26/12/10

Korupsi

Korrie Layun Rampan
http://www.suarakarya-online.com/

Teluk Nyomit ditandai oleh tanjung yang tajam di arah kiri mudik setelah sungai membentuk teluk dari potongan sungai mati yang kemudian menciptakan Danau Nyomit. Entah nama ini dicomot dari mana dan bermakna apa, tak ada yang tahu. Tak ada juga yang ingin bertanya. Semua mulut akan menyebutnya Teluk Nyomit, yang ke arah daratannya membentuk sebuah kawasan berhutan belukar yang sekelilingnya merimbun pokok-pokok rotan jahab dan rotan sega milik Kepala Adat Roksobo.

Kepala adat sendiri tak berumah di situ. Karena ia merupakan kepala adat di sebuah kampung yang jauh di Daratan Temula. Ia hanya memiliki kawasan yang didapatnya dari ayahnya yang juga kepala adat. Pada zaman lampau seorang kepala adat setingkat akuwu (raja kecil) di suatu kawasan, memiliki luasan hutan yang berisi rotan, kayu, dan pohon tanyut sebagai tanda kekuasaan.

Pada suatu hari Kinas – tanpa ujung pangkal – berusaha menjelaskan istilah nyomit yang berarti kunyit.

“Mengapa?” aku bertanya saat kami sedang menderu melewati teluk ke arah rumah Laweq yang berada di bagian agak jauh di hulu teluk. Saat itu sedang musim panen rotan pelas, dan Laweq merupakan pengumpul rotan yang dibelinya dari para pekerja yang mengambilnya dari hutan-hutan dataran redah di kawasan itu. Aku dan kakakku Tingawalo memgambil upah mengangkut rotan-rotan itu ke ibu kota kecamatan, kebetulan bersamaan dengan liburan sekolah, dan aku serta kakakku merasa mendapatkan durian runtuh dengan upah sewa yang kami terima. Dengan menyewa kapal Madon di Damai, kami berdua mendapat bayaran dua kali lipat dari penyewaan kapal, setelah dipotong pembelian bahan bakar dan upah kuli angkut. Kinas merupakan juragan yang merangkap masinis, sehingga aku dan kakakku hanya berleha-leha di sepanjang perjalanan kapal sehari penuh, dan sesudahnya mendapat pembayaran tinggi.

“Kau tahu kan, Mo, kunyit itu berwarna kuning?” Kinas menjelaskan untuk meyakinkan aku. “Di zaman raja-raja masa lampau, di rantau itu berdiri sebuah lou yang panjangnya lima ratus meter,” Kinas memotong kalimatnya, karena dikejutkan tunggul kayu yang menggepak lunas kapal. Ia segera membanting stir ke kiri, dan kapal terlepas dari sodokan tunggul kayu bencahaaq yang tajam.

“Apa hubungan lou dengan warna kuning?” aku merasa tertarik dengan kisah Kinas.
“Lou itu dibangun pada rantau yang panjang, sebelum sungai terpotong karena tanjung yang putus,” Kinas dengan antusias menjelaskan. “Waktu itu belum ada teluk. Suatu ketika lou diserang tentara Negeri Kepa yang menggunakan pakaian perang berwarna kuning. Seluruh wilayah itu kuning merata. Warga lou yang melihat warna itu saling berteriak, ‘Jomit! Jomit! Jomit!’ yang artinya kunyit sebagai konotasi warna kuning! Pasukan musuh menyangka warga lou sudah menyerah dengan menyebut, “Pamit! Pamit! Pamit!”

“Lalu?”
“Tentara Negeri Kepa serentak meninggalkan senjata, meletakkannya di tanah, dan segera menjarah isi lou. Saat itu, warga yang siap dengan tombak, keris berbisa, jembia, dan sumpitan berdamak racun mematikan mengambil-alih penyerangan. Musuh yang lengah dengan mudah ditaklukkan, dan mayat-mayat pun bergelimpangan di sembarang tempat dengan uniform kuning merata. Sejak itu nama ‘jomit’ melekat di lidah warga, dan nama itu lama-kelamaan berubah lafal menjadi ‘nyomit’ yang diucapkan seperti lafal lidah orang pelo.”

Entah cerita Kinas itu benar atau hanya isapan jempol, namun aku mendapat bahan baru untuk kutuliskan sebuah dongeng yang nanti akan kujual sebagai naskah inpres. Kata ibu, di zaman lampau, penulisan buku-buku inpres membuat rekan-rekannya guru SD mampu membeli rumah dan sepeda motor, jika naskah inpres itu lolos menjadi bacaan di seluruh sekolah dasar di Indonesia. Rumah itu dapat mereka pakai sebagai tempat berteduh dan sepeda motor digunakan sebagai sarana transportasi mengajar. Sebab, dengan mengandalkan gaji guru, bahkan hingga pensiunan pun tak akan mampu membeli rumah dan sepeda motor, karena untuk makan sehari-hari saja tak pernah cukup. Kuharap dongeng Teluk Nyomit dapat kukembangkan menjadi sebuah bacaan yang memikat dan enak dibaca, meskipun aku nanti mungkin saja tidak akan menjadi guru seperti ibu.

Tapi itu juga ide yang konyol. Kapankah aku mampu menulis cerita? SMA saja baru kelas tiga, dan belum sepotong kalimat pun yang telah aku goreskan di atas kertas. Namun dorongan ibu atas berbagai bacaan, apakah nanti aku bukan hanya bermimpi, tapi dapat mewujudkan cita-citaku menjadi pengarang.

Aku tersenyum sendiri mengingat diriku rasanya telah menjadi pengarang ternama! Pantatku akan terasa gatal dan ketiakku akan seperti digelitiki jari bayi karena aku mabuk sanjungan disebabkan telah berhasil menulis sebuah buku bacaan tingkat sekolah dasar untuk inpres!

Namun lamunan dan kenyataan taklah selalu berjalan seiring. Hanya tiga rit, kami dapat mengangkut dengan mulus, pada rit keempat, kapal membentur tunggul kayu yang baru muncul karena air surut hingga pasir pantai melandai sampai ke tengah sungai. Kinas terlalu banyak mengambil ke arah kiri, menghindari tanjung pasir yang menjorok ke arah gosong di tepi, sehingga tunggul kayu Teluk Nyomit menyabit lunas kapal yang sarat muatan. Papan kayu di dasar lunas ambrol, dan air menyeruak ke dalam kapal membuat kapal sedikit demi sedikit menjadi karam.

Semua rencana seperti sebuah kiamat.

Bertiga kami berkutat menyelamatkan kapal dan muatan rotan. Namun nasib memang lagi apes, kapal tetap nyangsang di tunggul kayu dan makin lama makin tenggelam karena tekanan lima ton rotan yang kami bawa. Tak ada jalan lain, Kinas bersama kakakku harus segera meminta bantuan Laweq dan para pekerja rotan untuk mengangkat pak-pak rotan yang meringkuk basah di dalam palka lunas kapal.

Sementara menunggu bantuan datang, aku naik ke arah tebing sungai. Tak terlalu kuperhatikan, ternyata di tempat itu terdapat sebuah rumah. Ke arah barat rumah terdapat pohon tanyut berupa puti, itir, dan rengas yang di beberapa dahannya sedang digayuti madu. Di sekeliling rumah itu terdapat kebun kerwila yang buahnya menjuntai dari pohon-pohon entoq karena akar-akar kerwila itu memanjat hingga pepohonan tinggi. Ke arah timurnya terdapat kebun tebu, dan di arah dekat turunan jamban sungai terdapat kayu penggolongan tebu berikut kawah raksasa pemasak gula. Kawah itu masih berkukus dengan api yang mulai redup karena ujung kayu bakarnya mulai memendek.

Ingin kutahu siapa pemilik rumah itu. Kuucapkan salam. Wajah yang muncul di depan pintu rumah panggung itu adalah wajah seorang wanita.
Gadis sebenarnya.
“Boleh aku naik?” aku berbasa-basi.
“Silakan,” suaranya begitu lembut.
“Anda yang punya kapal mogok di teluk?” suara gadis itu bertanya.
“Bukan mogok. Tapi karam karena menabrak tunggul kayu!”
“Karam?”
“Kakakku bersama Kinas sedang mencari bala-bantuan.”
“Anda bukan orang sini?”

“Saya dari kampung seberang. Baru vakansi, dan saya gunakan untuk mengambil upah menghanyutkan rotan. Anda sendiri orang sini?”
“Saya dari Temula. Cicit Kepala Adat Roksobo.”
“Jadi Anda turunan pemilik kawasan ini?”
“Saya lagi liburan.”
“Sekolah di mana?”
“SMA di Melak. Anda? Sekolah di mana?”
“Juga SMA, di Samarinda.”

* * *

Hampir habis keuntungan tiga rit untuk biaya mengangkut dan mengeringkan rotan yang basah. Lain lagi biaya menambal papan kayu lunas kapal yang rengkah. Namun kurasa kerugian itu tak jadi apa karena aku dapat mengenal Buamamih. Gadis SMA Melak itu rasaku tak akan mengecewakan, bukan hanya wajahnya yang jelita, ia juga turunan ningrat yang memiliki berhektar-hektar kebun rotan dan puluhan pohon tanyut yang selalu digelantungi madu. Lebih dari itu, Buamamih tak mengecewakanku dengan cinta, karena setelah pengeringan rotan dan penambalan selesai dikerjakan, aku masih sempat mengunjungi gadis itu sebelum aku pulang ke Samarinda.

Kurasakan debaran dadaku saat aku hanya berduaan dengan Buamamih. Dengan keberanian pemuda kelas tiga SMA, kuikrarkan bahwa aku akan datang lagi mengunnjunginya di Teluk Nyomit, jika aku sudah lulus dari perguruan tinggi.

“Tak hanya datang biasa,” bunyi suaraku kubuat seperti pemain tonil di televisi. “Tapi aku datang untuk melamar dan memboyong Buamamih.”

Senyum itu dalam mataku lebih manis dari air gula tebu yang digodoknya di dalam kuali raksasa.

“Pemuda kota kadang tak bisa dipercaya,” suaranya tulus tak dibuat-buat. “Berjanji karena ada keinginan hati.”

“Puutnmo memang menyimpan keinginan yang hendak direalisasi,” aku berkata seperti intonasi tokoh pahlawan kebangsaan. “Untuk menjadikan Buahmamih istri!”

“Tapi kalau Puutnmo justru nanti memboyong istri bukan Buamamih?”

“Nama dan tubuhmu hanya satu, Bua. Mo juga satu. Yang satu itu kita jadikan dua yang satu,” suaraku bagaikan aksen dialog pentas tonil kocak Moliere.

“Mo hanya ingin bergagah pemuda kota atau memang siap sedia?” suaranya juga bagaikan aksen lakon melodramatis opera sabun. “Jangan aku mati kutu di tengah kutu hutan yang merayap ke seantero kehidupan.”

“Kita diuji waktu dan kesetiaan, Bua. Ingin kutemukan kau di sini seperti ini jika aku sudah membawa lembaran ijazah dan uang hasil kerja. Kita bangun rumah sederhana yang diisi oleh cinta.”

“Berkata mudah tapi kenyataan? Bua akan menunggu kenyataan, Mo.”

Itu kata-kata yang kami ucapkan terakhir, saat aku segera ambil pengayuh dan mendayung sampan ke arah hilir menuju kota kecamatan, dan seterusnya menuju Samarinda dengan menumpang kapal dagang milik Boen Liem Hie yang penuh muatan rotan dan damar.

Karena aku mendapat PMDK dan hasil ujianku sangat memuaskan, aku segera mengambil kopor kayu, memasukkan barang-barangku ke dalamnya, dan terus berangkat kuliah di Yogyakarta. Lima tahun aku berkutat dengan pelajaran dan lima tahun lagi aku berkutat dengan pekerjaanku di Jakarta, baru aku punya waktu menepati janjiku dengan Buamamih.

Kurasa tak akan mengecewakan kedatanganku, sebab, selain ijazah, aku juga membawa lamaran dan kemudian akan kuboyong istriku itu ke rumah BTN-ku di salah satu pinggiran kota Jakarta. Dengan usiaku yang dua puluh tujuh – juga Buamamih sama-sama dua tujuh – kami dapat memulai hidup baru dengan apa yang telah kusiapkan. Adakah ia juga sarjana? Ia dapat menggunakan ilmunya dengan mengambil pekerjaan yang disukainya.

Di dalam pesawat dari Jakarta menuju Balikpapan dan di dalam speed-boat yang membawaku menuju Teluk Nyomit, kureka-reka kata-kata pertama yang akan aku ucapkan pada Buamamih. Jika saja aku penyair atau sastrawan, akan kukarang kata-kata indah semanis gula yang likat di lidah. Tapi aku hanya sarjana ilmu pemerintahan, yang kutahu kebanyakan hal yang berhubungan dengan tata pemerintahan, kalimat undang-undang, dan berbagai perda serta perpu. Selebihnya aku memang harus membenamkan cita-citaku menjadi penulis dongeng, sebab tak sebaris pun kata-kata dongeng yang pernah kutimbulkan di layar komputer.

Saat aku tiba di Teluk Nyomit, mataku hampir pangling. Tak ada lagi suasana yang kulihat saat lampau, karena kawasan hutan berotan dahulu telah rusak dan terlantar mengenaskan. Ladang huma dengan kebun serta akar-akar kerwila rupanya telah lama musnah, diganti dengan pohon-pohon karet yang tampak compang-camping merana tak terurus. Ke arah jauh terdapat jalur-jalur jalan alat-alat berat dan di bagian lain tampak berdiri sejumlah bivak yang sepi tanpa penghuni.

Hanya rumah Buamamih masih juga ada di situ, meskipun tampak ringkih. Mirip wanita tua yang pikun dan kurapan.

“Buamamih ada?” aku bertanya kepada lelaki muda, mungkin adiknya.
“Anda siapa?” suara pemuda itu tak menjawab tanyaku.
“Aku Puutnmo, ingin bertemu dengan Buamamih.”
“Kau yang berjanji akan menikahi Buamamih?”

“Ya,” aku berkata dengan gagah. Lelaki lain, agak tua, beringsut duduk agak ke tengah. “Aku ingin segera bertemu dengan Bua, melamarnya, menikahinya, dan sekaligus memboyongnya ke Jakarta.”

“Menyenangkan sekali, Nak Mo. Aku ayah Bua. Sayang Anak sudah terlambat.”
“Terlambat? Terlambat bagaimana? Bua sudah menikah?”
“Belum,” lelaki tua itu menjawab singkat.
“Jadi maksud Bapak terlambat? Dalam hal apa?”
“Anak lihat kawasan ini. Lima tahun lalu di kawasan ini dimasuki onderneming karet. Dengan pongah pemilik onderneming menjarah kawasan kami karena mereka telah mendapat izin penanaman karet seluas tiga ratus ribu hektar. Kawasan ini habis tercaplok. Tak ada lagi milik kami!”
“Lalu?”

“Buamamih melawan. Karena hanya ia yang mampu melawan. Karena hanya dia yang berpendidikan sarjana di sini. Tapi, karena melawan konglomerat saat itu sama dengan melawan penguasa. Ia dijebloskan ke dalam penjara!”

“Dihukum penjara?”
“Belum dihukum, sebenarnya. Masih ditahan. Tapi akhirnya ia dijatuhi hukuman, bukan karena melawan penguasa onderneming, tapi karena pembunuhan!”
“Pembunuhan? Buamamih membunuh siapa?”
“Pemerkosanya, Nak Mo!”
“Pemerkosa? Siapa yang memperkosa Bua?”
“Petugas!”
“Petugas?!”

“Ibunya meninggal dunia karena serangan jantung melihat anaknya digiring petugas ke balik terali besi. Sementara hutan di sini rusak dan terlantar, mirip kerusakan lahan sejuta hektar, karena semua warga yang tanahnya dicaplok begitu saja tak ada yang mau diberi ganti rugi yang tak pantas dan tak memadai. Bukan hanya rotan, pohon tanyut, dan kebun buahan-buahan yang mati, istriku pun ikut mati!” suara ayah Bua terdengar nelangsa.

Saat kutemui Buamamih di penjara wanita, kulihat wajahnya sangat lusuh. Kecantikannya telah berubah menjadi rupa wajah yang tua, karena derita. Tujuh tahun putusan yang cukup memberatkan karena dianggap pembunuhan berencana. Tapi mengenai pemerkosaannya sendiri? Siapa yang dituntut karena pemerkosa itu telah mati di tangan Bua sendiri?

“Aku telah kem bali, Buamamih,” suaraku kutekan dengan nada yang jauh dari irama sedih. “Sesuai janjiku di Teluk Nyomit. Tapi kau tak kutemukan di sana. Tak apa kutemui di sini. Sekarang lamaran kuteruskan seperti kata-kata kita dulu!”

Kulihat wajahnya menegang.
“Kata-kata itu sudah berlalu, Mo.”
“Berlalu?”
“Aku dipenjara! Hutan rusak. Ibuku mati. Masa depanku sudah pergi!”
“Tapi usiamu baru dua tujuh, seperti aku. Masih muda. Kita mulai lagi dari awal!”
“Bagiku semuanya dimulai dari akhir karena masa depanku sudah berakhir!”
“Kau jangan berputus asa begitu,” suaraku seperti merayu melunakkan. “Aku akan mendampingimu.”
“Terima kasih. Kaudampingi wanita lain saja. Aku masih ada urusan yang harus diselesaikan. Perhitungan terakhir.”
“Perhitungan apa?”
“Pemerkosaku sudah mati. Tapi pemilik onderneming masih hidup. Sebebas aku dari sini aku akan membunuhnya mati!”

“Itu pekerjaan orang putus asa, Bua. Jangan kau habiskan hidupmu hanya untuk sesuatu yang tak berguna. Kau masih punya masa depan.”

“Masa depan? Kataku masa depanku sudah berakhir. Ingin kupersembahkan kesucianku untuk suamiku, tapi kesucian itu direnggut orang biadab. Itu semua akibat perbuatan konglomerat yang mencaplok hutan dan tanah kami!”
“Tapi aku tetap menganggap kau suci, Bua.”
“Anggapan tak sama dengan kenyataan.”
“Tapi aku tetap ingin menikah dengan kau.”
“Carilah gadis perawan.”
“Tapi aku tetap ingin menikah denganmu. Bua lebih dari perawan.”
“Aku tak mau. Tak sudi!”
“Tapi aku akan tabah menantimu ke luar dari sini. Kita akan bangun hidup bahagia di Jakarta.”
“Tidak!”
“Tapi aku tetap ingin kau mau menikah denganku.”
“Tidak! Aku tak ingin!”
“Kita bisa berbahagia, Bua.”
“Berbahagialah dengan gadis lain.”
“Aku ingin berbahagia dengan Bua.”
“Tak mungkin!”
“Jadi kau tetap tak mau menikah dengan aku?”
“Ya!”
“Tetap tidak?”
“Menikah di luar kesucian itu dosa!”

Mataku hampir berkunang-kunang. Sebuah siluet Teluk Nyomit dan derita panjang kekasihku karena ketamakan nafsu manusia. Dalam mataku yang berkunang-kunang tampak kerusakan hutan dan tanah dan kerusakan akhlak manusia merajalela di mana-mana. termasuk kerusakan akhlakku sendiri yang dengan rakus dan tega-teganya melakukan korupsi uang negara dengan tujuan mengayakan dan membahagiakan diriku sendiri dan istriku Buamamih jika kami telah menikah dan membangun kehidupan berumah tangga di Jakarta.

Dadaku tiba-tiba menggigil tersentak berdebar kencang, sementara mataku terus berkunang-kunang. Aku rasa aku benar-benar tidak siap jika harus dibuang ke dalam neraka penjara seperti Buamamih. Bagaimana caranya aku bisa ciptakan alibi korupsi? ***

Catatan:
rotan jahab dan rotan sega = dua jenis rotan bermutu tinggi dan mahal harganya.
tanyut = pohon yang dipelihara tempat madu bersarang.
bencahaaq = salah satu jenis kayu yang tumbuh di tepi sungai dan danau; buahnya jadi makanan ikan.
rotan pelas = salah sati jenis rotan yang mahal harganya;
jembia = keris kecil dan pendek.
lou = rumah panjang orang Dayak; sama dengan kampung dan rumah adat.
puti, itir = dua jenis pohon tanyut.
entoq = kayu sejenis jati belanda.
penggolongan tebu = kayu gelondong yang dijadikan sarana pemeras air tebu.
lahan sejuta hektar = pembukaan areal sawah yang gagal di Kalimantan Tengah, di zaman Orde Baru.

Baju Natal

Kang Warsa
http://www.kompasiana.com/warsa

Satu hari menjelang Natal, Anne masih termenung duduk di atas kursi di beranda rumah. Wanita kecil, berumur 10 Tahun dengan hiasan rambut hitam legam dan panjang itu menatap jalan, kedipan di matanya hanya akan mengingatkan kalian pada seekor kunang-kunang, indah dan hampir saja padam. Pipinya putih bersih, walau bibir agak pecah -belah karena puasa. Anak kecil seperti itu kelak akan mengingatkan kalian pada seorang Oliver Twist, bocah dengan raut wajah kepedihan dan kesedihan yang bisa dibagikan kepada orang lain. Bocah yang bisa membawa kalian pada alam empati, dimana rasa sakit seakan lusinan paku menusuk dada dan jantung kalian, dan itu bisa dirasakan oleh kalian hanya dengan menatap wajah Anne.

Satu Hari menjelang Natal, Anne masih menunggu, kapan mamanya membelikan dia baju Natal. Padahal anak-anak lain telah membicarakan baju-baju baru di sekolahnya sejak seminggu terakhir ini. Natal tahun ini pasti lebih seru karena orangtua mereka telah membelikan untuk mereka baju-baju warna-warni. Natal memang akan dikunyah ibarat makanan renyah untuk anak-anak lain. Anne hanya duduk saja mengharap kepulangan mamanya.

Satu hari menjelang Natal, Anne masih berharap, mamamnya akan segera pulang dari pasar sambil membawa barang-barang, penganan, kue-kue dan sudah tentu baju Natal yang akan dipakainya ke Gereja nanti. Requim telah menggema, memecah udara alam sore, kering namun dingin, berhembus di altar pepohonan padi, gunung membiru seolah bersyukur menyambut Natal.

Satu Hari menjelang Natal, Mata Anne berkilatan, ada bahagia tersembur keluar, aura di wajahnya mengingatkan kalian pada bulat mentari sore dengan nuansa cerah emas. Satu fokus pandangan darinya menatap jalan dimana seorang ibu dengan baju merah jambu berjalan, penuh semangat, senyum, dan kalian akan membayangkan betapa di dalam diri wanita itu ada segudang kebahagiaan meskipun, jika kalian tahu, wanita itu telah lama ditinggal pergi oleh suaminya. Senyum itu sama sekali tidak keluar secara terpaksa, kecuali keluar tanpa paksaan, dan begitu hangat. Barisan giginya memang sengaja diperlihatkan kepada anaknya, supaya keceriaan dan rasa bahagia tidak akan terlepas lagi dari dalam diri Anne. Ya, kebahagiaan Anne bukan tanpa alasan, tentu saja kebahagiaan itu karena mamanya membawa barang-barang selaras dengan harapan dalam dirinya.

Satu hari menjelang Natal, Mama mencium Anne yang telah berdiri menyambutnya. Ciuman itu akan mengingatkan kalian pada cinta. Aku yakin, kalian pernah dicium oleh cinta. Penanda kebahagiaan lebih lengkap dan utuh ketika mama mengeluarkan bungkusan dan memberikannya kepada Anne. Baju Baru. Dengan alasan tertentu, maka mama berkata kepada anaknya.

” Baju Natal Untukmu…”

” Terimakasih, mama!” Ucap Anne , lalu memeluk erat mamanya seolah tidak ingin dilepaskan lagi.

Satu hari menjelang Natal, Anne menatap dirinya di cermin. Baju baru telah dipakai, dicoba, berdiri menyamping, membelakangi cermin, lalu menatap cermin lagi, seutas senyum coba dikeluarkan olehnya, memegang pipinya, dan lengkaplah ketika mamanya berkata; ” Sungguh cantik, kamu, Neu!”.

Satu Hari menjelang Natal, sebuah tangis terdengar dari rumah tetangga Anne. Anne mencoba menguping, mama pun demikian memasang telinga kuat-kuat. Lantas setelah segalanya jelas, anak dan ibu itu menggigit bibir kuat-kuat, saling menatap tanpa kata. Tangisan itu memberi berita, jika anak tetangga Anne hari ini masih belum memiliki baju Natal, padahal beberapa jam lagi hari akan berganti.

Satu hari menjelang Natal, Anne berbisik lembut kepada mamanya,

” Mama, biar baju Natal ini Anne berikan saja kepada Qinong…..”

Mama tersenyum. Demi melihat kelembutan hati anaknya. Dalam benaknya terpikir, hati Anne seolah terbuat dari mutiara yang pernah dipegang oleh Gabreal, mutiara kasih-sayang.

Malamnya, Anne memberikan baju Natal itu kepada Qinong, tetangganya. Ibu Qinong memeluk erat tubuh Anne, sambil berbisik, anak ini terbuat dari apa? Tangis pun keluar tanpa harus dipaksa dan disuruh oleh siapa pun.

Gema Requim membahana di seantero, nyanyi malaikat terdengar mengalahkan keloneng lonceng Natal dan kebahagiaan orang-orang menyuguhkan satu kemenangan, kebahagiaan menutupi Natal tahun ini. Anne dan Mama saling menatap dan tersenyum bahagia.

” Selepas dari Gereja kita ke kuburan ayah…” Kata mama kepada Anne.

Demi mendengar itu, Anne tersenyum. Diam dalam balutan gema requim yang diputar di tape recorder.

Lalu, menjelang pukul 20.00, ketika Anne akan memasuki alam mimpinya, pintu diketuk ringan. Mama membuka pintu, seseorang telah berdiri sambil membawa sebuah kardus, bisa diterka isinya pasti penuh.

” Ini untuk, Anne…!” Kata orang itu sambil meletakkan kardus di atas lantai, ” Pemberian bapak Pastur…”

Orang itu bergegas pergi. Mama membawa kardus itu ke dalam kamar Anne. Anne duduk di bibir ranjang, sambil tetap mempertahankan senyumnya.

” Kita Buka sama-sama ya?!” Kata mama.

Dan kardus pun dibuka, isnya adalah aneka kue, bahkan ada amplop, sudah barang tentu berisi uang, dan senyum di bibir Anne semakin kuat ketika di dalam kardus itu ada didapat baju baru.

” Ini baju Natalmu, Neu!” Kata ibu.

Tiba-tiba alam menjadi terang dengan kasih-sayang, kasih-sayang antara sesama manusia, tanpa batas… dan kalian akan selalu merindukannya… kasih-sayang tnpa aturan yang mengikat akan sebuah balasan dari orang lain kecuali dari Dia Yang Maha Penyanyang!

Semoga Natal Tahun ini lebih memiliki arti… Saya ucapkan Selamat Bagi Yang merayakannya

Bicara Puisi pada Seorang Bayi

Zawawi Se
http://sastra-indonesia.com/

Waktu terasa beringsut seperti siput. Duduk gelisah berganti-ganti posisi di kursi paling pinggir dalam deret ke empat sebelah kanan dibelakang Sopir Bus Patas Trigaya Putra jurusan Surabaya – Semarang diantara orang-orang yang terlelap mereguk mimpi-mimpi indah mereka sambil bersandar dikursi yang memberi kenyamanan perjalanan dengan tersedianya ruang longgar untuk bebas menggerakkan kaki kedepan selonjor atau kebelakang menekuk lutut memasukkan kaki dibawah kursi. Bus melaju seolah-olah tidak memahami betapa rinduku telah membuncah kepadanya. Menelusuri liku-liku jalan Daendles dengan debur ombak yang terkadang terdengar sayup-sayup dikalahkan oleh deru mesin dan remang-remang terlihat dari balik kaca ombak – ombak kecil tak jemu -jemunya menuju ke pantai serta kerlap-kerlip lampu dari kapal-kapal para nelayan terlihat jauh dari pantai memang dapat sedikit menghibur akumulasi kegelisahanku yang beberapa hari ini selalu memikirkannya, memendam perasaan rindu kepadaya.

Tidak seperti hari-hari biasa sebelumnya, betapa tidak dalam setiap aktivitas apapun yang aku lakukan hampir setiap saat tiba-tiba dia selalu muncul dalam benakku mengisi ruang batinku menjadi semacam rindu yang membara untuk selalu bersama dengannya, bercanda ria bersama, menyanyikan lagu ”kring-kring goes-goes” kesukaannya bersama-sama, membuatkannya susu di dot bergambar seekor induk bebek dan beberapa anak-nakanya kesukaannya, menyuapinya dengan ikan ceker yang sangat ia suka, nonton kartun spongebob yang ia sebut sebagai spongbob bob bob bob dengan menambah bunyi bob, bob beberapa kali di belakangnya dan kartun casper favoritnya. Semua itu memenuhi ruang benakku dengan frekuensi yang tak terhitung jumlahnya.

Perjalananku yang kesekian kalinya ini selama hampir beberapa tahun belakanngan terasa lebih lama dari biasanya. Mungkin karena perasaan ingin segera memberikan peluk dan cium kepadanya membuat bumi seolah mengurangi kecepatan untuk berputar pada orbitnya. Dalam gundah gulana tiba-tiba mengingatkanku pada berita tadi sore tentang gempa bumi di Jakarta, kemenangan pasangan salah satu pihak dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta dari lawannya dalam perebutan kursi kekuasaaan daerah propinsi, dan seseorang yang kukenal lewat sebuah mailing list sebagai seorang wartawan dan budayawan senior dengan beberapa karya besar yang sudah menginternasional. Entah mengapa tiba-tiba timbul dalam benakku menghubung-hubungkan peristiwa tersebut dan ingin mengirimkan pesan pendek kepadanya. Lalu Nokia 1100 tuaku yang telah hilang semua huruf, angka, dan simbol -simbol di keypadnya pun aku keluarkan dari saku dan jari jempolku dengan lincah dan cepat mulai bergoyang mengetik pesan meskipun tidak ada ada huruf, angka, dan simbol-simbol lainnya dalam keypadnya.

”Hasil pemilihan Gubernur DKI diikuti oleh gempa bumi di Jakarta, apakah ini sebuah pertanda?”

Sekilas kulihat tulisan dalam layar hitam putih Nokiaku yang telah pudar warna biru casingnya ”Messege Deliver to 08595956xxxx” sebelum kumasukkan kembali ke saku jaket Wrangler biruku yang telah pudar pula warnanya.

Bus terasa masih merangkak seperti kura-kura. Kembali Aku mencoba menenangkan diri dan berupaya menikmati perjalanan ini. Mengalihkan perhatianku dengan menolehkan kepala ke kanan melihat remang-remang lautan, terkadang pepohonan terkadang rumah-rumah penduduk silih berganti. Tiba-tiba kembali benakku merindunya.

”Ayo Nak, jalan-jalan ke Simpang Lima”

Ajakku kepada buah hatiku Sal yang masih menginjak 2 tahun 4 bulan pada bulan Agustus ini pada suatu sore sehabis Maghrib di ruang tamu ketika Ia sedang menaiki Truck mainan kesayangannya yang sering Ia pakai berputar-putar dalam rumah dari ruang tamu sampai ruang keluarga atau bahkan sampai ke dapur. Terkadang Sal menabrakkannya pada dinding tembok yang selalu membuat aku miris melihatnya karena melihat ia hampir jatuh kebelakang. Minimnya perabotan dalam rumah membuatnya lebih leluasa bermain-main dengan trucknya tersebut. ”Jalan-jalan beli es hem, Yah. Ma!, jalan-jalan beli es hem” sambung Sal kepada aku dan bundanya dengan mimik antusias, terlihat binar mata gembira dan lesung pipit kanannya nampak indah saat tersenyum. Jagoanku semata wayang dengan rambut gondrong agak kemerahan ini memang suka banget dengan ice cream. Bila diajak (memang dia akan selalu ikut) ke swalayan setelah putar-putar mencari bahan kebutuhan termasuk susu bebas laktosanya dia akan menuju box besar berjajar dua atau tiga dengan pintu geser sebagai pembuka disudut kanan swalayan. ”Kemarin dah rasa strawberry, sekarang ambil yang coklat aja, ya nak” tawar bundanya kepada Sal. Sudah bisa kutebak Sal akan mengatakan ya, karena semua rasa Ia suka.

Dada sebelah kiriku bergetar dengan sumber getaran dari saku jaketku, ku keluarkan Nokia tuaku dari saku jaket, kubaca sebuah pesan dilayar.

”Semua telah diatur sesuai kehendakNya” sender: 08595956xxx
Sebuah jawaban yang terlalu pendek dari pertanyaan yang membutuhkan uraian panjang. Atau mungkin aku berharap terlalu jauh dengan jawaban-jawaban yang diluar akal pikiran. Namun demikian rasanya jawaban itu memiliki kedalaman makna. Suatu simbol keberpasrahan makhluk kepada Penciptanya. Mungkin seperti juga kehidupanku yang harus berjauhan dengan keluarga. Dibutuhkan banyak upaya untuk bercengkerama dan bercanda ria bersama keluarga dengan jarak ratusan kilometer. Semua telah diatur sesuai KehendakNya.

”Iya beli ice cream, sama buku puisi” kataku kepada Sal. Namun sayang kami tidak jadi jalan-jalan ke Simpang Lima pada liburan itu. Aku dan Bundanya Sal terlalu lelah, Aku lelah karena habis perjalanan jauh sedangkan Bundanya Sal capek karena harus pulang malam karena tutup bulan harus menyelesaikan pekerjaan kantor sampai rampung. Memang kalau Sal dijanjikan sesuatu dia akan terus menagih dan merajuk untuk segera direalisasikan, sepertinya Sal mungkin juga anak-anak lainnya tidak sabaran bila dijanjikan sesuatu yang menarik hatinya. Beli buku puisi, Sal sangat antusias, dan beberapa saat kemudian selalau menagih dan merajuk, ”ayo yah jalan-jalan, beli buku puici, ayo Yah, jalan-jalan beli buku puici, aa…”.

Ketika pertama kali aku bilang beli buku puisi, responnya memang lucu banget, “puisi itu yang dijalan raya” katanya berulang-ulang dengan nada masih cadel. aku pun tertawa dipikirnya Puisi itu Polisi, dia memang suka banget kalo lihat Bapak/Ibu Polisi, malahan sering memberi hormat pada setiap Bapak/Ibu Polisi yang ditemui dijalan raya, tentu saja dengan serta merta Bapak/Ibu Polisi juga membalas hormat kepada Sal. Lalu aku pun menjelaskan kepadanya bahwa Puisi itu bukan Polisi, tapi puisi itu kata-kata seperti buku cerita, kumpulan kata-kata, entahlah apa Sal memahami atau tidak penjelasanku ini. Memang kami, aku, bunda Sal, Bude/Pak De, Sepupu Sal) sering membacakan buku-buku cerita. Karya-karya Clara Regina, Arleen Amidjaja, Iwan Kuswandi, dan beberapa pengarang lain merupakan cerita balita yang akrab ditelinga Sal.

Dulu Sal sangat menikmati cerita-ceritanya. Benji Sakit Gigi, Benji’s Toothache merupakan cerita favoritnya bahkan pernah Sal terbangun jam 01.00 dinihari minta dibacakan cerita Benji’s Toothache, maka dengan setengah mengantuk aku pun membacakan cerita tersebut pada buah hati semata wayangku ini. Mungkin karena sering dibacakan cerita yang sudah pernah didengarkan antusiasme Sal berkurang. Sal lebih menyukai main mobil-mobilan sambil berbaring dilantai atau menaiki truck mainan kesayangannya, Meskipun kadang-kadang menjelang boboknya Sal minta dibacakan cerita-cerita kesukaan yang lainnya seperti ”Aku Tidak Makan Sembarangan, Aku Tidak Tidur Sembarangan, Aku Tidak Main Pisau Sembarangan, dan Aku Tidak Nonton Tivi Sembarangan.

Dari rasa antusiasme yang berkurang yang kuperhatikan pada Sal atas buku-buku cerita itu lalu aku berinisiatif ingin mencoba memperkenalkannya pada puisi, barangkali Sal bisa menikmati.

Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan apa itu puisi kepada seorang Sal yang masih balita. Apakah membacakan karya sajak atau puisi kepadanya dapat memberikan manfaat baginya. Apakah Puisi dapat mempengaruhi Sal sebagaimana sastra telah mempengaruhi manusia berabad-abad lamanya sebagai simbol manusia berbudaya.

”Bang Ijo, Semarang terakhir” suara kondektur bus menyadarkanku dari lamunan. Aku pun bersiap-siap untuk turun di pemberhentian dekat lampu merah. Memang sebetulnya dilarang tapi kalau sudah larut begini kondisi jalan raya tidak begitu ramai dan sopir bus mau memberhentikan didekat lampu merah untuk menurunkan penumpang. Aku segera mencari angkutan kota setelah turun dari bus. Angkutan kota memang mudah didapatkan diwilayah ini. Mereka beroperasi selama 24 jam sepertinya. Tidak sampai sepuluh menit aku pun telah sampai di pertigaan jalan menuju rumahku. Tukang becak pun sudah menyambutku untuk mengantar meski hari telah dini. Aku sungguh kagum atas ketahanan mereka. Bertahan dalam udara malam yang dingin dengan hanya bersandar di becaknya masing-masing.

Aku langsung naik ke becak yang sudah direndahkan posisinya oleh tukang becak untuk mempermudah aku menaikinya.

”Kemana ini, Om” tanya tukang becak setelah dia memedal becaknya.
”Gang Pasar, Pak”

Jjawabku pada tukang becak tersebut sambil terheran-heran, tidak biasanya mereka memanggilku Om, biasanya mas adalah sapaan yang akrab sering aku dengar, dan aku lebih suka dipanggil seperti ini, lebih sosial bila dengarkan, entahlah mungkin ini hanya persepsiku saja.

”Nggih, Om” jawabnya.

Sebenarnya aku ingin menelepon Bundanya Sal untuk menyuruh keponakan-keponakan kami yang berada dirumah, tapi aku berpikir daripada harus membangunkan mereka di dini hari lebih baik aku naik becak saja. Kunikmati perjalanan dengan menumpang becak ini sambil melihat kekanan dan kekiri, aku jadi ingat salah satu lagu kesukaan Sal, Becak yang sering juga Sal senangdungkan sambil menirukan suara dikaset.

”Berhenti sini, Pak” kataku pada Tukang Becak.
”Nggih” jawabnya pendek.

Dua pohon bambu kuning dengan daun hijau muda jarang-jarang depan pagar disudut kanan rumahku akan menyambutmu bila engkau bertamu ke rumahku disamping angin dingin dan kadang sepoi-sepoi semilir berhembus dari telaga di seberang jalan depan rumahku.

Aku memukul-mukulkan Gembok pintu pagar sebagai tanda kedatanganku untuk dibukakan pintu. Keluargaku sudah hafal memang, bila pintu pagar dipukul-pukul dilarut malam. Salah satu keponakanku membukan pintu.

”Kok dalu, Mas”
Tanyanya, basa-basi yang sering kudengarkan bila aku datang pada larut malam. Memang keponakanku yang satu ini aneh, memanggil aku, Om-nya dengan sebutan mas, rasanya ganjil juga, tapi hal itu tidak menggangguku dan aku biarkan saja.
”Adek gak rewel” pertanyaan yang sama pula yang sering aku tanyakan bila aku baru datang.

Setelah membersihkan diri dan berganti, kubuka pintu kamar dan kulihat jagoanku semata wayang lelap tidur memeluk guling kecil kesayangannya yang bergambar spongebob. Aku dekati dia kupandangi dengan seksama dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lalu kucium pipi kiri dan kanan serta keningnya.

”Oh permataku, akankah aku tega membiarkanmu menangis bila suatu saat kelak engkau menjadi nakal, merengek-rengek, sebagaimana anak-anak lain yang selalu merajuk meminta sesuatu dengan tangisan”
”Oh buah hatiku, akankah aku suatu saat tega membiarkanmu kecewa dan nelangsa bila engkau remaja kelak engkau menjadi liar sebagaimana anak muda lainnya yang sedang mencari jati diri”

”Tuhanku alirilah dadaku dengan penuh rasa kesabaran dan kecintaan dalam mengemban amanatmu” desahku dalam hati.

BELAJAR DARI ANDREAS HAREFA

Sutejo
Ponorogo Pos

Dengan setengah kelakar, Andreas Harefa menuliskan di belakang namanya dengan tulisan “WTS”. WTS yang satu ini bukanlah akronim dari wanita tuna susila tetapi merupakan kependekan dari writer, trainer, dan speaker. Andrias Harefa, selama ini dikenal sebagai penulis buku yang tak hanya produktif tetapi juga pencetak buku la¬ris.

Menimbang ‘Ketersesatan’ Novel Adam Hawa

Damhuri Muhammad
http://www.suarakarya-online.com/

Sekali lagi, geliat proses kreatif dalam sastra berbenturan dengan construct teologi Islam. Kali ini cikal soalnya berasal dari novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan (Yogyakarta : Scripta Manent, 2005) yang tertuduh; melecehkan Qur’an. Sebuah Ormas Islam mengklaim tabiat kepengarangan Muhidin tergolong kategori hirabah (terorisme). Tak dirinci, tindak terorisme macam apa yang telah diperbuat Muhidin. Yang pasti, teks novel itu sesat lagi menyesatkan (entah siapa yang telah disesatkannya). Disebut-sebut, perangai Muhidin dalam novel itu nyaris serupa perilaku menyimpang Salman Rushdie dalam The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan). Karena itu, perlu diluruskan, dikembalikan ke ‘jalan yang benar’, dan bila perlu dimurtadkan, dikafirkan.

Novel itu mengusung imaji ganjil, tak lazim dan tentu saja ; ‘menyimpang’. Mengobrak-abrik, merubuhkan, mengacau-balaukan pemahaman dogmatis, normatif dan taken for granted menyangkut sejarah penciptaan manusia pertama (Adam). Ketaklaziman paling mencolok adalah asal muasal Adam yang bukan dari tanah (diberi keutamaan hingga para malaikat diperintah bersujud), tapi terpacak dari ketiak kanan Tuhan. Lewat narasi kocak, penuh senda gurau dan olok-olok yang menggelikan, Muhidin gambarkan betapa tersiksanya Tuhan akibat gatal maha gatal yang jangkiti ketiak penuh bulu itu. Tuhan menggaruknya dengan kasar maha kasar, hingga ketiak-Nya robek, berdarah dan membikin sebuah lubang kecil. Dari lubang itu, bayi yang kelak bernama Adam dilahirkan.

Dalam ‘imaji sinting’ Muhidin, martabat kemuliaan nenek moyang manusia tak hanya telah terpuruk ke dalam kosmologi penciptaan yang hida-dina, tapi juga memaklumatkan keterciptaan kaum laki-laki sebagai salah satu kecerobohan terbesar Tuhan. Dari titik ini, semesta amarah, sentimen dan apatisme pengarang mulai dirancang, lalu terkonstruksi sedemikian rupa, hingga nyaris menggapai derajat sesat maha sesat (bila dihadapkan pada teks-teks sakral yang amat memuliakan Adam). Apatisme itu, agaknya berangkat dari tafsir konstekstual terhadap sebuah dialog antara Tuhan dan para malaikat (QS : 2 : 30) menyoal kehendak-Nya menciptakan seorang khalifah di muka bumi. Para malaikat berkata ; “Khalifah yang hendak Engkau ciptakan di muka bumi itu adalah orang yang bakal buat kerusakan dan tumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih memuji-Mu, menyucikan-Mu?”. Tuhan berfirman : “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tak kalian ketahui”. Kata kunci yang dipilih Muhidin untuk kembangkan layar estetik dalam Adam Hawa tak lain adalah kekerasan, permusuhan, muslihat, tipu daya yang semuanya bersumber dari manusia, makhluk paling sempurna itu. Maka, ‘etos’ kekerasan paling purba tak bermula sejak berkobarnya api permusuhan antara Khabil dan Habil, tapi sudah bersitumbuh sejak dari Adam. Bukan pula sejak Adam beroleh pendamping Hawa, tapi lebih jauh sejak Adam temukan Maia di Taman Eden, di bawah rindang pohon Khuldi. Satu lagi ketersesatan Muhidin; Perempuan pertama adalah Maia, bukan Hawa. Maia, korban pertama perilaku kasar Adam. Disekapnya perempuan itu dalam lorong gelap Rumah Batu tanpa ampun, diperkosanya sepuas hati, hingga suatu ketika Maia berontak, tak berkenan lagi selalu berposisi di bawah himpitan tubuh kekar Adam pada setiap sesi persenggamaan mereka. Adam menolak keras permintaan lancang itu. Sebab, sudah kodratnya perempuan bakal berada di bawah. Ditindih dan dihimpit laki-laki. Selaku makhluk yang langsung menyembul dari tubuh Tuhan (Muhidin menyebutnya; putera Tuhan), Adam merasa terhina. Menghina Adam sama saja dengan menghina Tuhan. Alhasil, Maia terusir dari Rumah Batu setelah terjadi perkelahian hebat yang tinggalkan bekas cakaran kuku Maia di wajah Adam.

Keterusiran Maia yang buahkan sakit hati, dendam kusumat dan gejolak permusuhan tak bersudah inilah yang menjadi mainstream dalam Adam Hawa. Pelarian Maia berakhir di Taman Kiram. Di sana ia bertemu Idris, lelaki yang kemudian mempersuntingnya. Perkawinannya dengan Idris tak lagi dilandasi cinta, tapi sekedar muslihat untuk beroleh keturunan yang bakal balaskan dendamnya pada Adam. Sementara itu, Adam sudah punya Hawa yang tercipta berkat doanya pada Tuhan. Berbeda dengan Maia, Hawa adalah perempuan penurut yang terima kodrat sebagai pelayan Adam. Amat cerdas dan nyaris sempurna, pengarang gambarkan siasat dan tipu daya Adam yakinkan Hawa, bahwa tak pernah ada perempuan lain dalam hidupnya. Hanya Hawa seorang. Dihapusnya semua jejak kenangan bersama Maia yang masih tersisa di Rumah Batu, hingga Hawa benar-benar terpedaya dibuatnya.

Tak lama berselang, lahirlah kembar Maemunah dan Khabil yang kelak sangat dibenci Adam. Darah dagingnya itu dianggap telah merampas kehangantan hubungannya dengan Hawa. Lagi-lagi, Adam jalankan muslihat untuk singkirkan Munah dan Khabil. Diusirnya Khabil dari Rumah Batu setelah duel hebat antara anak dan bapak yang tentulah dimenangkan Adam. Siapa yang kalah, mesti angkat kaki, begitu perjanjian yang mereka sepakati. Digantungnya Munah di atas salah satu dahan pohon Khuldi setelah dicekiknya, hingga mati. Bagi Adam, Khabil dan Munah adalah anak-anak terkutuk, penyebab kian gelapnya aura Taman Eden, hingga tak pernah lagi dikunjungi malaikat pesuruh Tuhan. Karena itu, keduanya harus dimusnahkan.

Sampai di titik ini, makin terang terbaca eksplorasi tematik yang hendak disuguhkan, yakni Kekerasan atas Nama Tuhan, yang sudah jamak terjadi dalam jagat peradaban manusia paling mutakhir. Sibuk bertikai, rusuh dan saling bunuh demi Tuhan. Adam berperilaku kejam, sadistik, paranoid dengan mengatasnamakan Tuhan, sesekali lebih berkuasa dari Tuhan, atau diam-diam telah menuhankan diri sendiri. Inilah makna keganjilan dan ketaklaziman imaji Muhidin yang terlanjur dianggap ‘menyimpang’ dan sesat lagi menyesatkan itu. Keganjilan macam ini memang berisiko tinggi bila berhadapan dengan normatifitas dalil naqli, tapi mungkin akan jadi lazim dan lumrah bila disigi dengan perangkat tafsir kontekstual. Saya tak bermaksud membela, apalagi melegitimasi pencapaian ‘estetika tak biasa’ ini, tapi hanya sedang membaca Adam Hawa sebagai bentuk sasmita Tuhan yang tersampaikan melalui lidah pena Muhidin.

Lihatlah luapan amarah Khabil setelah ketahui Maia ternyata bekas perempuan Adam, sakit hati Mafu’ah (puteri Maia dari perkawinannya dengan Idris) setelah ketahui kekejaman Adam pada ibunya dan akumulasi dendam Maia pada Adam! Bukankah semuanya bermula dari kekerasan atas nama Tuhan yang diperbuat Adam? Akibatnya, Taman Eden yang semula aman-damai dengan tujuh kurcaci penjaga kebun dan sesekali dikunjungi malaikat Pesolek, tiba-tiba mengobarkan api permusuhan, perseteruan tiada akhir. Adam terbunuh dengan cara amat mengenaskan di tangan Marfu’ah. Puteri Maia itu bersiasat membangkitkan birahi Adam yang masih bergelora, namun fisik dan staminanya sudah uzur. Ia mati terjungkal akibat energi syahwat yang tak lagi mampu diwadahi jasad ringkihnya, nafasnya kembang kempis, selangkangannya kucurkan darah, sebelum temui ajal di hadapan Marfu’ah.

Ikhtiar menggunakan perspektif agama dalam mengukur derajat ketersesatan teks sastra tampaknya bukan perkara gampang. Bila kurang hati-hati, alih-alih temukan titik terang, justru yang diperoleh hanya cibiran bahwa menghubung-kaitkan antara sastra dan agama adalah mustahil dan sia-sia. Seperti pernah diungkap oleh Ribut Wijoto (2002) ; “Agama bersuara pada tataran etika, sementara sastra bersuara di dataran estetika. Agama menciptakan pagar, sastra membongkarnya. Sastra merayakan kerapuhan, agama memperkokohnya kembali.”. Adam Hawa memang telah membongkar, merusak, merubuhkan pagar, merapuhkan kekokohan tafsir tekstual terhadap teks suci. Bagaimana membangun pagar itu kembali? Bagaimana memperkokoh kerapuhan itu? Jawabannya tentu saja dengan membaca novel itu, menyelami ceruk-ceruk terdalamnya, menemukan asbab al-wurud-nya, menafsirkannya secara kontekstual dan tak tergesa-gesa menyimpulkannya sebagai buku sesat lagi menyesatkan, apalagi memurtadkan novelis yang (konon) masih berdarah santri itu. Tabik untuk Muhidin.

Catatan Redaksi:
Penulis adalah Alumnus Program Studi Ilmu Filsafat Pascasarjana Universitas Gadjah MadaEmail : damhurimuhammad@yahoo. com
Selain menulis cerpen, juga menulis esai sastra dan resensi buku di Kompas, Republika, Media Indonesia, Koran Tempo, Jawa Pos, Suara Merdeka, Suara Pembaruan, Suara Karya, Sinar Harapan, Bali Post, Lampung Post, Riau Pos, Sriwijaya Post, Waspada, Singgalang, dll
Buku antologi cerpennya ; LARAS, Tubuhku Bukan Milikku (2005)

SURAT KEPADA GERILYAWAN*

Herry Lamongan
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Satu hal kau benar: besar nyali. Dengan besar nyali itu rasa percaya diri berbiak. Proses kreatif dibangun. Alhasil, puluhan buah karyamu kau bukukan. Kau seleksi kau edit, selanjutnya kau terbitkan dan pasarkan sendiri. Bila Chairil Anwar memilih sesanti sekali berarti sudah itu mati. Kau tidak. Kau seakan berkejaran dengan usia, berkarya demikian banyak, apa pun: puisi, esei, atau sekadar ujaran, kemudian kau lepas ke ruang publik berkitab-kitab, sejak “Takdir Terlalu Dini” hingga yang sekarang ini “Kitab Para Malaikat”.

Umumnya para penulis memulai karir dengan mengirimkan karya ke berbagai media massa. Mungkin kau pun pernah. Sesungguhnya, dengan jatuh bangun, gagal/berhasil lewat media massa itu seorang penulis berkompetisi. Tulisan-tulisannya teruji. Dan hanya penulis bernyali besar yang tahan menghadapi seleksi redaksi media massa. Tampaknya, meski nyalimu pun besar, kau tak mau repot jatuh bangun menempuh jalan publikasi media massa. Kau lebih mengandalkan cara “gerilyawan”, datang ke kantong-kantong kesenian, kampus, juga pesantren, kemari kau jajakan sendiri karya-karyamu. Kau publikasikan buku-bukumu secara langsung dari pintu ke pintu.

Tentang antologi puisi “Kitab Para Malaikat” apa yang bisa saya komentari? Kang Maman S. Mahayana sudah begitu jeli dan panjang lebar mengulasnya. Bagi saya kau tinggal mengunyah-mamah ulasan itu, memilah-memilih bagian yang paling pas, lantas menjadikannya semacam daya dorong untuk meningkatkan kualitas karya-karyamu berikutnya, bukan hanya mengejar kuantitas. Ini langkah lanjut setelah sekian puluh buah tanganmu membuku. Setelah belasan diskusi gerilyamu menegur, menginterogasi, bahkan mengritikmu.

Terasa hampir di setiap puisi dalam antologi “Kitab Para Malaikat” ini ada lompatan-lompatan imaji yang saling bentur, yang tampaknya gagal kau padukan menjadi suatu bangunan puisi utuh. Bahkan dalam sebait puisi (dengan tanda angka romawi) yang hanya dua baris pun, terkesan upaya memanjang-manjangkan kalimat yang justru mengaburkan makna larik itu, misal:

Yang setia menyusuri jalan menapaki pantai hakikat, segera tahu
bunga Wijayakusuma merekah, bagi syarat penobatan Ratu Adil (XVIII).

Seperti pula ketika kau gunakan kosa kata bahasa Jawa, kurang mampu menampilkan citraan yang kuat sebagaimana harapanmu. Sebagai misal periksa larik:

…berkepompong senyawa pucuk daun manunggaling bayu semesta bathin (XIV: IX). Atau larik berikut ini:

…Anggur tumpahkan nurani atas cengkeraman gelisah dirasuki wedi … (XVIII: XCV)

Puisi-puisi dalam “Kitab Para Malaikat” kau tulis dari tahun 1998 – 1999. Jika pada tahun 2007 ini baru bisa diterbitkan, berarti sudah mengendap sembilan tahun. Sudah sublim. Dalam pengembaraan panjangmu selama ini “Kitab Para Malaikat” serta, dan kau ajeg merevisinya. Ketika masih ditemukan beberapa kekurangan di sana, itu hal biasa, karena kata-kata bisa juga tak mampu sepenuhnya menampung gagasan. Atau selera penyaji bertolak belakang dengan selera penikmat.

Tapi, engkau benar, tanpa nyali yang besar seseorang sangat sulit menghasilkan karya, apalagi karya sastra. Dengan cara unik dan nekat engkau telah membuktikan hal itu. Jakarta, Yogya, Jember, Tanjungkarang, Malang dan banyak kota lain pun berhasil engkau jadikan sasaran gerilya. Khas gaya Nurel. Apa pun, benar jua ujaran ini: kekuatanmu adalah kelemahanmu, dan kelemahanmu adalah kekuatanmu. Salam!

*) Epilog KPM (Kitab Para Malaikat)

Jejak Asketisme Intelektual

Bandung Mawardi *
http://www.korantempo.com/

Sejarah intelektual kerap diperkarakan dalam ranah kekuasaan. Wacana pengetahuan dan kekuasaan telah menjadi dominasi dalam pembentukan Indonesia dan konstruksi identitas intelektual. Pembacaan dan penafsiran intelektual dalam ranah kultural dan spiritual masih jarang diungkapkan dengan pelbagai alasan. Kondisi ini mungkin jadi dalil untuk Sartono Kartodirdjo (1921-2007) mengeluarkan risalah Asketisme Intelektual (1999). Risalah pendek ini menjadi tanda tanya dan tanda seru untuk publik memikirkan ulang identitas dan peran intelektual di negeri ini.

Risalah itu menjadi jalan lain untuk penyadaran bahwa kelahiran intelektual di negeri ini ditentukan oleh orientasi kultural-spiritual. Persemaian intelektual pada abad XX memang ada dalam bayang-bayang kuasa kolonialisme dan globalisasi, tapi masih memberi jalan untuk pilihan pada individu untuk mengafirmasi diri dalam olah kultural dan spiritual. Asketisme merupakan ikhtiar menjadi manusia-intelektual tanpa melupakan akar dan jejak sebagai fondasi. Wacana dan praktek asketisme intelektual pada saat ini mungkin ada di pinggiran tapi tidak bisa disepelekan.

Tokoh

Sartono Kartodirdjo lahir dan tumbuh dalam lingkungan kultural Jawa. Ahli sejarah ini memang melakukan petualangan pengetahuan ke pelbagai peradaban, tapi kentara memiliki akar kuat kejawaan. Ilmu sejarah justru mengantarkan Sartono pada kesadaran dan pencerahan terhadap hikmah Jawa. Hikmah Jawa ini memiliki keunikan ketika disandingkan dengan hikmah dari pelbagai peradaban dan agama. Sartono pun mafhum bahwa menjadi intelektual membutuhkan olah jiwa atau laku dan bukan sekadar urusan akademik dan kekuasaan.

Sartono mengungkapkan bahwa asketisme dilakoni dengan olah jiwa dalam moral dan spiritual dengan menghilangkan keinginan atau hawa nafsu jasmaniah. Definisi ini mendapati pembenaran dalam ajaran Wedhatama gubahan Mangkunegara IV mengenai mesu budi. Ajaran mesu budi ini dalam konteks Jawa berkaitan dengan nglakoni, prihatin, dan mengorientasikan diri dalam “dunia-dalam”. Pengertian konklusif dari mesu budi adalah kepemilikan etos dalam ikhtiar intelektual untuk memberi kontribusi dalam ilmu pengetahuan, seni, teknologi, atau politik. Asketisme intelektual itu menjadi identik dengan Sartono Kartodirdjo karena proses menjalani hidup mengaitkan diri dalam orientasi kultural-spiritual Jawa.

Catatan mengenai asketisme intelektual pada masa lalu bisa dicontohkan pada sosok Sosrokartono (1877-1952). Intelektual ini memiliki reputasi internasional karena otoritas pengetahuan dan penguasaan terhadap belasan bahasa asing. Sosrokartono tumbuh pada awal abad XX sebagai masa persemaian modernitas di Hindia Belanda. Gelar akademik dan pergaulan intelektual di Barat tidak membuat Sosrokartono larut dalam sihir rasionalitas-modernitas. Kesadaran kultural-spiritual Jawa masih kental dan disemaikan. Godaan-godaan politik-kekuasaan tidak diladeni dengan tunduk atau takut. Sosrokartono justru memilih pulang ke negeri sendiri. Asketisme dijalani dengan tapa brata (bertapa-meditasi), sebagai fondasi untuk pengajaran kepada sesama. Inilah pengabdian dari jalan asketisme intelektual.

Asketisme intelektual juga tampak pada sosok Soedjatmoko (1922-1989). Intelektual ini sejak mula sadar bahwa ikhtiar dan kerja intelektual mesti memiliki tarikan dengan akar tradisi. Soedjatmoko sendiri mengafirmasi kejawaan untuk memberi penggenapan dalam dialektika rasionalitas-spiritualitas. Asketisme terbentuk dalam pergulatan nilai dan peka untuk memberi tanggapan terhadap fakta-fakta sosial. Kaum intelektual di tengah bangsa sedang berkembang, tanpa kesanggupan mengembangkan hubungan dengan tradisi, akan tersisihkan atau teralienasi. Kesadaran dalam laku intelektual itu menentukan pemikiran-pemikiran Soedjtamoko cenderung memiliki akar-akar tradisi Jawa dan kontekstual. Revitalisasi menjadi kunci untuk mengolah tradisi dalam arus dan alur progresivitas zaman.

Jalan asketisme intelektual Sosrokartono, Soedjatmoko, dan Sartono Kartodirdjo itu kentara jarang ditempuh oleh para intelektual mutakhir. Sejarah terus mencatat bahwa keintiman intelektual dan kekuasaan tak bisa dimungkiri. Model ini mengandung hukum transaksi dan kompensasi. Intelektual susah menghindar dari godaan untuk masuk atau tunduk dalam kekuasaan. Pengabdian terhadap penguasa kadang jadi tindakan pragmatis atas nama status sosial dan material. Sosok intelektual mengalami dilema ketika dia tidak sanggup menghadapi kekuasaan dengan arif sebagai konsekuensi mesu budi.

Spirit kepakaran

Sartono mengungkapkan bahwa inti dari asketisme intelektual adalah pemunculan spirit kepakaran (expertise) dari intelektual. Kepakaran ini mesti memenuhi nilai-nilai: otoritas, otonomi, otentisitas, dan integritas. Nilai-nilai idealistik ini mungkin susah dibuktikan untuk menilai kehadiran sosok-sosok intelektual di negeri ini. Kaum intelektual mutakhir justru repot untuk menjadi pegawai negeri, mengurus proyek, atau mencari jabatan. Sikap pragmatis ditampilkan berbarengan dengan ketiadaan penghargaan dari negara terhadap jerih payah kaum intelektual. Kontradiksi terus terjadi tanpa janji ada penemuan solusi.

Asketisme intelektual mungkin solusi, tapi susah dijalani. Sistem pendidikan, sistem politik, tatanan sosial, dan lakon kultural mutakhir seperti jadi jerat dari hukum pasar. Modernitas dan kapitalisme telah mengajarkan bahwa hidup itu berat dan mesti dilakoni dengan kelihaian agar tak mati sia-sia. Ajaran itu lalu memunculkan risiko keserakahan dan pragmatisme. Kaum intelektual sebagai penyeru kesadaran kadang masuk dalam jerat-jerat itu, karena memperhitungkan pamrih dan pelbagai pengorbanan ketika menempuh pendidikan.

Siapa mau menempuhi jejak asketisme intelektual pada hari ini? Negeri ini telah sesak dengan intrik politik dan keramaian pasar. Kaum intelektual tanpa sungkan mengabdikan diri pada kekuasaan melalui partai politik, parlemen, kabinet, atau institusi negara tanpa kesadaran terhadap anutan kultural-spiritual. Keintelektualan bisa saja digadaikan untuk merayakan pamrih-pamrih duniawi. Asketisme intelektual mungkin jadi jalan kecil dan sepi. Begitu.

PENGGAGAS TEMU KAUM INTELEKTUAL MUDA DI BALAI SOEDJATMOKO, SOLO

Membongkar Doa — Sebuah Puisi Ragil Supriyatno Samid –

Abdul Aziz Rasjid
http://sastra-indonesia.com/

DOA

baiknya segera Engkau putuskan
tinggal ataupun pergi
tentu saja sama baiknya sebab

Engkaulah yang terbaik:
sang maha tinggal, maha pergi

(Dari catatan Ragil Sukriwul, facebook 19 Juli 2009 jam 8:19)

Dalam doalah, aku kira, kita menjadi jujur-sejujur-jujurnya. Selain itu, Doa juga upaya memahami diri yang tak dirumuskan berdasar pandangan dari banyak orang, namun berusul dari kebutuhan pribadi. Doa, usaha membongkar dan belajar untuk berani menghadapi apa yang selama ini ditakuti. Petanda yang memperlakukan secara jujur getar konkrit yang mengalir sebagai kefanaan. Dari itulah, aku kira kemudian, doa bukan usaha membaca Tuhan, apalagi menterjemahkannya. Tapi sekadar belajar mengeja diri. Dan apapun macam ragam kata-kata dalam doa –seperti puisi “DOA” yang ditulis Ragil itu misalnya– lahir dari kebutuhan pribadi yang tak bisa disalahkan sebab tiap doa punya mohonnya masing-masing.

Dalam puisi “Doa” itu, aku lirik memohon begini: “Baiknya segera engkau putuskan/ tinggal ataupun pergi” dan itu sah-sah saja bukan karena aku lirik memang ingin berlaku begitu. Aku pribadi menangkap – Walau aku lirik memang tak menulisnya dalam lirik—aku lirik berani untuk menanggung resiko ditinggalkan Tuhan, yang nyatanya tak jarang orang berani menghadapi perihal ini. Lantas, mengapa aku lirik menjadi berani atau senekat itu? Jawabnya tersirat dalam keyakinan yang terujar dalam bait-bait ini: “tinggal ataupun pergi/ tentu saja sama baiknya sebab/ Engkaulah yang terbaik”. Urai kata aku lirik itu, saya kira, tak berbeda dengan ujar ini: “Sebab tuhan tak mungkin salah dalam mengambil keputusan”.

Keberanian itu, sisi positifnya, berpotensi membuat apa yang dilakukan aku lirik –perilaku baik atau sebaliknya– bukan lagi semata-mata sebab takut atas hukuman dan ingin upah pahala dari Tuhan. Tetapi tak lebih sebagai aktualisasi dari potensi afektif dan potensi kognitif yang dimilki manusia. Bila kita kait- kaitkan perihal itu pada konteks masa kini, perihal itu menjadi paradoksal dalam keumuman yang terjadi dalam perdabam kini: Kehidupan bersandar pada kepentingan modal dan apa saja telah berada dalam kekuasaan perdagangan, kehidupan spiritual tak jarang pula lantas diterlantarkan. Namun di sisi lain, manusia enggan pula berlaku jujur untuk mengakui telah kehilangan kemanusiaannya atau sengaja menanggalkan kemanusiaannya, sebab jujur adalah pengakuan terhadap dusta bahwa keduniawian lebih dirasa penting daripada Tuhan. Celakanya pula, tak jarang juga manusia berlebihan menaruh kepercayaan pada benda-benda yang mengusung citraan imajiner maupun simbolik yang dianggap dapat mengangkat derajat atau status sosial di lingkungannya.

Yang menarik saya kira, Tuhan dalam puisi “Doa” itu, nyaris tak digambarkan oleh aku lirik berdasar citra manusia lagi, dimana kualitas-kualitas Tuhan dan manusia disadari berbeda. Realisasi potensi manusia akan terbangun dalam kesadaran ini, sebab potensi afektif dan kognitif bukan didasarkan lagi pada laba pahala dan rugi dosa. Namun sayangnya, ada yang dilematis dalam lirik sajak “doa” itu; ketika aku lirik meyakini bahwa “tinggal atau pergi sama baiknya sebab engkaulah yang terbaik” mengapa mesti capek-capek aku lirik menyuruh tuhan untuk segera memutuskan (“baiknya segera Engkau putuskan”), padahal aku lirik telah menaruh percaya, bahwa Tuhan tak mungkin salah dalam mengambil keputusan, maka andainya pun Tuhan memutuskan untuk tak pergi juga tak tingga,l hal itu bukan bagian dari kesalahan keputusan. Disinilah soalnya saya kira, aku lirik masih terjebak pada kecenderungan Antropomorfisme dalam memandang Tuhan.

Lantas bagaimana dengan larik ini “sang maha tinggal, maha pergi”, biarlah pusi berjudul Al Qodir ini (Emha Ainun Nadjib dalam Syair-syair Asmaul Husna, hal. 128-129) menemani dalam upaya memahami larik itu, sekaligus menjadi penutup yang semoga pintu menemu tuju bentuk religiositas baru yang akomodatif bagi aktualisasi keimanan pelengkap komentar yang sekriwil rambut panjang Ragil: …Allah/ bukan saja tidak meninggalkan mereka, bahkan ia/ tak/ membiarkan hamba-hamba-Nya menjadi manja,/ Terlampau/ bergantung pada keajaiban kuasa-Nya serta/ memubadzirkan kemungkinan bahwa mereka bisa/ mengerjakan perubahan diri mereka…Allah Maha kuasa sehingga Ia bukan Dzat/ yang perlu merendahkan diri-Nya dengan turun/ tangan/ mengurusi soal-soal kecil yang sudah Ia amanatkan/ kepada hamba-hamba-Nya.

25/12/10

Izroil dan Bunda Malin (klarifikasi dongeng Malin Kundang)

Muhammad Zuriat Fadil
http://sastra-indonesia.com/

And I have to be sure
When I walk out the door
O ,How I wont to break free…
(I Want to Break Free, Queen)

Hari itu Izroil sedang mendapat tugas berat, yakni mencabut nyawa seorang ibu yang dulu pernah mengutuk anaknya menjadi batu. Setelah menyelesaikan tugasnya di beberapa tempat dan waktu yang berbeda, Izroil pun kembali melesat dengan kecepatan cahaya membelah ruang menembus zaman, menuju kediaman Bunda Malin. Ibu itu rupanya sedang termenung dalam lamunan ketika Izroil sampai di depan pintu kamarnya.

Lima tahun telah berlalu sejak peristiwa itu terjadi. Peristiwa yang menggemparkan para malaikat ruhaniyyun di atas sana dan para manusia setempat. Seorang ibu yang mengutuk anaknya menjadi batu, tentulah sorang ibu mulia yang diberi karomah oleh sang pemilik segala kesaktian. Inilah yang membuat Izroil sedikit nervous menjalankan perintah itu. Kalau hanya sekedar jendral, presiden, raja, kiai, ulama, pendeta, para pejabat, pengusaha, rektor, preman pasar, dekan, dukun dan lain-lain sih bukan masalah bagi Izroil, toh mereka cuma terhormat di kalangan para manusia. Tapi ibu ini….tentulah dia berlimpah kasih dari Sang Maha Kasih. Huff… tapi bagaimanapun beratnya Izroil mesti menjalankan amanah ini, sebab inilah tugasnya. Mencabut nyawa. Dan dengan inilah kehidupan seseorang akan lengkap, kematian. Lalu pada gilirannya, keseimbangan dan keselarasan kehidupan akan berjalan harmonis.

”Selamat malam ibu yang mulia,” Izroil mulai menyapa.
”Apakah kau malaikat pencabut nyawa itu, hai orang asing yang sedari tadi berdiri di depan kamarku?”. Di luar dugaan rupanya Bunda Malin sudah mengetahui kehadiran Izroil sebelumnya. “Ya, ini hamba, hendak menjalankan tugas membimbing nyawa ibu mulia menuju kehidupan nyata.”

“ Halah! Kau mau mencabut nyawaku. Bilang saja begitu, tak usah bertele-tele!”. Mata Bunda Malin masih menerawang jauh, tampak tak fokus. Heran juga Izroil dibuatnya sebab biasanya para kekasih Tuhan selalu berwajah tenang dan tanpa beban, terutama saat menjelang ajal. Tapi memandang wajah Bunda Malin, Izroil seolah sedang menangkap adanya beban berat dalam diri sang Ibu.

Apakah Ibu mulia takut menghadapi ajal?
“Tenang saja Ibu mulia, hamba akan melakukan tugas ini dengan perlahan dan sehalus mungkin. Dirimu adalah orang yang dikasihi, tentu tidak akan….”

“APA KATAMU??!!!! DIKASIHI??!!!!” suara Bunda Malin menggelegar bahana memotong kalimat Izroil. Memecah keheningan alam malam, merobek kesunyian, disertai tatapan mata tajam menatap Izroil seakan menembus makhluk nur itu. Kalaulah Izroil punya jantung, tentulah sudah melompat dari tempatnya semula. Bagaimana tidak? Melihat prestasi Bunda Malin dalam hal laknat-melaknat, bukan tidak mungkin Izroil berpikir akan dilaknat juga. Seorang anak manusia dikutuk menjadi batu oleh ibunya karena durhaka, bolehlah bisa diterima oleh catatan sejarah panjang umat manusia. Tapi sesosok malaikat pencabut nyawa dikutuk menjadi batu? Wah….bisa- bisa malah jadi bahan tertawaan ummat akhir zaman nanti.

”Oh, rupanya malaikat sepertimu pun tidak mengerti perasaanku yang sebenarnya?”
Jelas sekali Ibu Mulia, hamba tidak dibekali pengertian tentang perasaan Bani Adam agar bisa melaksanakan tugas ini seefekitif dan seefisien mungkin.

”Semua orang menganggapku sebagai ibu yang mulia sampai bisa melaknat anaknya menjadi batu. Apa yang bisa kulakukan dengan anggapan konyol itu? Tidakkah mereka melihat penderitaan ku setelah kejadian itu? Hari-hari yang kulalui dengan beban berat derita. Setiap kali aku ke pantai, aku melihat patung anakku dengan wajah memohon ampun. Penderitaan apa yang bisa lebih berat dari seorang ibu yang mesti melihat anaknya menderita tiap kali? Sesungguhnya, saat itu bukanlah Malin yang dikutuk. Akulah yang sejatinya dilaknat Sang Maha Pemaaf.”

Izroil tak mengerti, memang bukan tugasnya untuk mengerti segala sesuatu, tapi rasa penasaan itu nakal juga hinggap begitu saja. “Ibu Mulia, bukankah doamu yang mustajab itu adalah bukti bahwa dirimu adalah manusia pilihan? Bukankah itu adalah karomah yang diberikan oleh Sang Maha Mulia sebagai balasan atas kesabaranmu?”

”Sabar? Yaa… semestinya aku bersabar. Sebab kesabaran tidak mengenal batas, wahai malaikat. Kemarahanlah yang sesungguhnya berbatas. Bagai tebing jurang curam, sekali kau terperosok maka tak ada jalan keluar darinya…. Uhuk…Uhuk…!” Bunda Malin sudah kembali tenang, mungkin juga karena paru-parunya yang sudah sedemikian lemah. Perasaan bersalah yang sedemikian berkecamuk dalam dirinya membuatnya susah tidur beberapa tahun belakangan. Udara dingin malam beserta angin dari pantai rupanya ampuh mengerjai paru-parunya. Tapi sebenarnya penyakit paru-paru itu hanya salah satu agen bawahan Izroil, untuk merasionalisasikan kematian sang Ibu.

”Maafkan, tapi hamba yang berasal dari alam malakut ini belum mengerti Ibu Mulia. Kau sudah menunggu anakmu yang merantau bertahun-tahun lamanya. Sekembalinya dia dari perantauan, dia malah tidak mau mengakuimu sebagai ibunya. Jelas sekali bahwa Malin adalah anak durhaka dan patut dihukum atas kesombongan dan kedurhakaannya. Apa yang membuatmua berpikir bahwa engkaulah yang dilaknat dalam perkara ini?”

Terbatuk beberapa kali. Sambil meminum air dari gelas yang memang dipersiapkannya, Bunda Malin melanjutkan penjelasan. ”Bahwa malin berdosa atas diriku tentu saja ya, tapi menganggap akulah pihak paling benar tanpa satu kesalahan dalam permasalahan ini, tentu tak bisa dibenarkan juga. Aku bersabar menunggunya, tiap hari aku menantinya, jelaslah saat itu kesabaranku diuji oleng Sang Maha Penyabar dan Maha Pemaaf. Ketika kedatangan Malin, aku sungguh bersuka cita. Apa yang kunantikan, kupikir akhirnya tiba juga. Tapi aku melupakan satu hal wahai malaikat, bahwa ujian dari-Nya sebenarnya berlapis, tak berkesudahan. Saat itulah puncak dari ujian kesabaranku. Apa yang kau sebut sebagai karomah atau kelebihan yang diberikan kepadaku, tidak lain sekedar buah dari kemarahan sesaat yang sedang bersimaharaja di hatiku. Dan itu adalah kesalahaan fatal. Sisa hidupku harus dihabiskan dengan menerima penderitaan ini serta rasa bersalah tak berujung. Maka betapa aku menantikan hari ini wahai malaikat, hari ketika semua penderitaan ini berakhir. Jadi cepatlah, cabut nyawaku, akhiri semua penderitaan ini, biarlah manusia-manusia sesudahku belajar dari kesalahan yang kubuat.”

Belajar?
”Oh ya, sepertinya memang seperti itu Ibu mulia. Hamba baru saja dari masa depan untuk mencabut nyawa beberapa manusia di sana. Di masa depan nanti kisahmu menjadi dongeng pelajaran untuk anak yang durhaka.”

Di luar dugaan, ketika mendengar kabar dari masa depan itu, batuk Bunda Malin makin keras dan parah, bahkan sudah sampai mengeluarkan darah. Tubuh rentanya bergetar akibat menahan kemarahan. Matanya memerah menatap Izroil dengan tatapan setajam Golok Pembunuh Naga milik Tiau Bu Ki dalam serial To Liong To.

Aduh Gusit diri sejati, aku salah apa lagi….kumohon….jangan kutuk aku jadi batu. Ibu Mulia…..
”Oh tidak mungkin, sesederhana itukah tafsir mereka atas kisah ku?”
”Seperti yang kau tahu Ibu Mulia, kemampuan intelektual manusia semakin menurun dari zaman ke zaman. Tapi di mana letak salahnya pengartian itu? Bukankah benar kisah ini adalah tentang anak durhaka?”

“Ya, ini adalah kisah tentang anak durhaka… Uhuk…” batuk lagi, kemudian melanjutkan, “tapi manusia tidak boleh lupa bahwa selain itu, ini juga adalah kisah tentang ibu yang durhaka.”
”Ibu durhaka?”

”Ya, durhaka terhadap kesabarannya. Kemarahan seorang ibu adalah kemarahan Penciptanya, laknat Ibu adalah laknat-Nya. Inilah yang mesti mereka pelajari. Hal ini bukan fasilitas, tapi ujian bagi setiap ibu untuk menjadi sesabar yang Maha Sabar. Mereka mesti menyiapkan dirinya untuk terserap pada sifat-sifat Ilahi itu, sebab kasih ibu adalah penggambaran sempurna kasih Tuhan yang kudus di atas dunia dan semesta.”

Ibu Mulia, andainya kau tahu bahwa pemikiran semacam itu nantinya akan mengguncang dunia lewat karya-karya Hegel dan Ibn Arabi. Sayang bukan dalam wilayah dan kuasaku untuk memberi informasi tentang tabir misteri zaman

”Apa yang mereka anggap benar belum tentu benar, manusia masa depan mesti belajar melihat dari sudut pandang yang lebih luas… Uhuk… Uhuk…”

Sedang para pewarta di masa depan nanti akan mempelajari itu sebagai hal yang wajib mereka lakukan, mereka menyebutnya dengan istilah cover both side, tapi ibu mulia ternyata telah lama menyadari pentingnya melihat dengan sudut pandang yang lebih universal.

”Kesalahan terbesarku adalah mengharap timbal balik dari kasih sayang yang telah kuberikan selama ini. Kesalahanku jua adalah mengharapkan anakku Malin tumbuh seperti yang kuinginkan, aku terlalu menginginkan dia tumbuh persis seperti harapanku,” sembari terbatuk ia melanjutkan kalimatnya, ”sedangkan seorang pujangga pernah berkata, anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Mereka adalah putera-puteri kehidupan”

Pada suatu masa yang pernah kukunjungi syair ini begitu populer……..
“Mereka datang melalui kalian tapi bukan berasal dari dirimu dan walaupun mereka bersamamu tapi mereka bukan milikmu”
Ya ya….tidak salah lagi aku pernah dengar syair ini di suatu tempat…..hmmmm……
Sedang Bunda Malin masih melanjutkan berpujangga ria, Izroil masih sibuk mengingat-ingat dimana mendengar syair ini dahuluuu….di masa depan.

“Kau boleh memberi mereka cintamu, tapi bukan pikiranmu karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri, kau boleh merumahkan tubuh mereka tapi bukan jiwa mereka uhhuukkk……”
Batuk Bunda Malin semakin keras dan berdarah-darah…….

Astaga! Ini kan karya Kahlil Gibran! Pujangga yang dijuluki Sang Nabi dari Lebanon…. syair ini disuarakan melalui tokoh rekaannya Al Musthafa. Ibu Mulia, mungkin tabir fisikmu sudah terbuka sedemikian lebar sehingga memorimu sudah rancu bercampur dengan memori semesta, kau bahkan membaca syair yang penulisnya saja belum lahir.

Konon bila seluruh air laut ditumpahkan ke wajah Izroil, maka seluruh air itu bahkan tidak akan sampai menetes dari wajahnya saking besarnya dia, namun saat ini rasa Iba tumpah juga dari mimik wajahnya.
“Uhukk….karena jiwa mereka berkelana dalam rumah esok hari, yang tidak dapat kau kunjungi sekalipun dalam mimpi”

Sayang sekali Ibu Mulia, pada masa datang, syair-syair Gibran dicetak hanya untuk kepentingan pasar untuk mereka yang mereguk keuntungan dari penjualan buku-buku nya, dan mereka sengaja membuat kesan bahwa orang yang membaca Gibran itu romantis atau spiritualis, oh! Manusia masa depan yang kering cahaya…Ibu Mulia, sudah sejauh manakah tabir itu terbuka untukmu?
Namun demi melihat tubuh Bunda Malin yang semakin melemah akhirnya berkata jugalah Izroil memotong pembicaraannya.

”Ibu Mulia, hamba rasa tenggang waktu telahpun tiba. Kalau mengulur waktu lagi kasihan tubuh rentamu itu sudah tidak sanggup menampung keliaran sukmamu yang semakin kangen pada asalnya. Maka izinkanlah hamba melaksanakan tugas ini.”

Izroil pun mulai menyiapkan prosesinya dan menunjukkan surat tugas dari Sang Maha Raja di atas Raja pada Bunda Malin. Bunda Malin toh sudah tidak peduli, dia sudah rindu betul pada kampung halamannya. Kampung halaman Malin juga, kampung halaman semua makhluk, kampung halaman semua semesta tempat segala berpulang.

Sembari sedikit demi sedikit nyawanya dicerabut dari fisik rentanya samar-samar terdengar suara Bunda Malin lirih melanjutkan syair…..
“Kau boleh berusaha seperti mereka tapi jangan membuat mereka menjadi sepertimu, karena hidup tidak berjalan mundur atau berkaitan dengan hari kemarin”
“Semoga Freud tak perlu mendengar bait yang terakhir kau bacakan itu Ibu Mulia, sebab dia sangat menghargai peran masa lalu dalam hidup manusia.”

Bunda Malin hanya tersenyum, dia toh tidak tahu siapa itu Sigmun Freud sebab mungkin dan sedang membicarakan seseorang yang belum lahir pada zaman itu, tapi tak apalah sebentar lagi dia juga akan melewati batas ruang waktu yang njelimet ini.
”Dan katakanlah padaku malaikat, seperti apakah tempat yang kutuju setelah aku tanggalkan semua bentuk wadag padat ini?”

”Ibu Mulia, yang kuhormati dan kusegani….terus terang hamba sendiri tidak bisa menjelaskannya, sebab ketika hamba berinteraksi denganmu hamba masih mesti terikat dengan bahasa sedangkan engkau memintaku menjelaskan suatu tempat yang tidak ber ruang, ketika hukum waktu runtuh, dan segala kata bahasa tak mampu menjelaskannya”
”Ya…..baiklah-baiklah, sebentar lagi juga aku akan mengerti”

Sedangkan Izroil sambil melaksanakan tugas rutinnya itu masih tersenyum geli membayangkan jalannya legenda Malin Kundang ini, sembari membatin, “Gusti, Dikau kekasih yang bersaksi melalui diri hamba, bahkan aku yang tercipta dari cahaya pun tiada sanggup mengetahui misteri-misteri penciptaanMu, seberapa besarkah sebenarnya pengetahuanmu itu? Adakah kau tertawa mengetahui ketidak tahuan kami, makhlukMu?”

21/12/10

Puisi-Puisi Zawawi Se

http://sastra-indonesia.com/
Memandangmu dari Sisi Benakku

melihatmu dari sisi benakku
diantara cahaya mata terpaku
juga pada redup matamu
temaram siluetmu
di antara celah-celah bidai bambu
membayang samar pada pagar
mengisahkan kedalaman duka
atau rasa rindu yang masih tersisa
memisahkan antara benar dan alpa
dalam jazirah perjalanan luka

engkau berdiri menepi
mungkin itu sebuah isyarat
engkau telah jenuh menanti
atau telah tak ada arti
ribuan jarak yang terlewati
entah apa yang engkau cari
diantara beribu ujung argumentasi
mungkin mempertahankan eksistensi

tak ada warna abu-abu di langit kita
karena Tuan kita hanya memberi
dua warna antara mawar atau melati
yang tertanam pada masing-masing hati

Semarang, 20 November 2010



Bacalah

“bacalah,” begitulah ungkap-Mu yang paling romantis itu dan semua seperti tersihir untuk menyitir dan mengungkapkannya.
lalu kami pun menjadi mahir untuk membaca dan meneriakkannya. namun kami hanya pandai membaca aksara-aksara yang ditulis oleh para tetangga, sedangkan ketika membaca huruf-huruf yang kami gores ke dada sendiri, kami menjadi gagu dan alpa.

Sidomoro, 18 November 2010



Haruskah Engkau

haruskah engkau memenuhi rongga batinku
menyita hampir-hampir seluruh ingatan
menjadikannya seperti sejenis rindu

haruskah engkau mengisi kota hatiku
memenuhi hampir-hampir seluruh ruang kosongnya
dengan baris-baris namamu

ya hanya namamu
teringat olehmu seperti mengenang derita purba sebuah kota
orang-orangnya tertawan berbagai derita dan senjata

lalu tiba-tiba orang-orang itu menjelma menjadi hatiku
sedangkan senjata itu adalah namamu
mungkin juga senyummu

engkau tak kan pernah tahu di mana letak derita
karena aku telah menyimpannya
di dada

Sidomoro, 10 November 2010



Apa Kabar, Pagi?

apa kabar, pagi?
di tengah-tengah hiruk pikuk
debu-debu industri
masih sempat ku dengar
Engkau bernyanyi
pada pokok-pokok dedahan
dan reranting sunyi

Sidomoro, 8 November 2010



Pantun Rindu

patuh dalam didih dadaku
jatuh dalam pedih batinku
menyimak amsal sendu tak diam-diam
gelegak magma rindu tak padam-padam

Sidomoro, 19 November 2010



Angin Pagi

angin pagi menyeret anganku kepadaMu dalam iringan orkesta tubuh yang rapuh.

10/12/10

Puisi-Puisi Eka Budianta

http://www.suarakarya-online.com/
Kenangan Pramoedya
(6 Februari 1925 – 30 April 2006)

Kamu mencintai tulang dan pori-pori
Bumi kelahiranmu dan semua bangsa
Para korban kebodohan yang terlupa

Tetapi ketika kautulis kebenaran
Kamu dijebloskan ke penjara
Buku-buku dan pembacamu teraniaya

Akan kukenang Pramoedya
Dengan seluruh keangkuhan saudaraku
Yang tidak sanggup memahami & mencintaimu

Di langit hatiku hujan telah reda
Tinggal namamu tertulis dan bersinar
Menagih cintaku pada bumi manusia

(2006)



Perjalanan Sungai

(1)
Sungai yang dulu menangis
Di antara batu-batu di pegunungan
Sekarang telah sampai di kota
Dan akan terus menuju ke laut

Tak lagi terdengar derai air terjun
Udara sejuk, nyanyian burung, semerbak bunga
Telah berganti panas terik dan polusi
Sampah, minyak bekas, ikan-ikan mati

Tapi aku terus mengalir
Menyilakan kapal-kapal berbeban berat
Masuk dari muara
Menyambut hangat hempasan ombak dunia

(2)
Sungai-sungai kecil, sungai-sungai besar
Bergelora dalam hidup singkat ini
Pegunungan dan air terjun memanggil
Burung-burung mencicit
Menyulut awan putih
Menjadi lautan menyala
Menyepuh nama-namamu

Kota-kota kecil, kota-kota besar
Gemuruh dalam sunyi hati
Burung-burung menyayat sungai
Mengalirkan cinta
Di ambang usia saat butir-butir pohon
Menunggu undangan dari langit yang kekal

(2003)



Sebelum Laut Bertemu Langit

Seekor penyu pulang ke laut
Setelah meletakkan telurnya di pantai
Malam ini kubenamkan butir-butir
Puisiku di pantai hatimu
Sebentar lagi aku akan balik ke laut.

Puisiku – telur-telur penyu itu-
mungkin bakal menetas
menjadi tukik-tukik perkasa
yang berenang beribu mil jauhnya
Mungkin juga mati
Pecah, terinjak begitu saja

Misalnya sebutir telur penyu
menetas di pantai hatimu
tukik kecilku juga kembali ke laut
Seperti penyair mudik ke sumber matahari
melalui desa dan kota, gunung dan hutan
yang menghabiskan usianya

Kalau ombak menyambutku kembali
Akan kusebut namamu pantai kasih
Tempat kutanamkan kata-kata
yang dulu melahirkan aku
bergenerasi yang lalu

Betul, suatu hari penyu itu
tak pernah datang lagi ke pantai
sebab ia tak bisa lagi bertelur
Ia hanya berenang dan menyelam
menuju laut bertemu langit
di cakrawala abadi

Jakarta, 2003

Eka Budianta lahir di Ngimbang, Lamongan, Jawa Timur, 1 Februari 1956. Penulis produktif ini mengenal secara pribadi Pramoedya Ananta Toer sejak 1983. Kedekatannya dengan Pramoedya dituangkan dalam buku “Mendengar Pramoedya” tahun 2005. Karya terakhirnya Eka Budianta Mekar di Bumi terbit tahun 2006.

Puisi-Puisi Ahmad Syauqi Sumbawi

http://www.kr.co.id/24 May 2003
MARI MENYANYI

mari bernyanyi
di antara langit dan bumi
tembang cinta yang terlupa
yang menjadi candu
ketika gigil rembulan
mengurai air mata

mari bernyanyi
bersama mahatma gandhi
ahimsa yang terluka
di bukit senja

krapyak, 03



AHIMSA
* in memoriam mahatma gandhi

ia berjalan, memutar
di tengah-tengah palagan
dalam genggamannya
ahimsa berkibar senantan
redam letusan dua senapan
dari peluru-peluru berdesing
menembus dada sena yang sifir
terduang oleh tahta yang rangah

ia bersimbah darah
namun, ahimsa tegak menancap bumi
kibar bersama angin
bernafas dalam sukma
meski nafsu serakah menyiapkan
air sembilan kematiannya
selamanya

krapyak, 03



DIKEBIRI

kita telah dikebiri
bayang tak dikenal
menikam setiap gerak
detik demi detik
dan sepanjang itu
kelahiran bayi yang suci, murni
tak akan pernah terjadi
di atas bumi

kita telah dikebiri
tapi,
waktu ingin berputar kembali
agar bayi yang suci, murni
terlahir di atas bumi

krapyak, 03

08/12/10

Kenapa Albert Camus Absurd?

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=636

Dalam bukunya “The Rebel” yang diindonesiakan Max Arifin, terbitan Bentang 2000. Di sana aku membaca pendapatnya: “Manusia adalah satu-satunya makhluk yang menolak untuk menjadi dirinya.”

Bagiku, ia sosok pelancong jauh yang tidak mudah dikibulin para pengembara sebelumnya. Jika boleh menentukan faham, merupakan jajaran sastrawan kelas wahid. Di hadapannya; filsuf, sejarawan juga kaum pelaku total menghidupi nafas kesusastraan, yang tak sekadar berindah-indah dalam penciptaan karya.

Mengkonstruksi ulang faham Hegel, menyelamatkan cinta butanya Karl Marx pada masyarakat tertindas. Mengekang gerak awan merah surealis, agar selepas jalannya revolusi, tidak menambah runyam mendirikan bentuk-bentuk kediktatoran anyar lebih anarkis. Menyadari nihilisme juga sanggup, tepatnya memiliki hasrat perusak yang punya sifat kekejaman serupa.

Camus dengan jiwa “tergopoh,” ingin menempatkan kaki-kakinya di lahan sejarah yang diyakininya sebagai fitroh alami, yakni absurd. Tersebab hati mudah terbolak-balik, kerap pangling menemukan silang-sengkarut. Dalam kondisi tertentu di ruang-ruang berbeda atas tekanan suhu udara, yang sering dipermainkan perubahan mengintriki manusia.

Kadang aku melihatnya menyerupai nabi Isa menghidupkan tubuh sudah mati, dalam kelahiran kedua mereka diajaknya berbincang menerus. Di sana penggalian sunyi, peristiwa puitik dimainkan segugus gagasan cantik, yang menawarkan pertimbangan jeli tinimbang orang kesurupan.

Kesadaran menawan menciptakan dirinya di ambang tragedi, terus was-was mengolah ruang-waktu demi selalu genap pun ganjil sepadan. Ia tak katakan benar atau keliru pun tidak memutuskan hukuman, sebelum memiliki alasan pribadi. Di langit membiru, ia mengajak merenungkan nasib anak-anak manusia yang didera jarak masa dengan tongkat absurditas, menapaki lelangkah berat menuju pengakuan, bahwa hidup memang simalakama.

Tanpa sungkan aku pernah menyusuri sungai nalarnya, yang menambah keyakinan dalam melengkapi gairah buku esaiku pertama: ”Trilogi Kesadaran” (Kajian Budaya Semi, Anatomi Kesadaran & Ras Pemberontak), walau tampak masih terburu.

Herbert Read dalam mengantari bukunya mengeluarkan keyakinan: “The Rebel” ialah sebuah buku yang hanya muncul di Perancis. Dan dengan sok menjijikkan hidup, “Trilogi Kesadaran,” hanya lahir di bumi Nusantara.

Dengan bacaan meluas, Camus seakan tak punya sifat kefanatikan. Selalu mengukur batas capaian, tiada ingin lepas merasai wujud keberjamanan yang dikenyamnya. Menentukan batas kemampuan insan, yang di mata orang luar dapat dianggap plin-plan. Tapi tidakkah kita selalu diuji coba diri sendiri setiap waktu?

Kalau tak ingin mandek dalam ketumpulan pun kecerdasan menggelikan mata? Adalah orang aneh di sisi jalan, kita di jarak tertentu terkagum pula bisa menertawakan. Yang pendiam sedikit kesulitan didekati berbagai kepura-puraan.

Maka selisih waktu perubahan watak peranan dijadikan penelitian dalam karya-karyanya dan esai-esainya yang tak memiliki pribadi mengejutkan. Sebab pada derajad tertentu, keterkejutan beban nasib terbentuk, sudah sangat berdaya ganggu luar biasa.

Kata “tergopoh” di atas, wujud spontanitas murni yang berangkat dari fikiran waras, selalu dipanasi penyelidikan, mencurigai nilai-nilai, apakah sejarah ataupun bersumber agama. Betapa kodrat insani yang rapuh, perasaan tak mampu menggembol keseluruhan, terjadilah (absurd). Serupa awal penerimaan bacaan atau kedipan pertama menjulurkan kasih sayang.

Ia bukan pembangun argumentasi beralasan menyelamatkan diri sebelum bertindak, nalar beningnya menghantarkan pilihan mengagumkan. Corak yang dapat dibahasakan sebagai kesadaran spiritual. Tiada kesamaan dengan orang licin berbagai manipulasi, menjebak dengan perangkap nilai, meski diterima khalayak umum, lebih-lebih kaum fanatik.

Pernah kubayangkan, jika Camus hidup di masa Nietzsche, tak akan terjadi bencana besar yang ditimbulkan perang dunia kedua yang dipelopori Hitler, seminimal mengurangi kesumatnya. Tetapi aku insaf, kesadarannya hadir selepas jauh mengoreksi huru-hara revolusi Perancis, serta bukan kaca pantul Voltaire, cermin pesimistis dipecahkan terlebih dulu, sebelum melayarkan pandangannya.

Atau demikian kerusakan di bumi diseimbangkan irama lain dan ini menyelaraskan harmoni. Meski di persimpangan kerap muncul kepentingan yang tak masuk akal, hasrat lebih yang juga pembawaan makhluk bernama manusia.

Dengan ruh keseluruhan berontaknya menyeleksi ulang pelbagai perolehan jaman sebelumnya, demi dikemukakan kembali. Ialah tak menyodorkan jawaban, tapi tanda tanya besar membuat mereka menggigil lekas berpulang, pada kemurnian paling mendasar. Bukan mencanangkan insan adiluhung impian banyak orang, namun meleburkan diri bermusik didengungkan alam ganjil terjamah pembeda, mampu membelah di atas dinamikanya yang paripurna.

Ia menyadari absurditasnya berasal pecahan bintang nihilisme Nietzsche yang berkembang secara mandiri, mendewasakan bentuknya untuk faham diyakini. Jangan-jangan ia tak punya hantaman mematikan, bagi rahang orang Jerman itu. Yang menyebut ateis lebih bermoral daripada yang agamis tanpa kendali. Dan faham lebih beringas menyudutkan agama sebagai candu mematikan, tercebur jurang dekadensi moral kerinduan di tepian masa pancaroba.

Aku percaya, telah lewati penelitian seksama pun resikonya berat, jika berhadapan langsung dengan nihilisme, sebelum benar-benar matang sebintang terang berdaya sorotan lebih sedari pendahulunya. Begitu dirinya bersikap, menghadapi tukang ramal berkumis tebal penyokong ras arya tersebut.

Di titik ini, Camus bermain perihal masa depannya laksana sulapan. Aku melihat agak bergeser sedari absurditas yang diusungnya, atau begitu kala menghadapi dukun filsuf. Tapi seyogyanya mengeluarkan alat-alat bedah yang steril, agar penyakit yang ditangani tidak merantak menjalar mengganggu penyelidikan, pun diagnosanya bisa dipertanggungjawabkan lebih mandiri.

Atau di sinikah strateginya, memaksa Nietzsche bunuh diri dengan pisaunya sendiri, seperti dikatakan di awal bagian Penegasan Mutlak:

“Sejak saat manusia meletakkan Tuhan di bawah penilaian moral, ia mengikis-Nya dari dalam hatinya sendiri. Dan apa yang menjadi dasar moralitas itu? Tuhan ditolak atas nama keadilan, tetapi dapatkah gagasan keadilan itu difahami tanpa gagasan dari Tuhan? Sampai di sini, apakah kita tidak berada dalam daerah absurditas? Absurditas adalah konsep yang ditemukan oleh Nietzsche sendiri.”

Pada tipe apapun; absurditas, eksistensialisme, nihilisme, tetap memiliki ruang pembusukan, tempat pasif merusak kejadian pencipaan mendebarkan. Menghabisi nikmatnya persetubuhan jiwa dan raga, menghambat gemuruh ruh pemberontakan dalam diri.

Semua beresiko terperangkap lubang buaya kemandekan, pembodohan dilakukan orang-orang waras, tapi ingin lebih dengan hidup ugal-ugalan. Para penyerangnya tidak jauh, biasanya anak turun yang diberontak.

Kalau setiap aliran berkumandang atas kesederhanaan masing-masing, bisa dimungkinkan dalam lingkaran roda terarah. Punya rotasi sendiri yang menjaga gravitasi ialah selamat bermawas diri. Hanya mandek tak bergerak, puas kebodohannya, girang kecerdasannya, lalai menjemput ajal, abai mempersiapkan menuju bilik nafas kebugaran nirwana.

Aku teringat musabab bunuh dirinya Yasunari Kawabata, yang mencium faham ketakmampuannya, setelah bintang Nobel terpecahnya. Tak sanggup menghidupi serpihannya menjelma gemintang terbaru, senada nasibnya supernova.

Riwayat ledakan akhir suatu faham sepatutnya membentuk formasi gemintang anyar, sebab kelahirannya niscaya. Jika tak ingin bedah caesar, pula biarlah mendekati kematangan demi melengkapi nafas-nafasnya di alam kehidupan. Jikalau dihentikan, akan datang pemberontak yang punya keinginan serupa, mempreteli kursi-kursi tanggung berayun-ayun terpuaskan. Membawa palu, gergaji serta api keabadian sepadan, dipastikan terbakar berhala-berhala kejayaan.

Selamatlah yang bersanggup seimbangkan kabut kejiwaan, memperbaharui niat menggagalkan senyuman kemayu atas kesadaran tertinggi. Yang diberkahi kemampuan menguak kejadian bersusah payah, guna tak terjadi huru-hara. Atau lenyapnya faham, diganti yang lebih bisa mengayomi jaman dikandungnya.

Lamongan, Jawa 25 September 2010

Seorang Odysseus dari Solo [Halim H.D.]

http://majalah.tempointeraktif.com/

SUATU pagi di Surakarta, 1995. Seorang lelaki yang berpenampilan sederhana bergegas menemui beberapa kawannya. Ia menitipkan sepotong pesan, “Kalau terjadi sesuatu, tolong cek keberadaan saya di kejaksaan.” Sesudah teman-temannya paham, ia buru-buru pergi kantor kejaksaan di daerah Kepatihan, Solo. Di sana ia mesti menjelaskan kiriman lewat pos yang diterimanya, beberapa jurnal kesenian dari Amerika dan Eropa.

Lelaki berkacamata minus ini me-mang kerap menghadapi panggilan aparat. Selain dari kejaksaan, ia kerap mendapat “undangan” dari komando rayon militer (koramil) dan komando distrik militer (kodim). Hanya, saat ia menghadapi panggilan kejaksaan kali ini, teman-temannya tak perlu cemas terlalu lama karena ia akhirnya pulang dengan selamat.

Halim H.D., nama orang itu, bukan-lah seorang aktivis politik. Dia hidup dari dunia kesenian meski bukan seorang seniman. Lelaki berusia 52 tahun ini memiliki peran yang cukup penting dalam pengembangan seni di negeri ini. Halim menjadi otak pengelolaan berbagai kegiatan, dari pertunjukan hingga seminar. Perannya lebih sering di balik layar. “Sulit kalau ditanya apa pekerjaan saya. Saya lebih suka menyebut diri saya sebagai penulis atau kadang-kadang art networker,” katanya.

Kini Halim tinggal di rumah kontrakan di Kampung Tegalharjo, Jebres, Solo, yang sudah ditempatinya sejak enam tahun silam. Di rumah inilah ia kerap mengadakan acara pemutaran film untuk penduduk setempat. Bila bepergian ke kota lain untuk merancang atau menghadiri kegiatan seni, Halim, yang sampai sekarang masih bujangan, hanya berbekal sandal jepit dan tas kain berisi buku.

Sebagai orang Cina, kehadirannya di dunia seni menjadi unik. Nama aslinya Liem Goan Lay, sepotong nama yang tak dikenal warga seni Indonesia. Lain kalau kita menyebutnya Halim Hardja atau biasa disingkat Halim H.D. Hampir semua seniman mengenal nama itu. Nama tersebut disandangnya ketika ia masih di SMP, tak lama setelah Soe-harto mencanangkan “program pembauran” yang memaksa nama-nama asli Cina dihilangkan.

Halim mencintai seni sejak kecil. Ia terlibat pementasan drama sejak duduk di kelas empat sekolah rakyat. Saat menjadi aktor di panggung, Halim pernah lupa naskah yang mesti dihafalnya karena gugup. Sejak saat itu, ia memilih menjadi koordinator. Kegiatan ini dia lakukan pula di rumah. Halim mengatur latihan dan pementasan Gelora Cening, nama kelompok gambang kromong milik kakaknya. Kegiatan semacam ini berlanjut hingga sekarang, hanya skalanya lebih besar.

Dibesarkan oleh pasangan Lim Cing Siang dan Kun Oo Nie, Halim punya sembilan saudara. Dia lahir di Kampung Paramarayan, Serang, Banten, pada 25 Juni 1952. Meski ayahnya seorang pedagang sekaligus petani, Halim tak pernah dipaksa meneruskan bisnis orang tuanya. Ketika masih duduk di sekolah rakyat, ia sebetulnya sudah dipercayai oleh ayahnya untuk mengelola sebuah gudang. Apalagi Halim sudah bisa menentukan kadar air barang dagangannya, dari melinjo, kacang tanah, keledai, sampai beras. Tapi keluarganya sangat demokratis. Dia juga dibiarkan pergi ke gereja bersama kawan-kawannya kendati orang tuanya menganut Buddhis-Konfuisme.

Sikap itu mungkin dipengaruhi oleh banyaknya bacaan di perpustakaan pribadi keluarga Lim Cing Siang. Mereka juga berlangganan koran. Jangan heran jika Halim doyan membaca sejak kecil. Terinspirasi novel Agatha Christie dan buku-buku filsafat, ia sempat tertarik menjadi detektif atau filsuf. Akhirnya ia belajar di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada sejak 1972 dan keluar tanpa lulus pada 1977.

Latar belakang pendidikannya membuat Halim kian berbeda dari orang Cina umumnya, yang cenderung menggeluti dunia bisnis—begitulah pandangan terhadap budaya Cina. Dia kurang setuju terhadap cara mengekspresikan budaya Cina hanya dengan menonjolkan barongsai dan liong. Di mata Halim, ini sekadar “Mandarinisasi”. Yang lebih penting, bagaimana orang Cina berperan tak cuma di dunia ekonomi, tapi juga di bidang sosial dan budaya. “Kini orang Cina kehilangan kepemimpinan yang memiliki perspektif sosial yang kuat,” ujarnya tegas.

Orang-orang Cina zaman dulu lebih berakar. Halim mencontohkan keberadaan organisasi Hok Tek Beng di Banten. Organisasi yang berdiri sejak 1919 ini menyelenggarakan berbagai kegiatan sosial, dari menolong orang sakit, mengurus kematian, hingga membantu korban bencana.

Kehidupan Halim di dunia seni bukanlah tujuannya sejak awal. “Aku sebenarnya tertarik dengan hal-hal baru,” ujarnya. Dorongan inilah yang memberinya kekuatan mengayuh sepeda sepanjang 30-an kilometer dari Yogya ke Parangtritis demi melihat acara Kaum Urakan. Saat itu ia masih bersekolah di SMA di Yogyakarta. Bersama beberapa teman, dia bolos sekolah untuk melihat aksi W.S. Rendra dan Arief Budiman, yang dikenalnya lewat majalah Horison.

Pada 1980-an, ia kerap mondar-mandir ke Salatiga untuk berkumpul dengan Ariel Heryanto dan Arief Budiman, pendiri Yayasan Geni. Pertemuan ini lebih bersifat berbagi pengalaman. Halim ketika itu aktif mengorganisasikan sebuah koperasi untuk buruh.

Kedekatannya dengan Arief Budiman dan Ariel Heryanto sempat mendatangkan masalah saat ia mengadakan sarasehan kesenian bertajuk “Sastra Kontekstual” di Solo pada Oktober 1984. Pihak Akademi Seni Karawitan Indonesia sebagai penyelenggara hampir membatalkan acara itu. Mereka khawatir kehadiran Arief dan Ariel akan mengundang petaka karena keduanya tengah diincar pemerintah Orde Baru. Akhirnya Murtidjono, pemimpin Taman Budaya Surakarta, mengusulkan memakai Monumen Pers.

Halim sendiri juga sering diincar. Banyak surat yang tidak sampai ke rumahnya atau mampir dulu di kantor kodim, koramil, ataupun kejaksaan. Akibatnya, ia sering dipanggil dan diinterogasi. “Terus terang saya takut karena berhadapan dengan institusi yang bisa melakukan apa pun,” ujarnya.

Dia memang tak sampai ditahan. Tapi pernah selama berhari-hari Halim diperiksa dari pukul sembilan pagi hingga tiga sore. Pertanyaan yang diajukan berkisar tentang apakah ia mengenal beberapa nama. Dengan diplomatis Halim menjawab bahwa ia tentu saja mengenal nama-nama tersebut dari koran. Urusan dengan aparat ini berlangsung hingga 1995.

Rintangan dari aparat tidak mengendurkan aktivitasnya di dunia seni. Halim terus mengembara. Terkadang sekadar menonton pertunjukan, kerap pula ia memprovokasi kawan-kawannya agar bersemangat melakukan kegiatan seni. Dialah yang berperan mementaskan Takeya Contemporary Dance Company (TCDC-Tokyo) di Solo pada 1995.

Bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan Philippines Educational Theater Association (PETA), Halim pernah pula mengorganisasikan workshop teater dan sastra untuk masyarakat pedesaan di berbagai kota di Jawa pada 1983-1988. Lima tahun silam, ia pun memprakarsai terselenggaranya Makassar Arts Forum.

Pada 1989-1992, giliran ia menularkan pengetahuannya dengan mengajarkan budaya di Universitas Michigan, Amerika. Halim juga sempat menjadi asisten riset Benedict Anderson, Indonesianis dari Cornell University. Bahkan, pada 1998, ia menjadi pembicara dalam acara “Konferensi Studi Indonesia-Asia” di Melbourne, Australia.

Kelincahan dan juga kesederhanaan Halim membuat kawan-kawannya heran. “Saya heran, dari mana ia mendapat uang hingga bisa pergi ke mana-mana. Saya kenal Halim sejak 1970-an dan sekarang masih saja seperti itu,” kata Suprapto Suryodarmo, pendiri Padepokan Lemah Putih, Solo, yang juga jebolan Fakultas Filsafat UGM.

Keheranan itu dijawab enteng oleh Halim. Ia mengaku dibiayai teman-temannya yang menampung dan mengundangnya datang ke berbagai kota.

Mirip Odysseus dalam mitologi Yunani yang suka mengembara, Halim tidak pernah berhenti menjelajahi dunia seni, jauh dari hiruk-pikuk urusan bisnis yang biasa digeluti orang Cina. Ketika TEMPO menemuinya awal Agustus silam, ia sedang berkemas untuk bepergian ke Tegal. Setumpuk pakaian dan buku sudah disiapkan. Bersama dengan dalang Ki Enthus Susmono, ia akan mengadakan sebuah workshop. “Saya sedang mendorong teman-teman di sana untuk membuat semacam festival kebudayaan pesisir,” katanya.

Tentu kali ini Halim tak perlu repot-repot meninggalkan sepotong pesan buat kawan-kawannya di Solo.

Sang penyair dan sang panglima [W.S. Rendra]

Goenawan Mohamad
http://majalah.tempointeraktif.com/

PADA suatu malam Agustus 1970 W.S. Rendra ditahan. Ia, bersama 10 orang lain, bersemadi di petak rumput di tengah Jalan Thamrin, Jakarta. Malam itu beberapa ratus mahasiswa menyiapkan secara massal aksi “Malam Tirakatan”, sementara gabungan pasukan bersenjata bermaksud menggagalkannya. Bentrokan kekerasan dikhawatirkan.

Rendra dan yang lain-lain telah berhasil membujuk para mahasiswa (di pimpin Arief Budiman) untuk mundur saja, dan sebagai ganti menawarkan diri untuk melakukan semadi dan tirakatan di tempat yang telah ditetapkan.

Fihak penguasa agaknya menyangka Rendra dkk sebagai demonstran yang bandel, dan ia ditahan 20 jam. Walaupun dalam interogasi yang dilakukan malam itu seorang tahanan menamakan tindakan mereka sebagai “tumbal” buat mencegah terjadinya bentrokan antara mahasiswa dan tentara, sedikit sekali difahami motif Rendra dkk malam itu.

Dalam suasana bertentangan, orang yang tak mengabungkan diri memang sering sulit direngerti. Apalagi oleh mereka yang fanatik. Dan cerita Mastodon & Burung Khondor adalah tentang semua itu.

Ada militer yang berkuasa dan melaksanakan pembangunan, ada mahasiswa yang melakukan perlawanan revolusioner dan ada seorang penyair yang menentang kedua hal itu sekaligus.

Ditaruh dalam latar nun jauh di Amerika Latin, cerita bikinan Yogya ini dengan sangat efektif sebenarnya berbicara tentang Indonesia. Atau mungkin lebih tepat: tentang pandangan Rendra mengenai sekitarnya dan dirinya.

Tokoh Jose Karosta, sang penyair, tidak silap lagi adalah semacam potret-diri. Kata “semacam” perlu dicantumkan di situ, jika kita terbiasa mengartikan potret-diri adalah seperti yang dibikin Affandi. Sebab bila Affandi mendramatiskan ketidak-elokan paras, Rendra memproyeksikan sebuah ideal dalam diri Jose Karosta. Bila Affandi tak tertarik untuk kontur, dalam tokohnya Rendra justru seperti membubuhkan aureole.

Jose adalah penyair yang dikagumi dan dikitari orang banyak, suka gadis semampai, suka eksperimen kesenian, pembaca sajak yang merangsang urat syaraf”, radikal dan suka mempertanyakan, “tidak memerlukan lembaga” dan boleh dibilang anti-politik dan anti revolusi tapi merupakan musuh bagi yang berkuasa dan menindas.

Terkadang terlintas gambaran yang nyaris kenabian dalam tokoh ini: dalam Bab V, Jose Karosta berada di atas bukit membacakan doa puitis, dikelilingi oleh para pengikutnya, sementara orang-orang yang ditindas dan dihinakan datang mengadu.

J.K. hampir berarti Jesus Kristus. Buat membangkitkan perlawanan rakyat kepada pemerintah kaum revolusioner bahkan menganggap penting untuk mengusahakan agar Karosta ditangkap. Mungkin di sini paralelisme antara Kristus dan Karosta tak terlalu kentara, walaupun bila kita mendasarkan perbandingannya dengan drama penyaliban yang pernah disusun Rendra di tahun 1963, Cinta Dalam Luka.

Tapi setidaknya sang penyair begitu penting, hingga di bagian akhir drama ini ia bisa mengancam kaum pemberontak: “Kalau sesuatu terjadi pada diri saya, barisan revolusi akan terpecah dua”. Katolik.

Sebenarnya tak perlu terlalu jauh untuk meninjau bayang-bayang kekristenan lakon ini. Pun tak teramat relevan buat mencoba mempertalikannya dengan lakon Paraguay Tercinta yang dipentaskan Rendra di tahun 1961 — juga tentang cita-cita keadilan & kemerdekaan, revolusi, dan kekuasaan kelembagaan (agama) di Amerika Latin.

Tapi yang patut dicatat ialah bahwa bagaimanapun Rendra kini tak lagi Katolik, ia masih bisa terus dengan imaji dan lambang pemikiran religius yang tumbuh melalui artikulasi Katolik. Ia tak bisa lain apabila ia hendak otentik, jujur dengan dirinya sendiri. Latarbelakang Katoliknya telah membantunya menciptakan sajak-sajak yang bagus.

Dan tak seorang penyairpun dapat begitu saja menanggalkan mithos-mithos yang menemaninya sejak kecil dalam pertumbuhan dirinya. Dunia kanak yang penuh dongeng dan amsal yang indah adalah perbendaharaan yang sah. Demikianlah kita lihat dalam Mastodon Rendra, dengan latarbelakang Katoliknya — apalagi Katolik Jawa bisa menampilkan fikirannya tentang dialektik antara badan dan roh, dengan tegas, yakin, wajar.

Dan lewat tokoh Jose Karosta jelas luka di mana Rendra berdiri: ia menghargai badan, tapi ia memihak roh, tak memilih lembaga dan kekuasaan. Dalam bahasa Injil, hal-hal terakhir itu milik Caesar. Mungkin karena perbendaharaan pengalamannya dengan agama Kaolik pula maka pilihan latar Amerika Latin untuk lakonnya ini merupakan pilihan yang lumrah bagi Rendra. Seperti halnya pilihan latar India dalam lakon Manusia Baru bagi Sanusi Pane yang menganut theosofi.

Tapi tentu tidak itu saja. Ada satu hal yang lebih penting: masalah Indonesia di tahun 1930-an memang mirip dengan masalah India pada saat itu, ketika lakon Manusia baru diciptakan. Masalah Indonesia di tahun 1970-an lebih mirip dengan masalah Amerika Latin, katakanlah Brazilia, ketika Mastodon digubah.

Tak mengherankan bila perbandingan antara Indonesia dengan Brazilia oleh seorang sastrawan lain pernah pula dilakukan Beb Vuyk mengemukakan itu dengan pandangan lain dalam bukunya yang mutakhir, Een Broet in Brazil.

Tapi bagi saya karya Rendra lebih menarik, karena seraya tak menyebut apa-apa tentang Indonesia, ia telah merumuskan masalah kita yang aktuil. Di satu fihak ada pertumbuhan ekonomi yang dalam lakon ini disebutkan dengan cara yang sengaja dilebih-lebihkan: 260%. Tapi di lain fihak penderitaan rakyat kecil tak berubah, bahkan memburuk.

Kata-kata Jose Karosta bukan saja menunjukkan kepandaian Rendra dalam metafor, tapi juga menampakkan persepsi dan pengetahuannya yang kuat tentang masalah sosial:

“Aku memberi kesaksian, bahwa dibangunnya pabrik-pabrik untuk kepentingan modal asing tidak berarti mengurangi jumlah pengangguran”, katanya Dan:

“Saya memberi kesaksian bahwa pemerintah telah bersungguh-sungguh membina tenaga tidak untuk mobilitas, tetapi untuk kekukuhan, tidak untuk dinamis, tetapi untuk teguh dan angker, tidak untuk mencipta barisan semut-semut yang bekerja, tetapi barisan gajah-gajah yang suka serba mempertahankan” Rakyat. Para gajah itulah yang kemudian dibayangkannya akan jadi mastodon-mastodon, yang akan “memusnahkan alam secara lahap”.

Dan siapakah burung khondor? Burung itu adalah lambang rakyat, juga diri penyair sendiri dan kawan-kawannya — atau lebih tepat: sukma mereka. “Dari pagi sampai siang, rakyat negeriku bergerak-gerak menggapai-gapai. Dari siang sampai sore, mereka menjadi onggokan sampah. Dan di malam hari, mereka terbanting di lantai dan sukmanya menjadi burung khondor”.

Meskipun tak selamanya jelas, Rendra – seperti dalam sajak-sajaknya yang dulu — menggunakan imaji “burung” untuk sesuatu yang bebas, dekat dengan alam, penuh mimpi, dan heroik.

“Beribu-ribu burung khondor, berjuta-juta burung khondor gumpalan-gumpalan awan burung khondor, bergerak menuju ke puncak gunung yang tinggi. Dan di sana mendapat hiburan dari sepi, karena hanya sepi yang mampu menghisap dendam dan sakit hati”.

Sepi, dan bukan revolusi. Yang membedakan pandangan Rendra dengan kaum Marxis atau Kiri Baru ialah bahwa sang penyair tidak mempercayai revolusi.

“Aku percaya pada jalarnya perubahan berdasarkan perkembangan kematangan kesadaran. Perubahan yang mendadak yang ditimbulkan oleh revolusi hanya akan menghasilkan perubahan semu”.

Apalagi bila kaum revolusioner menang, dalam lakon ini dipimpin oleh kaum mahasiswa, mereka akan jadi diktator dan rakyat tetap menderita.

Tak mengherankan bila Rendra pernah dikutip mengatakan lakonnya ini “anti-Revolusi”. Ia nampaknya kembali pada cerita Zeus dan Prometheus dalam mithologi Yunani: mereka berdua menumbangkan tirani, tapi kemudian Zeus menjadi tiran dan Prometheus yang membela kemerdekaan menjadi hukuman.

Sang penyair, sang intelektuil, dan pembela kehidupan rohani adalah Prometheus. Setelah kaum revolusioner hampir menang, Jose Karosta yang meskipun merupakan musuh rezim militer justru dibuang ke luar negeri. Kaum revolusioner telah jadi Zeus.

Di sini Rendra mengingatkan kita kembali pada pemikiran yang hidup di kalangan seniman dan cendekiawan penandatangan Manifes Kebudayaan di tahun 1963, yang menentang utopisme dari revolusi, menentang Politik Sebagai Panglima dan memandang komitmen kaum seniman kepada masyarakatnya sebagai yang dirumuskan Herbert Read: “the politics of the unpolitical” atau “politik” tanpa pamrih kekuasaan.

Mereka ingin selalu berada di luar kekuasaan sebagai salah satu pengontrolnya. Bagi mereka inilah peran dan tugas intelektuil. Fikiran-fikiran Arief Budiman, salah satu perumus Manifes, dengan jelas berpola pada sikap itu, berdasarkan dialektik badan dan roh yang serupa.

Rendra, yang selalu dengan rendah-hati mengatakan bahwa ia banyak dipengaruhi tulisan Arief, kini mengungkapkannya lewat Mastodon. Sukadji. Belum bisa dikatakan di sini bahwa lakon ini merupakan karya yang gemilang.

Rendra mungkin bisa dianggap melakukan “kesalahan” Albert Camus dalam Les Justes (diterjemahkan Arief Budiman sebagai Teotis) yang pernah dipentaskan di Taman Ismail Marzuki beberapa waktu yang lalu juga tentang konflik antara pilihan kekerasan dengan tanpa-kekerasan di kalangan pejoang keadilan.

Maksud saya: peran-peran lebih menarik sebagai penubuhan ide-ide daripada sebagai watak-watak yang berkembang. Tapi harus selalu diingat bahwa teater Rendra harus dinilai setelah dipentaskan – sebab dia adalah seorang maestto di situ.

Tapi setidaknya dari naskah saja sudah bisa dinilai bahwa ini merupakan langkah Rendra yang penting, bukan untuk riwayatnya sendiri setelah teater minikata, tapi untuk riwayat teater Indonesia dalam masyarakatnya.

Saya termasuk orang yang percaya bahwa teater kita akan mendapatkan tempat yang lebih penting dalam kehidupan publik dibandingkan dengan novel, berdasarkan kenyataan kebudayaan Indonesia sendiri.

Apalagi bila dalam teater itu pula publik menemukan dan menjadi lebih peka terhadap dunia mereka yang intim. Untunglah, bahwa Mastodon pada akhirnya tak jadi korban larangan Kepolisian Yogya dan korban alasan “proseduril” dari Rektor UGAMA Prof.

Sukadji ketika hendak dipentaskan di kampus. Untunglah, bahwa Pangkopkamtib sendiri, Jend. Sumitro, dan Kol. Leo Ngali dari Kodam VII, mengijinkan Rendra untuk terus.

Hanya kenyataan bahwa sebuah lakon teater perlu diputuskan nasibnya oleh seorang Panglima dari Pemerintah Pusat, dan seorang pemimpin universitas menunjukkan ketidak-pastian sikap menghadapi perkara itu, pada hemat saya bukanlah kenyataan yang sedap.

Saya menyenangi fikiran-fikiran Prof. Sukadji. Mudah-mudahan dalam soal Mastodon orang akan memanfaatkannya.

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita