19/07/21

Jenius Lokal Berperahu Cadik

Grathia Pitaloka
Jurnal Nasional, 28 Sep 2008
 
Kampung halaman sangat mewarnai sastra Indonesia; bahkan jadi paradigma berpikir yang tak terpisahkan.
Pada era 1970-an, perkembangan sastra Indonesia pernah menggeliat kembali ke akar. Karya sastra yang dianggap ideal, harus memiliki muatan atau warna lokal, di mana secara simbolik dan geografik merujuk ke kampung halaman.
 
Tak banyak orang yang mampu mengeksplorasi tanah kelahirannya, untuk kemudian dirajut dalam bait-bait puisi. Dari segelintir itu, nama D Zawawi Imron layak disebut sebagai salah satu yang sempurna. “Ia menyerap simbol-simbol yang ada di Pulau Madura untuk kemudian diangkat jadi sebuah warna lokal yang unik,” kata penyair Acep Zamzam Noor kepada Jurnal Nasional, Selasa (23/9).
 
Eka Budianta menyebut Zawawi sebagai seorang jenius lokal, yang dengan pendidikan formal minim, berhasil melakukan penghayatan mendalam atas kebudayaan dan masyarakat Madura. “Berbicara mengenai Zawawi, sama artinya dengan mengulas kepribumian Indonesia,” ujar Eka.
 
Kedekatannya dengan idiom-idiom lokal membuat Zawawi dapat memaknainya secara intens dalam sajak. Tak heran, sejak awal karier kepenyairannya, ia tidak ragu untuk memasukkan lenguhan sapi, pohon siwalan, hingga saronen.
 
Realitas alam Madura ia olah secara simbolik, hingga memiliki makna luas dan universal. Rantau dan pelayaran pun tak hanya bermakna harfiah, tapi memiliki dimensi spiritual. Begitu pula daun siwalan, clurit, sapi karapan, pondok garam dan perahu cadik membentuk dimensi makna yang lebih luas bahkan kaya raya.
 
Zawawi memiliki bahasa ungkap sederhana, simetris dengan kesederhanaan kampung halamannya. Dan yang paling menarik adalah terciptanya sajak-sajak surealis, di tengah realitas alam sehari-hari, sebagai antipoda terhadap kemapanan yang ada.
 
Kebanggaan Zawawi terhadap khasanah budaya Madura, terlihat jelas pada sajak-sajaknya. Salah satu yang paling mencolok adalah puisinya yang berjudul Madura, Akulah Darahmu. “Sikapnya yang tak kenal lelah menyuarakan Madura membuatnya menjadi ‘mahal’,” kata Eka.
 
Bila musim labuh hujan tak turun
Kubasuhi kau dengan denyutku
Bila dadamu kerontang
Kubajak kau dengan tanduk logamku
Di atas bukit garam
Kunyalakan otakku
Lantaran aku adalah sapi kerapan
Yang menetas dari senyum dan airmatamu
Aku lari mengejar ombak, aku terbang memeluk bulan
Dan memetik bintang-gemintang
Di ranting-ranting roh nenekmoyangku
Di ubun langit kuucapkan sumpah:
– Madura, akulah darahmu.
 
Selain tanah kelahiran, Zawawi juga menjamah beragam tema seperti ketuhanan, sosial serta politik. “Ia menyampaikan puisi religius tidak secara formal, melainkan melalui ungkapan-ungkapan alam yang sangat murni sehingga tampak hidup,” kata Acep.
 
Zawawi juga kerap menulis tentang keterpesonaannya terhadap sebuah daerah yang dikunjunginya. Ia tidak membutuhkan waktu lama untuk beradaptasi dengan kebudayaan setempat. “Dalam setiap perjalanan, Zawawi selalu membuat puisi dan puisinya selalu berusaha menyampaikan nilai-nilai lokal,” ujar Afrizal Malna.
 
Menurut Afrizal, sajak-sajak Zawawi yang sarat muatan lokal bukan semata-mata untuk kepentingan estetika, terkadang di balik itu ada motivasi untuk diterima oleh masyarakat setempat. “Zawawi mengemas puisi sebagai sarana komunikasi,” tutur Afrizal.
 
Ketika banyak penyair yang lebih mengedepankan masalah teknis dalam membuat sebuah puisi, maka penyair berdarah Madura ini lebih mementingkan jalinan emosi yang ia bangun kata demi kata.
 
Hal itu dapat ditangkap jelas oleh Afrizal, di mana kata-kata dalam sajak Zawawi menunjukkan sebuah keterikatan emosi yang kuat. Ia berhasil meniupkan ruh kehidupan pada kata-kata sehingga tampak bernyawa. “Ia tak sekadar menulis puisi, tetapi juga mampu membangun hubungan intim dengan kata-kata,” kata penyair kelahiran Jakarta, 7 Juni 1957 ini.
 
Rumah Terpencil
 
Di tengah derasnya arus globalisasi, harus diakui kehadiran warna lokal dalam karya sastra terasa tersisih atau hanya sekadar sebagai tempelan. Penyair-penyair lebih senang memperbincangkan obrolan seputar tema-tema masyarakat urban-global. Tapi hal itu tak membuat Zawawi berpaling. Ia tetap betah tinggal dalam “rumahnya”. Rumah yang dalam imajinasinya diletakkan dalam latar belakang kebudayaan, peda laman, rumah yang asing dengan hiruk pikuk kota.
 
Zawawi nyaman memencilkan diri (alienasi) dalam ruang kecil (rumah) dalam ruang yang besar (hutan). Peta ini bisa dijawab dengan situasi-situasi yang berbeda atau berlawanan. Seperti dalam puisinya yang berjudul Rumah Terpencil (1987). Sebuah rumah terpencil di hutan Camba / tak punya tetangga / Tapi kurasa / ada daun-daun bersenyuman setiap hari // Di sini / seperti tak ada yang berangkat tua / dan sia-sia mengasah cakar atau gigi / yang mekar hanya sanubari.
 
Bila penyair lain mahir menulis puisi karena banyak membaca dan mempelajari litelatur dari luar negeri, tidak untuk Zawawi. Puisi buah tangan lelaki yang akrab disapa Pak Haji ini murni lahir dari proses pengamatan dan pengalamannya. “Berbeda dengan Sapardi atau Goenawan Mohammad yang banyak menterjemahkan sajak-sajak luar, Zawawi benar-benar seorang jenius lokal,” ujar Eka.
 
Pengamatan serta pengalaman yang matang bukan hanya menciptakan sebuah kealaman tema tetapi juga sebuah keluasan. Sehingga tak hanya pembaca berdarah Madura yang tersentuh ketika membaca puisinya, tapi juga pembaca yang berasal dari suku bangsa berbeda. “Zawawi membuat puisi sebagai alat untuk mencintai kampung halaman, bukan sekadar kesenian merajut kata-kata,” kata suami Melanie Budianta ini.
 
Dalam puisi Zawawi bahasa adalah kekayaan budaya, bukan semata-mata pemuas hasrat manusia pengagum budaya. “Sebagai seorang penyair rakyat ia tak bisa hanya dinilai dari sudut artistik, ada ceruk lebih dalam yang patut digali yaitu kecintaannya terhadap sesama manusia,” ujar pria yang pernah mengenyam pendidikan di Jurusan Kajian Kesusastraan Asia Timur itu.
 
Ada geli yang menggelitik penikmat sastra untuk kemudian tergoda membandingkan Zawawi dengan rekan sedaerahnya, Abdul Hadi W.M. Selain berasal dari daerah yang sama, keduanya sama-sama mengangkat Madura dalam karya mereka.
 
A. Teeuw pernah mengatakan bahwa Zawawi adalah seorang penyair dari Madura dengan mutu sajak yang agak kontroversial dan tak sedikit pun mendekati mutu karya-karya rekan sepulaunya, Abdul Hadi (A. Teeuw, 1989: 163).
 
Namun A.Teeuw tidak menunjukan di mana letak kelemahan puisi-puisi Zawawi dan sampai sejauh mana informasi tentang kepenyairan Zawawi sampai kepadanya. Diperkirakan penilaian A.Teeuw hanya berdasarkan karya Zawawi sampai akhir dekade 1970-an karena banyak puisinya terbit pada dekade berikutnya.
 
Padahal kepenyairan Zawawi malah berkembang dengan sangat pesat serta mendapat publikasi lebih luas justru selepas dekade 1970-an, yaitu dengan terbitnya buku puisi Bulan Tertusuk Lalang (1982), Nenekmoyangku Air Mata (1985), dan Celurit Emas (1986).
 
Mengomentari perbandingan tersebut, Afrizal berpendapat, Abdul Hadi memiliki kekuatan pada komposisi, sementara Zawawi agak keteteran di bagian itu. Tapi, lanjut dia, Zawawi memiliki metafor yang lebih unik dibanding Abdul Hadi. “Metafor Abdul Hadi merupakan warisan nilai-nilai imajisme dunia karena ia mahir berbahasa Inggris dan memiliki intelektualitas yang tinggi. Sementara Zawawi belajar dari pengamatannya sendiri sehingga pergulatan yang dialaminya jauh lebih keras,” kata Afrizal.
 
Dalam menulis puisi Afrizal melihat Zawawi menggunakan tiga formula untuk memperkuat sajak-sajaknya, yaitu: spiritual, nilai budaya lokal, serta sentuhan personal yang unik. “Seiring berjalannya waktu formula yang ia gunakan semakin memperkuat sajak-sajaknya,” ujar Afrizal.
 
Perjalanan budaya yang dilakukan oleh Zawawi memperkaya metafor dan pemahamannya tentang bahasa. “Ia memiliki metafor yang kuat, itu yang membuat sajak-sajaknya lebih kaya dibanding penyair seangkatannya,” kata penulis buku Arsitektur Hujan ini.
 
Pendapat Afrizal seolah mengamini pendapat Subagio Sastrowardoyo yang secara subyektif mengaku menyukai puisi-puisi Zawawi, meski terdapat keganjilan-keganjilan imaji yang mengurangi tenaga ucap. “Apa pun wujud puisi-puisi Zawawi saya tetap mencintainya,” kata Subagio (1989).
 
Penyair Balada
 
Afrizal memaknai imajinasi Zawawi layaknya sebuah pulau yang berjalan. Ia mengatakan, dalam puisi Zawawi terdapat percampuran berbagai nilai mulai dari agraris hingga budaya lokal. “Nilai lokal yang ia sajikan sudah bertransformasi, sehingga hadir secara terbuka,” kata lelaki yang pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini.
 
Menurut Afrizal, Zawawi merupakan seorang penyair forklore yang banyak memasukkan cerita-cerita rakyat dalam puisinya. Selain itu, ia juga memiliki kedekatan dengan dunia pesantren, maka tak heran jika sajak-sajaknya akrab dengan rumor para kyai. “Sebenarnya jika Zawawi tidak berada dalam lingkaran penyair imajis, dia akan menjadi penyair balada yang hebat,” kata penyair berdarah Minang ini.
 
Pria berkepala plontos ini mengatakan, era puisi imajis sudah selesai, sulit untuk mencetak sebuah sejarah baru. Menurut Afrizal, Zawawi akan lebih berkembang jika mau menyisir kembali kemampuannya berbalada.
 
Penulis sajak Tak Ada Anjing Dalam Rahim Ibuku ini melihat, kekuatan balada Zawawi tampak jelas pada puisinya yang berjudul Ibu : bila kasihmu ibarat samudera // sempit lautan teduh // tempatku mandi, mencuci lumut pada diri // tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh // lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku // kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan // namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu // lantaran aku tahu //engkau ibu dan aku anakmu.
 
***
http://sastra-indonesia.com/2008/10/jenius-lokal-berperahu-cadik/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita