27/03/21

ANWAR TOHARI YANG MERIAH, BURUNG KAYU YANG PASRAH

Erwin Setia *
 
/1/
Saya baru saja selesai membaca Anwar Tohari Mencari Mati karya Mahfud Ikhwan dan Burung Kayu karya Niduparas Erlang secara berurutan, dua novel yang menyenangkan untuk dibaca. Dalam catatan ini saya tidak hendak membandingkan antara dua novel tersebut. Dua novel itu dibuat dengan cara yang sama sekali berbeda sehingga memang tak cocok untuk dihadap-hadapkan. Sementara Anwar Tohari sangat cerewet dan berusaha menjangkau banyak hal, Burung Kayu ditulis dengan pilihan diksi yang ketat dan ‘sangat lokal’. Dalam Anwar Tohari kita bisa menemukan Masyumi, Ida Laila, Asmaraman S. Kho Ping Hoo, hingga HB Jassin. Sedangkan dalam Burung Kayu kita akan melulu berkutat dalam kehidupan masyarakat Mentawai di pedalaman Pulau Siberut yang diwakili oleh Saengrekerei, Aman Legeumanai, Taksilitoni, Legeumanai beserta konflik internal antar-uma maupun konflik eksternal dengan pemerintah dan modernitas. Karena keduanya memiliki perbedaan yang mencolok, cara paling pas untuk membahas keduanya adalah dengan menempatkannya di ruang masing-masing.
 
/2/
Anwar Tohari yang Meriah
 
Kita bisa berdebat apakah Anwar Tohari adalah novel yang bagus atau biasa-biasa saja atau buruk, tetapi satu hal yang sukar dibantah adalah bahwa novel ini ditulis dengan cerdik—maksud saya, ia ditulis dengan penuh pernak-pernik yang berguna sebagai pemikat untuk menarik perhatian banyak kalangan. Peminat sejarah kemungkinan bakal menyukai novel ini lantaran Anwar Tohari banyak menyinggung peristiwa-peristiwa sejarah macam konflik ’65 dan gesekan Masyumi-PKI; peminat dangdut akan tertarik karena sejumlah nama pedangdut dan lirik lagu dangdut dikutip terang-terangan dalam Anwar Tohari; begitu pula peminat topik keagamaan, sastra, silat, politik, dan penyuka novel thriller/detektif. Sebelum membaca novel ini saya heran mengapa banyak orang dari berbagai latar belakang tampak tertarik dengan novel teranyar karya Mahfud Ikhwan, tetapi setelah membacanya keheranan saya segera terjawab. Novel ini memang ditulis untuk orang banyak. Jadi, tak perlu ternganga-ngana kalau kelak banyak mahasiswa dari berbagai jurusan menjadikan novel ini sebagai bahan tugas akhir mereka.
 
Lantas, apa sebenarnya hal utama yang hendak dibahas novel ini? Itu adalah pertanyaan yang sulit. Namun, tentu kita bisa saja mengarang-ngarang jawaban atas pertanyaan tersebut sesuka kita. Novel ini bisa disebut sebagai novel mengenai lelaki yatim-piatu bernama Warto Kemplung alias Anwar Tohari yang musti berhadapan dengan anak dari salah seorang musuh lamanya. Novel ini bisa juga disebut sebagai novel yang hendak menggugat kesusastraan Indonesia (walaupun dalam hal ini penulis tampaknya malu-malu dengan tidak menggunakan ‘suaranya sendiri’, melainkan suara tokoh dalam surat Imam Widjaja). Novel ini juga dapat dicap sebagai novel yang hendak mencipta ulang sejarah. Tetapi memang paling gampang menyebut novel ini sebagai novel biografis yang mereka ulang kehidupan seorang pembual Rumbuk Randu bernama Warto Kemplung alias Anwar Tohari.
 
Selain kekayaan bahasan, hal yang berpotensi membuat novel ini disukai banyak orang adalah tempo ceritanya yang cenderung cepat dan gaya bahasanya yang lugas. Anwar Tohari juga penuh aksi sehingga dalam satu titik, ia boleh disebut memiliki unsur sinematik yang kental. Perhatikan saja adegan ketika Anwar Tohari mengatasi tiga orang bajing loncat di atas truk, Anwar Tohari bertarung melawan “Ndan”, dan momen saat Mustofa diculik dan disekap oleh Hendro. Satu-satunya hal menyebalkan—kalau boleh dibilang demikian—adalah novel ini diakhiri dengan penutup yang gantung (dan kita tahu apa tujuan penutup semacam itu, ya, tak salah lagi, novel ini akan memiliki lanjutan).
 
/3/
Burung Kayu yang Pasrah
 
Novel ini penuh dengan istilah-istilah lokal, yang hanya dimiringkan tanpa dibubuhi keterangan dalam catatan kaki. Konon teknik semacam itu adalah teknik yang mengagumkan sehingga banyak pembaca memuji keberanian Niduparas Erlang—selaku penulis Burung Kayu—meniadakan catatan kaki. Berulang-ulang kita menemukan istilah ‘uma’, ‘tuddukat’, ‘sikerei’, ‘barasi’, ‘situri’ sepanjang Burung Kayu tanpa benar-benar tahu apa artinya. Memang perlu keterampilan khusus menerapkan teknik semacam itu, tapi pujian berlebihan atas poin itu rawan membuat kita menganggap bahwa novel yang baik adalah novel tanpa catatan kaki. Keberadaan catatan kaki, catatan tangan, catatan punggung, atau catatan apa pun hanyalah satu dari pelbagai segi suatu karya. Jadi, kalau suatu karya memiliki keunggulan (hmm, apakah hal semacam itu betul-betul suatu keunggulan?) dalam sisi itu, hendaklah tak usah dipuji secara berlebihan, sebab berlebih-lebihan adalah perbuatan tercela...
 
Terlepas dari ketiadaan catatan kaki, novel ini layak diapresiasi karena ia terlihat ditulis dengan penuh kesungguhan. Tentu tidak gampang menggambarkan kehidupan suatu kelompok masyarakat tertentu dengan cara yang jujur, detail, dan tidak tendensius. Penggunaan banyak istilah lokal sepanjang novel juga mustahil dilakukan kecuali oleh orang yang sudah mempelajari bahasa dan adat daerah terkait dengan telaten. Muatan antropologis dan etnografis yang terkandung dalam Burung Kayu menjadi keunggulan tersendiri. Namun, tepat di titik itulah novel ini terlihat tidak lepas dalam menggambarkan tokoh-tokohnya, seolah-olah sang penulis takut akan terjebak dalam kesalahpahaman terhadap tokoh-tokoh yang diceritakannya. Umpamanya saat menuturkan kisah hidup Legeumanai (anak dari Aman Legeumanai, tokoh yang mati karena jatuh dari pohon katuka saat hendak meletakkan burung kayu di pucuknya). Sejak kanak-kanak, sejak Legeumanai menyaksikan ayahnya mati di depan matanya sampai ia tumbuh dewasa, Legeumanai digambarkan sangat polos dan tanpa perlawanan. Ia begitu gampang berpindah agama (terlepas apa pun alasannya) dan berganti komitmen (diminta sekolah menurut, diminta jadi sikerei pun menurut). Legeumanai bagai hidup tanpa kehendak pribadi dan itu membuat saya jatuh iba kepadanya.
 
Bai Legeumanai atawa Taksilitoni pun demikian. Ia tidak dapat berbuat banyak atas segala nasib yang menimpanya. Hanya Saengrekerei yang digambarkan memiliki daya lebih. Ia bisa lari dari uma-nya ketika keadaan sudah tak berpihak kepadanya. Ia juga ditunjuk menjadi kepala desa sehingga menjadi orang yang dituakan di antara para warga di barasi. Namun, bahkan dalam posisi sebagai kepala desa pun Saengrekerei tetap tak kokoh-kokoh amat. Warganya pernah mendatangi kantornya dan menuduhnya telah menyelundupkan bantuan dari pemerintah. Dalam adegan itu, walau Saengrekerei digambarkan tetap tenang dan berani, posisinya melemah dan mendekati kepasrahan. Saat tokoh-tokoh dalam Burung Kayu berhadapan dengan pemerintah dan orang luar, mereka juga selalu dalam posisi submisif alias kalah. Kepasrahan tokoh-tokoh dalam Burung Kayu membuat saya merasa novel ini tak ada bedanya dengan banyak novel lain yang melulu menjadikan orang-orang suku tertentu sebagai objek cerita, yang hanya menjadi karakter cerita tanpa pernah benar-benar memiliki kuasa dan kekuatan. Sekalipun tokoh-tokoh itu memiliki daya dan kehendak untuk melawan, mereka selalu kalah. Apakah tokoh-tokoh tersebut memang selemah itu ataukah para penulis kita yang tak memiliki keberanian ‘menghidupkan’ tokoh-tokoh yang (dianggap) lemah tersebut? Bukankah tokoh-tokoh dalam ‘kehidupan nyata’ dan tokoh-tokoh dalam karya sastra adalah dua entitas yang berbeda? Kenapa yang lemah harus senantiasa digambarkan lemah? Kenapa burung kayu yang magis yang gagal dipasang Aman Legeumanai di pucuk pohon katuka malah menjadi burung kayu ‘cenderamata’ belaka?
***
 
*) Erwin Setia lahir tahun 1998. Penikmat puisi dan prosa. Kini menempuh pendidikan di Prodi Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di berbagai media seperti Koran Tempo, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Minggu Pagi, Solopos, Haluan, Koran Merapi, Padang Ekspres, dan Detik.com. Cerpennya terhimpun dalam Dosa di Hutan Terlarang (2018). Bisa dihubungi di Instagram @erwinsetia14. Blognya: setelahmembaca.wordpress.com
 
NB: Terima kasih kepada Muhammad Nanda Fauzan yang sudah memberikan saya novel Anwar Tohari Mencari Mati dan Burung Kayu secara cuma-cuma. Semoga antum panjang usia dan panjang jenggot! http://sastra-indonesia.com/2021/03/anwar-tohari-yang-meriah-burung-kayu-yang-pasrah/

Terkait: http://sastra-indonesia.com/2021/03/seorang-pembual-menggugat-ekosistem-sastra-indonesia/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita