Radar Depok, 6/8/2017
Tak terasa sudah 8 tahun sastrawan berjuluk Burung Merak, WS Rendra meninggalkan panggung seni karena penyakit jantung koroner yang mengakhiri hidupnya. Kedukaan masih terasa saat peringatan Haul ke 8 di Bengkel Teater miliknya. Puluhan kerabat dan teman dekatnya hadir, guna mendoakan pria yang penuh dengan kontroversi semasa hidupnya tersebut.
Minggu, sekitar pukul 19.30 WIB, satu persatu sahabat dan kerabat Willibrordus Surendra Broto Rendra (W.S. Rendra) mulai berdatangan. Tampak ada Iwan Burnani, Areng Widodo, Penyair Amien Kamil, Abdullah Wong, Sastrawan Sihar Ramses Simatupang, dan Gusjur Mahesa berjalan satu-persatu menuju aula Bengkel Teater Rendra.
Tak hanya itu, Bengkel Teater Rendra yang berlokasi di Jalan Raya Cipayung, RT02/05, Kelurahan Cipayung Jaya, Kecamatan Cipayung, juga dihadiri para pengagum sastrawan yang memliki perhatian terhadap kesusahan rakyat pada zaman orde baru.
Kedatangan para tamu undangan guna melaksanakan Haul ke-8 wafatnya WS Rendra. Kegiatan ini diisi dengan membaca surat yasin dan berdoa. Kepala Kampus Bengkel Teter Rendra, Zaky Mubarok mengatakan, pelaksanaan Haul guna mengenang WS Rendra, baru perdana dilaksanakan di bengkel. Sebelumnya pelaksanaan digelar di kawasan Jakarta. “Seperti tahun lalu digelar di Taman Ismail Marzuki (TIM), jadi ini kali pertama diselenggarakan disini (Bengkel Teter Rendra),” kata pria dengan nama panggung Angin Kamajaya.
Lebih jauh Zaky mengatakan, alasan digelarnya haul di bengkel bertujuan untuk mengenang kembali jasa-jasa W.S. Rendra dalam membangun dunia sastra di Indonesia. “Selain pengajian, kegiatan juga diisi dengan berbagi pengalaman dari para senior sekaligus sahabat Rendra disaat menimba ilmu di Bengkel,” lanjutnya.
Rendra dimata para kerabatnya
Iwan Burnani merupakan salah seorang sahabat Rendra yang paling merasa kehilangan sosok pria yang sangat bijaksana tersebut. Menurut Iwan, Rendra adalah orang yang sangat berjasa terhadap hidupnya, terutama saat-saat dimana dirinya sedang terjurumus dalam lembah hitam lingkaran narkoba. “Rendra yang selamatkan hidupku dari jerat narkoba. Kalau tidak ada dia, tak tahu mungkin apakah saya masih hidup atau tidak,” kata Pendiri Teater Baling-baling tersebut.
Lebih jauh Iwan mengatakan, “WS Rendra merupakan seniman yang sangat peka terhadap kehidupan sehari-hari, dan beberapa karyanya merupakan hasil dari amatan dan pengalamannya. Karena itu, beliau (WS Rendra) dapat melihat dengan jeli, bagaimana kesusahan rakyat yang pada akhirnya dapat diluapkannya di atas panggung dengan sajak atau puisi yang sangat tajam untuk pemerintah.”
“Bahkan, ketika beliau membacakan puisi, sering mendapat larangan dari pemerintah saat itu (Orde Baru). Padahal, beliau tidak berpolitik. Beliau hanya mengkritisi kehidupan yang terjadi,” tambahnya. “Keberanian dan ketegasan itu pula yang menyebabkan beliau masuk penjara tanpa diproses hukum,” bebernya, “Wili bapak, kakak, guru, teman, ipar, serta musuh saya,” kata Iwan.
Sementara itu, menurut Areng Widodo, WS Rendra yang menamainya dengan sebutan Areng, beberapa sikapnya juga turut dipengaruhi oleh si Burung Merak. Pria dengan nama asli Widodo itu menceritakan semasa dirinya masih bersama-sama dengan WS Rendra. “Dulu saya masuk bengkel itu masih paling junior, dan saya tinggal dirumahnya Rendra, karena saya belum punya tempat tinggal saat itu,” katanya.
Widodo mengatakan, hari-hari bersama Rendra membuat dirinya kesal. Pasalnya, dirinya selalu mendapat amarah dari Rendra meskipun hanya melakukan kesalahan kecil. “Dulu saya kesal sekali denganya, misalnya saya nyapu nggak sampe kolong meja saja omelannya sangat dasyat,” katanya.
Selama dua tahun bersama W.S. Rendra selalu mendapat amarah darinya. Hingga puncaknya ia menanyakan kepada sang Burung Merak alasan dirinya terus memarahinya. “Dia bilang, kamu bukan pohon rindang serta batang pohon yang kuat, tapi kamu batang pohon yang sudah terbakar hingga jadi areng,” kata Areng menirukan suara Rendra.
Merasa tidak terima, Areng pun bertanya alasan Rendra berkata seperti itu. Hingga dirinya mendapatkan alasannya. “Areng itu banyak berguna, meskipun hitam, tapi jikalau dibakar kamu berguna,” lanjutnya menyerupai suara Rendra.
Rendra bilang, “kamu akan menghadapi tekanan yang lebih besar dari ini setelah kamu keluar dari bengkel.” Lanjut Areng, “Sehingga saya menganggap hingga saat ini Rendra-lah yang mengubah hidup saya,” tutup Areng.
W.S. Rendra lahir di Solo, 7 November 1935, dan meninggal di Depok, 6 Agustus 2009. Proses kreatifnya dimulai dari kecenderungannya menulis puisi, berlanjut ke seni teater, terus melebarkan perhatiannya kepada masalah sosial, politik, lingkungan hidup, dan kebudayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar