03/09/11

KULTUR DAN IDENTITAS

Sastra Nir-ideologi: “Menjadi Tak Ada”
Gus TF Sakai
http://kompas-cetak/

Ketika individu menjelma jadi kelompok, ada unsur, sifat, atau kepentingan sama tertentu yang mengikatnya. Dan, identitas dalam bentuk kelompok (etnik, kultur, nation) selalu berada dalam sistem kompleks yang tak bisa dikenali melalui individu.

Fisika boleh menemukan partikel terkecil sub-atomik misalnya, tetapi ketika sejumlah atom berada dan terikat dalam gugus atom (molekul, senyawa), “wujud” yang muncul selalu beda. Dalam kajian sosial, sistem kompleks kumpulan individu ini diidentifikasi melalui ideologi. Tetapi, tepatkah identifikasi seperti itu?

Ada satu hal sulit dalam ideologi, yakni keniscayaan untuk menghamba pada kehendak sendiri. Setiap entitas di luar dirinya adalah salah, maka mekanisme tumbuhnya selalu dengan menaklukkan “Sang Lain”. Ada rekayasa ekspansif-konsekuensi dari politik identitas—yang kalau dimiliki oleh kelompok mayoritas akan berlaku menekan, dan bila dimiliki kelompok berkuasa tentulah otoritarian.

Ideologi menempatkan identitas sebagai sesuatu yang tetap, padahal sebenarnya tidak. Apa pun entitas hakikatnya adalah berubah. Individu terkecil dalam satu kelompok pun, bila tumbuh, tak lagi dapat dikenali melalui identifikasi sebelumnya.

Mengapa? Karena setiap individu setiap saat berinteraksi. Dan karena interaksi setiap identitas setiap saat berubah, maka apa yang kita lihat sebagai identitas sebenarnya adalah pseudoidentitas. Hakikatnya, identitas itu tak ada.

Identitas dalam sastra

Dalam Kongres Cerpen Indonesia IV yang diselenggarakan di Pekanbaru, Riau, akhir tahun lalu, saya menolak istilah “estetika lokal”. Lokal—seperti halnya etnik, kultur, nation, karena berperannya ideologi—selalu berpegang pada ukuran dan sifat sendiri. Sementara estetika tak lain urusan emosi dan pikiran dalam hubungannya dengan keindahan yang tak terikat pada pertimbangan moral, sosial, politik, ekonomi, atau apa pun. Ada kondisi diametrikal antara “estetika” dan “lokal”, yang menjadikan mereka tak bisa bergandengan.

Sastra bersetuju dengan kata pertama, “estetika”, karena segenap perangkat teks sastra berurusan dengan persoalan bagaimana “menjadi tak ada”. Seperti halnya estetika yang bisa masuk ke mana-mana, sastra penting “menjadi tak ada” agar ia bisa dinikmati oleh siapa pun dari belahan dunia mana pun.

Itu pula sebabnya sastra, karena “menjadi tak ada” ini, sifatnya bukan “memberi”, melainkan “membangkitkan”. Kenapa membangkitkan? Karena, pertama, ia berurusan dengan indra, dan kedua, untuk menempatkan pembaca sebagai subyek.

Adalah tak aneh bila, sebagai seorang pengarang, saya selalu ingin hilang. Hanya dengan hilangnya saya, dan juga dengan hilangnya teks sastra (jangan lupa: “menjadi tak ada”), pembaca menemukan posisinya yang utuh sebagai subyek. Maka, identitas dalam teks sastra akan selalu melenyap, melenyap, dan melenyap. Berbeda dibandingkan dengan identitas dalam teks-teks lain yang urusannya selalu mengada dan mengada.

Ironi sastra

Dengan berat hati harus saya katakan, sejarah kesusastraan modern Indonesia adalah sejarah ideologi. Ia diawali dari keterpesonaan kepada Barat (Belanda), dan memperoleh momentumnya melalui klaim politik (mem-bangsa, nation) pada Sumpah Pemuda, 1928.

Adalah ironi kenyataan bahwa setiap angkatan dalam kesusastraan Indonesia selalu dinamai berdasarkan peristiwa tertentu dalam proses mem-bangsa. Tak ada yang dapat dikatakan bagi sejarah kesusastraan seperti itu kecuali sejarah kesusastraan Indonesia adalah sejarah sastra “memberi”.

Bagi Anda (subyek) yang berkepentingan dengan politik, karya sastra demikian tentu bukan masalah. Tetapi, seperberapakah jumlah Anda?

Lepas dari jumlah, substansi sastra “memberi” juga akan membuat Anda serta-merta menolaknya begitu Anda berganti haluan beralih ke lain kepentingan. Dan, yang tak dapat diabaikan, tak semua sastra “memberi” bisa diterima setiap zaman. Salah Asuhan dan Siti Nurbaya misalnya, betapa kini terasa kuno. Atau Layar Terkembang, betapa kini bagai menutup diri. Karya-karya itu mengeras pada dirinya, pada ideologinya: tradisi-lokal, bangsa, modern-Barat.

Bagai bangunan, sastra “memberi” ini meletakkan fondasi, terus ditegakkan sampai kini. Etnik, kultur, bangsa, ditempatkan dalam tegangan, atau sebaliknya, dalam perayaan, yang hakikatnya sama saja: keras, pejal, tertutup.

Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG misalnya, bisakah “memberi” kepada pembaca (subyek) dari kultur Bali atau Batak? Atau Paco-Paco-nya Hamid Jabbar, bisakah berterima pada subyek dari kultur Jawa atau Sunda?

Karena ideologi, kekayaan (keunikan) suatu kultur terbaring dalam satu kata: sia-sia. Dalam jenis (sejarah) sastra seperti ini, dapatkah kita bicara silang budaya?

Keluruhan kultur

Mari kita kembali ke kesalahan ideologi: menempatkan identitas sebagai sesuatu yang tetap. Mari kita koreksi kesalahan itu: apa yang disebut identitas tak lain adalah pseudoidentitas. Atau, mari katakan dengan lugas: tak ada identitas, yang ada hanya interaksi.

Dalam interaksi, di manakah atom? Tak ada, karena yang ada hanya senyawa. Dalam interaksi, bagaimana kita bisa percaya kepada “asli”? “Asli” berbilas dengan mati, karena ciri abadi hidup adalah berubah.

Kata tradisi sendiri, bahkan, berasal dari kata Inggris, tradition, yang berakar pada kata trade, yang salah satu artinya ’tukar-menukar’. Harus saya katakan, di Minangkabau tak ada yang asli. Bahkan pakaian para pemuda sehari-hari diidentifikasi dengan adagium baju guntiang cino, sarawa batiak jao, saruang sandang bugih, yang bila diindonesiakan berbunyi baju gunting China, celana batik Jawa, sarung sandang Bugis. Itu contoh fisikal.

Contoh nonfisik, misalnya, bisa ditemukan di kampung saya, Luak Limopuluah, barih-balabeh-nya (semacam tambo juga, tapi menceritakan asal-usul kultur tempatan lebih kecil) menyebutkan tentang Si Jambi anak Rajo di Ranah yang tak bisa disunat dengan apa pun kecuali dengan pisau yang dilahirkan si ibu bersamanya. Inilah sebuah kisah lain versi dari mitologi Hindu, yang—seperti kita ketahui—juga ada versi lainnya dalam mitologi Yunani.

Perlu diinformasikan, Luak Limopuluah ini, kampung saya itu, terletak di pedalaman Minangkabau! Bagaimana kita masih berani bicara “asli”?

Menurut hemat saya, dalam interaksi inilah, dalam “ketakaslian”-lah, dalam keberubahanlah, sastra bisa bertemu dengan kultur. Saat mereka sama “keluar”—kultur lepas dari ideologi dan sastra menjadi tak ada—dari (kuasa) identitas, pembaca akan menjelma jadi subyek, yang penuh dengan dirinya, dengan dunia dan cara pandangnya. Sebuah kondisi (medan) di mana sastra tak berada dalam posisi “memberi”, melainkan “membangkitkan”, berada di belahan dunia mana pun subyek, berasal dari kultur apa pun subyek.

Sungguh, tak ada yang lebih penting kecuali subyek (pembaca). Karena subyeklah yang hidup di dunia nyata, lalu-lalang hidup bersama kita: mengubah dan membangun dunia.

*) Kolektor dan Pekerja Prosa, Tinggal di Payakumbuh.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita