Zehan Zareez
Sebagai laki-laki tulen, saya sering dituduh feminim,
melankolis, lebay, cengeng atau masih banyak yang jauh lebih sadis dari itu,
jika sedang berhadapan dengan permasalahan selera film. Padahal, secara
psikologis, saya merasa normal-normal saja. Serius! Dan laki-laki yang tidak
begitu tertarik dengan 'action movie' pun serial horor (menurut saya) adalah wajar,
dan sama sekali tidak mempengaruhi kadar kualitas kelelakiannya.
Jujur saja, sejak awal masa pubertas, saya gandrung akut
dengan film-film romantis produk lokal -- baik itu kategori film bioskop
Indonesia, sinema FTV atau lainnya. Pokoknya 'romance'. Dan kegemaran itu
berlarut sampai hari ini. Sebagus apa pun 'Fast n Farious', Bruce Lee, KL
Gangster -- dalam benak saya, syahwatnya masih kalah dengan film-film romantis
lokal seperti; ojol cinta, teman tapi menikah, relationshit, pura-pura culun,
anak bos jadi karyawan, polisi ganteng, cintaku nemplok di supir bajaj,
kecantol cinta selebgram, biker cantik bikin baper, rentenir cinta, hastag
moveone aja, modus, doremi and you, dancing in the rain, kukejar cinta sampai
pengkolan, mariposa, pembalap berhijab, assalamualaikum calon imam, toko barang
mantan, dan masih banyak lagi yang lain tentunya.
Sampai musim corona ini, saya malah belum pernah jatuh
cinta pada film asing apa pun sejak kecil, kecuali hanya pada 1 film yang
pernah tertonton di sekitar tahun 2012, yaitu; 'Le Grand Voyage', yang di
dalamnya mengisah perjalanan haji jalur darat oleh seorang ayah dan anak dengan
klimaks poinnya pada penyadaran nurani si anak selepas ayahnya meninggal tepat
di Kota Makkah saat pertengahan menjalankan ibadah haji. Itu saja. Belum ada
lagi film asing lain yang membuat benar-benar 'klik' di hati.
Banyak memang pertanyaan terkait alasan kenapa saya lebih
memilih suka genre lokal romantis. Adalah ya karena suka saja. Tidak tahu juga.
Subjektif banget memang. Saya tidak akan angkat bicara perihal originalitas
pengisahan, kecintaan produk dalam negeri dlsb. Seluruh film pada dasarnya sama
saja; sama-sama hadir dengan unsur manipulatif. Sebagus dan se-asli apa pun ide
cerita yang diangkat. Kita tentu tidak bisa lepas dari mengembalikan pada
tujuan dibuatnya film itu sendiri, yang dalam hal ini adalah; sebagai seni
pertunjukan / tontonan (digital) -- atau lebih umum dari itu; bersifat hiburan.
Intinya adalah menghibur. Pahamkan? Jadi, untuk apa
memaksakan diri menikmati film-film yang bagi saya kurang bisa menghibur hati.
Saya bisa saja seharian penuh nonton film aksi, film horor, film barat yang
ber-subtittle atau film-film yang menurut khalayak termasuk film keren,
recomended dan gengsiable. Tapi jika hati kurang 'klik', tentu akan semakin
jauh dari tujuan menonton -- seperti yang saya sebutkan di atas tadi kan? Ogah.
Toh, mati-matian ngurusin gengsi hanya karena beda selera juga buat apa.
Malu? Tidak juga. Saya justru bangga. Minimal, saya
belajar teguh diri. Tidak 'macho' untuk urusan selera film tidak masalah. Kalau
pun toh harus benar-benar menurunkan standar selera hati terhadap tontonan,
saya akan memilih genre komedi, itu pun yang lokal.
Istri saya juga suka banget nonton film. Suka banget.
Bahkan selera kami beda jauh. Selain drakor, dia gelit di 'action movie'.
Adegan tembak-tembakan, perang-perangan dan geng-geng heroik sudah jadi sarapan
lahap bagi wanita penghidang kopi pagi terbaik versi lidah saya ini. Sekali dua
kali saya menemaninya nonton film-film yang disukai, meskipun saya juga sering
tidak paham dengan alur yang diangkat. Hal seperti ini bukan semata saya
menghianati hati sendiri dengan terpaksa nonton film yang kurang sesuai selera.
Bukan munafik! Bukannya tidak jujur! Atau sok macho! Bukan. Menemani istri
melakukan hal-hal yang disukainya adalah lebih dari ngurusin gengsi dan selera.
Ini urusannya dengan sakinah. Dan harus dilakukan.
***
Nah, hari-hari ini kami berdua sudah koleksi banyak film
sesuai selera masing-masing. Tersimpan rapi di folder-folder pribadi yang kapan
saja bisa diputar. Puluhan film lokal romance sudah ada di katalog saya. Istri
juga sudah punya 6 sampai 7 judul drama korea yang disukai, dengan
masing-masingnya kurang lebih ada 16 seri. Bahkan dia sudah menguasai kamar
sejak beberapa hari yang lalu. TV, remote, video player semuanya lengkap
disulap jadi budaknya. Saya pun banting cari tempat menonton terbaik, yaitu
ruang tamu. Kami memang seatap, namun tak seruang. Serumah namun tak sekamar.
Se-surga namun tak sebilik. Tapi, kami sangat baik-baik saja. Ini hanya dalam
rangka melabuhkan hidangan selera mata. Kalau sudah lelah, pasti saya yang ke
kamar. Saya yang ngalah. Ini pun demi mengatur skala skenario rindu. Kami
berdua sudah punya cinta. Tinggal pola mengatur rindunya yang musti
dikalkulasi. Perjumpaan dua rindu akan semakin romantis, jika ada jarak yang
diciptakan sebelumnya. Bukan begitu?
Terlalu menghamburkan cinta akan menyebabkan rindu piatu.
Tanpa dididik, rindu akan menjadi gelandangan.
13 April 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar