perhimpunan Indonesia) di Nederland yang dicanangkan pada 3 Maret 1923. Asas perjuangan itu menegaskan bahwa masa depan rakyat Indonesia (het volk van Indonesië) hanya dan semata-mata bergantung pada penyelenggaraan pemerintah yang bertanggung jawab kepada rakyat itu sendiri (dat volk zelf). Setiap orang Indonesia (Indonesiër) wajib sesuai dengan kemampuan dan bakatnya berjuang mencapai hal ini dengan kekuatan sendiri (eigen kracht en eigen kunnen), tidak bergantung pada bantuan orang lain (onafhankelijk van de ”hulp” van vreemden). Asas perjuangan ini dapat dibaca oleh masyarakat luas berkat jasa Harry A. Poeze dan kawan-kawan yang menyusun buku tentang kehidupan orang-orang Indonesia di negeri penjajah, In het Land van de Overheerser I: Indonesiërs in Nederland 1600-1950 dan terbit pada 1986.
Lalu muncullah kajian yang lain dari yang lain, karya Takashi Shiraishi, An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926 (1990). Kajian ini lain dari yang lain karena dua hal. Pertama, rakyatlah yang lebih penting dan jadi sumber keberdayaan, bukan golongan pemimpin atau elite. Kedua, kenyataan ini baru terlihat setelah Shiraishi menolak cara pandang lama melihat pergerakan kebangsaan kita sebagai orthodox historiography.
Yang ortodoks melihat pergerakan sebagai garis yang bergerak lurus dari suatu bangsa yang belum bernama ke pencarian nama, ”Indonesia”, dan cita-cita kebangsaannya, ”Indonesia merdeka”: dari surat-surat Kartini dan Boedi Oetomo ke Perhimpoenan Indonesia, Partai Nasional Indonesia, dan ”sumpah pemuda”. Cara pandang ini merupakan anak kandung perkawinan antara cara pandang dokumen-dokumen resmi Hindia Belanda dan cara pandang pascakemerdekaan yang berpusat pada Indonesia. Dasarnya adalah cara pandang J.Th. Petrus Blumberger dengan dua sistem penggolongannya, yang rasial dan organisasional. Maklum, pemerintah jajahan lebih takut kepada golongan dan organisasi daripada orang per orang.
Historiografi baru ala Shiraishi menganggap orang, rakyat yang lebih penting dan melihat pergerakan sebagai gelombang gerak rakyat ketika memperoleh kesadaran baru tentang dunia ini serta merasa dapat mengubah dunia dan mengungkapkan kesadaran itu dengan wahana serta bahasa modern. Pendeknya, pergerakan adalah gelombang gerak rakyat, yang lintas golongan dan lintas organisasi. Namun, ia menutup kajiannya dengan kehancuran gelombang gerak rakyat itu dalam perlawanan bersenjata 1926.
***
Rakyat. Tapi benarkah ada rakyat Indonesia? Siapakah mereka? Di mana kedudukan mereka dalam pergerakan kebangsaan dan kemudian dalam kebangsaan Indonesia merdeka?
Semua kajian sarjana asing yang kita bicarakan diam membisu tentang rakyat, kecuali kajian Shiraishi. Yang satu ini pun berakhir dengan kehancuran. Jadi inilah benang merah pergerakan kebangsaan kita, bukan karena ramai dibicarakan, tapi karena nyaris dilupakan. Dengan kata lain, rakyat dalam pergerakan kebangsaan kita jadi mencolok karena terlupa. ”Being conspicuous by its absence,” kata Shakespeare.
Memang, ”rakyat” bukanlah kata asli Indonesia, tapi dipinjam dari Arab untuk menggantikan berbagai sebutan penjajah, seperti volk, inheemse bevolking, inlanders, tidak jelas kapan, tapi mungkin pada masa awal pergerakan kebangsaan kita. Di Indonesia pada umumnya sebutan yang agak dekat selalu terkurung dalam kerangka lapisan sosial, seperti wong cilik jika dilihat dari sudut jenjang kekuasaan, caca atau rumah tangga dari sudut lapisan pemilikan tanah.
Sayang, gerakan kebangsaan belum berhasil menggalang ”rakyat” hingga senyata peuple menjelang dan sesudah Revolusi Prancis. Maknanya pun belum terumus sejernih peuple dalam rumusan Voltaire atau Mirabeau. Menurut Voltaire, peuple ialah penduduk yang tak punya apa-apa untuk bertahan hidup kecuali tangan. Menurut Mirabeau, mereka yang kekuasaannya tak mungkin dicabut kecuali dengan bayonet.
Ketika kekuasaan penjajah dan modal swasta dengan segala dampaknya sudah sampai ke pelosok Indonesia (Jawa), urusan dipermudah dengan tidak menghitung orang, melainkan desa dengan kepala desa atau ”kebekelan” dengan ”bekel”-nya. Apa yang kemudian disebut ”rakyat” tidak ada kecuali dalam nama saja. Mereka praktis diperlakukan sama dengan barang atau hewan peliharaan belaka.
Pergerakan kebangsaan berhasil mencapai Indonesia merdeka, tapi gagal membangkitkan ”rakyat”. Dan mengikuti Van Niel tentang perubahan sosial golongan elite atau the leader group of Indonesian society sebagai landasan sosial Indonesia merdeka, maka sekarang dapat juga dikatakan bahwa negara tanpa rakyat jadi landasan Indonesia merdeka.***
*) Kolumnis, tinggal di Jakarta.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar