19/10/08

Sajak-sajak Mardiluhung Perbenturan Budaya Pesisiran dan Pedalaman

Tjahjono Widijanto
Jurnal Nasional, 11 Mei 2008

Sulit membayangkan seorang penyair dan sajak berangkat dan hadir dari sebuah kekosongan, nihil ex nihilo: tidak ada sesuatu yang lahir atau berasal dari ketiadaan. Sajak lahir dari persentuhan indrawi atau rohani, antara penyair dan semesta seperti gesekan ranting dengan ranting di musim kering yang menghasilkan api, karena itu sajak ---dalam publik yang paling terbatas sekalipun--- akan senatiasa mendiskusikan, mendialogkan, dan memperbincangkan “sesuatu”.

Pada sisi lain persoalan ekspresi selalu membawa penyair pada dua ujung kontinum yang ekstrem: penyederhanan atau simplikasi dan perumitan. Kedua kutub ini dapat diibaratkan dalam cerita persilatan sebagai dua pendekar dari perguruan berbeda yang turun gunung dengan semangat yang berbeda pula. Yang pertama menulis dengan sangat memperhatikan dan memperdulikan kepentingan akan pesan dan pembaca; yang kedua bertujuan untuk kepentingan ekspresi tumpahnya kesadaran bawah sadar sehingga hajat-hajat puitiknya terpenuhi, tumpah tanpa sisa.

Penyair H.U Mardi Luhung yang lahir dan bermukim di Gresik adalah satu diantara penyair Jawa Timur yang mendapatkan perhatian lebih dari publik sastra Indonesia karena “keteguhannya” memilih warna ekspresi-estetika pada jalur pilihan kedua yang seakan-akan menafikan pesan dan menafikan pembaca seperti yang terlihat kumpulan puisinya Ciuman Bibirku yang Kelabu (2007)

Bahasa dan Benturan Budaya
Bahasa dan kata dalam puisi mempunyai kedudukan yang paradoksal. Di satu titik dibebani untuk menyampaikan pengertian, di titik lain dalam puisi kata dan bahasa menjungkir-balikkan pengertian umum yang disandang olehnya sendiri. Pada titik ini penyair menggempur, memperhitungkan, bahkan mengingkari berbagai ‘atribut‘™ yang sudah lazim diemban oleh kata tersebut. Sebagai penyair Mardi Luhung terikat pada kodrat ini, namun yang membedakannya dengan Chairil atau Amir Hamzah yang begitu “serius”, Mardi Luhung dengan rilek dan santai memberlakukan dan menyikapi pemilihan kata ini. Bagi Mardi Luhung penyair tak lebih dari “pengrajin” kata-kata , tak heran dalam sajak-sajaknya sering dijumpi kata-kata “enteng” yang jauh dari lazimnya citra estetika bahasa puisi, seperti kata-kata: kosro, kakus, kecebong, dubur, kencing, kulit kadal, menjotosi, jinabat, cawat, pengutil, dan sebagainya yang meluncur begitu saja tanpa beban.

Dalam sajak-saja Mardi Luhung tampak ada paradoksal antara kebanggaan identitas budaya dan kegetiran identitas budaya. Kebanggaan dan kegetiran seakan-akan menyimpan ironi sebuah komologi budaya yang satu sisi dibanggakan dan sisi lainnya pada posisi inlandeert yang tak berdaya berhadapan dengan identitas budaya lainnya. Hal ini dapat dilacak pada sajak “Pengantin Pesisir”:Aku datang dalam seragam penganten pesisir/ Seperti arak-arakan masa silam/Jidor, kenong, terbang, lampu karbit mengiring/ di depan para pesilat bertopeng monyet /‘¦../ dan tahukah kau yang paling aku benci?/ adalah ketika kita sama-sama sekolah/ dan sama-sama disebut: “Orang Laut”/ orang yang dianggap sangat kosro/ kurang adat dan keringatnya pun seamis/ lendir kakap yang sebenarnya sangat mereka sukai/‘¦ / dan mengharapkan lahirnya bocah-bocah pantaimu/ tapi, seperti juga mencusuar yang kini tinggal letak/ dan para nelayan kehilangan jaring dan perahu/ adakah masih sempat kita lakukan persetubuhan ombak/ sementara itu, kertas-kertas kwitansi/ telah mengubah sperma-sperma kita menjadi/ lumut-lumut yang entah siapa pamggilannya.

Dari sajak Pengantin Pesisir di atas tampak bahwa penyair ingin memperlihatkan dirinya dan identitas budayanya sebagai sosok masyarakat pantai. Gresik sebagai tempat lahir dan mukim penyair secara geografis budaya merupakan budaya pesisiran yang memiliki karakter yang berbeda dengan budaya pedalaman (Mentaraman)..Dalam sajak di atas juga terungkap kegeraman dan traumatis masa lampau akibat perbenturan dan pertentangan budaya antara budaya pedalaman dan budaya pesisiran, budaya kerataon dengan budaya rakyat dan budaya santri dengan budaya abangan. Budaya pedalaman membuat benteng budaya yang kokoh berupa kraton dan pembagian daerah kraton. Kraton dilegimitasikan sebagi sentrum budaya dan semua yang berasal dari kraton dianggap sebagi produk budaya “resmi” dan adi luhung. Sedangkan daerah pesisir (pantai) dan derah-daerah yang beruda di luar wilayah kraton (pesisran, manca nagari, brang wetan) produk-produk budayanya dianggap sebagai budaya pinggiran yang secara etik atau estetik berada di bawah kebudayaan kraton (pedalaman). Dalam bahasa Mardi Luhung kondisi ini dikatakan sebagai “dan tahukah kau yang paling aku benci?/ adalah ketika kita sama-sama ke sekolah/ dan sama-sama disebut: “Orang Laut,”/ orang yang dianggap sangat kosro/ kurang adapt dan keringatnya pun seamis/ lender kakap yang sebenarnya sangat mereka sukai”/

Meski pada awalnya penyair dengan lantang, bangga dan gagah mengungkapkan identitas budayanya namun ia tak mampu memendam kegetirannya akan fakta historis bahwa pesisir selama ini selalu berada pada pihak yang “kalah” dalam perbenturan budaya dengan pedalaman dan juga kini malah semakin tergerus dengan arus budaya lainnya. Serangkaian kegetiran dan kekalahan ini oleh Mardi Luhung disimbolkan sebagai “mercusuar yang kini tinggal letak”, “para nelayan kehilangan jaring dan perahu” bahkan dengan sarkas dikatakannya “kertas-kertas kwitansi telah mengubah sperma-sperma kita menjadi lumut-lumut yang entah siapa panggilannya”.

Citra budaya pesisiran yang terbuka, urakan, ekspresif, dan sangat terbuka untuk berimprovisasi yang merupakan antitesis dari budaya pedalaman yang serba halus, hati-hati, penuh sofistifikasi dan sakralisasi menjadi semacam “kredo” bagi sajak-sajak Mardi Luhung seterusnya. Kekasaran, kenakalan, urakan, ekpresif dan bahasa yang sangat terbuka khas masyrakat pantai dapat dengan mudah ditemui pada puisi-puisi lainnya, misalnya; “‘¦./ “Kami telah putuskan untuk memotong/ alat kelamin suami-suami kami, yang telah/ membikin kami bolak-balik melakukan abortus!”/ ‘¦..” (Dari Jalanan); “‘¦Ada di reruntuhan makammu, dan kembali simpulkan:/ memang cuma lubang kakus/ sebuah pembuangan sia-sia, yang melintas/ antara mulut dan dubur, yang bergerak antara vitamin/ dan sampah akhir/ ‘¦” (Ziarah ke Reruntuhan Makammu); “‘¦untuk kemudian berdikit-dikit/ menjadi tai dan kencing, menjadi kesuraman/ yang tak bisa mencari jalan pulang/ ‘¦” (Keheningan Apakah). Bahkan ada yang sangat kurang ajar seperti dalam puisi Wanita Yang Kencing di Semak yang seperti penggalan berikut ini: Wanita yang kencing di semak/ takut apa, jengah apa?/kerumitan-rahasianya terbuka/ pada rumput, batu dan tanah/ bayangan pun tercetak lewat genangan/ /‘¦./ lalu, jalan-jalan pun berbiak/ dan karunia? Siapa yang menolak/ jika semuanya telah digenangi?/ yang jelas, kuyup dan kuncup silih-ganti/ silih-sembul, dengan sedikit guncang/ mata terpejam tapi selalu saja/ betapa lorong itu menggundang duga/ agar segera mengerut seperti kerut-jeruk/ yang telah lama terpetik/ ‘¦..//

Sajak di atas sebenarnya hanya sekedar mendeskripkan sesuatu belaka. Namun seperti halnya kesenian lain dalam produk budaya pesisiran yang serba permisif, terbuka dan menafikan keteraturan, sajak ini seperti menjungkirbalikan citra tentang estetika yang terlanjur terpatri di benak kita. “Sesuatu” yang diungkapkan dalam sajak di atas adalah “sesuatu” yang selama ini dianggap tabu dan menjijikan namun malah dideskripsikan dengan detail dan lancang oleh Mardi Luhung dengan cara yang khas pesisir. Sajak di atas dapat diibaratkan sebagai tari ronggeng, tayub, ledek, atau tandak yang meledek ke-adiluhungan tari bedhaya ketawang ---mainstreem estetika sastra Indonesia, yang selama ini dicitrakan serba rumit, teratur, canggih, serba halus, dan hati-hati.

Dari sudut linguistik, berhadapan dengan bahasa dalam sajak-sajak Mardi Luhung mengingatkan orang pada konsep Halliday (1992) yang menjelaskan bahwa teks mesti dipahami sebagai bahasa yang sedang berfungsi, atau dengan kata lain bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu dalam situasi tertentu yang tentu saja berlainan dengan kata-kata atau kalimat-kalimat lepas yang mungkin ditulis pada sebuah papan tulis. Berangkat dari penrnyataan Halliday ini maka bahasa atau kata-kata yang digunakan Mardi Luhung tidak dapat diperlakukan sebagai perpanjangan tata bahasa dan sentaksi semata-mata karena lebih berupa memperlakukannya sebagai teks yang tidak semata-mata diterjemahkan tetapi lebih kearah penafsiran. Bahasa-bahasa puisi Mardi Luhung lebih bersifat satuan makna yang harus dipandang dari dua sudut yang bersamaan, sebagai produk maupun sebagai proses.

Sebagai produk dalam arti ia merupakan output yang dapat dipelajari karena mempunyai susunan tertentu yang dapat diungkapkan secara sistematik. Sebagai proses dalam arti merupakan proses pemilihan makna terus menerus, sesuatu perubahan melalui jaringan makna dengan setiap perangkat pilihan yang membentuk suatu lingkungan bagi perangkat yang lebih lanjut. Dengan demikian puisi Mardi Luhung sarat mengemban makna sosial budaya dalam kontek situasi tertentu pada masa lampau dan masa kini. Jadilah puisi-puisi Mardi Luhung sebagai jalan setapak atau jalan kecil yang menautkan masa lalu, masa kini dan masa akan datang, puisi menjadi sebagai kegiatan sosial budaya yang terikat dengan setting sosial budaya tertentu dan berbagai kepentingan yang bermain di dalamnya.

Sajak-sajak Mardi Luhung juga memperlihatkan bagaimana penyairnya berada pada kosmologi yang retak dan koyak moyak karena serbuan anasir kosmologi dan mitologi luar berkat hempasan kekuatan politik, budaya, teknologi, komunikasi dan ekonomi. Pada sajak-sajak Mardi Luhung, Jawa Pesisiran yang diakui dan diagungkannya sebenarnya makin samar dan kabur sedangkan kosmologi Indonesia yang dihadapi kini masih begitu cair dan gamang juga.Tak ayal lagi, beberapa puisi dalam antologi Ciuman Bibirku yang Kelabu ini menyiratkan kegelisahan Mardi Luhung sebagai musyafir yang berada pada kondisi yang rancu, satu sisi kosmologi dan mitologi Jawa pesisiran (masa lampau) tak lagi mampu menopang kehidupannya secara penuh, pada sisi lain kosmologi dan mitologi Indonesia juga belum mampu menopangnya, begitu pula kosmologi dan mitologi Barat tak begitu “terang”. Akibatnya beberapa sajak menggambarkan hasrat penyair untuk tak terikat dan membebaskan diri pada tarikan atau gravitasi sebuah kosmologi dan mitologi tertentu. Kegelisahan membebaskan diri dari tarikan kosmologi ini terekam pada baris-bari sajak berikut: ‘¦”Apa yang bisa aku baca dari reuntuhan makammu/ yang kini tinggal kakusnya itu”/‘¦. / dan dunia sana, duniamu tempo dulu/ yang berbinar oleh umbul-umbul kuda dan para/ syuhada jadi kecebong-kecobong/ yang rasanya begitu gerah untuk memetamorfosa/ apalagi memahat perjamuan antara aku dank au”/ “Pertemuan antra pencari dan yang di cari ‘¦.” (Ziarah ke Reruntuhan Makammu).

Bahkan kadang-kadang penyair merasakan ambiguitas dan paradoksalnya identitas dan kosmologi budaya yang mengikatnya selama ini. Jadilah dalam diri penyair keterbelahan menyikapi identitas dan kosmologi budaya pesisirnya sebagai sesuatu yang dicintai sekaligus sesuatu yang ingin ditinggalkannya. Kosmologi budaya pesisir sebagai kosmologi budaya lampaunya merupakan jejak moyangnya yang berubah menjadi memedi atau hantu yang selalu mengikatnya. Hal ini ditunjukkan pada sajak Bapakku Telah Pergi: Bapakku telah pergi/ menemui pembakaran/ ruang suci tempat selesaian/ tapi ekor-ekor yang ditinggalnya/ membelit tubuhku/ menciptakan jarak, yang ujungnya/ masih dipegangnya/ batasnya tak teraba/ maka jadilah itu: “Hantu”/ bapakku telah pergi, memang/ tapi hantunya itu demikian kuat/ demikian mendesak/ sampai bagian dalam tubuhku/ bergetar, berpusar, ‘¦./

Mitos dan Kontra Mitos
Berangkat dari kegamangan, bimbang dan paradoksal terhadap identitas dan kosmologi budayanya ini memaksa Mardi Luhung dalam perantauan budaya untuk mengolah, merekontruksi bahkan membongkar mitologi-mitologi lama untuk menghasilkan dan menggenggam pemikiran baru. Jadilah beberapa sajak Mardi Luhung mengangkat dan mengukuhkan suatu mitos tertentu (myth of concern) dan sekaligus pula menentang mitos tersebut (myth of freedom).

Dalam dua sajaknya berjudul Giri: Ciuman Bibirku yang Kelabu dan Malik Ibrahim mengangkat dua mitos tentang tokoh Wali yang sangat disegani dan dihormati ajarannya di Gresik, Sunan Giri dan Sunan Maulana Malik Ibrahim. Namun dua mitos ini disikapi Mardi Luihung jauh dari rasa takzim bahkan ada nada cemooh, penentangan, ironi, sinisme bahkan sarkasme.

Dalam Giri: Ciuman Bibirku yang Kelabu tokoh Sunan Giri di gambarkan sebagiai pemburu yang membawa asosiasi orang pada sosok yang kejam dan suka memburu. Sunan Giri yang perkasa, yang begitu disegani pada masa kejayaan Demak, keheroannya dipertanyakan kembali dengan sinis: “‘¦./ yang entah datang dari sisi mana, akibat peperangan/ apa, dan membela dewa dan kitab siapa? Oh, aku pun/ Cuma sanggup mengigau sambil membayangkan sebuah/ jalan-berkelok menuju keratonmu yang hilang itu‘¦”

Dalam sajak Malik Ibrahim muncul nada yang tak kalah sinisnya: “‘¦./ mencoba kembali menyentuh lipatan-lipatan kitab/ kuningmu yang berhuruf kemuning itu, kitab-kitab yang/ telah lama terkunci di mulut-asap-jingga:/ “Tapi Malik, apakah itu memang kitab ataukah cuma/ serbuk tuak ataukah cuma kemabukan biasa”/ ‘¦.”

Tak heran dari identitas dan kosmologi budaya yang pada awalnya dibanggakannya sebagai budaya pesisiran yang berbeda dengan pedalaman tetapi yang kemudian dirasakannya menjadi koyak moyak, Mardi Luhung mencoba menggenggam mitologi kosmologi baru yang berbeda sama sekali. Keinginan untuk menggenggam kosmologi yang lain dan yang baru ini nampak dalam puisi-puisinya Zion dan Restoran & Tas Ransel. Kegairahan dan semangat untuk menggenggam kosmologi baru yang sama sekali baru itu digambarkannya : “Aku punya nabi. Si orang suci yang hanya sekali marah/ Sebab, ada yang menghunus parang sambil menggertak:/ “Aku ingin mendengar langkah kaki yang bergegas/ ke gunung dan membuat bulan yang lain, orang yang lain/ dan bumi yang lain, dari asap dan kincir yang lain!”/ Selanjutnya, tiap pipi pun dirajah seperi kegirangan/ ‘¦.” (Zion); atau secara lebih ekstrem dikatakannya: Copotlah dulu gigi-palsumu, lalu ciumlah aku,/ hisaplah nafasku, hiruplah umurku, milikku,/ segalaku, sebab aku kini tak takut lagi, jika/‘¦.” (Restoran & Tas Ransel).

Dari perantaun budaya dari satu mitologi-kosmologi ke mitologi-kosmologi yang lain itu, penyair akhirnya menemukan kesadaran bahwa dalam membentuk dan menemukan kosmologi baru, tidak ada kosmologi yang mampu secara mutlak berdiri sendiri. Kosmologi baru yang akan dibentuk dan diraih sejatinya merupakan persilangan dari berbagai mitologi-kosmologi, entah itu pedalaman, pesisiran, Barat, Timur atau yang lainnya. Persilangan antar kosmologi budaya itu diungkapkannya dalam sajak berjudul Kitaran Bersilangan yang merupakan sajak terakhir pada buku antologi Ciuman Bibirku Yang Kelabu, berikut ini: Ayahku berwarna putih, ibuku berwarna hitam/ lalu aku apa? Sebutlah, dan cari dalam jisim/ yang mengudar warna dabn nasib kulit abu-abuku/ jika berdoa, apakah aku akan mengutuk atau memuja?/ percaya pada bumi atau justru menginjaknya?/ ya, dengan sepedak-yang-mengerikan, aku kitari kampungku/ ....

Keterjebakan Kreativitas
Keasyikan bemain-main dengan bahasa membuat Mardi Luhung kelewat “bernafsu” untuk tampil “berbeda dan ‘unik‘™ sehingga dalam beberapa sajak terjebak untuk sekedar menggambarkan fantasinya semata sehingga beberapa puisi tidak berbicara apa-apa hanya menyampaikan dunia ganjil yang aneh, kelebatan liar yang menghasilkan imaji anarki semata. Seperti misalnya dalam puisi Sekilat Pikiran : Pikiran mungil dalam tempurung mungil/ berdiam si aneh-besar-kelabu/ yang separuh wajahnya penuh rambut/ separuh yang lain seperti/ khusus tercetak di ceruk kursi/ racikan manis dari dahak/ mengendap di jurang matanya, tempat lewat/ setiap mayat yang akan dihantukan/ dengan kedua lengan yang gemetar/ saat terulur di ukuran sekarat-bulan-kejang/‘¦../ aroma yang tersegel dan juga disegelkan/ pada kening tebal setiap para pemuji/ pemuji yang selalu disibukkan dengan kain, benang/ kancing dan setangkup karung kasar/ ranjang bagi tengkurap dan terlentangnya:/ “Si aneh-besar-kelabu.

Saking kelewat bernafsu, Mardi Luhung juga menjadi sangat boros untuk melebih-lebihkan sesuatu atau menyatakan sesuatu yang sebenarnya sederhana. Jadilah beberapa sajaknya penuh dengan hiperbola yang menyesakkan dada pembacanya, seperti: “‘¦../ Mana ada orang-waras percaya itu?/ ada yang meledak di pasar-daging-babi!” (Pikiran Tersembunyi); “‘¦/ lalu sambil memainkan pecut, parut, dan/ pisau. Kaupun memeluki sekian pancang dan/ cerobong yang dating lewat kegelapan dan/ yang selalu mabuk/ ‘¦” (Reis), atau “‘¦selaksa gugusan dungu, yang membuat kemustahilan/ menjadi utuh, dan ingatan melulu menggigilkan jurang yang miring.”/ ( Takwil yang ke-13), akibatnya beberapa sajak itu membuat kenyang sebelum selesai mengunyahnya.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita