28/10/11

Pengakuan Anggota Waffen-SS (Günter Grass)

Dami N. Toda *
Kompas, 17 Sep 2006

Pengakuan Günter Grass bahwa dahulu dia anggota satuan pasukan elite Waffen-SS Nazi Hitler sungguh mengejutkan. Wajah kekejaman pasukan khusus Hitler SS (Schutzstaffel/regu jaga) dan Waffen-SS (regu tempur) tiba-tiba muncul kembali. Seragam tempur hijau daun zaitun dan hitam dengan leher baju bertanda aksara kembar “SS” Germania kuno, emblem berlambang kepala orang mati di bawah pedang terbelit ular siap memagut.

Terdidik berhati dingin, kejam tanpa ampun di dalam kebanggaan darah ras Arya murni dengan program sistematis membasmi yang disebut Rassich-Minder-Wertiger (warga ras rendah) dan Yahudi. Paling ditakuti, menembak tanpa kecuali anak atau wanita. Bertempur dengan moto: “Kehormatanku berarti Setia” kepada Hitler. Tetapi, mengapa Günter Grass, pemenang hadiah Nobel Sastra 1999, menyembunyikan rasa aib dan mendiamkan rasa malu terhadap kemanusiaan selama 60 tahun?

Peluncuran otobiografi Günter Grass berlangsung 1 September 2006. Tetapi, dua minggu sebelumnya, riwayat diri berjudul Beim Haut der Schwiebel (Pada Kulit Bawang) (diterbitkan Penerbit Steidl, Göttingen 2006, 479 halaman dengan harga 24 Euro) sudah menghebohkan bagai petir di siang hari. Gambaran Günter Grass berubah dari sastra berkias “Genderang Kaleng” (Blechtrommel 1956) 50 tahun lalu menjadi pisau penyayat “Kulit Bawang” (Beim Haut der Schwiebel 2006).

Riwayat diri memang kebenaran sejarah. Bukan kebenaran sastra. Günter Grass mengisi kolom Akte Prisoner of War Preliminary Record pasukan Sekutu tertanggal 3 Januari 1946 dengan rinci: Günther Grass, lahir 16 Oktober 1927 di Danzig, pangkat: Pvt SS, tinggi 1,71 m, berat 65 kg, rambut coklat, mata coklat, bertanda sidik 10 jari tangan. Tertangkap 8 Mei 1945 di Marienbad, usia 18 tahun, kesatuan: Divisi Panzer-SS (SS-Pz- Div) Frundsberg-Pz Abt Nr 337. Jabatan: regu tembak (Lade-Schütze) di bawah Heinrich Himmler.

Akte tersebut tersimpan pada arsip militer AS hingga tahun 1967 dan dikembalikan pada tahun yang sama ke Berlin ke alamat Dinas Pembenahan Anggota Keluarga Tentara Jerman yang gugur. Menteri Keamanan DDR juga memiliki “Arsip NS” (MIS) yang menurut ketentuan seluruhnya harus sudah selesai dibuka dan diterbitkan hingga Maret 2007.

Tahun 1999 masyarakat Jerman mengelu-elukan dengan bangga penerimaan hadiah Nobel Sastra bagi Günter Grass di Swedia sebagai lambang pencapaian penghargaan idealisme “nilai kemanusiaan luhur” dalam dunia sastra. Tetapi, itu sebelum kulit bawang keanggotaan Günter Grass sebagai “Satria Waffen-SS” terkelupas. Pengakuan Günter Grass kini mengejek kehormatan diri masyarakat Jerman di tengah kebijakan politik luar negeri Jerman mengirim pasukan perdamaian PBB ke Lebanon selatan, menepis kekejaman perang, bom bunuh diri, dan terorisme yang mengancam kemanusiaan.

Partai Pemerintah Polandia memperdebatkan posisi Günter Grass sebagai pemegang “Warga Kehormatan Kota Danzig” dan meminta ditarik kembali. Lech Walesa, bekas Presiden Polandia, pemegang hadiah Nobel Perdamaian dan “Warga Kehormatan Kota Danzig” mengancam mengembalikan warga kehormatannya apabila Günter Grass tidak minta maaf dan tak mengembalikan keanggotaan “Warga Kehormatan Kota Danzig”. Günter menolak imbauan Partai Pemerintah Polandia. Bahkan, terdapat surat pembaca surat kabar (SK) Jerman menganggap tuntutan Walesa dan Partai Pemerintah Polandia menghina Jerman.

Mayoritas warga Jerman (65 persen) yang dimintai pendapat tidak mengimbau Günter Grass harus mengembalikan hadiah Nobel Sastra. Wolfgang Thierse, Ketua Partai SPD tempat Günter Grass beranggota, mereaksi: “Saya juga kaget.” Bermacam surat pembaca SK memelas dan marah. Tentang masalah hadiah Nobel Sastra Günter Grass, Direktur Yayasan Hadiah Nobel Michael Sohlman menjawab SK Dagens Nyheter, “Penyerahan itu sudah selesai. Belum pernah terjadi hadiah itu ditarik kembali.”

Pengarang laris Belanda, Leon de Winter, menjawab SK Rheinischen Post, “Kalau sebuah wibawa moral mendiamkan informasi hakiki macam itu, ia harus bertanggung jawab atas kemerosotan nilai sebuah moral.” Jurnalis dan novelis India, Subhoranjan Dasgupta, menyesalkan mengapa pengakuan itu baru sekarang. Günter Grass menjawab wartawan TV, 15 Agustus malam, “Siapa mau persoalkan, silakan.” Untuk pertanyaan, mengapa tidak mengatakan dari dulu keanggotaan dirinya pada SS? Jawaban Günter Grass, “Tidak saya lakukan, dan tentang itu tetap saya diamkan. Hanya satu hal yang dapat saya katakan: di dalam buku ini masalah itu jadi tema. Tiga tahun saya menggarapnya. Di sana saya katakan tentang hal itu.”

Surat kabar tengah terbesar Jerman, Frankfurt Algemeine, 18-8-2006, sudah mengiklankan Acara “Baca Otobiografi” oleh Günter Grass pada 5 September, jam 19.00 di Gedung Opera Frankfurt dengan pesanan tiket yang lumayan mahal lewat internet. Günter Grass sebagai sastrawan tingkat moral “hadiah Nobel” tentu lain dari sepotong perjalanan sejarah riwayat hidup Günter Grass yang berlumur darah dan harus turut bertanggung jawab secara moral. Tiap pengakuan aib dan dosa terhadap kemanusiaan membutuhkan waktu memberi maaf dan pengampunan.

Definisi waktu manakah yang berlaku kini untuk seorang Günter Grass setelah yang lain usai? Definisi waktu moral atau definisi yang terlambat 60 tahun? Korban kekejaman SS masih bersaksi hingga sekarang, bukan hanya yang tersisa di kamp konsentrasi (KZ) Jerman, melainkan juga bilur-bilur yang masih berbekas di tempat lain.

Nilai sebuah sastra tiada berarti, bahkan omong-kosong tanpa pautan kebenaran dan keabadian nilai moral budaya manusia: nilai sejarah, nilai sosial-politik bahkan ekonomi. Namun, jangan lupa, riwayat diri Günter Grass ialah fakta sejarah. Bukan fiksi sastra.

Pemberian “Warga kehormatan Kota Danzig” bagi Günter Grass ialah fakta sejarah, bukan fiksi sastra. Hadiah Sastra bagi Günter Grass dan Pramoedya Ananta Toer ialah pengakuan prestasi fiksi sastra yang ditentukan relatif wewenang penuh Juri pemberi anugerah.

*) Dami N Toda, Pengajar Studi-studi Indonesia Universitas Hamburg.
Dijumput dari: http://andit2anggi.wordpress.com/2009/04/21/pengakuan-anggota-waffen-ss/

23/10/11

Puisi-Puisi Dody Kristianto

http://sastra-indonesia.com/
Berbicara Tentang Kotamu yang Terlelap

berbicara tentang kotamu yang terlelap aku bangkitkan mayat mayat yang berbaris di lenganmu kesunyian di alismu perlahan bangkit dengan sungai yang lahir melalui wujud menara tapi bulan tumbuuh di rambutmu dan perlahan kawanan pemabuk menyentuhku mencekikku lewat keabadian goa yang terkutuk ribuan cahaya segera aku mati tanpa jasad dan segala kenanganku membentuk planet hijau di otakmu tapi begitulah, imajiku mengagungkan pelacur dan kaum surealis yang beku memaku birahiku persis kutunggui kupu kupu retak di alismu rupanya kesedihanku menggugurkan dedaun dan di ketinggian bulan retak, aku mencungkil matamu dan sayap laba laba yang kudengungkan berubah seseram jenazah seperti mimpiku yang lekas berlalu, begitu pula elang elang yang berdzikir di mulutmu aku kekalkan hari seperti kelak mayatku membiru memuja gairahmu dengan mulutku yang busuk

2007



Kuarungkan 1000 Surealita

jalan jalan angkasa telah mengaburkan
1000 langkahku. seperti warna sajak dengan kehitaman pekat
kesunyian yang kuterbangkan menjelma ikan dengan insang terbuka
tapi kota kesepianku sudah kadung terluka dan langkahku lebih terlunta dari para pemabuk
aku mendekam
dengan sayapku yang tersampir di bulan
serupa mayat pelacur dengan wajah ngeri
peri peri kecil di hatiku
menjadi ketakutan

katakanlah tentang cinta yang lebih sakit
ketimbang kemenawanan kota
dengan sejuta cahayanya
aku gagal menerbangkan mimpi surealita
setelah jauh kau tinggal dalam darahku
jutaan serigala menggasang
dan ekor ku mengayun alun berganti rupa
dengan laba laba yang kau ceritakan
pada saat kau hidup kan aroma parade hitam

sajak sajakku terluka dan aku
mengawang awang
seperti kegemaranmu menyalib burung
di musim hujan

2007

Puisi-Puisi Indiar Manggara

PENARI DI ATAS KATA-KATA
(kepada dewi)

kali ini aku membisu
terbungkam jarum jam dinding
yang mengetuk setiap detik
seperti kata-kata berlarian meninggalkanku
menari di atas kata-kata.

“wahai penariku, datang dengan amatlah memesona.”

waktu yang semakin menua tersenyum
menidurkanku dalam buai indah tariannya
keringat yang membasahi imajinasi
menjamahi tiap lekuk tubuhnya
dan kubasahi dengan hitam yang elok
tertoreh dalam tariannya

bukan itu. bukan ini. entah apa?
kulukiskan saja seperti itu
pantaslah

teruslah menari di atas kata-kataku.
agar mereka pula terpaku pada detik jam dinding
yang semakin saja menua di tempatnya

15 januari '05



PUSPITA

Tertatih-tatih berjalan di atas langkah peluh
Pencerahan diam mati sepi entah menanti
Kembang sari terang redup-redup terang
Harum menakik dalam tidur pencarianku

Dingin abu-abu tergaris di bawah senyuman
Membaringkan aku di fatamorgana ruang
Di sana-di sini masih saja
Aku dan pencarianku

Sajak bulan telah rapuh terlukis cermin
Menjelma selara-selara tua retak
Tapi nafas itu masih utuh
Berhembus berdetak mempan merajut nyawa

Masih saja
Renyai harum terselip sepi
Terang redup-redup terang
Tetap menyala

9 oktober ‘05



DIA

dia
yang bersembunyi di kulit lembah dadanya
membawa desau ngilu pada jari-jari malam
selalu kulukis wajah buram itu
dan kubalutkan kerudung hitam
sehitam mantra tua di puncak kastil
sebagai garis namanya

dia
yang bersembunyi di balik pualam tubuhya
seperti lekukan puisi kelam
mengalir seperti sungai keringat di lehermu
membagikan potongan-potongan mayat dalam
sebuah kado berpita

dia
yang berada di balik tawa genitnya
mengirimku kekosongan
senyap
sepi
sunyi
bertabur mawar merah terjilat temaram lilin
aku membayang pada temaramnya

dia
yang selalu kulukis buram pada wajah itu
menoreh siang
membekas malam
tersenyum pada cercahan cermin retak
menari dalam mimpiku
menyelimuti dari renyai gerimis
malam itu dan nanti

20-23 oktober ‘05

Dijumput dari: http://indiarmanggara.blogspot.com/

13/10/11

Sabda Thok Thok Ugel: Wacana Bencana Nasional

Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/

Apa yang membuat Gunawan Maryanto (Penulis dari teater Garasi Yogyakarta) dan Henri Nurcahyo (Esais Surabaya) kesemsem dengan penampilan Teater Tirto Agung? Selama terselenggaranya Dana Hiba Teater Kompetitif 2-6 Januari 2011 di gedung PSBR yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jombang, dua pegiat seni di atas didapuk menjadi juri. Tentu minim untuk disangkal soal keakuratannya dalam menilai sebuah akting pementasan. Saya yakin. Gunawan Maryanto dan Henri Nurcahyo adalah orang yang tengik di bidang perteateran. Tentu sudah mendaur matang dari berbagai cara pandang sebelum memutuskan siapa yang menang dalam kempetisi awal tahun 2011 lalu.

Pada kategori mahasiswa dan umum, yang ditentukan dalam satu paket kemenangan, dewan juri menetapkan teater yang berjuluk Padepokan Tirto Agung sebagai juara satu. Berbeda dengan peteater lain dalam kompetisi lalu, Padepokan Tirto Agung (PTA) yang dipimpin Eko Kriwil, menyuguhkan konsep akulturasi antara teater modern dengan teater tradisi (dalam hal ini ludruk). Sepintas, seolah menonton ludruk. Husiknya pun berbada.Menurut Heru, pengendali musik dalam PTA, sengaja mengaransemen musik yang berbeda dengan musik melo sinetron.

PTA didirikan pada 7 Juni 2007 oleh tiga aktor beken Eko, Haris dan Rudi. Kegigihan mereka telah membuahkan hasil dengan memboyong 2 kali berturut turut festival teater se-kecamatan Mojoagung sebagai juara I. Selain itu, untuk mematangkan komunitasnya, Eko Kriwil mencari terobosan dengan bergabung Lawak Srimulat dan sering tayang di JTV Surabaya.

Dalam usia tiga tahun lebih, komunitas ini sudah menunjukkan ketangguhannya. Mereka tidak pesimis. Termasuk yang mendukung kekuatan PTA sebagai bayi sesar yang lahir dari ketidakbersenyawaan dengan konsep perteateran yang digabungi sebelumnya adalah menejemen program komuntasnya kedepan. PTA ini membagi rutinitas kegiatannya menjadi 4 devisi, yakni musik, tari, teater dan kepenulisan. Mereka berprinsip bahwa hal kecil yang termenejemen, akan mengalahkan hal besar yang tanpa dimenejemen.

PTA yang terjadwal pentas tanggal 5 Januari jam 15:30, mengangkat lakon’ Sabdo Dadi’. Sutradara Haris Sutikno sengaja menghadirkan nuansa tradisi. Sehingga selama pementasan yang berdurasi 96 menit itu, full dengan bahasa nJombangan.

Panggung mulai jadi sorotan mata pengunjung setelah rekanita Yuni Anitasari menghentakkan kakinya sembari menyabetkan liak liuk selendang merah, dengan dandanan ala lelaki ksatria, sedang memainkan tari remo. Berikutnya penonton dibuat garr.. gerr.. oleh dagelan Cak Eko dan Cak Ganda.

Adalah adegan yang tak bisa dipisah dalam kehidupan masyarakat Jawa Timur. Yakni menjalani hidup dengan diselingi lelucon. Asumsinya agar tidak terlalu sepaneng, tegang dan stress dalam mengatasi peroblematika hidup yang teramat gigantik ini. Tradisi lelucon di Jawa Timur sudah berkembang sejak tahun 760 M. Dimana raja Gajayana Kanyuruhan (Malang) adalah seorang seniman yang meninggalkan teori lelucon dengan membangun candi Badhut (S. Wojowasito 1984). Tradisi guyonan / ludrukan itu langgeng terus dan sempat terekam dalam penelitiannya Saripan Hadi Hutomo yang menemukan rumus kata

‘Javananch Nederduiticch Woordenboek’karya Genke dan T. Roorda (1847), ludrukan atau guyonan artinya Grappermaker. Begitu juga WJS. Poerwadarminta dalam bukunya BPE Sastra (1930).

Lakon Sabdo Dadi yang ditulis Tulus Asmoro mengisahkan hukum keseimbangan metablisme alam. Dimana perbuatan baik dan buruk pasti ditagih akibatnya (becik ketitik, olo ketoro, Gusti Alloh gak turu).

Berawal dari kisah asmara bersyarat antara tokoh yang bernama Thok Thok Ugel yang dicintai Dewi anak seorang Adipati yang sekaligus juragan Ugel. Selama menjadi porang (pekerja tetap untuk menangani sawah) Adipati, ketulusan Ugel membuat Dewi kesemsem. Mungkin juga karena sering bertemu maka tumbuhlah benih benih cinta (tresno jalaran soko gelibet). Akhirnya sang Adipati tidak menyetujui cinta mereka berdua berlanjut ke pelaminan. Adipati pun memainkan politiknya untuk menyingkirkan Ugel. Adipati bersedia merestui dengan syarat, Ugel membawa intan sebesar telur buaya.

Menyaksikan ibunya dimarai, diejek, diludahi Adipati, Ugel merasa terpanggil untuk menunjukkan bagwa ada kekuatan besar dari segala kekuatan, yakni kekuatan Tuhan. Sedangkan orang yang diutus Tuhan untuk melahirkan, merawat, serta melangsungkan kehidupan seseorang adalah sang ibu, yang dijuluki pangeran katon (Tuhan yang tampak). Ugel pun meminta ibunya merestui dirinya. Supaya, hajat Ugel yang berat terkabulkan. Betapa terhenyak Henri Nurcahyo dan Gunawan Maryanto, apalagi para penonton, begitu menyaksikan seorang aktris yang didapuk sebagai ibunya Ugel, melakukan ritual dahsyat yang zaman sekarang tak mungkin dijumpai lagi, yakni melangkahi (nyawani) Ugel hingga tiga kali. “ Tak sembadani urepmu nak, sak tibo tibomu jek blahi selamet. Asale teko gua garbanku, balek nang sua garbanku.” Seketika itu tubuh Ugel menjadi berkapasitas kuantum. Denyut jantungnya beradhesi dengan gelombang energi alam semesta. Karena manusia yang menjadi makri kosmos, maka tunduklah rotasi seluruh planet kepada Ugel.

Ugel lalu pergi ke pantai mencari intan yang diinginkan Adipati. Setelah keteguhannya memuncak di tepi pantai, Ugel pun menyabda lautan agar mengering. Seketika lautan pun mengering. Namun yang menjadi permasalahan baru ialah bagaimana kelangsungan habitat laut. Demi menyelamatkan semuanya, ahirnya Danyang (hantu) laut menuruti apa yang diinginkan Ugel, yakni lautan memberikan intannya kepada Ugel.

Sesungguhnya tidak ada kesaktian atau kekuatan apa pun bagi Ugel. Hanya sepeleh. Pada posisi kuantum (nol), berbarengan dengan energi yang memusat, saat itulah Alloh memperkenankan do’a Ugel. Cerita Ugel ini persis yang dialami Nabi Musa. Ketika dalam posisi terjepit, seketika idzrib bi ashokal bahr (pukulkan tongkatmu ke lautan), saat itulah momentum perkenan Alloh terjadi. Dan hal itu tidak akan bisa diulang pada sedetik berikutnya. Hanya moment itu.

Setelah memperoleh intan, Ugel pun mengajak ibunya melamar Dewi. Namun kenyataan kadang tak sejalan dengan apa yang diharapkan. Sesudah intan ditangan Adipat yang waktu itu diperankan Aris, na’as bagi Ugel dan ibunya. Ia malah dituding mencuri intan sang Adipati. Ugel dan ibunya diusir secara hina. Saat itulah Ugel merasa kesabaran ada batasnya. Cacing saja diinjak berkeliat kok! Apalagi manusia yang setiap hemoglobin aliran darahnya diurus serius oleh tuhan dalam tata kosmos keseimbanganNya.

Ugel kembali ke pantai. Namun tidak meminta lautan memberi intan lagi. Tetapi meminta laut memberinya gelombang tsunami yang menenggelamkan keluarga Adipati. Yang dalam pementasan sore itu, digambarkan dengan piastik selebar panggung yang digulung seperti gelombang.

Membaca tulisn rekan Hadi Sutarno yang dimuat Radar Mojokerto 16 Januari 2011, kurator seni dari teater Mentari Undar ini lebih menyerahkan nasib Ugel dan Dewi kepada penonton. Namun lebih jauh, naskah ini merupakan sarkastik terhadap bencana nasional yang tak kunjung redah. Adipati adalah simbol penguasa yang menjelang pemilu meminta rakyat membawa suara untuknya, namun setelah menjadi penguasa, hak rakyat diambil alih. Yakni hak untuk menjadi juragan yang diwakili suaranya. Sedang penguasa adalah buruhnya rakyat, jongosnya rakyat yang telah mewakilkan suaranya kepada penguasa.

Menyaksikan PTA dengan lakon Sabdo Dadi, penonton seperti dibawa kebelantara nusantara. Dimana potret kehidupan beserta pernik pernik angkaramurkanya adalah gambaran sebuah negeri yang indah dan kaya termasuk beragam juga jenis jenis kedzolimannya.

Prahara yang mendera nasional bukanlah gejala spontanitas. Melainkan jauh sebelum penguasa, pemilik modal dan jabatan berserakah, alam sudah mempersiapkan lempengan bumi yang sewaktu waktu bisa bergerak.bersama do’a rakyat yang teraniaya. Dalam lakon sebuah pertunjukan, kisah gampang diahiri oleh sutradaranya. Tetapi dalam lakon keindonesiaan, siapa yang akan menghentikan?

11/10/11

Sajak Diberangus, Kebebasan Berekspresi Hilang

Adi Marsiela
Suara Pembaruan, 16 Agust 2007

Penyair Acep Zamzam Noor, Saeful Badar, dan Alwi membacakan pernyataan sikap dari 21 komunitas seni, jurnalis, dan elemen masyarakat terkait pencabutan sajak ‘Malaikat’ karya Saeful Badar di Kantor Cupu Manik, Bandung, Selasa (14/8). Pencabutan sajak tersebut dari media massa karena ada tekanan dari organisasi tertentu yang menganggap sajak itu melecehkan umat Islam dianggap telah melanggar kebebasan berekspresi yang dilindungi UUD 1945 Pasal 28.

PRIA yang sudah cukup berumur itu tampak duduk bersila di salah satu pojok perpustakaan Kantor Redaksi Cupu Manik, Bandung, Selasa (14/8). Tulisan “Dilarang Merokok” ternyata tidak mengendurkan semangat teman-teman pria itu merokok sembari berdiskusi. Ketika mendapatkan kesempatan berbicara, pria yang menggunakan kemeja bermotif kotak-kotak dengan warna biru muda dan abu-abu itu juga tidak banyak membuka mulutnya. Dia hanya sesekali tersenyum menanggapi guyonan yang dilontarkan rekan-rekannya.

“Objek yang dari tadi kita bicarakan seharusnya angkat bicara, agar kita tahu maunya bagaimana,” kata seorang peserta diskusi sembari melihat ke arah pria itu. Orang yang dimaksud tersebut adalah Saeful Badar.

Dalam beberapa hari ini, nama penyair asal Tasikmalaya itu memang menjadi perbincangan hangat di antara seniman-seniman, akademisi, dan juga mahasiswa. Baik itu di dalam jaringan internet maupun pertemuan-pertemuan informal. Sekitar 20 orang yang memperbincangkannya hadir dalam diskusi tersebut. Mereka berasal dari berbagai daerah dan luar negeri seperti Bandung, Jatinangor, Tasikmalaya, Inggris, dan Jepang.

Benang merah dalam setiap pertemuan atau pembahasan mengenai Badar itu adalah sajaknya yang berjudul “Malaikat”.

Karya itu pernah dipublikasikan melalui lembaran budaya Khazanah, suplemen suratkabar Pikiran Rakyat (PR), yang terbit Sabtu, 4 Agustus 2007 lalu. Namun, sajak itu, oleh organisasi massa tertentu dianggap telah melecehkan umat Islam.

Mereka yang merasa dilecehkan itu sampai melayangkan surat protes terhadap surat kabar yang memuat karya Badar. Hasilnya, surat kabar tersebut mengumumkan bahwa sajak tersebut dianggap tidak pernah ada.

“Saat itu, teman dari PR memberitahu (saya) kalau sajak itu bermasalah. Ada organisasi tertentu yang protes. PR memutuskan meminta maaf dan mencabutnya,” kata Badar kepada saya seusai berdiskusi.

Dia pun mengaku panik mendengar kabar tersebut. Apalagi, sambung Badar, organisasi yang protes itu sempat ‘mengancam’ akan melakukan unjuk rasa besar-besaran dipicu oleh pemuatan sajaknya. “Saya stres, tidak menyangka akan seperti itu. Saya disarankan untuk meminta maaf, juga untuk meredakan ketegangan. Makanya saya meminta maaf,” tuturnya.

Badar merasa tidak mendapatkan paksaan saat membuat pernyataan maaf. “Saya hanya tidak ingin terjadi hal yang tidak-tidak.”

Permintaan maaf dari PR dan Badar sekaligus pencabutan sajak tersebut ternyata menimbulkan keresahan bagi kalangan seniman, jurnalis, mahasiswa, dan juga berbagai elemen masyarakat. Sedikitnya 21 komunitas seniman dan elemen masyarakat, Komunitas Azan-Tasikmalaya, Sanggar Sastra Tasikmalaya, Teater Bolon-Tasikmalaya, Komunitas Malaikat-Ciparay, Institut Nalar-Jatinangor, Aliansi Jurnalis Independen Bandung, Forum Studi Kebudayaan Institut Teknologi Bandung, Masyarakat Antikekerasan, Gerbong Bawah Tanah-Bandung, BPK 0I-Tasikmalaya, Teater 28-Tasikmalaya, Study Oriented Culture Tasikmalaya, Teater Prung Jatinangor, Lingkar Studi Sastra Cirebon, Komunitas Cupumanik-Bandung, Forum Diskusi Wartawan Bandung, Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan, Ikatan Keluarga Orang Hilang, Lembaga Kajian Agama dan HAM Tasikmalaya, Rumah Kiri, dan Forum Solidaritas Jurnalis Garut menyatakan prihatin dan penyesalan terhadap pemberangusan sajak “Malaikat” karya Saeful Badar.

“Kami juga sangat prihatin dan menyesalkan pendiskreditan nama baik penyair Saeful Badar, yang disebut-sebut seperti Salman Rushdie, sehingga penyair Saeful Badar mengalami berbagai tekanan,” tegas Acep Zamzam Noor yang mewakili rekan-rekannya membacakan pernyataan sikap.

Menurut Acep setiap individu memiliki hak untuk mengungkapkan diri secara lisan dan tertulis seperti yang disepakati dan diatur tegas dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.

Hikmat Gumelar dari Institut Nalar, Jatinangor menyatakan individu atau golongan tertentu tidaklah berhak melakukan pembenaran terhadap karya seni dan sastra hanya dari satu tafsir saja.

“Itu bentuk kekerasan simbolis yang bisa membuka gerbang ke arah berbagai kekerasan fisik dan psikis. Perbedaan pandangan, pikiran, dan sikap sehubungan dengan suatu hal sepatutnya tidak sampai menutup peluang bagi terwujudnya keadilan,” terang dia.

Terlebih, sambungnya, pertimbangan agama yang menjadi tameng dalam pemaksaan sikap dan pandangan individu atau golongan tertentu. “Janganlah mempermain-mainkan agama demi tujuan-tujuan yang sempit, picik, dan pendek.”

Kecaman lain datang dari Aliansi Jurnalis Independen Kota Bandung. Mereka mendesak media massa agar bertanggung jawab terhadap segala kemungkinan yang akan dihadapi yang menyangkut penerbitannya.

“Segala beban tanggung jawab agar tidak diserahkan semata-mata terhadap wartawan secara individu. Ini sekaligus ancaman untuk kebebasan berekspresi,” tegas Koordinator Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen Kota Bandung, Ahmad Yunus.

Seharusnya, tambah dia, ruang publik sebagai wahana ekspresi kolektif perlu dipelihara dan dikembangkan. Media massa, sebagai salah satu institusi sosial yang mengelola ruang ekspresi kolektif, sepatutnya dapat menjaga integritasnya sehingga tidak mudah dipermainkan oleh individu dan kelompok tertentu yang sikap dan tindakannya tidak sejalan dengan pemeliharaan ruang publik.

Terkait pencabutan sajak itu, Pemimpin Redaksi PR Yoyo S Adiredja mengatakan hal itu bukan diakibatkan adanya keberatan tekanan dari pihak tertentu. “Itu murni kebijakan redaksional,” paparnya kepada SP, Rabu (15/8).

Yoyo juga mengatakan pihaknya sudah memberikan kesempatan kepada para seniman dan pihak-pihak yang merasa keberatan dengan sikap PR. “Saya pikir itu sudah selesai. Mereka (seniman) kami beri hak jawab juga,” terangnya mengomentari kedatangan sejumlah seniman ke kantornya pada Selasa (14/8) malam.

Mengenai pemuatan permintaan maaf dari sang penyair di media massa yang dipimpinnya, Yoyo menyatakan pihaknya sama sekali tidak meminta Badar untuk melakukan hal itu. “Permintaan maaf seniman itu bukan kita yang minta. Kita tidak melimpahkan itu ke seniman. Semuanya tanggung jawab redaksi, ” katanya.

Berkaca pada kejadian yang menimpanya, Badar menyatakan dirinya tidak merasa jera dan akan terus berkarya. Hanya saja, dia bakal membatasi dirinya dalam menggunakan atau meminjam idiom-idiom yang menyangkut unsur keagamaan.

“Karena saya tidak pernah bermaksud menghujat. Puisi itu sebaiknya dimaknai multi tafsir. Hal-hal seperti ini tidak boleh terjadi ke depannya,” ungkap Badar seraya melempar senyumnya.

Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/08/sastra-sajak-diberangus-kebebasan.html

Menulislah dengan Profesional

Soni Farid Maulana
http://www.pikiran-rakyat.com/

ALHAMDULILLAH, pada Kamis kedua, bulan Mei 2011, laman Mata Kata kembali hadir dengan menampilkan sejumlah puisi yang ditulis oleh penyair Riyadhus Shalihin (Bandung), Kiki Padmowiryanto (Bandung), dan Budi Muhammad (Bandung). Ketiga penyair yang tampil kali ini menunjukkan kemampuannya masing-masing dalam mengolah pengalaman puitiknya.

Sejumlah puisi yang ditulis oleh Riyadhus Shalihin, diakui atau tidak, terasa segar, menarik untuk diapresiasi dan direnungkan makna yang dikandungnya. Larik-larik puisinya kerap membawa ingatan kita pada suasana-suasana puitik tertentu, yang ada kalanya terasa surealistik. Hal ini menunjukkan, bahwa Riyadhus bukan orang baru dalam menulis puisi. Dilihat dari caranya ia menulis, tampak punya jam terbang yang cukup lumayan.

Sementara itu, Kiki dan Budi tampil dengan cara yang lain, walau apa yang diungkapnya itu terasa sederhana, Namun demikian, tentu saja masih ada nilai yang bisa dipetik. Paling tidak, apa yang diungkap oleh Kiki dan Budi bukan ditulis dari ruang batin yang kosong. Ia pasti berangkat dari sebuah pengalaman, baik secara fisik maupun metafisik.

Sekalipun menulis puisi merupakan dunia rekaan, sebagaimana dikatakan Prof. Dr, A. Teeuw pengamat sastra Indonesia asal Belanda, yang banyak jasanya memperkenalkan sastra Indonesia di Belanda sana, pada kenyataannya menulis puisi bukan dimaksudkan untuk sekadar main-main. Menulis puisi, harus ada tujuan. Setidaknya ia harus turut serta mencerahkan batin pembacanya pada sebuah pengalaman tertentu.

Puisi sebagai dunia rekaan, ia tentu tidak ditulis begitu saja, Ia pasti bersangkutan dengan logika, dan daya intelektual para penyairnya. Berkaitan dengan itu, menulis puisi pada sisi yang lain tentu tidak sekali jadi, dan apa yang disebut revisi pada titik-titik tertentu selain akan mematangkan sebuah puisi, juga berfungsi untuk menyiangi puisi dari pilihan diksi yang tidak tepat, dan sebagainya. Adakalanya ketika rima diperhitungkan, ia ditulis dalam tahap revisi. Apa sebab? Karena pada tahap pertema, biasanya penyair lebih menyerahkan dirinya pada gelombang puitik yang menuntun dirinya menulis puisi hingga larik akhir selesai dituliskan.

Ada yang menarik dikatakan penyair Acep Zamzam Noor dalam percakapannya dengan penulis, jika menulis puisi hanya untuk main-main, apalagi bila main-mainnya itu tidak bermutu, maka sebaiknya tidak mengerjakan apa-apa. Karena hal itu hanya membuang-buang waktu saja. Lantas kenapa menulis puisi harus serius? Karena menulis puisi bukan hanya urusan hati semata-mata, melain juga urusan otak dengan berbagai variasinya. Karena itu menulis dengan professional. (Soni Farid Maulana/”PRLM”)***
***

Sajak-sajak Riyadhus Shalihin
Selusur Akasia

Di sini jejakmu kembali menggenang
Air matamu deras berbulir, merangkum lengkung senja
Yang menaungi kesedihanku, pencarianku.

Dan di setiap halaman tak berpenghuni
Selalu helai musim semi yang menghantarkanku terlelap
Sementara masih saja kita memetik keheningan, bersandar
pada hari – hari yang teramat sendu
Di balik temaram aku yakin kau telah berpulang pada rindu.

Biarkan hutan yang akan menyerukan namamu, biarkan selusur akasia, remah luluh daun cemara dan juga gelak limbung burung gereja, berkhidmat pada dirimu,pada kehilanganku atas wangi rerumputan, rayuan dan sela sela rambutmu yang tulus.
seperti ketika hujan pertama kali membasahi bumi, kemudian mengering menjadi sepi.

pada akhirnya aku ingin menuntun diri ku sendiri,
kecemasanku yang berlebihan pada kenangan – kenangan kita
sementara senja tak lagi menunggu iringan burung yang berpulang
dan saat kau tak ingat lagi, pada harum secangkir teh
pada bebunyian serangga menjelang malam yang
selalu membuat kau tertidur pulas.

April 2011



Pada Hutan Cibodas

1/
Selalu ada yang terlambat terkatakan.
Selalu ada yang membawaku pada memoar itu.

Apabila dedaunan telah meranggas
Hujan menyulam kata – kata
Maka kutahu di dalam gugusannya kan kutemukan wajahmu.

Selalu dingin ini yang menyelusup rerimbunan
Pada patung – patung kusam berlumut
Kita bersandar, mengatur hari
Menjejaki embun yang berselimut.

Masihkah kau sesendu dahulu?

Sulur hutan yang kita lewati
Perlahan menghilangkan keramaian
Aku mulai senang sendiri.

Bayangmu memudar
Perlahan hilang di antara genangan hujan.

2/
Ujung cemara itu mengingatkanku
Bahwa diantara bayangnya kita pernah menyusuri
jalan setapak yang tak pernah berujung ,
serat mahoni melumat rinci keheningan, saat kita saling terlelap
terpekur manja di antara rintik – rintik senja

Pohon – pohon yang tirus
Dan desah merayu ranting ranting
Perlahan menjadi senyum yang menggairahkan.

sore ini kau tampak begitu kemayu
harum nafasmu menjadi begitu kultus
mengumbar syahwat bermusim, dalam wangi dan birahi.

Aku sungguh ingin mengecup keningmu
Di antara celah celah pepohonan.

3/
Jemarimu lemah dan begitu ramping, kelak aku ingin pulang
Pada lembap benalu dan inang – inangnya.

Muara pada kasihmu mengendapkan amuk menggelegak
Dan sekali lagi aku menimbunmu dengan rayuan.

Berkelindan lembut ku susuri ujung ujung tubuhmu
Selusur lehermu adalah bebukitan sepi, ku eram dan ku lumat
Melalui tubuhmu kunikmati erangan hutan
Mengilhami jeritan angin.

Anak – anak burung menanti ibunda
Petang berayun, dan mustahil akan ku genggam lagi.
samar – samar gerimis pun berderai
Kau hanya membisu.

4/
Masihkah kau berhias dengan adanya, sebab aku selalu rindu
mencumbu pada halus guratmu yang sederhana.

Luas matamu yang membentang, mengingatkanku
pada padang edelweiss
Di musim semi, pangrango yang sunyi.

Di dahimu hinggap luruhan resah, berkecambah
dengan ribuan ciuman
Bersama rasa hangat antara unggun juga dawai malam,
Kita pun menekuni semesta kota di kejauhan.

Cahaya rumah berumbul satu persatu,
Bagai lampion yang berkelindan bermunculan
Kau pun memelukku erat.

Suatu hari kau akan menepi pada sebuah pengembaraan
dimana aku telah menantimu, kita pun berkemas
Berlabuh di ujung lembayung.

5/
Berduyun sepi menggulung hutan, bagai gondola.
Di tepi segara, dedaunan menguning
Suluh suluh bersuara, dan dunia sesaat terpejam
Berarak kalimat – kalimatmu terasa menjadi tanggung

Mengapa tak segera kita beralih ke tepian
Danau dan perahunya tertambat di haluan
Mari kita seberangi kemuning senja.

Melalui rumah – rumah tak berpenghuni
Hari ini ingin ku jemput hatimu.

Menamai mu, mengamini setiap dayuh yang mengantarkanku
Kembali padamu. Bagai induk semang di hulu
Aku akan terus menangisi hutan ini, sebab dengan adanya
sembilu ini.

Aku yakin kau akan menyahut
Kau akan menyambutku.

2011

Riyadhus Shalihin Lahir dan dibesarkan di Kota Bandung, pada tanggal 10 Desember 1989. Sempat kuliah di Jurusan Jurnalistik, Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Bandung. Kini Mahasiswa Seni Teater, Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung. Alumnus Pondok Pesantren Islamic Centre Muhammadiyah, di kaki gunung Hutan Cibodas, Bogor. Bergiat di Forum Pemahaman Nilai – Nilai Islam, STSI Bandung.
***

Sajak-sajak Kiki Padmowiryanto
Sunset

tatkala hari telah memuncak pada belas kasih Illahi
curahan anugrah-Nya menaungi pesisir,
Pura di tebing-tebing karang, gua air suci,
dan sahaja nadi-nadi keikhlasanmu

sementara di tepi keluasan lautan hatimu
kuterpana mencemburui alam nirwana,
menawar kenangan, agar lebih lama lagi
kaupamerkan lukisan pergantian waktu

dari senja ke malam
sebelum lazuardi redup perlahan,
sebelum matahari ditelan ombak
di batas cakrawala.

Tanah Lot,

13 Maret 2009.



Anjing Gamang

anjing gamang
merintih sendiri
melolongi bulan yang sembunyi
di balik kelam malam

anjing gamang
memendam gejolak rindu
liurnya menetes tawar
hidungnya mengendus
birahi betina

betina!betina!

mengapa kau balut kesepian ini

dengan diam?
mengapa cinta tak berpihak
kepadaku?
saat bayanganmu melintas

di antara deretan harapan

caraka asmara.

- kau gantungkan peluang yang
tak teryakinkan,
membuatku cemas dan ragu

melepasmu atau mencarimu?

di mana dunia tengah menanti
cerita cinta yang belum kau tuntaskan…

betina!betina!

kulacak selalu isi hatim
mengejar obsesi
andai aku anjing Kintamani
atau anjing gembala Jerman?
atau mungkin seperti yang kau mau

Bandung,

8 September 2009.

Kiki Padmowiryanto lahir di Garut 21 Oktober 1973. Menulis puisi, cerita pendek,dan artikel. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Sari Kata, majalah Aksara , Media Bersama, Kompas, Harian On Line Kabar Indonesia, beberapa antologi bersama, dan lain-lain. Kini bekerja di BNI Syariah Bandung dan tinggal di Bandung.
***

Sajak-sajak Budi Muhammad
Aceh, 26 Desember 2004 (4)

pandangan merapat
seakan tentara
dalam upacara

“gaung tangis seorang ibu”

kulit manusia abuabu
konon yang terhitung 200 ribu melayang

saat itu
kota tempat berlabuh perahu
pantai jadi terminal

“maafkan aku ibu
ini adalah kehendakNya”

gumam gempa
diamini air
juga angin

28 Desember

Budi Muhammad lahir dan tinggal di Bandung.***

Di Balik Kemajuan Sastra Indonesia

Yurnaldi
Kompas, 5 Feb 2008

ADA dua peristiwa sastra yang menarik dicermati awal tahun ini, yaitu pemberian Khatulistiwa Literary Award 2006-2007 di Jakarta dan Kongres Komunitas Sastra Indonesia di Kudus, Jawa Tengah, 19-21 Januari. Terungkap, di samping ada kemajuan, juga ada yang jalan di tempat, bahkan ada yang tak berkembang sama sekali.

Dalam acara penyerahan Penghargaan Sastra Khatulistiwa 2006-2007, 18 Januari lalu, yang dibicarakan bagaimana karya sastra dari waktu ke waktu mencapai kemajuan, menghasilkan karya berkualitas.

”Sudah tujuh tahun KLA (Khatulistiwa Literary Award) membuka jalan bagi terciptanya landasan kesusastraan yang kokoh. Anugerah tersebut telah membantu para penulis untuk meneruskan karya mereka. Setiap tahun KLA menginspirasi penulis baru dan berbakat untuk menghasilkan karya sastra berkualitas dan mendorong penerbit untuk menemukan penulis baru yang penuh ambisi. Daftar nominasi KLA yang setiap tahun menampilkan nama-nama terkenal maupun belum terkenal membuktikan hal tersebut,” kata Richard Oh, penggagas KLA.

Richard menjelaskan, KLA sudah menjadi ikon yang merepresentasikan keunggulan Indonesia di bidang sastra. Tahun ini ada penghargaan kategori baru, yaitu penulis muda terbaik.

Menurut Koordinator Tim Juri KLA Donny Gahral Adian, dari 180 judul buku yang terpilih, puluhan juri yang bekerja secara independen menetapkan masing-masing lima prosa dan puisi yang masuk final. Untuk prosa, pemenangnya adalah buku Perantau karya Gus tf Sakai (43) dan puisi buku Menjadi Penyair Lagi… karya Acep Zamzam Noor (48). Untuk kategori penulis muda terbaik—dari 10 finalis—adalah Farida Susanty (18), dengan buku Dan Hujan pun Berhenti….

”Tak perlu diragukan, sebuah anugerah sastra tentu didasarkan pada nawaitu untuk menghargai, bukan saja kedalaman galian estetik pengarang dalam karyanya, tapi juga menghargai pilihan hidupnya sebagai pengarang, menghargai jalan kepengarangan yang terjal dan berliku sebelum berbuah karya besar,” katanya.

Yang membanggakan Richard, tidak hanya mampu memberikan uang tunai kepada pemenang buku puisi dan buku prosa masing-masing Rp 100 juta dan Rp 25 juta bagi penulis muda terbaik, tetapi juga karena ada sebagian penulis sekarang yang menjadi perhatian penerbit asing. ”Sehingga diharapkan ke depan sastra Indonesia semakin mendunia,” tandasnya.

Tentang karya sastra Indonesia yang mendunia, itu juga jadi salah satu topik perbincangan di Kongres Komunitas Sastra Indonesia di Kudus. Sastrawan Sutardji Calzoum Bachri mengakui masih sedikit karya sastra Indonesia yang mendunia (diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing), seperti antara lain karya Pramoedya Ananta Toer, Putu Wijaya, Rendra, dan Sitor Situmorang.

”Beberapa karya sastra Indonesia sudah dikenal juga di dunia, seperti karya Pramoedya Ananta Toer, Putu Wijaya, Rendra, dan Sitor Situmorang. Akan tetapi, memang tidak semuanya mendunia. Yang penting, bagaimana kita berkontribusi dalam karya sastra dunia,” kata Sutardji.

Sejumlah sastrawan berharap penerbit buku Indonesia berani menerbitkan karya sastra Indonesia dalam bahasa asing. Bukan mustahil suatu waktu akan ada sastrawan Indonesia yang meraih hadiah Nobel Sastra.

Menurut pengamat sastra dari Universitas Indonesia, Maman S Mahayana, karya sastra bisa menjadi pintu masuk bagi orang asing untuk memahami kebudayaan dan masyarakat Indonesia karena karya sastra sebagai representasi kebudayaan masyarakatnya.

Setidak-tidaknya, jika penerbit swasta kurang berani menerbitkan karya sastra dalam bahasa asing, pemerintah harus turun tangan. Anggap saja ini semacam penghargaan dari pemerintah untuk sastrawan yang karyanya layak mendunia. Sebab, sampai sekarang, sastrawan Indonesia belum diperlakukan sebagaimana negara lain memperlakukan sastrawannya, di mana ada gelar/penghargaan sebagai sastrawan negara dengan segala fasilitas dan kemudahan, seperti di Malaysia dan Korea.

Jika pemerintah bisa memberikan penghargaan kepada atlet yang berprestasi Rp 200 juta per keping medali emas, kenapa untuk sastra Indonesia, sastrawan yang berprestasi di tingkat ASEAN, misalnya, tak pernah mendapat penghargaan?

Ini merefleksikan betapa Pemerintah Indonesia abai terhadap kemajuan sastra dan atau menganggap sastra tidak penting.

Sastra komunitas

Banyak persoalan di seputar sastra yang terungkap pada sesi dialog dan seminar di Kudus. Mulai dari buku sastra yang tak ada pembaruan, tak memperkenalkan sastrawan-sastrawan baru dengan karya-karyanya, soal bagaimana komunitas sastra menumbuhkembangkan kesusastraan Indonesia, sampai sastra komunitas yang terancam punah.

Parni Hadi, Ketua Dewan Pembina Komunitas Sastra Indonesia, menilai, yang mesti mendapat perhatian adalah sastra komunitas, atau sastra lokal, sastra tradisional, sastra lisan di daerah-daerah yang minim perhatian dan kepedulian pemerintah.

”Kondisinya sekarang di ambang kepunahan. Sastra lisan, sastra tradisional, atau sastra lokal kurang diperkenalkan di daerahnya sendiri karena minimnya penerbitan, minimnya pertunjukan, dan minimnya pembinaan,” ungkapnya.

Menurut dia, pejabat kita, pemerintah kita, miskin sastra. Padahal, politik kalau dijalankan dengan sastra sangat bermartabat.

Ironisnya, kata Maman S Mahayana, selama ini yang dimaksud sastra Indonesia itu adalah karya sastra yang ada di Jakarta dan kota-kota besar saja. Perjalanan sejarah sastra Indonesia banyak pemanipulasian fakta dan data dan seolah-olah terpusat di Jakarta. ”Tentu saja hal ini sangat menyesatkan,” ujarnya.

Sastrawan dan dosen Universitas Negeri Surabaya, Budi Darma, mengatakan, pandangan umum memang menyiratkan sastra yang tidak diterbitkan di Jakarta bukanlah sastra dalam arti yang sebenarnya.

”Motivasi komunitas untuk melawan hegemoni standar tertentu bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi di seluruh dunia,” ujarnya.

Keberadaan komunitas sastra ternyata membawa ideologi tertentu. Shiho Sawai, pengajar dari Universitas Gadjah Mada/Tokyo University of Foreign Studies, mengatakan, komunitas sastra adalah bentuk pelaksanaan kegiatan sastra yang khas Indonesia.

Ketua Umum KSI Ahmadun Yosi Herfanda membenarkan bahwa karya sastra sesungguhnya merupakan media yang tak terhindarkan dari pengembangan ideologi, baik disengaja maupun tidak oleh penciptanya.

Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/02/di-balik-kemajuan-sastra-indonesia.html

Puasa di “Lembur” Ahmad Bakri

Deni Ahmad Fajar*
Pikiran Rakyat, 20 Sep 2008

AHMAD Bakri (1917-1988) adalah satu dari sedikit sastrawan Sunda yang produktif. Ahmad Bakri juga tercatat sebagai pengarang Sunda favorit. Humor segar yang dibangun dengan bahasa yang lancar jadi ciri khas karya-karya Ahmad Bakri. Bisa dikatakan tidak ada karya Ahmad Bakri yang luput dari bumbu humor. Tentu humor bukan satu-satunya kekuatan pengarang kelahiran Rancah Ciamis ini.

Yang menarik, Ahmad Bakri juga banyak menulis dengan setting waktu bulan Puasa atau Ramadan. Karya Ahmad Bakri dengan setting seperti itu bisa ditemukan pada “Srangenge Surup Manten” (1968), “Ki Merebot” (1987), “Payung Butut” (1989), dan “Saudagar Batik” (2004). Tentu bukan hanya Ahmad Bakri yang menulis cerita dengan setting bulan Puasa, dan juga banyak ditemukan pada carpon (carita pondok/cerita pendek) Ahmad Bakri. Misalnya, “Bedug ti Nagri Ajrak” dan “Lebaran Poe Jumaah”. Carpon “Lebaran Poe Jumaah” dan tiga carpon lain yang ber-setting bulan Puasa, kemudian dikumpulkan dalam “Ki Merebot”. Hebatnya, setting bulan Puasa pada karya Ahmad Bakri tidak sekadar tempelan untuk membangun cerita. Pada beberapa buku, Ahmad Bakri seperti sengaja ingin membedah sampai bubuk leutik mengenai bulan Puasa di pilemburan. Paling tidak bulan Puasa di pilemburan yang diketahui dan dialami sendiri oleh Ahmad Bakri.

Akan tetapi, bukan berarti kita tidak bisa menemukan pituah atau ajaran dari karya-karya Ahmad Bakri yang ber-setting bulan Puasa. Pada “Ki Merebot” yang telanjur “dicap” sebagai cerita humor itu, kita bisa menemukan ajaran (agama Islam) di dalamnya. Karena dibungkus dengan humor yang cair, pituah yang ada pada karya Ahmad Bakri tidak kaku (ini adalah kelebihan Ahmad Bakri lainnya). Meminjam istilah Acep Zamzam Noor, di tangan Ahmad Bakri, pituah, ajaran, atau tema-tema keagamaan sering tampil dengan santai dan kadang terkesan main-main,misalnya, urang pilemburan pada zaman baheula, menandai datangnya waktu buka puasa hanya dengan melihat kelelawar keluar dari sarangnya. Bagaimana pula gemparnya urang Lembur Cilamping ketika mengetahui hari Lebaran tepat pada hari Jumat. Lebaran pada hari Jumat bagi urang Cilamping dipercaya akan mengundang harimau hanya karena pada hari yang sama ada dua khotbah, yaitu khotbah Idulfitri dan khotbah Jumat (dalam “Ki Merebot”).

Bisa jadi semua itu hanya rekaan, tapi sangat mungkin seperti itulah alam pikiran urang lembur baheula yang dialami yang kemudian dicatat Ahmad Bakri lewat karya-karyanya.

Pada beberapa karya lainnya, seperti pada “Payung Butut” misalnya, digambarkan bagaimana kebiasaan masyarakat berkirim makanan kepada orang-orang di masjid seusai menunaikan salat Tarawih atau mereka yang menggelar tadarusan. Tidak lupa pula digambarkan bagaimana gegeden (tokoh masyarakat seperti digambarkan lewat Bapak Naib) memberi tanda datangnya waktu beduk Magrib hanya dengan mengangkat tangan sehingga satu saat terjadi kecelakaan, anak-anak muda yang sedang menunggu waktu buka puasa di teras masjid langsung memukul beduk karena melihat Bapak Naib mengangkat tangan. Padahal, waktu buka puasa masih setengah jam lagi. Sementara waktu itu, Bapak Naib mengangkat tangan hanya untuk mengusir ayam yang masuk ke halaman rumahnya.

Seiring perubahan zaman, apa yang digambarkan Ahmad Bakri tentang semua hal yang terjadi pada bulan Puasa di pilemburan zaman dulu, tentu akan sulit ditemukan sekarang ini. Kalaupun masih ditemukan, tentu tidak seradikal apa yang ditulis Ahmad Bakri lewat karya-karyanya. Pada titik ini, tidak berlebihan bila karya-karya Ahmad Bakri yang ber-setting bulan Puasa, telah lahir sebagai dokumentasi tentang apa-apa yang hilang dari kehidupan urang lembur pada zaman baheula dalam “mengisi” bulan Puasa. ***

* Deni Ahmad Fajar, Anggota kelompok diskusi budaya Rawayan.
Dijemput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/09/puasa-di-lembur-ahmad-bakri.html

Manunggaling Kawulo-Gusti

Theresia Purbandini
Jurnal Nasional, 14 Sep 2008

ABDUL Hadi WM pernah melahirkan kumpulan puisi yang begitu pekat diwarnai pemikiran tasawuf Islam. Kumpulan puisi tersebut, Meditasi, memenangkan hadiah buku puisi terbaik Dewan Kesenian Jakarta 1978. Lalu, bukunya yang juga banyak mendapat perhatian, Hamzah Fansuri, Penyair Sufi Aceh, melukiskan kecenderungan pemikiran sufistiknya.

Menurut penyair Yonathan Rahardjo, gaya sufistik ini juga disosialisasikan oleh Abdul Hadi WM yang mengembangkan pengaruhnya pada tradisi penulisan puisi 1970-1980an. Ia bersama Kuntowijoyo dengan sastra profetik dan sastra transenden, Emha Ainun Nadjib dengan estetika kaffah, Danarto dengan cerpen-cerpen Islam kejawen, Darmanto Jatman dan Linus Suryadi AG dengan estetika Jawa, serta Wisran Hadi dengan estetika Minang, Taufiq Ismail dengan sajak-sajak sosial-religiusnya — sama-sama mengembangkan estetika sastra yang kemudian dikenal sebagai sastra sufistik.

Pendapat Yonathan ini didukung oleh penyair Akhmad Sekhu, yang menyebutkan gerakan tersebut sebagai arus utama dari gerakan “kembali ke akar”. Kembali ke sumber. Di antaranya: menjadikan nilai-nilai Islam dan sufisme sebagai sumber ide dalam bersastra. “Jadi puisi sufistik di Indonesia tidak lahir begitu saja, melainkan dipengaruhi oleh sastra klasik Timur Tengah. Sebuah tempat yang disebut-sebut juga sebagai awal atau cikal-bakal peradaban dunia,“ kata Akhmad.

Begotulah mata rantai yang panjang dari tradisi sastra sufistik pun bisa ditarik dari Ibnu Arabi, Hafiz, Jalaluddin Rumi, Al-Hallaj, yang di Indonesia mata rantai pun sudah mentradisi sejak Hamzah Fansyuri dengan Syair Perahu, lalu Amir Hamzah dengan sajak-sajak romantik-religiusnya. Barulah pada 1970-an, Abdul Hadi WM menghidupkannya kembali.

Estetika Timur

Sosok penting Abdul Hadi WM dianggap Yonathan tak hanya popularitas kepenyairannya, tapi juga dibekali paradigma sastra sufistik yang dikembangkannya. “Jelas sebetulnya dialah yang menyebarkan konsep ini, selain sebagai seniman dia juga ilmuwan sastra,” kata Yonathan.

Sejak 1970-an kecenderungan estetika Timur menguat dalam sastra Indonesia kontemporer, melalui puitika sufistik yang dikembangkan AbdulHadi WM. “Abdul Hadi WM ikut menafasi kebudayaan kita dengan puitika sufistik dan prinsip-prinsip seni Islami, yang ikut mendorong masyarakat ke arah pencerahan sosial dan spiritual. Pemikiran sufistik dianggap sebagai penyeimbang pengaruh budaya Barat yang hedonis dan sekular,“ kata Yonathan lagi.

Dalam salah satu puisinya, Tuhan Kita Begitu Dekat, diakui Yonathan, Abdul Hadi rupanya dengan tandas menuliskan tentang kemanunggalan atau menyatunya dirinya dengan Tuhan, seperti kemanunggalan api dengan panasnya. Dengan puisi itu Abdul Hadi ikut mengkristalkan konsep kemanunggalan makhluk dengan Tuhan yang dalam mistik Jawa disebut manunggaling kawulo-gusti dan dalam ilmu tasawuf disebut tasawuf union mistica atau wahdatul wujud.

Abdul Hadi menyediakan diri sebagai nyala, cahaya, penyuluh, penerang jalan, jika lampu Tuhan (agama) padam. Hal ini tampak sebagai komitmen Abdul Hadi dalam bersastra, seperti tersirat pada sajak-sajaknya yang lain, bahwa bersastra, menulis puisi, adalah bagian dari upaya untuk mencerahkan rohani masyarakat (pembaca).

Disisi lain, Akhmad Sekhu juga menambahkan bahwa puisi Abdul Hadi menyiratkan makna yang dalam di balik kesederhanaan kata-katanya. Sebuah karya yang populis, dikaryakan dengan totalitas melalui sumber-sumber agama dengan menyiratkan ayat-ayat agamanya serta bersentuhan dengan alam, karena alam merupakan ayat yang tercipta dari Tuhan. Yang tersirat dan yang tercipta disandingkan di dalam karya-karyanya yang bersifat pribadi, langsung menuju sang Penciptanya.

Mempengaruhi penyair 1980-an

Selanjutnya, gerakan sastra sufistik yang didukung oleh Abdul Hadi WM ini ternyata cukup “mempengaruhi” beberapa penyair 1980-an. Di antaranya sebutlah Ahmad Nurullah, Jamal D. Rahman, Acep Zamzam Noor, Achmad Syubbanuddin Alwy, Mathori A. Elwa, Soni Farid Maulana, dll.

“Mereka dianggap memilih puitika sufistik sebagai landasan kreatifnya, dengan intensitas penulisan puisi yang juga bertema sufistik itu. Tapi, jelas di sini bisa terjadi politik sastra. Kecuali dengan jujur dan mau mempelajari begitu banyak karya lain yang bermunculan, kita akan menemukan karya puisi sufistik sejati,” ungkap Yonathan.

Yonathan mengingatkan, “dalam berkarya, tidak usahlah terbebani tema maupun kaidah yang akan membelenggu. Pelajari semua, namun dalam mencipta biarlah muncul secara alami. Sufistik adalah hubungan dengan Tuhan, jujurlah dengan hubungan itu dan jujurlah dalam menulis. Tak peduli apa pun label yang bakal disandang, sebab yang penting semua karya sebetulnya adalah menuju karya sufistik, meski bukan sufistik gaya Abdul Hadi WM.”

Sementara, perkembangan tema sufistik di kalangan penyair sekarang menurut Akhmad Sekhu, masih tetap ada. Tentu dalam rangka untuk mengenal dan lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Di tengah gelombang kehidupan hedonis yang serba materialistis ini, wajar tetap ada penyair yang agamis. “Hal ini patut kita syukuri, karena ada yang masih berpegang teguh pada norma agama. Ini berkaitan dengan keyakinan. Fenomena ini sungguh dahsyat.”

Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/09/oase-budaya-manunggaling-kawulo-gusti.html

Kura-Kura Kritikus dalam Perahu?

Binhad Nurrohmat*
Media Indonesia, 12 Agu 2007

SAYA dan Taufiq Ismail adalah dua penyair yang memiliki pandangan dan sikap yang berbeda mengenai tubuh dan seksualitas dalam karya-karya sastra pengarang mutakhir kita. Taufiq gencar menistanya dan saya menolak penistaannya dan menghendaki apresiasi yang proporsional-signifikan.

Saya memandang tubuh dan seksualitas dalam kesusastraan kita sebagai kewajaran dan malah memperkaya jamahan tema kesusastraan kita. Dalam kesusastraan, urusan tubuh dan seksualitas bisa sejajar dengan urusan Tuhan, trem yang berklenengan, politik, binatang, agama, maupun gairah asmara. Rendra, Motinggo Busye, Dorothea Rosa Herliany, Sutardji Calzoum Bachri, Sitor Situmorang, Ahmad Tohari, Goenawan Mohamad, Acep Zamzam Noor, Linus Suryadi AG, dan Wing Kardjo juga menggarap urusan tubuh dan seksualitas dalam karya sastra mereka.

Demikian juga dalam karya sastra tradisional, Babad Tanah Jawa misalnya, ada cerita mengenai Syaikh Maulana Maghribi yang bertafakur di atas pohon rimbun. Karena tak tahu ada sang Syaikh, Dewi Rasawulan melepas semua pakaiannya dan mandi di telaga di bawah pohon itu. Sang Syaikh tergiur melihat sang Dewi dan ingin menidurinya. Seusai mandi, sang Dewi melihat bayangan sang Syaikh tampan itu di permukaan telaga dan sang Dewi juga merasa menidurinya. Sepulang dari telaga sang Dewi bunting. Karena merasa dipermalukan, ia mendatangi sang Syaikh. Sang Syaikh turun dari atas pohon dan mencabut kemaluannya dan menjelma tombak sakti braja sangkuh.

Namun, bila urusan tubuh dan seksualitas dalam karya-karya sastra mutakhir kita maupun masa sebelumnya, menurut Taufiq, ‘bermasalah’, sebaiknya Taufiq menempuh cara yang senonoh dan bukan menistanya dengan jargon-jargon yang dipropagandakan ke publik dengan memanfaatkan pengaruhnya sebagai tokoh papan atas. Memang ironis, petinggi majalah sastra Horison itu tak melakukan apresiasi yang proporsional-signifikan dan selalu semena-mena menghakimi serta memerangi karya-karya sastra mutakhir kita yang menyoal urusan tubuh dan seksualitas.

Taufiq mengobarkan propaganda ke publik luas tentang adanya karya-karya sastra mutakhir kita yang didakwanya sebagai komponen Gerakan Syahwat Merdeka (GSM), Sastra Mahzab Selangkang (SMS), dan Fiksi Alat Kelamin (FAK). Saya menampik propaganda Taufiq itu melalui pendapat saya yang juga saya siarkan ke publik. Saya menyatakan GSM, SMS, dan FAK itu sebenarnya tak ada dan jargon-jargon itu adalah karangan orisinal Taufiq belaka. Saya menyikapi ‘apa’ yang dipropagandakan Taufiq dan bukan ‘siapa’ yang mempropagandakannya. Bila jargon-jargon itu dipropagandakan Madonna, saya pun bakal menolaknya.

Namun, Maman S Mahayana di Media Indonesia (5/8) gegabah menganggapi pendapat saya mengenai propaganda Taufiq itu menggiring perkara seks sebagai wilayah publik menjadi urusan individu. Maman (yang kerap dijuluki kritikus itu) memang bisa bicara apa saja. Tapi ketahuilah, anggapan itu murni anggapan subjektif Maman belaka untuk mereduksi substansi pendapat saya mengenai propaganda Taufiq itu. Sadarilah, substansi pendapat saya adalah menolak ‘propaganda’ Taufiq yang menista karya sastra dan melabelinya dengan julukan GSM, SMS, dan FAK. Hanya dasar objektiflah yang saya pakai untuk menghadapi propaganda Taufiq itu dan membuang semua alasan individual-subjektif ke laut.

***

Mestinya karya dijawab dengan karya, bukan dengan penampakan perangai eksibionis-narsistis. Maman pun menyatakan demikian dalam tulisannya itu. Selain itu, menurut saya, mengapresiasi karya tak perlu dengan menggalang massa, menebarkan jargon nista, atau menghunuskan tuduhan subjektif.

Namun saya terpaksa menahan rasa prihatin teramat dalam karena dalam apresiasi maupun polemik masih saja terselenggara kekhilafan yang tak senonoh lantaran turut pula memerkarakan sebuah pendapat dalam polemik berdasarkan usia si penyampai pendapat maupun menghunuskan tuduhan apriori yang individual-subjektif terhadap si penyampai pendapat, contohnya tulisan Maman itu. Bahkan, Maman juga membawa asumsi urusan perut dan popularitas untuk menanggapi pendapat saya mengenai propaganda Taufiq itu.

Betapa rasa prihatin saya kian dalam terasa lantaran tulisan Maman itu penuh simpati mengapresiasi propaganda Taufiq dan mereduksi pendapat saya karena saya dianggapnya mualaf dan belia. Apakah karena Taufiq sudah tua membuat Maman gentar menghadapinya dan memilih ? Atau cari aman dengan mengapresiasi propaganda Taufiq itu penuh simpati? Ah, kura-kura kritikus dalam perahu.

Fakta membuktikan karya sastra mutakhir begitu banyak di depan mata dan menunggu apresiasi yang proporsional-signifikan dan mestinya kritikus menyambutnya tanpa cara pandang ruwet maupun tuduhan individual-subjektif. Fakta pun memberitahukannya melalui koran, sarasehan, dan forum pidato (kebudayaan) Akademi Jakarta, Taufiq mempropagandakan slogan GSM, SMS, dan FAK untuk menista karya dan mengubur apresiasi yang proporsional-signifikan.

Teranglah sudah, propaganda Taufiq (yang menurut Maman sebagai bentuk kepedulian atas nasib bangsa itu) telah mengajarkan teladan sempurna cara membumihanguskan apresiasi dan Maman begitu bagus meneladani melalui tulisannya itu.

* Binhad Nurrohmat, penyair.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/08/kura-kura-kritikus-dalam-perahu.html

Syair, Songket, dan Sungai

Acep Zamzam Noor*
Pikiran Rakyat, 13 Jan 2007

INDONESIA International Poetry Festival 2006 yang berlangsung di Palembang beberapa waktu yang lalu, selain menghadirkan para penyair terkemuka dari sejumlah negara, juga menghadirkan seniman-seniman lokal yang menampilkan sastra tutur. Di wilayah Sumatra Selatan (termasuk Lampung dan Bengkulu) tradisi sastra tutur atau yang lebih kita kenal dengan sebutan sastra lisan terdapat hampir di setiap kabupaten meskipun yang masih benar-benar hidup hanya tinggal di beberapa tempat. Penampilan sastra tutur di arena festival menjadi menarik karena bahasa lokal bersanding dengan bahasa-bahasa internasional seperti Finlandia, Rumania, Italia, Belanda, Jerman, Arab, Turki, Cina, Inggris, yang tentu saja bagi pendengaran saya sama-sama asingnya.

Di panggung, setiap penyair asing tampil membawakan puisi dalam bahasanya masing-masing. Mendengarkan puisi-puisi yang mereka bacakan, bagi saya dan mungkin juga sebagian besar penonton, seperti mendengarkan dukun yang sedang membacakan mantra. Memang untuk puisi-puisi berbahasa asing dibacakan juga terjemahannya dalam bahasa Indonesia, namun yang menarik dari festival semacam ini justru ketika kita mendengar langsung bahasa aslinya dituturkan oleh penyairnya sendiri. Seperti halnya mendengar mantra, kita bisa menikmati apa yang mereka bacakan meski tidak mengerti apa maknanya.

Meskipun gaya membaca penyair-penyair asing ini seperti para pembaca puisi umumnya, pengucapan mereka punya irama dan aksen yang khas. Mendengar puisi-puisi Anni Sumari (Finlandia), Peter Zilahy (Rumania), Martin Jankowski (Jerman) atau Tseud Bruinja (yang menulis dalam bahasa Frisian, salah satu bahasa lokal di Belanda) seperti mendengar rangkaian bunyi tanpa makna. Begitu juga ketika Ahmad Abdul Mu’thi Hijazi (Mesir) membacakan puisi-puisinya, saya seperti mendengar seorang kiai yang sedang berkhotbah atau berdoa, dengan kemerduan bunyi bahasa Arab yang luar biasa. Atau ketika Duoduo tampil, penyair pelarian asal Cina itu seperti sedang membacakan narasi dalam sebuah film kungfu. Ya, begitulah puisi. Kekuatannya bukan hanya terdapat pada makna, namun juga bunyi kata-katanya itu sendiri.

Ahmad Bastari Suan, penutur tradisional dari Lahat, membuka festival ini dengan membawakan syair dari Guritan dan Tadut, dua jenis sastra tutur dalam bahasa Basemah. Bastari Suan bersenandung dengan suara baritonnya yang berat. Ia duduk di atas tikar sambil menundukkan kepala dengan dagu yang disangga sebilah bambu. Entah apa fungsi yang sebenarnya dari bambu ini, apakah semacam alat bantu untuk memperkeras suara atau hanya penyangga dagu agar tidak pegal jika menunduk dalam waktu yang cukup lama. Tak banyak gerak yang dilakukan oleh seniman ini selain tangan yang kadang membuka lembaran naskah atau membetulkan posisi bambu. Ia membawakan sejumlah syair dengan khidmat dan khusyuk. Ia seperti seorang dukun yang sedang membacakan mantra.

Bagi saya yang tidak mengerti bahasa Basemah, menikmati syair dari Guritan dan Tadut ini seperti halnya mendengarkan puisi-puisi Finlandia, Rumania, Jerman, Belanda atau Cina. Cerita apa di balik syair yang Bastari Suan senandungkan, jelas saya tidak mengerti. Ketika hal ini saya tanyakan kepada T. Wijaya, seorang penyair Palembang, menurutnya syair tersebut bercerita tentang kepahlawanan. Namun ia sendiri tidak paham betul karena Basemah adalah salah satu bahasa lokal yang terdapat di Sumatra Selatan. “Di sekitar Palembang banyak sekali bahasa yang tidak semuanya saya dipahami, memang mirip dengan bahasa Palembang namun sebenarnya merupakan bahasa tersendiri,” katanya sambil menjelaskan bahwa bahasa atau budaya yang berbeda-beda itu hampir semuanya berkaitan dengan Sungai Musi, baik langsung maupun tidak. Dengan kata lain bahasa dan budaya yang berbeda-beda itu seperti disatukan oleh aliran Sungai Musi, yang merupakan sumber utama kehidupan dan kebudayaan mereka.

Palembang terkenal dengan kain songketnya yang indah, yakni tenunan tradisional yang biasa dikerjakan oleh kaum perempuan sejak zaman Kesultanan Palembang Darussalam. Palembang juga terkenal dengan sastra tuturnya yang sangat kaya, mulai dari legenda, cerita rakyat sampai syair-syair yang berkisah tentang perang atau kepahlawanan. Syair-syair patriotik ini biasanya dituturkan oleh dan untuk kalangan bangsawan, sementara legenda dan cerita rakyat populer di kalangan masyarakat kebanyakan. Selain itu, Palembang juga dikenal dengan sungai-sungainya yang lebar dan panjang. Kota yang bersejarah ini konon dialiri oleh sembilan sungai yang semuanya bermuara ke Sungai Musi. Sembilan sungai ini melambangkan beragam suku dan bahasa yang terdapat di wilayah Palembang dan sekitarnya, yang dikenal sebagai kawasan Batanghari Sembilan.

Tiga ikon Palembang ini, yakni syair, songket dan sungai, diangkat oleh Lingkar Studi Teater Palembang (LSTP) menjadi sebuah pergelaran sastra tutur kreasi baru dengan judul “Tenunan Syair Batanghari Sembilan”. Tidak seperti Bastari Suan yang membawakan syair-syairnya secara tradisional, LSTP memadukan banyak unsur menjadi sebuah kolaborasi sastra tutur yang cukup menghibur. Syair yang menjadi materi pergelaran bukan hanya dituturkan atau disenandungkan, namun pada bagian-bagian tertentu juga dibawakan secara teatrikal. Jika Bastari Suan hanya bertutur sendirian tanpa pengiring, LSTP membawakannya dalam sebuah ensambel. Ada gitar, ada bass, ada jimbe, dan terebang. Tentu saja ada juga alat-alat tradisional dari bambu semacam celempung serta bambu berisi pasir yang digerak-gerakkan. Selain itu tampil pula seorang perempuan tua yang sedang menenun songket. Perempuan ini bukan hanya dipajang sebagai hiasan, namun bagian penting dari pergelaran. Bunyi-bunyian yang dikeluarkan dari alat tenunnya menjadikan musik lebih kaya. Pergelaran menjadi semakin meriah karena di samping para pemain yang memakai pakaian tradisional dari songket, setting panggungnya pun menggunakan lembaran-lembaran kain songket yang gemerlapan.

“Songket tidak hanya terdapat di Palembang tapi juga di Medan, Padang, Jambi, dan Lampung. Songket itu milik kebudayaan Melayu, jadi terdapat juga di beberapa tempat di Malaysia. Hanya songket Palembang memang lebih dikenal orang, mungkin karena kehalusannya atau entah karena apanya,” kata Anwar Putera Bayu, penyair Palembang yang lain. Di Palembang kerajinan songket ini masih hidup dan berkembang, sejumlah pengrajin bahkan mencoba mengangkatnya menjadi kain yang bergengsi dan mahal. Anna Kumari misalnya, dengan kreatif memadukan motif-motif songket dengan tenun ikat, tenun tajung (seperti tenunan untuk kain sarung), batik jumputan, dan batik prada sehingga menghasilkan corak dan warna yang indah. Fungsinya pun bukan hanya untuk pakaian tradisional, tapi untuk keperluan-keperluan yang lebih luas seperti jas, kemeja, gaun wanita, busana Muslim bahkan jilbab. “Songket juga cocok untuk gordin jendela, bed cover, taplak meja, tas tangan, kipas, bantal, hiasan dinding atau dekorasi panggung seperti ini,” ujar seorang pegawainya dengan bangga.

Pergelaran LSTP pada penutupan festival puisi internasional ini membawakan salah satu bagian dari Syair Perang Menteng yang sangat panjang. “Pergelaran ini mencoba mengangkat 22 bait bagian awal. Secara keseluruhan syair ini berisi 260 bait yang menceritakan peperangan antara Kesultanan Palembang Darussalam melawan penjajah Belanda,” kata Vebri Al-Litani yang menjadi vokalis dari kelompok ini. Menteng berasal dari kebiasaan orang-orang Palembang ketika mengucapkan nama Mutinghe, seorang komisaris yang diangkat pemerintahan kolonial untuk memimpin wilayah Palembang dan Bangka pada tahun 1817. Jadi kata Menteng diambil dari nama seorang komisaris Belanda.

Syair Perang Menteng sendiri ditulis sekitar tahun 1819-1821, ketika peperangan tengah berlangsung. Syair ini menceritakan bagaimana peperangan dimulai, yakni sewaktu Belanda dan Ambon yang dipimpin Ideler Mutinghe alias Menteng bersama-sama menyerang Kesultanan Palembang. Namun rakyat Palembang yang dipimpin oleh Haji Zein bahu-membahu mempertahankan diri sekuat tenaga. Dalam syair ini diceritakan pula bagaimana kegigihan rakyat Palembang dengan senjata apa adanya yang berjuang tanpa rasa takut berhasil memukul mundur pasukan kolonial meskipun Haji Zein, sang komandan, harus gugur sebagai syuhada.

Vebri Al-Litani juga menjelaskan, dalam pergelarannya ditampilkan berbagai gaya bertutur dari tradisi-tradisi yang ada di Sumatra Selatan, seperti Bekisoh yang merupakan gaya bertutur untuk kalangan bangsawan, Guritan dan Tadut gaya bertutur dari Basemah, Senjang gaya bertutur dari Sekayu serta Irama Batanghari Sembilan, sejenis pantun yang biasa dinyanyikan dengan iringan gitar tunggal. “Kami mencoba menampilkan kekayaan tradisi yang dimiliki Sumatra Selatan ini dalam sebuah paket pergelaran, tentu dengan upaya-upaya untuk bisa menemukan pengucapan baru yang segar,” katanya seusai pertunjukan.

Bagi saya, yang menjadi salah seorang peserta dalam festival ini, pergelaran Tenunan Syair Batanghari Sembilan merupakan sebuah terobasan yang perlu dicatat dari seniman-seniman muda Palembang, khususnya dalam mengangkat berbagai kekayaan lokal. Terobosan yang memberikan semacam aksentuasi bagi sebuah festival puisi internasional yang berlangsung di daerahnya. Yang mereka pergelarkan bukan sekadar sastra tutur, musik dengan alat-alat tradisional atau kain songket dengan beragam corak yang membalut pementasan, namun semacam instalasi yang menenun unsur-unsur budaya dengan meriah, semacam bunga rampai yang merajut tradisi-tradisi yang masih ada. Tradisi-tradisi yang tentu masih dan akan terus hidup dan dihidupi oleh masyarakat pendukungnya.
_____________________
*) Acep Zamzam Noor, Penulis, Penyair dan pelukis.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/01/esai-syair-songket-dan-sungai_13.html

09/10/11

Tiga Usia Jacques Derrida (Sebuah Wawancara dengan Bapak Dekonstruksi)

Wawancara Kristine McKenna ini dimuat LA Weekly, 9 April 2003. Diterjemahkan ANTARIKSA

Ketika orang berbicara tentang intelektual Prancis yang gila dan superstar esoteris, ketika mereka tersandung oleh kata dekonstruksionisme di Entertainment Weekly dan bertanya-tanya apa kira-kira artinya, ketika para mahasiswa di seluruh dunia dipaksa untuk memahami apa artinya, seperti yang sudah mereka lakukan selama 20 tahun ini, semuanya mesti dikembalikan kepada Jacques Derrida. Derrida, salah satu figur intelektual paling berpengaruh pada seperembat abad terakhir, adalah Bapak Dekonstruksionisme, sebuah sistem analisis yang kontroversial, yang dirancang untuk membongkar bahasa dan membuka bias dan kesalahan-kesalahan asumsi yang melekat di dalamnya. Berakar pada keyakinan bahwa bahasa memuat hal-hal yang tak bisa atau dihalangi untuk mencapai kesadarannya yang penuh, Dekonstruksionisme merupakan sebuah metodologi lentur yang bisa diterapkan pada tiap-tiap dan semua teks—dan memang, dampaknya pada kritik sastra sejajar, jika tidak lebih besar, dari jejak yang ditinggalkannya pada wacana filsafat.

Lahir pada 1930 dalam keluarga Yahudi Sefardis [pengikut tradisi dan kebiasaan kaum Yahudi yang menetap di Spanyol dan Portugal pada akhir abad ke-15] di Aljazair, Derrida mula mempertanyakan prasangka intelektual pada usia 10 tahun, ketika Aljazair dikendalikan oleh rezim Vichy dukungan Prancis. Dia dikeluarkan dari sekolah setelah sebelumnya seorang guru memberitahunya bahwa, “kebudayaan Prancis tak dibuat untuk anak Yahudi”. Dia lalu dikenal sebagai murid pengganggu dan berkepala batu, dan pada usia 19 tahun dia pindah ke Paris untuk belajar filsafat di École Normale Supérieure. Di sanalah dia bertemu Marguerite Aucouturier, seorang psikoanalis, yang dinikahinya pada 1957. Belajar di sana dari 1952 hingga 1956, focus Derrida terutama adalah pada karya-karya filsuf Jerman Edmund Husserl dan Martin Heidegger, dan tulisan-tulisannya tentang mereka membuatnya memperoleh beasiswa ke Harvard pada 1956. Dia kembali ke Paris pada 1960 untuk mengajar filsafat di Sorbonne, dan 2 tahun kemudian menyatakan kemerdekaannya sebagai filsuf dengan menerjemahkan karya Husserl, Origin of Geometry, dengan memberinya kata pengantar sangat panjang yang membuat esai Husserl jadi tampak tak seberapa. Pada 1967 dia menerbitkan gagasan pokoknya dalam 3 buku yang terus dibicarakan hingga kini—Speech and Phenomena, Writing and Difference, dan Of Grammatology—yang membawanya ke pusat wacana filsafat. Derrida, yang telah menulis 45 buku dan telah diterjemahkan ke dalam 22 bahasa, diangkat menjadi profesor tamu di University of California at Irvine pada 1986. Satu kebijakan besar dibuat universitas, yaitu memulai proyek arsip Derrida pada 1990.

Derrida berbicara dengan saya di kantornya yang sederhana di Irvine. Mengingat karya-karyanya yang ambisius dan tak kenal takut, mengejutkan bahwa ternyata dia orang yang gampang ditemui, dan gagasan-gagasannya lebih tak menciutkan nyali ketika dibicarakan ketimbang dituliskan. Dia orang yang sangat hangat, dan kharismanya muncul jelas di sepanjang bagian Derrida, sebuah film dokumenter arahan Kirby Dick dan Amy Ziering Kofman yang diluncurkan minggu ini.

Mengapa Anda setuju tampil dalam film ‘Derrida’?

Saya tak serta-merta setuju. Saya mesti mulai dengan berusaha keras menerima ketidaknyaman yang saya rasakan tentang gambar saya di foto-foto. Dalam penerbitan saya berhasil melewati hampir 20 tahun tanpa satu pun kemunculan foto diri saya dalam hubungannya dengan buku-buku saya, dan ada dua alasan untuk itu. Pertama, saya punya apa yang mungkin Anda sebut sebagai penolakan ideologis atas fotografi konvesional—potret wajah, gambar seorang penulis dengan meja kerjanya—karena hal itu seperti sebuah konsesi untuk penjualan atau untuk media. Alasan yang kedua adalah bahwa saya selalu mempunya hubungan yang sulit dengan tubuh dan gambar saya sendiri. Sulit buat saya melihat diri saya sendiri pada foto. Jadi selama 20 tahun saya memberi ijin kepada diri saya sendiri untuk menghapus gambar saya dengan alasan politis. Dekade terakhir ini menjadi lebih sulit, karena saya terus-menerus tampil di ruang publik pada konferensi yang dihadiri wartawan, kebanyakan dari mereka mengambil gambar saya. Akhirnya ini jadi tak mungkin dikendalikan, dan kemudian saya merasa tiba waktunya untuk mengalahkan penolakan ini, akhirnya saya membiarkannya. Dan saya mesti bilang, saya tekejut dengan keberhasilan film itu dalam memadukan kehidupan sehari-hari keluarga yang bersifat privat dengan hal-hal yang kurang privat—perjalanan yang saya lakukan ke Afrika Selatan selama masa pembuatan film, umpamanya—dan refleksi tentang subjek-subjek besar. Film itu tetap pada jalur tersebut, dan bertanya tentang biografi penulis. Apakah seorang filsuf mesti punya biografi?

Bagaimana mungkin seorang filsuf tak punya biografi?

Tentu dia punya biografi, tetapi pertanyaan yang saya ajukan adalah apakah kita mesti menerbitkannya. Haruskah dia menceritakan biografinya sendiri? Haruskah dia memberikan hidupnya kepada publik dan ditafsirkan?

Bagaimana Anda memisahkan tulisan seorang filsuf dengan hidupnya?

Saya tak tahu apakah itu bisa, tetapi kebanyakan filsuf klasik telah berusaha memisahkannya, dan beberapa di antara mereka berhasil. Jika Anda membaca teks-teks dalam tradisi filfasat, Anda akan tahu bahwa mereka hampir tak pernah bilang “Aku”, dan tak berbicara sebagai orang pertama. Sejak Aristoteles hingga Heidegger, mereka berusaha menganggap hidup mereka pribadi sebagai sesuatu yang berada di pinggiran atau sesuatu yang kebetulan. Yang esensial adalah pengajaran dan pemikiran mereka. Biografi merupakan sesuatu yang empiris dan berada di luar, dan dianggap sebagai sebuah kebetulan yang tak punya hubungan esensial dan perlu dengan sistem atau aktivitas filosofis.

Di film itu Anda ditanya: Jika Anda bisa berbicara dengan filsuf yang Anda kagumi dalam semua hal, hal apa yang ingin Anda dengar? Anda menjawab, “Kehidupan seks mereka, karena itu adalah hal yang tak mereka bicarakan”. Tetapi ketika pewawancara bertanya tentang kehidupan seks Anda sendiri, Anda menolak menjawab. Mengapa wilayah ini tak terjamah?

Saya menolak menjawab pertanyaan bukan karena saya pikir itu adalah hal yang mesti disembunyikan, tetapi karena saya tak mau membuka aspek paling personal dari kehidupan saya sembari bergaya di depan kamera dan berbicara dengan bahasa asing. Jika saya membicarakan hal semacam itu, saya lebih memilih mempertajam alat-alat saya—tulisan saya. Jika Anda membaca saya, Anda akan menemukan banyak teks dimana saya membicarakan pertanyaan-pertanyaan ini dengan cara saya. Glas [1974], The Post Card: From Socrates to Freud and Beyond [1980], dan Circumfession [1991] adalah karya-karya biografis, dan kehidupan serta hasrat-hasrat saya tertulis dalam semua karya saya.

Bisakah Anda mengingat momen ketika Anda menyadari bahwa Tuhan, sebagaimana kata itu dipahami secara konvensional, adalah sebuah gagasan yang tak bisa Anda rengkuh?

Untuk mendiskusikan hal ini kita mesti berpegang pada definisi tertentu tentang tuhan—yaitu sebagai kata yang dipahami secara konvensional. Tetapi, ya, saya bisa mengingatnya. Waktu kecil, saya secara berkala dibawa ke sebuah sinagog di Aljazair, dan itu adalah salah satu aspek Yudaisme yang saya suka—musik, umpamanya. Namun kemudian, sebagai seorang remaja saya mulai melawan agama, tidak atas nama atheisme, tetapi karena saya menyadari bahwa agama seperti yang dijalankan dalam keluarga saya penuh dengan salah pengertian. Ia membuat saya tak berpikir, hanya melakukan pengulangan-pengulangan buta, dan khususnya ada satu hal yang menurut saya tak bisa diterima, yaitu hilangnya penghormatan. Kehormatan membawa dan membaca Torah diperjual-belikan di Sinagog, dan menurut saya itu buruk sekali. Lalu ketika saya berumur 13 tahun, saya membaca Nietzche untuk pertama kali, dan saya pikir saya tak sepenuhnya memahami dia, dia memikat saya. Buku harian saya kemudian dipenuhi kutipan dari Nietzche dan Rousseau—dewa saya lainnya pada waktu itu. Nietzche bertujuan menyerang Rousseau, tetapi saya menyukai keduanya dan bertanya-tanya, bagaimana saya bisa mendamaikan keduanya dalam diri saya?

Heidegger mengatakan, dalam sebuah wawancara sesaat sesudah Perang Dunia II, yang dia minta tak diterbitkan hingga kematiannya pada 1976, “Filsafat sesudah Nietzsche tak dapat menawarkan pertolongan dan harapan bagi masa depan umat manusia. Yang bisa kita lakukan hanya menunggu kehadiran kembali Tuhan. Hanya Tuhan yang bisa menyelamatkan kita sekarang”. Anda setuju?

Saya tak akan menggunakan istilah “tuhan”, tetapi yang menarik buat saya dalam pernyataan ini adalah tentang Heidegger yang anti-religius. Ia dibesarkan sebagai seorang Katolik, tetapi dia mati-matian menolak Kristianitas, jadi tuhan yang dia tunjuk bukanlah tuhan yang kita tahu. Dia menunjuk tuhan yang bukan hanya belum lagi datang, tetapi mungkin juga tuhan yang tidak eksis. Dia menamai tuhan untuk menyebut sesuatu yang diharapkan, dan mengiaskan bahwa sesuatu yang akan datang dan menyelamatkan kita akan kita beri nama tuhan. Saya tak setuju dengan pernyataan ini jika ia mendorong harapan akan keselamatan. Tetapi jika pernyataan itu berarti kita tengah menunggu kedatangan sesuatu yang tak terduga, dan bahwa kita mesti bersabar menunggu kedatangannya, maka saya tak berkeberatan. Ini adalah sesuatu yang saya sebut sebagai mesianitas tanpa mesianisme (messianicity without messianism), dan manusia sesungguhnya bersifat mesianis. Kita tak bisa tidak begitu, karena kita eksis dalam sebuah keadaan mengharapkan sesuatu akan terjadi. Meski kita tengah berada dalam sebuah keadaan hampa harapan, dorongan akan pengharapan merupakan bagian tak terpisahkan dari hubungan kita dengan waktu. Hampa harapan hanya mungkin karena kita berharap bahwa sejumlah kebaikan atau seseorang yang kita cintai akan datang. Jika itu yang dimaksudkan Heidegger, maka saya setuju dengannya.

Apakah Anda takut mati di masa kanak-kanak, selama berlangsungnya Perang Dunia II?

Tidak. Masa perang adalah pengalaman yang sulit bagi saya, tetapi itu tak bisa dibandingkan dengan apa yang dialami orang-orang Yahudi di Eropa. Ada anti-Semitisme yang sangat buruk di Aljazair, tapi di sana tak ada Jerman, tak ada kamp konsentrasi, tak ada deportasi Yahudi besar-besaran. Tetapi trauma itu tetap ada. Ketika Anda dikeluarkan dari sekolah tanpa tahu kenapa, itu menandai Anda.

Dalam buku Ron Rosenbaum yang terbit 1998, Explaining Hitler, ia menyatakan bahwa korban terbesar Hitler adalah pemaknaan atas Holocaust itu sendiri, karena makna koheren tak dapat ditemukan pada Holocaust. Anda setuju?

Saya akan sangat hati-hati di sini. Saya tahu ada beberapa filsuf yang berpikir bahwa hal yang benar-benar baru dalam pembantaian Holocaust adalah bahwa di sana tak ada struktur pengorbanan (sacrificial structure). Ia sangat dingin, rasional, industrial, dan tak diberi makna pengorbanan (sacrificial meaning). Saya tak yakin bahwa itu benar. Saya tak siap menjawab pertanyaan itu tanpa memikirkannya dengan lebih mendalam.

Apa pertanyaan pokok filsafat yang mesti dijawab?

Pertama-tama, bagaimana menangani hidup manusia dan bagaimana hidup bersama secara baik—ini juga soal politik. Soal inilah yang dibahas dalam filasafat Yunani, dan sejak awal filsafat dan politik sangat berkaitan satu sama lain. Kita adalah mahluk hidup yang punya kemampuan untuk mengubah hidup, dan kita menempatkan diri kita di atas binatang-binatang lainnya. Saya bersikap kritis terhadap pertanyaan tentang binatang dan bagaimana ia dibicaraan dalam filsafat, tapi itu soal lain. Hingga kini kita berpikir bahwa kita bukan hewan dan kita punya kemampuan untuk mengatur kehidupan kita. Filsafat mengajukan pertanyaan: Apa yang harus kita lakukan untuk memperoleh kehidupan terbaik yang paling mungkin? Saya khawatir bahwa kita tak membuat banyak kemajuan dalam menjawab pertanyaan itu.

Apa perbedaan antara pengetahuan dan kebijaksanaan?

Pengetahuan dan kebijaksanaan tidak sejajar. Anda bisa tahu banyak hal dan tak punya kebijaksanaan sama sekali. Di antara pengetahuan dan tindakan terdapat sebuah jurang, tetapi jurang itu tak seharusnya menghalangi kita untuk berusaha tahu sebanyak mungkin yang kita bisa sebelum kita mengambil keputusan. Filsafat adalah cinta akan kebijaksanaan. Philia itu cinta, dan Sophia itu kebijaksanaan. Jadi tugas menuju kebijaksaan, itulah filsafat. Meski begitu, keputusan tidak hanya tergantung pada pengetahuan. Saya berusaha tahu sebanyak mungkin yang saya bisa sebelum mengambil sebuah keputusan, tetapi saya tahu pada momen mengambil keputusan itu saya melakukan sebuah lompatan melampau pengetahuan.

Apakah mencapai sebuah pemahaman seperti yang Anda jelaskan pada buku yang terbit pada 1976 membawa Anda kepada kebahagiaan yang lebih besar?

Saya tak akan bilang itu membuat saya lebih bahagia, tetapi ia memberi saya kekuatan untuk berjalan terus. Saya menjalani suatu hidup yang sangat aktif dan melelahkan, dan jika seseorang mengatakan kepada saya, ketika saya berumur 20 tahun, bahwa saya akan mengerjakan apa yang saya kerjakan sekarang pada usia 72 tahun, saya tak akan mempercayainya. Secara fisik saya pasti lebih rentan, dan saya akan ambruk oleh banyaknya pekerjaan saya sekarang. Manakala karya-karya saya dibaca, itulah yang memberi saya kekuatan seperti sekarang ini. Orang-orang begitu baik dengan saya dan karya-karya saya, dan saya yakin, tanpa kebaikan itu, saya akan ambruk.

Kenapa tak ada filsuf perempuan?

Karena wacana filsafat diatur dengan cara meminggirkan, menekan, dan membungkam perempuan, anak-anak, binatang, dan budak. Begitulah strukturnya—bodoh sekali jika kita mengabaikannya—dan konsekuensi dari hal itu adalah tidak ada filsuf besar perempuan. Ada pemikir besar perempuan, tetapi filsafat adalah salah satu langgam khusus pemikiran di antara langgam pemikiran lainnya. Tetapi kita tengah berada pada tahap sejarah di mana hal-hal semacam ini berubah.

Apakah Anda akan menyebut diri Anda seorang feminis?

Ini satu masalah besar, tapi, ya. Banyak karya saya berkaitan dengan dekontruksi falosentrisme, dan jika saya mesti mengatakan tentang diri saya, saya adalah salah satu orang pertama yang membawa pertanyaan ini ke pokok wacana filsafat. Tentu saja saya ingin penindasan atas perempuan berakhir, khususnya yang diabadikan dalam dasar-dasar filsafat falosentrisme, jadi dari sisi itu saya adalah sekutu kebudayaan feminin. Tetapi hal itu tidak mencegah saya untuk meragukan sebagian manifestasi feminisme. Sekedar menantang hirarki, atau bagi perempuan berarti sekedar mencocokkan diri dengan aspek-aspek paling negatif dari apa yang secara konvensional dipandang sebagai perilaku maskulin, tidak akan bermanfaat bagi siapapun.

Kesalahpahaman apa yang paling sering terjadi menyangkut Anda dan karya-karya Anda?

Bahwa saya adalah seorang nihilis yang tak percaya pada apapun, yang berpikir bahwa tak ada apapun yang bermakna. Itu tolol dan sepenuhnya keliru, dan hanya orang-orang yang tak pernah membaca saya yang berkata begitu. Ini adalah pembacaan keliru atas karya saya yang bermula 35 tahun lalu, dan sulit untuk menghancurkannya. Saya tak pernah mengatakan bahwa segala sesuatu merupakan persoalan bahasa dan kita hanya hidup dalam bahasa. Sesungguhnya, saya berkata sebaliknya, dan dekonstruksi logosentrisme disusun tepat untuk membongkar filsafat yang mengatakan bahwa segala sesuatu adalah bahasa. Siapapun yang membaca karya saya dengan hati-hati, memahami bahwa saya menuntut afirmasi dan keyakinan, dan bahwa saya selalu menghormati teks-teks yang saya baca.

Dengan pemahaman yang memadai tentang Yang Lain (the Other), bisakah dorongan membunuh dihapuskan?

Dorongan untuk membunuh tak akan pernah bisa dihapus, karena ia merupakan bagian dari insting manusia. Manusia punya kemampuan untuk buas, dan membuat penderitaan bagi Yang Lain (the Other) bisa merupakan satu sumber kesenangan. Bahwa ia tak bisa dihilangkan, itu tidak berarti bahwa kita punya hak untuk membunuh—dan ini merupakan salah satu fungsi penting filsafat dan berpikir, yaitu untuk menangani dorongan besar ini. Kebuasan dan agresi selalu ada, tetapi ia bisa diubah menjadi sesuatu yang indah dan sublim. Ketika saya menulis, di sana terdapat unsur agresi, tetapi saya berusaha mengubah agresi itu menjadi sesuatu yang berguna. Agresi bisa diubah menjadi sesuatu yang lebih menarik ketimbang membunuh—dan tentu saja, Anda bisa membunuh tanpa membunuh. Saya bisa membunuh Yang Lain (the Other) tanpa mengakhiri hidupnya, dan saya bisa menjadi agresif dengan cara tak tercela.

Konsep wilayah (territory) dan kepemilikan (ownership) tampaknya merupakan akar dari banyak konflik manusia; darimana gagasan ini berasal, dan mengapa kita terikat kepadanya?

Selama berabad-abad kota merupakan pusat perdagangan penting, tetapi ketika teknologi baru sudah bukan lagi masalah dan kota telah dikuasai politik, maka ini jadi berbeda. Tetapi tempat itu tetap penting. Teman saya baru-baru ini bilang bahwa ada dua hal sekarang ini yang tak akan bisa di-deteritorialisasi-kan atau divirtualkan, yaitu Yerusalem—tak ada yang mau Yerusalem virtual, mereka ingin tanah yang sesungguhnya—dan minyak. Negara kapitalistis hidup dengan minyak, dan meskipun ini bisa berubah, seluruh masyarakat akan hancur jika itu terjadi. Ini lebih merupakan masalah di Amerika ketimbang Eropa, tetapi kita berbagai keprihatinan yang sama. Segala sesuatu selalu lebih di Amerika, dengan alasan-alasan yang nyata.

Apakah masa lalu merupakan sumber penderitaan dan kesenangan bagi manusia?

Ini berbeda dari satu orang ke yang lain, tetapi saya beruntung bahwa saya punya hubungan yang menyenangkan dengan masa lalu—saya bahkan menyimpan kenangan indah akan bagian sulit dari hidup saya, yang saya tahu sangatlah buruk. Saya ingin mengulang hidup saya, dan akan menerima semuanya berulang tanpa akhir, persis sama seperti ketika itu dulu terjadi. Sebuah pengulangan abadi.

Apa yang penting untuk Anda sekarang?

Bagaimana saya bisa menjawab pertanyaan macam itu? Banyak hal pribadi, publik dan politis penting buat saya, tetapi saya memikirkan semua hal itu dengan sebuah keasadaran terus-menerus bahwa saya bertambah tua, saya akan mati, dan hidup itu pendek. Saya terus-menerus memperhatikan waktu yang tersisa untuk saya, dan walau saya telah berpikir begini sejak muda, ini menjadi hal yang lebih serius ketika Anda berumur 72 tahun. Sejauh ini saya belum berdamai dengan kematian yang terelakkan, dan saya ragu apakah saya akan berdamai, dan kesadaran ini menyebar kepada segala hal yang saya pikirkan. Apa yang terjadi di dunia sekarang ini sungguh-sunguh buruk, dan semua ini ada dalam pikiran saya, tetapi mereka eksis berdampingan dengan teror akan kematian saya sendiri.

Kapan Anda menjadi seorang dewasa?

Ini pertanyaan menjebak. Saya selalu percaya bahwa setiap orang punya lebih dari satu usia, dan saya menyandang tiga usia di dalam diri saya. Ketika saya berumur 20 tahun saya merasa tua dan bijaksana, tapi sekarang saya merasa seperti anak-anak. Ada sebuah unsur kesedihan tentang hal ini, karena meski dalam hati saya merasa muda, saya tahu secara obyektif bahwa saya tidak muda. Usia kedua yang saya sandang adalah usia saya yang nyata, 72 tahun, dan setiap hari saya dihadapkan pada tanda-tanda yang mengingatkan saya akan hal itu. Usia ketiga yang saya sandang—dan ini adalah sesuatu yang hanya saya rasakan di Prancis—adalah usia ketika saya mulai menerbitkan tulisan saya, yaitu 35 tahun. Ini seolah saya berhenti pada usia 35 tahun di dunia kultural di mana saya bekerja. Tentu saja itu tidak benar, karena di banyak tempat saya dianggap tua, professor terkenal yang menerbitkan banyak tulisan. Meski begitu, saya merasa seolah saya seorang penulis muda yang baru mulai menerbitkan tulisan, dan orang-orang bilang, “Dia menjanjikan”.
__________________________________________________
JACQUES DERRIDA meninggal di Paris, 8 Oktober 2004.
Dijumput dari: http://manuskripdody.blogspot.com/2011/02/tiga-usia-jacques-derrida-sebuah.html

Demitologisasi Sastra Mantra Sutardji

Hasnan Bachtiar
http://kataitukata.wordpress.com/

Dewasa ini telah mengemuka suatu mitos sastra (Barthes). Para kritikus, seolah bahu-membahu dalam konsensus imajiner, mengimani suatu mazhab yang mutakhir. Sastrawan “mantra” menjadi imam bagi mayoritas umat: Sutardji Calzoum Bachri (SCB).

Bukan hal yang mengherankan, penisbatan ini tertuju kepada penyair masyhur itu. Pujangga yang hebat, memiliki puisi-puisi yang sangat baik dan sungguh sulit mencari cela pada anak-anak rohani yang telah tercipta dengan kualitas berkelas, kecuali oleh ketajaman kritikus tulen yang bernyali. Dengan menaruh segala rasa hormat, bahwa tulisan-tulisannya yang hadir dalam kesusastraan Indonesia, barangkali setara dengan pelbagai khazanah tafsir kitab suci yang diagungkan.

Kehebatan SCB terdengar menyeruak di tengah pujangga, kritikus, akademisi, hingga penikmat sastra. Bahkan sangat familier, sehingga begitu dekat dengan pembacanya.

Di tengah gegap gempita bersinarnya sosok SCB, tidak jarang beberapa kalangan merelakan jiwanya, untuk menganut segala alur pikir dan gaya sastra yang digemarinya. Ada beberapa yang berlebihan. Tanpa sengaja, SCB menempati posisi yang tinggi dalam wacana sastra, bukan sekedar presiden penyair, tapi sebagai nabi baru sastra.

Jelas tidak salah mengangkatnya menjadi nabi. Nabi tempat berkeluh kesah, pengayom dan tauladan bagi umat sastra, serta merangkul seluruh golongan. Yang paling kentara di permukaan dan nampak mengandung unsur kenabian adalah “mantra”.

Mantra adalah kata yang hanya kata. Mampu mempesona para pembaca, meski tanpa harus memiliki makna. Tatkala kata terlantun, banyak orang merasakan bahwa hal itulah tempat untuk berserah diri, bernuansa sakral nan agung. Dalam bahasa psikologi, boleh juga disebut sebagai tempat bersandar di tengah ketidakmampuan, untuk menghindari istilah neurosis.

Kendati demikian, perlu juga dikoreksi di sini bahwa, di antara umat ada yang memberi jabatan lebih tinggi dari sekedar nabi. Mungkin terlalu tinggi. Karena itu, pengkultusan menjadi hal yang tak terhindarkan. Nasi sudah menjadi bubur, inilah bid’ah yang menggejala dan beberapa menampakkan diri dalam kehidupan susastra.

Mantra terlantun, kebebasan terhempaskan. Kemerdekaan sebagai manusia liar mendapat jaminan yang aman. Inilah puisi, kenikmatan, estetika dan kematian manusia. Segala kuasa adalah kata. Benarkah demikian? Inilah yang akan diuji.

***

Bukan tanpa alasan, wacana ini. Dalam filsafat kontemporer, keterkaitan psikoanalisis, semiologi dan hermeneutika, Michel Foucault menyebutkan adanya “kata yang bukan bahasa”. (Michel Foucault, “Nietzsche, Freud, Marx,” Nietzsche, Cahiers du Royaumont. Paris: Les Editions du Minuit, 1964: 183-4).

Menurut filsuf Prancis ini, psikoanalisis Freud menyadarkan kita akan ketidaksadaran. Psikoanalisis bekerja untuk menafsirkan tanda (pula kata), karena itu mutlak pembaca adalah hermeneut. Di samping itu, karena yang ditafsir adalah tanda, semiologi menjadi penting turut serta menyelami kedalaman kerumitan pembacaan alam bawah sadar ini. Betapapun hermeneut mencoba mengerti akan tanda-tanda, – baik itu yang bisa ditafsir, atau bahasa yang tidak mengatakan maksud yang sesungguhnya, ada pula tanda yang bukan bahasa – setiap penafsir terikat akan logosnya tersendiri (wawancara Michel Foucault dengan Alain Badiou, “Philosophie et psychologie,” Dossiers pédagogiques de la radio-télévision scolaire, 27 Februari 1965: 65-71).

Menunjuk kepada mantra, kata yang bukan bahasa ini, mutlak diciptakan dengan ketidaksadaran. Bagi penulisnya, tentu terstruktur logos – di alam ketidaksadaran – sebagai suatu konstruksi kemanusiaan. Namun bagi pembaca-pelantun, menjadi pengandaian sebagai kata ajaib, yang barangkali memang bebas akan beban-beban komunikatif. Dalam kondisi ekstase, sangat sulit untuk memutuskan bahwa pembaca terikat dengan logosnya. Sebaliknya, saat kondisi ketubuhan-kesadaran terjaga, logos menjadi struktur alamiah yang senantiasa digunakan, – sekali lagi – dalam ketidaksadaran. Orang bisa mengatakan bahwa, “ini benar-benar mantra” atau “tiada makna bagi mantra” atau “terserah kehendak pembaca bagi makna mantra”.

Pertama, secara terang, mantra yang ditulis seolah benar “mantra” terikat hukum pengetahuannya tersendiri (logos). Pengakuan dan pembenaran keajaiban mantra oleh pelantun atau pembaca juga terikat logos. Kedua, mantra adalah mantra seperti kata yang hanya kata dan bukan bahasa, terikat atas struktur logosnya. Ketiga, juga demikian dengan kebebasan berkehendak untuk memberi makna pada mantra, tentu saja harus dimaklumi ketergantungannya terhadap logos, disadari atau tidak.

Logos yang dimaksud di sini, tentu saja melampaui strukturalisme semiologis. Barangkali gejala ideologisasi terhadap alur pikir tertentu, diwakili oleh gagasan Derrida tentang logosentrisme (Jacques Derrida, De la gramatologie. Paris: Editions de Minuit, 1967). Logos bukanlah pengetahuan semesta yang obyektif, karena berlaku sebagai kehendak kuasa. Penulis jelas menunjuk pada logosentrisme aliran mantra SCB.

Seorang SCB dalam “Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair” (Republika, 9 September 2007) menuturkan bahwa, “Peran penyair menjadi unik, karena – sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggunganjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya – secara ekstrem boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya.”

Dari sini, SCB secara pribadi hendak memberi makna pada mantra sebagai kata yang hanya sebagai kata, bukan bahasa, karena tercipta bak sabda. Dengan demikian, jelas dalam maksud tersebut bahwa, atas kata yang bukan bahasa, atau mantra, hendak memberi kemerdekaan penuh kepada pembaca untuk melampaui struktur semiologi.

Ignas Kleden dalam esainya, “Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri” (4 Agustus 2007) mengukuhkan pendapat ini, “Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi… Dalam sebuah esainya Sutardji menulis ‘puisi adalah alibi kata-kata.’ Dengan ungkapan itu dimaksudkan bahwa kata-kata dalam puisi diberi kesempatan menghindar dari tanggung jawab terhadap makna, yang dalam pemakaian bahasa sehari-hari dilekatkan pada sebuah kata sebagai tanggungan kata tersebut.”

Tidak ada masalah sebenarnya. Baik soal kematian manusia (pengarang, pembaca) tatkala mencandra teks-teks sastra (mantra), maupun pembebasan maknanya, – lebih jauh lagi – juga termasuk pembebasan logosnya (struktur epistemologis). Namun, benarkah “kata” benar-benar berkuasa? Ataukah manusia yang hidup (beserta logos), seolah mematikan “kemanusiaan” dan menggantinya sekedar kata? Atau mereka mempertahankan wacana “kata” sejatinya (otonom) dengan kehendaknya secara membabi buta (logosentrisme)?

Lebih mendalam tentang hal ini, yang memungkinkan dipersoalkan adalah soal wacana yang seolah tanpa tanding, sedang menguasai belantika sastra Indonesia. Inilah yang akan ditantang dan diuji secara filosofis.

***

Logos-logos yang menjelma mantra, lambat laun hidup dan seperti makhluk bernyawa, menundukkan dan membunuh manusia-manusia. Nurel Javissyarqi dalam esainya “Membaca Kedangkalan Logika Dr. Ignas Kleden?” benar-benar menyadari pentingnya manusia kuat dan pemberani untuk menantang mantra yang “mewabah” dan “menjangkiti” yang dianut selayaknya agama. Ia mengungkapkan, “Dikala memandang pertumbuhan mitos sastra dewasa ini di Indonesia ialah bentuk ucap pengulangan seragam, tanpa sistem mengkritisi demi kematangan penggalian alam tradisi… Ini jauh panggang dari arang, membaca kilau hasil tanpa menyelidiki proses kreatifnya…” (Bagian XIII, 2011).*

Secara lebih jauh, Javissyarqi mengungkap kuasa wacana mantra dengan pisau bedah yang paling vulgar, yaitu “mitos” Barthesian. Mitos di sini berarti kreativitas imaji yang menari bersama harapan (Roland Barthes, Mithologies. Paris: Seuil, 1957). Istilah yang sangat ilmiah dan paling cocok untuk memahami rezimisasi-ideologisasi-logosentrisme terhadap pemikiran sastra SCB. SCB berwacana (penanda 1) dan mengkonsep mantra (petanda 1/penanda 2), lalu pembaca memaknai (termasuk tafsir bahwa tiada makna untuk kata) mantra (petanda 2) dan begitu seterusnya. Dalam struktur penanda-petanda-tanda, SCB adalah tanda, atau mantra adalah tanda.

Begitulah, semua orang menikmati mitos SCB mantra. Dengan mitos yang didengungkan setiap saat, nasib baik selalu menghampiri SCB-mantra. Selain berkuasa dalam singgasana wacana, didukung pula oleh segala puji dan decak kagum yang lena. Dalam ritus-ritus pengetahuan, sekaligus mitos bukan sekedar mitos, tetapi menjadi mitologi, berbau mitis, sakralitas dan pengkultusan. Dalam bahasa yang sebelumnya disebutkan, menjadi bid’ah atau ketumpulan kritisisme.

Banyak kerugian tatkala konservatisme atau wacana dogmatik menjangkiti penulis dan pembaca sastra. Perilaku resentimen barangkali dapat disaksikan sebagai akibat-akibat keimanan yang membabi-buta. Tidak jarang pula, sakralisasi teks yang berlebihan membuat orang mabuk kepayang, kehilangan orientasi hidup yang utama sebagai manusia. Tampil para pejuang mantra yang mengukuhkan rezimisasi-ideologisasi-logosentrisme. Ujung perkaranya, stagnasi yang sempurna.

Inilah kiranya mulai mengapresiasi para kritikus sastra yang murni. Nietzsche memberi kritik bagi mereka para kritikus yang tidak bersungguh, mestinya mereka benar-benar menjadi kritikus sejati dan jauh dari selubung atau topeng kepalsuan. Tidak harus menjadi tuhan, bahkan membunuh manusia-kemanusiaan untuk bersastra. Tidak sepatutnya me-nabi-kan yang tidak layak menjadi nabi, meski hanya menyebutnya sebagai presiden.

Mengapa demikian, Nietzsche membuat lelucon bahwa, “The Gods are dead but they have died from laughing, on hearing one God claim to be the only one, ‘Is not precisely this godliness, that there are gods but no God?’” (Z III ‘Of the Apostates”, p. 201. Nietzsche and philosophy, Gilles Deleuze, Columbia University Press, 2002: 4). Segala kuasa-wacana yang menuhankan diri dengan pelbagai pembenaran telah mati, karena ada kebenaran-kebenaran sejati di pinggiran tengah berteriak menantangnya. Demikianlah demitologisasi terhadap topeng kesejatian SCB-mantra. Kehendak kritik yang murni telah terlempar sebagai anak panah yang menembus jantung. Membunuh dengan tega.

Penting sekali kiranya kita merenungkan nasehat dari Karl Mannheim. Ia berkesimpulan bahwa, “In unmasking ideologies, we seek to bring to light an unconscious process, not in order to annihilate the moral existence of persons making certain statements, but in order to destroy the social efficacy of certain ideas by unmasking the function they serve.” (Karl Mannheim, “Historicism,” Essays on the Sociology of Knowledge, Essays on the Sociology of Knowledge. London: Routledge & K. Paul, 1952: 141).

Catatan:
*kutipan tersebut dari esai (rencana kerja) Nurel Javissyarqi, yang kehendaknya terbit di akhir tahun 2012 mendatang.

Dijumput dari: http://kataitukata.wordpress.com/2011/09/30/demitologisasi-sastra-mantra-sutardji/

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita