Tjahjono Widijanto
Jurnal Nasional, 11 Mei 2008
Sulit membayangkan seorang penyair dan sajak berangkat dan hadir dari sebuah kekosongan, nihil ex nihilo: tidak ada sesuatu yang lahir atau berasal dari ketiadaan. Sajak lahir dari persentuhan indrawi atau rohani, antara penyair dan semesta seperti gesekan ranting dengan ranting di musim kering yang menghasilkan api, karena itu sajak ---dalam publik yang paling terbatas sekalipun--- akan senatiasa mendiskusikan, mendialogkan, dan memperbincangkan “sesuatu”.
Pada sisi lain persoalan ekspresi selalu membawa penyair pada dua ujung kontinum yang ekstrem: penyederhanan atau simplikasi dan perumitan. Kedua kutub ini dapat diibaratkan dalam cerita persilatan sebagai dua pendekar dari perguruan berbeda yang turun gunung dengan semangat yang berbeda pula. Yang pertama menulis dengan sangat memperhatikan dan memperdulikan kepentingan akan pesan dan pembaca; yang kedua bertujuan untuk kepentingan ekspresi tumpahnya kesadaran bawah sadar sehingga hajat-hajat puitiknya terpenuhi, tumpah tanpa sisa.
Penyair H.U Mardi Luhung yang lahir dan bermukim di Gresik adalah satu diantara penyair Jawa Timur yang mendapatkan perhatian lebih dari publik sastra Indonesia karena “keteguhannya” memilih warna ekspresi-estetika pada jalur pilihan kedua yang seakan-akan menafikan pesan dan menafikan pembaca seperti yang terlihat kumpulan puisinya Ciuman Bibirku yang Kelabu (2007)
Bahasa dan Benturan Budaya
Bahasa dan kata dalam puisi mempunyai kedudukan yang paradoksal. Di satu titik dibebani untuk menyampaikan pengertian, di titik lain dalam puisi kata dan bahasa menjungkir-balikkan pengertian umum yang disandang olehnya sendiri. Pada titik ini penyair menggempur, memperhitungkan, bahkan mengingkari berbagai ‘atribut‘™ yang sudah lazim diemban oleh kata tersebut. Sebagai penyair Mardi Luhung terikat pada kodrat ini, namun yang membedakannya dengan Chairil atau Amir Hamzah yang begitu “serius”, Mardi Luhung dengan rilek dan santai memberlakukan dan menyikapi pemilihan kata ini. Bagi Mardi Luhung penyair tak lebih dari “pengrajin” kata-kata , tak heran dalam sajak-sajaknya sering dijumpi kata-kata “enteng” yang jauh dari lazimnya citra estetika bahasa puisi, seperti kata-kata: kosro, kakus, kecebong, dubur, kencing, kulit kadal, menjotosi, jinabat, cawat, pengutil, dan sebagainya yang meluncur begitu saja tanpa beban.
Dalam sajak-saja Mardi Luhung tampak ada paradoksal antara kebanggaan identitas budaya dan kegetiran identitas budaya. Kebanggaan dan kegetiran seakan-akan menyimpan ironi sebuah komologi budaya yang satu sisi dibanggakan dan sisi lainnya pada posisi inlandeert yang tak berdaya berhadapan dengan identitas budaya lainnya. Hal ini dapat dilacak pada sajak “Pengantin Pesisir”:Aku datang dalam seragam penganten pesisir/ Seperti arak-arakan masa silam/Jidor, kenong, terbang, lampu karbit mengiring/ di depan para pesilat bertopeng monyet /‘¦../ dan tahukah kau yang paling aku benci?/ adalah ketika kita sama-sama sekolah/ dan sama-sama disebut: “Orang Laut”/ orang yang dianggap sangat kosro/ kurang adat dan keringatnya pun seamis/ lendir kakap yang sebenarnya sangat mereka sukai/‘¦ / dan mengharapkan lahirnya bocah-bocah pantaimu/ tapi, seperti juga mencusuar yang kini tinggal letak/ dan para nelayan kehilangan jaring dan perahu/ adakah masih sempat kita lakukan persetubuhan ombak/ sementara itu, kertas-kertas kwitansi/ telah mengubah sperma-sperma kita menjadi/ lumut-lumut yang entah siapa pamggilannya.
Dari sajak Pengantin Pesisir di atas tampak bahwa penyair ingin memperlihatkan dirinya dan identitas budayanya sebagai sosok masyarakat pantai. Gresik sebagai tempat lahir dan mukim penyair secara geografis budaya merupakan budaya pesisiran yang memiliki karakter yang berbeda dengan budaya pedalaman (Mentaraman)..Dalam sajak di atas juga terungkap kegeraman dan traumatis masa lampau akibat perbenturan dan pertentangan budaya antara budaya pedalaman dan budaya pesisiran, budaya kerataon dengan budaya rakyat dan budaya santri dengan budaya abangan. Budaya pedalaman membuat benteng budaya yang kokoh berupa kraton dan pembagian daerah kraton. Kraton dilegimitasikan sebagi sentrum budaya dan semua yang berasal dari kraton dianggap sebagi produk budaya “resmi” dan adi luhung. Sedangkan daerah pesisir (pantai) dan derah-daerah yang beruda di luar wilayah kraton (pesisran, manca nagari, brang wetan) produk-produk budayanya dianggap sebagai budaya pinggiran yang secara etik atau estetik berada di bawah kebudayaan kraton (pedalaman). Dalam bahasa Mardi Luhung kondisi ini dikatakan sebagai “dan tahukah kau yang paling aku benci?/ adalah ketika kita sama-sama ke sekolah/ dan sama-sama disebut: “Orang Laut,”/ orang yang dianggap sangat kosro/ kurang adapt dan keringatnya pun seamis/ lender kakap yang sebenarnya sangat mereka sukai”/
Meski pada awalnya penyair dengan lantang, bangga dan gagah mengungkapkan identitas budayanya namun ia tak mampu memendam kegetirannya akan fakta historis bahwa pesisir selama ini selalu berada pada pihak yang “kalah” dalam perbenturan budaya dengan pedalaman dan juga kini malah semakin tergerus dengan arus budaya lainnya. Serangkaian kegetiran dan kekalahan ini oleh Mardi Luhung disimbolkan sebagai “mercusuar yang kini tinggal letak”, “para nelayan kehilangan jaring dan perahu” bahkan dengan sarkas dikatakannya “kertas-kertas kwitansi telah mengubah sperma-sperma kita menjadi lumut-lumut yang entah siapa panggilannya”.
Citra budaya pesisiran yang terbuka, urakan, ekspresif, dan sangat terbuka untuk berimprovisasi yang merupakan antitesis dari budaya pedalaman yang serba halus, hati-hati, penuh sofistifikasi dan sakralisasi menjadi semacam “kredo” bagi sajak-sajak Mardi Luhung seterusnya. Kekasaran, kenakalan, urakan, ekpresif dan bahasa yang sangat terbuka khas masyrakat pantai dapat dengan mudah ditemui pada puisi-puisi lainnya, misalnya; “‘¦./ “Kami telah putuskan untuk memotong/ alat kelamin suami-suami kami, yang telah/ membikin kami bolak-balik melakukan abortus!”/ ‘¦..” (Dari Jalanan); “‘¦Ada di reruntuhan makammu, dan kembali simpulkan:/ memang cuma lubang kakus/ sebuah pembuangan sia-sia, yang melintas/ antara mulut dan dubur, yang bergerak antara vitamin/ dan sampah akhir/ ‘¦” (Ziarah ke Reruntuhan Makammu); “‘¦untuk kemudian berdikit-dikit/ menjadi tai dan kencing, menjadi kesuraman/ yang tak bisa mencari jalan pulang/ ‘¦” (Keheningan Apakah). Bahkan ada yang sangat kurang ajar seperti dalam puisi Wanita Yang Kencing di Semak yang seperti penggalan berikut ini: Wanita yang kencing di semak/ takut apa, jengah apa?/kerumitan-rahasianya terbuka/ pada rumput, batu dan tanah/ bayangan pun tercetak lewat genangan/ /‘¦./ lalu, jalan-jalan pun berbiak/ dan karunia? Siapa yang menolak/ jika semuanya telah digenangi?/ yang jelas, kuyup dan kuncup silih-ganti/ silih-sembul, dengan sedikit guncang/ mata terpejam tapi selalu saja/ betapa lorong itu menggundang duga/ agar segera mengerut seperti kerut-jeruk/ yang telah lama terpetik/ ‘¦..//
Sajak di atas sebenarnya hanya sekedar mendeskripkan sesuatu belaka. Namun seperti halnya kesenian lain dalam produk budaya pesisiran yang serba permisif, terbuka dan menafikan keteraturan, sajak ini seperti menjungkirbalikan citra tentang estetika yang terlanjur terpatri di benak kita. “Sesuatu” yang diungkapkan dalam sajak di atas adalah “sesuatu” yang selama ini dianggap tabu dan menjijikan namun malah dideskripsikan dengan detail dan lancang oleh Mardi Luhung dengan cara yang khas pesisir. Sajak di atas dapat diibaratkan sebagai tari ronggeng, tayub, ledek, atau tandak yang meledek ke-adiluhungan tari bedhaya ketawang ---mainstreem estetika sastra Indonesia, yang selama ini dicitrakan serba rumit, teratur, canggih, serba halus, dan hati-hati.
Dari sudut linguistik, berhadapan dengan bahasa dalam sajak-sajak Mardi Luhung mengingatkan orang pada konsep Halliday (1992) yang menjelaskan bahwa teks mesti dipahami sebagai bahasa yang sedang berfungsi, atau dengan kata lain bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu dalam situasi tertentu yang tentu saja berlainan dengan kata-kata atau kalimat-kalimat lepas yang mungkin ditulis pada sebuah papan tulis. Berangkat dari penrnyataan Halliday ini maka bahasa atau kata-kata yang digunakan Mardi Luhung tidak dapat diperlakukan sebagai perpanjangan tata bahasa dan sentaksi semata-mata karena lebih berupa memperlakukannya sebagai teks yang tidak semata-mata diterjemahkan tetapi lebih kearah penafsiran. Bahasa-bahasa puisi Mardi Luhung lebih bersifat satuan makna yang harus dipandang dari dua sudut yang bersamaan, sebagai produk maupun sebagai proses.
Sebagai produk dalam arti ia merupakan output yang dapat dipelajari karena mempunyai susunan tertentu yang dapat diungkapkan secara sistematik. Sebagai proses dalam arti merupakan proses pemilihan makna terus menerus, sesuatu perubahan melalui jaringan makna dengan setiap perangkat pilihan yang membentuk suatu lingkungan bagi perangkat yang lebih lanjut. Dengan demikian puisi Mardi Luhung sarat mengemban makna sosial budaya dalam kontek situasi tertentu pada masa lampau dan masa kini. Jadilah puisi-puisi Mardi Luhung sebagai jalan setapak atau jalan kecil yang menautkan masa lalu, masa kini dan masa akan datang, puisi menjadi sebagai kegiatan sosial budaya yang terikat dengan setting sosial budaya tertentu dan berbagai kepentingan yang bermain di dalamnya.
Sajak-sajak Mardi Luhung juga memperlihatkan bagaimana penyairnya berada pada kosmologi yang retak dan koyak moyak karena serbuan anasir kosmologi dan mitologi luar berkat hempasan kekuatan politik, budaya, teknologi, komunikasi dan ekonomi. Pada sajak-sajak Mardi Luhung, Jawa Pesisiran yang diakui dan diagungkannya sebenarnya makin samar dan kabur sedangkan kosmologi Indonesia yang dihadapi kini masih begitu cair dan gamang juga.Tak ayal lagi, beberapa puisi dalam antologi Ciuman Bibirku yang Kelabu ini menyiratkan kegelisahan Mardi Luhung sebagai musyafir yang berada pada kondisi yang rancu, satu sisi kosmologi dan mitologi Jawa pesisiran (masa lampau) tak lagi mampu menopang kehidupannya secara penuh, pada sisi lain kosmologi dan mitologi Indonesia juga belum mampu menopangnya, begitu pula kosmologi dan mitologi Barat tak begitu “terang”. Akibatnya beberapa sajak menggambarkan hasrat penyair untuk tak terikat dan membebaskan diri pada tarikan atau gravitasi sebuah kosmologi dan mitologi tertentu. Kegelisahan membebaskan diri dari tarikan kosmologi ini terekam pada baris-bari sajak berikut: ‘¦”Apa yang bisa aku baca dari reuntuhan makammu/ yang kini tinggal kakusnya itu”/‘¦. / dan dunia sana, duniamu tempo dulu/ yang berbinar oleh umbul-umbul kuda dan para/ syuhada jadi kecebong-kecobong/ yang rasanya begitu gerah untuk memetamorfosa/ apalagi memahat perjamuan antara aku dank au”/ “Pertemuan antra pencari dan yang di cari ‘¦.” (Ziarah ke Reruntuhan Makammu).
Bahkan kadang-kadang penyair merasakan ambiguitas dan paradoksalnya identitas dan kosmologi budaya yang mengikatnya selama ini. Jadilah dalam diri penyair keterbelahan menyikapi identitas dan kosmologi budaya pesisirnya sebagai sesuatu yang dicintai sekaligus sesuatu yang ingin ditinggalkannya. Kosmologi budaya pesisir sebagai kosmologi budaya lampaunya merupakan jejak moyangnya yang berubah menjadi memedi atau hantu yang selalu mengikatnya. Hal ini ditunjukkan pada sajak Bapakku Telah Pergi: Bapakku telah pergi/ menemui pembakaran/ ruang suci tempat selesaian/ tapi ekor-ekor yang ditinggalnya/ membelit tubuhku/ menciptakan jarak, yang ujungnya/ masih dipegangnya/ batasnya tak teraba/ maka jadilah itu: “Hantu”/ bapakku telah pergi, memang/ tapi hantunya itu demikian kuat/ demikian mendesak/ sampai bagian dalam tubuhku/ bergetar, berpusar, ‘¦./
Mitos dan Kontra Mitos
Berangkat dari kegamangan, bimbang dan paradoksal terhadap identitas dan kosmologi budayanya ini memaksa Mardi Luhung dalam perantauan budaya untuk mengolah, merekontruksi bahkan membongkar mitologi-mitologi lama untuk menghasilkan dan menggenggam pemikiran baru. Jadilah beberapa sajak Mardi Luhung mengangkat dan mengukuhkan suatu mitos tertentu (myth of concern) dan sekaligus pula menentang mitos tersebut (myth of freedom).
Dalam dua sajaknya berjudul Giri: Ciuman Bibirku yang Kelabu dan Malik Ibrahim mengangkat dua mitos tentang tokoh Wali yang sangat disegani dan dihormati ajarannya di Gresik, Sunan Giri dan Sunan Maulana Malik Ibrahim. Namun dua mitos ini disikapi Mardi Luihung jauh dari rasa takzim bahkan ada nada cemooh, penentangan, ironi, sinisme bahkan sarkasme.
Dalam Giri: Ciuman Bibirku yang Kelabu tokoh Sunan Giri di gambarkan sebagiai pemburu yang membawa asosiasi orang pada sosok yang kejam dan suka memburu. Sunan Giri yang perkasa, yang begitu disegani pada masa kejayaan Demak, keheroannya dipertanyakan kembali dengan sinis: “‘¦./ yang entah datang dari sisi mana, akibat peperangan/ apa, dan membela dewa dan kitab siapa? Oh, aku pun/ Cuma sanggup mengigau sambil membayangkan sebuah/ jalan-berkelok menuju keratonmu yang hilang itu‘¦”
Dalam sajak Malik Ibrahim muncul nada yang tak kalah sinisnya: “‘¦./ mencoba kembali menyentuh lipatan-lipatan kitab/ kuningmu yang berhuruf kemuning itu, kitab-kitab yang/ telah lama terkunci di mulut-asap-jingga:/ “Tapi Malik, apakah itu memang kitab ataukah cuma/ serbuk tuak ataukah cuma kemabukan biasa”/ ‘¦.”
Tak heran dari identitas dan kosmologi budaya yang pada awalnya dibanggakannya sebagai budaya pesisiran yang berbeda dengan pedalaman tetapi yang kemudian dirasakannya menjadi koyak moyak, Mardi Luhung mencoba menggenggam mitologi kosmologi baru yang berbeda sama sekali. Keinginan untuk menggenggam kosmologi yang lain dan yang baru ini nampak dalam puisi-puisinya Zion dan Restoran & Tas Ransel. Kegairahan dan semangat untuk menggenggam kosmologi baru yang sama sekali baru itu digambarkannya : “Aku punya nabi. Si orang suci yang hanya sekali marah/ Sebab, ada yang menghunus parang sambil menggertak:/ “Aku ingin mendengar langkah kaki yang bergegas/ ke gunung dan membuat bulan yang lain, orang yang lain/ dan bumi yang lain, dari asap dan kincir yang lain!”/ Selanjutnya, tiap pipi pun dirajah seperi kegirangan/ ‘¦.” (Zion); atau secara lebih ekstrem dikatakannya: Copotlah dulu gigi-palsumu, lalu ciumlah aku,/ hisaplah nafasku, hiruplah umurku, milikku,/ segalaku, sebab aku kini tak takut lagi, jika/‘¦.” (Restoran & Tas Ransel).
Dari perantaun budaya dari satu mitologi-kosmologi ke mitologi-kosmologi yang lain itu, penyair akhirnya menemukan kesadaran bahwa dalam membentuk dan menemukan kosmologi baru, tidak ada kosmologi yang mampu secara mutlak berdiri sendiri. Kosmologi baru yang akan dibentuk dan diraih sejatinya merupakan persilangan dari berbagai mitologi-kosmologi, entah itu pedalaman, pesisiran, Barat, Timur atau yang lainnya. Persilangan antar kosmologi budaya itu diungkapkannya dalam sajak berjudul Kitaran Bersilangan yang merupakan sajak terakhir pada buku antologi Ciuman Bibirku Yang Kelabu, berikut ini: Ayahku berwarna putih, ibuku berwarna hitam/ lalu aku apa? Sebutlah, dan cari dalam jisim/ yang mengudar warna dabn nasib kulit abu-abuku/ jika berdoa, apakah aku akan mengutuk atau memuja?/ percaya pada bumi atau justru menginjaknya?/ ya, dengan sepedak-yang-mengerikan, aku kitari kampungku/ ....
Keterjebakan Kreativitas
Keasyikan bemain-main dengan bahasa membuat Mardi Luhung kelewat “bernafsu” untuk tampil “berbeda dan ‘unik‘™ sehingga dalam beberapa sajak terjebak untuk sekedar menggambarkan fantasinya semata sehingga beberapa puisi tidak berbicara apa-apa hanya menyampaikan dunia ganjil yang aneh, kelebatan liar yang menghasilkan imaji anarki semata. Seperti misalnya dalam puisi Sekilat Pikiran : Pikiran mungil dalam tempurung mungil/ berdiam si aneh-besar-kelabu/ yang separuh wajahnya penuh rambut/ separuh yang lain seperti/ khusus tercetak di ceruk kursi/ racikan manis dari dahak/ mengendap di jurang matanya, tempat lewat/ setiap mayat yang akan dihantukan/ dengan kedua lengan yang gemetar/ saat terulur di ukuran sekarat-bulan-kejang/‘¦../ aroma yang tersegel dan juga disegelkan/ pada kening tebal setiap para pemuji/ pemuji yang selalu disibukkan dengan kain, benang/ kancing dan setangkup karung kasar/ ranjang bagi tengkurap dan terlentangnya:/ “Si aneh-besar-kelabu.
Saking kelewat bernafsu, Mardi Luhung juga menjadi sangat boros untuk melebih-lebihkan sesuatu atau menyatakan sesuatu yang sebenarnya sederhana. Jadilah beberapa sajaknya penuh dengan hiperbola yang menyesakkan dada pembacanya, seperti: “‘¦../ Mana ada orang-waras percaya itu?/ ada yang meledak di pasar-daging-babi!” (Pikiran Tersembunyi); “‘¦/ lalu sambil memainkan pecut, parut, dan/ pisau. Kaupun memeluki sekian pancang dan/ cerobong yang dating lewat kegelapan dan/ yang selalu mabuk/ ‘¦” (Reis), atau “‘¦selaksa gugusan dungu, yang membuat kemustahilan/ menjadi utuh, dan ingatan melulu menggigilkan jurang yang miring.”/ ( Takwil yang ke-13), akibatnya beberapa sajak itu membuat kenyang sebelum selesai mengunyahnya.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar