Ribut Wijoto
Radar Surabaya (3/10/2010)
Bagaimanakah kondisi kesusastraan Indonesia 25 tahun ke depan? Pertanyaan ini penting dan mendesak untuk dijawab. Jawaban dapat berguna untuk menentukan visi dan dasar kreativitas kesusastraan saat ini.
Ke depan, secara alamiah, bahasa Indonesia akan terpinggirkan. Sastrawan Indonesia tidak akan lagi menulis dalam bahasa Indonesia. Sastrawan akan memilih menulis dalam bahasa Inggris. Mengapa? Beberapa gejala dapat diketengahkan.
Pada keluarga kelas menengah ke atas, saat ini, orang tua lebih suka mendidik anaknya untuk berbicara bahasa Inggris. Dalam kehidupan kesehariannya, orang tua membiasakan anaknya berbincang-bincang bukan dengan bahasa Indonesia tetapi dengan bahasa Inggris. Dalam bidang pendidikan formal pun, orang tua memilih memasukkan anaknya ke sekolah yang menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar. Lihat saja, dalam dua tahun terakhir, orang tua rela mengeluarkan biaya lebih besar demi memasukkan anaknya ke sekolah berstandar internasional.
Apa pengaruhnya? Jelas sekali, anak menjadi lebih pandai berbahasa Inggris daripada berbahasa Indonesia. Tidak hanya pandai, anak terkondisikan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pertama. Sebagai bahasa ibu. Tidak hanya saat mengungkapkan pendapat, dalam bermimpi pun, anak akan berbicara dan berpikir dalam bahasa Inggris. Jika sudah begini, ke depan, tidak bisa diharapkan mereka akan mampu dan mau menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia.
Kondisi berbeda terjadi dalam keluarga kelas menengah ke bawah. Keluarga etnis Jawa misalnya. Orang tua membiasakan anaknya berbicara dalam bahasa Indonesia. Bukan dalam bahasa Jawa. Alasannya sederhana, agar anak bisa lebih maju dibanding orang tuanya. Biasanya, orang tua berbicara sesama mereka masih dalam bahasa campuran, Jawa-Indonesia. Namun kepada anaknya, orang tua selalu menggunakan bahasa Indonesia.
Kondisi berbeda ini lambat laun akan berubah. Tidak hanya keluarga kelas menengah ke atas yang membiasakan anaknya berbicara bahasa Inggris dalam keseharian. Keluarga kelas menengah ke bawah pun akan tergerak untuk melakukan pilihan yang sama. Mengapa? Soalnya, keluarga kelas yang lebih bawah secara psikologis menganggap cara hidup kelas di atasnya sebagai lebih maju. Artinya, pilihan keluarga kelas menengah ke atas bakal menjadi tren. Menjadi sesuatu keharusan.
Secara alamiah, dalam 25 tahun ke depan, ketika anak-anak ini telah remaja bahkan dewasa, kesusastraan Indonesia tidak lagi ditulis dalam bahasa Indonesia. Kesusastraan akan ditulis dalam bahasa Inggris. Sastrawan yang masih menulis dalam bahasa Indonesai dapat digolongkan “memelihara” atau “mempertahankan” budaya bangsa. Tentu saja jumlahnya minoritas dibanding sastrawan yang menulis dalam bahasa Inggris. Sama seperti kondisi sekarang, beberapa sastrawan masih menulis dalam bahasa daerah. Semisal Jawa, Bali, atau Sunda. Jumlah mereka tidak banyak di antara melubernya sastra berbahasa Indonesia. Ke depan, sastrawan berbahasa Indonesai –tidak kurang tidak lebih- nasibnya akan sama. Marjinal.
Perpindahan bahasa dalam sastra tentu sebuah gejala yang sangat serius. Sebab bahasa adalah kendaraan sekaligus ruh dari sastra itu sendiri. Pengaruhnya bisa sangat gawat. Bisa mengarah ke positif bisa pula negatif. Oleh karenanya, pengaruh-pengaruh tersebut harus segera diantisipasi. Setidak-tidaknya pengaruhnya dikenali. Terutama pengaruh buruknya.
Yang paling menakutkan, ke depan, karya sastra berbahasa Indonesia hanya akan mendiami rak-rak museum. Sama seperti karya sastra para pujangga Jawa. Kehilangan pembacanya, penulisnya, dan kehilangan aktualitasnya.
Lihat saja, sejarah sastra Indonesia sekarang. Apakah sastra Indonesia dipahami sebagai kelanjutan dari sastra Jawa (tradisional). Tidak. Sastra Indonesia memiliki keterputusan fundamen dari sastra lama. Sastra Indonesia sekarang dipahami sebagai sastra modern hasil adopsi dari sastra dunia (Barat). Maka muncul bentuk puisi, cerpen, novel, maupun naskah drama. Kesemuanya bukanlah pencanggihan atau hasil pengembangan dari sastra Jawa. Kesemuanya muncul secara alamiah sebagai respon dari perkembangan zaman.
Begitu pula dengan sikap sastra Indonesai terhadap sastra Melayu. Walaupun bahasa Indonesia berasal dari Melayu, sastra Indonesia bukan berasal dari pencanggihan sastra Melayu. Pengaruh sastra Melayu, bisa jadi, cukup berhenti pada karya puisi Amir Hamzah. Sejak Chairil Anwar hingga Mardi Luhung, sastra Indonesia lebih suka mengembara ke khazanah sastra dunia daripada keelokan sastra Melayu. Chairil pun secara terus terang mengatakan, “kami adalah ahli waris kebudayaan dunia”.
Tampaknya, 25 tahun ke depan, sastrawan Indonesia mungkin masih membaca karya sastra berbahasa Indonesia. Tapi dengan satu syarat. Karya sastra tersebut telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Sastrawan Indonesia sudah tergagap-gagap memahami karya sastra berbahasa Indonesia. Soalnya dalam keseharian, sastrawan dan masyarakatnya telah berpindah ke bahasa Inggris. Bahkan, bisa jadi, karya sastra berbahasa Indonesia hanya dianggap sebagai bagian dari kekelaman masa lalu. Ketika para sastrawan beserta masyarakatnya dinilai belum melebur ke dalam kebudayaan dunia (universal). Ketika sastrawan dianggap masih terjebak dalam hal ihwal nasionalisme. Bahasa Indonesia, bisa jadi, akan “diolok-olok” sebagai “belum beradab”.
Bila kondisi ini terjadi, sejarah sastra Indonesia bakal mengalami dua kali keterputusan. Pertama, keterputusan dari sastra tradisional (sastra berbahasa daerah). Kedua, keterputusan dari sastra nasional (sastra berbahasa Indonesia). Akibatnya, sastra Indonesia akan kembali muda. Dalam artian, sastra yang tradisinya baru tercipta tidak lebih dari 25 tahun.
Ada lagi pengaruh yang lebih mengerikan. Kinerja dan hasil keringat para sastrawan sejak Marah Rusli hingga Binhad Nurohmat akan menjadi sia-sia. Sebatas disikapi sebagai masa lalu yang kelam. Begitu pula dengan kecermelangan puisi Sapardi Djoko Damono, keliaran puisi Gunawan Mohamad, kebinalan puisi Acep Zamzam Noor, apalagi lirisitas puisi Amir Hamzah. Kesemuanya akan sia-sia. Kesemuanya tidak dianggap sebagai bagian dari kesusastraan 25 tahun ke depan, yakni kesusastraan Indonesia yang ditulis dalam bahasa Inggris.
Sastra berbahasa Indonesia kelihatannya hanya berusia satu abad. Dimulai sekitar tahun 1920-an dan berakhir sekitar tahun 2020-an. Inilah kondisi satu abad sastra Indonesia yang sia-sia.
Tidak semua memang akan sia-sia. Beberapa karya sastra berbahasa Indonesia masih mampu bertahan dari gilasan zaman. Karya sastra tahan zaman ini mungkin akan diwakili oleh prosa Pramoedya Ananta Toer. Mengapa? Karena karya Pramoedya memiliki struktur yang kuat (kompleks). Alurnya, penokohannya, latarnya, maupun tema-tema yang diunggahkan. Bahkan dalam cerpen pun, Pram membuat struktur prosa yang utuh. Memang yang disebut cerpen dalam karya Pram, sangat berbeda dengan cerpen yang marak berkembang saat ini, yakni cerpen koran. Cerpen Pram bisa sampai 30 atau 40 halaman. Padahal tren cerpen di koran, maksimal hanya 8 halaman. Maka, cerpen koran buru-buru menghentikan cerita ketika penokohan belum terbentuk. Cerpen selesai ketika cerita belum sempat membangun plot. Nasib cerpen-cerpen koran ini, tampaknya ke depan, dianggap sebagai pemblajaran anak kecil semata.
Ada satu parodi yang menggoda untuk diketengahkan. Dalam sastra Jawa, ada dikenal istilah “pujangga terakhir”, yakni Ronggowarsito. Lantas, siapakah yang layak menyandang gelar “pujangga terakhir” sastra Indonesia. Bisa jadi, jawabannya adalah Afrizal Malna. Pertimbangannya, Afrizal sematalah yang terakhir melakukan perubahan radikal terhadap kesusastraan berbahasa Indonesia. Afrizal mampu menciptakan tradisi puisi yang secara kasat mata terbedakan dengan tradisi puisi sezamannya. Sebuah penciptaan tradisi puisi seperti yang dilakukan Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bahri.
Oleh sebab sudah diketahui, 25 tahun ke depan, sastra bakal ditulis dalam bahasa Inggris dan kondisi itu membuat keterputusan dengan sejarah sastra, muncul satu pertanyaan responsif yang perlu dibahas. Bagaimana mengantisipasi perubahan besar tersebut?
Pertama, perubahan ke arah sastra berbahasa Inggris tidak bisa dihindari. Penyebabnya, pelan tapi pasti, masyarakat Indonesia akan beralih dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris.
Kedua, sastrawan sekarang harus mulai belajar menulis dalam bahasa Inggris. Artinya, sekalian saja kondisi 25 tahun ke depan tersebut dihadirkan saat ini. Sastrawan tidak menulis untuk tahun sekarang. Tetapi, sastrawan menulis untuk zaman di masa depan. Toh, di Indonesia, media massa yang menerima karya sastra berbahasa Inggris sudah ada. Atau kalau memang percaya diri, karya berbahasa Inggris tersebut dikirimkan ke media massa di luar negeri.
Negara tetangga kita pun, Malaysia dan Singapura, keduanya telah memulai tradisi penulisan sastra berbahasa Inggris. Daripada semakin terlambat, tradisi sastra berbahasa Inggris harus dimulai dari sekarang.
Ketiga, harus ada usaha yang getol untuk menerjemahkan karya sastra berbahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Kegiatan ini tidak bisa ditunda karena senyampang para sastrawannya masih hidup. Senyampang masyarakatnya masih terbiasa berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.
Jika sampai terlambat, jumlah orang yang ahli bahasa Indonesia keburu langka. Padahal jumlah karya sastra yang harus diterjemahkan begitu bejibun. Bayangkan saja, tiap minggu puluhan koran menayangkan puisi atau prosa baru. Tiap minggu, selalu terbit buku kumpulan puisi baru. Bila ditotal, dalam satu abad usia sastra Indonesia, karya yang diproduksi bisa sampai ratusan juta judul.
Perubahan kondisi kesusastraan Indonesia 25 tahun ke depan tentu saja tidak hanya dalam tataran bahasa. Beragam faktor lain turut memberi pengaruh. Semisal perubahan struktur masyarakat, pemikiran filsafat, temuan-temuan teknologi, perkembangan sastra di Barat. Kesemuanya perlu mendapat porsi untuk menentukan sikap menghadapi masa depan sastra Indonesia.
_______, Studio Teater Gapus, 2010
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar