Mashuri
Kisah-kisah merupakan hal terpenting di antara apa yang dikatakan oleh para penjelajah dan para novelis tentang kawasan-kawasan asing di dunia; kisah-kisah itu juga menjadi metode masyarakat yang terjajah untuk menegaskan identitas diri mereka sendiri serta eksistensi sejarahnya sendiri (Edward Said, Culture and Imperalism, hal xiii)
Penegasan Said yang merupakan cikal bakal studi poskolonial memang mengejawantah dengan tepat pada beberapa novel Hitam, India/bekas jajahan Inggris dan novel-novel Amerika Latin. Sayangnya, jika konsepsi itu dibuat untuk membedah model novel dan idea dalam novel-novel Indonesia, dengan narasi kolonialismenya, sepertinya membentur wilayah kosong. Ada medan yang berbeda, baik dalan pengucapan, latar belakang kultur dan lainnya, terlebih Eropa yang diklaim sebagai satu wilayah budaya ternyata memiliki kebijakan kolonial yang beragam dan agak berbeda. Inilah kenapa gagasan poskolonial menjadi semacam strategi yang harus dibongkar dulu untuk melihat beberapa artefak budaya, terutama seni dan sastra, dalam bangun kebudayaan di Indonesia.
Poskolonial memang sebuah metode yang cukup brilian untuk mempertautkan antara pengetahuan dan kekuasaan. Seperti halnya pikiran-pikiran Foucault yang diruncingkan oleh Said, poskolonial menjadi cara baru kawasan bekas jajahan untuk merepresentasikan diri. Ada sebuah jarak dan pembacaan yang berbeda antara yang dijajah dan penjajah. Dari sana terkuak sebuah konstruksi kekuasaan yang melibatkan pengetahuan. Bahkan, merasuk dalam wilayah ketaksadaran.
Hanya saja, terkait dengan hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan itu, Said mengekstremkannya. Ditegaskan, hegemoni itu bermain dalam wilayah kesadaran. Ada upaya mengkontsruksi wacana ‘penjajah’ dan yang ‘dijajah’. Ada yang menghuni wilayah pusat, ada pula yang menghuni wilayah periferi dan dilemahkan.
Sementara itu, yang digagas Frantz Fanon dan penggerak kebudayaan Karibia, Aime Cesare, memberi petunjuk dengan cukup jelas tentang wacana itu. Rupa-rupa pengetahuan yang berserak yang berpusat di Barat memang diupayakan untuk dibaca dengan muatan politik. Dari sana terdapat semacam negasi dan pengukuhan kehadiran yang cukup berwatak subversif. Ternyata, sebuah kekuasaan politis, mampu memiliki pengaruh demikian kuat mencengkeram wilayah-wilayah pikiran.
Jika membaca One Hundred of Solitude, karya Gabriel Garcia Marquez, akan cepat terkenali adanya narasi-narasi pengukuhan diri itu. Segala yang berserak di Amerika Latin saat ini, di puncak keruntuhan dan ‘hilang diri’ dan ‘ingatan’-nya mendapatkan semacam notasi, untuk mengukuhkan jati diri mereka. Mereka berkisah untuk menunjukkan eksistensinya. Mereka merumuskan sejarahnya sendiri, dengan membuat sejarah lain. Jika selama ini sejarah di sana dikonstruksi Barat –dalam hal ini Spanyol—yang notabene merupakan sejarah linear, mendapatkan penolakannya dengan sebuah gagasan waktu berulir.
Hal itu pun menemukan bentuknya yang paling jelas pada beberapa penyair dan novelis generasi El Boom. Mungkin yang menjadikan proyeksi kebudayaan mereka menjadi demikian terpandang di mata dunia dan diklaim sebagai suara terfokus dari sebuah negara bekas jajahan, ada sebuah kesadaran sejarah, menerima keniscayaan penjajahan, sekaligus merumuskan kekinian dari sudut pandang dan pespektif mereka sendiri.
Seperti yang ditegaskan seorang penyair Latin dari Chili, Pablo Neruda: Orang-orang Spanyol (Barat) telah merampok emas kita, tapi kita mendapatlan emas mereka: bahasa. Kesadaran pada keniscayaan sejarah ini semakin memperkukuh mental beberapa penulis Latin untuk menfokuskan pencarian pada beberapa artefak yang masih tertingal dan belum dihancurkan penjajah, yang merupakan jejak peradaban kuno mereka: Aztec dan Maya, berupa artefak pra-kolombia.
Posisi ini tergambar dengan jelas seperti dalam One Hundred Of Solitude. Ketika penyakit lupa menggejala, mereka lupa pada nama benda-benda. Sehingga untuk memaksudkan pada sebuah benda, mereka harus menunjuknya secara langsung. Sebuah ironi memang dari kawasan yang pernah dijajah Spanyol, sebab politik penjajahan yang dilakukan di Latin adalah dengan mengubah ‘ingatan’, wilayah kesadaran hingga ketaksadaran, yang meliputi agama, bahasa dan segala artefak yang ada. Semua ingatan dihapuskan dari benak dan ketaksadaran kolektif. Kemudian nama benda-benda adalah nama dari Eropa, dan pengetahuan yang berkembang pun pengetahuan Eropa.
Kesadaran sejarah ini mendapat pembacaannya juga oleh seorang penyair Meksiko, Octavio Paz. Sebagai seorang yang mengaku sebagai peziarah modern, ia berusaha mencari sejarahnya, di antara Barat dan Timur, mendedahkan pada relung-relung peradaban, dan berusaha mengkonstruksikan kediriannya dalam kekinian dengan menegaskan bahwa Barat di akhir sejarah, dan berpaling ke timur. Timur sebagai simbol kemurnian dan awal sejarah.
Beberapa bekas jajahan Prancis di Aljazair, seperti dalam karya Camus, dan beberapa penulis Aljazair, serta beberapa penulis India, menunjukkan adalah sebuah gejala menegaskan kembali kediriannya, dengan memberikan notasi tersendiri pada pola-pola yang dikonstruksikan Barat selama penjajahan.
Dari beberapa kasus itu bukan persoalan tentang cara pandang yang dijajah dan penjajah yang penting. Bahkan di antaranya merupakan gagasan anti-imperalisme (seperti Aime Cesaire dan beberapa lainnya). Tetapi yang terpenting adalah upaya pengukuhan diri, kesadaran dan perunutan kembali pada ingatan-ingatan kolektif dalam bangun kultural.
Adapun, dalam telaah poskolonial, kaitan-kain yang selama ini tersembunyi terbalut dalam sebuah perasukan sistematis dari model pengetahuan itu memang mendapatkan porsi tersendiri. Wilayah-wilayah yang selama ini tak terpikirkan, tak terbayangkan menjadi terjangkau. Bahkan, kesadaran itu pun tumbuh. Keberadaan Timur adalah untuk mengukuhkan Barat.
Sayangnya, konsepsi ini tidak sepenuhnya bisa berlaku untuk Indonesia. Ada beberapa pengecualian yang membuat siapapun merenungkan arti kolonialisme di Indonesia. Pertanyaannya kemudian, apakah Indonesia benar-benar dijajah Barat (Belanda) dalam pengertian dalam wilayah yang mencakup penghapusan ‘ingatan-ingatan’ sehingga representasi diri dalam kekinian terpenggal dari alur sejarah?
Kontradiksi Poskolonial Indonesia
Dalam sastra Indonesia, juga diwarnai beberapa karya berupa prosa, juga puisi, yang menyoal tentang penjajahan Belanda di Indonesia. Persoalan itu ditangkap sepenuhnya dalam wacana nasionalisme. Ada upaya mengkonstruksi sebuah pandangan tentang kepahlawanan dalam sebuah bangun bangsa. Dalam hal ini memang sepenuhnya politis.
Tetapi yang perlu direnungkan, persoalan mendasar pada sastra subaltrern adalah bahasa. Ada upaya keras mengganti bahasa Inggris dengan bahasa inggris, dengan i kecil. Hal ini hanya bisa berlaku dalam beberapa negara bekas jajahan Inggris. Adapun, untuk wilayah Hindia Belanda, posisi BAHASA memang tidak segenting di beberapa ranah lain yang pernah dijajah Barat.
Hal itu karena ada perbedaan mendasar dalam kebijakan bahasa. Jika beberapa negara penjajah lain, Spanyol, Portugis, Inggris dan Perancis memandang bahwa dalam sebuah penjajahan, terutama adalah memberdayakan dan mencerahkan. Ada diktum-diktum yang mengajarkan antara ‘kita’ dengan ‘mereka’ dalam batas yang diperjelas antara beradab dan biadab. Sehingga menimbulkan semacam upaya untuk mengajar peradaban pada negara terjajah, dengan menggunakan dan merasuk dalam wilayah bahasa.
Porsi ini berbeda dalam kebijakan kolonial Belanda. Ada dinding pemisah, dengan tetap mempertahankan pribumi sebagai pribumi dan penjajah sebagai penjajah. Sehingga pemisahan ini pun juga terkait dengan bahasa. Meskipun kenyataannya terdapat beberapa kata serapan dalam bahasa Indonesia yang berasal dari Belanda, tetapi secara riil, tidak ada yang berubah dari bangun kesadaran orang Indonesia sendiri yang terkonstruksi dalam bahasa.
Dengan kata lain dapat ditegaskan, ingatan yang melingkupi wilayah ketaksadaran masih terjaga. Artefak masih juga menunjukkan bahwa masa lalu sepenuhnya masih utuh dan tidak tersentuh. Bias penjajahan hanya meliputi wilayah politis, tidak sampai mengakar pada kultur dan ideologis. Sebagai contoh, bahasa Belanda tidak pernah mengakar dan orang Indonesia masih tetap bertahan dengan keindonesiaannya (bisa dibaca dengan Jawa, Sunda, Madura, Minang, Bali dan suku-suku lain di Indonesia). Penjajah yang diandaikan mengguanakan diktum tidak pernah mendapatkan keutuhan penguasaan di Indonesia dalam arti sesungguhnya. Bahkan adanya asumsi, bahwa Belanda di Indonesia hanya sekedar berdagang, bisa jadi ada benarnya. Kondisi ini yang menjadikan wacana poskolonial di Indonesia berbeda dengan poskolonial di beberapa negara lain, semisal India, Afrika dan Amerika Latin.
Kiranya, bukan problem representasi diri terhadap wacana kolonial yang menjadi kegelisahan beberapa novel Indonesia pasca kemerdekaan. tetapi, problem tentang kiblat budaya, seperti yang digelisahkan generasi Pujangga baru, surat kepercayaan gelanggang hingga sampai pada generasi Manikebu, mungkin hingga kini.
Permakluman tentang masih ‘utuhnya’ penjaga ingatan itu dapat didapat, manakala kembali berusaha kembali membaca artefak yang ada. Ada sebuah kesinambungan yang dapat dirunut, ketika jejak-jejak itu ingin dikenang kembali dan digunakan untuk merepresentasikan kedirian bangsa, baik dalam artefak berupa peninggalan tertulis material maupun lisan.
Sayangnya, problem kesastraan kita tidak pernah membuat wujud dari karya itu dalam usaha untuk merepresentasikjan diri dalam sebuah bangun historisitas yang mencakup aspek politik, sosial dan kultur. Dari sini mulai muncul sebuah kontradiksi, antara wacana poskolonial yang terumuskan dan realitas.
Hal itu karena wacana ini memang mempersoalkan wilayah perspektif, pembedaan sudut pandang antara yang dijajah dan yang menjajah, dalam posisi antara yang dipandang dan memandang. Dengan kata lain, jika the other ada dan terekam dalam karya, itu tak lebih untuk mengukuhkan konsepsi dan keberadaan serta dominasi kolonial yang selalu saja Barat. Ini menjadi rancu manakala membaca beberapa karya sastrawan Belanda seperti yang pernah ditulis Subagyo Sastrowardoyo.
Terlepas dari itu, counter culture yang ada, jika dapat dikatakan ada terhadap kolonialisme dalam beberapa karya memberikan sedikit gambaran sejauh mana narasi kolonialisme itu mengendap dalam bangun kesadaran. Beberapa karya, semisal Kejantanan di Sumbing oleh Subagyo Sastrowardoyo, tetralogi Pramudya Ananta Toer, novel-novel Mangunwijaya dan beberapa prosa lain berkutat pada masalah humanis, konsep patriotisme dan segala hal yang sebenarnya lebih merujuk pada wilayah-wilayah politik dan bukan kultural. Seperti yang ditunjukkan pada novel anti-hero Mangunwijaya, Burung-burung Manyar dengan tokoh-tokohnya.
Perspektif Budaya Pasca Penjajahan
Jika berbicara masalah perspektif yang dalam ilmu-ilmu sosial dan metodologi penelitian menempati posisi yang penting, beberapa novel Indonesia memberikan gambaran yuang cukup brilian, terutama tentang strategi kebudayaan poskolonial. Hal ini menjadi signifikan seiring dengan beberapa polemik yang selalu berkutat tentang kiblat kebudayaan, meski kini sudah tak lagi terdengar gaungnya.
Beberapa novelis Indonesia, di antaranya memotret penjajahan Indonesia dari beberapa sudut pandang. Dari sana terdapat semacam gagasan terkait dengan strategi kebudayaan yang ‘cukup’ tepat untuk membangun kembali kebudayaan Indonesia pasca penjajahan. Dalam tetraloginya, Pram menunjukkan ‘keberpihakan’ pada model gagasan budaya yang lebih menitikberatkan pada upaya untuk membongkar feodalisme. Ia memang penganut keniscayaan sejarah, tetapi sikapnya pada wilayah primordial sendiri memang memiliki nilai lebih. Ada upaya untuk memberikan semacam ide, bahwa Barat memang lebih daripada Timur dalam satu hal.
Dalam Bumi Manusia, apa yang dilakukan Minke, pada saat ia diundang pulang sang ayah, sedangkan ia harus berjalan dengan sikap jongkok dan menunduk, menunjukkan sebuah sikap dan arogansi terhadap budaya asali. Adapun beberapa gambaran terhadap sikap Belanda memang menunjukkan adanya sebuah wacana poskolonial, tetapi tidak lurus seperti yang digagas beberapa pemikir poskol. Kehadiran Nyai Ontosoroh, Anales dan lain-lainnya, serta tiadanya penghapusan wilayah primordial –nilai-nilai tradisi-- menunjukkan bahwa tak sepenuhnya aspek-aspek yang berbau Belanda memberikan sesuatu yang sepenuhnya merugikan. Strategi yang ditawarkan pun menasbihkan harusnya ada upaya membaca kembali sisi feodalisme, dengan tidak mengesampingkan apa yang dibawa Barat yang dalam tataran materi dan pandangan pada kekinian memang menjanjikan. Ada ruh modernisme yang cukup kuat dalam novel ini.
Mangunwijaya semakin menasbihkan bahwa apa yang dimiliki bangsa Indonesia sebenarnya belum sepenuhnya tergusur. Dalam novelnya ia berupaya menghadirkan wajah-wajah manusia dalam berbagai ragam. Jika dalam beberapa hal Barat selalu diandaikan sebagai penjajah, ia menampilkan juga wajah penjajah dari negeri sendiri. Dalam trilogi Roro Mendut, ia memotret apa yang telah ada bersemayam dalam ingatan bangsa tentang pertentangan yang laten dan tak kunjung surut antara pesisir dan pedalaman, dengan diwarnai pergolakan, drama percintaan serta sebuah sikap terkadap penjajahan yang dilakukan bangsa sendiri atas nama kekuasaan dan dominasi.
Mungkin dalam Burung-burung Manyar terdapat wacana poskolonial yang mencerminkan sikap terhadap Barat. Tetapi, upayanya bukan semata-mata sebagaui budaya tanding terhadap wacana kolonial, tetapi lebih pada sebuah pembacaan dari berbagai aspek tentang penjajahan itu, terutama sisi humanisnya. Dari sini dapat dirumuskan bahwa sebenarnya ada yang berbeda dalam sudut pandang kolonial, yang dalam wilayah-wilayah nasionalisme menempati posisi ideologis dan politis.
Memang cukup sulit untuk menunjukkan bahwa adanya semacam dominasi kolonial dari sudut pandang kultural pada beberapa karya sastra Indonesia. Umumnya, wilayahnya memang sangat politis, dalam artian ada semacam ideologi tersembunyi dan terkesan kabur dalam narasi-narasi kolonialisme yang selama ini didengungkan, baik untuk jargon keutuhan bangsa atau dalam stategi kebudayaan.
Dari sini dapat ditarik semacam pembacaan tentang wacana poskolonial. Toh ia sebenarnya tidak hadir secara utuh sebagaimana adanya, lengkap dengan sederet atribut baik itu bahasa, kultur, politik dan lain-lainnya. Mungkin lebih tepatnya poskolonial di Indonesia hanya merasuki wilayah cara memandang, sebuah strategi teks yang menghadirkan sebuah perspektif, terutama posisi antara yang dipandang dan memandang. Hal itu karena artefak budaya yang ada menunjukkan bahwa bangun kebudayaan Indonesia tak sepenuhnya tercerabut dari akar dan hilang dalam lipatan sejarah. Mungkin dibutuhkan strategi tersendiri untuk menyikapi warisan tradisi dan warisan kolonial, dengan menyadari bahwa kita berada dalam persilangan budaya. (*)
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar