Maman S. Mahayanað
http://mahayana-mahadewa.com/
Penyair sejati adalah pewarta yang menyampaikan sesuatu tidak untuk dirinya sendiri. Ia bukan sosok penyanyi di kamar mandi. Maka kegelisahan individu yang mengganggu seorang penyair, mesti berbuah menjadi problem yang menyangkut dan berkaitan dengan dunia sekitarnya. Kegelisahan seorang penyair –atau sastrawan dan seniman pada umumnya—mestilah merepresentasikan problem individu dalam berhadapan dengan situasi sosio-kultural yang melingkarinya. Dengan demikian, karya yang dihasilkannya merupakan refleksi evaluatif atas berbagai persoalan dirinya dalam keberadaannya di lingkungan masyarakat, persahabatannya dengan alam, atau bahkan dalam ketakjubannya kepada Tuhan. Jadilah refleksi yang semula sangat individual itu, punya cantelan kontekstual, dan bahkan sangat mungkin bersifat universal. Karyanya –puisi yang dilahirkannya—memang mewakili kekhasan diri sosok penyair, tetapi problem yang diangkatnya bukan lagi milik dirinya atau mengenai dirinya an sich, melainkan berkaitan dengan problem manusia dan kemanusiaan.
Sosok penyair sejati adalah ia yang mempunyai kesadaran profesional. Ia konsekuen atas profesi yang digaulinya dan bertanggung jawab atas suara hati nuraninya. Tanpa itu, ia akan jatuh pada keluh-kesah cengeng dan asyik-masyuk dengan romantisisme dirinya sendiri. Jika sudah begitu, ia tinggal menunggu kejatuhannya memasuki ombak dalam gelas atau menjadi penyanyi di kamar mandi. Itulah konsekuensi menempatkan diri sebagai penyair. Ada tuntutan tertentu yang melekat bersamaan dengan status dan peran yang dimainkannya.
Dalam konteks itu, ada pula tuntutan moral dan sekaligus intelektual yang menyertainya. Tuntutan moral memaksanya harus jujur pada hati nurani dan peka terhadap lingkungan sosio-kultural di persekitaran. Dan tuntutan intelektual memaksanya menempatkan puisi–karya yang dihasilkannya itu– tidak semata-mata sebagai buah ekspresi, melainkan sebagai hasil pergulatan kultural dalam proses yang tidak sekali jadi. Dengan cara itu pula, ia sekaligus telah memainkan peran sosialnya. Mengingat puisi disaranai oleh bahasa sebagai mediumnya, maka ia juga seyogianya memperlihatkan estetikanya sendiri di dalam fungsinya memberi kenikmatan spiritual bagi pembacanya.
Kemampuan melahirkan estetika itulah yang menuntut kedalaman ekspresi, keluasan wawasan imajinasi, dan kecerdasan intelektualitas penyairnya. Dengan demikian, puisi tidak mewujud dalam deretan kata tanpa makna, baris-baris kalimat yang penuh kegelapan, tetapi bermetamorfosis menjadi buah segar yang dapat dinikmati pembacanya sampai entah kapan, betapapun buah itu terasa pahit dan tak gampang dikunyah.
Puisi hendaknya tidak dijadikan sebagai alat: entah untuk berkeluh-kesah atau sekadar pelepas rasa rindu, layaknya anak-anak remaja yang sedang dilanda asmara dan menyampaikan cintanya lewat puisi. Ketika puisi secara sadar digunakan sebagai alat, ia tak hanya telah diperkosa oleh penyairnya sendiri, tetapi juga akan kehilangan ruh estetikanya. Jika begitu, ia akan menjadi seonggok kata tanpa makna atau menjadi artefak tak berjiwa, seperti deretan patung wanita cantik yang dipajang di etalase toko.
Puisi atau teks apapun, sesungguhnya dilahirkan dengan membawa nasib dan peruntungannya sendiri; mempunyai jalan hidupnya sendiri yang mungkin bakal berumur panjang atau mati seketika dalam usia pendek. Maka, biar ia panjang usia dan tak lekang ditelan zaman, jadikanlah puisi itu seperti anak panah yang setiap saat siap menghunjam kalbu para pembacanya. Oleh karena itu, manakala seorang penyair hendak mencetak anak panah itu, ia mesti piawai dan sungguh-sungguh mengolah segala bahan yang dimilikinya. Dengan kesadaran itu, penyair akan senantiasa cermat, hemat dan tepat dalam mengolah kata dan menyusunnya kembali menjadi sepenggal puisi. Agar puisi yang dilahirkannya benar-benar menjadi anak panah, maka di dalam proses kreatifnya, penyair tidak perlu tergesa-gesa dan berkehendak ingin segera merampungkannya.
***
Memandang Surat Putih 2 yang memuat 63 buah puisi karya 25 perempuan penyair, kita segera tergoda untuk membayangkan berbagai hal yang berkaitan dengan dunia wanita. Problem jender, pelecehan seksual, keagungan sosok seorang ibu, kehidupan rumah tangga, perselingkuhan, kesetiaan, pergunjingan, atau deretan persoalan lain yang kerap dianggap telah melekat dalam kehidupan kaum perempuan. Nyatanya, setelah mencermatinya lebih dekat, secara tematis, sebagian besar puisi yang termuat dalam antologi ini, nyaris tak berbeda dengan puisi yang ditulis kaum lelaki. Sebagian besar dari ke-25 perempuan penyair ini seperti tidak hendak mengangkat problem kaumnya yang justru kini banyak diusung kaum femenis.
Meski tema dalam puisi bukanlah segala-galanya, setidak-tidaknya, antologi ini mesti dicurigai merepresentasikan kecenderungan tertentu para penyairnya.
Untuk selanjutnya, barangkali eloklah dipikirkan pemilihan puisi didasari oleh kriteria yang mengacu pada tema atau hal tertentu yang memberi kekhasan. Atau, katakanlah, mengusung tema-tema tertentu, agar kesan “asal kumpul” tidak terjadi. Dengan begitu, terlepas karya perempuan siapa pun yang hendak dimuat, arah dan tujuan penerbitan antologi sejenis akan menjadi lebih jelas. Jadi, meski sangat mungkin penerbitan antologi ini didasari sikap tanpa pretensi, tetap saja –langsung atau tidak langsung—di dalamnya tersirat tujuan yang bersifat ideologis.
Dalam hubungannya dengan urusan teknis inilah, salah satu persoalan yang muncul dalam antologi ini justru lantaran ke-25 perempuan penyair ini mengangkat tema yang begitu beragam. Akibatnya, kita seperti disuguhi sebuah kolase yang di dalamnya tersembul kekuatan dan kelemahan yang saling bertumpang-tindih membentuk warna-warni. Ada yang cukup kuat dan berpribadi mewartakan sesuatu, tetapi ada pula yang sekadar menyampaikan keluh-kesah kecengengan.
Untuk memberi gambaran mengenai warna-warni itu, mari kita periksa lebih jauh.
***
Antologi ini diawali dengan sebuah puisi karya Abidah El Khalieqy, berjudul “Telah Kubaca Sejarah”. Ia menempati urutan pertama, lantaran namanya secara alfabetis mendahului yang lain. Narasinya yang mewartakan perang Afgan terkesan seperti berita sekilas info. Boleh jadi lantaran penyair sengaja mengandalkan lompatan ide-ide –seperti juga yang digunakan Abidah dalam sejumlah cerpennya– tentang sejarah peperangan (di Afganistan) (bagian 1), para pengungsi yang mengingatkannya pada hijrah nabi (bagian 2), semangat jihad Usamah (bagian 3), serangan ke New York yang membuat Amerika kalang-kabut (bagian 4), maka peristiwa pertumpahan darah yang sesungguhnya sangat mengerikan itu, seperti disampaikan layaknya orang yang membacakan pengumuman. Wawasan sejarah yang coba dimanfaatkan Abidah, barangkali akan menjadi sangat kuat, jika narasinya lebih mendapat tekanan dan tidak pada simbolisasi yang hendak dilesapkan pada peristiwa peperangan itu.
Dari narasinya yang dibagi ke dalam empat bagian itu, kita hanya menemukan sebuah empati si aku liris. Sayangnya, empati itupun tak mengajak kita berasosiasi pada derita akibat perang. Abidah tampaknya seperti sengaja melupakan citraan (imaji) yang justru penting dalam membangun peristiwa dalam puisi.
Berikutnya, tiga puisi yang ditulis Aning Ayu Kusuma cenderung merupakan refleksi subjektif diri penyairnya yang menerima fitrahnya sebagai perempuan yang setia (“Sajak Adam Hawa”), tabah menjalani kehidupan (“Pengakuan”), dan pesan mengenai ketabahan itu (“Ada Mega…”). Dalam “Pengakuan”, ada tiga nama tokoh sejarah yang muncul di sana: Fatimah, Cleopatra, dan Caesar. Fatimah boleh jadi hendak mewakili perempuan sakinah, setia dan penuh pengorbanan. Tetapi, Cleopatra dan Caesar, agaknya sekadar hendak memperkuat citra keagungan Fatimah. Dengan begitu, dua larik terakhir dalam puisi itu justru terkesan hendak memberi penjelasan kuat citra sosok perempuan Fatimah. Penyebutan nama seorang tokoh juga muncul dalam “Ada Mega…” dalam larik hujan lenyap bersama sayatan Beethoven. Cukup pentingkah nama itu sehingga harus muncul di sana atau ada makna lain yang hendak diwakili seorang Beethoven?
Penyebutan nama tokoh tertentu, jelas mengandung implikasi pada satu peristiwa tertentu. Oleh karena itu, citraan dan asosiasi yang hendak dibangun, mengacu pada simbol, karakter atau peristiwa yang juga tertentu. Jika memang tidak begitu signifikan, patutlah dipertimbangkan untuk tidak menempatkan nama-nama itu sebagai tempelan.
Masih dengan menonjolkan refleksi subjektif, Aning Setiyawati lebih cenderung menekankan perasaan hati dengan coba –dalam beberapa hal—memanfaatkan potret alam: camar, angin, awan, embun, sungai, bunga, daun, dst. Derasnya keinginan untuk menyuarakan perasaan hati inilah yang mewarnai dua buah puisinya yang dimuat antologi ini. Dalam hal ini, kedua puisi Setiyawati ini sesungguhnya akan sangat kuat dan tidak jatuh pada kesan romantik, jika penyair mengangkat fenomena alam justru sebagai representasi suasana hati, dan bukan sebaliknya.
Gambaran yang sejenis dengan cara pengungkapan yang tak jauh berbeda tampak pula pada puisi-puisi karya Asih Ratnawati (“Dilanda …” dan “Mengenang…”), Chye Retty Isnendes (“Menanti”), Imas Sobariah (“Pulang”), Juwairiyah Mawardy (“Satu …” dan “Bagi…”), Nur Wahida Idris (“Panganting …” dan “Sajak …”), Shinta Kusumawati (“Sajak …” dan “Pada …”), Veronica Widyastuti (“Kamu …”, dan Yuliastuti Mandasari (“Perpisahan”). Titik tekan pada perasaan hati tampak begitu menonjol dibandingkan dengan keinginan untuk memberi gambaran pada peristiwa tertentu. Terkesan, suasana perasaan hati—rindu, cinta, duka, nelangsa, dan perasaan sejenis lainnya– yang diangkat dalam sejumlah puisi mereka lebih menyangkut persoalan dirinya sendiri, dan seperti tidak ada hubungannya dengan dunia sekitar. Jika saja para penyair itu menempatkan problemnya sebagai bagian dari problem manusia dan ditempatkan dalam konteks kemanusiaan, dan bukan individu-individu, orang per orang, maka boleh jadi kesan seperti itu tidak akan terjadi.
Salah satu problem yang cukup menonjol dari sejumlah puisi yang disebutkan tadi adalah sarana pengungkapannya yang terlalu pribadi. Dalam puisi “Dilanda Kangeng” Asih, misalnya, bait pertama, dunia makin sepi. Lorong makin sunyi/terasa ada yang menikam/di dalam sini// mewartakan kedukaan si aku liris yang dilanda kesepian. Tetapi kedukaan ini jadi tampak kontradiksi jika kita memperhatikan bait ketiganya. Dengan begitu, kangen pada sesuatu itu jelas bersifat manusia, dan tidak ada hubungannya dengan persoalan transendensi, meski di sana /ada yang mengirimmu doa-doa//.
***
Dari ke-63 puisi karya 25 perempuan penyair ini, lebih dari separohnya justru tak mengisyaratkan persoalan sebagaimana yang tadi disinggung. Sejumlah puisi pendek dalam antologi ini, justru cukup kuat menghadirkan asosiasi dan citraan. “Pesan Pendek Maria” karya Asih Ratnawati, misalnya, memberi ruang yang lebih leluasa bagi pembaca untuk melakukan penafsiran dan pemaknaan: ketika fajar datang/embun pun menetes di bebatuan/kirimkan ciuman/lalu ucapkan selamat tinggal// memperlihat sebuah paradoks tentang harapn yang sia-sia. Kesan itu dinyatakan dalam dua larik awal: ketika fajar datang/embun pun menetes di bebatuan/. Soalnya akan lain jika embun menetes di dedaunan, pepohonan atau rerumputan. Dan kesia-siaan itu ditegaskan lagi oleh ciuman selamat tinggal.
Puisi pendek Badai Muth. Siregar, “Kusangka-sangka” seperti sengaja hendak mencemooh berbagai ramalan manusia. Bahwa di sana, dalam kehidupan, selalu saja ada misteri, rahasia yang tak berjawab. Ironi yang diselusupkan –Rabbi-insan—barangkali juga merepresentasikan banyak hal mengenai kemunafikan. Dan itu disampaikan dengan gaya ringan, berguyon –main-main—mengingatkan kita pada kisah-kisah lucu kaum sufi.
Dengan gaya yang agak berbeda, Fatin Hamama Rijal Syam, “An-Naml” cukup kuat menggiring asosiasi kita pada peristiwa perjalanan Sulaiman. Di balik itu, ada kearifan yang disimbolkan sosok Sulaiman (milyuner) dalam memperlakukan kaum dhuafa yang tak berdaya: ya Tuhan/mereka tak akan/aku sengsarakan//. Simbolisasi seperti itu, juga dimanfaatkan Fatin dalam “Aceh Merdekakah” yang menggambarkan derita rakyat Aceh, hiruk-pikuk tentang Aceh di Ibukota, dan carut-marut Indonesia.
Penyair Rukmi Wisnu Wardhani tampaknya sengaja menggunakan puisi pendek untuk membangun efek yang lebih padat dalam usahanya menggambarkan fragmen peristiwa. Pelukisan tentang peristiwa selepas pemakaman (“Simpati”), misalnya, sebenarnya tak cukup sekadar menorehkan simpati. Di sana ada pertanggungjawaban bagi si mati yang catatan semasa hidupnya dicampakkan atau dibawa pulang para pelayat.
Dalam tema yang lain, “Ranting-Ranting” gambaran tentang kesepian disajikan dengan memanfaatkan benda-benda alam. Citraan model haiku itu seperti disampaikan tanpa beban. Dengan cara itu, puisi ini justru tidak memberi kesempatan munculnya kesan keluh-kesah.
***
Beberapa puisi lain yang juga mengindikasikan kuatnya citraan –salah satu unsur penting dalam puisi—juga tampak dari sejumlah puisi karya Dina Oktaviani dan Ita Dian Novita, meskipun keduanya mengangkat tema yang berbeda. Dina dalam “Nunggu” cukup kuat melukiskan kegelisahan seseorang yang menunggu kekasihnya yang kunjung datang. Kerinduan dalam peristiwa percintaan sesungguhnya hal yang sangat lazim. Dan peristiwa biasa itu menjadi terasa khas manakala potret yang disajikannya berhasil menggiring pembaca untuk membayangkan sesuatu. Dalam hal ini, asosiasi dan citraan menjadi penting. …malam ini/kututup jendela tidak seluruhnya/ –yang mengingatkan pada serupa gadis di balik tirai—Amir Hamzah– menyimpan segumpal harapan tentang kedatangan seorang kekasih. Dan si aku liris berharap sepanjang malam; mengintip …/ mendengar lonceng yang tak tidur lagi.
Ita Dian Novita lebih reflektif menyentuh persoalan religius yang dalam “Kubah” digambarkan terjadinya perubahan sosial hingga tiang-tiang mesjid…/menuju kuburan tua. Sebuah keprihatinan terjadinya pemudaran keimanan. Tema yang juga diusung Akidah Gauzillah dalam “Perempuan …” dan “Halaman …” dengan semangat yang menjanjikan.
***
Secara keseluruhan, Surat Putih 2 memperlihatkan style dan kecenderung yang beragam. Dalam konstelasi peta kepenyairan kita –khasnya dalam konteks sedikitnya penyair wanita—kehadiran para penyair ini –yang tidak lagi menempatkan dirinya sebagai penyanyi di kamar mandi– niscaya memberi optimisme tersendiri. Jika mereka terus-menerus mengasah penanya dan tak menghentikan diri membuka wawasannya, kesemarakan yang kita harapkan itu, tentu tinggal menunggu waktu. Jadi, dari 25 perempuan penyair ini, separuhnya tidak berniat pensiun muda, tak berlebihan jika kita menebarkan banyak harapan dan optimisme.
Kini, kita tinggal menunggu: dari ke-25 perempuan penyair ini, siapakah yang kelak bakal menjadi penyair sejati. Sebuah langkah untuk mencampakkan predikat penyanyi di kamar mandi, telah dimulai. Maka, cetaklah anak panah yang setiap saat siap menembus kalbu para pembaca. Tahniah!
Pw/msm/13/07/02
-----------------------
ó Makalah peluncuran buku Surat Putih 2: Antologi puisi 25 perempuan penyair, diselenggarakan di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, 13 Juli 2002.
ð Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia, Depok.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar