27/06/21

GERAK PERJALANAN ESTETIK CERPEN INDONESIA

Maman S. Mahayana *
 
Cerita pendek Indonesia dalam satu dasawarsa ini, agaknya makin mengukuhkan jati dirinya. Ia tak hanya muncul seperti gelombang yang secara kuantitatif melampaui penerbitan novel dan drama, tetapi juga seperti menempatkan dalam mainstream-nya sendiri. Maka, tidak dapat lain, pembicaraan mengenai cerpen Indonesia, mesti dilekatkan pada dirinya an sich dan bukan sebagai tempelan atau sekadar pelengkap. Kini cerpen Indonesia menunjukkan jalan hidupnya yang lebih mandiri. Kajian kritis terhadapnya dan pembicaraan cerpen dalam institusi (pendidikan) sastra, oleh karena itu, mesti berada dalam kotak tersendiri.
 
Dalam konteks membangun kritik, masalah estetika merupakan salah satu wilayah garapan yang terpusat pada teks. Wilayah lainnya menyangkut pembaca, penerbit, dan pengarang. Dalam wilayah yang disebut terakhir inilah, kita berhadapan dengan berbagai hal yang menyangkut diri pengarang, termasuk di dalamnya persoalan tokoh dan ketokohan seseorang. Jadi, ketika kita berbicara mengenai seorang Sutardji Calzoum Bachri atau siapa pun, kita akan menelusuri kegelisahan kulturalnya, pencarian dan pencapaian estetik dalam ragam sastra yang dimasukinya, tempatnya yang pas dalam sejarah sastra, dan berbagai hal yang melingkarinya. Gagasan dari manakah yang menyatakan pembicaraan kepengarangan (ketokohan) seseorang dalam konteks membangun kritik (criticism) dianggap tak relevan?
 
Berdasarkan pemahaman itu, perbincangan mengenai kecerpenan siapa pun yang muncul belakangan ini justru menjadi sangat signifikan. Ia tak sekadar relevan dengan kondisi objektif lahirnya sejumlah nama dengan kegelisahan dan style yang masing-masing terasa begitu khas, tetapi juga lantaran sampai sejauh ini, cerpen Indonesia mutakhir terkesan tak punya hubungan dengan gerakan cerpen sebelumnya. Ia seperti tercerabut dari masa lalunya. Bagaimana sesungguhnya peta perjalanan cerpen kita? Belum lagi yang menyangkut gerakan estetiknya yang juga belum banyak diangkat sebagai sebuah wacana perdebatan. Jadi, diskusi soal kecerpenan itu, penting untuk memetakan perjalanan cerpen Indonesia sebagai bagian tak terpisahkan dari kesusastraan dan wilayah kebudayaan Indonesia secara keseluruhan.
 
Bagaimanapun juga, pembicaraan tokoh dan ketokohan, di dalamnya termasuk karya-karya (berikut soal estetik) yang telah dihasilkannya. Bagaimana mungkin kita membicarakan kepengarangan seorang yang tak berkarya? Jika ada perbincangan kritis atas ketokohan seseorang, konteksnya mengacu pada karya yang dihasilkannya, dan bukan pada peranan sosial yang tak berhubungan dengan kepengarangannya. Sebaliknya, pembicaraan ini menjadi tak berdasar jika secara gegabah, kita memejamkan mata terhadap dinamika cerpen Indonesia mutakhir dan menafikan semangat estetiknya. Sekadar berdiri mematung lantaran terpukau oleh estetika masa lalu, tentu saja tidak sehat bagi sebuah perkembangan. Dengan begitu, kisah sukses capaian estetik masa lalu, hendaknya tidak dalam kerangka bernostalgia, tetapi menempatkannya dalam konteks perjalanan sejarah.
 
Begitulah, untuk menatap perspektif dan berbagai kemungkinan capaian estetik cerpen Indonesia kontemporer ini, tidak dapat lain, kita mesti mencari alat ukur dan bahan pembandingnya. Dalam hubungan itu, maka perbincangan cerpen Indonesia yang muncul dalam satu dasawarsa terakhir ini tidak berarti serta-merta mengubur capaian estetik yang telah ditorehkan sebelumnya. Dengan membenamkan itu –apalagi dengan mematikannya seperti yang dilansir Hudan Hidayat—kita akan kehilangan alat komparasi. Di samping itu, mengingat adanya beberapa kesesatan dalam menempatkan kelahiran dan perjalanan cerpen Indonesia, maka perbincangan ini menjadi sangat relevan, penting, dan mendesak.
 
“Dalam catatan sejarah kesusastraan Indonesia, cerpen merupakan genre sastra yang jauh lebih muda usianya dibandingkan dengan puisi dan novel. Tonggak terpenting sejarah penulisan cerpen di Indonesia dimulai oleh cerita-cerita M. Kasim (bersama Suman Hs.) pada awal tahun 1910-an, yang memperkenalkan bentuk tulisan berupa cerita-cerita yang pendek dan lucu. Sejak saat itulah, di Indonesia mulai dikenal bentuk penulisan cerita pendek (cerpen).” Demikian salah satu bagian dari keterangan yang terdapat dalam buku Horison Sastra Indonesia 2: Kitab Cerita Pendek (2002: xiii—xiv).
 
Pandangan ini sejalan dengan gagasan yang dilontarkan Ajip Rosidi (Tjerita Pendek Indonesia, 1959) yang juga menempatkan Muhammad Kasim dan Soeman Hs sebagai perintis cerpen Indonesia. Dengan bersumberkan majalah Pandji Poestaka (1923) yang banyak memuat cerita-cerita lucu M. Kasim –belakangan diterbitkan sebagai kumpulan cerita lucu, Teman Duduk, 1936—Ajip menelusuri jejaknya dari tradisi sastra lisan penglipur lara dengan tokoh-tokoh si Kabayan, Lebai Malang, dan Jaka Dolog.
 
Itulah kesesatan serius dalam menempatkan kelahiran cerpen Indonesia. Bagaimana mungkin karya-karya M. Kasim dalam Pandji Poestaka mendahului cerita-cerita sejenis yang dimuat majalah Sri Poestaka (1918), dan majalah atau suratkabar yang terbit jauh sebelum itu, seperti Biang-lala (Batavia, 1868; dwimingguan), Sahabat Baik (Betawi, 1891; tidak teratur), Pewarta Prijaji (Semarang, 1900; bulanan), Soenda Berita (Cianjur, 1903; mingguan), Bintang Hindia (Bandung, 1903; dwimingguan), Medan Priyayi (Batavia, 1907; harian), Poetri Hindia (Betawi, 1908; dwimingguan), Bok-Tok (Surabaya, 1913; mingguan). Majalah Sahabat Baik, bahkan secara jelas mencantumkan subjudulnya seperti ini: “Hikayat, tjerita, dongeng, sjair, pantoen, dan lain-lain daripada itu.”
 
Meskipun para penulis cerita ringan dan lucu itu, sebagiannya masih menggunakan nama samaran, setidak-tidaknya cerpen Kanaiki “Trang Boelan Terkenang”, Delima “Djiwa Manis Haloes Tipoenja”, dan Rineff (Rustam Effendi) “Djoerang jang tiada dapat di djembatani” masih dapat kita lacak nama aslinya melalui karya lain atau tanggapan terhadap karya-karya itu. Pasalnya, dalam karya berikutnya atau dari tanggapan pembaca, pengarang sering kali mencantumkan nama aslinya jika ia menyinggung karya sebelumnya atau jika ia menjawab tanggapan pembaca itu.
 
Kesesatan lain terjadi lantaran hampir semua pengamat sastra Indonesia menafikan keberadaan suratkabar dan majalah. Padahal media massa ini justru menjadi bagian penting dalam sistem reproduksi karya sastra (cerpen, puisi, dan cerita bersambung). Sejak awalnya (akhir abad ke-19) sampai zaman Jepang, hampir tidak ada cerpen yang dipublikasikan langsung dalam bentuk buku. Ia muncul lewat penerbitan media massa. Dalam hal ini, cerpen tidak dapat dipisahkan dari majalah dan suratkabar. Dari sanalah, cerpen Indonesia lahir dan berkembang, dan memperoleh bentuk yang lebih jelas pada tahun 1930-an.
 
Pada zaman Jepang, cerpen menjadi makin populer ketika pemerintah pendudukan Jepang banyak menyelenggarakan lomba penulisan cerpen. Dari sejumlah cerpenis waktu itu, A.S. Hadisiswoyo, Muhammad Dimyati, Rosihan Anwar pernah memenangi lomba penulisan cerpen. Beberapa nama lain yang karyanya banyak muncul di media massa pada masa itu, antara lain, Sanusi Pane, Armijn Pane, dan D. Djokokoesoemo.
 
Pada tahun 1950-an, cerpen Indonesia makin mapan keberadaannya. Derasnya pengaruh asing, munculnya semangat kedaerahan, pudarnya dominasi pengarang Sumatra, dan terbitnya berbagai media massa –termasuk majalah Prosa dan Tjerita Pendek yang dikelola Ajip Rosidi– memberi kesempatan munculnya cerpenis dari pelosok tanah air. Bersamaan dengan itu, adanya ruang kebebasan untuk berekspresi, mendorong keberanian melakukan berbagai eksperimen.
 
Secara struktural, inovasi yang dilakukan lebih banyak menyangkut tema cerita dan tampak masih ada keterikatan pada konvensi. Dengan begitu, dilihat dari sudut gagasan yang ditawarkan, gerakan estetiknya lebih menekankan pada aspek tema. Riyono Pratikto (Api dan Si Rangka), misalnya menampilkan kisah-kisah dunia gaib yang diangkat dari cerita-cerita rakyat; Rendra (“Mungkin Parmo Kemasukan Setan”) menggugat disiplin Katolik, Ramadhan KH (“Antara Kepercayaan”) mengecam kepicikan penganut tradisional Islam dan Kristen; Pramoedya Ananta Toer (Subuh) mengangkat kepedihan lahir-batin akibat perang, dan Navis (“Robohnya Surau Kami”) meledek kepercayaan taklid. Sementara itu, Iwan Simatupang (“Lebih Hitam dari Hitam”), Sitor Situmorang (“Salju di Paris”) dan P. Sengojo (Sengkuni) mengisahkan kegelisahan dan kekacauan pikiran yang bertumpang-tindih dengan tindakan.
 
Jika sebelumnya, agama dan kepercayaan ditempatkan begitu suci dan terhormat, dalam sejumlah cerpen tahun 1950-an itu, agama tiba-tiba menjadi alat permainan. Eksplorasi pada kekacauan pikiran dan kegelisahan psikologis digunakan sebagai sarana menyampaikan eksperimen. Akibatnya, pikiran dan perasaan si tokoh tampak liar, tak terduga, dan aneh.
 
Memasuki masa Orde Baru dan terus menggelinding sampai tahun 1970-an, kondisi itu seperti berulang kembali, bahkan jauh lebih luas pengaruhnya. Putu Wijaya, Danarto, Kuntowijoyo –sekadar menyebut tiga nama—menjadi sangat menonjol dalam deretan nama cerpenis waktu itu. Teror Putu Wijaya, nafas sufistik Danarto–Kuntowijoyo seolah-olah begitu memukau dalam kemasan dunia jungkir-balik. Realitas cerpen seperti hendak dikembalikan lagi pada hakikatnya: cerita. Maka, logika formal tidak berlaku di sana. Dibanding generasi sebelumnya, cerpenis tahun 1970-an telah berhasil membangun estetikanya justru sejak awal kemunculannya. Dengan estetikanya itu, mereka tetap bertahan sampai kini. Jadi selain nafasnya panjang, juga estetika yang ditawarkannya mengakar kokoh hingga dapat bertahan lebih dari tiga dasawarsa.
 
Kita akan tetap menemukan style dan greget (estetika) yang tak jauh berbeda jika kita membandingkan cerpen Putu Wijaya (“Ini Sebuah Surat”, 1970 atau “Bom”, 1978) atau Danarto (“Godlob” atau “Armageddon”) dengan cerpen terbarunya (Putu Wijaya, “Tidak”, 1999; Danarto, “Setangkai Melati di Sayap Jibril”, 2001).
 
Kuatnya bangunan estetik cerpenis tahun 1970-an itu, memungkinkan mereka dapat bernafas panjang dan tetap bertahan di tengah bermunculannya generasi berikutnya. Kekuatan bangunan estetik ini –harus diakui— justru tak begitu tampak pada cerpenis yang oleh Korrie Layun Rampan dimasukkan ke dalam kotak Angkatan 2000. Sebelum itu, Seno Gumira Ajidarma –lewat Penembak Misterius (1993) dan Saksi Mata (1994)—memang berhasil menawarkan style jurnalistik dalam cerpen-cerpennya. Pengaruhnya juga tampak pada sejumlah cerpenis berikutnya. Tetapi beberapa cerpen terakhir Seno mulai terasa tidak sekuat karya awalnya. Apakah estetika yang dibangun Seno dapat bertahan sampai entah kapan?
 
Pertanyaan serupa sesungguhnya dapat kita ajukan kepada cerpenis mutakhir kita. Peluang ke arah sana tentu saja masih terbuka. Kurnia JR, lewat Kereta Berangkat Senja—awalnya sungguh menjanjikan. Tetapi kini keberadaannya entah di mana. Yanusa Nugroho niscaya akan dapat bertahan jika ia konsisten dengan dunia Jawa-nya. Lalu, bagaimana pula dengan Joni Ariadinata, Taufik Ikram Jamil, Oka Rusmini, Abidah el Khalieqy, Agus Noor, Hudan Hidayat, Gus tf Sakai, Herlino Soleman dan deretan nama lain yang bertaburan?
 
Sebagai cerpenis, agaknya mereka akan terus bertahan. Tetapi, berdasarkan karya yang telah mereka hasilkan, sangat mungkin banyak pula yang berguguran. Jamil, Rusmini, Sakai, jika konsisten mengeksplorasi kultur etnik, peluang bertahan tetap terbuka. Bahkan, sangat mungkin akan menghasilkan monumen jika konsistensi itu dipelihara terus. Masalah konsistensi ini juga tentu saja berlaku bagi Khalieqy –lewat pendalaman kisah-kisah sufi—jika ia ingin tetap bertahan. Sementara Noor dan terutama, Hidayat kebertahanannya bergantung pada kemampuannya menjaga kegelisahan psikis. Dan itu menuntut keduanya membongkar buku-buku Sigmund Freud, Carl G. Jung, dan teori psikologi modern. Tanpa itu, keduanya –barangkali—sekadar bertahan untuk tidak masuk degradasi.
 
Bahaya besar justru dihadapi Joni Ariadinata. Penemuan estetik yang ditawarkannya dalam Kali Mati (1999), ternyata kurang dapat dipelihara dengan baik dalam beberapa cerpennya yang kemudian (Kastil Angin Menderu, 2000; Air Kaldera, 2000). Padahal, di antara nama-nama tadi, Joni telah sangat meyakinkan membuat inovasi; menoreh bangunan estetik –yang mengingatkan kita pada salah satu klub sepakbola Italia, Chievo Verona. Jika tak berhati-hati, meski tak mengalami degradasi, paling banter ia bertahan di papan tengah.
 
Mesti diakui, sejumlah besar cerpenis Indonesia mutakhir, belum teruji oleh waktu. Mencermati karya-karya yang dihasilkannya, memang tampak seperti sebuah gerakan yang mengusung sebuah mainstream-nya sendiri. Banyak hal yang sungguh menjanjikan. Tetapi, janji tetap janji. Ia harus dibuktikan bukan janji kosong, melainkan sebuah monumen! Nah! Hanya waktu jualah yang kelak menentukan.
***

*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000). http://sastra-indonesia.com/2009/02/gerak-perjalanan-estetik-cerpen-indonesia/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita