Maman S Mahayana
Sumber, http://mahadewa-mahadewa.blogspot.com/
Menafsir puisi, tentu saja tidak sama dengan memasukkan huruf-huruf untuk mengisi kotak-kotak kosong dalam teka-teki silang. Jika jawaban pada kotak menurun atau mendatar itu salah, maka jawaban itu akan mengganggu huruf lain yang menempati salah satu kotak pada lajur menurun atau mendatar. Menafsir puisi, juga tidak semudah menyusun kembali gambar-gambar puzzle. Jika salah satu bagian gambar itu salah letak, maka keseluruhan gambar itu akan memunculkan bagian yang nyeleneh atau nyengsol, berantakan.
Dalam tafsir puisi, tidak ada yang seratus persen tepat benar. Di sana selalu ada persediaan untuk menafsir ulang, merevisi kembali makna yang pernah dijumpai, atau membuat pemaknaan baru yang sesungguhnya juga belum pernah akan selesai. Selalu hadir berbagai peluang dan kemungkinan lain atas tafsir dan makna baru, meski larik-larik dalam teks puisi tetap yang itu-itu juga. Itulah keistimewaan puisi. Ia dibangun atas prinsip penghematan bahasa, tetapi justru dengan cara itu, ia memberi banyak kemungkinan membangun tafsir, melahirkan makna.
Bahasa puisi sejatinya memang ajaib. Di sana, dalam larik yang dibangun deretan kata yang pendek, bernas, dan pekat itu, saklar memori kita (: pembaca) kerap diganggu, dibawa pada sebuah dunia yang entah, didesakpaksa membangun asosiasi. Maka, ketika teks berjuang mengejar konteksnya, memori dan asosiasi kita serempak bergentayangan mencari cantelan. Itulah puisi. Tentu saja yang dimaksud di sini adalah puisi beneran. Deretan kata atau kalimat yang wujud dalam sejumlah larik yang dikemas lewat metafora, paradoks, citraan, atau bahasa figuratif lainnya, kerap digunakan penyair untuk mencipta sebuah dunia yang bernama puisi! Itulah puisi yang sejati—sebenar (truly) puisi! Itulah puisi yang memancarkan truismenya.
***
Membaca antologi puisi Tuhan, Aku Sendirian … karya Azwina Aziz Miraza, sungguh, saya seperti dihadapkan pada deretan kata—kalimat yang membangun larik-larik ajaib. Keajaiban itu bukan lantaran puisi-puisi dalam antologi ini sebagian besar menggunakan pola tipografi rata tengah (center). Juga bukan lantaran ada permainan enjambemen. Lalu, apa yang membuatnya ajaib?
Puisi-puisi Azwina Aziz Miraza –seperti juga kebanyakan puisi karya penyair lain—menawarkan beragam tema. Tetapi, tema apa pun yang diangkatnya, kita merasakan ada sesuatu yang sengaja dihadirkan, sekaligus juga disembunyikan. Di sana, ada ruh yang menjiwai segenap puisinya. Ruh itulah yang hadir dan mendekam dalam hampir sebagian besar puisinya. Maka, secara tematik setiap puisinya menyembulkan pesan dan makna tertentu, tetapi juga sekaligus menyembunyikan makna lain. Jadi, ada dua sisi yang seperti berlawanan, tetapi bukan sebagai kontradiksi. Kedua kutub yang saling berlawanan itu, justru sesungguhnya mengalir berkelindan. Di situlah keajaibannya. Ia membangun paradoks yang saling mengejar makna. Ia mungkin tak cukup puas menawarkan metafora, maka di sana, tersedia pula sayap lain untuk menghadirkan kata-kata bersayap.
Periksalah, misalnya, puisi yang berjudul: “Aku Bukan Gradasi!” Kesan yang muncul serempak dalam puisi itu adalah hasrat membuncah untuk menunjukkan kejatidiriannya. Jelas, di sana ada problem eksistensial yang dihadapi si aku liris. Secara lantang, ia berteriak bahwa posisinya, keberadaannya, bukanlah sekadar pelengkap. Inilah aku yang memayungi kehidupan, yang bisa pula bertindak sebagai pengayom, pelindung, pemberi—pendorong semangat.
Aku bukan sekadar gradasi yang jadi pelangi lantas mati!
Aku seperti langit yang memeluk bumi
bagai laut yang membusungkan janji
walau cuma sendiri!
Tampak di sana, problem eksistensial itu terjadi lantaran tidak (atau belum) adanya pengakuan subjek lain atas eksistensinya, keberadaannya, peranannya. Faktor itulah yang mendorongnya merasa perlu untuk menunjukkan jati diri: Inilah aku! Jadi, jika si aku liris merasa punya peran penting dalam kehidupan ini, mengapa ia tak percaya diri dan merasa perlu untuk berteriak lantang: inilah aku!
Tambahan lagi, manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial. Oleh karena itu, individuasi seseorang, justru dalam hubungannya dengan orang lain, dengan masyarakat. Di situlah keajaiban puisi itu seperti hendak menunjukkan kediriannya justru dalam kaitan dengan subjek lain, orang lain, pihak lain. Eksplisit si aku liris seperti langit yang memeluk bumi/bagai laut yang membusungkan janji/walau cuma sendiri// implisit ia bagai langit yang memerlukan bumi; laut yang memerlukan janji; sendiri yang memerlukan orang lain. Inilah yang saya maksud dua kutub yang berlawanan, tetapi tetap mengalir berkelindan. Itulah keajaiban puisi.
Cermati pula puisinya yang berjudul “Bagimu Sekadar Kata Kujaga”. Puisi ini pun sesungguhnya juga memperlihatkan problem eksistensial yang ambivalensi itu. Meski demikian, kali ini si aku lirik berhadapan dengan Tuhan yang merasa diperlukan, tetapi tokh mengapa pula ia berjalan sendiri tanpa Tuhan. Dengan begitu, dua kutub itu tidak berlawanan, bukan kontradiksi. Bagaimana kita dapat merumuskan sesuatu yang diperlukan, tetapi kemudian tidak diperlukan lantaran ia merasa dapat mengatasi sendiri persoalannya?
Hal lain yang juga terasa segar dalam puisi-puisi Azwina Aziz Miraza adalah semangatnya dalam melakukan eksploitasi bahasa. Usaha penciptaan metafora dan paradoks yang coba menghindar bentuk klise itu jadi terasa tidak sekadar asal enak dibaca melalui permainan kesamaan bunyi akhir, tetapi ia justru memberi bobot pada tema-tema yang diusungnya. Di situ pula keajaiban yang lain muncul lagi. Saya berhadapan dengan begitu banyak tema yang berhubungan dengan problem eksistensial ketika Tuhan berada entah di mana, tetapi terasa begitu dekat.
Rangkaian tema spiritualitas perhubungan manusia dengan Tuhan dalam puisi-puisi Miraza agak berbeda dengan tema sejenis yang pernah diangkat penyair lain. Sebutlah kompleks kerinduan manusia dengan Tuhan yang dapat kita telusuri pada puisi-puisi Abdul Hadi WM, Amir Hamzah, Hamzah Fansuri sampai terus ke belakang memasuki puisi-puisi para penyair sufi. Kerinduan si aku liris adalah hasrat penyatuan dengan Tuhan, manungguling kawula Gusti, harapan berjumpa dengan Tuhan di dunia keabadian, keikhlasan menerima apa pun, atau ketakjuban pada misteri Tuhan. Artinya, Tuhan ditempatkan nun jauh di sana atau diyakini begitu dekat, tetapi penuh misteri dan berada di singgasananya yang dibatasi sebuah garis tipis yang juga misterius. Tuhan menjadi sebuah misteri yang menakjubkan, sekaligus mempesona. Misteri itulah yang menghadirkan gairah rindu—bersatu dengan Tuhan meski Ia tetap sebagai misteri yang selalu gagal ketika hendak dirumuskan. Ia hanya dapat dirasakan.
Nikmat-Mu segala puji
pagi yang kuhampar
siang yang menampar
untai tasbih yang kutebar
wangi malam bagai batu yang kulontar
Puji bagi-Mu, Rindu, sunyiku bergetar
(“Badai Bumi Badai Langit”)
Puisi-puisi Miraza yang lain, justru seperti tak menggambarkan itu. Ada kerinduan pada Tuhan. Ada hasrat bercengkerama dan coba menyapa-Nya melalui kegelisahan si aku liris pada fenomena sosial. Tetapi tak ada semangat untuk berjumpa –di dunia entah. Si Aku liris seperti hendak memperlakukan Tuhan sebagai sahabat, teman bermain—bercengkerama, dan misteri yang kerap tidak dapat dipahaminya, lantaran ternyata Tuhan juga tidak dapat memecahkan problem sosial. Di sinilah uniknya.
Tentu saja spiritualitas yang terasa aneh dan nyeleneh ini, bukan tanpa risiko. Implikasinya jatuh pada suasana dan tone –gema—puisi yang dibangunnya. Saya merasakan, tone dalam puisi-puisi Miraza tidak hadir sebagai nada, melainkan sebagai gema batin dari sosok manusia yang gelisah oleh berbagai-bagai persoalan yang dijumpainya, yang bertebaran di hadapannya, dan yang tidak dapat dipecahkannya sendiri. Dengan atau tanpa Tuhan atau sesiapa pun, si aku liris tetap harus melangkah. Hutan Cahaya, bertabur warna tembaga kuning kemilau/anak-anak awan berlarian mengurung Tanya/dan aku berdiri, melangkah tanpa kau// (“Di Tubuh Batinku Tumbuh Matahari”).
Di bagian puisinya yang lain, ia memunculkan serangkaian derap mendesak yang bagai hendak berkejaran dengan Tuhan:
Ia tak kunjung datang — karena hidup sudah lewat
terhempas kodrat
padahal masih kutumpuk segala ingin
oleh hatiku dingin
Mereka telah pergi, jauh sekali tinggal sisa perih
pelik batin, cuma benih tumbuh sedih
Kuberlari mengejar pusaran Cahaya
memancar ke segala arah tapi ia tak di sana
di atas sajadah kulihat ia di sebelah
Karena hidup sudah lewat bicaralah di antara sekat
aku pun sama ketika ma’rifat
di sini aku ada dan melihat
Periksa pula puisi yang berjudul “Tuhan, Aku Sendirian!” yang kemudian dijadikan judul buku ini. Menurut hemat saya, puisi ini dapat dianggap merepresentasikan keseluruhan tema dalam antologi ini. Persahabatan dengan Tuhan dalam hubungannya dengan kehidupan sosial. Jadi, di satu sisi, ada semangat spiritualitas yang mewartakan kedekatan si aku liris dengan Tuhan, dan pada sisi yang lain, ketika ia berhadapan dengan problem sosial, ia harus bertindak sendiri, tanpa Tuhan, sebab Tuhan juga dalam kenyataannya, tidak dapat menyelesaikan urusan sosial. Ia seperti hendak mengatakan: perkara manusia harus diselesaikan oleh manusia sendiri.
Dalam konteks itu, hubungan vertikal dengan Tuhan dan hubungan horisontal dengan masyarakat, bagi si aku liris, tidak dalam makna doktrin agama tentang konsep habluminanas—habluminaallah, melainkan dalam makna profanitas. Inilah yang membedakan spiritualitas Azwina Aziz Miraza dengan para penyair sufi. Kedekatan dengan Tuhan justru digunakan sebagai spirit untuk memasuki problem sosial, dan bukan sebagai hasrat hendak menyatu dengan Tuhan: manunggaling kawula Gusti. Tuhan tetap diperlakukan sebagai misteri yang menakjubkan. Tetapi tidak untuk melupakan tanggung jawabnya atas kehidupan di sekitar. Jadi, kecintaannya pada Tuhan, bukan sebagai usaha untuk berjumpa dengan Dia, melainkan agar ada spirit menjejakkan kaki dalam kehidupan sosial.
Begitulah, kesadaran spiritualitas tentang pengalaman rohaninya dalam memaknai keberadaan Tuhan, disadari sebagai kesia-siaan jika ia ikut hanyut berdiam diri, bergeming, tanpa bertindak, tanpa berbuat. Oleh karena itu, kesadaran spiritualitas itulah yang justru seperti memaksanya berbuat dalam memaknai eksistensinya sebagai makhluk sosial. Maka, membaca puisi-puisi dalam antologi ini, saya merasakan semangat si aku liris untuk berbuat, bertindak, menunjukkan keberadaannya, eksistensinya, jati dirinya dalam hubungannya dengan kehidupan di sekitar. Maka, sebelum Tuhan turun tangan, berbuatlah selagi ada kesempatan: carpe diem! Dalam hubungan itulah, tone dalam keseluruhan puisi dalam antologi ini, laksana gema batin si aku liris berkejaran dengan Tuhan. Ia berderap, berbuat, bertindak, sebelum Tuhan turun tangan!
Bojonggede, 1 April 2008
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar