Dan Waktu Seperti Tertidur
Waktu seperti kasir yang sibuk menghitung
perniagaan kita sehari-hari rugi dan untung
Kita bandar besar, kapal dagang dan kapal barakan
berlabuh di dermaganya. Di gerbang, pengemis dan
pelacur menunggu keajaiban datang.
Lonceng berdentang. Dupa dan korban barakan
dihidang di atas altar. Mayat gelandangan tergeletak
di trotoar. Pemabuk menyintir khotbah para pembesar:
Kita tak boleh merugi. Rakyat harus dilecut berkali-kali!
Waktu lelah. Wajahnya kuyu seperti kurang tidur
dan catatannya kotor, terkena tinta luntur.
Kita kubah dan balkon istana. Tambur dan terompet
berkali-kali bergema di sana. Di alun-alun, penjaja buah
dari negeri asing beradu mulut dengan penjual minuman.
Menerka hujan datang tak sesuai musim.
Sekawan burung vultur berkerumun. Barangkali
ada sisa makanan di dekat dapur. Seekor anjing
melintasi pemakaman, habis menggali belulang.
Dan waktu seperti tertidur. Di sudut kafetaria,
seseorang tampak terpekur. Ada hal-hal yang
belum selesai dia bilang; awan itu biru atau gelap,
dan bayang siapa lenyap pada pintu berwarna
pucat, di sebelah kios penjual jamur.
2013
Piano
Kurasa, kau tak akan pernah menduga
apa yang kurasakan saat jemarimu menyentuh.
Aku seperti tangga kecil panjang, merah menyala.
Kau adalah deretan rumah berwarna teduh,
yang membagi dunia dengan tiga lapisan:
awan mendung, pegunungan berwarna pucat,
dan padang pasir dengan benda-benda seperti logam
bertebaran dalam waktu yang semakin larat.
Kurasa, kau tak akan pernah mengerti
apa yang kuinginkan ketika angin mengukir
jejaknya di atas pasir, pada rumput teki
yang sejumput-jumputnya di sela-sela pasir.
Aku piano dengan ruang gema terbuka,
kau daun-daun hijau yang mendesak ke langit,
mengundang burung-burung – bahkan jika
mungkin – hujan yang bergulung begitu sengit.
Hanya kali ini, aku tak ingin kau menebak. Kubiarkan
kau duduk dengan jenak, sementara ada yang terbang
lebih tinggi daripada burung dan jatuh lebih debam
daripada hujan. Semacam jarak yang kian merapat.
Lalu habis suara.
2013
Dilarang Membanting Pintu
Perjalananmu begitu jauh. Dipayungi deretan tiang listrik
dan pemandangan gurun yang kian terik.
Kanopi pepohonan di sekitar atap rumah kita tetap rimbun,
bahkan ketika kau pulang setelah mengembara bertahun-tahun.
Hanya satu yang aku kuatirkan. Bukit ini masih sakit.
Gerowok besar menyisakan dinding penopang sedikit.
Kalau nanti kau datang kembali, berjalanlah memutar.
Jangan lewat dekat sumur. Tali timba itu tak panjang benar.
Aku kini kesulitan mengambil air. Dasar sumur itu jauh
dan gelap. Seperti perkiraan harapan yang bakal runtuh.
Hanya ada jembatan kecil dekat gurun.
Tempat dulu kita pernah memungut sehelai daun.
Dan menuliskan harapan akan hujan.
Perjalanan dari satu ke lain daratan.
Seperti bunyi guruh dan awan mendung yang datang.
Kau mendengarnya? Kukira hanya suara derit mengambang,
Setelah cahaya itu mencair dan jatuh.
Menimpa sesuatu yang angkuh dan lumuh.
Pintu yang terbuka separuh.
2013
Apel Kedua
(1)
Kalau aku terjatuh, bukan karena
kau rapuh, atau tak tabah pada
hal-hal yang membuatmu melepaskan aku.
Kau tetaplah pokok yang teguh
dan kurasa begitu teduh, daun-daunmu
lebih dulu mengantarku pada kejatuhan ini.
Aku setia pada yang ranum, juga yang alum,
seperti sepasang kekasih yang sama-sama maklum
pada sebuah perpisahan.
(2)
Aku tak pernah berjanji, selain memberi bebiji.
Kubiarkan dagingku hancur dan berjamur,
hingga selalu ada perdu yang bersemi.
Perdu yang berulang kali diceritakan di ambang
tidur kanak, yang digemari oleh ternak, dan
pada sebuah taman, dijagai beludak.
(3)
Kalau aku terjatuh,
anggaplah sebagai bagian
dari mimpimu saja.
Dan kau hanya akan
mengingat sebuah kisah
yang mengekalkan
tidur tadi malam.
2013
Berlayar di Langit
–Ahmad Yulden Erwin
Di tangan Kush, kapal berlayar
di tengah meja. Taplak putih,
tak berbuih. Kayu keras datar.
Di mata Paz, dermaga adalah tubuh,
melengkung dalam diri. Kau,
penyeberang yang bimbang. Sungguh.
Tapi, tak ada kapal berlayar di
langit. Hanya burung-burung hitam
dalam sangkar mirip kepala seseorang
tengan membaca puisi. Dunia sepi.
Penyair dan pelukis sama-sama diam.
Di kepala meraka, malam berenang.
Ombak adalah tangan terentang,
dan ikan-ikan seperti burung balam,
duduk meratapi seseorang yang mati.
Yang wajahnya tercetak pada uang
kertas, di atas meja loket, di mana
seseorang seperti engkau mengantri
saat keberangkatan.
2013
Sebelum Kita Tertidur
Kau memulai dongeng malam ini dengan
pertanyaan, “Sudahkah kau mencuci tangan?”
Aku jadi teringat Pilatus. Dia yang mencuci
tangannya sambil berkata, “Itu urusan kamu sendiri!”
Sebelum kita tertidur, selalu saja ada cerita
bahwa tubuh seperti rumah ibadah di mana
kita tak boleh meniagakan atau menganggapnya
tempat sampah. Dan kau menyanggah, “Mengapa
di lengan kirimu kau rajah simbol derita?”
Bagiku, tidur dan mimpi hanyalah cerita
yang tercipta dari derita sepanjang hari,
sedang kau menganggap semuanya
sebagai harapan akan hal-hal baik, yang belum terjadi.
Karena itu, kau akan mengamini kalimat
di setiap akhir doa yang kita panjatkan
bersama sebelum mata kita merapat
lalu mengalirlah cerita tentang malam
di sebuah taman, di dekat pohon, di mana
Kristus berdoa dan berpeluh, sementara murid-muridnya
tertidur, sedangkan Ia berkata, “Berjaga-jagalah!”
Sebab tidur adalah berjaga dari kemungkinan
mimpi buruk. Dari hal yang kita rasakan begitu teruk.
Maka sebelum kita tidur, kukatakan
apa yang kupikirkan sebagai cerita, teruntuk
kau saja. Ya. Kau saja.
2013
Dedy Tri Riyadi lahir di Tegal, Jawa Tengah, dan kini tinggal di Jakarta. Ia bergabung di Paguyuban Sastra Rabu Malam (PaSaR Malam). Buku puisinya adalah Gelembung (2011). https://puisikompas.wordpress.com/2013/07/16/puisi-dedy-tri-riyadi-2/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar