06/12/08

Negara tanpa Rakyat?

Parakitri T. Simbolon
http://majalah.tempointeraktif.com/

TIDAK SULIT membicarakan pergerakan kebangsaan kita menurut kajian sarjana asing. Pilihan sangat banyak, baik dalam bentuk, cakupan kurun waktu, maupun sudut pandang. Yang sulit adalah menemukan satu-dua perkara yang terus mengusik rasa ingin tahu setelah selesai membaca sejumlah kajian, sendiri-sendiri ataupun serangkaian, ibarat seutas benang merah yang menjelujuri permasalahan gerakan kebangsaan kita selama ini. Ini sulit, karena benang merah menuntut kesinambungan sejumlah kajian, padahal satu kajian lebih sering menolak atau mengubah kajian lain.
***

Itulah yang terjadi dengan kajian-kajian sarjana asing tentang pergerakan kebangsaan kita, yang dimulai dengan trilogi J.Th. Petrus Blumberger. Ketiga kajian Blumberger itu: De Communistische Beweging in Nederlandsch-Indië (1928), De Nationalistische Beweging in Nederlandsch-Indië (1931), dan De Indo-Europeesche Beweging in Nederlandsch-Indië (1939).

Seperti tampak pada ketiga judul itu, Blumberger memahami pergerakan kebangsaan kita terdiri atas berbagai aliran (stroomingen) dan pergerakan nasional dianggapnya hanya salah satu aliran yang terdiri atas beberapa organisasi, seperti Perhimpunan Indonesia, studieclub, Partai Nasional Indonesia, dan Pemufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia. Aliran lain terdiri atas pergerakan ras dan etnis, agama, ekonomi, serta kepentingan umum lain (moderne geestesstromingen), yang mencakup Budi Utomo, Sarekat Islam, Paguyuban Pasundan, organisasi komunis, gerakan kepanduan, dan lain-lain.

Blumberger mengambil bahan-bahan kajiannya dari sumber-sumber resmi pemerintah Hindia Belanda. Itulah ikhtisar-ikhtisar politik dalam maklumat-maklumat pemerintah, seperti Laporan Kolonial (Koloniale Verslagen), ikhtisar pers dari Balai Pustaka, dan risalah-risalah parlemen Belanda (Kamer) serta Hindia Belanda (Volksraad). Maklum, ia bekas asisten residen.

Trilogi Blumberger pada dasarnya hanya mengolah secara sistematis sumber-sumber sejarah resmi yang ada waktu itu mengenai proses evolusi sosial Hindia Belanda. Ia memaparkan timbul dan berkembangnya cara-cara baru menghadapi pemerintah, yakni organisasi-organisasi perhimpunan dan partai serta sikap pemerintah jajahan menghadapi semua itu. Namun, terkesan juga rasa yakin Blumberger bahwa cara-cara baru itu bermaksud menimbulkan kesulitan besar (groote problemen) bagi pemerintah jajahan untuk menentukan politik masa depan.

Pada 1946 sampai 1952 terbit sedikitnya empat buku, dua di antaranya tetap mengandalkan sumber-sumber yang sedikit-banyak sama dengan yang digunakan oleh Blumberger, yang dalam semangat dan pandangan bertentangan dengan Blumberger. Keempat buku itu: J.H. François, 37 Jaar Indonesische Vrijheidsbeweging (1946); Alexandre von Arx, l’Évolution Politique en Indonésie (1949); D.M.G. Koch, Om de Vrijheid. De Nationalistische Beweging in Indonesië (1951); dan George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (1952).

Dengan caranya masing-masing, keempat kajian mengemukakan bahwa pergerakan kebangsaan kita sesuai dengan semangat zaman bahkan kewajiban moral. Itulah hak setiap bangsa untuk mencapai kemerdekaan. Malah Von Arx menganggap negara-negara penjajah memikul tanggung jawab moral untuk membantu dan mendorong pergerakan kebangsaan mencapai kemerdekaan. Hanya dengan memenuhi kewajiban moral itu, perdamaian dunia bisa ditegakkan. Yang terjadi di Indonesia adalah karena penjajah melanggar kewajiban moral tersebut.

Kahin berpendirian bahwa sebagai kewajiban moral, mencapai kemerdekaan bisa dilakukan dengan revolusi bila perlu. Ini berarti, bukannya organisasi pergerakan yang menimbulkan kesulitan bagi pemerintah jajahan, sebagaimana menurut Blumberger, melainkan sebaliknya.

Pada 1953 terbitlah kajian J.M. Pluvier, Overzicht van de Ontwikkeling der Nationalistische Beweging in Indonesië in de Jaren 1930 tot 1942. Kajian ini sebagian besar merupakan hasil pemeriksaan silang antara bahan-bahan Ikhtisar Pers Pribumi dan Cina-Melayu terbitan Balai Pustaka (Overzicht van de Inlandsche en Maleisch-Chineesche Pers) di satu pihak dan siaran rahasia bagi kalangan terbatas mengenai politik keamanan (Politiek-Politioneele Overzichten) oleh Kejaksaan Agung Hindia Belanda.

Dengan demikian, Pluvier berhasil antara lain mengubah anggapan keliru mengenai pergerakan kebangsaan kita pada 1930-1942 sebagai masa lesu, tidak berdaya, terhadap kekuasaan penjajahan yang sedang jaya-jayanya. Dengan argumen yang ketat, Pluvier mengukuhkan bahwa pergerakan 1930-1942 sama jayanya dengan pergerakan kemerdekaan 1908-1929. Dua-duanya sama-sama merupakan ungkapan Kebangkitan Timur, ”het Oosters Reveil”, hasil persentuhan Timur dan Barat selama 400 tahun.

Salah satu implikasi kajian Pluvier ini adalah bahwa anggapan Belanda mengenai kemerdekaan Indonesia sebagai hadiah Jepang sama sekali tidak berdasar. Implikasi lain yang tak kalah penting adalah menyangkut rahasia keberdayaan itu. Jika pada masa yang paling mematikan, seperti 1930-1942, pergerakan kebangsaan kita memang betul tidak kurang berdaya daripada masa-masa sebelumnya, akan timbul pertanyaan-pertanyaan sekitar sumber atau letak keberdayaan itu, siapa yang berperan di dalamnya, dan bagaimana keberdayaan itu tetap terpelihara sekalipun dalam masa sulit.

Pengertian dan pertanyaan yang sama rupanya timbul juga pada sarjana lain, di tempat lain, dan dalam waktu yang berdekatan. Contoh, Robert van Niel dari Russell Sage College, Amerika Serikat, The Emergence of the Modern Indonesian Elite (1954/1960). Jawaban Van Niel, keberdayaan itu terletak pada the leader group of Indonesian society, sedangkan the Indonesian society itu hanyalah satu di antara empat kelompok dalam the East Indian society di samping kelompok Eropa (Belanda), Tionghoa, dan Arab. Untuk memahami keberdayaan ini, Van Niel mengupas social change selama 25 tahun pertama abad XX, khusus di kalangan the leader group of Indonesian society.

Hidup di bawah penjajahan, perkembangan Indonesian society dan the leader group-nya juga sangat dipengaruhi oleh colonial policies, practices, and attitudes. Dinamika Indonesian society dan serba perubahan pola kepemimpinannya dalam menghadapi pengaruh itu selama 25 tahun membentuk landasan sosial Indonesia merdeka kemudian.

Jawaban Van Niel ini menjadi kurang meyakinkan dengan terbitnya pada 1976 kajian Susan Abeyasekere, One Hand Clapping: Indonesian Nationalists and the Dutch 1939-1942. Setelah para pemimpin yang berhaluan nonkoperasi habis ditangkap dan dibuang, tampillah pemimpin yang berhaluan koperasi. Namun, tuntutan mereka yang paling lunak pun, seperti Indonesia berparlemen, sama sekali dianggap sepi oleh Belanda, padahal Belanda sedang berada dalam keadaan perang.

Menyedihkan bahwa para pemimpin yang berhaluan koperasi itu tidak bisa berbuat apa-apa terhadap sikap Belanda yang tak masuk akal itu, sampai Jepang masuk. Nasib yang sama lagi-lagi menimpa para pemimpin yang berhaluan nonkoperasi di bawah kekuasaan Jepang. Jadi semua pemimpin pergerakan tidak berhasil mencapai apa-apa dengan kekuatan sendiri, hanya dapat menyerahkan nasib pada kekuatan luar. Benar-benar bagai one hand clapping, tangan bertepuk sebelah.

Sikap para pemimpin ini sangat bertentangan dengan asas perjuangan Indonesische Vereeniging (kemudian Perhimpunan Indonesia) di Nederland yang dicanangkan pada 3 Maret 1923. Asas perjuangan itu menegaskan bahwa masa depan rakyat Indonesia (het volk van Indonesië) hanya dan semata-mata bergantung pada penyelenggaraan pemerintah yang bertanggung jawab kepada rakyat itu sendiri (dat volk zelf). Setiap orang Indonesia (Indonesiër) wajib sesuai dengan kemampuan dan bakatnya berjuang mencapai hal ini dengan kekuatan sendiri (eigen kracht en eigen kunnen), tidak bergantung pada bantuan orang lain (onafhankelijk van de ”hulp” van vreemden). Asas perjuangan ini dapat dibaca oleh masyarakat luas berkat jasa Harry A. Poeze dan kawan-kawan yang menyusun buku tentang kehidupan orang-orang Indonesia di negeri penjajah, In het Land van de Overheerser I: Indonesiërs in Nederland 1600-1950 dan terbit pada 1986.

Lalu muncullah kajian yang lain dari yang lain, karya Takashi Shiraishi, An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926 (1990). Kajian ini lain dari yang lain karena dua hal. Pertama, rakyatlah yang lebih penting dan jadi sumber keberdayaan, bukan golongan pemimpin atau elite. Kedua, kenyataan ini baru terlihat setelah Shiraishi menolak cara pandang lama melihat pergerakan kebangsaan kita sebagai orthodox historiography.

Yang ortodoks melihat pergerakan sebagai garis yang bergerak lurus dari suatu bangsa yang belum bernama ke pencarian nama, ”Indonesia”, dan cita-cita kebangsaannya, ”Indonesia merdeka”: dari surat-surat Kartini dan Boedi Oetomo ke Perhimpoenan Indonesia, Partai Nasional Indonesia, dan ”sumpah pemuda”. Cara pandang ini merupakan anak kandung perkawinan antara cara pandang dokumen-dokumen resmi Hindia Belanda dan cara pandang pascakemerdekaan yang berpusat pada Indonesia. Dasarnya adalah cara pandang J.Th. Petrus Blumberger dengan dua sistem penggolongannya, yang rasial dan organisasional. Maklum, pemerintah jajahan lebih takut kepada golongan dan organisasi daripada orang per orang.

Historiografi baru ala Shiraishi menganggap orang, rakyat yang lebih penting dan melihat pergerakan sebagai gelombang gerak rakyat ketika memperoleh kesadaran baru tentang dunia ini serta merasa dapat mengubah dunia dan mengungkapkan kesadaran itu dengan wahana serta bahasa modern. Pendeknya, pergerakan adalah gelombang gerak rakyat, yang lintas golongan dan lintas organisasi. Namun, ia menutup kajiannya dengan kehancuran gelombang gerak rakyat itu dalam perlawanan bersenjata 1926.
***

Rakyat. Tapi benarkah ada rakyat Indonesia? Siapakah mereka? Di mana kedudukan mereka dalam pergerakan kebangsaan dan kemudian dalam kebangsaan Indonesia merdeka?

Semua kajian sarjana asing yang kita bicarakan diam membisu tentang rakyat, kecuali kajian Shiraishi. Yang satu ini pun berakhir dengan kehancuran. Jadi inilah benang merah pergerakan kebangsaan kita, bukan karena ramai dibicarakan, tapi karena nyaris dilupakan. Dengan kata lain, rakyat dalam pergerakan kebangsaan kita jadi mencolok karena terlupa. ”Being conspicuous by its absence,” kata Shakespeare.

Memang, ”rakyat” bukanlah kata asli Indonesia, tapi dipinjam dari Arab untuk menggantikan berbagai sebutan penjajah, seperti volk, inheemse bevolking, inlanders, tidak jelas kapan, tapi mungkin pada masa awal pergerakan kebangsaan kita. Di Indonesia pada umumnya sebutan yang agak dekat selalu terkurung dalam kerangka lapisan sosial, seperti wong cilik jika dilihat dari sudut jenjang kekuasaan, caca atau rumah tangga dari sudut lapisan pemilikan tanah.

Sayang, gerakan kebangsaan belum berhasil menggalang ”rakyat” hingga senyata peuple menjelang dan sesudah Revolusi Prancis. Maknanya pun belum terumus sejernih peuple dalam rumusan Voltaire atau Mirabeau. Menurut Voltaire, peuple ialah penduduk yang tak punya apa-apa untuk bertahan hidup kecuali tangan. Menurut Mirabeau, mereka yang kekuasaannya tak mungkin dicabut kecuali dengan bayonet.

Ketika kekuasaan penjajah dan modal swasta dengan segala dampaknya sudah sampai ke pelosok Indonesia (Jawa), urusan dipermudah dengan tidak menghitung orang, melainkan desa dengan kepala desa atau ”kebekelan” dengan ”bekel”-nya. Apa yang kemudian disebut ”rakyat” tidak ada kecuali dalam nama saja. Mereka praktis diperlakukan sama dengan barang atau hewan peliharaan belaka.

Pergerakan kebangsaan berhasil mencapai Indonesia merdeka, tapi gagal membangkitkan ”rakyat”. Dan mengikuti Van Niel tentang perubahan sosial golongan elite atau the leader group of Indonesian society sebagai landasan sosial Indonesia merdeka, maka sekarang dapat juga dikatakan bahwa negara tanpa rakyat jadi landasan Indonesia merdeka.***

*) Kolumnis, tinggal di Jakarta.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita