25/11/11

Hanya Bisa Meratap

Ahmad Zaini*
http://sastra-indonesia.com/

Di depan rumah, Mbah Sanusi duduk sambil menghisap rokok. Dari mulutnya keluar kepulan asap membumbung menerpa atap rumahnya. Seketika asapnya menghilang bersama hembusan angin yang lewat pada siang hari. Tubuh kurus yang terbalut seragam veteran disandarkan pada kursi goyang peninggalan orang tuanya sewaktu zaman penjajahan. Di sebelah kanan seragam dinasnya tersemat lencana veteran yang dikenakan setiap peringatan hari pahlawan.

KAMU TAK SENTUH AKU

Kirana Kejora
http://sastra-indonesia.com/

Mengalir Saja

Aku sungguh, benar-benar nggak bisa menyambut pagi ini dengan sunggingan senyum. Jengah dengan diriku yang terus mengkultuskan Raja. Aku jengkel sekali dengan cinta yang terus tumbuh, merambati nadiku, menghela bayangnya sepanjang saat. Aku benci dengan semua kebodohan ini Tuhan. Dia selalu tak pernah mengerti, aku mencintainya lebih dari yang dia tahu. Hanya karena ruang, jarak, dan waktu yang sering tak bersahabat menemui kami, maka aku ingin bunuh rasa itu. Kalau sudah begini, aku jadi ingat lagi kata-kata sok taunya Rindu beberapa hari yang lalu.

”Jangan bodoh banget jadi sephia Key. Jelas dia udah nggak pernah lagi telpon, kamu sudah tiga kali ke Jakarta, dia cuek-cuek aja. Meeting, sibuk, bla-bla, klise banget alasannya.”
Aku saat itu dongkol sekali mendengar kalimat apriori Rindu tentang keraguan cinta Raja padaku.

”Emang dia sibuk banget kok, nyiapin international oil and gas conference and exhibition kemarin. Anak buahnya yang kasih tahu aku…”
”Eh Key, sebagai sahabat, aku hanya bisa kasih saran…kamu mau ulangi lagi kebodohan dengan begitu mengkultuskannya? Nggak inget cerita kamu ama Rio? Lelaki tuh semua buaya sayangku.”
Di-jawil dengan gemes daguku dengan tangan usilnya.

Aku memang merasa dungu banget karena kisah-kisah romanku yang selalu carut marut. Kata orang-orang aku jago banget menulis fiksi roman, namun hingga usiaku dua puluh sembilan tahun ini, romanku selalu berantakan. Penulis memang hanya penghayal cinta pemimpi surga. Begitu jawabku tiap kali ada temen-temen yang meledekku. Sebuah alasan yang sebenarnya juga berat banget buat aku jadikan pembelaan atasku, tapi mau bagaimana lagi.

Jemariku tak tergerak buat menulisi monitor notebook-ku, sakit otakku kambuh lagi, error lagi. Mimikku mungkin begitu nampak bodoh jika aku bercermin saat itu. Mata kosong tak bernyawa, dan acak-acakan habis rambut panjang ikalku, belum lagi, bau banget nih badan karena, tubuhku belum tersentuh air sejak aku bangun jam sembilan tadi, tiga jam yang lalu. Males parah! Minggu kelabu, Sabtu kelam, dasar bego abis. Ngerasa nggak jomblo, punya pacar, tetapi jauh dan milik orang pula.

Kulihat lagi inbox di telpon genggamku, SMS terakhir Raja seminggu lalu.
”Key, hati-hati kalau SMS, aku lagi di rumah.”
Nasib-nasib, jadi sephia memang selalu siap buat dinomorduakan. Cukup pendek, singkat, padat SMS-nya. Jauh, jauh banget dengan SMS-SMS dia sembilan bulan yang lalu, saat berjuang keras meluluhlantakkan tembok kengerianku akan sebuah cinta.
”Huuuh! Setelah aku larut…dia begitu saja mengecilkan masalah-masalahku. Namanya pacar, ya pinginlah share dan sayang-sayangan…geblek-geblek aku nih. Tapi masih sulit juga pindah ke lain hati…mbuh wis!”

Rutukku dalam hati, sambil nggak terasa jariku mengklik program mIRC, tiba-tiba aku chating!
Bodo ah! Aku pusing banget, bukuku tinggal 10% aja, tiba-tiba bad mood, otakku masih mentok buat berimajinasi, padahal minggu depan aku harus ke Jakarta buat presentasi buku kedua ini ke penerbit, major label, Graha. Dasar bengal dan dodol kali, aku nekad aja iseng chating. Ngawur, ku pakai nickname Sephia_cantik, biarin ah narsis.

”Hay.”
Aku masih datar aja menyambut sapaan nickname 33_handsome.
”Hay juga, eh sesama narsis dilarang saling bercinta.”
Cuek aja aku menjawab chating iseng ini.
”Lagi di mana? nggak keluar minggu gini?”
”Suka-suka gue dong, mau tahu aja. Eh elo narsis banget ya, ngaku-ngaku handsome.”
”Kamu juga, ngaku-ngaku cantik.”
”Yeee emang gue cantik…liat tuh di Friendster gue!”
Dongkol hatiku lihat kalimat-kalimat dia yang ngeledek banget. Enak aja, sembarangan ngomong. Padahal gue juga ngeledek dia, ah biarin aja.
”Ah di Friendster bisa juga bohong, belum tentu tuh pic kamu.”
Nggak tahu kenapa. Dadaku jadi sesek banget, nih orang nambah gue suntuk aja.
”Heh denger ya, gue nggak pernah bohong, fair ama sapapun. Nggak kayak banyakan orang yang nggak pede banget penampakan walau cuman lewat pic, dunia cyber emang banyak semunya, tapi gue nggak!”
”Lho? Marah? Mau ngebuktiin?”
Tambah bengal nih orang ya, aku makin keras menekan tuts keyboard notebook.
”Ok! Gue terima tantangan elo! Sore ini kita ketemu! Gue juga pingin tau elo!”
”Sapa takut sayang? Kita ketemu dimana? Aku nggak tahu Surabaya, maklum aku tim dari pusat yang ditugaskan buat riset lumpur say. Ini lagi bete banget, gimana kalau kamu ke Sunrise apartement aja?”

”Ih, enak aja, emang gue paan pake nyamperin-nyemperin, nggak lah yao!”
”Duh say… Karena aku harus pantau lapangan, setiap saat aku nggak bisa ninggalin Sunrise, kantorku di sana juga, please.”

Karena sudah muncul keinginanku buat ngebuktikan gimana dia, ngalir aja aku menjawab dan mengiyakan pertemuan kami. Nggak tahu juga kenapa, aku merasa harus ketemu dia. Melupakan SMS Pasha dari Graha tadi pagi tentang bukuku. Ah sebodo amat, kalo lagi bad mood ya tetep aja kosong nih otak, batinku protes.
”Ok gue kesana! Awas bohong! Kalau bohong, elo harus beli novel gue 10 kali lipat! Nih HP gue?! Ntar elo miss call.”
”Hey…jadi kamu penulis? hmm great! Ok say aku tunggu kamu sekarang.”
Setelah dia miss call, aku save nomor telpon genggamnya. Dasar kali lagi mabok nih otak, segera aku matiin notebook dan mandi setelah sebelumnya aku telpon taxi.
***

Terduduk Terkesiap

”Udah nyampe mana sephia cute?”
Huuh, tambah kesal nih ati, ngejek bener nih orang.
”Dah masuk lobby.”
”Wait five minutes ok.”
Aku memasuki lobby dan duduk di sofa sudut. Sengaja kupilih tempat yang agak tertutup, aku pingin tahu dulu gimana dia.
Lima menit, sepuluh menit aku menunggu, dasar buaya, aku memilih cabut. Saat aku berdiri ada sapaan di belakangku. Shit! Dia ternyata lebih canggih menjebakku duluan.

”Sephia cantik…”
Aku segera menengok ke arah suaranya, dengan mataku yang siap melahap habis wajahnya. Tetapi, sunggingan senyum dari bibirnya yang membelah, membuat tenggorokanku tercekat, bagai ada ribuan duri tajam yang tertanam di dalamnya, saat wajahku yang sangat kecut tertatap mata elangnya. Duh, ternyata dia handsome habis!

”Lho kok diem ya, jabat salam dulu dong.”
Aku sadar akan kegoblokanku kali ini, aku segera menjabat tangannya. Lalu dia mengajakku duduk kembali.
”Mana novelnya?”
Dengan wajah yang sangat cukup blingsatan, memalukan banget, aku membuka tas dan mengeluarkan novelku.
”Lumayan juga buku kamu, bagus covernya, keren, eksotik. Kalau isinya sama nggak kayak penulisnya?”
Tiba-tiba ada keberanianku menatap matanya. Aku merasa dia terus mengejekku.
”Ya udah, aku balik, dah cukup pembuktian kita kahn?!”
Lalu tiba-tiba dipegangnya dengan kuat jemari tangan kananku yang berlenggang di depannya.

”Hey, jangan gitu ah, maafin aku ya. Kamu kan tamuku, minum teh di cafe dan ngobrol-ngobrol dulu ok?”
Tahu kenapa, aku nurut aja saat tanganku digandeng dan diajaknya masuk The Candle cafe. Kemudian kami duduk di sudut belakang cafe.
”Aku lagi jenuh aja, maaf ya jadi ngerjain kamu. Maklum setiap hari aku harus stand by buat memantau perkembangan lumpur. Satu bulan ini, setiap hari kerjaanku baru selesai jam tiga pagi. Capek aja pikiran dan hati, makanya tadi iseng aja aku chating di mIRC pake nickname itu say…”
Hmmm… jadi curhat nih ceritanya? Batinku, egp, emang gue pikiran apa. Duh tapi matanya dan bibirnya itu rek, napa aku jadi nggak punya daya buat bicara ya?

”Lagi nulis apa sekarang? Eh namamu say? aku Byan.”
”Panggil aja Key.”
Jawabku datar dan pendek. Tapi dia memang begitu pintar, melarutkan keangkuhanku dengan obrolan-obrolan ringan tapi menarik buat terus kusimak. Tapi napa aku mesti kagumi dia ya, duh ditambah lagu yang diputer di cafe ”Akhirnya Kumenemukanmu” punya Naff. Entah mengapa aku tiba-tiba suka dengan lagu itu. Aura Byan telah merasuki tulang sumsumku di senja yang kian merubung itu.
Tiba-tiba telpon genggamku berbunyi, duh Pasha…

”Iya nih tinggal 10% lagi. Pasti minggu depan, hmm pastinya, besok aku telpon kamu. Jangan sore ini, aku lagi di luar. Iya, iya deh aku usahain…”
Lalu aku matikan telpon genggamku.
”Ada apa Key? Kok muram gitu?”
Aku hanya meliriknya, buat apa seh tanya-tanya batinku masih dengan keangkuhan hati mengakui bahwa dia memang tampan sekali. Macho habis dengan t-shirt Polo hitam, celana jeans donker dan sepatu lars Caterpillar.
”Eh mengapa diam say?”
Say-say, ih resek bener seh, rutuk hatiku.
”Aku balik dulu deh, harus kirim email sekarang ke Graha, penting banget, dah ditunggu.”
Aku berdiri. Dan eh, sekali lagi dengan lancangnya, tangannya memegangi jemari kananku.

”Kalo mau ngenet bisa kok di kamarku, kasian kan mereka harus nunggu lama, diminum dulu tehnya, habis ini kita ke kamar aja ok?”
”Nggak ah…”
Napa jawabanku mulai melunak ya, heran juga aku.
”Nggak usah takut, aku nggak akan sentuh kamu Key, yuk!”
Kemudian dia memanggil waitress, setelah menyelesaikan bill, kami berjalan menuju lift, dan anehnya aku kok ya nurut aja kali ini, karena rasa nggak enakku ingkar janji terus dengan Pasha. Aku mangkir, harusnya seminggu yang lalu aku sudah ke Jakarta buat presentasi bukuku yang kedua.
Jadi inget kata-kata mas Sasongko dedengkot komunitas inde Surabaya, melalui telpon dua hari lalu, saat aku curhat tentang kisahku dengan Raja yang mulai kusadari, bahwa dia benar-benar bukan dan sulit aku miliki.

”Udahlah Key, bangun mood kamu lagi. Jangan kamu sia-siakan kesempatan dengan major label. Sapa seh yang nggak tahu Graha? Prestige-mu sebagai penulis daerah bisa naik. Kapan lagi obsesimu akan terwujud? Udah buruan diselesein, nggak inget kamu dengan susah payah menerbitkan buku inde-mu kemarin? Cinta nggak harus ditangisi. Hari gini ngomong cinta? Wis yo, aku mau ngurusi recording anak-anak.”

”Eit, dah nyampe nona, lady first…”
Lamunanku terhenti dengan terbukanya pintu lift dan kalimat Byan, ah menyebalkan sekali seh, aku harus terjebak gini, dan aku sadar sesadar-sadarnya. Ya Tuhan, kondisi nggak memungkinkan aku buat punya daya menolak ajakan Byan ke kamarnya, duh!
Tak lama setelah aku masuk ke dalam kamar dan duduk di kursi dengan canggung, telpon genggam Byan berbunyi.

”Kok bisa sih mereka nimbun material di area racing? Coba kamu cari tahu kerjaan sapa itu! Shiit! Trus tadi siang ada demo di kantor bupati, cari tahu apa yang mereka demokan. Hubungi Aman! Kerja sendiri belum diberesi udah nyampuri kerjaan orang lain!”
Gerutunya dengan mimik serius. Dan aku mencoba mencerna siapa dia sesungguhnya, sambil kuberanikan diri untuk meliriknya. Dan degh, aku begitu blingsatan saat mata elangnya menatap tajam mataku, mata kami beradu. Dan entah kenapa mataku tak bisa terkedip dan sulit banget buat lari dari tatapannya.

”Sorry Key, ya gini kerjaanku tiap hari, underpresser. Maklum aku ke sini sebagai salah satu jarum dari goverment. Ah udahlah, lagi pusing ngomongin kerjaan, eh jadi kan ngenet-nya?”
Tiba-tiba mataku melemah dan nada bicaraku mulai lembut, kayaknya hatiku mulai sedikit-sedikit luluh. Dan aku mulai tahu siapa dia.
”Tapi kamu kan juga harus online terus…”
”Nggak juga, bisa lewat hand phone kok.”
Segera aku ambil flashdisc yang memang selalu kubawa kemana-mana. Karena flashdisc bagiku adalah separuh nyawaku. Kembali telpon genggamnya berbunyi.
”Ya, saya segera ke kantor sekarang…”
Tiba-tiba pundakku dipegang, dan terasa dingin sekali darah yang mengaliri tubuhku, aku begitu merinding. Duh, napa jadi begini Tuhaaan!
”Say, aku ke kantor dulu ya. Kantorku di apartement sebelah. Kalo kamu udah selesai call aku, atau kalo kamu mau makan call aja service room, kamu tanda tangani aja bill-nya, masukkan dalam bill my room, dan kalo kamu mau. Tidur aja di sini, kali aja kemaleman. Ntar aku balik ke kamar shubuh kali. Jangan khawatir, aku jinak kok, hahaha… kamu aman. Aku nggak akan sentuh kamu say, ok aku pergi dulu ya.”
Mengalir begitu lugas dan cepat kalimat-kalimat Byan, tanpa memberiku kesempatan berpikir atau menjawab, seakan-akan kami sudah lama bertemu dan berteman dekat. Moderat banget sih ni orang, begitu percayanya ama aku yang ditinggal begitu saja di kamarnya.

Belum selesai otakku berpikir dengan ucapan-ucapan dia barusan, tiba-tiba telpon kamar berdering. Keraguan menyelimutiku. Kuangkat nggak ya? kuangkat nggak? Dan tiba-tiba saja gagang telpon sudah menempel di telinga kananku.
”Maaf dengan ibu Byan?”
Aku bingung harus menjawab apa, namun tiba-tiba dari bibirku keluar jawaban.
”Iya…”
”Kami mau kirim baju-baju bapak dari laundry ke kamar bisa?”
Sekali lagi aku kok ya menjawab.
”Bisa…”
Lalu aku letakkan gagang telpon. Dan aku kembali terduduk di kursi dengan mimik bego… melongo.
”Hah? Aku jadi bu Byan?” batinku geli merasakan fragmen barusan.
Tak berapa lama terdengar bunyi bel, dan segera kubuka pintu kamar.

”Ini bajunya bu. Dan tolong tanda tangani bill-nya.”
Setelah aku tanda tangani bill-nya, aku terima baju Byan, lalu aku menutup pintu kamar. Namun sebelum baju-bajunya aku masukkan ke dalam lemari, iseng aku melihat nama yang tertera di bungkusan plastik bajunya, Byan Dewangkara. Dan dia ternyata? Haaah? Seorang doctor! Minder juga aku yang hanya lulusan strata satu, mbuh wis!
Aku harus selesaikan bukuku malam ini, biarin kemaleman. Dan segera aku harus kirim ke Pasha malam ini juga, nggak boleh ketunda lagi. Karena tiba-tiba saja mood-ku nulis terbangun bagus di kamar Byan, entah kenapa. Ada apa lagi dengan hatiku? Masak aku bisa pindah ke lain hati hanya dalam hitungan jam? Misteri Illahi kata Ari Lasoo. Mudah aja jawabannya, kali ini aku nggak mau pusing lagi karena cinta.
Seperti biasanya, kalo aku nulis harus teriring lagu apa saja. Kuambil remote TV dan nggak sengaja terdengar lagu itu lagi. Naff kenapa kamu hadir kembali, dan syair-syairnya begitu rekat lekat di hatiku malam itu.

”Akhirnya kumenemukanmu, saat hati ini mulai merapuh… akhirnya kumenemukanmu saat raga ini ingin berlabuh.. kuberharap engkaulah jawaban sgala risauku hatiku… dan biarkan diriku mencintaimu hingga ujung usiaku…”
Aaah, jadi aku mencintainya? Memang aku bertemu dia hari ini, saat aku risau akan cintaku dengan Raja, yang tak berujung karena aku hanya kekasih bayangannya, entah sampai kapan. Tapi kalau aku jatuh cinta pada Byan? Aaah kok, begitu mudahnya, aku tak yakin hatiku telah pindah. Tetapi aku nggak mau munafik, ternyata aku mulai tertarik pada sosoknya. Gentle, cuek, selengekan, tapi juga serius dan jenius.

Aku mulai merasakan kebodohanku kembali, karena menjadi pemuja rahasia baginya! Nggak! Nggak ah! Tuhan, jangan sampai aku menjatuhkan cintaku pada dia. Karena aku masih mengharap, cintaku dengan Raja bisa berujung pada suatu saat dan bermuara pada sebuah tempat.***

Pemilik Pilihan

Mataku mulai terasa berat sekali buat memelototi monitor notebook. Tapi bisa menarik nafas bahagia lega, karena akhirnya aku bisa menyelesaikan bukuku malam itu, dan menepati janjiku pada Pasha.
Tanpa kusadari aku tertidur pulas di kasur kamar, dan terhenyak bangun karena bel kamar berbunyi. Ternyata Byan sudah di depan pintu kamar. Dengan langkah berat aku bukakan pintu.

”Udah tidur say? Maaf ya ngganggu kamu. Ya udah tidur lagi aja.”
Tanpa menghiraukan kalimat Byan, aku langsung menjatuhkan tubuhku yang terasa begitu penat dan lelah nggak punya daya ke kasur.
Berlalunya saat tak begitu terasa. Aku terbangun karena suara SMS yang berturutan masak dalam telpon genggamku. Saat mataku mulai terbuka, aku begitu kaget karena tangan kananku telah merangkul paha kanan Byan yang masih tebungkus celana jeans-nya. Nampaknya dia tidak tidur, duduk bersandar di tembok sambil mengisap rokok putihnya dalam-dalam. Seperti terasa ada sesuatu yang mengganggu pikiran dan hatinya. Lalu tangan kanannya begitu saja mengelus rambutku.
”Mau bangun sayang? Baru jam enam, bobok aja lagi kalo masih ngantuk.”
Terasa dibuai desahan lekuk gemulai sang angin, ucapan lembut Byan pagi itu melenakan lelap tidurku kembali.

Tak berapa lama kemudian aku terbangun lagi, karena SMS di telpon genggamku. Dan ternyata tanganku masih tetap dalam posisi memeluk paha kanan Byan.
Aku melirik ke atas, ke arahnya, dia masih seperti semula. Menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu menghembuskan asap putihnya ke langit-langit kamar dengan kuat. Serasa melepas beban berat yang bersemayam dalam hatinya.
Namun kali ini matanya yang mulai memerah, begitu tajam menatapku, dan tangan kanannya terus membelai lembut rambutku. Merasa nggak enak dengan kondisi itu, aku bangun. Tetapi matanya nampak tak lepas memandangi seluruh lekuk tubuhku. Karena merasa risau dengan perlakuannya, aku segera ganti menatap matanya.

Kemudian ditariknya tubuhku mendekat pada tubuhnya. Entah siapa yang memulai, tiba-tiba saja bibir kami sudah saling bersentuhan, saling melumat, seolah memuntahkan hasrat yang terus membanjiri keringnya hati kami selama ini. Detak dadaku begitu hebat mengguncangkan tubuhku yang telah tertindih tubuhnya. Begitu sejuk sapa pagi itu melumuri kulit kami yang bersentuhan dengan desahan roman.

Satu demi satu lilitan benang yang menyetubuhiku mulai terlepas. Begitupun dengan Byan, tinggal jeans donker-nya yang masih melekat. Aku tak kuasa menolak semua persentuhan hatiku padanya.
Namun tiba-tiba Byan bangkit, terdiam. Dan menutupi sebagian tubuhku dengan selimut. Tatap liar matanya menelusup dalam kutub-kutub esku, melelehkan dinding salju yang melingkari jiwa sunyiku.

”Maafkan aku say, aku menyentuhmu.”
”Nggak, nggak say… Kamu nggak sentuh aku. Janjimu telah terpenuhi, meskipun hatiku telah kamu sentuh.”
Tiba-tiba mengalir saja kata ”say” dari bibirku tanpa bisa kubendung. Lalu Byan datar berucap…

”Everybody got a void in his soul. We are just two lost souls in a fish bowl”
Kemudian dibukanya tirai jendela kamar, pandangannya melesat jauh ke bumi Surabaya yang telah hiruk pikuk dengan geliat hidup manusianya. Sorot sang bintang raksasa semakin menguatkan pengakuanku akan keberadaan Byan di hatiku.
Dia menyalakan rokok putihnya, kembali dihisapnya dalam-dalam. Mata kami bertemu, bersentuhan dengan aroma bidak-bidak roman dalam relung dan relief jiwa yang kuat, tegas, bersenyawa dan berada pada satu garis, bertanya. Mengapa dan sedang ada apa dengan hati kami.

Tiba-tiba aku teringat Raja. Kembali aku terusik dengan ketololan. Aku merasa mengkhianatinya. Merasa salah dan berdosa padanya. Padahal aku juga sadar, aku bukan istrinya, dia bukan suamiku, dia milik orang… Sebuah kebingungan tak berdasar sama sekali yang kurasakan saat itu.

Kemudian aku berusaha, mencoba meyakinkan hatiku, bahwa cintaku pada Raja mulai terkikis. Semakin terkikis setelah ada pikat persentuhan hatiku dengan Byan, bukan pikat persetubuhanku dengannya, yang baru saja kukenal delapan belas jam yang lalu. Padahal, sungguh, benar-benar aku belum tahu lagu apa yang berkecamuk dalam hatinya tentangku, semoga cintaku kali ini tak salah lagi tempatnya. Sesungguhnya, cinta itu tak pernah salah. Namun, cinta bagiku, adalah sebilah belati tajam bertahta emas berlian, yang kan siap membunuh kita setiap saat, meskipun kita tak harus mati terbunuh karenanya. Dan aku harus siap terluka, karena aku jatuh cinta… Semoga aku bisa menjadi miliknya yang terpilih, dan dia bukan milik siapapun, meski Sang Pemilik Sejati tetaplah Dia…

Rumah Putih Sby, 6906

Profesi yang Terlupakan

Aguk Irawan MN
http://cetak.kompas.com/

Novel spektakuler Harry Potter tidak akan bisa dinikmati jutaan penggemar novel di Indonesia bila tanpa melalui proses penerjemahan. Berita-berita internasional yang berasal dari berbagai belahan dunia bisa dinikmati pembaca dalam negeri juga tidak terlepas dari jasa penerjemah.

Bisa dibayangkan, tanpa penerjemahan buku-buku berbahasa Inggris atau kitab-kitab berbahasa Arab, masyarakat akan kesulitan mengerti isi dari suatu buku atau kitab.

Namun, tahukah Anda, siapa yang berjibaku di balik penerjemahan karya JK Rowling sehingga karya itu bisa booming dan dinikmati jutaan orang di negeri ini. Siapa pula yang berperan besar dalam penerjemahan buku berbahasa Inggris atau kitab berbahasa Arab itu?

Pertanyaan seperti ini patut diajukan sebab harus diakui apresiasi masyarakat di negeri ini cenderung melupakan jasa seorang penerjemah. Hal ini bisa dibuktikan ketika karya terjemahan booming, penerjemahnya tak ikut terserempet rezekinya. Di dapur penerbit, seorang penerjemah sering menjadi bulan- bulanan editor dan penyunting. Ironisnya, tak sedikit redaktur penerbit itu, dengan sengaja atau tidak, sering alpa mencantumkan nama penerjemah dari buku-buku karya impor yang mereka terbitkan.

Kenyataannya memang, di negeri ini, profesi sebagai ”penerjemah” masih terasa asing, bahkan cenderung tidak dipedulikan. Tak ada remaja atau anak muda yang berminat untuk menggelutinya atau merebutnya sebagai jalan hidup atau profesi. Buat orang tua, apalagi. Kerja semacam itu tidak memberi kebanggaan apalagi jaminan kesejahteraan.

Hal itu seperti ”didukung” oleh industri buku karya terjemahan yang menjamur sekarang ini, masih belum memberikan penghargaan yang cukup pantas bagi seorang penerjemah. Hal ini bisa dibuktikan dengan sangat minimnya bayaran atas jerih payah mereka. Akibatnya, banyak penerjemah di negeri ini hidup dalam keprihatinan yang sangat.

Penerjemah dalam sejarah

Sebelum Islam datang di semenanjung Arab, terlebih dahulu telah berkembang pendidikan Sassanian yang dipelopori oleh Ardeshir Papakan, misalnya, dengan mengirimkan orang-orang terpelajar ke India dan kekaisaran Romawi untuk belajar bahasa mereka. Kemudian ia memerintahkan penerjemahan karya-karya tersebut ke dalam bahasa Pahlavi.

Mereka, kaum terpelajar yang menerjemahkan karya-karya itu, difasilitasi oleh penguasa. Tak sedikit nama-nama mereka dijadikan ”simbol” kebesaran kekuasaannya sehingga tradisi penerjemahan terus terpelihara secara turun-temurun.

Lambat laun, dari kegiatan penerjemahan ini terbentuk lembaga-lembaga pendidikan baru di kota-kota penting Persia, seperti Akademi Jundi-Shapur dan Akademi Maan Beit Ardeshiri. Dari kedua akademi ini pula muncul beberapa penerjemah ulung dari bahasa Sanskerta, Pahlavi, dan Syria.

Ketika Islam datang dan menemukan kejayaannya, kejayaan itu tidak diperoleh dengan tiba-tiba. Kejayaan itu diperoleh berkat kesadaran penguasa akan pentingnya ilmu pengetahuan dan keuletan para penerjemah. Misalnya, Khalid ibn Yazid ibn Murawiya (704-708 M), seorang penguasa Umayyah dianggap sebagai orang yang mendorong para sarjana Yunani di Mesir untuk menerjemahkan buku- buku Yunani ke dalam bahasa Arab dengan imbalan yang sangat tinggi. Peristiwa ini sering disebut sebagai proses penerjemahan pertama yang terjadi dalam dunia Islam.

Harun al-Rasyid (786-809 M), salah satu penguasa Abbasiyah, mempunyai peranan aktif dalam kemajuan dunia penerjemahan. Bahkan diriwayatkan ia telah mewakafkan lebih dari separuh harta bendanya untuk kepentingan penerjemahan manuskrip-manuskrip kuno Persia ke dalam bahasa Arab.

Al-Makmun, penguasa Baghdad (786-833 M), khalifah Abbasiyah paling berpengaruh, merupakan pemrakarsa pengetahuan dan karya-karya ilmiah melebihi Harun al-Rasyid serta menjadikan pencarian dan penerjemahan manuskrip-manuskrip Yunani sebagai tujuan hidupnya. Ia secara khusus mengirim sebuah misi kepada Raja Byzantium, Leon De Armenia, demi tujuan itu.

Dorongan kerja penerjemahan pada masa kejayaan Islam (golden age) terlihat dari penghargaan penguasa kepada jasa para penerjemah. Hunain ibn Ishaq (808-877 M), misalnya, ketika diangkat dan sebagai pengawas perpustakaan Bait al-Hikmah, setiap selesai menerjemahkan buku diberi hadiah emas oleh Al-Makmun senilai dengan berat buku yang diterjemahkan. Karena itu, tak mengherankan bila Jamil Shaliba dalam bukunya, Al-Falsafah al-Arabiyyah, berkesimpulan bahwa munculnya peradaban Islam disebabkan oleh dua hal utama: penghargaan yang tinggi penguasa kepada penerjemah dan keuletan para penerjemah. Karena dua hal tersebut, pilar-pilar peradaban Islam berhasil melahirkan banyak filsuf, dokter, astronom, ahli matematika hingga hukum berkelas dunia.

Ketika Imperium Islam Bani Abbasiyah semakin lemah oleh konflik internal, dan ketika bangsa Mongol masuk untuk menghancurkan Kota Baghdad, rotasi transmisi ilmu pengetahuan dari Islam ke Barat berjalan juga dengan cara penerjemahan buku-buku. Koleksi buku berbahasa Arab di Kordoba sebagai pusat peradaban kaum Muslim di Eropa telah menjadi cahaya penerang bagi seantero jagat Eropa.

Kemudian ribuan peneliti, pengajar, dan siswa dari seluruh dunia dan terkhusus Eropa telah menjadikan Kordoba sebagai kiblat ilmu pengetahuan dan kemajuan sains. Seluruh ide awal Renaissance dan revolusi sains Eropa berawal dari Kota Kordoba itu. Terbukanya tirai kehidupan baru ini mendorong masyarakat intelektual Eropa untuk menerjemahkan kembali sisa-sisa manuskrip Arab yang berisi berbagai disiplin ilmu ke dalam bahasa Latin, Hebrew, Spanyol, Italia, Catalan dan bahasa lain pada abad ke-12 dan ke-13.

Komitmen kuat

Disadari atau tidak, ilmu pengetahuan yang kita dapatkan sejak sekolah dasar hingga sekarang ini pun tidak terlepas dari jasa seorang penerjemah.

Namun, sekali lagi, profesi penerjemah di negeri ini masih terpinggirkan, bayarannya kecil, dan hanya dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Karena itu, tak sedikit yang menjadikan profesi penerjemah sebagai profesi sampingan. Akibatnya, banyak buku terjemahan yang kualitasnya memprihatinkan.

Tidak bisa lain, jika negara ini ingin maju dalam ilmu pengetahuan dan peradaban, semua pihak harus punya komitmen kuat untuk meningkatkan penghargaan kepada profesi penerjemah. Sejarah telah membuktikan itu.

Aguk Irawan MN Pendiri Pesantren Kreatif Baitul Kilmah, Menerjemahkan dan Menulis Sejumlah Sajak, Cerpen, Esai, dan Novel, Menetap di Yogyakarta.

MENGENALI WUJUD CERITA PENDEK INDONESIA KONTEMPORER

Hadi Napster
http://sastra-indonesia.com/

Dalam wacana sastra, ketika seseorang mendengar kata “cerita pendek” atau yang lebih populer disebut “cerpen”, asosiasi pemikiran tentu akan langsung memuara pada jenis cerita (fiksi) yang sifatnya pendek. Sesuai dengan namanya, “cerpen” memang merupakan bentuk fiksi yang berdurasi singkat, padat, intensif, dan sugestif. Proses kreatif pelahirannya pun mempersyaratkan unsur-unsur tertentu atau terbatas, yang dipilah dan dipilih secara selektif serta efektif.

Secara pengertian, cerita pendek telah banyak sekali dikaji, dibahas, serta dikemukakan oleh para sastrawan dan pakar sastra ternama. Seperti Sumardjo dalam bukunya Catatan Kecil Tentang Menulis Cerpen yang menuliskan; cerita pendek adalah fiksi pendek yang selesai dibaca dalam “sekali duduk”. Cerita pendek hanya memiliki satu arti, satu krisis, dan satu efek untuk pembacanya. Untuk ukuran Indonesia cerpen terdiri dari 4 sampai dengan 15 halaman folio ketik. (1917: 184).

Senada dengan pendapat di atas, dalam Kamus Istilah Sastra (1990: 15-16), Sudjiman menuliskan pengertian; cerita pendek (short story) adalah kisahan pendek (kurang dari 10.000 kata) yang dimaksudkan memberikan kesan tunggal yang dominan. Cerita pendek memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi pada satu ketika. Meskipun persyaratan itu tidak terpenuhi, cerita pendek tetap memperlihatkan kepaduan sebagai patokan. Cerita pendek yang efektif terdiri dari tokoh atau sekelompok tokoh yang ditampilkan pada satu latar atau latar belakang dan lewat lakuan lahir atau batin terlibat dalam satu situasi.

Sementara Sumardjo dan Saini membuat definisi sekaligus serupa persyaratan sebagai berikut; cerita pendek adalah cerita yang membatasi diri dalam membahas salah satu unsur fiksi dalam aspeknya yang terkecil. Kependekan sebuah cerita pendek bukan karena bentuknya yang jauh lebih pendek dari novel, melainkan karena aspek masalahnya yang sangat dibatasi. Dengan pembatasan ini, sebuah masalah akan tergambarkan jauh lebih jelas dan jauh lebih mengesankan bagi pembaca. Kesan yang ditinggalkan oleh sebuah cerita pendek harus tajam dan dalam sehingga sekali membacanya kita tidak akan mudah lupa. (1984: 69).

Cerita pendek di Indonesia mulai menampakkan diri dan mengalami pertumbuhan pada sekitar pertengahan tahun 1930-an sampai dengan awal tahun 1940-an. Pada masa itu cerita pendek yang hanya difungsikan sebagai “teman duduk” atau “kawan bergelut” banyak dipengaruhi oleh keberadaan “dongeng” dalam lingkungan mayarakat lama. Isi ceritanya pun hanya berkisar tentang peristiwa-peristiwa kecil atau seloroh dalam kehidupan sehari-hari (cerita rakyat). Dalam dekade awal pertumbuhannya, cerita pendek melahirkan beberapa nama pengarang seperti Muhammad Kasim, Suman HS., Armijn Pane, dan Idrus. Yang mana dari keempat nama ini, Muhammad Kasim dan Suman HS. lalu dianggap sebagai bapak cerpenis pertama Indonesia.

Dalam perkembangannya, kekhasan sajian cerita pendek Muhammad Kasim dan Suman HS. yang selalu berakar pada khazanah sastra tradisional Indonesia, nampaknya tidak lagi dianut oleh pengarang-pengarang selanjutnya. Secara berangsur-angsur, penulisan cerita pendek telah melepaskan diri dari pengaruh “cerita rakyat” dan mulai menerapkan konsep “Barat”. Tetapi langkah ini justru membawa kebaharuan dalam laju perjalanan cerita pendek. Dampak terbesar tentu saja adalah munculnya cerita pendek menjadi salah satu genre sastra yang mulai diperhitungkan. Jika sebelumnya cerita pendek hanya dianggap sebagai “sampingan” untuk “teman duduk” dan “kawan bergelut” saja, maka pada sekitar tahun 1945 sampai dengan tahun 1955, pengarang-pengarang seperti Pramoedya Ananta Toer, Achdiat K. Mihardja, Mochtar Lubis, Trisno Sumardjo, dan Asrul Sani, justru mulai dikenal luas karena tulisan-tulisan mereka yang berupa cerita pendek.

Puncak suburnya pertumbuhan cerita pendek adalah sekitar tahun 1950-an, di mana begitu banyak pengarang (cerpenis) bermunculan, dan buku-buku cerita pendek pun banyak diterbitkan. Pada masa itu kita mengenal beberapa nama penulis cerita pendek seperti Nugroho Notosusasto, Subagio Sastrowardoyo, Riyono Praktikto, Ajip Rosidi, Nh. Dini, Trisnoyuono, Bur Rasuanto, Alex Leo, AA. Navis, Motinggu Busye, Djamil Suherman, dan SM. Ardan. Begitu pula pada sekitar tahun 1960-an–tepatnya antara tahun 1964 sampai dengan tahun 1970–keberadaan cerita pendek semakin tumbuh dan berkembang, terlebih karena ditunjang oleh majalah sastra Horison sebagai media publikasi. Pengarang-pengarang ternama lainnya pun bermunculan, seperti Wildan Yatim, Umar Kayam, Budi Darma, dan Wilson Nadeak.

Dari beberapa pengertian serta pembahasan sederhana dalam rentang waktu periodisasi di atas, oleh berbagai sumber lalu disebutkan bahwa cerita pendek yang ada dalam kurun waktu 1930-an hingga 1960-an merupakan cerita pendek dengan konsep konvensional–cerita pendek yang struktur ceritanya sesuai dengan konvensi yang ada. Hal tersebut dapat dilihat dari struktur pembangun seperti tema, cerita, karakter tokoh, plot, setting, suspense, dan surprise, yang selalu tertib serta tertata dengan rapi.

Demikian pula dengan beberapa ciri khusus yang dianggap sebagai bagian tetap dari sebuah cerita pendek secara umum dalam konsep konvensional. Di antaranya adalah:

Memiliki ciri utama singkat, padat, padu, intensif, dan efektif.

Tidak lepas dari unsur pokok seperti tokoh (pelaku) utama, latar, plot, adegan, dan gerak.

Bergantung pada satu situasi, satu emosi, impresi tunggal, serta kebulatan efek.

Menggunakan bahasa yang tajam, menarik, sugestif, dan dipilih secara selektif.

Mengandung interpretasi konsepsi pengarang terhadap kehidupan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Jalan cerita harus menggugah dan menarik perasaan serta pikiran pembaca.

Alur cerita dikuasai oleh satu insiden sebagai topik utama, serta memiliki efek atau meninggalkan kesan tertentu dalam pikiran pembaca.

Berisi detail-detail yang dipilih dengan sengaja oleh pengarang, dan dapat menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran pembaca.

Secara fisik; jumlah kata yang terdapat dalam cerita pendek biasanya di bawah 10.000 kata, tidak boleh lebih dari 10.000 kata (kira-kira 33 halaman kuarto spasi rangkap). (Tarigan, 1984: 177-178).

Lalu bagaimana dengan Cerita Pendek Indonesia Kontemporer? Secara bentuk fisik, cerita pendek jenis kontemporer ini tidaklah berbeda dari cerita pendek pada umumnya. Tetapi dalam masalah isi cerita, dengan menilik adanya kata kontemporer (contemporery) yang dalam The Contemporery English-Indonesian Dictionary berarti; 1) sewaktu, sezaman, semasa; 2) masa kini, kontemporer; 3) modern; (Peter Salim, 1991: 398), maka bisa dipastikan akan ada perbedaan yang signifikan dengan cerpen pada umumnya.

Cerita pendek kontemporer mulai berkembang pada sekitar tahun 1970-an, bersamaan dengan menggemanya gaung Sastra Indonesia Kontemporer. Di mana pada masa itu kreatifitas tanpa batas yang mengiringi langkah berbagai genre sastra, turut juga diusung oleh para cerpenis dengan melakukan beragam inovasi melalui kreatifitas penciptaan cerita pendek. Sehingga dengan sendirinya, tradisi konvensional yang telah menjadi konsep dalam cerita pendek sebelumnya, telah ditinggalkan dan tidak lagi menjadi ciri atau ketetapan.

Definisi sederhana cerita pendek kontemporer–yang juga disebut sebagai cerita pendek masa kini, modern, mutakhir, dan inkonvensional–adalah; cerita pendek yang struktur ceritanya menyimpang atau bahkan bertentangan dengan konvensi yang ada. (Sarwadi, dalam Jabrohim, (Ed), 1994: 166). Sementara untuk cerita pendek Indonesia kontemporer, Rosidi dalam Laut Biru Langit Biru: Bunga Rampai Sastra Indonesia Mutakhir menulis; cerita pendek Indonesia kontemporer adalah cerita-cerita pendek yang mengabaikan alur cerita, logika, bahkan tema dan menghanyutkan diri kepada gaya yang menyebabkan pembaca terpukau untuk membacanya sampai habis–tak peduli apakah kisahnya sendiri masuk akal atau tidak. Batas antara kenyataan dan impian tidak jelas lagi, dan cerita menjadi rentetan imaji yang tempel-menempel–bukan sambung-menyambung–maka kelihatannya semacam mozaik. (1977: 10).

Kesan individualisme, pesimisme, skeptisme, hingga anarkisme, adalah hal-hal yang lumrah dan bahkan identik dengan cerita pendek Indonesia kontemporer. Karena memang perjalanannya berada dalam tataran inovasi dan kreatifitas tanpa batas, baik dari segi tema, pemilihan tokoh, alur cerita, gaya pengucapan, maupun unsur lainnya. Jadi tidak mengherankan jika cerita pendek Indonesia kontemporer kerap menyajikan kisah kehidupan yang pseudo-real, hyper-real, atau asurd. Dengan kata lain, cerita pendek jenis ini adalah hasil proses kreatif seorang pengarang yang bebas-lepas, tanpa ada lagi batasan nilai-nilai tradisi-konvensi. Sebagai contoh karya yang sering disebut sebagai pelopor cerita pendek Indonesia kontemporer adalah cerita-cerita pendek karangan Putu Wijaya dan Umar Kayam.

Jika sebelumnya telah dituliskan ciri khusus cerita pendek secara umum dengan konsep konvensional, maka berikut kita akan menyimak beberapa ciri khusus cerita pendek Indonesia kontemporer yang disimpulkan dari berbagai sumber. Adapun ciri dimaksud antara lain:

Bentuk penyajiannya kadang tidak lazim dan berbeda dari cerita pendek pada umumnya. Dalam hal ini jauh dari tataran konvensional, sehingga disebut juga cerita pendek inkonvensional.

Memiliki ciri anti logika, dalam arti kadang menyalahi dasar logika manusia pada umumnya. Apa yang menjadi isi cerita jauh dari kenyataan hidup yang sebenarnya.

Sering mengabaikan plot dan alur cerita. Maksudnya sama sekali tidak terikat pada pola urutan konvensional; pembukaan – klimaks – antiklimaks – penutup. Melainkan lebih bebas, bisa berbentuk zigzag, saling silang, dan sebagainya.

Bersifat serba aneh atau absurd–identik dengan absurdisme. Karena krakteristik seperti alur dan peristiwa kadang tidak jelas, tidak menentu, bahkan tidak rasional.

Anti tokoh, atau tidak mengindahkan masalah jelas atau tidaknya tokoh-tokoh di dalamnya. Tokoh yang ada dalam cerita pun lahir dari imajiner (pengimajian), khayalan, dan sebagainya.

Khusus dalam tema realitas kehidupan, selalu bersifat kompleks dan terasing. Melukiskan detail, insiden dan situasi secara multi (tidak fokus pada satu emosi dan impresi), serta menimbulkan efek dan kesan yang majemuk.

Demikian esai selayang pandang tentang cerita pendek Indonesia kontemporer sebagai bahan diskusi bagi semua. Sangat diharapkan agar apa yang tertulis dalam esai sederhana ini dapat membawa sedikit manfaat serta memberi inspirasi untuk terus berkarya, berinteraksi dan berbagi. Kepada seluruh yang membaca–khususnya para penulis, pembaca, dan pemerhati cerita pendek–jika kiranya mendapati hal-hal yang tidak sejalan, atau barangkali memiliki pandangan, anggapan, pun tanggapan terkait esai ini, silakan memberikan masukannya.

Yogyakarta, Oktober 2011
Salam Bahasa, Sastra dan Budaya!

Kuasa Kata di Atas Viaduct

Afrizal Malna
Pikiran Rakyat, 27 Juni 2009.

DUA kali saya membaca buku kumpulan puisi Di Atas Viaduct (Bandung dalam Puisi Indonesia). Dari dua kali membaca buku itu, saya merasa setelah melampaui 250 halaman, pembacaan saya terasa mulai rusak atau saya mulai berubah menjadi “pembaca yang rusak” setelah 250 halaman. Saya merasa nyaman membaca puisi di bawah seratus puisi, lebih dari itu rasanya ada kereta yang berantakan dalam diri saya. Kereta bahasa yang kehilangan sensitivitasnya, kata-kata gagal berada dalam sintaksisnya, dan pemaknaan dilumpuhkan.

Pada sisi lain (dalam pembacaan yang rusak itu), saya disadarkan juga oleh kesan betapa besarnya penyair memiliki “kekuasaan” atas kata. Kepada siapakah kata yang dikuasai penyair itu dipertanggungjawabkan? Kesan di mana “sikap atas kata” diperlakukan sebagai “kekuasaan atas kata”, terutama dalam membuat pernyataan.

Pengalaman itu membuat saya tertarik mengamati apa yang terjadi dengan diri saya sendiri ketika membaca kumpulan itu. Jadi, bukan saya yang membaca sastra, melainkan “sastra yang membaca saya”.

Pertama, saya cukup terprovokasi oleh pengenalan saya atas Bandung, terutama seringnya saya menggunakan kereta untuk pergi ke Bandung. Jalan mana pun yang saya tempuh untuk ke Bandung, selalu melalui jalan berkelok, mendaki, dan menurun.

Kedua, strukturisasi pembagian puisi yang dilakukan Ahda Imran menjadi enam pengelompokan puisi (Priangan, Angin Bandung, Sukardal, Kota Kita, Di Atas Viaduct, dan Bagi Sebuah Kenangan), ikut memprovokasi munculnya kategori tematik dalam membaca buku ini. Dengan sengaja saya tidak ingin memasuki lebih jauh identifikasi yang telah dilakukan Ahda Imran (penyunting) hingga munculnya pengelompokan-pengelompokan ini. Akan tetapi, dengan kesadaran ini pun, jalan yang telah dibuat Ahda tetap menuntun saya dalam membaca puisi-puisi dalam buku ini hingga pada kelokan tertentu saya mulai berpisah dengan kategorisasi Ahda.

Keris yang Hilang dalam Sumur

Saya tidak tahu apa perbedaan antara Parahyangan dengan Priangan. Apakah Priangan sama dengan konsep Parahyangan yang mengacu pada konteks masa lalu, konsep ruang budaya dan spiritual dalam membaca wilayah Hindu Sunda. Apabila kedua istilah ini merupakan sebuah pergeseran, untuk saya pergeseran ini sangat menakjubkan, bagaimana Parahyangan yang secara harfiah merupakan tanah para dewa berubah menjadi Priangan yang mungkin bisa dibaca sebagai para priang, riang, gembira. Istilah Priangan pun, pada beberapa puisi mengalami genderisasi di mana Priangan juga identik sebagai gadis perawan dan hampir seluruh puisi yang menyinggung perawan, memperlihatkan begitu pentingnya keperawanan, kecuali pada puisi Ratna Ayu Budhiarti yang membawa puitika paling berbeda dari rata-rata penyair yang puisinya terkumpul dalam kumpulan ini.

Kumpulan puisi Ramadhan KH (Priangan Si Jelita: 1956), 53 tahun lalu, menggunakan istilah Priangan dalam puisi yang muncul lebih awal dan hingga kini digunakan banyak penyair, terutama yang berdomisili di Jawa Barat. Kumpulan ini masih kaya menggunakan berbagai dekorasi puisi-puisi lama dari permainan rima, pantun, pilihan vokal dan konsonan, serta ikon budaya Sunda. Seruling dan pantun digunakan untuk tangisan dan dunia lama itu (Sunda sebagai personifikasi Priangan si jelita) seperti keris yang hilang di sumur. Pernyataan ini tidak hanya keras dan tajam, tetapi juga memperlihatkan begitu pentingnya keris dan sumur dalam ikon budaya Sunda. Sebuah metafora yang bisa dibaca sebagai “tenggelamnya Sunda lama”.

Kini, tidak hanya keris yang hilang dalam sumur, namun sumur pun ikut hilang. Kita hampir tidak pernah bisa menemukan lagi istilah sumur dalam puisi-puisi yang ada dalam kumpulan ini setelah Ramadhan menggunakannya pada 1956. Baru empat puluh tahun kemudian, tahun 1996, Kurnia Effendi menggunakannya kembali dalam puisinya “Sumur Bandung”.

Pengaruh Ramadhan, tidak hanya penggunaan istilah Priangan yang terus dipakai penyair dari generasi setelah Ramadhan, tetapi juga reproduksi mitologi Sunda. Yang menarik, mitologi yang paling banyak direproduksi adalah legenda Dayang Sumbi atau Sangkuriang dan Jaka Tarub. Kedua mitos ini kebetulan sangat genderistik dan seksis. Reproduksi mitos yang memperkuat identitas Priangan sebagai perempuan dan perempuan ini sebenarnya adalah perempuan yang menderita. Selalu ada unsur “petaka” dalam hubungan perempuan dan lelaki. Mitologi ini menjadi sumber reproduksi untuk Apip Mustopa, Arahmaiani, dan Acep Iwan Saidi. Terkadang, mitologi ini juga digunakan sebagai perluasan misteri.

Strategi Narasi Sunda

Sebagai strategi teks dalam puisi, muncul pertanyaan sebenarnya mau dibawa ke mana narasi Priangan ini dengan seluruh pernik-pernik masa lalu dan mitologinya? Apakah kemunculan generasi baru yang sudah tidak pernah mengalami Sunda lama lewat pengenalannya terhadap Bandung sebagai kota lama akan memunculkan strategi teks yang lain? Pertanyaan ini menarik untuk mengukur perubahan yang terjadi dalam estetika puisi yang berkaitan dengan perubahan kota.

Sebagian besar penyair yang pernah mengalami masa Bandung lama, paling tidak sampai generasi yang lahir dekade ‘50-an dan paruh ‘60-an, melihat Bandung masa kini seperti telah berkhianat kepada Bandung masa lalu. Priangan dan Sunda sebagai strategi teks untuk melawan Bandung masa kini, apakah merupakan strategi teks untuk memaksakan Bandung sebagai kota representasi budaya Sunda?

Besarnya daya tarik kota ini tampaknya memang telah membuat sekian banyak penyair mengharapkan kota ini ikut mengakomodasi indeks-indeks kesundaan. Penyair melakukan personifikasi sedemikian rupa atas kota ini, seperti yang dilakukan Ayie S. Bukhary pada (Aom Bandung): aku adalah Bandung yang dinyatakan sebagai mantra.

Garam Hitam (Priangan-Penderitaan)

“Priangan Si Jelita” Ramadhan KH, oleh penyair berikutnya kian bergeser menjadi Priangan sebagai penderitaan. Pembalikan ini eksplisit dinyatakan Acep Iwan Saidi dan Juniarso Ridwan dalam sajak mereka dengan judul yang sama, “Priangan Si Derita”. Puisi yang menyatakan kota yang bertambah ganas, Priangan tidak perawan lagi dan kerusakan ekologi kota Bandung.

Bandung yang pernah dipuja sebagai Parisnya Jawa, dalam puisi Soni Farid Maulana (Variasi Parijs van Java), dilihat seperti menelan garam hitam yang pahit. Antara Ciwidey ke Tangkubanparahu, seruling telah berganti dangdut. Indeks kemerosotan ini ditandai dengan seruling sebagai representasi primordial yang sudah tergantikan dengan dangdut.

Dalam ketegangan politik narasi antara Sunda dan Negara, puisi Soni memperlihatkan dua kali sudah Priangan dikhianati setelah keris yang hilang dalam sumur (Ramadhan KH), kini dangdut yang telah menggantikan seruling (Soni). Bandingkan dengan sebaliknya yang dinyatakan Rustam Effendi dalam puisinya: seruling dan pantun aku campakkan yang justru dilakukan untuk melawan narasi lama.

Saya tertarik untuk melihat bagaimana perubahan Bandung sebagai negatif dengan menggunakan Priangan, seruling, dan dangdut sebagai pembanding. Bagaimanakah sebenarnya indeks primordial ditempatkan dalam kota seperti Bandung yang terus mengalami berbagai proses urbanisasi dan menghadapi permintaan pasar atas produk-produk kebudayaan? Pemilihan indeks itu adalah pilihan yang tidak membuka ruang antara mana yang boleh berubah dan yang tidak boleh berubah. Priangan bukan kota modern, Bandung bukan kota Priangan, dan seruling bukan dangdut. Munculnya dangdut tidak berarti berhubungan langsung dengan hilangnya seruling.

Karno Kartadibrata memiliki strategi puitika yang berbeda untuk memperlihatkan perubahan kota dalam puisinya BRAGABRAGABRAGA: Tuan//apakah yang dibicarakan sepasang remaja itu//ketika pulang dari bioskop “Braga Sky”?// Apakah terkesan mode pakaian baru yang//dilihatnya?//Lalu janji apa dan harapan apa yang mereka//bisikkan?//Apakah yang terpikirkan oleh nyonya semuda//itu yang shopping di sini, nah dari toko ini lalu//ke toko itu?//beli majalah “Femina” dan novel “Karmila”?//

Karno hampir tidak membuat pernyataan apa pun dalam puisinya itu. Ia hanya melakukan semacam identifikasi atas yang disaksikannya dan kemudian membawanya ke strategi narasi di mana strategi ini tetap bergerak dalam lingkup strategi puitika yang ditawarkannya. Karno tidak menggunakan narasi tradisi untuk melawan narasi modern. Karno menggunakan narasi dari konteksnya sendiri, bukan dari konteks yang lain.

Mitologi dalam Strategi Teks Kontemporer

Dalam bagian lain, kita menemukan strategi teks yang berbeda, yaitu menggunakan mitologi dalam tindakan dekonstruksi terhadap mitologi itu sendiri. Dekonstruksi seperti ini dapat kita lihat dalam puisi Mardi Luhung (Sangkuriang), atau puisi Sitor Situmorang (Dayang Sumbi, Kenapa Kau Tolak Cintaku?).

Mitos dibongkar dengan mengajukan cara pandang di luar indeks mitos itu sendiri. Akan tetapi lewat pembongkaran itu pula, konstruksi makna dari mitos itu terbuka dengan gamblang. Sitok Srengenge dalam sajaknya “Libido Sangkuriang,” lebih gamblang lagi melihatnya: bahwa cinta bisa mengubah darah. Yessi Anwar dalam sajaknya “Dari Bayangan Kotaku,” Dayang Sumbi berubah menjadi “piring sumbing” untuk pada gilirannya memperlihatkan bahwa anjing lebih setia dari manusia.

Strategi teks dalam sajak mereka tidak lagi menggunakan mitologi sebagai indeks tradisi atau kepercayaan-kepercayaan primordial untuk melawan masa kini, melainkan sebaliknya. Nilai-nilai masa kini digunakan untuk mengubah atau membongkar sistem makna yang terdapat dalam mitos. Strategi teks seperti ini memperlihatkan sikap pragmatis untuk memutuskan hubungan reproduksi mitos atas waktu masa kini.

Kota, Kuasa Kata

Ketika hubungan reproduksi mitos tidak diputus, mitos tidak lagi mengandaikan adanya perjalanan waktu dan tumbuhnya sistem nilai yang lain. Kita melihat hal ini misalnya pada sajak Apip Mustopa “Telah Musnah Sangkuriang” yang menyatakan Bandung sebagai pemusnahan atas Sangkuriang. Mitos Sangkuriang di sini menjadi klaim nilai yang dipertentangkan dengan perubahan kota.

Klaim ini lebih eksplisit muncul dalam sajak Eddy D. Iskandar “Bandung” yang mengatakan Bandung telah berubah dan ingin kembali ke wajah kota lama. Diro Aritonang (Rindu Bandung): Bandung sudah linglung dan bingung. Sarabunis Mubarok (Bandung): kota yang sakit, sudah seperti WC jalanan. Yayat Hendayana (Dendang Bandung): sampah dan pengap, rumah semakin sempit. Rohyati Sofyan (Sajak Bandung (teu) Disayang): Cikapundung tempat bidadari mandi sudah berubah menjadi limbah pabrik. Juniarso Ridwan (Asap di Atas Bandung): kota membalik cerita, mengubah narasi lama. Deddy Koral (Potret Kota): rakyat kecil menderita dan pejabat korup. Beni Setia (Sajak Tengah Hari): kota yang memaksa kita menjadi tidak berdaya dan orang gila bertambah banyak. Perubahan kota Bandung yang dikecam juga terdapat dalam sajak Nandang Darana atau Dian Hartati.

Kekuasaan penyair atas kata ditempuh dalam mempraktikkan puisi untuk melawan negara atau untuk mengingatkan negara. Tidak seluruh penyair menggunakan strategi narasi yang sama untuk melawan negara. Saini KM misalnya, dalam sajaknya “Bandung” mengatakan, kota sudah berubah, menghapus kota dalam peta hidupmu. Ketika kota telah berubah, dia bukan lagi peta dalam hidupmu. Lihat lagi puisi Atasi Amin (Kota), semua telah berubah, kecuali nasihat bapak kepada anaknya: jangan ke kota.

Masih dengan semangat puisi mbeling, Remy Sylado dalam puisinya “Kota Kita,” memperlihatkan Bandung sebagai hiruk-pikuk berbagai bahasa dari berbagai indeks budaya (lokal, kolonial, dan dunia masa kini). Kota musik di mana Scott Mckenzie, John Lenon, Mick Jagger, dan lain sebagainya menjadi warga terhormat kota ini.

Perbedaan ini memperlihatkan dua kemungkinan. Pertama, penyair memang bekerja sebagai penjaga nilai-nilai lama dengan cara menguasai kata. Kedua, penyair merupakan bagian dari komunitas narasi yang tidak bisa mengakses perubahan karena dia justru memperlakukan puisi sebagai “kuasa kata” yang membuat blok budaya dalam reproduksi strategi teks dirinya sendiri.

Tubuh dan Kota

Ketika praktik kuasa atas kata berlangsung sedemikian rupa sebagai reproduksi narasi puisi, tubuh menjadi penting untuk didengar. Lewat cara pandang ini, puisi tidak lagi diwacanakan untuk membaca kota. Ahda Imran dalam puisinya “Simpang Lima, Malam,” mengatakan: tubuhku adalah pikiran, di luar semua yang pernah kuceritakan padamu. Tubuh memiliki strategi teks lain di luar pikiran yang telah menjadi cerita antara aku (pencerita), kota (cerita), dan kamu (yang diceritakan). Puisi digunakan untuk membaca diri sendiri dengan tubuh sebagai pembaca dan penulisnya sekaligus.

Acep Zamzam Noor (Lanskap Kota Bandung): tubuh yang terhuyung-huyung ditelan kota. Juniarso Ridwan (Ahoaho Bandung): tubuh yang terbenam beton. Badung (Sebuah Insomia): tubuh yang tidak pernah bisa tidur, kemudian menghadapi momen-momen yang hilang.

Pertemuan antara tubuh dan kota tidak pernah terjadi. Sebaliknya, kota menjadikan tubuh sebagai pusat konflik. Kota sebagai ruang, bangunan, dan mobilitas, tidak lagi bisa mengukur batas-batas kodrati tubuh. Kota tumbuh untuk menyakiti tubuh yang menghuninya. Ketika hubungan kota dan tubuh tidak terwacanakan dalam visi dan tata kota, kota dibiarkan tumbuh sebagai representasi ruang yang tidak melibatkan tubuh untuk berbagai aktivitas yang dilakukan sepanjang hari.

Narasi Gender

Politik identitas dalam narasi gender antara Priangan dan Bandung berlangsung secara tidak berimbang. Sepanjang itu pula, hampir tidak ada penyair perempuan yang masuk ke dalam narasi gender seperti ini. Dalam konteks ini pula, Nenden Lilis A (Rumentang Siang, Suatu Malam) dan Ratna Ayu Budiarti (Untuk Seseorang Yang Menjadikan Aku Sebagai Kekasih Gelapnya) menulis dalam ruang gender yang berbeda.

Kedua sajak itu, yang satu ditulis 1995, satunya lagi 2004, berjarak hampir sepuluh tahun. Nenden generasi kelahiran 1971 dan Ratna kelahiran 1981. Dua generasi yang berbeda 10 tahun, hampir sama persis dengan jarak waktu ke dua sajak di atas. Nenden memperlihatkan idealisme, misteri atas hubungan dan ruang, serta strategi teks yang berat dan muram. Menggunakan setting gedung teater. Sementara itu, Ratna memperlihatkan sikap pragmatis atas hubungan. Hubungan tidak dilihat sebagai misteri waktu, melainkan sebagai penawaran dan pemilikan. Menggunakan setting gedung bioskop, dan mall. Menggunakan tubuh sebagai bahasa lewat fitness body language. Menggunakan strategi teks yang cair dan gamblang. Puisi Ratna berbeda dengan kebanyakan puisi dalam kumpulan ini pada umumnya, lebih dekat dengan puisi Karno Kartadibrata. Bentuk puisi yang sebelumnya sering kita anggap sebagai prosaik.

Puisi Nenden melihat hidup sebagai teater nasib, di mana ada penonton yang tak bernama, tak terkenali yang tetap berada dalam gedung teater walau pertunjukan telah usai dan penonton lain telah pulang. Penonton tak bernama itu seperti mata yang tidak pernah tidur mengawasi teater nasib itu, sedangkan puisi Ratna melihat hidup lebih sebagai pasar tawar-menawar. Ruang hidup mereka adalah ruang di mana mereka bertindak sebagai “yang menonton” dan bukan “yang ditonton”. Tak ada misteri juga tak ada lagi yang disucikan.

Ratna bisa dikatakan generasi yang lahir sepenuhnya setelah Bandung berubah dan tidak pernah mengalami Bandung lama yang pernah disebut sebagai “kota kembang”. Apakah narasi Priangan akan tetap berlanjut dalam puisi-puisi setelah generasi Ratna?

Saya kembali mengamati diri saya setelah saya selesai menulis makalah ini. Saya terpaku pada ketegangan antara kota dan kata. Suatu saat kota adalah kata ketika kota mampu menjadikan dirinya sebagai rumah naratif yang melahirkan cerita. Suatu saat, kata adalah kota ketika kata mampu membuat ruang untuk terjadinya gerakan bahasa.***

(Artikel ini disarikan dari makalah penulis yang disampaikan dalam Bedah Buku Di Atas Viaduct, Bandung dalam Puisi Indonesia, di Aula Pikiran Rakyat, 23 Juni 2009).

Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=210370915658448

Teror(isme) Negara dalam Novel Indonesia

Aprinus Salam
http://www.jawapos.co.id/

TERORISME kini menjadi salah satu ancaman besar bagi kehidupan masyarakat dan negara Indonesia. Beberapa peristiwa teror bom yang menikam jantung Indonesia sejak bom Bali menjadikan agenda Detasemen 88 Mabes Polri sebagai perhatian penting pemerintah, media, dan tentu saja masyarakat.

Teror yang dipahami Indonesia seiring dengan peristiwa tadi terfokus pada segala yang berkaitan dengan Islam dan kelompok-kelompok militan garis kerasnya. Teror itu disebut sebagai ideological terrorism, yakni terorisme yang mendasarkan aksinya pada prinsip-prinsip ideologi. Biasanya teror tersebut diikuti pula dengan keinginan untuk memisahkan diri (gerakan separatis), mengacaukan ketertiban masyarakat, atau membangun pemerintahan sendiri. Teror itu disebut nationalistic terrorism. Kedua jenis teror tersebut menjadi pusat perhatian dan menutupi kemungkinan teror-teror lain yang muncul dan menjalankan aksinya dengan ”tenang dan damai”.

Teror-teror lain yang terabaikan sangat banyak dan yang paling tidak kentara tetapi sangat merajalela adalah teror dari negara sendiri kepada masyarakatnya. Teror itu bisa dilakukan secara langsung ataupun tidak. Tidak langsung dimaksudkan untuk mengategorikan tindakan negara dalam mendukung aksi terorisme kelompok tertentu. Sayang sekali, seringkali aksi teror yang dilakukan negara tidak disebut teror. Tindakan itu dianggap sebagai tindakan yang dimaksud untuk menjamin ketaatan rakyat.

Teror negara bisa berbentuk kebijakan-kebijakan, peraturan, dan keputusan yang berkaitan dengan segala macam aspek kehidupan rakyatnya; pengabaian negara terhadap tindak-tindak pelanggaran hukum ataupun kriminal dari pihak-pihak tertentu; pengendalian wacana secara sepihak; monopoli ekonomi oleh pemilik kapital yang bekerja sama dengan negara; dan jenis teror-teror yang lebih konkret seperti kekerasan dari aparat negara seperti militer dan polisi, mafia kasus oleh aparat hukum, dan korupsi pejabat pemerintahan.

Teror seperti itu tidak disadari sebagai sebuah teror. Memang, peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan kondisi itu kerap menjadi pembicaraan luas di masyarakat, tetapi tidak cukup dipahami bahwa negara harus bertanggung jawab terhadap berbagai ketimpangan tersebut. Kenyataannya, negara dalam beberapa hal justru memanfaatkan situasi itu. Masyarakat tidak menemukan benang penghubung yang jelas antara tindak teror di satu ujung dan keberadaan negara di ujung lain. Kerugian dan keresahan sebagai ekses peristiwa-peristiwa tersebut dan ketidaktahuan rakyat bisa dianggap sebagai keberhasilan negara dalam ”meneror” demi kekuasaan.

***

Situasi itu dengan gamblang justru ditelanjangi beberapa novel Indonesia, terutama yang terbit pada masa reformasi dan sesudahnya. Pada masa itu, terjadi perubahan besar dalam hampir seluruh sistem kenegaraan dan pemerintahan, yang juga menjadi perubahan bagi kehidupan masyarakat yang selama ini diatur olehnya. Ketika perilaku represif pemerintah (militer) melemah, bahkan diupayakan untuk hilang sama sekali (khususnya dalam dunia kesusastraan), karya sastra menemukan fungsi hakikinya kembali. Karya sastra bebas menyuarakan apa pun. Berbagai wacana, baik yang bertentangan maupun saling mendukung, hadir dalam karya sastra. Demikian pula wacana teror negara.

Dalam novel Saman (1998) dan Larung (2001) karya Ayu Utami, wacana teror begitu mendominasi. Teror datang dari siapa saja dan dengan maksud yang berbeda-beda. Akan tetapi, sasaran teror mereka selalu rakyat kebanyakan. Teror datang dari militer yang mewakili negara, perusahaan-perusahaan besar, pejabat-pejabat dan institusinya, praktik korupsi, perselingkuhan, perzinahan, dan dalam bentuk penculikan, pembakaran, pemfitnahan, penghasutan, bahkan pembunuhan.

Teror dalam novel ini tidak terpusat pada satu pihak, walaupun secara tersirat ada semacam keberpihakan penulis kepada rakyat kecil dan menyudutkan negara serta para pemilik modal. Jadi, samar-samar, di antara sekian banyak teror yang diwacanakan, teror dari negara kepada rakyatnya (state terrorism) tampak lebih dominan. Kekejaman militer mewakili kekejaman negara, pembakaran desa oleh pengusaha adalah atas izin dan kerja sama dengan negara, praktik korupsi dan pemfitnahan dilakukan pejabat-pejabat negara, dan negara juga bertanggung jawab terhadap pembunuhan-pembunuhan aktivis.

Begitu pula dalam novel Epigram (2006) karya Jamal. Melalui militer, negara mengatur nyaris total kehidupan pendidikan di Indonesia. Mereka berkoordinasi dengan petinggi-petinggi pendidikan untuk membuat kurikulum, menciptakan peraturan-peraturan di kampus, menangkap aktivis diam-diam, dan mekanisme itu membuat banyak aktivis terdeportasi ke luar negeri dan sulit kembali ke Indonesia. Itu merupakan salah satu teror negara paling nyata dalam dunia pendidikan.

Teror juga bisa berbentuk ketidakadilan perlakuan terhadap rakyat di Indonesia. Novel seperti Laskar Pelangi secara tersirat namun dominan memaparkan ketimpangan sosial yang terjadi antara orang-orang pribumi dan pendatang yang menguasai kapital. Perbedaan itu tampak dalam banyak aspek, seperti sosial, ekonomi, dan pendidikan.

Dengan tidak memberikan solusi apa pun bahkan seperti tidak menyadari kondisi itu, negara telah mendukung kapitalis-kapitalis merongrong dan mengeruk apa-apa yang mungkin bukan hak mereka. Dengan mendukung perampokan tersebut, negara telah meneror rakyatnya sendiri. Ketidakadilan sebagai teror negara juga tampak dalam novel-novel yang kental nuansa etnis seperti novel-novel Remy Sylado, yang mengangkat dan memperjuangkan banyak hak etnis Tionghoa di Indonesia.

Apa yang dipaparkan dalam beberapa contoh novel di atas mewakili gejala di beberapa novel lain yang terbit dalam kurun waktu bersamaan. Wacana teror yang diangkat lebih bervariasi dan lebih dekat dengan realitas dalam masyarakat Indonesia. Realitas yang tidak terwacanakan secara sempurna dalam media-media lain ataupun wacana-wacana formal dari negara.

Hal itu disebabkan hegemoni negara begitu kuat, termasuk dalam mewacanakan apa itu teror. Kemudian, kondisi tersebut didukung aksi teror dari gerakan radikal dan separatis yang mungkin terlebih dahulu kecewa dan dirugikan teror-teror negara terhadap mereka. Jadi, pengertian teror kemudian dilokalisasikan hanya untuk menyebut tindakan gerakan itu. Perhatian masyarakat dipusatkan kepada mereka sehingga luput terhadap teror lain. Novel-novel mencoba mengingatnya kembali, memaparkan bahwa ada teror lain, yang subur dan terlestarikan tanpa disadari, yakni teror(isme) negara.

Akan tetapi, satu ganjalan besar masih terlihat di tengah keberhasilan dan keberagaman novel pasca-Orde Baru merepresentasikan teror, yakni novel pada pasca-Orde Baru juga masih mewacanakan teror atau negara di masa lalu (terutama negara Orde Baru). Kenyataan itu mengindikasikan kemungkinan bahwa negara pada masa sekarang masih merepresi novel-novel sehingga wacana kekinian tentang negara dan teror-terornya tidak terepresentasi dengan maksimal. Artinya, saat ini negara telah berhasil meneror sastrawan. (*)

*) Peneliti sastra dan kebudayaan UGM Jogakarta.

Kisah antara Romansa, Thriller dan Budaya Cina

Judul Buku : The Interior
Penulis : Lisa See
Penerjemah : A. Rahartati Bambang Haryo
Penerbit : Qanita, Bandung
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal : xv+623 halaman
Peresensi : Ahmad Fatoni *
http://sastra-indonesia.com/

BAGI pembaca cerita-cerita action-thriller, nama Lisa See mungkin masih terdengar asing. Padahal Lisa See, penulis wanita Amerika berdarah Cina ini termasuk novelis yang cukup produktif. Beberapa karya novelnya banyak mendapat pujian dari para kritikus dan sempat bertengger di daftar Best Seller sepanjang tahun 2005 di New York Times dan Los Angeles Times. Dan The Interior adalah satu dari tiga buku serial detektif Liu Hulan (The Flower Net, The Interior, Dragon Bones).

Buku The Interior yang ditulis Lisa See tahun 1999 ini merupakan novel action-thriller yang dikemas secara unik dan menarik karena menghadirkan sisi-sisi eksotisme masyarakat Cina lengkap dengan sejarah masa kelam Cina pada masa Revolusi Kebudayaan. Kisah yang bersetting di dua negara besar Amerika dan Cina ini diawali dengan terbunuhnya seorang gadis di desa pedalaman Cina bernama Miaoshan.

Hanya ada satu orang yang dianggap mampu membekuk sang pembunuh, yaitu detektif muda Liu Hulan dari Kementerian Pertahanan Publik Cina. Kasus pembunuhan itu lalu membuat Hulan terlempar ke masa lalu. Desa terpencil yang harus didatanginya adalah tempat dia menjalani masa-masa berat selama Revolusi Kebudayaan.

Menariknya, kasus kematian Miaoshan bahkan mengundang perhatian dua negara besar (Amerika dan Cina) untuk bekerjasama menguak misteri yang menyelimutinya. Dalam kisah ini, Lisa See mempertemukan kembali Liu Hulan dan David Stark di pedalaman Cina. Detektif Hulan dari Cina dan Asisten Jaksa Penuntut Umum AS, David Stark, ditugasi oleh masing-masing negaranya untuk mengusut peristiwa tersebut. David dan Hulan sendiri sebenarnya pernah bertemu dan menjalin asmara ketika Hulan menempuh pendidikannya di Amerika. Pada novel ini bahkan dikisahkan kondisi Hulan yang sedang mengandung janin hasil hubungannya dengan David.

David dan Hulan kemudian bahu-membahu dalam penyelidikan yang mulanya seperti tak berkaitan menjadi kasus yang menyeret mereka dalam konspirasi dan jalinan rumit Knight International, sebuah pabrik raksasa dari Amerika yang beroperasi di Cina dan disinyalir bertanggung jawab atas kematian Miaoshan. Untuk mengungkap kasus ini Liu Hulan harus menyamar sebagai buruh di pabrik tempat Miaoshan bekerja semasa hidupnya.

Lewat penyamarannya Hulan jelas-jelas menemukan masalah yang tidak beres, seperti kondisi pabrik yang mengabaikan keselamatan para buruh, tempat kerja yang lebih mirip ruang tahanan, kebohongan manager tentang jumlah gaji, rekruitmen buruh di bawah umur, bahkan ganjaran mati bagi buruh yang coba-coba membocorkan rahasia perusahaan sebagaimana dialami Miaoshan.

Demi melacak lebih jauh tentang kecurangan perusahaan, Hulan dan David menyusup ke jantung Knight International. Para petinggi perusahaan lalu tertangkap basah telah melakukan berbagai tindak kejahatan, namun bukan berarti kasus ini selesai terungkap, beberapa pembunuhan kembali terjadi. Cerita semakin menegangkan karena ternyata berbagai kepentingan masuk dalam kasus ini hingga akhirnya David dan Hulan sendirilah yang harus bertaruh nyawa untuk membongkar semua misteri yang ada.

Lisa See dalam novel ini menyuguhkan cerita gabungan antara romansa, thriller dan sepenggal sejarah Cina secara memikat. Terungkitnya kembali kisah haru asmara antara David dan Hulan disajikan secara proporsional bahkan melengkapi latar belakang cerita. Setting lintasbudaya antara Amerika Serikat dan Cina membuat pembaca tidak bosan. Selain itu situasi dan perilaku masyarakat Cina pun terkeskplorasi dengan lugas, sehingga melalui kisah ini pembaca akan mengetahui kondisi sosial dan politik masyarakat Cina sebelum wafatnya pemimpin besar Cina Deng Xiaoping.

Kelebihan novel ini terhampar dalam alur cerita yang enak diikuti dan ketegangan yang dibangun dengan menawan, meskipun terdapat sisipan-sisipan budaya, sejarah, romansa, dan sebagainya, namun semua itu tak mengganggu kenikmatan membaca karena diramu secara apik dan menjadi bagian penting dari kesatuan unsur kisah.

Boleh dibilang novel ini mencerdaskan pembacanya terutama dalam hal sejarah dan budaya Cina. Seperti terlihat dalam beberapa novel serial detektif lainnya, kepiawaian Lisa See dalam menjelajahi teka-teki Cina yang begitu kompleks dan tebaran misteri dalam jalinan politik kepentingan, konspirasi kejahatan, adat dan tradisi, dan lain-lain membuat novel thriller ini tampil mendebarkan.

Ditambah lagi, bahasa terjemahan The Interior tampak mengalir lancar sehingga bagi pembaca Indonesia novel ini memiliki tingkat keasyikan tersendiri dan bisa dinikmati oleh siapa saja baik oleh para penggemar novel action-thriller maupun oleh pembaca yang ingin mengetahui sisi lain tentang eksotisme budaya Cina yang begitu menakjubkan.

*) Ahmad Fatoni, Peminat sastra dan penggiat Pusat Studi Islam dan Filsafat UMM

Tan Malaka: Nasionalisme Seorang Marxis

Ignas Kleden *
http://majalah.tempointeraktif.com/

TAN Malaka meninggal pada usia 52 tahun. Setengah dari usia itu dilewatkannya di luar negeri: enam tahun belajar di Negeri Belanda dan 20 tahun mengembara dalam pelarian politik mengelilingi hampir separuh dunia. Pelarian politiknya dimulai di Amsterdam dan Rotterdam pada 1922, diteruskan ke Berlin, berlanjut ke Moskow, Kanton, Hong Kong, Manila, Shanghai, Amoy, dan beberapa desa di pedalaman Tiongkok, sebelum dia menyelundup ke Rangoon, Singapura, Penang, dan kembali ke Indonesia. Seluruhnya berlangsung antara 1922 dan 1942 dengan masa pelarian yang paling lama di Tiongkok.

Selama masa itu, dia menggunakan 13 alamat rahasia dan sekurangnya tujuh nama samaran. Di Manila dia dikenal sebagai Elias Fuentes dan Estahislau Rivera, sedangkan di Filipina Selatan dia menjadi Hasan Gozali. Di Shanghai dan Amoy dia adalah Ossario, wartawan Filipina. Ketika menyelundup ke Burma, dia mengubah namanya menjadi Oong Soong Lee, orang Cina kelahiran Hawaii. Di Singapura, ketika menjadi guru bahasa Inggris di sekolah menengah atas, dia bernama Tan Ho Seng. Setelah masuk kembali ke Indonesia, dia bekerja di pertambangan Bayah, Banten, dan menjadi Ilyas Hussein.

Pelarian dan penyamaran itu dimungkinkan, salah satunya, karena dia menguasai bahasa-bahasa setempat dengan baik. Ketika dia ditangkap di Manila pada Agustus 1927, koran Amerika, Manila Bulletin, menulis, “Tan Malaka, seorang Bolsyewik Jawa, ditangkap. Dia berbicara bermacam-macam bahasa: Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Tagalog, Tionghoa, dan Melayu.” Dalam pelarian itu, bermacam-macam pekerjaan sudah dilakukannya.

Di Amsterdam dan Rotterdam dia berkampanye untuk partai komunis Belanda pada waktu diadakan pemilu legislatif dan ditempatkan pada urutan ketiga. Di Moskow dia menjadi pejabat Komintern dengan tugas mengawasi perkembangan partai komunis di negara-negara Selatan, yang mencakup Burma, Siam, Annam, Filipina, dan Indonesia. Di Kanton dia menerbitkan majalah berbahasa Inggris, The Dawn. Di Manila dia menjadi kontributor untuk koran El Debate. Di Amoy dia mendirikan Foreign Languages School yang mendapat banyak peminat dan memberinya cukup uang. Di Singapura dia menjadi guru bahasa Inggris di sekolah menengah atas walau tanpa ijazah.

Sebelum dibuang ke luar negeri, dia dipenjarakan tiga kali oleh pemerintah kolonial, di Bandung, Semarang, dan Jakarta. Dalam pelariannya ke luar negeri, dia dipenjarakan di Manila dan Hong Kong. Setelah kembali ke Indonesia, dia dimasukkan ke penjara oleh pemerintah Indonesia di Mojokerto (1946-1947).

Dia mengagumi secara khusus pejuang kemerdekaan Tiongkok, Dr Sun Yat-sen, yang di kalangan pengikut bawah tanah dipanggil Sun Man. Dia membaca buku San-Min-Chu-I dan berkesimpulan bahwa Dr Sun tidak sepaham dengan dia dalam teori dan metode. Menurut Tan Malaka, Dr Sun bukanlah seorang Marxis, melainkan sepenuh-penuhnya seorang nasionalis. Dalam metode, dia tidak berpikir dialektis, tapi logis. Namun kesanggupan analisisnya tinggi, kemampuan menulisnya baik sekali, dan dia seorang effective speaker. Kekuatan Dr Sun terdapat dalam dua hal lain, yaitu satunya kata dan tindakan serta tabah menghadapi kegagalan. Usahanya memerdekakan Tiongkok dari Kerajaan Manchu baru berhasil pada percobaan ke-17, setelah 16 kali gagal.

Dr Jose Rizal menjadi pahlawan Filipina dan pahlawan Tan Malaka karena ketenangannya menghadapi maut. Beberapa saat sebelum dia ditembak mati, seorang dokter Spanyol rekan seprofesinya meminta izin kepada komandan agar diperbolehkan memeriksa kondisi kesehatannya. Dengan tercengang si dokter melaporkan bahwa denyut pada pergelangan tangan Dr Rizal tetap pada ketukan normal, tanpa perubahan apa pun. Ini hanya mungkin terjadi pada seseorang yang sanggup menggabungkan keyakinan penuh pada perjuangan, ketabahan dalam menderita, dan keteguhan jiwa menghadapi maut. Di sini terlihat bahwa Tan Malaka bukanlah seorang Marxis fundamentalis, karena dia dapat menghargai Dr Sun Yat-sen, nasionalis pengkritik Marxisme, dan mengagumi Dr Rizal, seorang sinyo borjuis dengan berbagai bakat tapi menunjukkan sikap satria sebagai pejuang kemerdekaan.

Kritik Tan Malaka kepada Bung Karno tidaklah ada sangkut-pautnya dengan sikap Soekarno terhadap Madilog, tapi merupakan kritik yang wajar terhadap seseorang yang sangat dihormatinya. Dasar kritiknya adalah apa yang dilihatnya sebagai kebajikan Dr Sun Yat-sen, yaitu satunya kata dengan perbuatan. Menurut Tan Malaka, ketika memimpin PNI, Soekarno selalu mengajak penduduk Hindia Belanda yang berjumlah 70 juta jiwa itu untuk berjuang mencapai Indonesia merdeka dengan menggunakan tiga pegangan, yakni sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan aksi massa yang tak mengenal kompromi. Dia memberikan apresiasi tinggi bahwa Soekarno telah banyak menderita dan dibuang ke pengasingan karena gagasan-gagasan politiknya.

Maka dia kecewa melihat Soekarno berkolaborasi dengan Jepang selama pendudukan di Indonesia. Kekecewaan ini disebabkan oleh dua latar belakang. Pertama, Tan Malaka merasa dekat dengan Soekarno, yang menerapkan aksi massa dalam perjuangan politiknya hampir sepenuhnya menurut apa yang ditulisnya di Singapura pada 1926 dalam sebuah brosur tentang aksi massa. Kedua, dia sangat terpesona oleh perjuangan kemerdekaan Filipina dengan semboyan immediate, absolute and complete independence (kemerdekaan segera, tanpa syarat, dan penuh). Kekecewaan ini sedikit terobati ketika Soekarno-Hatta atas desakan pemuda revolusioner membuat proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Salah satu karya Tan Malaka yang boleh dianggap sebagai opus magnum-nya adalah buku Madilog, yang ditulis selama delapan bulan dengan rata-rata tiga jam penulisan setiap hari di persembunyiannya dekat Cililitan. Buku itu menguraikan tiga soal yang menjadi pokok pemikirannya selama tahun-tahun pembuangan, dengan bahan-bahan studi yang dikumpulkan sedikit demi sedikit, tapi sebagian besar harus dibuang untuk menghindari pemeriksaan Jepang. Naskah buku ini praktis ditulis hanya berdasarkan ingatan setelah bacaan dihafal di luar kepala dengan teknik pons asinorum (jembatan keledai).

Ketiga soal itu adalah materialisme, dialektika, dan logika. Materialisme diperkenalkannya sebagai paham tentang materi sebagai dasar terakhir alam semesta. Logika dibutuhkan untuk menetapkan sifat-sifat materi berdasarkan prinsip identitas atau prinsip nonkontradiksi. Prinsip logika berbunyi: A tidak mungkin sama dengan yang bukan A. Atau dalam rumusan lain: a thing is not its opposite. Sebaliknya, dialektika menunjukkan peralihan dari satu identitas ke identitas lain. Air adalah air dan bukan uap. Tapi dialektika menunjukkan perubahan air menjadi uap setelah dipanaskan hingga 100 derajat Celsius.

Madilog adalah penerapan filsafat Marxisme-Leninisme. Tesis utama filsafat ini berbunyi: bukan ide yang menentukan keadaan masyarakat dan kedudukan seseorang dalam masyarakat, melainkan sebaliknya, keadaan masyarakatlah yang menentukan ide. Kalau kita mengamati hidup dan perjuangan Tan Malaka, jelas sekali bahwa sedari awal dia hidup untuk merevolusionerkan kaum Murba, agar menjadi kekuatan massa dalam merebut kemerdekaan politik. Dia bergabung dengan Komintern di Moskow dan Kanton karena setuju dengan tesis Komintern bahwa partai komunis di negara-negara jajahan harus mendukung gerakan nasionalis untuk menentang imperialisme.

Semenjak masa mudanya di Negeri Belanda, Tan Malaka sudah terpesona oleh Marxisme-Leninisme. Paham inilah yang menyebabkan dia dipenjarakan berkali-kali dan dibuang ke luar negeri. Ini berarti bukan penjara dan pembuangan itu yang menjadikan dia seorang Marxis, melainkan sikap dan pendiriannya yang Marxislah yang menyebabkan dia dipenjarakan dan dibuang. Selain itu, dia pertama-tama tidak berjuang untuk kemenangan partai komunis di seluruh dunia, tapi untuk kemerdekaan tanah airnya.

Dengan demikian, hidup Tan Malaka menjadi falsifikasi radikal terhadap gagasan Madilog yang dikembangkannya. Paradoksnya: dia seorang Marxis tulen dalam pemikiran, tapi nasionalis yang tuntas dalam semua tindakannya. Kita ingat kata-katanya kepada pemerintah Belanda sebelum dibuang: Storm ahead (ada topan menanti di depan). Don’t lose your head! Ini sebuah language game yang punya arti ganda: jangan kehilangan akal dan jangan kehilangan kepala. Tragisnya, dia yang tak pernah kehabisan akal di berbagai negara tempatnya melarikan diri akhirnya kehilangan kepala di tanah air yang amat dicintainya.

11 Agustus 2008
*) Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi.
Biografi singkat Ignas Kleden dari majalahbasis.com:
Dilahirkan di Waibalun, Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, 19 Mei 1948. Sempat bersekolah di sekolah calon pastor berkat lulus dengan predikat terbaik disekolah dasar. Namun keluar dari sekolah tersebut lantaran tidak bisa berkhotbah dengan baik. Ia Lalu memilih menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi/STFT Ledalero, Maumere, Flores (1972), meraih gelar Master of Art bidang filsafat dari Hochschule fuer Philosophie, Muenchen, Jerman (1982), dan meraih gelar Doktor bidang Sosiologi dari Universitas Bielefeld, Jerman (1995).
Ketika masih di tinggal Flores, ia sudah sering berhubungan dengan majalah Basis di Yogya, Budaya Jaya di Jakarta, dan menulis artikel semipolemik untuk majalah TEMPO. Ia juga pernah bekerja sebagai penerjemah buku-buku teologi di Penerbit Nusa Indah, Ende, Flores.

19/11/11

BELAJAR MENULIS DARI OKA RUSMINI

Sutejo
Ponorogo Pos

Perempuan kasta Brahmana ini ikhlas melepaskan “kebrahmanaan” dengan menikah seorang lelaki bernama Arief B Prasetya, seorang sastrawan muda yang kokoh karena komunitas andal di Utan Kayu bersama Nirwan Dewanto, Ayu Utami, Sitok Srengenge, dan lain sebagainya. Karya-karya Oka lebih banyak berbicara masalah sosiologis adat Bali yang dikritisinya. Sebuah upaya protes untuk menyuarakan aspirasi perempuan dalam menggugat cultur dan adat masyarakat Bali dengan berbagai hal yang kurang menguntungkan wanita. Di Jurnal Perempuan, bahkan Oka Rumini pernah dikukuhkan sebagai sosok perempuan yang teguh dan (terus) melakukan perlawanan!

18/11/11

Spiritualitas Waktu

Asarpin
http://sastra-indonesia.com/

Spiritualitas Waktu adalah pertarungan hidup mati umat manusia. Masalah sastra menyangkut masalah paling eksistensial tentang bagaimana mengolah ladang waktu, menguasai ladang waktu, dan manusia bisa jaya terhadap waktu. Jika kalian gagal melawan sang Waktu, berarti kalian mengalami kekalahan terhadap maut. Inilah pertanyaan religius paling gawat, kata Romo mangun dalam Sastra dan Religiusitas, tapi juga problem si atheis yang paling sulit dijawab. Setelah manusia membunuh Waktu, hidupnya terasa lebih ringan, karena seolah-olah ia telah lepas dari beban sang Waktu, tetapi sekaligus hidupnya lebih berat, karena dia sendiri harus menjadi Waktu.

Nietzsche membunuh Sang Kala dan menemui Kala baru melalui tiga metamorfosis: dari seekor unta lahir seekor singa; dari seekor singa menjadi anak-anak. Jorge Luis Borges mengungkai teka-teki persamaan perempuan dan cermin. Sutardji melahirkan tiga metamorfosis, o-amuk-kapak, yang tak menepati janji. Brandon Rope menampilkan komidi tentang Penyihir Yang Menari, yang mengenakan pakaian dari kulit binatang yang berhiaskan rasi bintang dan bersanding dengan anjing kesayangan, yang menunjang pandangannya tentang adanya metamorfosis seni yang lahir dari tangan pertama, sebagai hasil jawaban terhadap misi kenabian untuk berkomunikasi di atas kemampuan dunia fana.

Tuhan melahirkan metamorfosis tiga waktu primordial. Bukti-bukti arkeologi dalam metamorfosis waktu ketiga telah melenyapkan segala praduga tak berdata yang dituduhkan oleh manusia yang menganggap seni-religi-sains sebagai gambaran tiga singa saling memangsa, sekadar rongsokan di atas bendi tua yang ditarik oleh seekor unta yang hanya pasrah menerima.

“Ada renungan yang panjang terutama ketika waktu diukur dan dibekukan dalam satuan-satuan menit. Seakan-akan ada rentetan statis yang lantas dianggap sebagai waktu”. Ini kata-kata Bambang Sugiharto ketika memahami waktu dari konteks filsafat.
Memang, seperti kata Bambang mengingatkan, kita hidup dalam waktu. Karena itu, dimensi waktu kini jauh lebih relevan ketimbang dimensi ruang. Waktu menjadi bagian tak tepisahkan dari manusia, alam, dan Tuhan. Hampir semua kebudayaan yang ada di muka bumi memiliki pemahaman tentang Waktu atau waktu: waktu sebagai angka hari, bulan dan tahun sejarah, maupun waktu dalam arti makna dan pemahaman. Waktu geometris, waktu kalenderis, waktu antropologis, waktu mistis, waktu abstrak, waktu simbolis.

Waktu bertaut-erat dengan sejarah; serangkaian kejadian atau peristiwa yang dalam pandangan tradisionalisme tak dapat berulang. Waktu lampau membeku dalam sejarah dan tak dapat kembali. Musim durian tahun 2007 hanya sekali walau tahun berikutnya berkali-kali terjadi musim, namun berbeda hari, bulan atau tahun. Dan waktu tak mungkin berputar mengikuti lingkaran siklus yang sama.

Namun waktu menjadi lain ketika dilihat dari konteks makna dan pemahaman. Dengan kata lain, waktu kualiatif. Alexis Carrel mengingatkan pentingnya waktu kualitatif, karena banyak persoalan manusia dan alam raya tak terkait secara kuantitatif. Martin Heidegger memahami waktu sebagai yang sambung-menyambung antara masalalu, masakini, masadepan dan berputar-putar tanpa awal dan akhir.

Kini waktu ibarat komidi putar di taman ria yang mengelilingi lingkaran yang sama. Ratusan tahun lampau al-Hallaj telah menyebut tofik waktu sebagai lingkaran titik-titik primordial yang berputar terus-menerus dalam kesatuan antara masalampau, masakini, dan masadepan. Manusia memahami luncuran waktu sebagai proses yang tak cuma mengenai masa lalu, melainkan masakini dan juga masa depan.

Kalangan fisika kuantum konon mampu kembali ke waktu 1 miliar tahun lampau. Seorang kritikus pernah menganalogikan tahun 2007 melalui mesin waktu lewat penafsiran atas waktu dalam sajak Padamu Jua Amir Hamzah. Sang kritikus itu, kalau tidak salah, pernah mengatakan begini: skala waktu geologi kini mencakup masa jutaan, bahkan miliaran tahun, karena Bumi sendiri telah berumur sekitar 4,5 miliar tahun. “Bicara waktu untuk kosmos atau alam semesta malah lebih menggetarkan karena menjangkau sedikitnya 13 miliar tahun”, katanya dengan sangat percaya diri.

Dalam kurun yang jauh melampaui rentang waktu hidup Amir Hamzah, katanya, manusia yang cerdas dan terus mendedikasikan tenaga, waktu, dan pikiran untuk memahami rahasia alam, kini bisa kembali ke masa miliaran tahun silam. Bahkan, kalau umur kosmos disebut 13 miliar tahun, katanya yang tampak sangat matematis, maka dengan berbekal ilmu fisika kuantum, manusia dapat mereka ulang kejadian-kejadian di dekat masa 13 miliar tahun silam itu, bukan saja satu detik setelah alam semesta lahir, tetapi bahkan seperjuta-triliun-triliun-triliun detik. Luar biasa! Haruskah kita menyalahkan pencapaian sains yang ilmiah ini?

Sekali lagi, waktu ibarat komidi putar yang berkeliling menyapa kita, terus berproses mengelilingi lingkaran tanpa pusat dan tanpa sumbu atau orbit. Octavio Paz mengaitkan kenyataan puisi modern dengan waktu sebagai sebuah perulangan, yang juga tanpa awal dan tanpa akhir, terus-menerus mencari persilangan waktu, memusar ke satu titik pertemuan yang melebur kala silam, kini dan kelak.

Dalam konsep Hindu, ada istilah Mahakala (waktu tanpa akhir), yang mengatasi waktu dan siklus perputaran kelahiran kembali. Dalam kerangka reinkarnasi, waktu merupakan roda perputaran yang menyedihkan dari eksistensi di dunia yang fenomenal, yang bukan dunia nyata, melainkan maya. Karena itu mereka mencoba mengatasi apa yang imortal dan yang abadi dengan yang berubah dan tak selesai.

Dalam ajaran panca maha butha misalnya, semua makhluk hidup pada akhirnya akan terurai dan terberai atas unsur alam pembentuk kehidupan: air, api, logam dan eter. Kematian adalah siklus. Satu hidup saja memang tidak abadi, karena hidup masih sering ditata dalam prasangka kefanaan, tetapi rangkaian siklus kehidupan dan reinkarnasi dalam Hindu, itulah makna keabadian sejati.

Goenawan Mohamad, seingat saya, pernah menekankan waktu ekstasis dalam hubungannya dengan sejarah interior ketimbang sejarah eksterior, terutama dalam esai Kota, Waktu, Puisi. Ini sebaliknya dari pandangan Albert Camus, bahkan gagasan Jose Rizal—novelis terkemuka Filipina—dalam tilikan Anderson, di mana waktu dipersepsi sesuai perhitungan kalender, di mana ruang dan waktu interior justru bergeser ke ruang dan waktu eksterior, bukan sebaliknya.

Contoh menarik tentang perubahan waktu dalam konteks kebudayaan masyarakat Bugis lama pernah ditunjukkan dengan sangat menarik oleh Christian Pelras dalam esai Pendahuluan Siklus La Galigo yang Tak Dikenal. Sejak dahulu, bagi sebagian besar masyarakat Bugis terkait dengan soal waktu yang mistis melalui sejumlah ritus suci. Waktu berhubungan erat dengan upacara sinkretis. Namun ketiga Islam masuk, maka mulailah konsep waktu dikaitkan dengan ajaran Islam. Hal yang gaib disesuaikan dengan konsep Tuhan Yang Maha Esa. Sebuah paham filsafat matematis yang menekankan hanya satu sebagai bilangan pasti.

Sejak kekuasaan raja-raja Bugis dihapus dan Islam jadi patokan di segala bidang, gejala-gejala sinkretisme dan mistisisme mulai tergusur. Demikian pula dalam penanggalan Jawa kuna. Bilangan mistis, magis, dan nonrasional, akhirnya berubah sejak Sultan Mataram berkuasa dan masuknya Islam ke bumi Nusantara. Berbagai corak mistis dan magis serta misteri-misteri yang terkait dengan bilangan, telah tergusur oleh gerakan pemurnian dan ilmu pengetahuan. Sebagian besar masyarakat bahari Nusantara memiliki pemahaman tentang dunia ruang dan waktu yang spiritualis, dengan daya-daya kekuatan supranatural—terlepas apakah itu berupa yang ilahi atau setan.

Dalam astronomi Babilonia yang digerakkan oleh ras Sumaeria dan Akkadia, ruang dan waktu adalah bingkai kehidupan yang non-rasional. Pemikiran astronomi dan matematis pada awalnya masih diliputi oleh suasana pemikiran magis-mistis. Ruang dan waktu dalam sistem astronomi awal tidak berupa ruang dan waktu teoritis yang terdiri dari titik-titik dan garis-garis yang bisa diukur. Astronomi lebih dikenal sebagai astrologi. Karena astronomi tak mungkin lahir tanpa sosoknya yang mitis dan magis , yaitu sosok astrologi.

Selama ber-abad-abad sifat ini bertahan, bahkan menurut Ernest Cassirer dalam An Essay on Man, masih terdapat dalam kurun pertama abad ke-20. Namun, kesulitan-kesulitan mendasar untuk mengekspresikan ruang dan waktu abstrak dan simbolis, akhirnya dialami juga oleh para filsuf. Fakta bahwa ada ruang abstrak merupakan penemuan terpenting dari pemikiran Yunani.

Namun para pemikir Yunani, kata Cassirer, masih kesulitan menjelaskan corak pemikiran logisnya. Sama seperti aljabar simbolis Babilonia masih teramat elementer dan sederhana. Maka larilah para filsuf Yunani ke dalam pernyataan-pernyataan paradoksal. Demokritos menganggap ruang ”bukan hal ada”. Newton mengingatkan agar tak mencampur-adukkan ruang matematika murni dengan ruang pengalaman inderawi. Tugas filsafat justru mengabstraksikan data-data dari penglaman inderawi ini.

Para pemikir Berkeley menampik gagasan Newton tentang ruang matematika murni sebagai yang tak lebih dari ruang imajiner juga; suatu khayalan dalam pikiran manusia. Weinz Werner menganalisa gagasan ruang dan waktu masyarakat primitif dan secara angkuh menyimpulkan bahwa: ruang dan waktu manusia primitif kurang objektif, kurang terukur, kurang abstrak, sifatnya yang egosentris atau antromorfis, yang fisiognomis-dinamis yang tak sesuai dengan teori ruang dan waktu ilmiah. Dengan ruang geometris, katanya, maka manusia mendiami ruang universal.

Descartes berangkat dari penemuan besar di bidang matematika yang melahirkan cita-cita ideal mathesis universalis yang bermetamorfosis menjadi cogito ergo sum. Kant memisahkan pengertian antara ruang dan waktu, di mana ruang adalah bentuk pengalaman luar manusiawi, sementara waktu adalah bentuk pengalaman dalam. Demikian pula Leibniz.

Pemikiran astronomi dan matematika yang masih menyimpan kandungan metaforis dan mistis, akhirnya berubah menjadi sangat rasionalis dan khaostis. Astronomi mengugusur astrologi. Kuantitatif dalam matematika telah menggusur kualitatif. Maka ruang dan waktu mitis dan magis pun disisihkan oleh ruang dan waktu geometris. Padahal para penemu pertama astronomi dan geometri tak bermaksud meretas selubung mistik dengan teori ilmiah. Baru kemudian ketika astronomi dan pemikiran matematis Babilonia yang mistis telah beralih ke Yunani dan Arab-muslim, maka ruang dan waktu yang mistis digusur oleh yang serba-rasionalis.

Pencarian religius orang Hindu lama mengikuti jejak spiritual yang membuat mereka keluar dari siklus dan keterikatan waktu dari eksistensi, dan untuk mencapai keadaan eksistensi yang abadi, imortal dan bahagia. Budha mirip dengan pandangan Hindu yang menggambarkan keadaaan nirvana sebagai arus waktu melalui gagasan kelahiran kembali. Hanya saja, dalam kosmologi Budha, alam semesta adalah siklis, dan arus waktu kelahiran kembali itu tenyata melahirkan parinirwana—fase ketika tidak ada lagi reinkarnasi atau terhentinya kelahiran kembali.

Masyarakat ”primitif” mengenal waktu sebagai tak bisa dipisahkan dengan keseluruhan aktivitas sosial dan fenomena ekologis dan meteorologis. Ada waktu yang suci dan diangap terjadi secara periodik, dan waktu biasa tanpa kaitan dengan sesuatu yang magis dan religius. Mitos dan ritus menghadirkan kembali hal-ikhwal yang mereka percayai sebagai sejarah suci dalam wujud tindakan simbolis dan ritual. Sebagian mereka memaknai waktu dengan mengacu pada siklus hidup individu dan sosial. Siklus waktu dapat dilihat konteks geneologi, konteks mitos, dan legenda-legenda asal-usul kehidupan alam semesta.

Edward W. Said dalam Orientalisme, khususnya pada bagian tentang geografi imajinatif dan representasi dalam konteks mentimurkan timur, mengatakan begini: sampai dengan pertengahan abad ke-18, para orientalis adalah cendekiawan Injil, pengkaji bahasa-bahasa Semit, spesialis-spesialis Islam, dan sinolog-sinolog yang bergerak dalam pemahaman waktu modernis. Namun Said sendiri mengira bahwa waktu akan terhenti ketika ditafsirkan oleh modernisme sebagai waktu yang melulu matematis-geometris.

Pranata imperial, ilmu pengetahuan, dakwah agama, ternyata telah menciptakan berbagai kategori dan yang berakar kokoh dalam sistem klasifikasi dan representasi yang menyerahkan diri begitu saja pada dualisme, dan penataan dunia secara hierarkis. Linda Tuhiwai Smith dalam Dekolonisasi Metodologi misalnya, melihat waktu sebagai bagian integral organisasi kehidupan sosial masyarakat ”primtif”, namun lewat diskusi yang menghadirkan keterpautan waktu dengan revolusi ilmu pengetahuan, imperialisme, dan etika keagamaan, Linda—yang terinspirasi oleh Edward W. Said—melihat ketiga proyek ini punya andil besar dalam mengakhiri hubungan integral antara waktu dan kehidupan sosial.

Para orientalis, kata Said, telah menciptakan suatu penelitian arbitrer (sembarang) tentang Islam dan menghasilkan pandangan tentang binari antara ”daerah mereka” dan ”daerah kita”, antara yang ”objektif” dan ”yang subjektif, ”masyarakat primitif” dan ”masyarakat modern”, ”timur” dan ”barat”. Oleh karena itu kata Said pula, ”mereka jadi mereka dengan sendirinya”, daerah kita ditetapkan berbeda dengan daerah mereka. Maka, jika kita sepakat bahwa segala sesuatu dalam sejarah adalah diciptakan oleh manusia, maka kita akan memahami mengapa benda, ruang, tempat, dan waktu bisa saja diberi peranan dan arti yang (seolah-olah) memperoleh validitas obyektif hanya sesudah peranan dan arti tersebut diberikan. Padahal semua itu, kata Said sambil mencontohkan tentang ruang dalam sebuah rumah yang dipinjamnya dari Gaston Bachelard, hanyalah ilusi.

Novel Things Fall Apart Chinua Achebe dengan cantik menampilkan bagaimana misionaris Kristen telah menghancurkan tradisi Ibo masyarakat pribumi yang menempatkan waktu sebagai siklus kehidupan dan organisasi sosial yang tak tepisahkan di Niegeria-Afrika. Lewat konflik penokohan yang terjadi pada Okonkwo dan rekan-rekannya, Achebe berhasil menyampaikan secara apik gambaran tentang tragedi kemanusian yang diakibatkan oleh kehendak menyebarkan agama ke segala bangsa.

Seraya merujuk Walter Benjamin, Benedict Anderson dalam Imagined Communities menegaskan adanya analogi antara gagasan tentang sesosok makhluk hidup sosiologis yang bergerak mengikuti kalender melalui waktu yang homogen dan hampa, dengan gagasan tentang bangsa sebagai imagined communities—komunitas-komunitas terbayang.
***

Pemahaman atas waktu telah mengubah pemahaman atas alam dan manusia. Kini alam dan kehidupan bersama manusia kian berada dalam pertanyaan yang mencemaskan. Semakin lama banyak orang semakin bergantung pada alat-alat kekuasaan untuk menyelamatkan diri sendiri, yang digunakan mulai dari kedudukan hingga penguasaan ekonomi, dan dipraktekkan dari tingkat individu hingga negara. Alam yang kita kenal sebagai memiliki hukum penciptaannya sendiri (baca: hukum alam), kini justru dijadikan alat di tangan manusia untuk menundukkan misteri kehidupan.

Hukum alam sudah dimanipulasi sedemikian rupa oleh kesadaran egologi manusia lewat ilmu pengetahuan dan teknologi. Kehidupan alam mulai terancam sejak manusia menemukan teori kausalitas. Sejak silogisme Aristoteles hingga cogito ergosum Descartes sampai dengan karya arsitektur pesanan penguasa, telah jauh membawa pengetahuan manusia ke egosentris.

Hampir setiap hari kita menyaksikan manusia-manusia mesin yang telah menjadi biang keladi atas kerusakan lingkungan dan menganggap ilmu pengetahuan berada di atas hukum kosmis. Lingkungan kebudayaan yang diciptakan oleh manusia seakan mengungguli lingkungan alam ciptaan Tuhan. Pandangan purba yang menempatkan alam di atas kebaradaan manusia, dianggap sudah ketinggalan zaman. Rasionalisme dan modernisme dipercaya sebagai iman yang teguh karena konon akan memberikan harapan masa depan bagi kemajuan umat manusia.

Para perencana, arsitek, pengelola, dan pemodal, masih saja berpikir dan berlomba-lomba untuk membuat berbagai macam desain lingkungan untuk memberi mereka akses dalam memanfaatkan hamparan alam di bawah kendali ilmu pengetahuan dan teknologi. Tak mengherankan jika muncul akibat sampingan, di mana alam yang tak bisa diganggu gugat, yang sakral, yang menjadi penyangga kehidupan semua makhluk di bumi, menjadi diabaikan, dan lambat laun dikonstruksi dan diubah-jadikan sesuai dengan mesin pemangsa.

Keberadaan alam sebagai payung kehidupan di bumi terus mengalami pengrusakan. Para penghuni alam, manusia dan binatang, mengalami alienasi dan tak lagi bisa menentukan keberadaan ruang huniannya sendiri secara alami. Ozon telah lama diisukan mengalami tukak, bolong, dan mengancam kehidupan. Srigala pemangsa ternyata jauh lebih peka dalam memandang keberadaan dan fungsi alam ketimbang manusia sempurna. Sebab, manusia semakin lama justru kehilangan medianya melalui berbagai politik perijinan dan legitimasi hukum yang dijalankan sistem teknologi pemerintahan.

Imajinasi sosial kita tentang lingkungan, ruang, dan tempat menjadi impian-impian buruk di masa lalu, sekarang dan mungkin juga nanti. Berbagai fenomena baru yang muncul dalam pengalaman ruang kita di hari ini, sebagaimana juga pernah disinggung Bambang Sugiharto (2002), telah mengalami perubahan peran dan fungsi. Karena itu, kini dituntut bukan saja sekadar melakukan koordinasi atas relasi ruang dan tubuh kita, melainkan juga menciptakan pola persepsi atas pemahaman akan nilai ruang kehidupan bersama.

Para arsitek memang tak pantas dianggap sebagai biang keladi kehancuran lingkungan hidup jika saja mereka peka dalam memandang keberadaan alam dan tidak melulu menjalankan titah ilmu pengetahuan dan teknologi habis-habisan demi untuk memutlakkan mitos kecerdasanan manusia sebagai satu-satunya kuasa manusia menyaingi kuasa Tuhan. Mengikuti pandangan dan gagasan para arsitek di Lampung beberapa tahun terakhir, sungguh sangat memperihatinkan apa yang tertanam dalam benak mereka. Para dosen arsitek di kampus tampak masih enggan masuk ke dalam kajian ekologi kota dengan mengaitkannya dengan politik kota, apalagi masuk ke dalam pengimajinasian seni, budaya, dan keadilan gender. Padahal dalam perencanaan sebuah kota, tidak melulu bersifat perencanaan teknis, tetapi juga perencanaan secara politis.

Lingkungan masih sangat signifikan. Karena dalam perencanaan kota, bisa ditetapkan apakah pengembangan teknik akan diabadikan kepada tujuan yang menghancurkan lingkungan atau ke arah kesejahteraan sosial dan kelestarian lingkungan. Apakah dalam perencanaan juga akan ke arah menggusur sistem pengetahuan lokal dan menjadi alternatifnya, atau justru bisa memperkuat sistem pengetahun budaya lokal dan menjadi komplemennya.

Dalam analisa perencanaan kota selama ini, terlihat bahwa pengetahun teknik para arsitek dikonsentrasikan pada teknologi dan teknologi dikonsentrasikan pada industri yang pada gilirannya di arahkan secara terpusat pada gerakan eksploitasi lingkungan. Penelitian yang banyak dilakukan para arsitek kampus yang bekerjasama dengan pemerintah kota tentang pesisir pantai Teluk Betung misalnya, masih tersihir oleh kokok ayam empirisme-positivisme. Hasil “Studi Penataan Kawasan Pantai Sebagai Pusat Pertumbuhan Ekonomi Menuju Bandar Lampung Ecocity” (2003) yang dilakukan Jausal dkk. sangat meragukan karena adanya kesulitan yang bersifat prinsipil yang tak mereka sadari; yaitu bagaimana caranya menjaring fakta-fakta sosial dan budaya yang bersifat non-empiris dengan metode-metode empiris.

Sejarah arsitektur dan ruang kota ternyata memang ditulis oleh jenderal yang menang. Para arsitek menyikapi politik keruangan melalui pemanfaatan ruang dan waktu geometris. Proses kapitalisasi telah memposisikan ruang kota berhadapan dengan waktu yang berlari. Bahkan ruang ikut dihancurkan oleh waktu. Modernisme telah melahirkan ruang-ruang yang cemas dan genting.

Berbagai kearifan lokal dan genealogi Melayu telah diletakkan dalam kerangka antroposentrisme yang memangsa. ”Manusia hanya hidup dan berkarya dalam penguasaan sejarah yang mengabaikan kearifan yang menjadi akar penting bagi manusia dan alam”, tulis Wardah Hafidz. ”Refleksi terhadap kehidupan bersama yang bersifat mistis dalam memandang alam kita telah kehilangan peluangnya untuk dinyatakan. Posisi alam dan hubungan antar-masyarakat lebih banyak merefleksikan ketakutan bersama. Warga pun mulai kehilangan modal sosialnya—rasa saling percaya, kohesi sosial, kebersamaan”.

Bahkan menurut Wardah, perkembangan kampung yang merepresentasikan dirinya dengan pemandangan kesenjangan mencengangkan, yang meliputi perumahan, tingkat penghasilan, gaya hidup, ketertiban umum yang tidak cukup nyaman, hingga pelayanan sosial yang banyak mengandung masalah, adalah sebagian dari gambaran kehidupan bersama kita yang sudah tidak nyaman.

Pengkotak-kotakan kebudayaan terjadi dimana-mana. Model pembangunan di dalam era modernisasi hanya memikirkan dirinya sendiri-sendiri tanpa peduli faktor lain yang sesungguhnya berkaitan. Bentuk pembangunan di dalam kompetisinya untuk mencapai kemajuan (progres) menjadi semacam gurita yang menakutkan dan memangsa yang lainnya. Karena itu, konsep ”jaringan” menjadi gagasan alternatif bagi kampung-kampung di kota yang telah jatuh ke dalam curuk dan ceruk yang hiruk-pikuk, sarang pertama dalam penampungan kaum urban, kumuh dan padat, dan setiap saat berada dalam ancaman kebakaran atau penggusuran. Sejarah tidak memberi toleransi pada keberadan kaum urban poor alias kaum paria di kota-kota di Indonesia. Kehidupan bersama dalam konteks jaringan kampung bukan bermakna sebagai pembalikan ‘desa sebagai latar depan’. Kita tidak membutuhkan ‘desa sebagai latar depan’ seraya menjungkirbalikkan kota sebagai latar belakang. Apa yang dibutuhkan adalah ruang perantara dan jejaring bersama yang menghubungi latar desa-kota dalam kerangka pemikiran lebih luwes.

Kompleksitas kehidupan alam telah menenggelamkan kita ke dalam apa yang disebut krisis utopia—yang memanifestasi secara paling kuat pada hilangnya kemampuan dan keberanian masyarakat kita untuk bermimpi. Tapi jangan kecil hati dulu: baru-baru ini seorang anak muda dari latar keluarga miskin telah menghebohkan jagad kesusastraan Indonesia dengan tetralogi Laskar Pelangi. Si Andrea Hirata namanya, lewat tokoh Lintang, telah menantang kita lewat edensor untuk berani bermimpi: ”ekspedisiku telah membuka jalan rahasia yang tersembunyi di antara lipatan sekat-sekata ruang dan waktu; sebuah jalan rahasia yang menghubungkan apa yang kualami saat ini dengan peristiwa masa laluku; inilah ekstase terbesar yang hanya mungkin dicapai mereka yang berani bermimpi”.

Manusia kini terus bergulat dalam kondisi insomnia melelahkan, yang menghilangkan kejernihan akal budi untuk dapat secara kuat dan imaginatif mengatasi permasalahan. Betapa sering bencana muncul akibat tangan manusia yang telah menjelma mesin. Teori ”tangan tersembunyi” Adam Smith telah menempatkan lingkungan sebagai produk pasar yang bisa dipasarkan, dikaplingkan. Dalam lima tahun terakhir ini kita terus menyaksikan ribuan pohon bertumbangan, rumah-rumah berantakan, binatang-binatang kian menjauh dari sukma bumi oleh keangkuhan pikiran dan tangan manusia. Kehidupan di bumi tengah beramai-ramai menuju peradaban ‘kota’, ‘modern’, ‘kemajuan’, ‘pembangunan’. Secara ekologis, semua konsep yang bagus-bagus itu saling terpatahkan.

Dalam kebudayaan mutakhir, sudah jarang kita temukan ritual keselamatan bumi dan kehidupan bersama. Prosedur yang ditempuh para seniman mutakhir lebih ke arah pemberontakan terhadap konvensi dan mainstream. Padahal konsep keselamatan dalam masyarakat tradisi merupakan totemisme, acuan terhadap nilai kosmologi bersama yang ekologis sifatnya. Meraka melakukan ritual dan upacara meruwat alam dan laut sebagai keselamatan bersama, membebaskan diri dari bala dan bencana, membersihkan alam semesta dari roh jahat.

Sikap kulturalis yang mistis ini, merupakan kesadaran terpenting dalam relasi sosial kehidupan masyarakat tradisi. Segala yang berkaitan dengan alam dan lingkungan ditempat sebagai pan-kosmisme, di mana manusia hanya dipandang sebagai bagian dari alam. Tak ada pemisahan antara alam dan manusia. Alam dipandang sebagai Ibu Bumi.

Setelah berbagai bencana menimpa, baru kini kita tergerak menyediakan ruang luas untuk penciptaan alternatif-alternatif unik yang kreatif. Pemecahan konvensional dalam arti yang melulu menekankan rasio dan nalar, mungkin hanya akan mengulangi kesalahan mendasar sebelumnya. Maka yang kini kita butuhkan adalah sejenis refleksi dan keheningan untuk mengembalikan manusia ke dalam kesadaran-dirinya, keterbatasan dan kerendahatian-nya.

Kini agaknya kita rindu akan tradisi mistis purba, karena kian hari kian banyak kerusakan di bumi. Hutan terus digerus dan digunduli. Di Toraja, di Tengger, di Jawa, dan banyak lagi, masyarakat kita memiliki nilai bersama untuk menjaga bumi dari kerusakan. Meruwat bumi adalah upaya menjaga refleksi kreatif bagi pemecahan konstruktif atas permasalahan bumi dan kehidupan secara bersama.

Orang Minangkabau menyebut negerinya sebagai Alam Minangkabau, yang merepresentasikan kedekatan manusia dengan alam. Bahkan mereka juga menyebut dirinya “Anak Alam”. Dalam legenda masyarakat Lampung, banyak kita temukan kisah-kisah kehidupan ‘Anak Dalam’ yang begitu dekat dengan bumi dan lingkungan yang sakral.

Meruwat alam kembali dengan tradisi purba kian dirayakan, seakan-akan hidup memang betul-betul mengulang ke muasal yang silam. Meruwat semesta memang bisa memaknai kembali kehidupan bersama kita. Alam dan kehidupan perlu diruwat (dibersihkan) karena keberadaannya kini telah dijamah oleh tangan-tangan raksasa yang menabarkan bahaya. Kebobrokan dan ketidakjujuran yang tengah menghimpit hukum alam sudah selayaknya diruwat demi kelahiran kembali yang suci.

Kapan lagi misi profetis itu diagendakan lagi, kalau tidak sekarang nanti, atau lain kali. Karena kita tahu, sambil merujuk seorang penulis tarikh terkemuka dikalangan Kristen, bahwa manusia telah ditempatkan di akhir zaman. Goeterdaemmerung, senjakala, kalau boleh menggunakan istilah kaum postmodernis yang kini sedang ramai.

Tapi analogi itu terbukti tak juga meyakinkan, karena ”sejarah tak pernah mengenal senjakala bagi berhala”, tulis Goenawan. Setiap senja dimulai dari fajar, lalu tering yang garang dan senja yang berwarna lupa. Lalu kita masuk ke dalam malam, ke dalam sunyi ngilu dan mencekam. Tak ada lagi revolusi industri dan gerakan menyebarkan agama dengan senjata yang akan memisahkan waktu dari kehidupan manusia, masyarakat, dan alam semesta.

Alam raya, hamparan luas yang tidak lempang, dan bumi yang membentuk bola dunia, terus-menerus mengelilingi matahari tanpa akhir yang bisa kita pastikan. Maka demikian pula hidup dalam waktu, yang mungkin mengulang tapi tak mungkin berulang. Sebab segalanya kini tak pernah berakhir, tidak juga kembali. Bahkan sejarah pun adalah sebuah kelana dalam proses yang hidup, di mana yang lalu bisa hidup lagi di sini, dan yang kini atau besok bisa terhapus oleh perjalanan pematokan yang lain lagi.

Betapa musykil hidup dalam keakhiran, kepastian, ketunggalan. Tidak, kita tidak merayakan hidup sebagai satu, seperti filsafat matematika yang pongah itu, tapi kita hidup sebagai beda dan berubah. Bukan hidup dengan sesuatu yang menjulang megah dan gagah yang kita inginkan, karena terbukti tidak meyakinkan. Tapi hidup dalam transit, numpang singgah, sementara, untuk kembali berjalan undur atau maju, tak lagi tentu tuju.

Tak ada lagi ideologi yang mesti saya puja. Tidak juga pandangan-dunia, apalagi pandangan-dunia yang kukuh, bulat dan padu, karena waktu akan menuntun saya tidak menuju ke mana-mana. Antara, ruang bimbang mungkin bukan sesuatu yang pantas disebut tulus-menjadi, melainkan tulus-mencari. Kita berkata ya untuk “pasangan yang lengkap menari bersama” (Eliot) tanpa henti karena kita hidup dengan ”dua dunia belum sudah” (Rustam Effendi).

Pandangan-dunia tak lagi cocok bagi hidup di abad ke-21 ini. Hidup yang intens dan meruwah, dan mungkin juga kalah. Hidup dalam rasa hayatan puisi yang tak terikat oleh ruang dan waktu; puisi yang “lahir dari dorongan untuk mengulang momen batin yang intens itu, untuk mencapai yang tak mungkin itu”, tulis Goenawan suatu kali. Dan firdaus yang hilang mungkin saja akan kembali, seperti sejauh-jauh elang terbang akan pulang ke kandang karena “di taman ini”, kata Ayu Utami, “saya adalah seekor burung; terbang beribu-ribu mil dari sebuh negeri yang tak mengenal musim, bermigrasi mencari semi, tempat harum rumput bisa tercium, juga pohon-pohon, yang tak pernah kita tahu namanya, atau umurnya”.

Barang kali kita rindu seperti Sapardi Djoko Damono yang begitu intim dan intens mencatat percakapan sunyi, tanpa berteriak, dari beribu saat dalam kenangan surut perlahan ketika mendengar bumi menerima tanpa mengaduh sewaktu detik pun jatuh, lalu kita dengar bumi yang tua masih dalam setia, Kasih tanpa suara, sewaktu bayang-bayang kita memanjang, mengabur batas ruang (Sajak Putih). Atau, yang sempat zarah ruang dan waktu yang capai menyusun Huruf, ketika sepi manusia, jelaga, dan duka-Mu abadi (Prologue), dan di ruang semakin maya dan musim tiba-tiba reda (Saat Sebelum Berangkat) dan kita gaib dalam gema (Dalam Sakit) karena waktu hari hampir senja, menunggu senja (Lanskap) dan di bawah bunga-bunga menua, musim senja telah tiba, dan kita bertanya dengan cemas: masih adakah? (Sehabis Mengantar Jenazah). Atau cukup diamlah, karena sementara burung-burung di atas rumah menghabiskan terik kemarau, sekali waktu kita mesti memilih kata-kata dalam ruang hampa udara (Suatu Siang di Kota M).

Dan arus waktu mengalir ke muara “sajak sunyi abadi dan kristal kata” Goenawan Mohamad hingga waktu pun dibayangkan Sapardi hanya sebagai detik-detik berjajar pada mistar yang panjang: sebuah waktu matematis, di mana Desember segera mengeras di tembok semula, lalu Januari tiba dan kita hanya mengikuti garis semula sampai musim pun masak sebelum menyala cakrawala. Dan tak terasa hujan bulan Juni tiba, dan jarum jam melewati angka-angka. Hingga akhirnya kita pun cemas bertanya: kemana kita?

Kita mengikuti gema di kejauhan, sewaktu hari kian merapat, di mana jarum jam hibuk membilang saat-saat terlambat (Hari pun Tiba), dan Pada Suatu Hari Nanti kita tinggalkan kota ini, ketika menyeberang sungai, terasa waktu masih mengalir, di luar diri kita. Dan di Dalam Doa 1 akan kita pandang ke sana: Isyarat-isyarat dalam cahaya, kita pandang semesta, hingga Sebelum Surya Terakhir datang kembali memberikan tanda bahwa seluruh ruang telah siap menunggu. Namun, tiada jejak yang bisa kita simak, karena daun-daun di halaman, tirai jendela, helai-helai penanggalan, sudah mengabur dalam asap. Dan apa yang tersisa untuk kita genapkan, hanya tinggal jejak langkah, tak sampai.

Karena kita tak kuasa lagi mengekang luncuran waktu, tak mampu membebaskan diri dari alam kosmos yang telah diciptakan oleh para genius fisika dan astronomi yang memenjarakan manusia sejak Abad Pertengahan dan Renaisance. Maka sains senantiasa bergerak pada orbit-orbit tanpa batas, tanpa dapat kita kekang. Lalu waktu, bukan girilanku, kata Amir Hamzah mengingatkan. Lalu batu, lalu waktu, tulis Radhar pula: Walau kemarin berlalu tanpa hari ini, tetap kita harap nanti datang ini kali. Bahwa kita sekarang tidak ada dalam waktu, namun dalam penjara yang kita inginkan, sekaligus tidak kita harapkan.

Demikianlah hari ini, puisi hari ini. Orbit keindahan akan terus menggoda mimpi. Orbit cinta yang memberi arah bagi harmoni musik alam-manusia-dan Tuhan-terus kita kenang. Orbit kemuliaan, yang merupakan imbalan paling berharga bagi manusia yang sadar-diri, rendah hati, tulus, sabar dan tawakal, akan jadi remedi bagi luka besar manusia dan kemanusian.
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita