27/09/11

EKSPERIMENTASI DJENAR MAESA AYU DALAM “SMS”

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Djenar Maesa Ayu mencuat namanya bersamaan dengan maraknya isu sastra wangi, sebuah ungkapan bernada miring yang ditujukan pada beberapa artis cantik yang terjun ke dunia sastra. Maka, selepas terbit antologi cerpennya, Mereka Bilang, Saya Monyet! (2003), nada miring itu pun sepertinya melekat begitu saja. Namanya juga isu. Ia masih saja bergentayangan. Bahkan, ketika cerpennya “Waktu Nayla” terpilih sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2003, publik sastra masih juga belum begitu yakin atas prestasi Djenar. Keberhasilan sebelumnya yang menempatkan cerpennya “Menyusu Ayah” sebagai Cerpen Terbaik 2002 versi Jurnal Perempuan, seolah-olah tak berarti apa-apa.

Publik terkadang memang kejam. Tudingan tanpa dasar bisa menggelinding seperti bola liar. Isu yang dilontarkannya kemudian bergeser: dari sastra wangi karena kecantikan penulisnya, ke isi cerpen yang nyerempet-nyerempet, sensasional dan mengobral kata-kata nakal. Resensi yang ditulis Danarto di harian Republika, mewartakan, betapa Djenar sangat terampil dalam membangun narasi, menghancurkan tabu-tabu untuk kepentingan mengusung ideologi gender, dan menyelusupkan eksperimentasi tanpa berkesan pretensius. Ia sekadar bercerita, mengangkat potret sosial yang aktual, dan memosisikan dunia lelaki dengan mitos superioritasnya ke dalam simbolisasi perilaku kebinatangan. Ia membalikkan mitos itu dan menggiring dunia laki-laki ke dalam wilayah kaum pecundang.

Kiprah Djenar tegas tak sekadar mengisi waktu luang atau cari sensasi. Ia serius dan itu dibuktikan lewat sebuah antologi lagi Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) (2004). Dalam waktu empat bulan, buku ini tiga kali dicetak ulang. Seperti juga antologi cerpen pertamanya, Jangan Main-Main termasuk kategori buku-buku laris. Bukankah itu bukti keberhasilannya? Lalu, masihkah publik sastra meragukan kepiawaiannya?
***

Secara iseng, saya coba bertanya pada sejumlah mahasiswa, kawan, dan beberapa orang yang tak saya kenal. Dari kedua buku antologi Djenar Maesa Ayu, cerpen manakah yang paling sederhana? Pilihan pertanyaan model itu sengaja untuk coba menangkap sejauh mana kekuatan Djenar pada cerpen yang paling sederhana menurut pandangan orang. Jika cerpen itu lemah, masih agak wajar jika muncul kontroversi. Sebaliknya, jika dari cerpen yang paling sederhana itu saja terkandung kekuatan, maka tak ada alasan lagi bagi publik untuk bertindak skeptis atas kepengarangan Djenar. Itulah dasar pemikirannya.

Beberapa ada yang menjawab “Tidak tahu” lantaran belum membaca semua cerpen dalam kedua antologi itu. Tetapi, sebagian besar yang sudah membaca kedua buku itu, memilih cerpen “SMS” yang terhimpun dalam antologi Mereka Bilang, Saya Monyet! sebagai cerpen yang dianggap paling sederhana. “Kok, orang ber-sms saja bisa jadi cerpen. Bukankah kini setiap hari kita nyaris tak dapat meninggalkan sms? Kalau begitu, saya juga bisa menulis cerpen!” demikian beberapa komentar mereka, yang mengingatkan jawaban yang sama ketika saya membacakan dua puisi Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul “Luka” dan “Kalian.” Dari mana SCB punya ide menulis puisi dari ha ha dan pun, jika bukan dari sebuah kecerdasan. Hal yang sama tentu berlaku pada Djenar yang membangun cerpen dari kirim-balas sms. Itulah yang belum dapat dipahami publik. Maka, terima saja jika beberapa di antara mereka ada yang mengatakan, bahwa mereka bisa menulis puisi atau cerpen yang jauh lebih bagus dari ha ha dan pun atau “SMS”.

Itulah publik! Terkadang lucu, sering pula naif. Selalu, mereka baru ngeh –sadar— ketika orang lain sudah memulai. Tetapi, di balik itu, saya takjub pada kesadaran mereka. Itulah kejujuran publik. Menjawab tanpa pretensi, menilai tanpa punya kepentingan apa pun. Benarkah “SMS” sebagai cerpen yang paling sederhana?
***

Secara tekstual dan sekilas pintas, ada benarnya juga jawaban publik itu. Tak ada narasi, tak ada deskripsi. Padahal, yang namanya cerpen –cerita pendek—di dalamnya mesti ada sesuatu yang diceritakan. Di sana, tak ada orang yang bercerita. Tak jelas pula, tokoh-tokohnya itu ganteng, cantik, atau jelek. Semuanya wujud dalam bentuk sms. Jika begitu, apakah “SMS” termasuk cerpen?

Masih ingatkah cerpen “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan” karya Umar Kayam yang kemudian mendapat hadiah dari majalah sastra Horison, 1966/1967? Cerpen itu dibangun lewat dialog. Seolah-olah, di sana tak ada deskripsi, tak ada narasi. Semua nyaris disajikan dalam bentuk tanya-jawab. Dari dalam dialog itu, lahir narasi tentang rindu lelaki Jawa (Marno). Dari dialog itu pula, muncul deskripsi tentang suasana malam di Manhattan yang dibayangkannya seperti seribu kunang-kunang di desanya. Bukankah itu sebuah cerpen yang mumpuni? Dengan sebagian besar dialog, pembaca digiring pada suasana batin tokoh Marno dan Jane yang galau. Marno rindu kampung halaman, terbayang istri, sementara di depannya tergolek perempuan bule, Jane, yang rindu pada mantan suaminya. Jane siap melayani dan mengobati kegalauan Marno. Sebuah gangguan kesetiaan dihadapi Marno. Cinta pada sang istri atau berkhianat? Sebuah konflik batin yang dahsyat!

Bagaimana dengan cerpen “SMS” karya Djenar Maesa Ayu? Betul, cerpen ini tampaknya begitu sederhana. Tetapi cobalah cermati setiap kata dalam keseluruhan teks itu. Di situlah kita seperti berhadapan dengan teka-teki tentang dua gambar yang serupa tapi tak sama. Sebuah teka-teki yang mengasyikkan. Kita tidak hanya disuruh menghubungkaitkan sms yang satu dengan sms lainnya, mencermati sendiri tokoh-tokohnya, tetapi juga menciptakan sendiri segala peristiwa yang terjadi di balik sms itu. Sebuah puzzle dengan potongan-potongan gambar yang berserak, dan kita bebas merangkaikan sendiri menjadi sebuah gambar yang utuh.

Dilihat dari konteks eksperimentasi, semangatnya hampir sama dengan Danarto ketika ia hendak mengembalikan cerita sebagai cerita. Di dalam cerita, logika formal tidak diperlukan. Yang dipentingkan di sana adalah cerita tentang sesuatu. Logis tidaknya cerita itu, bukan urusannya. Danarto sekadar bercerita. Lalu mengapa orang harus repot-repot mencari hubungan kausalitas dan mencoba memahaminya dengan hukum logika formal.

Semangat Djenar sejenis itu. Ia tak hendak bercerita, karena ia menyerahkan segala ceritanya kepada pembaca. Yang ditekankan Djenar adalah memberi kebebasan kepada pembaca untuk bercerita menurut persepsi masing-masing. Djenar sekadar memberi tanda-tanda. Silakan kaitkan sendiri hubungannya, silakan ciptakan sendiri peristiwanya. Dalam hal ini, Djenar coba berisyarat, bahwa di balik rangkaian sms itu ada peristiwa dan cerita yang terjadi dan dialami tokoh Boim, Vira, Tyana, Jo, Armand, dan Robert. Dari tanda-tanda yang disinyalkannya, kita dapat menangkap, dua pasang manusia (Armand—Vira dan Boim—Tyana) gagal berkencan karena suami mereka (Jo dan Armand) ada di sana..

Bagaimana cerpen yang secara konvensional dipahami hakikatnya cerita, dijungkirbalikkan menjadi tanda-tanda. Lalu apa ceritanya? Itulah tugas pembaca. Djenar memahami, pembacanya adalah masyarakat yang tak lagi gegar teknologi. Jadi, sms (short messages service) bukanlah hal asing. Ini bagian dari kehidupan modern. Maka, dengan sms itu, Djenar memperlakukan pembacanya sebagai bagian dari masyarakat modern yang cerdas dan sangat paham tetek bengek sms. Sebagai pengarang, Djenar tak memanfaatkan kekuasaannya secara absolut. Ia liberal, demokratis, dan berbagi kekuasaan dengan pembacanya. Bukankah berbagi kekuasaan merupakan penghargaan tertinggi yang diberikan pengarang kepada pembaca?
***

Jika disederhanakan, cerpen “SMS” bercerita tentang rencana perselingkuhan tokoh Boim—Tyana, Armand—Vira, dan sesama jenis Jo—Robert. Mula-mula Boim berkirim sms pada Vira. Di antara itu, Vira menerima sms dari Armand yang lalu mengajaknya bertemu di satu tempat. Boim yang katanya mau meeting, ternyata kirim sms pada Tyana. Keduanya juga sepakat jumpa di satu tempat. Sebagaimana lazimnya seorang istri yang hendak menunjukkan kesetiaan kepada suami, Vira minta izin pada Jo, suaminya. Begitu juga Tyana. Suami Tyana (Armand), tentu saja mengizinkan, lantaran ia punya janji dengan Vira. Ketika mereka hendak sampai ke tempat yang dituju, Vira dan Tyana melihat mobil suaminya masing-masing. Bubarlah rencana mereka. Tetapi Jo tidak. Ia memilih berkencan dengan sesama jenis, dengan Robert yang gay.

Dilihat dari waktu ceritanya, yaitu lama peristiwa itu berlangsung dalam cerita, semua peristiwa dalam “SMS” terjadi kurang dari satu setengah jam, dimulai dari jam 12:29:18 sampai 13:58:2. Jadi, dalam waktu yang kurang dari 90 menit, Djenar berhasil mengangkat berbagai peristiwa dan itu dirangkai dalam hitungan detik per detik. Dalam banyak prosa, waktu cerita bisa sangat panjang bisa sangat singkat. Serial silat Kho Ping Ho misalnya, waktu ceritanya berlangsung selama beberapa generasi, sementara Sitti Nurbaya dimulai dari masa remaja Samsul Bachri sampai ia tewas di tangan Datuk Meringgih. Jadi berlangsung sekitar tiga puluhan tahun.

Waktu cerita yang singkat seperti dalam “SMS” juga bukan hal baru. Tetapi, itu harus didukung oleh teknik dan kepiawaian yang tinggi dalam menciptakan berbagai hal dan rangkaian peristiwa. Sebutlah novel Sehari dalam Hidup Ivan Denisovitch karya Alexandre Solzhenitsyn. Kisah satu hari kehidupan Ivan berhasil dieksploitasi, dieksplorasi pengarang menjadi kisah dahsyat penghancuran nilai-nilai kemanusiaan. Ia membongkar kekejaman di kamp konsentrasi Siberia. Remah-remah roti dan kerak bubur adalah nafas yang dapat memperpanjang hidup. Kelaparan adalah denyut jantung mereka. Di sana, maut menempel di setiap pundak para tahanan yang terus membayangi mereka setiap detik.

Dengan kemampuan deskripsinya yang sangat terinci, Alexandre Solzhenitsyn berhasil memotret suasana dan latar kehidupan di kamp konsentrasi Siberia. Teknik yang sama dilakukan Pramoedya Ananta Toer dalam Keluarga Gerilya. Kehidupan yang berlangsung selama tiga hari itu, dimanfaatkan Pram untuk mengangkat suasana khaos akibat perang dan berantakannya kehidupan sebuah keluarga. Ibu yang jadi pelacur, ayah berkhianat, adik diperkosa, dan kakak-beradik yang jadi gerilyawan, terpaksa harus membunuh ayahnya sendiri. Sebuah tragedi kemanusiaan yang bisa terjadi di mana saja ketika manusia berhadapan dengan pilihan: bertahan hidup atau mengabdi pada negara.

Teknik yang digunakan Putu Wijaya dalam Stasiun lain lagi. Ia bermain dalam tataran pikiran dan perasaan tokoh-tokohnya. Seenaknya ia mondar-mandir menciptakan peristiwa apa saja, jungkir-balik, masa lalu dan masa depan. Semua bisa dihadirkan pada saat yang sama, pada satu tokoh lelaki yang duduk di peron stasiun. Jadi, peristiwa yang sebenarnya terjadi beberapa jam saja, dapat mengungkapkan banyak peristiwa. Mengingat pikiran dan perasaan tak terikat ruang dan waktu, apa pun bisa hadir dan terjadi di sana.

Peristiwa yang tak terikat ruang dan waktu, bisa juga hadir dalam mimpi. Itulah yang dimanfaatkan Taufik Ikram Jamil dalam Hempasan Gelombang untuk menguak sejarah masa lalu puaknya. Mimpi sekadar alat, pintu masuk untuk mengangkat peristiwa sejarah masa lalu menjadi peristiwa masa kini. Peristiwa mimpi juga dimanfaatkan Hudan Hidayat dalam cerpennya “Mimpi yang Mematikan”. Karena yang terjadi dalam mimpi, maka peristiwa kanibalisme dan penyimpangan seksual mempunyai dasar legitimasi.

Begitulah waktu cerita yang digunakan pengarang bisa sangat panjang bisa sangat singkat. Bergantung pada tuntutan ceritanya. Cerpen “SMS” yang waktu ceritanya kurang dari 90 menit, juga sebenarnya mengungkapkan banyak hal. Hanya, Djenar tak melakukan deskripsi atau narasi, sebagaimana yang terdapat pada karya-karya yang disebutkan tadi, tetapi justru menyerahkan peristiwanya kepada pembaca. Di sana banyak ruang kosong yang dapat kita masuki, kita isi dengan rangkaian cerita, kita hadirkan dengan berbagai peristiwa. Itulah salah satu kebaruan dalam “SMS”. Itulah eksperimentasi Djenar yang berbeda dengan cara yang pernah dilakukan para pengarang sebelumnya.
***

Yang juga menarik dari cerpen “SMS” ini adalah semangat Djenar yang tetap konsisten mengusung ideologi gender. Lihatlah tindakan Vira dan Tyana. Keduanya batal berselingkuh karena di sana ada suami mereka. Itulah bentuk penghormatan pada ikatan perkawinan. Tetapi apa yang dilakukan Jo, suami Vira? Ia memilih bermain dengan Robert, makhluk sejenis. Bukankah itu wujud kerakusan laki-laki? Lalu apa yang dikatakan si gay, Robert? “OK. Now let’s get rid of your wife!” Satu penghinaan luar biasa yang memperlakukan istri Jo sebagai sampah yang harus dicampakkan! Itulah cermin arogansi dunia laki-laki. Djenar seperti hendak meledek: laki-laki memang rakus, apa pun bisa dimakannya! Dan di balik itu, laki-laki tunduk pada ketidaknormalan, menikmati penyimpangan. Jadi, Jo (baca: laki-laki) itu tidak normal, menyimpang. Dengan kata lain, perempuan masih jauh lebih baik, karena ia masih menghargai kenormalan dan tak mau melakukan penyimpangan. Apa iya? Itulah yang terjadi dalam cerpen “SMS”.

Begitulah, cerpen “SMS” yang tampak sederhana itu ternyata menyimpan begitu banyak makna. Seperti puisi, ia kaya imaji, dan pembaca diberi ruang yang luas untuk masuk ke dalamnya. Dari mana Djenar punya ide menulis cerpen seperti itu? Niscaya itu datang dari kepiawaian yang cerdas atau dari kecerdasan yang piawai!

(Maman S. Mahayana, Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok)

24/09/11

Kisah Sebuah Celana Pendek

Idrus
http://sastra-indonesia.com/

Tepat pada hari Pearl Harbour diserang Jepang, Kusno dibelikan ayahnya sebuah celana pendek. Celana kepar 1001, made in Italia.

Pak Kusno buta politk. Tak tahu ia, betapa besarnya arti penyerangan itu. Yang diketahuinya hanya, bahwa anaknya sudah tidak mempunya celana lagi yang pantas dipakai. Setiap orang yang sedikit banyak kenal politik di seluruh dunia mengernyitkan keningnya, karena dendam, karena khawatir, karena marah. Tapi Pak Kusno tersenyum senang pada hari itu. Ia telah berhasil, apa yang disangkanya ‘semua sesuatu yang tidak bisa, membelikan Kusno sebuah celana pendek.

Pada waktu itu Kusno berusia 14 tahun. Baru tamat sekolah rakyat. Sekarang hendak melamar pekerjaan. Dan dengan celana baru, rasanya baginya segala pekerjaan terbuka. Ia akan membuktikan kepada ayahnya, bahwa ia adalah anak yang tahu membalas guna. Pendek kata, keluarga Kusno pada hari itu bergirang hati seperti belum pernah sebelum itu. Dan kabar-kabar tentang Pearl Harbour tidak bergema sedikit pun juga dalam hati orang-orang sederhana ini.

Demikian benarlah ucapan, hanya orang besar-besar yang mau perang, rakyat sederhana mau damai cuma!

Tapi Kusno tak selekas seperti sangkaannya mendapat pekerjaan. Kantor-kantor tahu, apa arti penyerangan Pulau Mutiara itu. Mereka tidak menerima seorang pekerja baru pun juga lagi. Di atas kantor itu bergumpal awan hitam dan dari sela-sela awan itu menjulur muka malaikatmaut.

Kusno terpaksa menurunkan harga dagangannya, dari juru tulis menjadi portir dan dari portir menjadi opas. Dan setelah sepuluh kantor dinaikinya, akhirnya berhasil juga ia mendapatkan sebuah pekerjaan … sebagai opas. Dengan gaji sepuluh rupiah sebulan.

Pak Kusno bersusah hati. Ia sendiri seorang opas. Mestikah anaknya menjadi opas lagi? Dan anak Kusno kelak opas pula? Turun temurun menjadi opas? Tidak pernah tercita-cita olehnya, keluarganya akan menjadi keluarga opas. Tapi, seperti juga orang-orang kampung lain dalam kesusahan, Pak Kusno ingat kepada Tuhan, manusia berusaha, Tuhan menentukan!

Kusno bekerja dengan rajin, tapi celana kepar 1001-nya bertambah lama bertambah pudar, karena sering kena cuci. Setiap bulan ia berharap akan dapat membeli sebuah celana baru, tapi uang yang sepuluh rupiah itu untuk makan saja pun tak mencukupi. Dengan sendirinya kepar 1001 bertambah sering harus dicuci, dan setiap kena cuci, rupanya bertambah mengkhawatirkan.

Seluruh pikiran Kusno tertuju pada celana itu. Apakah yang terjadi dengan dirinya, jika celana itu sudah tidak bisa dipakai lagi? Setiap hari ia mendoa, agar Tuhan jangan menurunkan hujan. Dan jika hujan turun juga, Kusno dengan hati kembang kempis melihat kepada celananya, seperti seorang ibu melihat kepada anaknya yang hendak dilepas ke medan peperangan.

Kepar 1001. 1 x 1 = 1. Dan berapakah 1 – 1?

Kalau pikiran Kusno mengenangkan celana 1001 ini. Apalagi kalau tidak ada uang pembeli sabun, sedang celana lagi kotor.

Tidak, rakyat sederhana tidak mau perang, ia hanya mau hidup sederhaana dan hidup bebas dari ketakutan esok hari tidak mempunyai celana.

Tapi orang tinggi-tinggi dan besar-besar mau perang, yang satu untuk demokrasi yang lain untuk kemakmuran bersama di Asia Timur Raya.

Kusno tidak tahu arti demokrasi dan perkataan kemakmuran sangat menarik hatinya. Ia sebenarnya ingat kepada celananya. Kemakmuran berarti baginya celana. Dan sebab itu disambutnya tentara Jepang dengan peluk cium dan salaman tangan.

Dan seperti kebanyakan bangsa Indonesia hidup dengan pengharapan akan kemerdekaan, Kusno hidup dengan pengharapan akan celana baru, terus-menerus berharap selama tiga setengah tahun.

Tapi seperti juga kemerdakaan itu, celana itu pun tak terbayang. Dan waktu Kusno melepaskan harapannya itu, celana 1001 itu sudah tidak seperti celana lagi. Di sana-sini benangnya sudah keluar dan apa yang dulunya putih, sekarang sudah kuning kehitam-hitaman. Dan karena itu tidak pantas lagi dipakai oleh seorang opas. Waktu Kusno memberanikan hatinya meminta kepada sepnya, ia dibentak demikian hebatnya sehingga pada waktu itu hilang semangatnya.

Dia datang juga beberapa hari lagi ke kantor, tapi akhirnya malunya berkuasa atas gaji yang sepuluh rupiah itu dan ia pun minta berhenti.

Hari kemudian gelap bagi Kusno. Tapi sekarang ia lepas bebas dari malu yang mencoret mukanya. Ia tahu, bahwa hari gelap dan maha menakutkan akan menimpa dia. Tapi Tuhan maha pengasih dan pemurah. Demikian keyakinan Kusno.

Pada suatu hari Kusno sakit kepala. Ia tahu, bahwa sakit kepala itu segera akan hilang, jika ia dapat mengisi perutnya. Dua hari dua malam tak ada lain yang dimakannya selain daun-daun kayu. Ada terlayang di pikirannya untuk menjual celana 1001 itu, guna membeli sekedar makanan yang pantas dimakan manusia. Tapi lekas dibuangnya pikiran itu. Jika celana itu dijualnya, perutnya kenyang buat beberapa detik, tapi sesudah itu dengan apa akan ditutupnya auratnya? Sekali pula ada niatnya untuk mencuri barang orang lain, tapi Tuhan berkata, jahui dirimu dari curi mencuri. Dan keluarga Kusno turun temurun takut kepada Tuhan itu, sungguhpun belum pernah dilihatnya.

Begitulah Kusno tidak menjual celana, tidak mencuri, sering sakit kepala dan hidup dengan daun-daun kayu. Tapi ia hidup terus, sengsara memang, tapi hidup dengan bangga.

Tentang celana kepar 1001 itu, tak ada yang akan diceritakan lagi. Pada suatu kali ia pasti hilang di muka bumi, seperti juga Kusno akan hilang dari muka bumi. Dan mungkinkah ia bersama-sama dengan Kusno hilang dari muka bumi ini?

Tapi bagaimana pun juga, Kusno tak akan putus asa. Ia dilahirkan dalam kesengsaraan, hidup bersama kesengsaraan. Dan meskipun celana 1001-nya lenyap menjadi topo, Kusno akan bersuang terus melawan kesengsaraan, biarpun hanya guna mendapatkan sebuah celana kepar 1001 yang lain.

Hanya yang belum juga dapat dipahmakan Kusno ialah, mengapa selalu saja masih ada peperangan. Kusno merasa seorang yang dikorbankan.

Dijumput dari: http://manuskripdody.blogspot.com/2011/04/kisah-sebuah-celana-pendek.html

Nol: Angka—Manusia

Pringadi AS
http://reinvandiritto.blogspot.com/

I.
Saya sungguh tak pernah berbohong. Tak pernah menyebut satu sebagai dua. Dua sebagai tiga. Atau sebagai lainnya. Sebab saya yakin bahwa satu adalah satu, dua adalah dua. Tak boleh diganti-ganti. Saya juga tak pernah menyebutkan lima tambah lima sama dengan lima kali dua meski sama-sama sepuluh hasilnya. Sebab saya tahu keduanya tak sama: beda struktur aljabarnya. Seperti itulah saya, yang tidak pernah berbohong.

Sejujurnya saya tidak pernah mempercayai angka-angka, kecuali angka nol. Bayangkan, dua kali dua sama dengan dua tambah dua, sementara satu kali satu lebih kecil dari satu tambah satu, dan tiga kali tiga lebih besar dari tiga tambah tiga. Aneh bukan?

II.
Ini hari pertama saya bekerja. Pekerjaan yang saya benci sebenarnya. Sebab setiap hari saya harus berhadapan dengan angka-angka. Dan saya tidak menyukai angka-angka, kecuali angka nol tentunya. Kamu pasti bertanya, mengapa angka nol adalah pengecualian. Sebab angka nol itu istimewa. Ia adalah Tuhannya angka-angka. Kamu pasti tidak tahu, angka nol selalu menyertai angka-angka lainnya di dalam struktur aljabar. Yang umumnya kamu tahu cuma, berapapun angkanya, jika ditambah dengan nol maka akan tetap angka itu sendiri. Dan jika dikalikan dengan nol maka akan menjadi nol. Sebab itulah saya percaya dengan angka nol. Sebab nol sangat jujur, apa adanya. Seperti saya.

Tumpukan kertas itu berisi angka-angka. Harus saya selesaikan secepatnya. Saya tidak pernah memakai kalkulator untuk menghitungnya. Saya tidak percaya pada kalkukator. Sebab kalkulator adalah mesin. Bukan manusia. Tidak patut saya percayai. Seperti angka.

“Sudah selesai?” Tanya atasan saya yang badannya juga serupa angka nol itu. Sebab itulah mungkin saya agak hormat dengannya.

“Sedikit lagi, Pak.”

“Kamu pegawai yang baik,” saya cuma diam mendengarkan, “tapi kamu tidak akan bisa maju kalau kamu tetap seperti ini.”

Saya mengernyitkan dahi, tidak tahu apa maksudnya. Tampaknya beliau tahu kalau saya tidak mengerti yang ia bicarakan. “Kamu memang lugu, Nak.”

“Maksud Bapak?”

“Laporan yang sedang kamu kerjakan sekarang itu adalah laporan perusahaan milik sepupu saya.”

Saya masih diam.

“Sudah kamu hitung berapa pajaknya?”

“Hmm… dua ratus juta lebih, Pak.”

“Hapus saja satu angka nolnya.”

Saya mengernyitkan dahi. Tambah tidak mengerti. “Kalau dihapus satu nolnya, ‘kan jadi dua puluh juta, Pak?”

“Iya, saya tahu itu. Hapus saja. Sepuluh juta untuk kamu.”

Saya tambah bingung. Saya sangat menghargai angka nol, sangat mempercayai angka nol. Jadi, sangat tidak mungkin saya menghapus angka nol walau sebuah. Sebab saya tahu, angka nol begitu berharga.

“Saya tidak mau, Pak.” Jawab saya tegas.

“Kamu mau menentang saya?!” Bentaknya pada saya.

“Bukan begitu, Pak. Saya hanya…”

Belum sempat saya menyelesaikan kalimat saya, beliau sudah menyanggah. “Sebaiknya kamu kemasi barang-barangmu, bersiap untuk pindah dari kantor ini.”

Ternyata benar, satu minggu kemudian saya dipindahkan.

III.
Saya tidak mempercayai angka-angka, kecuali angka nol tentunya. Saya juga tidak percaya kalkulator, produk mesin praktis yang merupakan pembodohan publik. Penumpulan kinerja otak. Dan kini, saya menambah daftar ketidakpercayaan saya. Saya juga tidak percaya manusia selain saya. Manusia sama seperti angka. Suka memanipulasi dan dimanipulasi. Mungkin karena itulah, ada manusia yang membuat kalkulator. Sebab ia ingin pintar sendiri. Makanya ia bodohi manusia-manusia lainnya dengan label praktis yang menipu.

Kantor baru saya sangat sepi. Setiap hari saya ditugaskan membuat kopi dan absensi lalu merekapitulasinya. Tapi tetap saja saya bertemu angka-angka pada urutan absensi. Ibu tua yang duduk di sebelah meja kerja saya juga sama. Ia juga membuat kopi dan absensi. Saya ingin bertanya kenapa tetapi saya tidak berani memulai pembicaraan.

“Kenapa kamu menatap saya?” Ibu tua itu tiba-tiba bertanya, seolah tahu apa yang sedang saya pikirkan. “Kamu pasti heran kenapa saya melakukan pekerjaan yang sama seperti kamu.” tambahnya lagi.

Saya malah bertambah heran.

“Saya sama seperti kamu, Nak.”

“Maksud Ibu?”

“Saya juga tidak percaya angka-angka. Saya juga tidak percaya manusia, selain saya.”

Saya termenung sejenak, “Lalu kenapa Ibu mengajak saya bicara? Bukannya Ibu tidak percaya manusia selain Ibu sendiri?”

Beliau tersenyum. “Saya tidak bilang saya mempercayai kamu. Saya cuma tahu, kita bernasib sama. Sama-sama tidak mempercayai angka. Sama-sama tidak lagi mempercayai manusia. Sebab itulah kita di sini, mengerjakan hal yang sama, kopi dan absensi.”

IV.
Semakin hari, Ibu tua itu semakin sering bercerita kepada saya. Saya cuma bisa mendengarkan. Sebab saya tidak suka bercerita. Saya lebih suka diam. Diam dan diam. Sebab diam itu emas. Lagipula tidak ada gunanya lagi saya berbicara, mengaspirasikan pendapat dan keinginan saya. Sebab saya tahu, saya tidak akan didengarkan karena saya bukan apa-apa, dan bukan siapa-siapa.

“Kamu tahu dia?” Ibu tua itu menunjuk seorang laki-laki muda di ruangan sebelah. Dari tampang dan perawakannya, usianya paling jauh terpaut lima tahun dari saya.

“Dulu dia sama seperti kamu, seperti kita.”

“Tidak percaya angka-angka?”

Ibu tua itu mengangguk.

“Lalu kenapa dia berbeda? Tidak seperti kita, membuat kopi dan absensi?”

“Dua tahun yang lalu, dia berubah. Dia mulai berdamai dengan angka-angka.”

Saya perhatikan lagi laki-laki yang dimaksud. Ia masih gagah, sama seperti saya. Hanya saja kemejanya tampak lebih berkelas disbanding yang saya pakai.

“Kamu lihat, baru saja dia memanipulasi dana asuransi kita?”

“Maksudnya?”

“Sekarang dia kedatangan klien baru, dari pihak asuransi. Tahun lalu kita pakai AJB Bumiputera 1912, Tapi tahun ini, dia menggantinya. Kamu tahu kenapa?”

Saya menggeleng.

“Pihak Bumiputera tidak bisa diajak bernegosiasi. Tidak bisa diajak memanipulasi angka-angka.”

Braak!

Tiba-tiba saya menghentak meja. Marah. Pandangan pegawai lainnya beralih ke ruangan saya. Ke saya. Termasuk laki-laki itu yang memandang saya dengan ekspresi mencari tahu. Saya balas pandangannya. Sementara tangan saya sudah terkepal erat, ingin memukulnya. Sebab saya tidak suka pada pengkhianat, yang dengan begitu mudah tergoda angka-angka.

Saya langkahkan kaki saya menuju ruangannya. Ibu tua itu tampak memegangi tangan saya, berusaha mencegah. Tapi apa daya, tenaganya yang telah renta tidak sebanding dengan darah muda saya.

Tiba-tiba saya sudah mencengkram kerah bajunya.

“Kamu sudah gila ya?!” Tangannya menepis cengkraman saya. Lalu berganti dia yang mencengkram kerah baju saya.

“Saya ini atasan kamu di sini! Mengerti?!”

“Orang sepertimu, yang dengan begitu mudah tergoda angka-angka, tidak pantas ada di sini!” Saya balas membentaknya.

Plak!

Dia menampar saya. Saya balas meludahinya. Orang-orang mulai tampak melerai kami berdua. Saya masih ingin memukulnya, membalas tamparan yang baru saja dia hadiahkan dengan manis di pipi saya. Tapi tidak bisa. Orang-orang terlalu kuat untuk saya lawan

“Mulai besok kamu tidak akan bekerja lagi di sini. Karirmu sudah berakhir!” Teriak laki-laki itu di sebelah lain dari kerumunan yang melerai kami berdua.

Saya sempat menoleh ke arah ruangan saya. Ke arah ibu tua itu. Dan dia tersenyum. Menyeringai. Seolah menertawakan saya. Seolah menunjukkan kemenangan telah membodohi saya. Saya semakin sadar, ibu tua itu telah memprovokasi saya. Ibu tua itu telah menipu saya!

Dia mengangkat sebuah kertas. Samar terbaca.
“SAYA BEGITU MENCINTAI ANGKA NOL. DAN TELAH BERHASIL ME-NOL-KAN KAMU!”

(Seharusnya saya tetap tidak percaya manusia, selain diri saya sendiri. Sama halnya saya tidak percaya pada angka-angka, kecuali angka nol tentunya)

Romeo & Juliet Versi Waw Waw

Alwi Karmena
http://www.harianhaluan.com/

Kalau seperti dulu, semasa dirinya dipanggil orang sebagai Welky, tak sulit baginya menjelang daerah realestat sekelas Giriyatama itu. Rumah mewah tempat Klara yang berpagar beton tinggi, bukanlah halangan baginya. Berdiri saja dia di pintu pagar, satpam akan bergegas membukakan pintu. Tapi itu dulu. Kini tak mungkin lagi, namanya sudah jatuh. Sejak tuannya Pak Dongkrat ditangkap polisi karena korupsi, dia terbuang, seriring dengan pindahnya keluarga Pak Dongkrat. Mereka menghilang pindah melarikan malu. Welky tak dibawa serta mengungsi. Dia ditinggal saja dengan sia-sia. Tak ada yang memelihara.

Kini, tak ada sebutan Welky lagi. Nama dan harga dirinya meluncur, seiring nasib buruk yang ia pikul dalam riwayat Pak Dongkrat yang telah buruk. Welky menjadi si Buruk, yang bentuk fisiknya memang sudah benar-benar memburuk. Piaraan tercampaklah namanya. Kadang, dia dipanggil orang Waw Waw, kadang Tengkak, dan yang paling memalukan, dia dipanggil dengan nama ejekan—si Buruk Tengkak….si Kurok Buruk.

Namun, seburuk apapun nasib, percintaannya dengan Klara adalah percintaan yang indah dan klasik. Seekor gadis anjing, anjing gadis, yang dikenalnya dalam pertemuan tak tercatat, memberi dia harapan. Memberi dia harga dan cinta. Itu yang membuat dia bertahan di kota ini. Dia menganggap dirinya si Buruk pengawal cinta abadi. Untuk itu, setiap hari dia bergulat dengan dirinya sendiri. Dia tegakkan juga kepalanya, agar tidak terlalu tertekur, minder atau rendah diri. Cinta adalah sayap peraih kemuliaan hidup. Dia merasa pantas untuk sekadar memelihara cinta dan juga rindu. Biar badan ini buruk, dalam dadaku ada panorama indah, tempat baying-bayang Klara bermain. Demikian jiwanya berlagu.

Betapa syahdunya, bila malam-malam menghunuskan sepi yang panjang. Berjalan sendiri dengan jarum-jarum hujan ataupun derai angin. Kalau di luar negeri, dingin begini, pastilah ada salju. Tanpa dia sadari, dia telah menjelma menjadi anjing yang penyair. Dari lorong gelap yang bencah, diraungkannya puisi-puisi cinta. Tak ada yang tahu. Puisi itu hanya untuk Klara. Puisi dari lorong becek merengkuh ke pintu pagar istana.

Barangkali Klara pun tak sempat mendengar. Atau, kalaupun terdengar, puisi itu tidak akan sampai seutuh yang ia raungkan. Jarak lorong becek tempat dia mencingkuk dengan real estat. Jauuuh. Kalau berlari menengkak-nengkak, hampirlah setengah jam pelarian. Tapi bagi buruk, melolongkan puisi sudah cukup untuk sebuah pernyataan cinta. Simaklah puisi Buruk.

Wooouuuuoo. Wuhuuuooo. Fuk fuk huuuuu. Wawhawouuung woooowuuung gong gong… Houuuwu uuwwow waw. Huuuufuhuung hufuuuwuuhuuung Waw waw waw…. (Terjemahannya :–Dengarlah sunyi melengking dari kelam ini- Sehelai bulu berkutu purba telah gugur ke batu. Kuziarahi juga bayangmu di benteng masa lalu yang runtuh itu—Kucabik langit, kuremas bulan – kujentik bintang bintang, buah cakrawala yang diam, bisu. Kita erat berkait hati, erat juga berkait ekor bertali, sambil menggonggong, kukalungkan sisa badai ke lehermu…”)

Hubungan cinta antara Buruk Tengkak dengan Klara tercium bukan karena puisi. Tapi Tambiluk, kepala Satpam penjaga rumah Om Cekeh, kakak sepupu dari besan, ipar kemenakan bekas tetangga Gubernur. Dia terkejut melihat Klara dicium anjing buruk di luar pagar. Tersentak, timbul bencinya. Bangkit jijiknya. Hei Husy. Lihat dirimu, siapa kau? Siapa Klara? Kau anjing kalera!

Ya. Provinsi ini tahu siapa Klara. Anjing Australia berbulu putih rembai, yang rantainya saja, sejuta delapan ratus lima puluh ribu semeter. Kalung di leherya dibeli di Prancis. Sampo untuk mandinya Singapura punya. Jangan sebut makanannya lagi, nanti jadi perkara kalau dihitung banding di saat harga-harga sedang naik ini. Ssst. Rahasia! Daging dan susunya di kaleng semua. Payah mengeja apa mereknya. Bahasa langit. Inggris, Prancis, Rusia, Arab, Cina, India. Tak ada terjemahan Indonesia. Dengan dolar membelinya.

Sore itu, sedang buruk menjilat jilat bagian belakang Klara, dengan jijik bercampur cemburu, Tambiluk menyambit Buruk dengan batu: Bug! Tepat benar lemparan itu mengenai kaki Buruk. Bukan kaki yang tengkak yang kena, tapi kaki yang sebelah lagi. Kalau tadinya dia hanya tengkak, setelah terkena batu ini, dia jadi lepai. Soalnya, kedua kaki belakangnya tak bisa lagi bergerak dengan sempurna. Sambil terkengkeng, mengingsut-ingsut, dia mencoba juga lari. Lari melarikan hubungan cinta yang tak sampai. Cinta indah yang terlerai.

Klara marah. Dia menyalak, memprotes habis-habisan kejahatan Tambiluk. Dia bahkan menyumpah dan mengancam. Akan dia gonggong majikannya untuk menyampaikan ultimatum. Terus terang dan transparan, pada Om Cekeh ia tekankan, agar Tambiluk dipecat sebagai Satpam. Tapi, apalah artinya bahasa anjing bagi Satpam dan Om Cekeh? Justru Klara diseretnya ke dalam. Setelah ini tak dibiarkan main-main ke luar pagar lagi. Anjing cantik itu kecewa. Marah dan benci. Digigitnya kuat kuat kaki Tambiluk. Tapi karena Tambiluk memakai sepatu lars, yang tergigit hanya tumit sepatu yang keras. Tak terasa oleh Tambiluk gigi kecil Klara menggores sepatunya,

Maka sejak itu, hari hari menjadi panjang dan lengang bagi Buruk dan Klara. Buruk menyuruk mengidapkan sakit di got pembuangan sampah. Sebelum sembuh, tak bisa ke mana-mana, karena kakinya semakin sakit. Dia tak bisa lagi mencari makan. Tapi sebagai anjing liar yang tahan banting, dia tentu bisa pula menahan lapar. Yang tak bisa dia tahan, adalah inspirasi menelorkan puisi. Dia telah jadi penyair anjing beneran. Inilah puisi yang ia gumamkan sepanjang malam.

Keng Keng Keng. Gung gung guk. Woffh wooff. Haw haauuuwaw. Waw waw waw waauf. Gong gong goooong…Fuuuuuu Wuuu Huwaaa­uuung…­huauuuung…(Terjemahannya–Ra­sa tak berdaya…tak dapat menghalang ci­ntaku…Rasa tak berkuasa, tak mampu menindas rinduku – Rasa tak setara, tak mungkin melerai jumpa dan pelukku – Hanya, rasa tak bisa besetia. Sebagaimana derajat manusia, memisahkan taraf keberadaan kau dan aku…)

Puisi itu agaknya belum selesai. Dan yang pasti tak akan pernah didengar Klara. Anjing Australi yang mewah itu patah hati dan bunuh diri… Dia mati karena mogok makan. Tak mau makan dan tak mau minum berhari hari. Hatinya terus meratap… Mulutnya menggumam. Barangkali menggumamkan semacam puisi juga…Atau, kata kata mutiara… Hunnnnnng. Hunng Hukunnng. Keng keng hung…Hmmmmmhmm.(Terjemahannya: Tak guna hidup tanpa cinta. Tak guna bulu tanpa kutu. Kembalikan Buruk ke pelukanku…Pertalikan ragaku dengan raganya. Bila tidak bisa di duna, kunanti dia di surga atau di neraka…)

Begitulah kesudahannya, karena tak makan makan. Klara akhirnya sakit. Semacam “kanker darah” pula. Sudah diupayakan Om Cekeh membwa ke dokter hewan. Tapi tak tertolong. Klara mati sebagai. Mati Anjing yang hampa. Sejemput kesedihan terlihat di wajah Tambiluk. Dia tak menyesali apa apa, karena dia tak terlibat kisah cinta. Hanya merasa tertular rasa kehilangan, seperti juga halnya sang induk semang. Tapi itu tak lama. Cerita pendeklah namanya.

Soalnya, seminggu setelah itu, terdengar kabar buruk, Tambiluk meninggal dunia pula. Almarhum Satpam itu wafat mendadak saja. Kabarnya, dia kena rabies, digigit anjing gila. Tak pasti, apakah si Buruk yang menggigitnya!

30 Januari 2011

Sebuah Cerita : Flashback

Dody Kristianto *
http://sastra-indonesia.com/

Bila dalam proses kreatifnya Afrizal Malna menyatakan bila ia seorang yang negatif, maka saya akan mencoba untuk positif. Tentu saya berpositif terhadap tulisan yang saat ini sedang berada di hadapan para pembaca sekalian. Positif dalam arti saya tak ingin berumit-rumit dan beraneh-aneh dalam tulisan ini. Artinya saya mencoba untuk berbincang gamblang dan membuka perihal mengenai proses yang saya alami. Meski saya tahu, jika gamblang dalam kacamata saya belum tentu bagi para pembaca.

Sesungguhnya tulisan ini harus dinamai sebagai sebuah tulisan proses kreatif (sesuai tuntutan panitia). Tapi tidak. Saya tidak bernyali untuk memproklamirkan tulisan ini sebagai sebuah proses kreatif. Bisa jadi ia malah melantur ke sana ke mari, mengigau mirip orang mabuk, berteriak di segala tempat. Ujung-ujungnya pembaca akan tersesat dari jalan lurus menuju lorong pengap berliku.

Tapi tak apalah…. Anggap saja saya sedang mendongeng, bercerita mengenai sedikit dari masa lalu saya.

Maka membincang mengenai proses kreatif adalah hal yang bersifat personal. Setiap orang memiliki dunia, latar belakang dan ”kecelakaan” masing-masing. Bahkan secara ekstrim Sutardji Calzoum Bachri hanya membubuhkan titik-titik pada proses kreatifnya. Bisa jadi proses kreatif adalah sebuah hal yang tak terkatakan. Lalu bagaimana dengan beberapa tulisan pada buku antologi tunggal beberapa penyair yang pernah saya baca? Bisa jadi beberapa penyair sedang mengurai alur mundur proses kepenyairannya.

Sebutlah beberapa nama yang pernah saya nikmati perihal “proses kreatif”nya : Afrizal yang tergerak untuk membahasakan energi benda-benda yang bersliweran di sekitarnya, Mardiluhung yang menemu titik temu antara eksotisme masa kanak-kanak dalam komik dengan puisi-puisi Tardji serta kehidupan khas pesisir, atau mungkin Warih Wisatsana yang digoda oleh perasaan tersisih karena tak memunyai lingkungan dominasi yang jelas. Juga beberapa penyair semacam Faisal Kamandobat, Pranita Dewi, Mochtar Pabotingi maupun Indra Tjahyadi.

Yang jelas, ada satu motif yang mengikat mereka dalam mendedahkan proses kreatifnya : obsesi pada masa lalu. Seperti seorang kawan yang saat ini “menjabat” sebagai paus sastra facebook, Heru Susanto yang menulis puisi sebagai upaya untuk menebus kesalahan di masa lalu, yakni alpa menulis perihal kehidupannya pada buku harian.

Mau tidak mau saya harus memutar ingatan saya kembali. Apakah dalam petualangan kembali ke masa lalu, saya menemu titik temu atau tidak dengan proses yang saya jalani sekarang.

Saya tidak lahir pada keluarga yang memiliki darah seni. Mungkin keluarga saya hanya keluarga biasa yang suka mendengar lagu-lagu langgam jawa maupun keroncong. Tapi ada yang saya ingat ; mereka senantiasa membacakan dongeng pada saya sebelum tidur. Dan mereka membaca dongeng itu tanpa membaca buku teks sama sekali. Jadi, dongeng yang mereka bacakan murni karena hasil ingatan turun temurun (saya baru menyadari saat ini jika mereka mungkin adalah pelaku sastra lisan). Dan, saya rajin menghayalkan apa yang mereka dongengkan. Jadilah dody kecil sebagai anak yang memunyai daya khayal cukup gila.

Saya menyenangi diri saya di masa kecil. Sebab saya akhirnya terbiasa menjadi anak yang suka membaca. Catatlah majalah-majalah anak-anak semacam Bobo, Mentari, Ananda, Hoopla (almarhum) pernah saya baca. Cerita-cerita dalam majalah itu turut merangsang daya imajinasi saya.

Lalu dengan puisi? Ini yang saya herankan. Sebenarnya saya (mungkin) kurang tertarik dengan puisi. Karena ketika ada PR membuat puisi, saya tak pernah bisa mengerjakan tugas ini.

Kalau perkenalan dengan puisi? Bisalah puisi Toto Sudarto Bachtiar yang berjudul ‘ Pahlawan Tak Dikenal’ menjadi gerbang. Mengapa? Karena ada kata ‘sayang’ dalam puisi itu (sepuluh tahun yang lalu ia terbaring/ tetapi bukan tidur sayang/ sebuah lubang peluru bundar di dadanya/ senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang). Bagi saya yang (kalau tidak salah) masih kelas empat SD, kata ‘sayang’ adalah kata yang amat genit. Dan saya merasa aneh dengan teks semacam ini.

Lalu kebiasaan beriseng-iseng ria dengan puisi ini berlanjut ketika SMP. Saya saat itu rajin untuk menyalin puisi-puisi dalam buku teks pelajaran Bahasa Indonesia ke dalam buku harian saya. Hal itu saya lakukan semata-mata karena saya tidak ingin kehilangan puisi-puisi tersebut. Tentunya patut dicatat bila dalam buku-buku pelajaran itu ada juga gambar yang menyertai setiap teks puisi. Setelah saya melihat gambar yang menarik, saya juga tertarik dengan puisi di dalamnya.

Hasilnya lumayan. Dari buku harian butut itu saya mengenal Rendra, Sapardi Djoko Damono, Ramadhan KH, Sanusi Pane, Amir Hamzah, dan beberapa penyair yang lain. Saya mulai jatuh cinta. Terutama pada “gambar ilustrasi” dalam puisi’Tanah Kelahiran’ Ramadhan KH. Saya juga menghubungkan gambar tersebut dengan lirik puisinya : Seruling di ipis, merdu/ antara gundukan pohon pina/ tembang menggema di dua kaki/ Barangrang-Tangkubanprahu// Jamrut di pucuk-pucuk/ Jamrut di air tipis menurun… terus terang saya jadi membayangkan keelokan alam yang ditulis oleh Ramadhan KH. Saya jadi tertarik oleh pesona tanah Pasundan, meski melalui puisi.

“Kecelakaan” dating kala saya menginjak kelas dua SMA. Saat itu saya membaca puisi (yang oleh Binhad Nurohmat) sebagai puisi Mazhab Gapus. Tepatnya saya membaca puisi Mashuri yang berjudul ‘Seperti Khidir’ : di atas rumpun bambu/ duri-duri memberi mimpi/ tentang rasa sakit,/ berdarah dan ketakutan untuk melangkah. Atau juga puisi Dheny Jatmiko ‘Hujan III’ : bapak,/ malaikat-malaikat/ merangkum darah/ darah kemungilanku/ dengan tusukan/ dan kutukku/ melebihi dendam ikan/ di antara hujan. Puisi-puisi itu saya baca secara kebetulan di salah satu media di Surabaya. Dan tak hanya puisi dua orang itu, saya juga membaca puisi F Aziz Manna dan Deny Tri Aryanti juga di media yang sama. Di kemudian hari, saya mengetahui bila mereka tergabung dalam satu komunitas.

Apa yang saya baca pada puisi-puisi penulis puisi tersebut benar-benar berbeda dengan yang saya dapat di buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia. Membaca puisi para penulis puisi tersebut, imajinasi saya yang liar seolah mendapat tempat. Dan saya mulai gemar menulis puisi (atau tepatnya sesuatu yang saya klaim sebagai puisi). Meski puisi yang saya tulis ketika SMA lebih didasarkan pada perasaan saya. Pada hal-hal yang saya alami dan amati. Dan tentu masih sangat mentah dan masturbatif.

Lalu ketika SMA pula saya berpikir untuk melanjutkan pendidikan saya ke Sastra Indonesia. Barangkali di jurusan itu saya dapat lebih sering menulis puisi dan mengetahui cara menulis puisi yang baik dan benar.

Alangkah kecewanya saya (hal ini mungkin juga dialami oleh kawan-kawan saya semacam Fauzi atau pun Bang Taqin). Bahwa di ruang perkuliahan, saya tidak mendapatkan perkuliahan mengenai cara menulis puisi. Jadinya saya mulai berhenti untuk menulis puisi dan lebih suka berkutat dengan materi-materi linguistik.

Satu ketika, waktu BEM JBSI Unesa mengadakan pameran puisi, secara tidak sengaja saya membaca puisi kawan Angga Priandi :

AKU TERPAKSA MENUNDA KEMATIAN

Hanya begitu. Dan entah mengapa saya begitu tertarik oleh sajak Angga tersebut. Maka saya mulai menulis puisi kembali. Dan imajinasi untuk menulis liar juga sekonyong-konyong bergolak. Saya akhirnya larut untuk menulis puisi yang gelap (atau tepatnya saya gelap-gelapkan). Hal ini berlangsung selama setahun sampai akhirnya saya berkenalan dengan Bang Alek Subairi maupun Cak Muttaqin di Komunitas Rabo Sore (KRS).

Di komunitas itulah saya mulai belajar untuk membenturkan puisi-puisi saya dengan pendapat kawan-kawan yang sebelumnya memiliki jam terbang tinggi di ranah dunia penulisan. Saya mendapat pelajaran bila puisi yang saya tulis saat itu terlalu membabi buta dan tidak terkendali.

Saya kemudian menyadari bila perlu untuk mengontrol imaji. Sebab puisi-puisi saya hanya berupa karnaval imaji yang bertabrakan tidak terkontrol. Hal inilah yang kemudian membuat saya menulis cerpen. Mengapa? Karena dari cerpen saya bisa mengontrol imaji dan membuat suatu alur jelas terhadap imaji saya. Jadi saya menulis cerpen untuk menyeimbangkan diri.

Beberapa kawan (saat itu) ada yang mengaitkan puisi-puisi saya dengan Indra Tjahyadi, W Haryanto, maupun Kriapur. Saya berpikir hal tersebut cukup wajar. Karena seorang penyair pasti diciptakan oleh penyair pendahulunya. Hal ini seperti yang pernah saya pikirkan bila tidak ada orisinalitas. Orisinalitas pertama mungkin kitab suci yang diciptakan oleh Tuhan dan diwahyukan pada nabi-nabi.

Bila ditelisik, saya menemu jejak Kriapur pada puisi-puisi Indra Tjahyadi maupun W Haryanto. Begitu juga pengaruh Goenawan Mohamad yang saya rasakan pada puisi-puisi Kriapur. Dan bila ditelusuri saling memengaruhi ini adalah sesuatu yang wajar adanya dan lumrah. Bahkan “saking” lumrahnya, saling pengaruh ini bisa mewujud menjadi plagiator, epigon, pengikut dan hal-hal sebangsanya. Sebab, penyair memang menjadi penyair karena membaca penyair lain atau penyair terdahulu.

Sebagai rekan satu komunitas, jujur saya juga kagum dan sedikit banyak terpengaruh oleh puisi-puisi Muttaqin. Tapi di sisi lain, saya tentu tak bisa membiarkan keliaran yang ada pada diri saya meluap. Sebab keliaran itu saya yakini sebagai potensi yang telah saya miliki sebelumnya.

Sebagai jalan tengah, saya mencoba bagaimana sesuatu yang liris melantur semacam puisi-puisi Muttaqin saya pertemukan dengan keliaran yang mengendap pada diri saya. Hal ini saya rasakan sebagai hal yang positif dan negative. Di satu sisi, saya bisa terus berkembang tanpa harus terkungkung oleh satu estetika tertentu. Dengan demikian, saya bisa terus mengeksplorasi bentuk. Akan tetapi di sisi lain, saya turut dituding tidak memiliki konsistensi. Puisi-puisi saya terkadang tampil manis. Tapi kadang pula sangat liar dan gelap. Apa boleh buat. Tapi saya memakluminya karena saya masih merasa awam dalam tulis menulis puisi. Tentu pengaruh-pengaruh dari luar yang cukup menggoda saya akan terus saya dalami. Sebab saya tidak ingin berhenti pada satu titik saja. Dan jalan ke depan (bisa jadi) masih sangat panjang.

*) Dody Kristianto, anggota Komunitas Rabo Sore (KRS) dan Group Wisata Kuliner Warung Door To Door!

NB : tulisan ini saya buat sebagai proses kreatif saya. tulisan ini juga termuat pada kumpulan puisi Rumah Kabut yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Surabaya tahun 2009. Antologi Rumah Kabut juga merupakan salah satu rangkaian antologi acara Halte Sastra.

22/09/11

Invasi Budaya dalam Mitologi Etnik

Riki Dhamparan Putra*
http://oase.kompas.com/

Bangsa Minangkabau di Sumatera bagian tengah dan suku bangsa Lamaholot di Adonara, Flores Timur, termasuk di antara suku bangsa yang mempunyai warisan peninggalan fisik zaman megalitik. Namun, dalam perkembangannya, kedua bangsa ini menjadi rumpun budaya yang berbeda, baik secara genetis, geografis, bahasa, maupun kepercayaan dan adat istiadatnya.

Pada masa lalu mungkin kedua suku bangsa ini pernah bertemu pada masa persebaran ras Proto-Melayu ke berbagai wilayah Nusantara. Namun, kini sulit kita menemukan kesamaan fisik antara kedua suku bangsa itu. Begitu pun dalam sistem kekerabatannya yang berbeda hampir diametral. Minangkabau adalah matrilineal, sedangkan Lamaholot di Adonara adalah patrilineal.

Apa yang agak paralel dari keduanya adalah soal mitologi tentang asal-usul nenek moyang mereka, yang dalam makna tertentu dapat disebut sebagai sebuah invasi budaya. Hal ini bisa dijelaskan bagaimana sebuah mitos dibangun untuk mengukuhkan kekuasaan baru dengan cara menghancurkan mitos lama. Inilah pola yang juga terdapat di banyak kelompok etnik lain di Nusantara ini.

Dua mitologi

Dalam kultur Lamaholot awalan terjadi bersamaan berdirinya Ile Boleng (Gunung Boleng) dan terciptanya perempuan dari sebatang bambu, Sedo Lepan, yang tubuhnya dipenuhi bulu lebat. Suatu hari tubuh Sedo Lepan pecah dan menjelma menjadi seorang putri bernama Kewa Sedo Bolen.

Di bagian lain ada seorang lelaki bernama Kelake Ado Pehan. Ia diusir dari Pulau Lepang Batang karena dituduh menyebarkan ilmu hitam. Berbekal setabung moke (arak) dan sebilah pisau mere, ia pun menyeberangi laut dan terdampar di Adonara.

Di pulau itulah Kelake Ado Pehan menemukan Kewa Sedo Bolen yang pada suatu malam ia beri minum moke sehingga sang putri mabuk dan tertidur. Saat itulah dia mencukur seluruh bulu di tubuh Kewa Sedo Bolen dan melihat betapa cantik jelitanya perempuan tersebut. Mereka lalu menikah dan melahirkan 7 anak yang kelak menyebar ke seluruh Pulau Adonara, menjadi nenek moyang suku-suku di Adonara.

Secara garis besar suku-suku itu dibagi menjadi Ata Kiwang (orang gunung) dan Ata Watan (orang pesisir). Ata Kiwang biasa dianggap suku Lamaholot purba, yang tinggal di pedalaman dan tidak mempunyai budaya melaut. Adapun Ata Watan lazim juga disebut Sinajawa (istilah umum Lamaholot untuk suku-suku yang datang dari Ternate, Melayu, Bugis, dan Jawa) yang tinggal di pesisir. Interaksi Kiwang-Wetan inilah yang kemudian memproduksi seluruh imajinasi budaya Lamaholot.

Adapun di Minangkabau, Sumatera, yang menurut para tukang kaba, nenek moyangnya turun dari Gunung Merapi.

Modus pendatang

Kalau diperhatikan, struktur kedua cerita di atas dibangun di atas fondasi yang sama, yakni ada ”kaum pendatang yang meletakkan sendi-sendi peradaban”. Metafora gunung di sini hanya untuk menegaskan proses kedatangan itu. Pendatang baru secara aktif membangun dinamikanya sendiri di wilayah baru.

Mitos-mitos di atas terpelihara secara baik dalam pikiran adat kita. Bahkan disakralkan untuk mengunci posisi dominan kekuasaan pendatang. Sebuah modus invasionis yang memiliki dampak hingga hari ini.

Budaya rendah diri

Berlaku dan bertahannya sebuah mitos seperti di atas mungkin bukan disebabkan ”ketaksadaran kolektif” manusia, sebagaimana dikatakan CG Jung. Namun, sebaliknya, diciptakan dengan penuh sadar. Karena mitologi adalah gelanggang yang paling baik bagi proses penguasaan narasi, sekaligus counter narasi atas kenyataan yang sebenarnya.

Dalam proses ini, kadang kita menemukan jarak yang lebar antara narasi dan subyek yang dinarasikan. Figur yang dimitoskan kadang kala tidak mencerminkan keadaan yang berlaku. Dengan demikian, narasi mitos sebenarnya adalah sebuah pengelabuan terhadap fakta. Suatu dusta yang dikekalkan.

Masalahnya, dusta yang berlangsung berabad-abad ini pada gilirannya akan menjadi kebenaran publik karena dusta itu membentuk imajinasi publik. Ini terjadi di antaranya adalah lemahnya daya apresiasi (kritis) publik terhadap mitologi.

Akhirnya, publik etnik itu sendiri berkembang menjadi masyarakat yang rendah diri, ketidakpercayaan diri (juga pada asal-usulnya sendiri), dan memuncak pada ketidakmampuannya mengakselerasi perkembangan budaya terbaru. Kita sangat mudah ditelan produk budaya baru, baik berupa gagasan maupun berupa benda. Dengan mudah pula kita melupakan pencapaian budaya yang sebenarnya pernah kita capai.

Bisa dibayangkan, bagaimana dan ke mana sebuah bangsa seperti itu menggapai masa depannya. Tragisnya, Anda, juga saya, ada di dalamnya.

*) Penyair dan perantau budaya asal Minang, kini menetap di Bali

Andai Saya Manajer Toko Buku

An. Ismanto*
http://www.jawapos.co.id/

ANDAI menjadi manajer sebuah toko buku yang agak besar, saya akan bergidik ngeri membayangkan prospek perbukuan ke depan. Rak-rak di toko saya terancam tetap penuh buku dalam waktu yang panjang. Perkembangan teknologi memungkinkan konsumen membeli dan membaca buku tanpa harus melangkahkan kaki ke toko buku. Bahkan, sekarang orang mulai bisa membaca novel di layar telepon genggam.

Mungkin masih ada beberapa orang yang akan berkunjung ke toko saya. Namun, mereka hanya akan membuka-buka buku secara sekilas. Satu atau dua buku akan menarik perhatian mereka. Tapi, setelah melihat label harga, mereka akan meletakkan lagi buku itu di rak. Kemudian, mereka bakal pulang dan memesan buku yang mereka inginkan tersebut lewat internet. Sebab, mereka menganggap harganya lebih murah daripada yang ditawarkan toko.

Hal itu berarti bencana, bukan hanya buat saya sebagai manajer toko, tetapi juga seluruh pelaku industri perbukuan konvensional yang mencari rezeki dari buku cetak. Saya jelas tidak bisa mengharapkan penjualan dari para pengunjung yang tidak selalu membeli buku, apalagi pengunjung setia yang membaca satu bab buku setiap hari selama satu jam sambil berdiri di depan salah satu rak tanpa membeli.

Tentu saya harus melakukan sesuatu agar, paling tidak, orang masih mau berkunjung ke toko saya. Semakin banyak orang yang berkunjung, semakin besar pula kemungkinan buku terjual.

Saya perhatikan, orang zaman sekarang, terutama anak-anak muda, suka sekali berkumpul. Karena itu, saya akan menyediakan satu ruang atau sudut khusus di toko saya untuk tempat nongkrong, lengkap dengan meja dan kursi, lampu penerangan, televisi, dan musik. Ruang khusus itu bakal saya atur sedemikian rupa agar menghadap jalan raya yang ramai sehingga para pengunjung tidak cepat bosan. Pendek kata, saya akan membuat semacam kafe dalam toko saya. Dengan begitu, toko buku saya tidak semata-mata menjadi tempat usaha, tetapi juga menjadi community gathering space.

Selanjutnya, saya akan mengajukan tawaran kerja sama dengan para produsen komoditas nonbuku. Tentu mereka tertarik membuka gerai atau kios di toko buku saya. Sebab, banyak pengunjung di sana. Karena itu, saya harus menyisihkan beberapa rak lagi dari dalam toko saya. Rak-rak buku akan saya pindahkan ke lantai atas, sedangkan lantai bawah dikhususkan kafe dan gerai-gerai penjualan produk nonbuku, mulai telepon genggam hingga pakaian bayi.

Bisa juga rak buku saya letakkan di lantai bawah. Sedangkan lantai atas dikhususkan sebagai kafe, bersebelahan dengan ruang kecil yang bisa digunakan untuk diskusi atau performance art.

Tetapi, ruang usaha tentu terasa sempit kalau buku yang harus dijual tetap banyak. Maka, saya bakal menyeleksi lagi buku yang harus saya jual. Buku baru yang sudah cukup lama mendekam di rak dan jarang dilirik pengunjung bakal saya kembalikan kepada distributor. Namun, saya tetap menyediakan satu rak khusus untuk buku-buku lama.

Begitu diseleksi ulang, jumlah buku yang dipajang di rak tidak akan berlebihan. Tidak ada lagi buku yang menumpuk tidak rapi di rak.

Setelah perombakan, mungkin pendapatan terbesar saya tidak akan berasal dari penjualan buku, melainkan dari kafe, produk-produk nonbuku, atau biaya sewa gerai-gerai nonbuku. Bagi bos saya, tidak penting dari mana pendapatan toko berasal. Yang penting, cash flow lancar. Saya tidak akan berkecil hati kalau ada orang yang mengatakan bahwa saya telah menjadi manajer sebuah shopping center, bukan toko buku. Jika masyarakat memang menginginkan produk-produk nonbuku, itulah yang harus dimanfaatkan oleh perusahaan mana pun, termasuk toko buku.

Jika toko saya telah menjadi community gathering space, muncul keterikatan antara pengunjung dan toko. Pengunjung yang datang ke toko bisa langsung menuju kafe tanpa harus melirik rak buku. Mereka juga bisa berkencan atau bertemu dengan teman dan kolega, bahkan menghelat acara ulang tahun di kafe tanpa membeli buku. Tidak masalah. Lambat laun, mereka bakal menyadari keberadaan buku-buku yang menunggu untuk dibeli. Bukankah ada pepatah witing tresna jalaran saka kulina (cinta terjadi karena terbiasa)?

Tetapi, andai hanya menjadi seorang pemilik toko buku kecil di Taman Pintar Jogjakarta atau mampu membuka lapak bongkar pasang di Pasar Klewer, Solo, tentu saya tidak perlu menerapkan strategi menjadikan toko buku sebagai community gathering space. Mungkin saya memilih mengintensifkan berjualan buku-buku khusus. Misalnya, buku-buku lama atau buku-buku pelajaran.

Apa pun yang terjadi, saya akan berusaha keras tidak menutup toko buku. Sebab, saya percaya, buku selalu bisa memberikan rezeki. Entah bagaimana caranya.

*) Pembaca buku, tinggal di Jogjakarta

Bukan Sebuah Mimpi Buruk

Lan Fang*
http://www.jawapos.co.id/

SELAMA pesantren-pesantren kecil di kampung dengan kiai-kiainya yang bersahaja itu masih ada dan terus berkiprah di tengah masyarakat, rasanya NU akan baik-baik saja. Rasanya tak akan terjadi apa-apa dengan NU. Menurut saya, merekalah yang selama ini mempertahankan dan menjaga kehormatan NU. Merekalah yang selama ini menjalankan peran NU sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang sebenarnya, justru ketika para petingginya sibuk menjadi selebritis, sibuk berebut jabatan dan proyek, sibuk menjajakan NU sebagai komoditas politik dan ekonomi, sibuk menjadi broker, jurkam, atau tim sukses.

Paragraf di atas adalah kutipan esai Acep Zamzam Noor, salah seorang di antara 15 penulis yang termaktub dalam buku Dari Kiai Kampung ke NU Miring. Selain Acep Zamzam Noor (putra Kiai Ilyas Ruchiyat (alm), salah seorang deklator PKB dari Pesantren Cipasung, Tasikmalaya), penulis lain adalah Mujtaba Hamdi, Riadi Ngasiran, Soffa Ihsan, Anggi Ahmad Haryono, Eyik Musta’in Romly, Sahlul Fuad, M. Arief Hidayat, M. Faizi, Ahmad Syubbanuddin Alwy, Saprillah, Syaiful Arif, Mashuri, Surahno, dan Binhad Nurrohmat.

Keberadaan NU sebagai ormas keagamaan tentu tidak bisa lepas dari kiai dan santri yang jumlahnya kurang lebih 40 persen dari jumlah umat Islam di Indonesia atau sekitar 86 juta jiwa. Karena itu, NU tidak bisa dimungkiri adalah komoditas politik dan ekonomi (meminjam istilah Acep Zamzam Noor) yang menggiurkan. Saking menggiurkan, Sahlul Fuad dalam esainya, Rebutan NU, menuliskan perebutan kekuatan dan kekuasaan di tubuh NU terjadi dari level teratas sampai tingkat terbawah, baik dalam pilpres, pilkada, pileg, sampai pilkades. Bahkan, termasuk di dalam Muktamar NU sendiri.

Persoalan memperebutkan NU juga dipetakan Mashuri dalam tulisannya, Kiai-Santri Putus Hubungan? Dia mengutip trikotomi Geertz tentang pola kultur masyarakat Jawa dalam Religion of Java yang terdiri atas santri-priyayi-abangan. Trikotomi itu juga ditemukan dalam Politik Santri-nya Abdul Munir Mulkhan yang melukiskan pola budaya santri-priyayi-abangan bersilang di dalam tiga pusat budaya, yaitu kantor, pasar, dan pedesaan. Ketiganya membentuk struktur nilai sebagai referensi pelaku (politik) dari tiap komunitas yang tumbuh di dalamnya.

Sebagai sebuah referensi pelaku (politik), Eyik Musta’in Romly melemparkan otokritik kepada putra-putri kiai. Esainya, Mabuk Kepayang NU, dengan kritis menyikapi ketidaksiapan mental serta intelektual para penerus dinasti pesantren yang hanya sibuk membangun persaingan ekonomi dan politik di lingkungan internal pesantren sendiri.

Situasi itu oleh Acep Zamzam Noor melalui esainya, Kiai Kampung, diamsalkan seperti dunia sepak bola, kesebelasan NU terus berlatih tetapi kalah melulu jika bertanding. Hal itu disebabkan karakter nahdliyin yang sabar, ulet, tulus, lurus, tahan banting, dan menghargai proses, tidak tampak sama sekali. Yang muncul justru karakter-karakter umum seperti berebut jabatan, nepotisme tradisi atau bangga walau hanya menjadi tim sukses suatu perhelatan politik.

Kondisi itu diperparah oleh kerancuan relasi kiai dan santri pada saat para kiai terlibat dalam politik praktis. Hasilnya terlihat pada berbagai peristiwa politik nasional maupun lokal, NU menyajikan fenomena yang ironis. Jago-jago NU yang didukung para kiai tumbang bergelimpangan. Melalui esainya, Mashuri melemparkan pertanyaan, benarkah kini ”patronase” kiai-santri telah memasuki era senjakala?

Pada buku NU dan Ambisi Kekuasaan (2004), saya menemukan M.H. Rofiq membeberkan ”trik intrik” (meminjam istilah Sahlul Fuad dalam tulisannya, Rebutan NU) dalam perebutan hegemoni dan tarik-menarik dominasi antarkiai. Sebagai seorang praktisi politisi NU, Rofiq tidak kalah gamblang menggelar olah data dan fakta-fakta empiris yang terjadi dalam setiap peristiwa politik NU. Dengan detail dan runtut, Rofiq menyajikan hiruk-pikuk politik NU dalam bentuk reportase jurnalistik mulai bentuk politik uang, politik sarung, sampai politik simbol.

Fakta-fakta empiris yang disajikan Rofiq membuat saya bisa memahami kenapa Mashuri bertanya demikian satir, Sahlul Fuad demikian gelisah, Eyik Musta’in Romly demikian gundah, dan Acep Zamzam Noor demikian ”menggugat”?

Tetapi, buku ini tidak hanya menyajikan kekecewaan demi kekecewaan. Saya menyimpan senyum ketika membaca kisah KH Misbah Zainal Mustofa, adik kandung KH Bisri Mustofa (ayahanda KH Mustofa Bisri), yang diceritakan Soffa Ihsan dalam Nahdliyyin Anything Goes… Dia menilai Mbah Bah -begitu masyarakat sekitar Pesantren Al-Balagh, Bangilan, Tuban, menyapanya- adalah figur yang unik. Mbah Bah memajang tulisan di pintu rumahnya: ”Tamu Hanya 5 Menit”. Sedangkan kiai-kiai sekarang kalau tak ada tamu malah pusing. Ketika Soffa Ihsan serombongan dari Blora sowan kepada Mbah Bah, mereka langsung disemprot kata-kata menohok: ”Ini pasti orang NU, sukanya sowan-sowan.”

Penghormatan terhadap kiai sebagai guru adalah kultur yang dijunjung tinggi dalam komunitas pesantren. M. Faizi dalam NU Melampaui BlackBerry menuliskan bahwa dalam tradisi NU, hampir semua transfer ilmu pengetahuan selalu diisyaratkan melalui seorang guru. Hal itu yang mengakibatkan penghormatan kepada guru, kemudian gurunya guru (simbah guru), lalu kakek guru (guru dari gurunya guru), begitu seterusnya menjadi silsilah yang berjenjang.

Jejaring itu bekerja sangat baik, bukan saja dalam relasi vertikal antara kiai dan santri, melainkan juga membuat networking horizontal secara otomatis. Melalui koneksi ini, setiap peristiwa atau pesan bisa tersampaikan, bahkan sebelum bertemu atau berbicara dengan para pihak yang berkepentingan. Rahasia ”aneh” di kalangan NU yang disebut ”karomah” itu bagaikan frekuensi dan gelombang tingkat tinggi yang bisa dikatakan setara dengan kecepatan SMS maupun BlackBerry dalam bekerja. Walaupun tulisan M. Faizi lucu, unik, sedikit aneh, tidak masuk nalar, dan semi mustahil, saya mengakui adanya ”karomah” itu karena saya pun pernah mengalaminya.

Buku Dari Kiai Kampung ke NU Miring ini akan membuat pembaca trenyuh sekaligus tersenyum, getir sekaligus jatuh cinta pada NU. Ibarat kulit bawang, mengupas lapis demi lapis membuat mata perih berair tetapi tetap bisa menikmati kehangatannya. Sebab, tulisan ke-15 esais muda NU ini bertumpu pada kekuatan pemikiran, pengamatan, teori, jauh dari syahwat politik yang menggebu-ngebu, dan tentu merupakan olah rasa karena kecintaan mereka yang sangat besar kepada NU. (*)

*) Pengarang, tinggal di Surabaya
Judul buku : Dari Kiai Kampung ke NU Miring
Penulis: Acep Zamzam Noor dkk
Penerbit: Ar-ruzz Media, Jogjakarta
Cetakan: I, 2010
Tebal: 248 halaman

19/09/11

Koran Mbah Karna

Salamet Wahedi *
(majalah gong, edisi 114/X/2009)

Mbah Karna. Usianya, berdasar ukuran rata-rata usia hidup manusia sekarang, sudah memasuki senja legam. Sorot matanya seperti matahari sepenggal di kaki langit. Dan garis-garis kulitnya meliuk-lingkar seperti arakan awan di bibir malam. "Hati-hatilah. Hidup ini tetaplah kotak teka-teki. Jika kau benar menjawab pertanyaan Mendatar, belum tentu di pertanyaan menurun kau akan selamat", pesannya pada setiap orang yang sowan padanya. Pesan ini pulalah yang mengingatkan dan menarik banyak orang untuk selalu mengunjunginya. Terutama di akhir bualn atau di saat ada moment penting.

Setiap hari, Mbah Karna menghabiskan sepertiga siangnya dengan duduk-duduk di kursi goyang. Berteman segelas besar kopi, rokok kolek jagung, Mbah Karna melahap setumpuk berita. Mbah Karna dikenal sebagai pembaca berita yang telaten. Berita-berita yang dilahapnya, dikasih komentar. Berita yang bagus di klipingnya. Berita yang menarik ditempelkannya di majalah dinding buatannya.

Majalah dinding Mbah Karna ada tiga. Satu di emperan rumahnya. Majalah dinding ini menampilkan berita-berita yang mencerminkan wajah dan selera serta semangat Mbah Karna waktu muda.

Di masa mudanya, semasa menyandang gelar mahasiswa, Mbah Karna dikenal sebagai sosok 'guru' di lingkungannya. Sosoknya jadi panutan dan patokan. Ia pantas untuk Digugu dan ditiru oleh teman-temannya. Idealismenya cita rasa tinggi. Vokalnya selalu dalam nada mayor. Apalagi ketika berorasi memimpin teman-temannya turun jalan.

Sehabis rampung kuliah S-1 Mbah Karna memilih jadi petani. Tawaran jabatan posisi dan fungsionaris dari berbagai partai politik ditolaknya. Prinsipnya: membangun desa itu lebih baik.

"Kestabilan nasional berangkat dari kondisi kondusif di daerah", begitulah alasan Mbah Karna menolak pinangan para ketua partai politik.

Setahun kembali hidup di desanya, Mbah Karna didapuk jadi kepala desa. Selama dua periode ia memimpin, desanya berkembang pesat. Perekonomiannya maju di atas rata-rata. Karang tarunanya berulang kali menyabet penghargaan bupati. Semasa menjabat kepala desa Mbah Karna dikenal sebagai sosok yang sangat dekat dan akrab dengan masyarakatnya. Sikapnya yang mau 'duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi' ini justru tampak setelah ia terpilih jadi kepala desa. Namun sikap tegas dan lugasnya, semasa jadi mahasiswa tidak luntur sebaris pun.

Setelah purna tugas dari kursi kepala desa, Mbah Karna memilih bertani. Meski berulang kali partai politik kembali merayunya, Mbah Karna selalu mengucapkan terima kasih. "Negeri ini tidak hanya membutuhkan pemimpin yang mumpuni. Tapi juga butuh masyarakat yang memiliki cita-cita madani", kelitnya.

Sebagai seorang petani Mbah Karna juga menularkan keteladanan yang pantas dianugerahi penghargaan 'masyarakat berprestasi'. Mbah Karna memasarkan hasil pertaniannya secara mandiri.

Setiap pagi, sebelum berangkat ke sawah atau sehabis dari ladang, Mbah Karna melahap setumpuk berita. Mengomentarinya, lalu mengoleksinya. Ditempelkannya berita-berita pilihannya di majalah dinding buatannya. Di kamarnya, Mbah Karna menyediakan dua papan majalah dinding. Satu untuk kolom sastra, yang lainnya untuk esai atau opini. Kebiasaan ini pula yang mengantarkan Mbah Karna ke pendopo kabupaten untuk menerima anugerah 'masyarakat pecinta seni'.
Begitulah sosok muda dan kebiasaan di hari tua Mbah Karna.
***

Hari ini raut Mbah Karna agak bermendung. Koran yang tergeletak di halamannya, yang dilemparkan begitu saja sama lopernya, ternyata menangkupi tahi ayam. Sialnya, tahi ayam itu menutupi seluruh head line korannya hari ini: "Debat Capres Berjalan Membosankan"

"Judul berita yang bagus", ujarnya setengah kecewa. Sebenarnya ia hendak menggunting cepat-cepat berita itu. Ia hendak memamerkannya lebih awal ke tetangganya yang berkunjung. Pak Noeris biasanya bertandang pukul sembilan. Mereka akan berbincang seputar persoalan yang hangat. Dua orang ini sudah sejak lima tahun lalu dikenal dwi-tunggal kemajuan desa Pinggir Papas. Mbah Karna sebagai Pak Kades, Pak Noeris sebagai Pak Carik.

Tapi sayang gambar tiga capres yang diambil dengan sudut kemiringan tiga puluh derajat, berpelopotan tahi ayam yang encer. Berulang Mbah Karna membersihkannya, tapi gambar wajah-wajah calon presiden tersebut tetap buram. Rusak. Gambar capres yang berpose tersenyum tampak seperti hendak meludah darah-nanah. Yang sok bersikap anggun, menampakkan raut penipu. Yang bertampang melankolis, malah seperti memakai topeng saja.

"Dasar loper koran yang tidak pernah baca koran", gerutu Mbah Karna menyayangkan nasib korannya hari ini. Pak Noeris hanya menanggapinya dengan menghisap dalam-dalam rokok kolek jagung yang disuguhkan Mbah Karna.

"Loper koran ya loper koran. Tugas mereka hanya mengantarkan koran. Seperti para capres kita. Tugas mereka hanya membangun citra. Image. Tugas dan program kerja pemerintahan sudah ada penyusun dan pelaksananya"

"Capres kita hanya boneka. Orang-orang yang seharusnya sudah seperti kita, maksudmu?"

Keduanya terlibat percakapan hangat. Sesekali tawa menyela aura wajah mereka yang kadang serius dan menegang. Mbah Karna hanya satu dua sentilan mengalirkan percakapan. Sedang Pak Noeris yang lebih muda, lebih bersemangat meriakkan kata-kata. Gerak tangannya menjelaskan argumennya begitu lincah dan meyakinkan. Di ujung rangkaian katanya, Pak Noeris selalu mengangkat tangannya seperti Bung Karno berpidato. Dan jok nakal dan derai tawa seperti tepuk tangan para peserta debat capres yang cair dan penuh ironi, selalu mengakhiri statemen keduanya.
***

Seperti janjinya pada Pak Noeris, Mbah Karna membuat tulisan tanggapan tentang rendahnya kualitas calon pemimpin negeri ini dan tingginya birahi politik mereka. Dalam tulisan yang berjudul "Demokrasi Rakyat: Beberapa Catatan dan Jalan Alternatif", Mbah Karna menguraikan panjang lebar pandangannya akan demokrasi kita. Kata 'kualitas pemimpin yang rendah' disebutnya hgampir dari awal hingga akhir tulisannya. Kata 'apatisme rakyat', 35 kata. Tidak lupa pula Mbah Karna menyentil rendahnya apresiasi bangsa ini pada budaya baca dan literature bacaan. Semisal dicontohkannya pada nasib korannya yang tidak bisa dipajang, gara-gara dilempar sembarangan.

Hari-hari dua minggu terakhir ini, selain melahap setumpuk berita seperti biasanya, Mbah Karna selalu berharap tulisannya dimuat. Ia ingin mengajak Pak Noeris untuk berdikusi tentang pandangannya tentang demokrasi negeri ini dan para pelakunya kalau tulisannya sudah dimuat. Namun hingga hari teakhir minggu kedua sejak ia mengirimkan tulisannya, koran yang dipungutnya sehabis subuh belum juga memuat tulisannya. Tapi Mbah Karna selalu berharap. Berharap tulisannya dimuat. Tulisannya dibaca. Lalu ditanggapi orang.

Pagi ini, pukul 8, sehabis mengiringi istrinya berangkat ke pasar dengan pesan 'hati-hati di jalan', seorang opas pos menyela rutinitas membacanya. Mbah Karna meletakkan tumpukan korannya. Dipersilakannya opas pos. Mbah Karna menerima kiriman surat untuknya dengan dada berdegup. Tertera di sampul surat yang diterimanya, alamat koran ia mengirimkan tulisannya.

Mbah Karna setengah kaget membaca isi suratnya. Barisan ratusan huruf yang tegak seperi batang-batang jagungnya dilaluinya dengan mata membelalak.

"Maaf tidak ada ruang untuk tulisan anda. Selain itu tulisan anda dapat merusak suasana demokrasi kita. Kami tidak mau menanggung resiko…", Mbah Karna menerawang jauh. Dihantarnya opas pos meninggalkan beranda rumahnya dengan tatapan kosong.
Mbah Karna masih termangu. Di benaknya terbersit sepercik galau, "inikah buah kebebasan yang mereka perjuangkan" {}.

Lidahwetan, 23 juni 2009
*) Salamet Wahedi, Lahir di Sumenep, 03 Mei 1984. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Karya-karyanya pernah dipublikasikan di berbagai media, antara lain: Majalah Sastra Horison, Radar Madura, Suara Pembaruan, dan Batam Pos. Juga dalam beberapa antologi: Nemor Kara (antologi puisi Madura, Balai Bahasa Surabaya, 2006), Yaa-sin (antologi puisi santri Jawa Timur, Balai Bahasa Surabaya, 2007), dan lain-lain. Tinggal di di Lidah Wetan, Gang VI No. 24 Surabaya.
Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=173352947274

16/09/11

Puisi-Puisi Sapardi Djoko Damono

Kompas, 11 Jan 2009
Sonet 5

Malam tak menegurmu, bergeser agak ke samping
ketika kau menuangkan air mendidih ke poci;
ada yang sudah entah sejak kapan tergantung di dinding
bergegas meluncur di pinggang gelas-waktu ini.
Dingin menggeser malam sedikit ke sudut ruangan;
kautahan getar tanganmu ketika menaruh tutup
poci itu, dan luput; ada yang ingin kaukibaskan.
Kenapa mesti kaukatakan aku tampak begitu gugup?
Udara bergoyang, pelahan saja, mengurai malam
yang melingkar, mengusir gerat-gerit dingin
yang tak hendak beku, berloncatan di lekuk-lekuk angka jam.
Malam tidak menegurku. Hanya bergeser. Sedikit angin.
Ada yang diam-diam ingin kauusap dari lenganmu
ketika terasa basah oleh tetes tik-tok itu.



Sonet 6

Sampai hari tidak berapi? Ya, sampai angin pagi
mengkristal lalu berhamburan dari sebatang pohon ranggas.
Sampai suara tak terdengar berdebum lagi?
Ya, tak begitu perlu lagi memejamkan mata, bergegas
memohon diselamatkan dari haru biru
yang meragi dalam sumsummu; tak pantas lagi
menggeser-geser sedikit demi sedikit bangkai waktu
agar tak menjadi bagian dari aroma waktu kini.
Sampai yang pernah bergerit di kasur
tak lagi menempel di langit-langit kepalaku?
Sampai kedua bola matamu kabur,
sayapmu lepas, dan kau melesat ke Ruh itu.
Ruh? Ya! Sampai kau sepenuhnya telanjang
dan tahu: api tubuhmu tinggal bayang-bayang.



Sonet 7

Ada jarak yang harus ditempuh sampai suasana
siap menerima kita. Dan kita arif menerimanya, bukan?
Ada yang harus tak habis-habisnya kita hela
dan hembuskan sampai pisau yang terpejam di tangan
membelah apel yang di atas meja. Seiris telentang, seiris
tengkurap di sebelahnya? Begitu ramal seorang empu
setelah menyelesaikan tugas menempa sebilah keris.
Celoteh juru nujum yang di bukit nun di sana itu?
Ada jarak yang harus diremas sampai kerut
dalam pembuluh darah kita. Sampai yang biru
kembali hijau berkat kuning itu, sampai segala terhalau:
yang ini, yang itu, yang di sana, yang di situ,
yang layang-layang, yang batu? Ada jarak yang harus ditebas
kalau kita mau menerima pertemuan ini dengan ikhlas.



Sonet 8

Di sudut itu selalu ada yang seperti menunggu
kita. Mengapa ada yang selalu terasa hadir di sana?
Di situ konon kita dulu dilahirkan, kau tahu,
agar bisa melihat betapa luas batas antara nyata
dan maya. Dua dinding bertemu di sudut itu,
seperti yang sudah dijanjikan sejak purba
ketika sehabis peristiwa itu leluhur kita diburu-buru
dan sesat di rumah ini. Kau masih juga percaya
rupanya, tanpa menyiasati dinding-dinding itu?
Rumah baru terasa rumah kalau ada penyekat
antara sini dan Sana, membentuk sudut tempat kita bertemu
dan memandang lepas ruang luas, tanpa akhirat.
Mengapa terasa harus ada yang menunggu?
Agar tak mungkin ada yang bisa membebaskanmu.



Sonet 9

Kaubalik-balik buku itu selembar demi selembar
sore ini. Bukankah waktu itu masih pagi,
ketika kau mencatatnya? Aku pungut buku yang kaulempar
ke lantai, telungkup, tampak lusuh, sendiri.
Kenapa mesti ada sore hari? Pejamkan mata, bayangkan
beranda yang pernah membiarkan kita mengitari
pekarangan yang begitu luas, yang kemudian ternyata bukan
bagian dari tempat yang konon disediakan untuk kita tinggali.
Matahari masih hangat ketika aku mencatatnya
di buku yang sore ini telah menggodamu untuk mencari
gambar sebuah taman yang memancarkan aroma
secangkir teh hangat di pagi hari. Ya, bukankah masih pagi
ketika kau menggambarnya? Ya, mungkin karena waktu itu
masih pagi. Lekas, berikan buku itu kembali, padaku!



Sonet 10

Ada selembar kertas yang belum bertulisan.
Apakah kauharapkan aku ke mari seperti semula,
belum penuh dengan coretan?
Ada yang ingin menulis aksara demi aksara
dan tahu tak akan mencapai kalimat meski ada tanda seru
di ujungnya. Tidak semua memerlukan tulisan,
(Apakah aku kaubayangkan selembar kertas itu?)
meski sudah terlanjur tercatat sebelum sempat diucapkan.
Air menyeret catatan berkelok-kelok di sepanjang sungai
bila penghujan. Tetapi sama sekali tak terbaca
bahkan ketika sudah begitu rekah-rekah perangai
kemarau. Tinggal garis-garis yang carut-marut di dasarnya.
Kau mengharapkanku kembali seperti itu? Risaukah kita
ketika menyadari bahwa tulisan tak perlu, ternyata?



Sonet 11

Terima kasih, kartu pos bergambar yang kaukirim dari Yogya
sudah sampai kemarin. Tapi aku tak pernah mengirim apa pun,
kau tahu itu. Aku sedang kena macet, Jakarta seperti dulu juga
ketika suatu sore buru-buru kau kuantar ke stasiun.
Tapi aku tak sempat menulis apa pun akhir-akhir ini.
Aku suka membayangkan kau kubonceng sepeda sepanjang Lempuyangan
berhenti di warung bakso di seberang kampus yang sudah sepi.
Kau masih seperti dulu rupanya, menyayangiku? Bayangkan
kalau nanti kita ke sana lagi! Di kartu pos itu ada gambar jalan
berkelok, bermuara di sebuah taman tua tempat kita suka nyasar
melukiskan hutan, sawah, kebun buah, dan taman
yang ingin kita lewati: gelas yang tak pernah penuh. Hahaha, dasar!
Aku suka membayangkan kartu pos itu memuat gambarmu,
residu dari berapa juta helaan dan hembusan napasku dulu.



Sonet 12

Perjalanan kita selama ini ternyata tanpa tanda baca,
tak ada huruf kapital di awalnya. Yang tak kita ingat
aksara apa. Kita tak pernah yakin apakah titik mesti ada;
tanpa tanda petik, huruf demi huruf berderet rapat –
dan setiap kali terlepas, kita pun segera merasa gerah lagi
dihimpitnya. Tanpa pernah bisa membaca ulang dengan cermat
harus terus kita susun kalimat demi kalimat ini –
tanpa perlu merisaukan apakah semua nanti mampat
pada sebuah tanda tanya. Tapi, bukankah kita sudah mencari
jawaban, sudah tahu apa yang harus kita contreng
jika tersedia pilihan? Dan kemudian memulai lagi
merakit alinea demi alinea, menyusun sebuah dongeng?
Tapi bukankah tak ada huruf kapital ketika kita bicara?
Bukankah kisah cinta memang tak memerlukan tanda baca?



Sonet 13

Titik-titik hujan belum juga lepas dari tubir daun itu;
ditunggunya kita lewat. Kupandang ke atas:
sebutir jatuh di bulu matamu, yang lain meluncur di pelipismu.
Pohon itu kembali menatapmu, hanya selintas.
Diberkahinya tanganku yang ingin sekali mengusap basah
yang mendingin di wajahmu. Kau seperti ingin melakukan
sesuatu. Aku pun mendadak menghentikan langkah
sejenak – jangan tergesa, agar bisa kaubaca niat titik hujan.
Butir-butir hujan menderas dari sudut-sudut daun itu
tepat ketika kita lewat. Kupandang ke atas.
Pohon itu tak lagi menatapmu. Ada yang membasahi kerudungmu,
meluncur ke dua belah pundakmu. Dibiarkannya kita melintas.
Kita pun bergegas agar segera sampai ke ujung jalan
tanpa bicara. Tak lagi berniat menafsirkan titik hujan?

___________________________
Sapardi Djoko Damono menulis puisi, cerita, dan esai. Buku puisinya yang akan segera terbit adalah Kolam di Pekarangan dan Syair Inul. ”Sonet 1” hingga ”Sonet 4” gubahannya pernah dimuat di lembaran ini.

Puisi-Puisi Fikri MS

http://sastra-indonesia.com/
Mau Apa Sebenarnya Ini

Kita disebut-sebut sebagai mahluk mulia
Istimewah daripada yang lain bahkan malaikat sekalipun
Padahal kita tak bersayap untuk terbang,
tapi kok ngotot ingin ke mana-mana
Ingin diundang ke kalangan-kalangan
Ingin dihormati
Dijunjung-junjungkan
Dibeliaukan.

Kita disebut-sebut sempurna
Kok malah mencari celah
Mencelah-celah yang belum tentu bersalah

Mau apa sebenarnya ini?
Dikasih roti kok mintanya daging
Dikasih daging malah dijual buat beli tanah, rumah,
lalu beli mobil lalu beli yang lain-lain.

Daging apa itu?
Kalau bukan daging manusia
darah manusia
keringat manusia, tenaga tetangga sendiri.

Sebenarnya mau apa ini, manusia kok mau segalanya
Apa-apa ingin dipunyai

Apa sudah punya cinta?

24 Januari 2011, warung kopi



Gelagau Itu Pecah Lagi

Kepada Sasmitha

Gelagau itu pecah lagi dihantam angin yang membawa butiran dendam
Pecah berderak berserakan lalu jatuh ke lantai
Berubah menjadi air
Mengalir memasuki lembah-lembah luka

Aku mengerang meremas dada
Sementara engkau biarkan saja itu

Terjadi!

Seorang perempuan dengan sehelai kain menghampiriku
Ia usap keringat di leherku
Ia tiup lembut lukaku
Ia pandangi aku

Aku menatapnya

Pantulan wajahnya jatuh bersama gelombang air mataku
Berulang dan berulang-ulang kali
Hinggga kain itu lembab
Antara hangat dan dingin

Perempuan itu mendamaikanku sementara
Kau telah berpaling
Menggenggam belati

Lalu jatuh lagi sebutir air mata
Ini untukmu Sasmitha.

24 Januari 2011, di atas meja makan



Membuatmu Tersenyum

Mimpiku membentur dinding malam lalu kembali ke dalam sukma
Ia memprotes; kenapa malam terkunci sementara pintunya tak bertali!?

Tiba-tiba bayangan tentangmu menggugatku
Dari depanku, dari belakangku, dan dari atas kananku
Menari-nari, bernyanyi-nyanyi menjerat mataku yang kian berkantung kantuk

Sesaat yang tak terduga jendela malam terbuka sedikit sekali
Lalu lekas sukmaku beranjak tapi tak sampai
Jendela terkatup rapat lagi diikat jeratmu

Kau jinakkan lagi aku bersama nyamuk yang menggigit di tengkukku
Nyamuk yang kebal lotion kebal asap
Sebab pabrik-pabrik kian jalang
Sebab jumlah nyamuk di negeri ini lebih banyak daripada jumlah buruh yang bekerja meramu racun nyamuk.
Sebab bayangan wajahmu lebih hebat menggigitku daripada nyamuk

Sementara dinding malam bertambah tebal
Kian menghimpitku
Dinding malam berubah menjadi kabut
Aku masuk tanpa sadar tak melalaui pintu atau jendelanya

Aku masuk bersama ingatanku pada suatu malam ketika kau bertanya; untuk apa aku mencintaimu.

Aku ingin membuatmu tersenyum, jawabanku pecah bersama kabut dan berubah menjadi mimpi.

24 Januari 2011

———–
Fikri MS, Lahir di Muara Enim, Sumatera Selatan, 12 November1982. sejak th 1998 melanjutkan pendidikan di Jombang, Jatim sampai lulus kuliah th 2008 S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di STKIP PGRI Jombang.
Berbekal pengalaman ‘main’ teater di Komunitas Tombo Ati (KTA) Jombang, Agustus 2008 mendirikan Sanggar Teater Gendhing (STG), mengelola kedai baca (Beranda), di kampung halaman sampai sekarang.

15/09/11

Ikan

Djenar Maesa Ayu
http://cerpenkompas.wordpress.com/

Ia ikan yang terbang. Ia burung yang berenang. Dan saya, adalah saksi yang melihat semua itu dengan mata telanjang.

Ia menatap saya dengan pancaran mata riang. Syahdu meliputi butir-butir hujan yang jatuh menimpa tubuh kami yang diam-diam menggelinjang. Sembunyi-sembunyi, kami menikmati denyar-denyar di lautan perasaan paling dalam. Sementara kilat mencabik-cabik langit hingga berupa potongan-potongan gambar pantulan kami berjumlah jutaan. Ada yang hanya bagian kepala, ada yang hanya bagian kaki, dan ada yang hanya bagian tangan. Tak jarang kepingan-kepingan yang terlihat bagai pecahan kaca yang beterbangan itu saling berhantaman. Lantas jatuh menghajar kepala kami kala tak sedang ingin penuh. Menusuk ke dalam kekosongan otak yang terasa ringan. Hingga ada satu pecahan jatuh tepat di antara bibir kami yang tengah berciuman. Seolah dengan sengaja ingin memisahkan.

Malam berenang dalam kesunyian. Deru ombak ditingkahi samar suara musik dari kafe di kejauhan pantai, saling beradu berebut perhatian. Kami terkapar di atas pasir basah. Dingin meresap pori-pori kulit kami yang telah menjadi keriput dan merinding. Entah karena dingin yang memanggang, entah karena nyala yang redup, entah karena basah yang kering, entah karena entah, karena entah adalah ketidaktahuan yang sering kali jauh lebih memabukkan daripada kesadaran. Bukankah kita semua membayar mahal untuk sebuah entah? Kafe di pinggir pantai itu pun terisi orang-orang yang rela mengeluarkan ratusan hingga jutaan rupiah untuk tidak sadar. Untuk saling bertukar lidah berludah dengan orang yang baru dikenal. Untuk muntah di atas jamban lantas terpingkal-pingkal. Untuk saling bersentuhan dan mendesah massal. Untuk larut dalam satu malam yang menawarkan sejuta gombal.

Phuih! Ombak meludahi wajah kami yang ingin tak peduli. Tapi lendir ombak itu melekat begitu kental, begitu tengik! Mendakwa kelakuan kami sebagai jijik. Dan ia terpana. Girangnya sirna. Ia bukan lagi ikan yang terbang dan burung yang berenang. Dan ia menatap seolah saya adalah daging dan tulang yang terbalut kulit kerang. Muka badak, begitu istilah orang-orang. Maka saya tahu, hampir tiba saatnya waktu bersenang-senang hilang. Kebenaran dan kesalahan dipertanyakan. Saat penghakiman.

Suara musik di kejauhan membisikkan mimpi yang mutlak terulang. Sendawa alkohol di permukaan udara. Bahana tawa. Bercinta di bawah para-para. Pesta pora. Sentuhan menggoda. Senyum manja. Membuat saya begitu jengah dengan segala aturan-aturan. Membuat saya muak mendengar melulu kebajikan. Maka…

Phuih! Saya meludah ke mukanya. Lantas saya berlari sambil menarik dahak sebanyak-banyaknya di tenggorokan untuk segera melimpahkannya kepada ombak yang kurang ajar. Saya pun tak mau membuang waktu lebih panjang. Saya berlari kencang menuju kafe dengan kaki-kaki telanjang. Meninggalkannya dalam diam yang haru. Rajaman semu.

Saya menunggu.

“Buset! Lama amat di luar?”

“Udah ngapain aja?”

“Kayak gak tau aja barbeque under the stars!”

“Feeling hot hot hot!”

Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa berkepanjangan.

Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa dalam penantian.

Musik kian mengentak. Undak-undakan telah disiapkan di pinggir bar. Para model menunggu giliran untuk sebuah peragaan. Entah peragaan busana. Entah peragaan gaya. Entah peragaan yang bisa memancing rasa terpana. Entah peragaan untuk sekadar pertunjukan. Pertunjukan berarti menunjukkan sesuatu. Tapi sesuatu yang ingin dipertunjukkan itu tetaplah entah. Di sebuah tempat antah berantah.

Mereka yang berada di sana tertawa untuk entah. Sementara saya pun pura-pura tertawa, mengelabui pikiran sendiri yang sedang secara diam-diam mencari makna. Berlaku nyaris sama dengan yang lainnya supaya tak terlihat sebagai pembodoh di dalam magma yang siap memuntahkan laharnya kepada siapa pun yang berusaha meredam dengan dingin tanya. Apa pula pentingnya bertanya jika ada liukan pinggul di depan mata, rok-rok dengan panjang ala kadarnya, dan kaki-kaki jenjang mengentak di atas meja? Bukankah yang selayaknya terdengar adalah tanya semisal, berapa kira-kira umur mereka, bisa atau tidak mereka diajak kencan setelah acara, pertanyaan-pertanyaan yang tidak saja tertuju kepada para model itu, tapi juga kepada setiap pengunjung yang rela dan masyuk berimpit di dalam ruangan dipenuhi asap rokok meraja tiap penjuru?

Dan pertanyaan itu pun berdesing di telinga saya. “Sendiri?” Saya menatapnya. Tapi pandangan saya bagai menembus segala bentuk yang ada. Saya melihat seringai serigala di bibirnya yang tipis itu. Saya melihat anak-anak yang tengah tertidur di atas tempat tidur berkelambu. Saya melihat jajaran kartu kredit di dompetnya yang berwarna abu-abu. Saya melihat seekor burung yang seperti baru terjaga dari mati suri nyaris sewindu. Saya melihat diri saya sendiri terpaku. Tak mampu menjawab pertanyaan itu. Ia pun langsung mengambil langkah seribu. Namun seperti pekik senapan lagi-lagi pertanyaan itu kembali memburu. “Sendiri?” Dan sesudahnya, saya melihat sepasang manusia bercengkerama, lalu memisahkan diri.

Alkohol, sebagaimana fungsi malam ialah sarana untuk bersembunyi dari terang. Mata pun meredup menciptakan pemandangan yang makin samar. Ada surga yang akan segera terjangkau. Ada nama yang akan segera dilupakan. Ada luka yang akan segera hilang. Luka yang menyadarkan bahwa masa lalu kita nyata. Masa lalu yang pernah menguatkan perasaan bahwa dosa tak akan pernah cukup berarti ketika hati nurani mengatakan apa yang benar.

“Huahahahaha…mata bintitan, mulut bau alkohol gitu masih berani ngomongin surga, dosa, yang pantas juga ngomongin syahwat!”

Selalu harus ada yang pantas. Di tempat yang begitu tanpa batas ini pun mengenal kata pantas. Mata saya pun memanas. Ada yang mendesak ingin keluar. Maka bening berkumpul menyelimuti hitam bola mata. Namun ada keinginan kuat untuk segera menahan sedu sedan. Pertahanan yang dibangun untuk satu kata pantas, pantas, dan pantas. Padahal saya begitu ingin mendengar pantas sebagai pantat. Saya ingin melihat bubur sebagai dubur. Saya ingin merasa kosong sebagai bokong. Saya ingin merasa pantas yang lain dan lain yang pantas. Maka….

dengan mata telanjang saya melihat ia ikan yang terbang. Ia burung yang berenang. Lalu semakin banyak ikan yang terbang. Semakin banyak burung yang berenang. Lalu semakin bertambah banyak ikan yang terbang. Semakin bertambah banyak burung yang berenang. Dan semua adalah ikan yang terbang. Semua burung yang berenang. Namun saya mencari mata yang menatap girang. Tapi tak juga saya temukan ia di tengah hiruk-pikuk gelepar sayap ikan dan sirip burung-burung berkepakan. Ia masih berada dalam diam yang haru. Rajaman semu.

Saya menunggu.

Jakarta, Agustus 2004
Sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2004/09/19/ikan/

Pram, Sastra, dan Religiusitas

Asarpin
http://sastra-indonesia.com/

Kebimbangan dan kesaksian yang sehat
lebih baik daripada kepercayaan atau keyakinan yang buta
dan yang hanya baik bagi golongan yang kehilangan akalnya.
Pemujaan pada Tuhan adalah sahabat karib kefanatikan
yang biasanya bergandengan tangan dan tiap kesempatan
dipergunakan mereka untuk membunuh akal
–malakulmaut kemerdekaan berpikir dan kemajuan.
–PRAMOEDYA ANANTA TOER, Masalah Ketuhanan dalam Kesusastraan

Pram seorang realis besar Indonesia abad ke-20. Kecintaan pada dunia realis telah ditunjukkan dalam sebagian besar novelnya. Namun realisme Pram bukan sesuatu yang gepeng atau kering, melainkan sebaliknya; realisme yang percaya pada revolusi seorang diri dengan mendudukkan karya sastra kepada tanggungjawab sosial.

Sebenarnya antara pemikiran Pram dengan Takdir Alisjahbana tentang tanggungjawab dan selera seni berdekatan. Bahkan beberapa gagasan progres Takdir kita temukan dalam esai-esai Pram. Kendati begitu, Pram tentu tak seperti Takdir yang hendak memotong kontinuitas sejarah lokal demi mengejar sebuah kemajuan model Barat. Pram bahkan sempat pernah menyebut ”kebudayaan imperialisme Amerika Serikat harus dibabat”, dan dengan ringan mengutip ucapan Bung Karno: Amerika kita setrika, Inggris kita linggis!

Perkenalan saya dengan Pram adalah perkenalan lewat sejumlah novelnya. Namun saya berjumpa pertama kali sekaligus yang terakhir dengan novelis besar Indonesia ini baru pada tahun 2002. Kala itu saya tak bisa melupakan wajahnya yang sudah keriput, kulit yang menempel dibadan yang tampak melorot. Tulang-tulang di pergelangan tangannya mulai menonjol. Pipinya mulai mengempot, dan wajahnya mulai menonjol. Sorot matanya yang dulu begitu tajam, waktu itu tampak redup. Suaranya yang dulu menggelegar dan membuat lawan-lawan debatnya merinding dan mencekam ketakutan, menjadi parau dan tampak nuansa kearifan seorang kakek. Tangannya pun sudah tak mampu lagi untuk menggenggam pena sebagai senjata satu-satunya yang dulu ia bangga-banggakan. Ketika berjalan, kakinya hampir-hampir tak mampu menyangga lutut.

Pram meninggal tahun 2004, saya masih di Jakarta. Saya melihat prosesi pemakamannya secara Islam lewat media. Seorang kawan menceletuk: ”wah, pemakaman Pram secara Islam itu tidak benar. Pram kan seorang atheis”. Aku hanya diam. Tak berniat menjawab. Mungkin kawan ini terlampau terpengaruh kampanye negatif sastrawan Manifes Kebudayaan, pikirku. Memang, salah satu esai Pram yang bertajuk ketuhanan, telah dinilai oleh beberapa sastrawan yang tergabung dalam Minifes Kebudayaan dengan mengaitkan Pram seorang yang tidak percaya pada Tuhan.

Sastra dan Kekuasaan

Lepas dari anggapan itu, yang nanti akan kita buktikan dalam novel-novel dan esai Pram, bagaimana pun novelis ini seorang yang tak bisa dilepaskan dengan kekuasaan. Ungkapan-ungkapannya tentang pemberedelan yang dilakukan penguasan atas karya dan dirinya sering muncul dalam laporan orang-orang hilang. Adegan awal memulai sebuah kisah tentang penghilangan manusia secara paksa; enforced disappearances, kata orang-orang di Komnas HAM. Pram sendiri tidak hilang, bahkan ia sendiri mengakui hikmah di baliknya pelarangan karyanya. Tidak ada drama pembantaian yang dilakukan Adolf Hitler yang dikenal dengan sebutan Malam dan Kabut—Nacht und Nebel Erlass dalam karya Pram atau yang dilakukan penguasa seperti halnya Elie Wiesel. Tapi, seperti kemudian kita saksikan bersama, Pram yang hampir mati justru hidup, bahkan karyanya lebih hidup dari karya-karya sastra lain.

Pram memang sering menohok kekuasaan politik. Tapi tetraloginya tak ada komunis kata Rendra. Dan Rendra betul. Bahkan kritik yang dilakukan Pram terhadap kekuasaan jauh lebih keras dalam novel Bukan Pasar Malam dan Mereka yang Dilumpuhkan ketimbang Bumi Manusia. Dalam Bukan Pasar Malam Pram justru menohok kekuasaan dengan gaya stilis yang kuat dan menohok.

Kendati begitu, Bumi Manusia lebih cocok sebagai studi pascakolonial yang mendekonstruksi ilusi modal dan kekuasaan kolonial yang pernah berlangsung di Nusantara. Keterbelengguan Pram pada masa hidunya dan kemampuannya membebaskan dirinya tanpa melupakan, pada akhirnya memang menghasilkan apa yang leh Karlina Leksono disebut sebuah ”penyelesaian yang berbeda terhadap berbagai bentuk pengingkaran terhadap martabat manusia”. Karlina masih menaruh percaya pada sastra dengan kekuatan kata. Tapi, sewaktu-waktu ia tak jarang mengeluh, “Ah, Republik Kata-kata. Semua harus dikata, tak satu pun yang mau kerja dan berbuat”.

Pram telah berbuat. Sampai ketika ia berpelung ke pangkuan ilahi tahun 2004, ia telah berbuat begitu banyak untuk Indonesia. Kendati pelarangan atas karya-karyanya sampai akhir hayatnya masih belum dicabut. Namun Pram bebas menyatakan pendapat. Bahkan ketika ia ikut mendeklarasikan PRD, tak ada yang mengusiknya. Puluhan tahun menjadi manusia bubu telah membentuk wataknya yang berani menghadapi apa saja, bahkan ancaman maut.

Terakhir saya membaca pandangan Pram dalam wawancara dengan majalah Play Boy. Kecintaannya terhadap generasi muda tidak pernah berubah. Tapi ia kecewa dengan tokoh PRD yang justru memutuskan sekolah ke Inggris dan bukannya sekolah bersama massa partai. Pram memang bukan makhluk gerombolan yang suka meneriakkan slogan-slogan dan kampanye di jalanan. Dalam kesehariannya ia lebih banyak menyendiri. Melakukan refleksi di ruang kamar sempit tempat dia menuangkan refleksi-refleksi perjalanan hidupnya. Sikap kesendirian inilah yang kerapkali menghasilkan novel dengan kualitas yang belum tertandingi di negeri kita hingga hari ini. Namun, kesendirian semacam itu bukanlah kesendirian dengan tiadanya perbuatan—seperti umumnya berlaku—sebab kesendirian seorang pengarang adalah kesendirian yang melahirkan empati dan tindakan melawan segala bentuk yang hendak melupakan.

Pram memang ibarat situs perjalanan kesusastraan modern Indonesia sendiri, yang tertatih-tatih dalam mencari bentuk dan menyikapi zaman. Novelis ini mengalami begitu banyak hal untuk dikenang dan dicatat. Ia seorang anak desa yang menjadi urban. Pengarang yang aktif menyuarakan harga diri kemanusian Indonesia, kendati harga dirinya sendiri di injak-injak.

Puluhan karya sastra yang dihasilkan dalam rentang 50 tahun lebih kepengarangannya menjadi ladang subur bagi persemaian (bahkan pertikaian?) gagasan dan pertaruhan politik kekuasaan di sini. Dengan wataknya yang keras, dan kritik-kritiknya yang tajam di tahun awal 1960-an, banyak yang merasa terganggu dan gerah.

Pram memang bukan seorang yang pandai berbasa-basi. Bahkan Bung Karno yang begitu berpengaruh pada zamannya seringkali mendapat sasaran kritiknya. Ia pernah mengkritik keras buku Sarinah. Menurutnya, buku itu hanya menghasilkan sikap yang tidak berwatak, sebentuk kumpulan bahan mentah yang tak berjiwa, atau kumpulan sesobekan kertas tua di keranjang takakura perpustakaan.

Pram pernah juga mengkritik novel Salah Asuhan karya Abdul Muis. Novel ini mengangkat tema seputar tegangan Barat dan Timur yang “dipenting-pentingkan”, sehingga si pengarangnya lupa pada kemestian untuk menerima-memberi. Tak luput pula karya pengarang Anak Agung Gde Agung, yang menurut Pram banyak mengambil secara mentah-mentah kebudayaan Barat sebagai ukuran kebudayaan Indonesia—sebuah ukuran yang sangat ganjil, seperti halnya menilai cuka dengan ukuran kecap.

Sebelum menjadi orang Lekra, ia pernah mengkritik Lekra. Waktu itu Lekra menuduh bahwa setelah Chairil Anwar mati, sastrawan angkatan 45 telah mati pula. Pram membela angkatan 45—walau ia sendiri sangat kritis terhadap angkatan ini dan hanya memasukkan Chairil dan Idrus sebagai yang pantas menyandang gelar angkatan 45—dengan mengatakan bahwa tidak betul itu. Tuduhan Lekra dan juga S.T. Takdir itu tidak benar. Memang satrawan 45 sudah tidak ada lagi sejalan dengan bergesernya iklim kekerasan dalam Revolusi Bersenjata ke arah iklim pengalaman hidup yang normal. Anggatan 45 pernah ada, tapi sekarang tidak kecuali karya-karya peninggalannya. Ini diucapkan Pram dalam esai 45 Indonesia Dalam Sejarah Kesusastraan di majalah DUTA tahun 1953.

Watak keras Pram memang agak berkurang dalam novel tetralogi: Bumi Manusia ( 1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985) dan Rumah Kaca (1988). Pram banyak bermain dengan alur yang agak terarah, tapi pada saat yang sama, tetralogi itu mampu menyihir para pembaca untuk ikut bersimpati dalam perjuangan tokoh-tokohnya menegakkan keadilan dan kemanusian. Akibatnya, banyak sekali kritikus sastra memahami perubahan watak tokoh yang ditindas dalam novel tetralogi tak sekuat dalam karya terdahulunya.

Tahun 2004 penerbit Lentera Dipantara menerbitkan catatan lama Pram yang tercecer di berbagai media massa, yang diberi tajuk Menggelinding 1. Buku ini merupakan napak tilas penting atas kreativitas kepengarangan Pram yang memang “menggelinding” dalam rentang waktu tak sampai sepuluh tahun (1947-1956).

Pram merekam ingatan-ingatan sosial tentang sejarah, politik, agama, sastra dan kebudayaan. Meski sebagian besar dari karya-karyanya yang pernah terbit di tahun 1950-an belum seluruhnya ditemukan, kekayaan gagasan Pram begitu menjulang. Bagi Koesalah Soebagyo Toer, dari lima puluh enam tulisan Pram sejak 1947-1956, yang terkumpul dalam buku Menggelinding I itu, hanya empat puluh persennya yang bisa ditemukan kembali.

Agaknya, penerbitan tulisan-tulisan awal Pram diniatkan sebagai bahan bacaan lain dari apa yang pernah kita ketahui lewat novel-novelnya. Kelainan itu tentu dengan alasan-alasan bahwa Pram tidak hanya seorang penulis novel dan sejarah yang bernas, tetapi sajak-sajaknya, esai, cerita pendek, refortase media, kolom, opini bahkan karya terjemahan tak kalah pentingnya mewariskan ingatan kolektif dari apa yang pernah terjadi di negeri pascakolonial.

Pram bahkan pernah menulis beberapa puisi. Tapi Pram gagal menulis puisi. Dan puisinya terlampau kering dari metafor. Pram memang seorang prosais, dan di sana-sini seorang esais. Ia sangat produktif mengisi esai di rubrik buletin DUTA. Bahkan, majalah Mingguan Merdeka yang diasuh oleh Darmawidjaja—gurunya sendiri—pernah juga memuat tulisannya. Masalah menulis, jelas Pram sudah mengerjakannya jauh sebelum tahun 1947. Ia berkali-kali menyatakan bahwa ia menulis sejak masih di kelas 3 Sekolah Dasar (atau Sekolah Rakyat). Beberapa naskah yang ditulisnya selama masih bertugas di Bekasi (1945-1947) bahkan pernah disita oleh marinir Belanda di stasiun Klender.

Dalam biografinya tentang Hikayat Sebuah Nama, Pram pernah mengeluarkan majalah Sekolah Taman Siswa yang memuat juga tulisannya. Namun, seperti kita ketahui bersama, separuh lebih dari tulisan-tulisan Pram diberbagai jurnal dan surat kabar di atas telah raif, terutama sejak meletusnya kudeta 1965.

Dalam menulis, Pram banyak menggunakan nama samaran. Seperti diceritakan Koesalah Soebagyo Toer, paling tidak ada sembilan bentuk namanya, sebelum akhirnya ia menggunakan nama terakhir itu. Ia menggunakan nama Pramoedya Tr., Pr. Toer, Ananta Toer, Pramoedya Tr., M. Pramoedya Toer dan lain-lain.

Dalam sebuah tulisan terjemahan; “115 Buah wasiat Majapahit (beberapa petikan)”, ia menggunakan nama Pramoedya Tr. Dalam tulisan “Si Pandir” dan “Bunda untuk apa kami dilahirkan” tulisan Lode Zielens yang dia terjemahkan, ia memakai nama Ananta Toer, dalam sajak berjudul “Huruf”, ia menggunakan nama M. Pramoedya Toer, dalam tulisan “Kalau Mang Karta di Jakarta”, “Ori di Jakarta” dan “Dayakhayal, ketekunan, keperwiraan dan ilmu” ia menggunakan nama Pr. A. Toer, dalam “Bingkisan; Untuk adikku R” ia menggunakan nama Pramoedya Toer, dalam “Keluarga Mba Rono Jangkung”, ia memakai nama Pram Ananta Toer, dalam “Lemari Buku”, “Kedailan sosial para pengarang Indonesia” dan “Sepku”, ia memakai nama Pramudya Ananta Tur, dalam “Kalil siopas kantor” , “Yang tinggal dan yang pergi”, dan dalam puisi “Anak Tumpahdarah” ia memakai nama Pramoedya Ananta Toer.

Mengapa begitu banyak nama samaran yang dipakai Pram saat menulis diberbagai jurnal dan surat kabar waktu itu? Kita hanya bisa menduga-duga jawabnya: pertama, berkaitan dengan kekuasaan waktu itu yang sebetulnya tak kurang represifnya melakukan sensor dan bredel. Bahkan, di tahun ketika pemberlakuan PP. Nomor 10 oleh Soekarno, Pram ditangkap dan dipenjara karena ia menentang keras kebijakan itu.

Kedua, sebagai sosok penulis muda yang mengidap “libido” menulis yang luar biasa produktif, ada rasa tidak enak jika tulisan-tulisannya “menghegemoni” seluruh media tanah air. Dan samaran nama seperti ini lazim digunakan oleh penulis-penulis di zaman Orde Baru, bahkan hingga saat ini. Ketiga, mengikuti apa yang dikatakan Koesalah Soebagyo Toer, sikap seperti itu bukan sekedar masalah teknis, melainkan ada hubungan dengan pencarian psikologis mengenai jati diri dan tempatnya di tengah masyarakat umumnya dan lingkungan kepengarangan khususnya. Ketiga, mungkin sebagai pencarian nama yang diras pas dan cocok.

Pram, sebagaimana para penulis umumnya, tak puas dengan hanya satu bentuk tulisan. Ia menulis beberapa catatan pribadi, sajak-sajak tanah air, perjalanan dan refortase hingga laporan-laporan jurnalistik yang tangguh, yang begitu penting menghargai perjalanan waktu.

Menulis bagi Pram merupakan langkah penting untuk menjaga ingatan agar tak mudah (di) lupa (kan). Dan sastra adalah media paling ampuh bagi Pram untuk menjaga ingatan melawan lupa itu. Pram melukiskan karakter manusia Indonesia dan elit politiknya yang baru saja selesai merayakan kemerdekaan. Dalam Bukan Pasar Malam dengan liris ia mengisahkan tokoh ayah yang didera TBC hingga akhirnya harus pergi untuk selama-lamanya. Dari judulnya, karya ini syarat metafor, yakni metafor pasar malam: sebuah kisah tentang hiruk-pikuk manusia Indonesia modern yang terjebak sendirian di tengah-tengah kemeriahan pasar malam.

Pram rupanya membayangkan eksistensi dirinya yang terasing sendirian di tengah-tengah gegap-gempitanya suara Revolusi Indonesia, sementara satu persatu temanya pergi untuk selamanya, sedang yang belum pergi berharap-harap cemas menanti giliran. Di tengah orang ramai, Pram tetap merasa kesepian, sendirian, bahkan penderitaan.

Pram pernah bilang, wajah demokrasi yang kita warisi tampak seperti binatang melata yang pasrah dalam diam dalam menerima kenyataan. Pram kemudian mengusulkan agar kita hidup seperti laron yang mencari api, meski ia harus terbakar dan mati, tapi ia mati sebagai orang yang berguna. Seperti halnya Socrates yang mengejek demokrasi, yang memberinya hak untuk mengejeknya, Pram telah menggunakan haknya untuk meruntuhkan sophisme, mengkritik demokrasi sebagai perkoncoan, dan jadi perintis baru bagi dunia kepengarangan.

Demokrasi, kata Pram, mengandaikan “setiap orang boleh jadi presiden. Setiap orang boleh memilih pekerjaan yang disukai. Setiap orang mempunyai hak sama dengan orang-orang lainnya. Dan demokrasi itu membuat kita tak perlu menyembah dan menundukkan kepala pada presiden atau menteri atau paduka-paduka lainnya. Sungguh –ini pun suatu kemenangan demokrasi. Dan kita boleh berbuat sekehendak hati kita, bila saja masih berada dalam lingkungan batas hukum. Tapi kalau kita tak punya uang, kita akan lumpuh tak bisa bergerak. Di negara demokrasi katanya, engkau boleh membeli barang yang engkau sukai. Tapi kalau engkau tak punya uang, engkau hanya boleh menonton barang yang engkau ingini itu. Ini juga semacam kemenangan demokrasi”.

Dengan kata lain, demokrasi hanya akan menguntungkan segelintir kaum elit penguasa dan mencampakkan kaum miskin yang telah bersusah payah memperjuangkan kemerdekaan. Saya kira, di sini letak relevansi kritik Pramoedya terhadap demokrasi, yang akhir-akhir ini masih terus diperdebatkan. Refleksinya atas demokrasi menghasilkan pandangan yang getir dan tajam tentang sejarah masa depan sebuah negeri pascakolonial.

Sebagai konsekwensi dari sikapnya yang berani, Socrates harus kehilangan nyawanya sendiri. Sementara Pram mengatakan: kematian di selingkungan kata-kata belaka adalah kematian yang selamanya mengikuti di belakang tiap perkembangan atau kemajuan. Kematian selamanya menjadi bahaya yang mengancam kedewasaan pikir manusia dari abad ke abad. Keberanian menghadapi mati dan hal-hal yang baru sangat diperlukan dalam masa perubahan sekarang ini. Sebuah keberanian yang, betapa pun ganjilnya, muncul dari hati yang jujur.

Apa yang terjadi pada Pram semasa hidupnya tak lebih sebagai sebuah ironi di tengah republik kata-kata. Sebuah negeri yang dalam ungkapan Pram dilukiskan sebagai ”negeri di mana orang gampang memaafkan, gampang mengakui dan juga gampang melupakan. Itulah negeri Indonesia. Ke-Indonesia-an, dimana kegagalan demi kegagalan, pukau demi pukau terlentang tebal di depan. Dan sukses hanyalah bagian yang memperkokoh konspirasi dan harmoni musik dukacita… Apa yang pernah diperbuat umat manusia, adalah permulaan dari segala yang hendak diperbuatnya di kemudian hari. Mereka mungkin tersenyum puas dari segala yang hendak diperbuatnya. Kalau Tuan kenal Baco–manusia renaisans Eropa—Tuan akan mengenal apa arti permulaan. Apa arti perbuatan tuan sendiri?…Akhirnya, manusia dalah biang keladi nasib dan sejarahnya sendiri. Tiap-tiap orang memaki: Tukang becak pun memaki parlemen. Aku mau tetap sendiri. Aku bukanlah makhluk gerombolan.”

Sistem apa pun tak akan pernah membenarkan terjadinya pelanggaran kemanusian yang berlarut-larut. Puluhan tahun ia harus mendekam dalam penjara, kreatifitas dan kebebasan berkarya dilarang dan disensor, caci-maki yang tak henti-hentinya dilakukan oleh lawan-lawannya politik. Barangkali tak mengherankan bila A. Teeuw (1980) menaruh simpati padanya dan menyebut dirinya sebagai penulis yang muncul hanya sekali dalam satu generasi, atau malah hanya dalam satu abad.

Almarhum Y.B. Mangunwijaya dan Sapardi Djoko Damono menganggap roman Bukan Pasar Malam sebagai karya yang berhasil dalam sejarah kepengarangan Pram. Kesaksian tokoh-tokoh dalam roman ini menunjukkan bagaimana sejarah kita telah diselewengkan oleh mereka yang sama sekali tak mengerti makna sejarah. Demokrasi yang menjunjungtinggi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” ternyata hanya mimpi yang penuh ilusi.

Sejak Demokrasi Terpimpin hingga Demokrasi Pancasilanya Soeharto, mimpi keadilan sosial hanya melahirkan ketidakadilan sosial. Bagaimana mimpi besar Bung Karno untuk mewujudkan masyarakat proletar yang berdaya, ternyata melahirkan diskriminasi rasial yang menakutkan. Diberlakukannya Peraturan Pemerintah No. 10/1959 (atau P.P. 10) adalah contoh kebijakan yang sangat tegas ditolak oleh Pram, meski ia harus mendekam dalam penjara. Tak sepenuhnya benar anggapan bahwa Pram adalah “anak spiritualitas” dan pendukung gagasan demokrasi Bung Karno.

Dengan menyindir para aktor demokrasi, Pram kembali melontarkan kritiknya terhadap sistem ini: “Setiap orang boleh jadi presiden. Setiap orang boleh memilih pekerjaan yang disukai. Setiap orang mempunyai hak sama dengan orang-orang lainnya. Dan demokrasi itu membuat kita tak perlu menyembah dan menundukkan kepala pada presiden atau menteri atau paduka-paduka lainnya. Sungguh, ini pun suatu kemenangan demokrasi. Dan kita boleh berbuat sekehendak hati kita, bila saja masih berada dalam lingkungan batas hukum. Tapi kalau kita tak punya uang, kita akan lumpuh tak bisa bergerak. Di negara demokrasi katanya, engkau boleh membeli barang yang engkau sukai. Tapi kalau engkau tak punya uang, engkau hanya boleh menonton barang yang engkau ingini itu. Ini juga semacam kemenangan demokrasi”.

Pram menyebut uang sebagai ciri dari sistem demokrasi elitis, sementara yang melarat, demokrasi hampir tak memiliki makna apa-apa. Dengan kata lain, demokrasi hanya akan menguntungkan segelintir kaum elit penguasa dan mencampakkan kaum paria yang telah bersusah payah memperjuangkan kemerdekaan. Saya kira, di sini letak relevansi kritik Pram terhadap demokrasi, yang akhir-akhir ini masih terus diperdebatkan. Refleksinya atas demokrasi menghasilkan pandangan yang getir dan tajam tentang sejarah masa depan sebuah negeri pascakolonial. Dalam buku ini, ia mengatakan secara tegas: “ di antara kuburan mereka yang dianggap pahlawan itu, ada yang terdapat bajingan yang karena salah penyelidikan termasuk juga dalam golongan pahlawan”.

Pram kecewa pada mereka yang secara terang-terangan mencoba melupakan sang ayah, yang dalam kesaksian-kesaksian orang ketiga dalam roman Bukan Pasar Malam, sangat pantas mendapatkan predikat pahlawan. Ayah yang sehari-harinya bekerja sebagai guru dan pejuang kemerdekaan, tidak pernah disinggung dan dimasukkan dalam buku pelajaran sejarah resmi. Buku sejarah tentang pahlawan-pahlawan nasional tak lebih sebagai buatan rezim resmi yang menipu. Kalimat-kalimat reflektif Pramoedya melukiskan bagaimana makna kemerdekaan telah jauh dari arti semula. “Dan kini, belum lagi setahun kemerdekaan tercapai ia sudah tak digunakan lagi oleh sejarah, oleh dunia, dan oleh manusia”. Dengan menggunakan orang ketiga sebagai penutur, Pram kembali mengingatkan kita:

“Ayah Tuan jatuh sakit oleh kekecewaan—kecewa oleh keadaan yang terjadi sesudah kemerdekaan tercapai. Rasa-rasanya tak sanggup lagi ia melihat dunia kelilingnya yang jadi bobrok itu—bobrok dengan segala akibatnya. Mereka yang dulu jadi Jenderal di daerah gerilya, mereka yang tadinya menduduki kedudukan-kedudukan penting sebelum Belanda menyerbu, jadi pemimpin pula di daerah gerilya dan jadi bapak rakyat sungguh-sungguh. Dan ayah Tuan membela kepentingan mereka itu. Tapi, kala kemerdekaan telah tercapai, mereka itu sama berebutan gedung dan kursi”.

Kisah-kisah di atas menunjukkan bahwa Pram dalah situs kesusastraan Indonesia yang akan selalu mengingatkan kita akan pentingnya memperjuangkan politik ingatan untuk melawan lupa. Jika kemudian Milan Kundera pernah memformulasikan bahwa: “Perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa”, jauh-jauh hari Pram sudah mengingatkan hal itu. Ia telah memberikan pelajaran berharga, bagaimana pentingnya melakukan perlawanan terhadap kekuasaan dengan menjaga dan menuliskan ingatan melalui karya sastra. Sebab, seperti yang selalu diingatkan dalam perjuangan Pram, sejarah kita ditulis bukan oleh mereka yang dikalahkan, tetapi oleh para jenderal yang menang–history is written by the winning general!

Sastra, Agama, Tuhan

Dalam esainya bertajuk Masalah Ketuhanan dalam Kesusastraan (1953), Pram mengatakan: masalah Tuhan tidak akan habis-habisnya dibicarakan dalam sastra. Namun, sampai tahun 1953 Pam masih melihat sebagian besar pengarang Indonesia dalam mendekati Tuhan terlebih dahulu harus menyiapkan seperangkat keyakinan sebagai konsesi. Sungguh aneh baginya, kaena hakikat dari kepercayaan itu sendiri begitu luas, yang tanpa kejujuran akal-pikiran maka ia bisa berubah kefanatikan. Dan sepanjang sejarah, kata Pram, orang-orang fanatik inilah yang seringkali dijadikan umpan di tiap medan pertempuran. Dan karena kefanatikan itu pula, membuat mereka jadi buta akal, yang cuma melihat satu sinar saja. Dan itu pula yang ditujunya, hendak direguknya habis-habis.

Kematian yang romantis selalu datang dan pergi sepanjang zaman, juga dalam buku-buku dalam tiap zaman. Bagi mereka yang membaca buku-buku sastra dan filsafat yang sering termaktub kalimat-kalimat yang seakan-akan meniadakan, mengejek atau mengingkari Tuhan, perkataan janggal adalah terlamapu lunak untuk itu. Sebaliknya, perkataan itu diganti dengan marah. Dan ini adalah soal yang gampang dimaklumi di negeri ini.

Dalam kesusastraan, konflik pemahaman tentang Tuhan tidaklah merupakan kejadian setempat, tetapi suatu pemberontakan seorang pengarang terhadap anggapan-anggapan biadab tentang Tuhan. Pujangga seperti Hamzah Fansuri dan Syekh Siti Jenar, kata Pram, adalah sosok dari pengarang yang memahami Tuhan bukan dalam keyakinan buta. Hamzah Fansuri dan Siti Jenar terpaksa memberikan jiwanya karena pemahaman Tuhan di luar kebiasaan.

Bagi Pram, bila ada satu golongan yang mencemooh Tuhan, kita harus hati-hati untuk menganggapnya sebagai durhaka, sebab bukanlah yang dimaksudkan dengan Tuhan itu sendiri, justru tiap orang yang berpikir ke arah itu tidaklah akan mendapat penyelesaian yang memungkinkan ia berpuas hati. Cemoohan semacam itu dilemparkan oleh sekelompok golongan kepada pengertian-pengertian yang diisikan pada nama itu oleh sang Kebiasaan. Seperti halnya kebiasaan para diktator yang turun-temurun, yang memang menghendaki agar semua dapat terangkum dalam kekuasaannya. Sebagaimana dalam segala ketertiban masyarakat, maka hal ini pun ada pemberontak-pemberontak yang menentang kediktatoran Kebiasaan (keyakinan resmi).

Pemikiran Pram telah melahirkan pandangan yang religius dan humanis. Pram nyaris tak pernah berhenti mencari makna di balik semua perkataan manusia tentang Tuhan. Apa yang pernah dipahamainya tentang Tuhan, direfleksikan, dibongkar dan direfleksikan kembali. Esai Masalah Ktuhanan dalam Kesusastraan ini pernah ditampik beberapa penulis yang tergabung dalam Manifes Kebudayaan dan secara simplistis disimpulkan bahwa Pram atheis (Lihat buku Prahara Budaya, terutama bagian lampiran). Padahal, pemahaman tentang Tuhan bagi Pram adalah sebuah proses yang tidak sekali jadi lalu dianggap selesai, dan perdebatan pun berhenti sampai di situ. Apa yang diyakini dan dipahami manusia tentang Tuhan diungkapkannya kembali sampai ia menemukan sifat hakiki yang unik, yang cerdas dan—mungkin juga—subversif.

Pram memahami Tuhan sangat kritis, bahkan mengambil jarak dan wasapada: ia-sekaligus-tak (minjam ungkapan Sindhunata). Dalam tulisan-tulisan awalnya, Pram banyak bersentuhan dengan ide tentang Tuhan dalam kesusastraan. Menurutnya, pengertian manusia tentang Tuhan dengan sendirinya akan jauh berlainan sifatnya daripada pengertian usang atau yang telah diusangkan yang diberikan oleh kebiasaan (mainstream). Refleksi terhadap Tuhan menghasilkan sebuah pandangan yang nyaris menyimpan aura mistik dan magis sendiri, yang jika dibaca dalam terang etika keagamaan resmi, mungkin bisa disebut a-religius.

Pram melihat bahwa diskusi tentang masalah ketuhanan seakan-akan Tuhan mendapat tempat dua macam dalam jiwa manusia. Tuhan di satu tempat adalah Tuhan yang dikehendaki agar dipercaya, dianut, dipatuhi. Tuhan di tempat lain lagi adalah Tuhan sebagai obyek, sebagai sesuatu yang dikehendaki agar diurai, dipahami. Dengan demikian, ada Tuhan yang harus dipercai dan Tuhan yang harus dipahami. Yang pertama, adalah akibat—atau hendaknya sebagai akibat—dari yang kedua.

Bila yang ada pada seseorang hanya yang pertama belaka, ini tidaklah mengherankan. Ia adalah suatu soal tukang sulap yang mana seluruh jawaban sudah sedia. Yang kedua adalah, soal pencarian, pengertian, perjuangan jiwa—tak ubahnya dengan seseorang yang dengan tekunnya mencari unsur-unsur baru yang belum pernah dikenal orang, atau mendapat obat baru yang belum pernah didapatkan orang, untuk kelangsungan sejarah kemanusian. Kebimbangan dan kesaksian yang sehat adalah lebih baik daripada kepercayaan atau keyakinan yang buta, dan yang hanya baik bagi golongan yang kehilangan akalnya.

Mereka yang memandang Tuhan sebagai titik mati yang tak boleh disinggung-singgung, sesungguhnya tidak perlu benar mengutuk demokrasi yang mengakui hak asasi manusia, yang mana dengan hak-hak ini pula Socrates (dalam demokrasi antiknya) mengejek demokrasi yang memberinya hak untuk mengejeknya, tapi yang juga telah mempergunakan hak-haknya untuk meruntuhkan kekuasaan sophisme, dan jadi perintis baru dalam lapangan filsafat, sebagai konsekwensi dari keberandalannya itu, ia harus kehilangan nyawanya sendiri. Tanpa ada gebrarakan semacam ini dalam lingkungan masalah ketuhanan, maka pemikiran hanya terbatas pada selingkungan kata-kata belaka, dan kemudian pengertian akan tersepak kian kemari. Orang akan terjerat dalam kekuasaan dogma-dogma melulu. Dan sesungguhnya, kematian di selingkungan kata-kata belaka adalah kematian yang selamanya mengikuti di belakang tiap perkembangan atau kemajuan. Dan kemampusan ini selamanya menjadi bahaya yang mengancam kedewasaan pikir manusia dari abad ke abad.

Tiap istilah, tiap pengertian, dan tafsir tentang Tuhan menurutnya, akan senantiasa berubah. Maka, kesusastraan sebagai cermin kehidupan manusia tentu saja mau tak mau membawa-bawa masalah Tuhan di dalamnya. Namun sayangnya, kebanyakan para sastrawan Indonesia masih terjebak dalam melukiskan Tuhan sebatas sebagai Tuhan yang dipercaya suntuk memecahkan segala masalah. Sementara Tuhan yang dipahami sangat jarang ditemukan dalam novel-novel kesusastraan Indonesia. Karena itu, Tuhan dalam pengertian inilah yang menjadi garapan para sastrawan. Tuhan yang dipuja selamanya akan memberikan kesan bahwa ada sesuatu penindasan rohani yang sebenarnya tidak perlu diperkuat dalam suatu ketertiban umum.

Bagi Pram, keberanian mengkaji azas-azas pemikiran bisa jadi jalan untuk mengerti, memahami, dan memaknai. Tanpa keberanian, jalan ke arah penindasan hak asasi manusia akan semakin terbuka lebar. Keberanian untuk menafsirkan Tuhan dengan pikiran dan kalbu yang dinamis akan menghilangkan keragu-raguan tentang Tuhan itu sendiri. Pemberontakan terhadap pakem dan tafsir resmi atas Tuhan harus dilakukan, dan tugas seorang sastrawan untuk menciptakan makna baru tentang Tuhan yang tidak pemarah dan tukang memangsa, tapi Tuhan yang indah dan berani. Pengertian Tuhan semacam ini akan membawa karya sastra sebagai cermin masyarakat dan cermin kepribadian pengarangnya. Sastra dengan kadar religiositas semacam inilah yang akan melahirkan karya sastra yang subversif.

Emansipasi Kartini dalam Karya Pram

Harus saya catat di sini bahwa Pram begitu terpukau pada Kartini. Pandangan Pram tentang kebebasan dan kritiknya atas agama dan ketidakadilan gender begitu dekat dengan Kartini. Emansipasi agama dianggap sebagai sebuah keharusan jika agama akan tetap punya pesona bagi pemeluknya, juga banyak diwarnai oleh pertemuan Pram dengan Kartini. Dengan menohok pandangan orang terhadap agama yang rigid, Pram bahkan pernah dikampanyekan sebagai sastrawan atheis.

Dalam roman Gadis Pantai tampak nuansa pergulatan Kartini masih begitu kuat membayangi kritik yang dilakukan Pram terhadap sistem feodalisme Jawa yang menempatkan perempuan sebagai abdi laki-laki. Gagasan emansipasi yang dibawakan Pram dalam novel-novelnya memiliki banyak kesamaan pandangan dengan Kartini dalam Door Duisternis tot Licht atau Habis Gelap Terbitlah Terang.

Pram sangat mencintai Kartini dan telah mengambil tidak kurang dari separuh semangat emansipasi Kartini dalam karya-karyanya. Berkali-kali Pram mengakui bahwa ia beguru dengan surat-surat Kartini. Pram sendiri telah menghasilkan buku riset yang langka bertajuk Panggil Aku Kartini Saja—yang diterbitkan petama kali oleh N.V. Nusantara, Bukittinggi-Djakarta, 1962. Buku ini lahir oleh sebuah desakan kecintaan Pram pada Kartini.

Novel Bumi Manusia, dengan perwatakan tokoh Nyai Ontosoroh dan putrinya Annelis, Pram menampilkan kesan sebagai sosok emansipasi perempuan yang menyerupai Kartini. Menurut penjelasan Minke, Nyai Ontosoroh tak menyimpan rasa kompleks terhadap pria, bahasa Belandanya sangat fasih, ”seperti seorang guru dari aliran baru yang bijaksana”, ya seperti Kartini—soko guru pendidikan itu. Nyai Ontosoroh adalah sosok perempuan yang telah meninggalkan dapur rumah tangganya dengan mengenaka baju-kerja dan mencari kehidupan pada perusahaan orang, berbaur dengan pria tanpa rasa canggung.

Annelis sendiri dilukiskan Minke sebagai gadis dengan sifat ke kanak-kanakan yang tidak tamat SD tapi mahir dalam mengkoordinasi pekerjaan yang begitu banyak, sering menunggang kuda sendirian, memerah susu sapi jauh lebih banyak dari yang dihasilkan semua pemerah; ”gadis luar biasa, seperti seorang ibu melayani rakyatnya dengan ramah; jangankan pada sesama manusia, pada kuda pun ia berkasih sayang, lebih agung dari dara yang pernah kuimpikan”, kata Minke:

Tak berlebihan bila suatu waktu di dekat perkebunan, tiba-tiba Minke mencium Annelis nyaris tanpa disadarinya sendiri. Bagi Minke, apa yang dilakukannya bukanlah karena ia jatuh cinta, atau ini tentang kisah cinta: ”tak ada cinta dan kisah cinta muncul mendadak. Saya tak mengerti cinta”, kata Minke pada Jean dengan polos. Pram sendiri dalam beberapa wawancaranya pernah mengatakan bahwa dia nyaris tak pernah merasakan artinya jatuh cinta. Cinta adalah rasa kebudayaan, cinta mendadak bukanlah cinta. Tapi Jean Marais tak kehilangan akal untuk menasehati Minke ketika menceritakan tentang keluarga Nyai Ontosoroh lewat frase yang paling menggugah laki-laki: ”Kau terpelajar, Minke. Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”. Dahsyat!

Pram begitu kagum pada sosok Kartini dengan semboyan ”aku mau” itu. Bahkan dalam salah satu kisah Bumi Manusia, Pram melukiskan kesannya terhadap Kartini sebagai guru yang telah mendorongnya jadi penulis: ”Memang ada banyak wanita hebat. Hanya saja baru Nyi Ontosoroh yang pernah kutemui”. Sebelum Ontosoroh, Pram menyebut seorang perempuan pribumi yang cerdas lewat tokoh Minke:

Dan semua teman sekolah tahu ada juga seorang wanita Pribumi yang hebat seorang dara, setahun lebih tua daripadaku. Ia putri Bupati J—wanita Pribumi pertama yang menulis dalam Belanda, diumumkan oleh majalah keilmuan di Betawi. Waktu tulisannya pertama diumumkan ia berumur 17 tahun. Menulis tidak dalam bahasa ibu sendiri! Setengah dari teman-temanku menyangkal kebenaran berita itu. Mana bisa ada Pribumi, dara pula, hanya lulusan E.L.S., bisa menulis, menyatakan pikiran secara Eropa, apalagi dimuat di majalah keilmuan? Tapi aku percaya dan harus percaya, sebagai tambahan keyakinan aku pun bisa lakukan apa yang ia bisa lakukan. Kan telah kubuktikan aku juga bisa melakukan? Biar pun mash tarap coba-coba dan kecil-kecilan? Bahkan dialah yang merangsang aku untuk menulis.

Orang tahu siapa sosok perempuan pribumi yang diceritakan Pram di atas, dan saya kira perempuan yang ingin dipanggil Kartini saja itulah yang telah ikut mebentuk pandangan ”feminisme” Pram—walau bukan satu-satunya. Berbagai persoalan besar yang digugat Kartini kita temukan juga dalam gugatan Pram; terhadap kolonialisme, pendidikan, feodalisme, penindasan terhadap perempuan, hingga agama.

Kartini seorang pribumi yang sudah mengenal bahan bacaan dari Eropa dan seorang penulis surat upaya yang mengagumkan dengan bahasa Belanda yang fasih. Pram seorang Jawa yang tak menulis dalam bahasa ibunya, tetapi pandangan dan semangat pembebasannya sangat Eropa. Revolusi Prancis telah membentuk watak emansipasi Kartini dan Pram. Dalam novel tetraloginya, Pram sendiri bahkan sempat dicekam kebimbangan dalam menempatkan bahasa Melayu dan bahasa Belanda, dan ia sendiri sangat fasih berbahasa Belanda, tapi menulis dengan bahasa Melayu—atau bahasa Indonesia. Nnovel-novel awalnya, seperti Keluarga Gerilya, Mereka yang Dilumpuhkan, Bukan Pasar Malam, dan Gadis Pantai, bahasanya terasa lebih Melayu ketimbang karya orang Melayu Sumatera sendiri pada waktu itu.

Kritik yang dilakukan Pram terhadap agama sangat diwarnai semangat emansipasi Kartini, yang keduanya khas pandangan pencerahan Eropa. Agama, sebagai harapan satu-satunya untuk membebaskan rakyat dan kaum perempuan bumiputera dari keterbelengguan, dalam penghayatan Pram dan Kartini justru berwajah menindas. Sistem perkawinan, sitem perceraian, sistem pembagian harta waris dan zakat yang rigid dan diskriminatif, lebih banyak merepresentasikan keinginan laki-laki dan kolonialisme ketimbang kaum perempuan bumiputera. Perselingkuhan kolonialisme-feodalisme telah membuat Nusantara berada dalam kegelapan, dihempas badai dan dirundung duka, sebagaimana kita lihat dalam frase awal telisik ini.

Bagi Pram, kebimbangan dan kesangsian yang sehat mengenai agama dan Tuhan, jauh lebih baik ketimbang keyakinan yang buta, dan yang hanya baik bagi golongan yang kehilangan akalnya. Kartini menggugat agama dengan sangat menohok khas kritikan kaum intelektual Eropa abad ke-19. Agama baginya telah kehilangan semangat emansipasinya. Kartini bahkan menunjukkan kepada kita betapa sistem patriarki yang bertamorfosis dengan sistem feodalisme dan kolonialisme itu ternyata tidak hanya telah merendahkan derajat kaum perempuan, namun juga telah menempatkan perempuan sebagai abdi kaum penjajah.

Dalam surat-menyuratnya tampak tergurat nada sastrawi dalam bentuk surat upaya dengan gaya puisi-prosa yang terkadang begitu getir mempersepsikan masa depan Nusantara. Kartini, sebagaimana juga Pram, tampak gamang dan gelisah dalam menempatkan buah pikirannya di tengah arus besar perubahan sejarah negeri pascakolonial, mulai dari persoalan pendidikan, filsafat, agama, sastra, budaya, sejarah, hingga ke persoalan (kuasa) bahasa Jawa, Melayu, dan Belanda.

Bagi Pram, apa yang dikatakan bebas oleh Kartini tak berarti bebas berbuat sekehendak hatinya tanpa perlu mengenal batas. Bila Kartini menyebut kata bebas dalam suratnya, yang dimaksudkannya ialah kebebasan jiwa. Orang Indonesia, kata Pram kemudian, masih belum bebas dalam menafsirkan kehendak Tuhan dengan terlebih dulu harus menyiapkan seperangkat keyakinan sebagai konsesi. Hakikat dari kepercayaan yang begitu luas menjadi kerdil, dan tanpa kejujuran nurani dan pikiran maka seorang yang beragama sekali pun bisa berubah menjadi fanatikus yang buta. Dan sepanjang sejarah, orang-orang fanatik inilah yang seringkali dijadikan umpan di tiap medan pertempuran.

Baik Pram maupun Kartini, keduanya melihat penyelewengan dan kemerosotan agama bukan dari sebuah pembacaan tanpa realitas, tapi keduanya menyaksikan dari dekat bagaimana agama telah dimanipulasi untuk kepentingan ideologis-politis yang menempatkan teks melulu sebagai legitimasi untuk membenarkan kesewenang-wenangan yang kelak akan kita temukan juga dalam pandangan Adonis—penyair dan pemikir Arab-Islam kontemporer. “Benarkah agama itu restu bagi manusia?” tanya Kartini dalam surat betanggal 6 Nopember 1899. Kartini ragu, gamang, bukan karena ia tak percaya bahwa di dalam Islam masih terkandung kebaikan dan rahmat bagi manusia dan semesta raya, tapi ia terlanjur menyaksikan “betapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu”, tulisnya.

Tak berhenti di situ, Kartini pun tak tanggung-tanggung mengarahkan penanya kepada Islam, dan ia juga mengatakan dirinya turunan kaum muslim, tapi baginya, “Tuhan Allah hanyalah kata seruan, sepatah kata, bunyi yang tiada arti dan rasanya”. Sementara Pram mengakui, pemberontakan terhadap Tuhan bukanlah sesuatu yang baru bagi pengarang-pengarang di Indonesia, dan Kartini telah memulainya. Bila ada satu golongan yang mencemooh Tuhan, kata Pram, maka kita harus hati-hati untuk menganggapnya sebagai jahanam, sebab bukanlah yang dimaksudkannya adalah Tuhan yang sebenarnya, justru tiap orang yang berpikir ke arah itu tidaklah akan mendapat penyelesaian yang memungkinkan ia berpuas hati.

Cemoohan terhadap Tuhan adalah cercaan yang dilemparkan oleh golongan tertentu kepada pengertian-pengertian yang diisikan pada nama tersebut oleh sang rezim kebiasaan. Seperti halnya kebiasaan para diktator yang turun-temurun, yang memang menghendaki agar semua dapat terangkum dalam kekuasaannya. Sebagaimana dalam segala ketertiban masyarakat, kata Pram, maka hal ini pun ada pemberontak-pemberontak yang menentang kediktatoran kebiasaan (keyakinan resmi dan mayoritas).

Kartini menolak agama yang dijadikan legitimasi oleh sebagian orang untuk berperang atas nama Islam dan Kristen di bumi Nusantara. Pram membaca dalam banyak surat kabar bagaimana Islam, Kristen, dan Hindu saling membenarkan perang dan menghancurkan kemanusiaan di India dan Bangladesh. Kedua penulis ini begitu terluka menyaksikan kalangan agamawan yang masih terus menjadikan agama yang terorganisir sebagai sandaran teologis dalam perang dan mengukuhkan sistem patriarki warisan feodalisme Jawa dan kasta di India itu.

Dalam suratnya tertanggal 13 Agustus 1900, yang ditujukan kepada Abendanon, Kartini mengkritik Islam yang melegitimasi poligami dan pembodohan terhadap perempuan. Demikian pula dalam suratnya bertanggal 23 Agustus 1900 yang ditujukan pada nyonya Zeehandelaar, gugatannya terhadap sistem perkawinan, serta gambaran betapa sulitnya seorang istri yang meminta cerai kepada suaminya kendati harus mengemis berkali-kali, merupakan contoh gugatan Kartini terhadap agama, yang belakangan ini begitu semarak diwacanakan oleh kaum feminis.

Kartini menampilkan empat perubahan yang diharapkannya yang dimulai dari ”habis malam terbitlah terang, habis badai datanglah damai, habis juang sampailah menang, habis duka tibalah suka”. Sudahkah kegelapan yang dilihatnya pada penduduk pribumi itu melahirkan cahaya terang? Jawabnya tentu sangat pesimis. Sistem perkawinan dan perceraian dalam Islam yang dikritik Kartini lebih dari satu abad lampau masih belum berubah.

Pram dan Kartini bukan hanya jadi juru bicara emansipasi dan kemerdekaan kaum perempuan pada zamannya, namun telah membuktikan bahwa keduanya bukan manusia yang mudah dijinakkan. Gugatan Kartini dan Pram terhadap Islam dan sistem feodalisme Jawa tidaklah harus dilihat dari antropologi dengan tendensi rasisme, karena sebagaian besar kaum intelektual Jawa masih mempersepsinya demikian. Kritik kedua pujangga ini terhadap Kuasa Jawa justru meberikan alternatif bagi penghayatan sasta dan religiusitas yang membebaskan. Sasta dan religiusitas yang mendorong tegaknya harkat dan martabat kaum perempuan dan rakyat kebanyakan tak bisa tunduk pada feodalistik.

Ungkapan-ungkapan yang bernada dekonstruksi terhadap agama telah menempatkan Kartini dan Pram dalam barisan tokoh kritis dalam memandang agama dan Tuhan. Sebuah laku yang, kendati oleh Kartini sering digugatnya, telah memberikan teladan dari hasil pencariannya: “Kami telah menemukan Dia; karena kini ini kami tahu—kami rasa, bahwa senantiasa ada Tuhan dekat kami, dan mendjagai kami. Tuhan itu akan mendjadi penolong, pembudjuk hati, tempat kami berlindung didalam kehidupan kami jang akan datang dan ini sudah terasa oleh kami”, tulisnya dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902. Surat terakhirnya bertanggal 7 September 1904 melukiskan “Tuhan tiada akan tuli mendengar sekian banjak jerit hati yang mendoa”.

Kendati Pram sering disebut sebagai pemikir yang nyinyir dalam memandang Islam, dalam roman Keluarga Gerilya dan Bukan Pasar Malam, kita akan menemukan sosok pergulatan yang intens dalam pencarian hakikat ketuhanan. Babak akhir Keluarga Gerilya melukiskan dengan suasana religius mirip doa: “Tuhanku, biarlah aku mengalami fajar merah sekali lagi. Ya, Tuhanku, aku paham akan alamat yang Kauberikan padaku. Dosaku banyak. Aku Tahu. Dan Engkau Mahamengetahui. Engkau sendiri yang mengizinkan dosa-dosa itu berlaku di dunia ini. Dan berpuluh-puluh jiwa telah kuputuskan untuk korban pada bangsa baru yang Kaulahirkan di tanah airku. Bangsa ini Kaulahirkan di atas dosaku—dosa kita semua. Ya, aku tahu—alamatMu itu sudah kupahami. Akan sampailah ajalku…”
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita