Riau Pos, 30 Maret 2003, Harian Bernas, 27 Juli 2003
Marhalim Zaini
“Kita akan bersanding, sayang. Duduk di atas pelaminan, seperti raja dan permaisuri. Daun inai yang diracik halus, akan menghiasi jemari tangan dan kaki kita dengan getah merahnya. Beras pulut, beraroma kuning kunyit, akan ditabur oleh sanak saudara di atas kepala kita, sebagai tanda, restu dan doa telah diberi. Maka hati kita pun bernyanyi, diiringi barzanji yang melantun dari mulut gadis-gadis kampung yang molek. Rampak pukulan kompang dari tangan-tangan pemuda yang belia, akan semakin menggetarkan jiwa kita, bahwa saat itu, dunia menjadi milik kita berdua. Tunggulah, sayang. Abang akan pulang….”
Bibir Suri tak pernah bisa berhenti untuk terus membaca sekeping surat lusuh di tangannya. Surat pertama yang ia terima, seminggu setelah kepergian kekasihnya, sampai kini setelah genap tujuh bulan, surat yang lain tak kunjung datang. Suri menanti, sembari terus membaca surat pertama berkali-kali. Suri menanti, sembari merasakan perutnya makin lama makin berisi. Ada bayi yang terus meronta meminta hak hidupnya dijaga. Bayi yang tak dipinta, hasil persetubuhan cinta yang liar.
“Kita harus segera menikah, sayang,” bisik Suri suatu malam yang hujan. Usai sebuah prosesi (atas nama cinta) terlunaskan. Tapi suara hujan di luar jendela, membawa pertanyaan Suri ke dasar malam. Jawaban sang kekasih hanya berupa dekapan diam dalam senyum ragu yang panjang. Dan mereka pun kembali tenggelam. Membuang jauh ingatan tentang beban kecemasan. Tentang hari esok atau lusa yang suram. Mereka tak kuasa menahan kenikmatan cinta yang terus meregang mengaliri seluruh tubuh dosa yang telanjang.
Sampai waktu begitu jenuh. Sang kekasih tiba-tiba pamit ke seberang, “Sayang, demi masa depan kita, Abang harus pergi. Mempersiapkan segala sesuatu untuk pernikahan kita. Bukankah kita harus segera menikah?” Tak ada jawaban untuk sebuah keputusan yang logis. Suri mengangguk perlahan. Meski tak bisa ditampiknya, bahwa kecemasan itu tiba-tiba menyerang. Matanya memerah menahan resah. Di hatinya hanya ada gumam, “Selamat jalan kecemasan. Selamat jalan harapan.”
Di tepian pelabuhan, Suri berdiri melambaikan tangan. Kapal berangkat meninggalkan ombak kenangan. Hempasannya menampar wajah orang-orang yang ditinggalkan. Suri tentu tak sendiri. Sebab di pelabuhan ini, setiap petang dan pagi kapal-kapal senantiasa datang dan pergi. Membawa perantau juga pelancong yang tak puas hidup hanya di satu pulau.
Maka Suri tak boleh menangis. Ia sadar, bahwa menangis hanya akan menghanyutkannya ke laut luas tak berbatas. Dan Suri khawatir ia tak bisa kembali mengendalikan diri sebagai perempuan yang tabah, layaknya para perempuan di Teluk Gambut ini, yang harus mampu hidup dengan kaki dan tangan sendiri. Suami – bagaimanapun kelak Suri harus bersuami – tak sepenuhnya sebagai tempat bergantung hidup. Paling tidak Suri, yang baru seumur jagung ini, sudah pandai menganyam tikar pandan dan menyadap karet, sebuah keahlian wajib bagi penghuni kampung yang bernama perempuan.
Suri memang tak pernah menangis. Sampai saat ini, ketika usia bayi dalam perutnya beranjak tujuh bulan, dan hanya sekeping kabar yang datang dari kekasihnya, Suri tak menangis. Pun ketika ia diam-diam suatu malam yang pekat terpaksa meninggalkan rumah orang tuanya, pergi ke hutan durian ujung kampung dan tinggal sendiri di sebuah pondok bekas, Suri tak menangis. Suri takut, jika sampai orang tuanya tahu tentang kehamilannya sebelum menikah, jelas akan menimbulkan tangis banyak orang, Suri tak mau melihat orang menangis.
Tapi orang tua Suri, sejak Suri menghilang lima bulan yang lalu pasti tak henti-hentinya menangis. Sampai kini, sewaktu Suri diketemukan orang kampung yang sedang mencari kayu bakar di hutan durian, dan dipaksa pulang ke rumah untuk dihakimi, Suri sedikit pun tak menangis. Hanya kepalanya menunduk berusaha menyembunyikan wajahnya dari rasa malu dan bersalah. Sementara Emak meraung-raung. Abah berkali-kali mengangkat tangannya hendak melayangkan tampar ke pipi Suri. Para tetangga dan sanak famili mulai bergunjing. Kampung pun seketika menjadi serupa orang Cina karam atau orang Jepang yang kalah Perang.
Pertanyaan pun bertubi-tubi menyerang Suri. Tapi Suri tak menjawab. Sebab Suri sendiri tak tahu kenapa ia sampai berbuat begitu. Awalnya, ia sangat suka kalau kekasihnya mencium bibirnya. Kemudian lama-lama ia pun menyukai sentuhan-sentuhan kekasihnya. Dan ia tak sadar bahwa kelak sentuhan-sentuhan itu berujung pada kenikmatan yang luar biasa. Sejak itu, ia menyangka bahwa itulah yang dinamakan cinta.
“Percuma Guru Murad mengajar kau ngaji setiap malam, akhirnya zina juga yang kaukerjakan. Dasar anak yang tak tau diuntung!” Semburan suara Abah berdenging di telinga Suri. Suri tertunduk semakin dalam. Suri tahu, ia telah berdosa. Dan Suri juga tahu, dosa ini begitu memalukan bagi keluarganya. Apalagi Abahnya adalah orang terpandang di kampung ini. Tapi apakah cinta adalah dosa? Suri bingung. Usianya yang masih belia, membuat pikiran Suri bercabang dua. Dosa mengantar Suri ke pintu neraka. Cinta memberi Suri kebahagiaan yang luar biasa.
“Sudah kubilang jangan sering keluar malam. Tapi kau degil. Tak pernah dengar cakap aku. Sekarang tengoklah akibatnya. Perut kau buncit, tak tahu entah siapa jantannya.” Suara Abah menyambar-nyambar serupa petir. Suri bergeming. Kepalanya sedikit pusing. Teringat kekasih di seberang. Seorang lelaki tanggung, anak Pak Selamet, kepala desa, tetangga sebelah rumah. Suri kembali bingung. Haruskah ia mengatakan siapa yang harus bertanggungjawab terhadap bayi dalam perutnya itu. Dan bagaimanakah caranya membahasakan kedalaman cintanya pada sang kekasih, kepada kedua orang tuanya. Suri memilih untuk diam.
“Suri!” Abah membentak. “Katakan siapa lelaki itu!”
Pada awalnya Suri ragu. Tapi tiba-tiba tumbuh keberanian dalam hatinya. Keberanian yang datang dari keinginan besar untuk segera dinikahkan. Suri pun perlahan mengulurkan sepucuk surat yang lusuh, yang tak pernah lepas dari genggamannya. Mata Abah menyala penuh tanya. Emak berhenti dari raungannya. Orang-orang kampung terdiam dari gunjingannya. Ada satu pertanyaan dengan seribu jawaban yang mendesak-desak dalam benak mereka. Siapakah gerangan sang jantan yang begitu berani menghamili anak tunggal orang terpandang di kampung ini?
***
Malam yang hujan. Tempiasnya leleh di kaca jendela. Ada bayang-bayang kenangan least di mata Suri yang layu. Ada bekas aroma tubuh lelaki di sekeliling dinding kamar ini. Lelaki, kekasihnya yang jauh. Lelaki yang sebentar lagi akan duduk bersanding di sampingnya. Suri rindu. Rindu yang menyala. Apalagi ketika orang tuanya justru kini merestui hubungan mereka, Suri semakin menyala. Meski sesungguhnya Suri tertanya-tanya, kenapa setelah tahu bahwa lelaki yang menghamilinya adalah anak Pak Selamet, kepala desa, tetangga sebelah rumah, semua orang terdiam. Orang tuanya pun langsung merencanakan sebuah pesta besar-besaran. Dan tak henti-hentinya tawa renyah menggelegar setiap ada pertemuan panitia pesta di rumahnya. Seakan semua riuh tangis dua hari yang lalu telah lenyap ditelan bumi.
Suri menduga, inilah keajaiban cinta itu. Kini ia semakin percaya bahwa kekuatan cinta akan mengantarkannya pada kebahagiaan yang luar biasa. Cinta rupanya mampu merubah kemurkaan menjadi kebaikan. Suri tambah yakin bahwa cintanya bukanlah dosa. Nyatanya, semua orang kini telah memberi ucapan selamat padanya. Bukankah orang yang berdosa tak bisa selamat dunia dan akhirat. Mata Suri terpejam. Meyakinkan hatinya.
Ah, malam yang hujan. Tempiasnya leleh di hati Suri. Tempias rindu yang menggelora. Ada bayangan kekasihnya muncul dari jendela. Persis serupa malam-malam yang dulu, saat kekasihnya masuk dari jendela ketika semua orang telah terlelap. Saat kekasihnya mendekap tubuhnya dalam pelukan hangat seorang lelaki. Saat pergumulan pun terjadi. Mata Suri terpejam. Menikmati ribuan gerakan bayangan yang berkelindan. Dan hujan malam itu, membawa Suri hanyut ke laut mimpi.
Mimpi yang indah. Mimpi bersanding di atas pelaminan bersama sang kekasih. Mimpi menjadi raja dan permaisuri. Mimpi beras pulut beraroma kuning kunyit ditabur di atas kepalanya. Mimpi menyaksikan aura kebahagiaan dari gadis-gadis kampung yang melantunkan barzanji. Mimpi mendengarkan rampak kompang yang ditabuh oleh pemuda-pemuda belia. Mimpi menyaksikan tatapan ribuan pasang mata bahagia dari para tamu undangan. Mimpi peluk cium sang kekasih. Mimpi…
***
Sejak peristiwa itu, hampir setiap bulannya, gadis-gadis kampung hamil sebelum menikah. Dan hampir setiap bulan pula kita dapat menyaksikan sepasang pengantin yang ganjil (sebab dalam perut pengantin perempuannya telah tersimpan seorang bayi) dengan pakaian adat kampung Teluk Gambut. Diarak di sepanjang jalan, dengan janur dan bunga manggar yang berseri-seri. Rupanya mimpi Suri telah menjadi mimpi semua pemuda dan pemudi. Mimpi yang direstui. Mimpi bersanding di atas pelaminan sebagai Pengantin Hamil.***
Yogyakarta, Akhir Maret 2003
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
26/09/08
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar