13/06/11

Perayaan Kemurungan

Beni Setia
http://www.lampungpost.com/

Mitos yang mengeliling Li Tai-Po, seorang penyair liris China klasik, berkaitan dengan arak, bersampan setengah berhanyut di arus sungai, dan menulis puisi dengan kepekaan batin merespons berdasarkan apa yang tampil di kesadarannya—baik akibat rangsangan objektif kesekitaran atau melulu hanya cetusan imajinasi instinktif dalam batin.

KATANYA, ia menulis beratus-ratus puisi untuk dihanyutkan bila secara diksiah gagal karena tak bisa direvisi lagi, dan kemurungan kehilangan emosi liris yang tidak bisa dikonkretkan itu akan menjadi sebuah energi liris (baca: level kepekaan puitik) yang membuat menulis puisi semakin membius.

Energi tranced. Mungkin itu artifisialitas menulis—katanya Li Tai-Po kehilangan orientasi ketika merasa menemukan bulan dan merengkuh bayangan bulan di air yang disangka bulan itu sendiri, dan ia mati tenggelam di arus. Tapi identifikasi pada corak energi kreatif itu itu dipertegas oleh seorang Rahmah Purwahida, ketika ia membahas 10 cerpenis muda Jawa Tengah, yang tergabung dalam antoloji cerpen Joglo 10: Paras Perempuan Padas, TBJT, Solo 2011, di TBJT, (28-05). Dosen UMS ini menyebut itu sebagai perayaan kemurungan, saat energi kreatif dan kepekaan bersinergi dengan hal-hal keseharian yang tak lagi menggugah simpati dan solidaritas kemanusiaan kita, lantas kemurungan bangkit menggarisbawahinya dalam narasi yang sepertinya hanya mimesis memotret kenyataan sosial.

Keunggulan cerpen—dan pada akhirnya novel dan puisi—simpati sosial semacam itu terletak pada penggarisbawahan yang menyebabkan sebuah potret berbeda dengan lukisan, sebuah berita dengan prosa dan puisi. Dan karenanya, meski ada kesejajaran dengan olah kepekaan puitik Li Tai-Po, tekanan Rahmah Purwahida terletak pada apa yang jadi obsesi kreatif mereka merupakan ihwal yang ada di luar diri, bersipat objek dan berlevel sosial. Ini berbeda dengan Li Tai-Po yang bersipat reflektif, menggali ke kedalaman diri, subjektif seperti bersilarat-larat dengan hal yang liris—meski mampu memotret yang objektif, yang naratif menuturkan apa yang tampak dengan nampan puitika liris yang kental. Dan seorang Isbedy Stiawan Z.S.—terutama dalam Taman di Bibirmu, Siger Publisher dan Lamban Sastra, Bandar Lampung, 2011—bermain dalam tataran ini, bergerak reflektif ke dalam dan naratif ke luar.

Ada 82 puisi dalam kumpulan puisi setebal 104 halaman ini, dan yang lebih unik puisi tertua dalam kumpulan ini ber-titi mangsa 2011—2010;23.31 dan diletakkan di sisi belakang, sedangkan yang terbaru bertarikh 5211.7:23 dengan diletakkan di depan. Ini mengesankan sebuah pemindahan dari dokumentasi file dari laptop ke ujud pra cetak secara sederhana, dan sepengetahuan saya Isbedy Stiawan Z.S. selalu membawa laptop ke mana pun pergi—kini malah dilengkapi oleh handycam untuk merekam momentum sosial yang unik sesuai dengan tuntutan sebagai si pewarta televisi di Bandar Lampung. Pada status Facebook-nya ia pernah bercerita tentang perjalanan jarak jauh dengan sepeda motor, kelelahan perjalanan, daya tahan fisik sebagai seorang karateka, dan kepekaan puitik Li Tai-Po dan instink merayakan kemurungan ala Rahmah Purwahida yang menuntut bergerak dan terus bergerak.

Tak heran kalau dari kumpulan puisi terbarunya kita bisa menemukan romatisme sentimental liris tentang cinta dan si dia seperti tersurat dalam puisi-puisi Mawar, Menjadi Api, Kupilih Wajahmu, Sebuah Pesan, Di Tepi Kolam, dan banyak lagi. Selain narasi seperti yang tertera dalam puisi-puisi Kau adalah Laut, Lelaki Penjaga Pohon, Bulan di Kota Awan, Liwa, Dalam Bayangan, Kembali ke Kotamu, Mencatat sebagai Peristiwa, dan seterusnya. Sebuah rentetan puitika yang berada dalam liris reflektif dan narasi kuyup emosi—sebuah pencapaian yang berawal dari 20 November 2010 sampai 05 Februari 2011—sebuah pencapaian kreativitas dalam rentang 10 minggu, energi kreatif yang sebenarnya tak hanya merujuk 82 buah puisi tapi juga ada sekian cerpen, esei-esai sastra dan sosial-budaya, dan mungkin beberapa berita/liputan televisi. Satu aset sastrawiah yang mencengangkan, yang dieksolorasi dan dieksploitasi dengan sangat efisien—tapi tak pernah benar-benar diapresiasi secara benar.

Bagi saya Isbedy merupakan passion serta daya tahan, terlebih ketika bersitemu dengannya selalu ada membawa ransel yang menggelembung di punggung dan tas di tangan. Dengan berjaket dan bertopi ia seperti sedang memindahkan kesiapan untuk mengeksploitasi kepekaan puitik dan mengeksplorasi wacana kemurungan (realitas) sosial—kesiapan yang dimanifestasikan dalam perlengkapan yang kayak arep minggat dalam idiom Surabayaan. Tak heran kalau keutamaan Isbedy sesungguhnya terletak pada produktivitas, bahkan produktivitas yang tak kenal jeda sejak pertengah dekade 1980-an. Rentangan produktivitas (baca: keajekan mengolah kreativitas) yang ada di sekitar hitungan 25 tahunan lebih. Dan dalam rentangan itu kita menemukan karya sastranya berada di berbagai media massa cetak di mana-mana, dan dalam bermacam-macam dan tak putusnya terbit setiap tahun—terutama dalam hitungan dekade terakhir.

Dan ia sebenarnya tak sendirian—ada Soni Farid Maulana yang berkubang dalam puisi an kemudian Bandung Mawardi yang lebih konsentrasi pada esai dan apresiasi. Celakanya, khazanah sastra Indonesia tak begitu peduli dengan fakta itu. Di tengah minat baca sastra yang lemah, yang menyebabkan buku sastra tersenggal—dan seorang Nurel Javissyarqi, sang penerbit yang memegang bendera Pustaka Pujangga, pernah mengatakan pasar ril buku sastra hanya 300 buku, sedangkan seorang penerbit lain di Solo bilang ongkos cetak yang efisien minimal 500 eksemplar dengan titik optimum 1.000 eksemplar—, penghargaan justru lebih dipusatkan pada kualitas cq Khatulistiwa Award, misalnya. Produktivitas bertahan dengan ekplorasi dan eksploitasi kreativitas yang tanpa jeda dan dalam jangka panjang dan dilakukan dengan irasionalitas berterus mengolah kreativitas tak pernah dipedulikan.

Tak ada penghargaan bagi loyalitas buat pengabdian sepanjang masa, karena itu kita berkaca-kaca melihat nasibnya Ratna Indraswari Ibrahim yang sakit dan tak bisa berkreasi. Semua itu dianggap wajar, itu dianggap risiko pribadi dari pengamalan hidup sesuai dengan filsafat Eksistensialisme—seperti pejabat yang siap pensiun dan dihantui KPK. Padahal selain Ratna Indraswari Ibrahim kita telah mencatat dan sekaligus melupakan beberapa sastrawan berbakat yang didera masa surut dan terjerembab dalam sakit dan dianggap rongsokan yang tak perlu diingat. Menurut saya, seharusnya the stakeholder yang berkepentingan dengan sastra Indonesia mau memedulikan pengabdian kreatif sastrawan, dengan hadiah yang bersipat pengabdian lifetime, dan juga semacam fund untuk mengongkosi sastrawan produktif untuk berkarya dalam acuan risidensi.

Pertamina pernah mengundang sastrawan menuliskan tentang kilang minyak di lepas pantai Papua, seorang individu membiayai penulisan novel bertemakan korban G30S/PKI dari Seno Gumira Ajidarma serta cerpen-cerpen bertema kota di Amerika Serikat dari Budi Darma dkk., TSI III meminta beberapa sastrawan menulis puisi serta cerpen tentang Tanjungpinang, dan TSI IV membiayai beberapa sastrawan berbakat ke Halmahera. Tapi itu tak cukup. Dan sebuah dana residensi pada Isbedy dkk. mungkin membuat kita menemukan sebuah tempat serta satu eksotika yang unik dalam sebuah kumpulan puisi dan prosa. Memang! Tapi siapa yang mau peduli kalau eksekutif dan legislatif lebih terpikat membiayai sepak bola dengan APBD kabupaten/kota? Karena—sebenarnya—sastra itu berada di ekor dari proyek pencitraan politis.

Beni Setia, pengarang

Sutardji Vs Nurel J

Tosa Poetra
http://sastra-indonesia.com/

Jangankan dalam kehidupan dalam dunia karya tulis, segala sesuatu memang syarat dengan kontroversi, setuju dan tidak setuju merupakan hal yang wajar dan biasa terjadi, pro dan kontra lazim terjadi yang mana apapun pendapat itu hendaknya dihargai agar dapat menjadi tambahan kekayaan ilmu pengetahuan dan wawasan agar dapat menjadi semakin baik, bukannya menjadi bahan perseteruan abadi.

01/06/11

Globalisasi Kebudayaan: Rasa Kesatuan Dalam Identitas “Hybrid”

Afthonul Afif *
Kompas, 27 Des 2008

GLOBALISASI kebudayaan akhir-akhir ini menunjukkan dua wajah yang berbeda. Ibarat satu keping mata uang dengan dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, globalisasi mengarahkan semua orang untuk mengadopsi pola kebudayaan yang seragam. Di sisi lain, kecenderungan ini telah memicu munculnya resistansi dari budaya-budaya lokal yang merasa eksistensinya terancam seiring gelombang penyeragaman ini.

Kecenderungan yang kedua tersebut membuat kebudayaan kita akhir-akhir ini menjadi semacam medan kontestasi bagi identitas-identitas kebudayaan yang berbeda-beda untuk mengekspresikan diri. Indonesia-dalam konteks ini adalah contoh terbaik pascaruntuhnya kekuasaan sentralistik pemerintahan Orde Baru.

Tidak adanya lagi pusat kekuasaan yang sanggup mengikat kemajemukan dalam satu wadah memberikan peluang kepada setiap identitas kebudayaan untuk unjuk diri—memastikan bahwa dirinya sanggup menentukan nasibnya tanpa campur tangan kekuatan eksternal.

Kondisi ini mengingatkan kita kepada teori Benedict Anderson tentang Indonesia sebagai ”komunitas yang terangankan”. Menurutnya, Indonesia bukanlah negara bangsa (nation state), melainkan negara dengan banyak bangsa. Artinya, imajinasi tentang kewarganegaraan, tentang nasionalisme, tidak terbangun di atas fondasi kultural yang kokoh, tetapi semata-mata berdasarkan klaim politis yang serba retak. Dengan kata lain, Indonesia adalah konsep yang mungkin terlampau ambisius—sebuah konsep yang diangankan mampu merangkum kemajemukan ekspresi kebudayaan dari Sabang sampai Merauke dalam satu momen aktivitas berpikir.

Haus keseragaman

Akhir-akhir ini istilah rekaan Adolf Bastian, seorang etnolog Jerman, itu mulai digugat secara terang-terangan. Cara sebagian rakyat Papua merayakan hari jadi Organisasi Papua Merdeka (OPM) awal Desember 2008 lalu adalah contohnya. Secara terang-terangan, mereka menyatakan dirinya bukan sebagai orang Indonesia. Sikap politik ini didasarkan atas identifikasi bahwa secara biologis mereka adalah bangsa Papua, tergabung dalam rumpun Melanesia, ras Negroid, bukan seperti kebanyakan orang Indonesia yang berasal dari rumpun Melayu.

Munculnya sikap politik seperti itu tentu tidak dapat dipisahkan dari politik kebudayaan penguasa Orde Baru yang haus akan keseragaman. Cara membangun identitas kolektif-kebangsaan tidak didasarkan atas komunikasi mutual yang mengafirmasi kemajemukan, tetapi melalui suatu proses eksklusi yang represif.

Kemajemukan ekspresi kebudayaan, yang dihayati oleh lebih dari 500 suku bangsa di Tanah Air dan diekspresikan melalui lebih dari 512 bahasa, tidak ditempatkan sebagai modal sosial, melainkan dicurigai sebagai bibit-bibit perpecahan.

Hidup dalam iklim multikultural seperti sekarang ini, tertib sosial akan dapat terwujud jika setiap elemen masyarakat mampu bersikap toleran serta bersedia membuka diri bagi terciptanya kerja sama-kerja sama yang bersifat mutual.

Dekategorisasi identitas (eksklusi identitas budaya asal) secara berlebihan yang dilakukan Pemerintah Orde Baru selama puluhan tahun sepertinya sudah cukup membuat kita sadar bahwa persatuan yang dibangun dengan jalan paksaan hanya akan berujung pada konflik sosial.

Tanpa bermaksud menyederhanakan rumitnya persoalan hubungan antaretnik di Indonesia—karena makna etnisitas sekarang ini jauh lebih kompleks dari sekadar penjelasan tentang asal-usul ras manusia, tetapi juga terkait dengan sumber-sumber identitas lain, seperti agama, pekerjaan, pendidikan, dan afiliasi politik—tulisan ini berusaha menawarkan model hubungan yang lebih setara dan mutual.

Satu isu penting yang segera mengemuka ketika membicarakan persoalan ini adalah bagaimana seharusnya antara satu kelompok dan kelompok lainnya saling memandang?

Persilangan Identitas

Tidak adanya kekuatan dominan yang berhak mengatur pergaulan antarbudaya, dalam hal ini kekuatan negara yang represif, merupakan peluang tersendiri jika disikapi secara tepat. Meminjam istilah François Lyotard, Indonesia saat ini relatif terbebas dari bercokolnya ”narasi besar” yang berwatak totaliter.

Vakumnya konsep, ide, gagasan, yang berambisi atas tafsir dunia memberi peluang bagi tampilnya ”narasi-narasi kecil” yang heterogen dan plural. Pluralisme kebudayaan ini idealnya dapat disikapi sebagai medan pertukaran simbolik yang produktif dan komplementer.

Pada ranah praktis, tidak adanya kekuatan dominan juga memberi peluang bagi terjadinya persilangan kategori-kategori identitas ketika setiap pihak ditemukan dalam kepentingan yang sama. Dalam kondisi seperti ini, ingroup favoritism dan outgroup derogation akan berkurang.

Identitas sosial menjadi lebih mudah ditembus sehingga memungkinkan terciptanya identitas hybrid. Identitas hybrid merupakan identitas baru yang terbentuk dari persilangan kategori-kategori sosial yang didasari atas kesadaran untuk mencari simpul kerja sama yang mutual dalam ruang publik. Ketika individu menyandang banyak identitas, berarti dia memiliki dimensi sosial-psikologis yang banyak pula.

Mengapa persilangan kategori berpotensi dapat meningkatkan rasa kesatuan dalam wadah identitas sosial yang baru? Pertama, persilangan kategori memungkinkan individu berafiliasi dengan beberapa kelompok sehingga dapat mereduksi loyalitas kepada satu kelompok saja. Identifikasi ganda ini juga akan melahirkan loyalitas ganda.

Kedua, persilangan kategori melahirkan kesadaran bahwa anggota outgroup juga bisa menjadi fellow sehingga sikap-sikap negatif terhadap outgroup akan berkurang.

Ketiga, persilangan kategori memungkinkan interaksi antarindividu dari kelompok yang berbeda menjadi semakin intensif sehingga mobilitas lintas batas kelompok juga akan meningkat (Brown, R & Gaertner, S (eds), Handbook of Social Psychology: Intergroup Processes, 2003: 69-70)

Berangkat dari pemahaman bahwa setiap ekspresi kebudayaan memiliki nilai-nilai positifnya masing-masing dan tidak ada superioritas satu budaya atas budaya lainnya, keragaman budaya seharusnya bisa menjadi modal sosial dan tidak mengarah kepada proses saling mengeksklusi. Jika dicermati secara serius, tentu banyak sekali titik singgung di antara keragaman ekspresi kebudayaan di Indonesia jika kategori-kategori sosial yang dimilikinya dipersilangkan satu dengan yang lain.

Titik singgung tersebut merupakan modal utama bagi terciptanya dialog dan kerja sama multikultural yang berkeadilan.

Cara merumuskan persatuan memang sepatutnya diawali dari mencari persamaan atas kategori-kategori tersebut, bukan malah membuat formulasi baru yang justru meluruhkannya, sebagaimana pernah dilakukan pemerintahan terdahulu.

* Afthonul Afif, Peneliti di Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu, Yogyakarta
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/12/globalisasi-kebudayaan-rasa-kesatuan.html

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita