17/10/10

KILAS BALIK SERAT KALATIDA KARYA RONGGOWARSITO

Imamuddin SA *
http://www.sastra-indonesia.com/

Sebenarnya perjalanan kehidupan dalam alam fisik ini bersifat stagnan. Mulai dulu sampai sekarang, bahkan nanti akan bersifat sama alurnya. Sama dalam tataran peristiwa problematikanya. Yang berbeda hanyalah fenomena tempat, fasilitas, pelaku orangnya, budaya, dan peradabannya. Ini terlihat sebagai suatu siklus rotasi yang pada saatnya nanti akan teruluang kembali. Seperti suatu nasib; kadang di atas, kadang di bawah. Suatu saat akan berjaya, di saat yang lain akan terjatuh juga.

Peristiwa-peristiwa masa lalu akan terulang kembali pada masa sekarang. Begitu juga dengan sekarang, pada hari esok akan terulang pula. Namun tidak sama persis. Yang sama hanyalah suasana batiniah peristiwa itu. Seperti itulah fenomena yang seolah-olah tampak dari karya Ronggowarsito. Kita kenal bahwa Ronggowarsito adalah seorang pujangga yang konon ceritanya memiliki ketajaman batin yang khusus dan tidak dimiliki oleh kebanyakan orang. Dalam karya-karyanya sering terungkap prediksi-prediksi suatu kejadian masa datang. Bahkan lebih dari itu, ia juga mengetahui ajalnya sendiri.

Sebenarnya Ronggowarsito bukanlah nama asli, melainkan suatu gelar kebangsawanan di keraton Surakarta. Gelar Rongowarsito ini diberikan kepada seorang juru tulis kerajaan. Nama asli Ronggowarsito yang kita kenal saat ini adalah Bagus Burham yang lahir tanggal 15 Maret 1802. Orang yang pertama kali menerima gelar Ronggowarsito ini adalah Yosodipuro II yang tidak lain adalah kakek Bagus Burham. Ronggowarsito II bernama Panjangswara dan dia adalah ayah dari Bagus Burham. Bagus Burham inilah yang yang kemudian menggantikan ayahnya dengan gelar Ronggowarsito III setelah perang Diponegoro usai; yaitu sekitar tahun 1830. Dan Bagus Burham inilah yang sampai dewasa ini akrab kita kenal dengan nama Ronggowarsito. Yang karya-karyanya sampai di tangan kita.

Dalam karyanya, Ronggowarsito pernah menyinggung datangnya bencana yang merupakan sebagian dari kutukan Tuhan. Berdasarkan penglihatan ruhaniahnya, hari itu suatu saat akan datang. Semua ini tidak lepas dari hukum sebab-akibat. Sebelum datangnya hari itu, pasti ada sebabnya terlebih dahulu. Sebab utama yang melatarbelakangi munculnya kutukan Tuhan tidak lain adalah dipicu oleh kelalaian manusia sendiri. Ia lalai dengan jati dirinya sehingga lalai pula dengan tugas kemanusiaannya di dunia. Misi kekhalifahan terabaikan. Mengobarkan api kerusakan dalam kesemestaan alam. Angkara murka bangkit di mana-mana. Bahaya, susah, dan derita meraja lela. Ilustrasi itu terungkap dalam Serat Kalatida yang diungkapkan dalam bentuk tembang Sinom. Serat tersebut berbunyi:

I
Mangkya darajating praja
Kawuryan wus sunyaruri
Rurah pangrehing ukara
Karana tanpa palupi
Atilar silastuti
Sujana sarjana kelu
Kalulun Kala Tida
Tidhem tandhaning dumadi
Ardayengrat dene karoban rubeda.

II
Ratune ratu utama
Patihe patih linuwih
Pra nayaka tyas raharja
Panekare becik-becik
Parandene tan dadi
Paliyasing Kala Bendu
Mandar mangkin andadra
Rubeda angreribedi
Beda-beda ardaning wong saknegara

III
Katetangi tangsisira
Sira kang paramengkawi
Kawileting tyas duhkita
Kataman ing reh wirangi
Demimg upaya sandi
Sumaruna anerawung
Mangimur manuhara
Met pamrih melik pakolih
Temah suka ing karsa tanpa wiweka.

IV
Dasar korban pawarta
Bebaratan ujar lamis
Pinudya dadya pangarsa
Wekasan malah kawuri
Yen pinikir sayekti
Mundhak apa aneng ngayun
Andhedher kaluputan
Siniraman banyu kali
Lamun tuwuh dadi kekembanging beka.

V
Ujaring Panitisastra
Awewarah asung peling
Ing jaman keneng musibat
Wong ambeg jatmika kontit
Mengkono yen niteni
Pedah apa amituhu
Pawarta lolawara
Mundhak angreranta ati
Angurbaya angiket cariteng kuna.

VI
Keni kinarya darsana
Panglimbang ala lan becik
Sayekti akeh kewala
Lelakon kang dadi tamsil
Masalahing ngaurip
Wahaninira tinemu
Temahan anarima
Mupus pepesthening takdir
Puluh-puluh anglakoni kaelokan.

VII
Amenangi jaman edan
Ewth aya ing pambudi
Melu edan ora tahan
Yen tan milu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah kersa Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lawan waspada.

VIII
Semono iku bebasan
Padu-padune kepengin
Enggih mekoten man Doblang
Bener ingkang angarani
Nanging sajroning batin
Sejatine nyamut-nyamut
Wis tuwa arep apa
Muhung mahas ing asepi
Supayantuk pangaksamaning Hyang Suksma

IX
Beda lan kang wus santosa
Kinarilan ing Hyang Widhi
Satiba malanganeya
Tan susah ngupaya kasil
Saking mangunah prapti
Pangeran paring pitulung
Marga samaning titah
Rupa sabarang pakolih
Parandene maksih taberi ichtiyar.

X
Sakadare linakonan
Mung tumindah mara ati
Angger kang dadi prakara
Karana wirayat muni
Ichtiyar iku yekti
Pamilihing reh rahayu
Sinambi budidaya
Kanthi awas lawan eling
Kang kaesthi antuka parmaning suksma.

XI
Ya Allah ya Rasulullah
Kang sipat murah lan asih
Mugi-mugi aparinga
Pitulung ingkang martani
Ing alam awal akhir
Dumununging gesang ulun
Mangkya sampun awredha
Ing wekasan kadi pundi
Mula mugi wontena pitulung Tuwan.

XII
Sagede sabar santosa
Mati sajroning ngaurip
Kalis ing reh aruhara
Murka angkara sumingkir
Tarlen meleng malat asih
Sanityaseng tyas mematuh
Badharing sapudhendhana
Antuk mayar sawetawis
BoRONG angGA saWARga meSI marTAya.

Ronggowarsito dalam karyanya di atas mengisahkan bahwa martabat negara hancur berantakan. Aturan, hukum, dan undang-undangnya tidak diindahkan dan diinjak-injak. Contoh-contoh yang luhur tidak ada lagi. Orang-orang terpelajar terbawa arus dalam kepincangan zaman. Suasananya mencekam, sebab hidup penuh dengan kerepotan. Ibarat yang salah jadi benar, dan yang benar menjadi salah. Yang halal menjadi haram, dan yang haram memnjadi halal.

Pada dasarnya kepincangan-kepincangan itu tidaklah bersumber dari pemerintahan, tetapi semuanya mengalir dari jiwa-jiwa masyarakat dan manusianya. Pemimpin pemerintahan termasuk orang yang baik. Patihnya juga cerdik. Semua anak buah hatinya baik. Pemuka-pemuka masyarakat juga baik. Tetapi semuanya itu tidak membawa kebaikan. Justru malah sebaliknya. Hal itu disebabkan oleh kutukan zaman. Bahkan keusahpayahan semakin menjadi-jadi. Lantaran perbedaan persepsi, pandangan, pikiran, serta tujuan manusiannya masing-masing. Semuanya saling membenarkan diri-sendiri. Walau sudah jelas dirinya bersalah.

Saat itulah hukum menjadi barang dagangan yang tengah diobral murah. Pemerintah tak berdaya. Yang berharta jadi penguasa. Berhak menentukan jalan hidupnya. Tak peduli benar-salah dan halal-haramnya cara yang ditempuhnya. Yang penting tujuan tercapai, segalanya digilasnya.

Melihat fenomena semacam itu, Ronggowarsito menangis sedih. Ia merasa malu dan terhina. Realitas yang ada penuh dengan fitnah dan intrik. Segalanya seolah-olah tampak menghibur dan menggembirakan. Di depan seseorang bersifat manis dan memuji-muji, tetapi jika seseorang itu tidak ada, maka ia justru balik menikamnya

Berbagai macam gosip dan rumor datang tak menentu pada zaman itu. Di mana-mana selalu ada gosip, bahkan hampir diseluruh penjuru dipenuhi dengan gosip. Bukan gosip yang positif, melainkan hanya sekedar mengumbar aib. Orang-orang banyak yang berebut kedudukan. Setiap kepala ingin duduk memerintah. Oleh sebab itu, janji-janji berhamburan demi menggapai tujuan. Tapi pada akhirnya itu hanya sekedar bualan. Kata-kata yang telah diucapkan justru malah tidak diperhatikan sama sekali. Sibuk dengan perutnya sendiri. Sebenarnya, kalau benar-benar direnungkan, menjadi pemimpin itu tidak ada guna-faedahnya. Justru malah menumpuk kesalahan-kesalahan saja. Bahkan jika lupa diri, hasilnya tidak lain hanyalah kesusahpayahan yang berujung pada bencana.

Berdasarkan buku Paniti Sastra, sebenarnya sudah ada wawancang terlebih dahulu akan peristiwa ini. Saat zaman dipenuhi kesusahpayahan, kebatilan, serta musibah, orang baik akan tidak terpakai. Ia malah dikucilkan. Hendaknya hal ini menjadi catatan penting. Kata-kata yang tak bermakna dan gosip-gosip hanya akan menyiksa hati. Ini tidak patut untuk didengarkan. Lebih baik mendengar cerita masa lalu dan dongeng-dongeng. Itu dapat dijadikan teladan dan cermin diri yang baik guna membandingkan dan mempertimbangkan antara perbuatan yang baik dan buruk. Antara kebaikan dan kejahatan. Antara yang benar dan salah. Sebenarnya cukup banyak contoh dari kisah-kisah terdahulu yang mampu membuat hati penikmatnya tenang dan damai, bersikap ikhlas menerima yang berujung pada kepasrahan dan keridhaan terhadap segala takdir Tuhan.

Ronggowarsito mengisyaratkan bahwa hidup di zaman edan ini memanglah sangat repot. Susang menentukan sikap. Ingin mengikuti arus zaman, kita tidak sampai hati, tetapi jika tidak mengikuti, kita tidak akan mendapatkan apa-apa. Yang kita dapat hanyalah kelaparan. Walaupun begitu, ini sudah jadi kehendak Tuhan. Di zaman ini, seuntung apapun orang yang lupadaratan, masih lebih beruntung orang yang ingat dan waspada. Ingat kepada yang hidup dan yang mati. Ingat pada jati dirinya sendiri. Waspada terhadap kutukan tuhan yang pasti.

Ibarat pepatah. Orang yang hidup di zaman edan ini seolah-olah tampak menolak segala realitas kepincangan yang ada, namun pada dasarnya ia berminat menerima kenyataannya. Benar kata orang, dalam hati fenomena ini memang repot juga. Dari pada memikirkan arus zaman itu, Ronggowarsito lebih baik memimikirkan hal yang lain. Lebih baik ia menginstropeksi diri. Ia menyadari bahwa usianya semakin tua. Apa pula yang hendak dicari dalam dunia yang seperti ini. Lebih baik berkhalwat agar mendapat ampunan Tuhan yang sejati.

Berbeda lagi dengan mereka yang sudah kuat, yang telah menggenggam kesejatian hidup, ia pasti telah berlimpahkan rahmat tuhan. Bagaimanpun fenomena zamannya, ia selalu bernasib mujur. Tuhan selalu memberi pertolongan padanya. Ia tidak perlu bersusah payah, dengan tiba-tiba ia akan mendapatkan anugrah. Walaupun begitu, ia masih butuh ikhtiar juga.

Orang yang seperti itu, selalu menjalani realitas hidup dan kehidupan dengan bersikap sederhana dan sewajarnya. Urep sakmadyane. Ia berjalan berdasarkan tuntunan hati yang jernih. Memberikan kebahagiaan dan tak menimbulkan permasalahan. Seperti pepatah, manusia itu wajib berikhtiar dalam memilih jalan yang benar. Bersamaan dengan hal itu, ia harus senantiasa ingat dan waspada agar mendapat rahmat Tuhan yang Esa.

Setelah menginstropeksi diri, dengan segala kesadarannya, Ronggowarsito berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan berwasilah kepada Rasulnya. Dengan kasih sayang-Nya, Ronggowarsito berharap agar mendapatkan pertolongan di saat ajal telah menjelang. Baik saat di dunia maupun saat di akhirat nanti. Ia sadar betul bahwa hidupnya tinggal sebentar lagi. Khusnul khotimah ataukah su’ul khotimakah akhir perjalanannya nanti? Yang jelas, hanya Tuhan-lah yang kuasa memberi pertolongan padanya. Semoga ia dikaruniai kesabaran dan kekuatan ketika menjalani mati dalam kehidupan (mati sajroning ngaurip). Jauh dari bencana serta terhindar dari keangkaramurkaan. Dengan segenap jiwa Ronggowarsito merenungkan, menyucikan lahir, batin, dan pikiran sembari menyongsong berakhirnya kutukan zaman. Ia pasrah menanti datangnya putusan (takdir) Tuhan.

Apabila serat itu kita tarik benang merah dengan realitas sekarang, maka akan terasa relevansi yang begitu kuat. Fenomena yang digambarkan Ronggowarsito dalam zamannya seolah muncul kembali pada saat ini. Ini diperkuat dengan isyu “kiamat” pada akhir tahun 2012. Konon diceritakan bahwa kiamat itu adalah hari kehancuran alam. Tanda-tandanya adalah rusaknya moral manusia. Bumi digoncang-gancingkan dengan guncangan (problematika hidup dan kehidupan) yang sangat dahsyat. Manusia bingung dengan sendirinya. Bagaikan makan buah simalakama.

Jika kita berpandangan lebih arif terhadap isyu tersebut, kita akan menemukan titik temu antara realitas sekarang dengan ujaran Ronggowarsito dan Maya Calender. Tahun 2012 berdasarkan Maya Calender merupakan titik kulminasi dari peristiwa “kiamat”. Kiamat di sini tidak sekedar kita pahami sebagai totalitas kehancuran alam semesta, melainkan bisa jadi kehancuran yang bersifat minimum. Sebab kita kenal istilah kiamat sughroh dan kiamat kubroh. Begitu juga dengan pijakan kita tentang kehancuran alam. Alam yang bagaimanakah yang hancur! Alam fisik? Alam ruhani? Alam hati? Alam pikiran? Atau bahkan alam tubuh manusia (kematian personal)? Lantas kita juga harus berpandangan pada letak titik sentrum yang paling kuat dalam kehancuran alam tersebut?

Realitas alam ruhaniah manusia sekarang ini memang benar-benar hancur. Esensi keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam dirinya kerap tergadaikan. Manusia banyak yang lari dari Tuhan dan berganti arah-mendekat pada nafsiahnya. Hawa nahsunya yang kerap ditonjolkan. Hal itulah yang menyebabkan hancurnya alam hati dan pikiran mereka. Alam hati tak tenang, tergoncang-gancingkan, dibayang-bayangi dengan ketakutan-ketakutan akan kemelaratan di dunia sehingga ia kerap mengejar harta dan tahta. Jika telah terjadi demikian, alam pikiran akan hancur. Pikiran-pikran yang baik dan positif akan tergantikan dengan kecurangan-kecurangan dan keculasan. Sehingga dalam setiap detik, ia akan dihantui dengan pikiran dan rasa bersalah, takut terbongkar kucurangan dan keculasannya. Wal hasil, benih penyakit yang aneh-aneh pun muncul dalam diri manusia sebab terlalu besar memendam beban rasa. Dan akhirnya, tubuh dilanda sakit. Hanya mengeluh yang ia bisa. Menyesal tiada guna. Lantas meninggal dunia. Inilah kronologis “kiamat” dalam tataran kecil-kecilan.

Fenomena di atas merujuk pada personal manusia. Namun jika hal itu terjadi dalam skala yang lebih besar, kita perlu melihat titik sentrumnya. Wilayah manakah yang masyarakatnya paling dominan melakukan hal tersebut. Dari sinilah konsep penghancuran umat akan berlaku. Seperti kisah kaum Nuh AS yang dihancurkan dengan banjir besar dan kaum-kaum lain sebelum kita. Dan hanya merekalah yang mau berikhtiar mendekatkan diri pada orang-orang yang benar, pada para kekasih tuhanlah yang saat itu berlimpahkan anugrah dan keselamatan.

Kenyataan saat ini; individu, masyarakat, dan pemerintah banyak yang bertindak korup. Lahan-perlahan bencana kerap melanda. Kematian masal meraja lela, baik di darat, laut, maupun udara. Tidakkah ini merupakan sebagian kecil dari kiamat? Apakah ini kutukan Kalatida? Ataukah ini kepastian Kalender Maya? Benarkah potret “kiamat” itu akan terjadi kembali dalam realitas masyarakat kita sekarang ini? Dan memang pantas-siapkah masyarakat kita menerima kepastian seperti itu? Jawabannya hanya ada dalam diri kita masing-masing, dalam ruang waktu yang masih terasing.

=========
*) Imamuddin SA, lahir di desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim. 13 Maret 1986, nama aslinya Imam Syaiful Aziz. Aktif mengikuti diskusi di Forum Sastra Lamongan [FSL], Candrakirana Kostela, Sanggar Seni Simurg. Sempat sebagai sekretaris redaksi pada Jurnal Sastra Timur Jauh, serta Jurnal Kebudayaan The Sandour. Karya-karyanya terpublikasi di Majalah Gelanggang, Gerbang Masa, Tabloid Telunjuk, Jurnal Kebudayaan The Sandour, dll. Karyanya terantologi di Lanskap Telunjuk, Absurditas Rindu, Khianat Waktu, dan Memori Biru. Antologi tunggalnya: Esensi Bayang-Bayang (PUstaka puJAngga), Sembah Rindu Sang Kekasih (PUstaka puJAngga).

Perjalanan Sastra di Banyuwangi

Fatah Yasin Noor*
http://www.sastra-indonesia.com/

GELIAT dan pertumbuhan sastra Banyuwangi kontemporer, sebenarnya sudah dimulai sejak tahun-tahun awal 60-an. Ini dilakukan oleh sejumlah penyair Banyuwangi yang berkarya di luar Banyuwangi, seperti Armaya yang rajin menuliskan karyanya di Majalah Siasat tahun 1960 dan dalam antologi Manifes bersama Goenawan Mohamad yang diterbitkan Tintamas-Djakarta, 1963. Begitu juga yang dilakukan oleh Chosin Djauhari yang termasuk dalam Pujangga Baru. Di Banyuwangi sendiri, sejak tahun 70-an, geliat sastra mulai tumbuh dengan suburnya, baik sastra berbahasa Indonesia maupun yang berdialek daerah Using. Periode tahun 70-an ini diawali dengan kemunculan pembacaan dan apresiasi sastra di stasiun radio, yakni di RKPD (Radio Khusus Pemerintah Daerah) Banyuwangi. Puisi-puisi yang ditulis secara personala oleh sejumlah penyair Banyuwangi kemudian di bacakan di stasiun radio tersebut yang meluangkan waktunya dalam program sastra. Periode tahun 70-an ini, saya sebut saja sebagai “Periode RKPD”. Di situlah para penyair Banyuwangi membacakan puisi-puisinya dan mengapresiasi, di antara para penyair yang merintis pertumbuhan sastra di Banyuwangi adalah; Armaya, Hasnan Singodimayan, Pomo Martadi, Yoko S. Pasandaran, Slamet Utomo, dan Cipto Abadi. Puisi-puisi mereka tersebar di pelbagai media massa nasional. Misalnya Armaya dalam Bendera Sastra Jogja, Pomo Martadi di Pelopor Jogja. Sayangnya, di antara nama-nama yang saya sebutkan tadi, tidak ada yang memiliki antologi puisi tunggal, kecuali Hasnan Singodimayan yang telah menerbitkan novelnya berjudul Kerudung Santet Gandrung (Desantara, 2003).

Dari Periode RKPD itu, lahirlah penyair-penyair baru dalam kurun waktu 10 tahunan. Di awal tahun 80-an, muncul penyair-penyair bagus yang meneruskan perjalanan kesusastraan di Banyuwangi baik lewat acara program radio maupun di media massa. Di antara nama-nama penting itu adalah; Fatah Yasin Noor, Agus Aminanto, Gimin Artekjursi, Syamsul Hadi ME., Suhaili Bachtiar. Para penyair di awal tahun 80-an ini mengumumkan karya-karyanya di sejumlah media massa lokal dan nasional, juga di radio. Program radio yang memberi ruang sastra bukan lagi hanya di RKPD, melainkan radio Mandala AM Stereo pun membuka ruang program sastra dan apresiasi. Periode ini saya sebut sebagai “Periode Mandala”. Karya-karya penyair tahun 80-an ini memiliki sebentuk ciri khas tersendiri dibandingkan karya-karya penyair Periode RKPD. Fatah Yasin Noor dan Agus Aminanto yang karyanya telah dimuat di Bali Post dengan ‘penjaga gawang’ Umbu Landu Paranggi. Sedangkan Gimin Artekjursi telah berhasil menembus redaktur Majalah Sastra Horison. Pada periode ini juga, lahirlah penyair berbakat Nirwan Dewanto. Di usia yang masih belasan tahun, Nirwan Dewanto mendapatkan banyak pujian dari penyair-penyair gaek Banyuwangi. Nirwan Dewanto lahir di Banyuwangi dan bersastra pertama kali di Banyuwangi dalam pergulatan sastra lokal di Banyuwangi.

Lalu di tahun 90-an, yakni kemunculan karya-karya sastra dari para penyair di Banyuwangi semakin mendapatkan tempat yang lapang di dua stasiun radio sekaligus, yakni di RKPD dan Mandala AM Stereo. Muncul penyair-penyair di tahun 90-an ini, yakni Irwan Sutandi, M. Karyono, Adji Darmaji, Un Hariyati, Rosdi Bahtiar Martadi, Sentot Parijatah, Abdullah Fauzi, Iwan Aziez Syswanto S., A. Ardiyan, Taufik Walhidayat,

Dwi Pranoto, Tri Irianto, M. Solichin, Samsudin Adlawi, Iqbal Baraas, Yudi Prasetyo, dll. Nama-nama penting tersebut telah menyumbangkan karya dalam sebuah pertumbuhan yang cukup berarti bagi perkembangan sastra kontemporer di Banyuwangi, meski pada akhirnya sejumlah nama kemudian menghilang karena terseleksi secara alamiah. Sejumlah antologi puisi, buletin, dan majalah sastra di Banyuwangi diterbitkan. Di awal-awal, mereka menerbitkan antologinya dengan diketik secara manual lalu digandakan berupa lembaran-lembaran kemudian dibagi-bagikan. Di sampaing itu juga, mereka cukup rajin mengirimkan karya-karya mereka ke media-media massa, misalnya Sentot Parijatah yang juga wartawan Karya Dharma, sering menampilkan puisi-puisinya di Surabaya Post di tahun 1996, Samsudin Adlawi yang wartawan Jawa Pos, juga sering menampilkan karyanya di Jawa Pos. Sejumlah buletin yang diterbitkan secara terbatas dan diasuh oleh sejumlah sastrawan Banyuwangi, antara lain; Jurnal Lontar (1971, yang dipimpin oleh Pomo Martadi), Buletin Point (1980), Buletin Imbas (1990, dipimpin oleh Tri Irianto), Buletin Menara Baiturrahman (1990, dengan Pimrednya Fatah Yasin Noor ), Buletin Jejak (yang kemudian terbit sebagai Majalah Budaya Jejak, 1990 sampai sekarang, diasuh oleh Armaya dan Pimred Fatah Yasin Noor kemudian Iwan Aziez Siswanto S.), Majalah Seblang (berbahasa daerah Using), dan Buletin Baiturrahman (2000, dengan Pimred Abdullah Fauzi, Fatah Yasin Noor, Iwan Aziez Syswanto S.), Lepasparagraph (2002, dikelola oleh Taufiq Wr. Hidayat dan Dwi Pranoto).

Sejumlah antologi tunggal diterbitkan oleh penyairnya sendiri juga oleh sejumlah lembaga sastra, di antaranya Abdullah Fauzi dengan antologi berbahasa Using Dubang (Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) 2002), dan antologinya berjudul Sayap (1990). Taufik Walhidayat menerbitkan antologi tunggal berjudul Labuh Rindu (1993), Iqbal Baraas dengan Sebuah Penawaran (Remas Jami’atul Hidayat, Genteng, 1990), Penjual Payung (Gelar Tikar, 1993), Bunga Abadi (1997), Tri Irianto dengan Waktu (1998), Adji Darmaji dengan Juru Angin (1980, puisi berdialek Using), Iwan Aziez Syswanto S., dengan Matahari Pecah Kembali (1993), Rembulan di Atas Gelombang (2005), Fatah Yasin Noor dengan Gagasan Hujan (2003), Dwi Pranoto dengan Penjaga Lokomotif (1996), Taufiq Wr. Hidayat dengan Sepasang Wajah (2002) dan Suluk Rindu (2004).

Penerbitan secara tunggal itu sangat terbatas karena diketik secara manual dan difoto kopi, hanya beberapa yang diterbitkan secara modern berupa buku dengan jumlah eksemplar yang cukup banyak. Keterbatasan itu membuat sejumlah antologi yang telah terbit hilang dari dokumentasi perpustakaan dan komunitas, bahkan penyairnya sendiri hingga kini melacak keberadaan karyanya, misalnya Abdullah Fauzi yang kehilangan antologi awalnya Sayap. Buruknya media penerbitan dan pendikumentasian karya sastra di Banyuwangi, tak dapat dipungkiri telah merenggut sejumlah karya berkualitas para penyair Banyuwangi yang menjadi tonggak sejarah awal pertumbuhan sastra kontemporer di Banyuwangi. Menyadari keterbatasan tersebut, terutama sangat terbatasnya dana, para penyair Banyuwangi menyiasatinya dengan membentuk komunitas sastra di Banyuwangi yang terkenal, yakni Komunitas Selasa (Senantiasa Lestarikan Sastra) yang melakukan pertemuan rutin tipa hari Selasa. Komunitas ini didirikan oleh sejumlah peyair tua di Banyuwangi dan dikelola oleh penyair-penyair muda. Pendiri Selasa adalah Pomo Martadi dan dikelola oleh Samsudin Adlawi, Rosdi Bahtiar Martadi, Fatah Yasin Noor, A. Ardiyan, dan Iwan Aziez Syswanto S. Komunitas sastra ini juga telah melahirkan sejumlah penyair generasi terbaru, dan secara berkala menerbitkan buletin Imbas juga menerbitkan kembali Jurnal Lontar yang pernah terbit tahun 1971. Dari komunitas Selasa lahir antologi-antologi bersama, Cadik (Komunitas Selasa dan Komunitas Penyair Bali, 1998), Menara Tujuh Belas (Pusat Studi Budaya Banyuwangi, 2002), Dzikir Muharam (Yayasan Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi, 2004), Tilawah (Yayasan Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi, 2005). Kemudian Yayasan Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi memiliki agenda rutin menerbitkan kumpulan puisi karya tunggal para penyair Banyuwangi setiap tahun, Suluk Rindu ( Taufiq Wr. Hidayat, 2004), Dzikir Debu ( Nuchbah Baroroh, 2005), Tasbih (Abdullah Fauzi, 2006).

Perjalanan yang panjang itu, saya sadari tak dapat saya paparkan secara detil lagi, hal ini tak lain karena keterbatasan data dan sumber. Namun paling tidak, pemaparan ini memberikan sebentuk gambaran besar perjalanan kekusastraan di Banyuwangi dihitung dari dimensi pergerakannya dari tahun ke tahun. Kesusastraan di Banyuwangi banyak diramaikan dengan proses kreatif generasi tahun 80-an dengan puisi, jarang sekali tercipta cerpen dan novel. Beberapa penyair gaek juga memberikan sebentuk kritik sastra bagi generasi di bawahnya, yakni Hasnan Singodimayan, Armaya, dan Pomo Martadi. Tiga nama tersebut sangat berperan penting di dalam pembentukan seorang penyair yang matang di Banyuwangi yang karyanya kemudian menjadi konsumsi secara nasional. Dari asuhan tiga orang sastrawan itu, lahirlah Fatah Yasin Noor, Iwan Aziez Syswanto S., Nirwan Dewanto, Samsudin Adlawi, dll.

Di samping itu pula, sastra pertunjukan juga mengalami puncaknya di tahun 1980-an. Ini ditandai di kota Genteng Kabupaten Banyuwangi, sebuah daerah pedesaan yang sering melahirkan karya-karya drama/teater. Komunitas teater di Genteng itu didirikan pada 1980 yang melakukan pelatihan-pelatihan teater di sekolah-sekolah. Komunitas itu kemudian diberi nama Gelar Tikar. Komunitas teater Gelar Tikar didirikan oleh sejumlah seniman di Genteng, yakni Totok Hariyanto, Sugito, Pak Azis, Pak Sa’roni, Pak Rifa’i, dan Iqbal Baraas yang masih berusia belasan tahun. Di tahun 1990-an, Gelar Tikar berubah nama menjadi Padepokan Gelar Tikar. Komunitas ini kemudian sangat rajin melakukan kegiatan sastra secara rutin di Genteng, mulai dari pementasan, penerbitan buku puisi bersama, pembacaan puisi, dan apresiasi sastra, baik di media cetak maupun di radio-radio komunitas. Ini juga merupakan bagian terpenting dalam perjalanan sastra di Banyuwangi. Sedangkan di Banyuwangi Kota, ditandai dengan munculnya Teater Tongkat Sandi yang dikelola oleh Abdullah Fauzi dan Agus Wahyu Nuryadi yang diasuh dan didanai oleh Armaya, juga Kasat Teater yang dikelola oleh Yudi Prasetyo, Fatah Yasin Noor, A. Ardiyan dan A. Saichu Imron di tahun 1990-an. Namun demikian, perkembangan seni sastra pertunjukan di Banyuwangi Kota tidak sebagus di Genteng, melainkan di Banyuwangi kota banyak menampilkan buku-buku dan media-media sastra komunitas.

Sekilas Armaya, Hasnan Singodimayan, dan Pomo Martadi

ADAPUN perjalanan sebuah langkah, tidak hanya terpaku pada bagaimana langkah itu digerakkan. Melainkan juga kita mesti mengukur secara obyektif nuansa gerak itu sendiri dengan kritis. Maka, barangkali menjadi penting di sini untuk saya mengupas sejumlah karya sastra (baca: puisi) di Banyuwangi dari tahun ke tahun yang terkumpulkan dalam media sastra di Banyuwangi, yakni Kertas Sastra Lontar dan Majalah Budaya Jejak. Adapun Lontar dan Jejak adalah media sastra yang paling bersejarah di Banyuwangi, berhubung kedua media sastra itu menjadi tempat proses kreatif sastrawan Banyuwangi, dan dari keduanya terlahir penyair-penyair nasional dari Banyuwangi, seperti Nirwan Dewanto, Fatah Yasin Noor, Gimien Artekjursi, Adji Darmadji, dll.

Karya sastra adalah sebuah gambaran ruang dan waktu atau sebuah kondisi aktual peradaban suatu masyarakat. Gampangnya begitu.

Di tahun 70-an, puisi-puisi yang ditulis oleh para penyair Banyuwangi sudah mengalami kematangan yang baik serta memiliki dunia khasnya sendiri di antara jutaan puisi yang pernah di buat di Indonesia di tahun yang sama.

Ada beberapa nama penting yang karyanya perlu saya kupas dalam tulisan ini. Beberapa nama tersebut menjadi penting karena di awal tahun 70-an mereka telah menancapkan bentuk awal perpuisian di Banyuwangi sebagai embrio generasi berikutnya, juga mereka melakukan gerakan-gerakan yang sangat berarti di dalam menyuburkan dinamika kesusastraan di Banyuwangi. Beberapa nama penting tersebut adalah Armaya, Hasnan Singodimayan, dan Pomo Martadi. Seringkali Armaya mengeluarkan dana yang tidak sedikit dari saku pribadinya untuk membiayai penerbitan buku dan kegiatan-kegiatan sastra di Banyuwangi. Sedangkan Hasnan dan Pomo seringkali melakukan sebentuk kritik sastra dan membentuk penyair-penyair baru. Tiga nama tersebut adalah penyair dan sastrawan nasional yang karyanya patut diperhitungkan. Armaya sendiri besar di Solo dan proses kreatifnya seangkatan dengan W. S. Rendra (mereka satu kelas di SMA dan teman akrab), Hartojo Andangdjaja, Mansur Samin, dan Taufiq Ismail. Beberapa karya Armaya tergabung dalam antologi nasional bersama Goenawan Mohammad, Hartojo Andangdjaja, dll. dalam antologi 30 sajak yang diambil dari karya Armaya yang dimuat dalam Majalah Siasat. Antologi tersebut berjudul Manifes (Penerbit: Tintamas-Djakarta, 1963).

Ada yang perlu dicatat jika mengupas karya-karya penyair Banyuwangi di awal-awal tahun 1960 sampai tahun 1970-an, yakni gaya ucap banyak terpengaruh dialek Banyuwangi asli, yakni dialek Using. Kecuali puisi-puisi awal Armaya, karya Pomo Martadi dan Hasnan Singodimayan sangat kental dengan gaya pengucapan berdialek Using Banyuwangi. Armaya menulis puisi, esai, dan prosa. Begitu juga dengan Pomo Martadi, dia produktif menulis puisi dan sangat jarang menulis prosa, penulis esai yang rajin serta penulis berita yang sangat teliti. Sedangkan Hasnan Singodimayan lebih produktif menulis esai dan kritik seni juga prosa. Amat jarang sekali menemukan puisi karya Hasnan, kecuali beberapa saja dalam hitungan jari. Penulis nasional ini seringkali menjadi tempat berlabuh para akademisi untuk menimba referensi kebuayaan lokal Banyuwangi.

Puisi Armaya di tahun 1960 banyak mencatat kerinduannya terhadap Banyuwangi. Seperti halnya penggalan puisinya berikut:

Bila Aku Pulang
(buat ibu & yunda)

Bila aku pulang ke kampung untuk kesekian kalinya
selalu kutemui si Luri dan Hasnan
cerita dan ketawa]meminum musim-musim yang terus berjalan
……..
(Sumber: Manifestasi; Antologi 30 sadjak. Penerbit: Tintamas-Djakarta, 1963)

atau:

Nostalgia

Terekam rindu dan warna bianglala
sejemput sejarah
Banyuwangi yang biru
Banyuwangi tempat bicara
sempat mengharu biru
dan
semangat menggebu gebu
kesenian wajah tersendiri
gandrung, angklung, rebana
semua dalam sebuah makna
kebenaran! Milik siapa saja

Bandung, 1982
(Sumber: Buletin Bendera Sastra. No.2, April 1982. Terbit di Bandung).
juga

Kepergian

Pagisubuh di mana rumah itu telah kami tinggalkan
mentari lelap tidur di telanjang kabut
tak jauh tak beda suara bunda membentak
–he anak durhaka tinggalkan bumi berbasah darah ini
pembunuhan tanpa cinta menembus liang hatinya
……..

(Sumber: Manifestasi; Antologi 30 sadjak. Penerbit: Tintamas-Djakarta, 1963)
dan

Segenggam Permata

Aku terus berjalan
di semenanjung jalan ular
antara ranting-ranting rapuh berguguran
dalam cahaya bongkahan jurang
aku dapatkan permata di perutnya
warna warni bintang
merah menyala
sisi sisik ular keemasan
berdesir angin lautan
hutan diam
bersimpuh usapan tangan
bayangan pepohonan
terbelenggu ruang dan waktu
…….

Banyuwangi, 2002
(Sumber: Buletin Baiturrahman. No11, Oktober 2002.Penerbit: Yayasan Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi).

Demikian beberapa kutipan sajak-sajak Armaya. Paling tidak, dapat kita telusuri, bahwa gaya khas Armaya tidak terlepas dari gaya sajak yang sederhana dan menggambarkan kerinduan orang rantauan akan desa. Aktualitas desa menjadi desah yang cukup erotis di dalam sajak-sajak awal Armaya.

Adapun sajak-sajak Pomo Martadi, memiliki bentuk dan pengucapan yang sederhana, dinamis, namun terkadang rumit dalam pemaknaannya. Sajak-sajak Pomo Martadi seringkali menjadi bahasan penting di dalam forum-forum sastra di Banyuwangi. Sajak-sajak Pomo juga telah banyak mendapatkan perhatian yang serius dari generasi sesudah tahun 90-an, dan tidak jarang penyair-penyair Banyuwangi sesudah Pomo mengalami keterpengaruhan dengan sublimasi sajak-sajak Pomo. Beberapa yang mungkin perlu saya kutip:

Puisi Tersisihkan

djangan tjoba engkau tak mengerti, sajang
baris puisi, tersisihkan ini
jang tertinggal sepi
dipanggang teriknja sedjuta mentari duka
djangan tjoba engkau tak mengerti, sajang
angin malam menderai menerpa djantung jang letih
teriringkan pula njanjian hati
tapi masih kau lagukan djuga
lagu kemengan dan kebebasan
djangan tjoba engkau tak mengerti, sajang
baris puisi tersisihkan ini
jang telah terkapar dipintu hatimu
ah, terbangkit aku dari semua mimpi
ini bukan satu keachiran
sebab harapan masih mau bitjara
bintang2pun mau mengerdip
dan malampun mau temaram

(Sumber: Lontar, kertas sastra dan budaya. Edisi 01, Nopember 1971).
juga

Berita Utama Koran Sore

jika benar pedang bermata dua itu terlempar
ke dasar jurang dan hanya bisa dilihat lewat
cahaya bulan, berarti benar korban pemerkosaan yang
ditemukan terkapar dan berdarah di perbatasan
kota pagi tadi adalah pemiliknya yang tak
pernah melepas penutup mata dan tak lupa

membawa neraca yang kemarin sore masih tampak
membagi-bagikan payung kepada setiap orang
yang melewati jalan desa itu
langit tiba-tiba dikerubung mendung
bendera setengah tiang tanda berkabung
siapa di antara laki-laki berjubah
bulu gagak yang kaki dan tangannya berlumur
jelaga itu patut diajukan sebagai tersangka,
atau bisa jadi ketiganya jika terbukti ikut
melakukannya orang-orang di kedai kopi tampak lega
peristiwa itu menjadi berita utama koran sore
apalagi terulas di tajuk rencana dan halaman opini
tak heran jika mereka tak habis berbisik
ketika mempelesetkan kepanjangan empat huruf
sebuah singkatan pada judul buku lama berwarna hijau

Jember-Banyuwangi, Juli 1996
(Sumber: Lepasparagraf. Edisi 2/2/05)

Sajak-sajak Pomo terasa pekat, namun dengan gaya ucap yang sederhana. Banyak sajak-sajak Pomo adalah sebuah misteri peristiwa yang digali secara pekat dari faktualitas kejadian umum. Seringkali saya bertanya apa maksud diksi-diksinya puisinya yang terdengan ‘aneh’ itu kepada Pomo, dan dia menjawabnya dengan sebuah jawaban yang juga aneh namun terkesan tidak terlalu penting berkaitan dengan sajaknya. Tapi, menanyakan hal ini kepada Pomo menjadi sesuatu yang menarik, karena kemudian akan berlanjut dengan sebuah kisah panjang dalam setiap sajak-sajaknya, yakni kisah-kisah personal yang secara umum memiliki sebentuk keterkaitan yang lain. Ada sisi absurditas yang terbangun namun tak berkental-kental dalam filsafat. Ia adalah sebuah sajak yang sempurna dan memiliki ciri khas yang unik. Dan ketika beliau sudah meninggal dunia, maka saya pun kehilangan orang yang begitu sangat teliti dan antusias membahas sastra serta dunia tulis menulis. Pomo Martadi menggoreskan sajak-sajak yang menjadi sumber inspirasi penyair-penyair Banyuwangi generasi terkini di Banyuwangi.

Lalu Hasnan Singodimayan. Sebagaimana saya sebutkan, Hasnan sangat jarang menulis puisi. Dia lebih tekun menulis esai sastra dan kesenian, prosa dan drama. Namun dapat kita lihat karya-karya prosa Hasnan, seperti novelnya Kerudung Santet Gandrung yang diterbitkan Desantara laku hampir lima ribu copy. Prosa yang ditulis Hasnan banyak menggambarkan kegamangan dan kegelisahan spiritual dari seorang pecinta dan penjaga tradisi ketika harus berhadapan dengan nilai-nilai keyakinan beragama serta kekinian masyarakat. Hasnan mencoba membenturkan nilai-nilai tradisi dengan nilai-nilai agama yang selama ini diyakini yang terkesan membatasi ruang gerak tradisi setempat. Barangkali mirip dengan yang dilakukan DR. Chaim Potok yang mencoba membenturkan nilai-nilai Yahudi dengan kekinian ilmu pengetahuan serta aktualisasi jaman.

Lontar dan Jejak

Pada tahun 1971, Banyuwangi menerbitkan kertas sastra dan budaya yang bernama Lontar. Nama tersebut diberikan oleh Pomo Martadi. Media sastra pertama di Banyuwangi ini menjadi media utama yang sangat penting dalam proses kreatif penyair-penyair Banyuwangi hingga tahun 1983. Media sastra Lontar ini diterbitkan secara stensil seukuran saku dengan ketik manual oleh Blambangan Sastra dan Teater Club. Sejumlah nama penyair awal dan yang sudah gaek menjadi dewan redaksinya, yakni: Sudh Widjaya, Arbowati HS., Djoko Sp., S. Ghandiarto, Ds. Lubdhoko, Ririn Ma., Tjipto Abadi, Pomo Martadi, Hermin Hs., Mh. Sutikno, Rumaniyati, Zdulfiqar Awwami. Beralamat di: Djl. Sritandjung-Banjuwangi. Diterbitkan sekali sebulan 14 halaman, ditjetak pada Djawatan Penerangan Kabupaten Banyuwangi.

Lontar menjadi media sastra perdana di Banyuwangi yang telah melahirkan nama-nama penyair dan penulis Banyuwangi, seperti Nirwan Dewanto, Fatah Yasin Noor, Gimien Artekjursi, dll. Media sastra ini diasuh oleh Hasnan Singodimayan dan Pomo Martadi. Pomo Martadi seringkali menulis kritis sastra dan juga puisi di Lontar, sedangkan Hasnan banyak menciptakan penyair-penyair baru dengan esai-esai saastranya di samping juga mengupas secara mendalam mengenai kebuayaan lokal Banyuwangi. Lontar terus berkembang dari tahun ke tahun, hingga pada tahun 1980, Lontar sudah digarap dengan komputer dan dengan lay out yang lebih rapi.

Media sastra Lontar ini menjadi barometer kesusastraan modern di Banyuwangi, di mana penyair-penyair baru bermunculan dan dialog-dilaog sastra serta pertunjukan digelar oleh redaksi Lontar atau BSC (Blambangan Sastra dan Teater Club). Di tahun 1983-1984, Fatah Yasin Noor tiba di Banyuwangi dari studinya di Djogja. Nirwan Dewanto mengirimkan sajak-sajak awalnya ke Lontar, dll. Dua nama baru itu karya-karyanya menjadi bahasan penting dalam tiap pertemuan. Tak kurang Hasnan dan Pomo membahas karya-karya mereka dalam tulisan maupun dalam setiap pertemuan. Generasi Lontar adalah generasi orisinil yang memcetak penyair-penyair Banyuwangi modern di tahun 1970 sampai tahun 1983. Dengan minimnya pendanaan dan di samping itu banyak pengurus BSC yang ke luar kota untuk mencari nafkah, Lontar berhenti terbit pada edisi 23 tahun 1983. Sejak itu tahun 1983, media sastra cetak di Banyuwangi tidak terbit. Kesusastraan kembali lebih marak dibacakan dan diulas secara lisan di radio-radio lokal di Banyuwangi.

Baru di tahun 1990-an, muncul kembali komunitas sastra yakni Selasa (Senantiasa Lestarikan Sastra) Banyuwangi. Banyak di antara aggota komunitas adalah penyair-penyair generasi tahun 1990, atau para pemula. Namun, keberadaan Selasa tetap tidak lepas dari tangan dingin Pomo Martadi dan Hasnan Singodimayan. Nama Selasa diberikan oleh Pomo Martadi, dan komunitas ini kemudian menerbitkan media cetak sastra, yakni menerbitkan kembali Lontar dalam bentuk majalah. Edisi pertama, setelah mati sejak 1983, Lontar pada tahun 1998. Namun sayangnya, setelah edisi perdana di tahun 1998 itu, majalah ini tidak terbit lagi.

Lalu komunitas sastra yang dikelola Armaya yang beranggotakan tiga orang saja, yakni Iwan Aziez Siswanto S., Fatah Yasin Noor, Abdullah Fauzi, menerbitkan Buletin Menara Baiturrahman. Sebuah buletin Jum’at yang diterbitkan oleh Yayasan Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi itu dikelola oleh tiga orang tersebut, dan secara langsung dibiayai oleh Armaya ditambah dengan dana yayasan. Hanya bertahan kira-kira setahun, buletin ini pun mati. Namun kembali terbit Buletin Jejak, mati lagi, kemudian terbit Buletin Baiturrahman hingga mati pada tahun 2004. Buletin-buletin masjid yang hanya empat halaman itu banyak memuat karya-karya sastra penyair Banyuwangi di tengah sangat keringnya pemuatan karya-karya sastra di media cetak di Banyuwangi. Sempat beberapa bulan lamanya, Radar Banyuwangi, koran yang diterbitkan Jawa Pos Group di Banyuwangi menyediakan secuil halamannya untuk puisi, karena kebetulan Samsudin Adlawi, penyair generasi terbaru Banyuwangi menjadi pimpinan redaksi Radar Banyuwangi.

Tahun 2000-an, Armaya mendirikan PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi). PSBB kemudian banyak menerbitkan karya-karya sastra modern di Banyuwangi dan puisi-puisi berdialek Using, esai-esai budaya, buku-buku sejarah, dan pengenalan kesenian Banyuwangi. PSBB tidak dikelola secara profesional, sehingga pendanaan bersumber langsung dari saku pribadi Armaya dan beberapa donatur saja. Lalu di tahun 2002, berdirilah DKB-R (Dewan Kesenian Blambangan Reformasi) yang diketuai oleh Fatah Yasin Noor. DKB-R ini kemudian menerbitkan Majalah Budaya Jejak yang terbit secara rutin hingga akhir tahun 2006. Di dalam majalah Jejak banyak termuat karya-karya penyair Banyuwangi, cerpen, esai sastra.

Pada akhir tahun 2006, Majalah Budaya Jejak berhenti terbit. Hal ini karena tim redaksi sudah mengalami perpecahan dikarenakan kesibukan mencari nafkah keluarga. Hingga kini, Armaya merasa kehilangan anak-anak didiknya dalam dunia sastra, sehingga dengan usianya yang sudah kepala delapan, beliau kebingungan orang untuk menerbitkan secara tehnis majalah sastra dan budaya yang ada dalam kehendak hatinya.

Dan di tahun 2008 ini, di Banyuwangi samasekali tidak ada media sastra, baik cetak maupun elektronik, tidak terbit lagi majalah/media dan buku-buku sastra di Banyuwangi, tidak ada radio yang ngomong sastra di Banyuwangi. Ini merupakan sebuah kemunduran yang aktual dari tahun-tahun lalu yang begitu subur dan menggebu menggairah. Sebentuk kemundulan yang aktual mengingat para penyair atau sastrawan di Banyuwangi terbilang tidak sedikit untuk ukuran sebuah daerah kabupaten, yakni kabupaten paling ujung timur pulau Jawa, Banyuwangi. Semoga kekeringan ini segera berakhir.

Banyuwangi, 2010

Esai ini disampaikan pada acara bedah buku puisi “Rajegwesi”, karya Fatah Yasin Noor, diselenggarakan oleh Komunitas Lembah Pring pada acara Geladak Sastra # 8, minggu, 26 September 2010 di Sanggrah Akar Mojo Ds. Sajen Pacet, Mojokerto.

Gus Dur Mencapai Cita-Citanya

Syu’bah Asa*
http://gusdurian.net/

SUATU kali Abdurrahman Wahid marah-marah kepada seorang tokoh Islam. Masalahnya, seorang wartawan TEMPO mengadu kepadanya. Ia dimarahi tokoh itu, karena datang ke rumahnya dengan cara melompat pagar pekarangan yang terkunci setelah tidak mendapat cara lain untuk masuk. Ini terjadi pada akhir 1970-an, zaman ketika telepon belum populer, sedangkan si wartawan memang punya janji dengan si tokoh. Mendengar pengaduan itu malah Gus Dur yang tersinggung dan membela si wartawan. “Sok kenes! Keba­rat-baratan!” katanya, ditujukan kepada tokoh yang tidak mendengar kemarah­annya itu.

Kemarahan Gus Dur dikarenakan ia tidak terlalu menganggap serius perbuatan lompat pagar yang dilakukan dengan terpaksa itu, dibanding keperluan yang mendorongnya. Itu paling-paling, kan, kenakalan anak muda. Begitu saja kok marah. Repot-repot amat. Ini semua menurut cerita si wartawan.

Tetapi, itulah Gus Dur yang dikenal kawan-kawan di TEMPO: bersahabat, tidak formal, punya empati besar, cepat bereaksi, di samping luas perhatian dan banyak guyon. Di masa-masa itu, ketika TEMPO masih berkantor di Proyek Senen, Jakarta Pusat, sekitar akhir 1970-an sampai 1980-an, Gus Dur kerap datang untuk menulis kolomnya. Produktif sekali. Kalau tidak salah, yang satu belum dimuat, sudah datang yang lain. Andaipun terpaksa ada kolom yang harus kembali, saya kira dia juga tidak peduli. Repot-repot amat. Tapi, saya lupa menge­nai itu. Yang jelas, produktivitas Gus Dur membuat Goenawan Mohamad, Pe­mimpin Redaksi ketika itu, menyarankan kepada saya agar mengurus satu meja khusus plus mesin ketik untuk dia.

Gus Dur orangnya segar. Datang dengan gaya seperti selalu siap untuk ngobrol, pakai sandal, tidak pernah sepatu, pakai hem lengan pendek, tidak pernah pakai peci, apalagi dasi. Selalu punya lelucon yang membuat orang tergelak-gelak. Setelah ger-geran sedikit, baru ia menuju mejanya dan mulai mengetik. Sekitar dua jam kemudian ia mendatangi Goenawan, atau saya, menyerahkan tulisannya. “Ini. Terserah Mas Syu’bah.” Atau, “Terserah Mas Goen.” Sudah itu ia tidak peduli mau diapakan kolomnya: diedit, dibolak-balik, dikurangi, terserah. Repot-repot amat. Asal masih tetap pikiran dia, tentu saja. Biasanya Goenawan menaruh lagi kolom yang diberikan Gus Dur itu di meja saya. Tapi, kalau sudah dia sentuh sedikit-sedikit, ya, saya teruskan saja ke pracetak.

Hampir tiap minggu Gus Dur menulis. Ini, kemudian, diakuinya sendiri di satu wawancara televisi, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sekeluarga. Ada saja idenya. Juga ide yang bagi orang lain sering dianggap sepele, akan ia ke­mukakan dalam kalimat-kalimat serius, sehingga membuatnya penting. Kolom­nya tentang lelucon, misalnya, tentunya bisa dimasukkan ke situ. Karena pulang-pergi naik kendaraan umum, ia juga dapat ide tentang bus kota nomor sekian yang tiap hari Minggu mengubah trayek menjadi Kebayoran-Kwitang. Sopir bus itu tahu kebutuhan umat Habib Al-Habsyi yang tiap Ahad pagi berbondong-bondong ke pengajian. Lalu Gus Dur, dengan beberapa contoh lain, bicara dengan segar tentang “komersialisasi keberagamaan” dengan kedua pihak sama-sama setuju.

Ungkapan-ungkapan Gus Dur memang rata-rata menyegarkan. Judul seperti Menunggu Setan Lewat, misalnya, adalah asli dari dia dan bukan dari penyunting. Berpikirnya ringan tetapi amot, perbendaharaannya banyak, dan pengungkap­annya prosais. Hanya saja, karena rata-rata dikerjakan dengan cepat, tanpa selalu sempat memilih ungkapan yang efektif, terkadang karangan agak boros kata, dan itu mengaburkan barik (tekstur).

Sebaliknya, karena ide, atau unit pikiran kecil-kecil, sering banyak sekali, ia juga bisa agak melompat, mengira orang sudah paham, padahal diperlukan jem­batan — yang sering hanya dua-tiga kata. Betapapun, tulisan Gus Dur tidak termasuk yang ditangani, misalnya sampai ke tingkat “dikerjain”. Sekadar men­jaga bagaimana agar ketajaman pikiran dan analisisnya tidak dikaburkan oleh semak belukar kata. Kalau ternyata malah sudah beres dengan sendirinya, sudah.

Itu penting. Apalagi untuk penulis produktif dengan spektrum pemikiran yang luas seperti dia. Memang, lebih luas dari siapa pun. Kalau dibandingkan dengan Nurcholish Madjid atau Amien Rais, spektrum perhatian Gus Dur masih lebih luas. Tulisan-tulisannya mulai dari masalah-masalah sosial, politik, agama, bu­ruh, tani, dakwah, musik, sampai sepak bola—nasional maupun internasional.

Dan itu sesuai dengan keluasan ruang geraknya dan banyaknya komunitas yang dia masuki. Ia orang santri dari kalangan pesantren yang, sebagai orang intelek ilmu agama, punya lingkungan keilmuan Islam. Lalu, lingkungan ilmu­wan sosial dia masuki. Ikut seminar-seminar. Dia kan punya perangkat leori sosial, belajar ilmu sosial. Juga lingkungan pergerakan keagamaan dengan aktif di NU. Jadi orang LSM. Orang gerakan demokrasi dan hak asasi. Masuk ling­kungan antaragama. Sampai ke tingkat antarnegara. Tapi juga, sebelumnya, orang Taman Ismail Marzuki.

Ia bukan seniman, hanya kecenderungan humanioranya besar sekali. Bacaan novelnya, atau majalah budaya, paling tidak terbitan Timur Tengah atau terjemahan sana, dulu, waktu sekolah di Mesir, tidak bisa disamai intelektual mana pun yang bukan budayawan. Karena wawasannya pula ia dipilih menjadi salah satu ketua Dewan Kesenian Jakarta. Tentu, jabatannya di NU memperkuat kans­nya sebagai ketua di DKJ. karena kita kan senang kalau, ternyata, masyarakat ini bisa dibikin tidak terkotak-kotak.

Termasuk dalam perhatiannya yang luas adalah kegemarannya pada perkem­bangan politik berbagai negara, lengkap dengan ideologi-ideologi. Jangan-ja­ngan, inilah yang paling dia gemari, walaupun bukan yang paling banyak dia tulis. Sehingga, melihat kolom-kolomnya saja kita sebenarnya tidak heran kalau Gus Dur menjadi presiden. Mungkin ada benarnya, meskipun ini karena kita berpikir sekarang, sebetulnya dari kecil Gus Dur bercita-cita ingin jadi “sesuatu”, ingin jadi somebody yang berhubungan dengan kekuasaan. Tentu kita semua juga ingin jadi somebody, tapi kan tidak semua somebody punya kaitan dengan kekuasaan. Pada saya, misalnya, tidak.

Tapi, Gus Dur datang dari keluarga aktivis besar, dalam pengertian yang dekat dengan negara. Kakeknya termasuk pendiri Masjumi dan, kemudian, pendiri NU. Ayahnya menteri agama dan sangat terkenal di kalangan Islam. Dua-duanya pahlawan nasional. Yang saya tahu, keluarga besar Gus Dur umumnya berpenda­pat dia itu mestinya menjadi menteri agama, supaya ada yang meneruskan “warisan” ayah dan kakeknya.

Dan nanti akan kita lihat, Gus Dur sendiri, paling tidak sebagai aktivis, kalau bukan juga sebagai kolumnis, tidak bisa jauh dari kekuasaan. Ia selalu bergerak di dekat-dekat situ, meskipun oleh pemerintah waktu itu tidak dibolehkan men­jadi pemain. Ini bisa dibandingkan dengan para intelektual lain mana pun yang umumnya, memang, bermental swasta. Kalaupun hidupnya berhubungan dengan pemerintah, ya paling-paling makan upah, sebagai pegawai atau dosen. Gus Dur tidak pernah makan upah.

Kolom-kolomnya sendiri, sebagian, sudah mencerminkan antusiasmenya terhadap politik dan masalah kenegaraan. Tidak hanya Gus Dur yang menulis soal luar negeri. Tetapi, rasa-rasanya, hanya dia yang datang dengan ide lebih dahulu (dan itulah yang membuatnya menjelaskan apa yang sedang terjadi, dan bukan sebaliknya) dan menulis sambil seolah-olah berkata, “Mestinya kan be­gini. Repot-repot amat.” Karangannya bisa menyangkut negara apa saja, Timur maupun Barat.

la bukan ilmuwan spesialis, misalnya ahli negara tertentu. Pengetahuannya yang mendetail (misalnya saja tentang Israel mutakhir) merupakan hasil dari minatnya yang besar, dan ia menulis dengan gaya seakan-akan masalahnya ri­ngan saja. Jadi. soal seperti lelucon ia “perjuangkan” dengan kalimat-kalimat serius untuk diberi perhatian, sementara soal politik dan kenegaraan sering ia tulis dengan segar, khas seseorang yang yakin bahwa ia mampu. Ini karena pada dasarnya ia budayawan. Sekarang ini kita bisa berkata, ia budayawan (lebih dari agamawan) yang masuk ke dunia politik.

Karena itu, tidak heran ketika masuk Istana, menjadi kepala negara, ia tidak mmder atau kelihatan sebagai junior. Ia jenis tokoh yang “matang di luar”. Tidak lewat pendidikan formal, misalnya ilmu politik. Dan seperti pernah dikatakan Munawir Sjadzali kepada saya waktu beliau masih menteri agama, orang itu “tidak punya obsesi gelar”. Itu benar. Gelar K.H. pun bukan dia sendiri yang pasang. Padahal, setahu saya Gus Dur tidak pernah mengajar ngaji kitab. Kan “Gus” itu panggilan putra kiai.

Jadi, Gus Dur itu hanya membaca, mendengar, diskusi, membaca, mendengar, diskusi, sambil ketawa-ketawa. Waktu sekolah di Mesir pun, saya bilang tadi, bacaannya novel. Sekolahnya sendiri entah lulus entah tidak, nggak pentinglah. Ada yang cerita, pernah ia naik bus ke sekolah, tapi waktu bus berhenti dekat sekolah, ia tidak turun, karena sebenarnya ia mau nonton. Saya pernah mende­ngar cerita yang hampir seperti itu tentang Bung Karno, entah benar, entah tidak. Katanjga, waktu dibuang Belanda ke Digul, kalau Bung Hatta kan kerjaan­nya membaca. Kalau Bung Karno tidak. Mancing.

Tapi, Gus Dur membaca. Dan banyak. Matanya saja sampai rusak. Mungkin lebih banyak membaca daripada Bung Karno. Apalagi dibanding Pak Harto. Habibie juga membaca, saya kira. Tapi, saya yakin dengan bahan yang lebih terbatas. Dalam buku otobiografi Deliar Noer dituliskan, waktu Pak Deliar me­wawancarai Kiai Wahid, ayah Gus Dur, untuk keperluan disertasinya, ia melihat anak kecil pakai kacamata asyik membaca di lantai. Mungkin, kata Deliar, itu Abdurrahman Wahid.

Tapi, Gus Dur bukan pembaca tipe anak sekolah, yang hanya membaca buku yang ditentukan guru atau yang ada dalam disiplin ilmu tertentu. Gus Dur mem­baca semua yang menarik dia, kalau perlu karcis bioskop dia baca. Dari situ ia dapat ide (lalu ketawa-ketawa). Ia membaca bagian yang penting-penting. Kan, zaman sekarang kita membaca buku dengan scanning atau skimming atau lewat indeks. Jadi, bisa banyak. Kecuali membaca sajak, lho, atau novel. Mana ada novel pakai indeks.

Kecerdasannya menonjol. Cepat menangkap sesuatu dan menentukan sumber masalah. la kerap berangkat dari asumsi dan akumulasi pengetahuan yang dia punya dan, memang, analisisnya pada umumnya tepat. Tentu bukan tidak pernah keliru. Ketika ia menulis tentang Filipina, TEMPO, beberapa hari kemudian tulisan yang bagus itu ditebang oleh Mahbub Junaedi di harian Kompas. Mahbub adalah kolumnis dengan dukungan sistem kliping yang baik, seperti Pater Brouwer. Waktu itu Goenawan berkala kepada saya, kira-kira, “Bagaimana, ya, cara­nya menasihati Gus Dur supaya lebih memperhatikan data. Orangnya sangat pintar, cuma nggak begitu peduli.” Dua hari kemudian, waktu saya singgung tulisan Mahbub itu, Gus Dur enteng saja menanggapi: “Ah. kita bicara ini, dia bicara itu.”

Saya kira-kira paham juga yang dimaksud Gus Dur dengan “bicara ini, bicara itu”. Memang ada benarnya. Hanya, kalau mau mencari kelemahan Gus Dur, kelemahan itu ada pada hal-hal kecil. Bisa termasuk data teknis, meskipun ia orang yang akrab dengan perpustakaan. Percakapan saya dengan dia itu sendiri berlangsung di perpustakaan — dan perpustakaan TEMPO, kan, cukup bagus. Gus Dur ke perpustakaan mencari ide, menimba, atau mengecek pikiran atau gagasan. Tokoh seperti dia kan suka ide-ide segar, termasuk yang bagi banyak orang terasa menyentak. Misalnya, yang terakhir, kata-katanya di perayaan Cap Go Meh bahwa sekarang inilah saat kita mengembangkan perbedaan. “Makin berbeda kita, makin jelas di mana titik-titik persatuan kita.”

Itu pikiran besar — kalimat orisinal — yang abstrak, tampaknya, tapi bisa mempengaruhi kebijaksanaan atau, jelas, akan sejalan dengan keputusan-keputusan yang akan diambil selanjutnya. Yang seperti itu dari Gus Dur banyak. Nah, para pembantunyalah, sekarang, yang harus lintang-pukang menyuplai sang presiden dengan hal-hal teknis, termasuk data, apa saja, agar “kebesaran” itu tidak tertumbuk dengan data atau dengan info yang tidak benar. Dokter lang­ganan saya, kebetulan keturunan Cina, sehabis mendengar dua-tiga pidato Gus Dur yang pertama, bilang, “Itu orang jenial, bukan, Pak?” “Iya, Bu. Ia salah satu putra terbaik kita.”

Perjalanannya ke kursi presiden itu sangat cepat. Bikin partai, kampanye se­dikit, terus jadi presiden. Begitu. Kecuali kalau jabatannya sebagai pemimpin NU, juga di Forum Demokrasi, sudah kita pandang sebagai kegiatan politik. Pendapat Dawam Rahardjo, misalnya, sejalan dengan itu. Suatu kali saya sendiri diajak Gus Dur ke Jawa Timur. Berdua kami berkeliling dari satu kiai ke kiai lain, dari satu pesantren ke pesantren lain. Juga beberapa famili yang menjadi pejabat di daerah.

Misalnya, kami menginap di satu kabupaten yang bupatinya kemenakannya. Biasanya mereka mengumpulkan sejumlah orang untuk menyambut cucu Hadratusy Syaikh (Hasyim Asy’ari, red.) itu, tapi yang datang tidak banyak. Kan Gus Dur belum terkenal. Di Lamongan, misalnya, kalau tidak salah cuma sekitar 40 orang. Dalam kesempatan seperti itu biasanya Gus Dur bicara, lalu menyuruh saya meneruskan. Sudah itu tanya-jawab. Dia yang jawab.

Saya berpikir, seakan-akan Gus Dur sedang mencari atau mengurut mata-mata rantai yang lepas-lepas, sambil bersilaturahmi. Kan dia belum begitu lama pulang dari Irak. Dia banyak bertanya tentang famili atau kenalan yang berada di sini atau di sana, jadi apa dia sekarang, bagaimana posisinya, pengaruhnya, keluarganya, dan seterusnya. Gus Dur sedang akan memakai jaringan yang sudah ada, yang bisa juga dari warisan, dengan maksud mengaktualkan kembali jaring­an itu dengan dirinya sebagai pemain.

Saya mencatat, perjalanan kami berdua itu berada dalam kerangka perjalanan Gus Dur sendiri, tahap awal, untuk naik ke atas. Tidak lama kemudian dia akan masuk ke dalam jajaran kepengurusan PB Nadlatul Ulama, kalau tidak salah, mula-mula sebagai wakil katib (penulis). Kami juga mengunjungi Kiai Ahmad Siddiq (almarhum). Malahan Gus Dur meninggalkan kami berdua agak lama. Dan nanti kita akan lihat bahwa dalam soal kembalinya NU ke Khitah 1926 pada Muktamar Situbondo 1984, yang berdiri di belakangnya tak lain kedua tokoh itu: Gus Dur dan Kiai Siddiq. Dari situ Gus Dur melesat ke atas.

* Penulis adalah Redaktur majalah TEMPO (1971-1987).
________________
Tulisan diambil dari Pengantar Buku Melawan Melalui Lelucon: Kumpulan Kolom Abdurrahman Wahid di TEMPO, Tahun 2000.
Sumber: http://gusdurian.net/opini/anom/gus-dur-mencapai-cita-citanya/

Mencari sastra yang berpijak di …

PERDEBATAN SASTRA KONTEKSTUAL
Susunan: Ariel Heryanto
Penerbit: CV Rajawali, Jakarta,
1985, 501 halaman
Peresensi: Sapardi Djoko Damono
http://majalah.tempointeraktif.com/

ARIEF Budiman adalah seorang tokoh yang unik dalam dunia pemikiran kesusastraan di Indonesia. Pada akhir 1960-an, ia menerbitkan gagasan mengenai metode kritik sastra, yang dinamakannya Ganzheit, yang kemudian melibatkan beberapa pihak dalam serangkaian diskusi dan pembicaraan. Ada yang “mendukung”, ada yang “menolak” gagasan tersebut, tapi rangkaian pembicaraan itu memberikan gambaran mengenai adanya “aliran-aliran” dalam kritik sastra kita, yakni yang umumnya dikenal sebagai Ganzheit dan “Rawamangun”.

Sekitar satu generasi kemudian, kembali Arief menyodorkan gagasan yang menarik perhatian, yakni mengenai sastra kontekstual. Lebih dari gagasannya mengenai metode Ganzheit, sastra kontekstual ini dalam waktu singkat telah mengundang komentar banyak pihak. Orang tentu bisa saja membayangkan rangkaian komentar itu sebagai sesuatu yang berlangsung seru, dan, karena itu, menyebutnya sebagai “perdebatan”.

Nah, buku yang disunting Ariel Heryanto ini merupakan bunga rampai yang dimaksudkan sebagai rekaman “perdebatan” tersebut. Yang dikumpulkannya mencakup makalah, karangan di berbagai media massa, wawancara, dan berita.

Kalau sewaktu melontarkan gagasan mengenai Ganzheit, Arief disaudarakan dengan Goenawan Mohamad, maka dalam sastra kontekstual ini ia dianggap sekubu dengan Ariel Heryanto. Tentu ada bedanya: Goenawan tidak pernah secara bersemangat membicarakan gagasan itu, apalagi berniat mengumpulkan komentar dan pembicaraan tentang Ganzheit, sementara Ariel dengan semangat tinggi menawarkan gagasan tersebut, dan salah satu wujud tawarannya adalah bunga rampai ini.

Ariel punya andil dalam penyusunan gagasan ini, karena itu merasa berkewajiban secara aktif menyebarluaskannya. Perdebatan Sastra Kontekstual ini dibagi menjadi delapan bagian. Bagian kesatu merupakan pendahuluan, yang disusun Ariel Heryanto. Karangan sepanjang sekitar 30 halaman itu berusaha memaparkan lahirnya gagasan sastra kontekstual, yang lahir kira-kira pada akhir 1984, yakni ketika berlangsung Sarasehan Kesenian di Solo.

Dalam pendahuluan ini disinggung Ariel bahwa pada sarasehan itu, sebenarnya Arief tidak mempergunakan istilah tersebut - istilah itu dipergunakan Ariel. Yang menarik, kata Ariel, istilah sastra kontekstual yang dipakainya tidak persis sama dengan yang kemudian menyebar luas atas jasa Arief Budiman.

Menurut editor, ada tiga faktor penting yang memungkinkan meriah dan larisnya perdebatan sastra kontekstual selama belahan pertama tahun 1985, yakni momen historis, penampilan seorang Arief, dan dukungan media massa.

Bagian kedua berisi sebuah tulisan Ariel dan tiga buah karangan Arief, yang oleh editor digolongkan sebagai umpan pertama perdebatan “sastra kontekstual”. Bagian ini boleh dianggap sebagai landasan bagi rangkaian pembicaraan selanjutnya - di antara karangan Arief terdapat makalah untuk Sarasehan Seni di Solo, 1984, Catatan Kebudayaan Horison yang berjudul “Mencari Sastra yang Berpijak di Bumi: Sastra Kontekstual”, Januari 1985.

Bagian ketiga digolongkan sebagai umpan kedua, berisi tiga karangan, sebuah oleh Arief dan dua buah lagi dan Ariel. Bagian ini boleh digolongkan sebagai semacam lanjutan pemikiran Arief dan Ariel. Bagian keempat merupakan sejumlah laporan atau berita yang dimuat di beberapa media massa cetak mengenai gagasan “sastra kontekstual”.

Bagian kelima berisi beberapa tanggapan terhadap gagasan umpan yang dimuat dalam bagian pertama dan kedua. Dalam bagian ini dimuat karangan Umar Kayam, “Sastra Kontekstual yang Bagaimana?”, yang merupakan tanggapan terhadap gagasan Arief dalam Sarasehan di Solo, dan “Catatan Kebudayaan” Horison. Di samping itu, terdapat juga karangan-karangan lain, di antaranya dari Hendrik Berybe, Afrizal Malna, dan Veven Sp. Wardhana.

Bagian keenam berisi karangan Arief, yang berjudul “Sastra Kontekstual - Sebuah Penjelasan”, sebuah uraian mengenai gagasan yang telah menimbulkan beberapa salah paham itu, dan “Sastra Kontekstual: Menjawab Kayam”, yang merupakan jawaban atas “kesalahpahaman” Kayam. Pada bagian ini, Ariel juga berusaha menjelaskan gagasannya lebih lanjut.

Bagian ketujuh berupa rangkaian karangan Arief dan Ariel sebelum ramai-ramai sastra kontekstual ini. Antara lain, dimuat karangan Arief “Metode Ganzheit dalam Kritik Seni, yang pernah menghasilkan serangkaian pembicaraan itu.

Bagian kedelapan berisi tiga tulisan yang digolongkan sebagai tulisan pendorong, yakni karangan Goenawan Mohamad, “Sebuah Pembelaan untuk Teater Indonesia Mutakhir” karangan Rendra, “Sastra dan Masyarakat”, dan tulisan Emha Ainun Nadjib, “Sastra Independen”. Dari jenis karangan yang dimuat dalam bunga rampai ini terkesan bahwa masalah yang ingin dijangkau editor terlampau luas.

Akibatnya, pembaca sulit memusatkan perhatian pada pokok masalah yang ingin ditawarkannya. Hal ini mungkin disengaja, karena editor mungkin beranggapan masalah sastra kontekstual memang luas jangkauannya. Tetapi mungkin juga hal itu disebabkan editor sebenarnya tidak tahu betul apa yang ingin disodorkannya, sehubungan dengan gagasannya sendiri, dan gagasan Arief, yang kemudian dikenal sebagai “sastra kontekstual”.

Menurut editor ada perbedaan antara ia dan Arief mengenai gagasan ini. Bainya, “satra kontekstual” terutama berarti pemahaman atas kesusastraan dengan meninjau kaitan mutlak kesusastraan itu pada konteks sosial historisnya. Sedangkan Arief, katanya, beranggapan bahwa sastra semacam itu adalah karya sastra yang sesuai dengan konteks sosial-historis masyarakat di sekeliling tempat terciptanya karya sastra itu.

Sebenarnya, Arief merumuskan gagasannya itu dengan berbagai cara. Toh rumusan tersebut tetap saja bisa menimbulkan salah tafsir dan salah paham. Dan justru itulah yang menghasilkan “perdebatan” ini. Begitu rumitnya pemahaman, dan begitu khawatirnya terhadap salah tafsir, sehingga salah seorang penanggap, Nadjib Kertapati Z., menulis “pemahaman yang sekaligus panutan saya ini bagi Arief bahkan mungkin merupakan kesalahpahaman baru”.

Perdebatan mengenai sastra kontekstual ini digambarkan editor sebagai “meriah dan laris”. Itu bisa dimaklumi karena dalam pelbagai pembicaraan muncul sejumlah istilah, yang seolah-olah tak henti-hentinya kita bicarakan: Barat, kiri, universal, borjuis, elite, keindahan, dan sebagainya. Kata-kata itu punya konotasi yang beragam dalam benak kita, dan merupakan landasan bagus untuk “perdebatan”. Tidak heran dalam serangkaian pembicaraan tersebut muncul pula ejekan, sindiran, dan bahkan caci maki. Mungkin sekali tentang suatu istilah yang- memiliki pengertian berbeda bagi masing-masing pihak.

Dalam pendahuluannya, Ariel membuat pengandaian: “seandainya seorang Arief Budiman tidak hadir dalam Sarasehan Kesenian 1984, dan tidak mempersoalkan sama sekali pembicaraan dan sarasehan itu, akan terlahirkah perdebatan seperti ’sastra kontekstual’?” Ariel menjawab, mungkin ada. Kita mungkin menjawab, mungkin tidak ada. Tapi, yang sangat menonjol dalam “perdebatan” ini adalah sosok Arief, yang sewaktu Sarasehan di Solo membuat apologi, “terus terang dalam sastra dan seni pada umumnya saya lebih berperan sebagai pengamat dari jauh. Karena bidang perhatian saya, seperti yang Anda ketahui, sekarang ini lebih banyak pada permasalahan politik dan ekonomi.”

Toh, Arief merasa gembira berada di tengah-tengah sastrawan dan seniman karena, katanya, memperoleh “sesuatu yang tidak saya peroleh dari kesibukan-kesibukan saya dalam diskusi-diskusi tentang masalah-masalah sosial ekonomi.” Dalam sebuah wawancaranya, Arief juga menunjukkan semacam apologi. Katanya, “Sebenarnya saya akan tinggalkan kesenian. Agak kesal juga, karena saya mesti menjadi juru bicara sastra kontekstual yang sesungguhnya orang harus lebih banyak bertanya kepada Ariel Heryanto, yang lebih mumpuni di bidang itu.”

Tetapi, meminjam istilah Kayam, Arief punya “pengikut”, tidak sedikit yang tertarik mengikuti gagasan-gagasannya, meskipun - seperti yang tampak dalam bunga rampai ini - tidak jarang mereka itu sebenarnya tidak betul-betul memahaminya. Jadi, meskipun Arief sudah ingin meninggalkan kesenian untuk lebih tekun melakukan diskusi tentang masalah sosial ekonomi, tak banyak orang yang “menuntut”-nya sebagai pemandu di bidang kesusastraan. Dengan demikian, setiap gagasan Arief diterima, lalu disebarluaskan dengan cepat.

17 Mei 1986

Imitasi

Feby Indirani *
http://www.ruangbaca.com/

Banyak orang gagal menjadi pemikir orisinil semata-mata karena ingatan mereka terlampau kuat (Friedrich Nietzsche)

Nietzsche memang sudah mati. Tapi perkataannya di atas selalu membuat saya cemas. Kecuali untuk urusan menghafal jalan, ingatan saya lumayan kuat nyaris menyamai gajah. Saya was-was. Jangan-jangan orang seperti saya akan sulit melahirkan gagasan orisinil.

Sebagai orang yang ingin menulis, saya memaksa diri untuk banyak membaca karya orang. Dalam proses itu, tak jarang saya menemukan penulis yang begitu saya sukai, hingga saya nyaris membencinya. Bagaimana mungkin ada orang yang bisa menulis dengan begitu cemerlang?

Kamila Syamsie, penulis The Broken Verses adalah salah satunya. Saya terpukau akan gagasannya, gaya menulisnya yang ringkas dan selera humornya yang satir. Usai menamatkan bukunya, kalimat-kalimat Syamsie selalu terbayang-bayang di kepala. Pada gilirannya mencoba menulis, saya kemudian selalu berusaha bagaimana agar saya bisa sehebat dia. Ketangkasannya mengungkapkan pikiran, diksinya yang efisien dan pemenggalan kalimatnya yang berirama stakkato.

Sampai kemudian saya sadar. Ups, saya meniru dia. Mengimitasi gayanya. Teng! Tiba-tiba lonceng kegagalan berbunyi di benak saya.

Bagi seorang penulis, imitasi adalah sebuah kabar buruk. Yang pertama mendapatkan mutiara, pengikut hanya beroleh cangkangnya, begitu ujar Simon Conwell juri Indonesian Idol yang sering dikutip rekan saya Akmal N. Basral, wartawan dan penulis. Seberapapun awetnya kembang plastik, bunga hidup pasti lebih dihargai. Semirip apapun, kalung mutiara palsu tetap saja dianggap murahan.

Imitasi adalah salah satu bentuk plagiasi. Derajat dari plagiasi ini bermacam-macam, dari yang paling parah (hard plagiarism) sampai yang tak begitu kentara (soft plagiarism). Kategori hard bisa kita temukan ketika seseorang menyalin habis tulisan orang tanpa menyebutkan sumbernya. Ini pernah dialami Y Thendra BP yang menemukan dua buah puisinya, Bulan Telah Mati di Jogja dan Sajak Anak Khatulistiwa diterbitkan dalam antologi Dian Sastro for President (On/Off Yogyakarta 2002) .

Masih dalam kategori itu adalah melakukan bongkar pasang dengan mengubah beberapa bagian saja. Helvy Tiana Rosa pernah mengalaminya untuk novelnya berjudul Akira (As-Syaamil, 2000). Seseorang kemudian menerbitkan Fajar Menyingsing di Arkansas (Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, 2003). Menurut Helvy, semua jalan cerita dan kalimat-kalimat dalam novel itu persis, hanya nama tokoh dan latarnya saja yang berbeda.

Kedua cerita yang saya ambil dari Selisik, Republika, 20 Maret 2005, tulisan Elba Damhuri adalah salah satu contoh plagiasi yang amat telanjang. Hal seperti ini terlalu mudah terdeteksi. Setelah itu reputasi si plagiator pasti hancur dengan cepat. Sementok-mentoknya saya, saya emoh melakukan hal seperti itu. Pamali, kata orang Sunda.

Tapi untuk soft plagiarism, itu lain soal. Ini adalah bentuk plagiasi terselubung. Misalnya ketika kita meniru gaya pengungkapan penulis lain. Salah satu godaan terbesar penulis pemula seperti saya adalah mengimitasi style. Tolong, jangan langsung mencap saya jahat.

Proses itu seringkali terjadi secara bawah sadar atau subconscious plagiarism. Kita bisa menyebut itu secara lebih halus sebagai pengaruh. Semakin kagum saya terhadap seorang penulis, semakin besar kemungkinan saya akan menirunya. Tapi ketika saya tahu bahwa saya mungkin terpengaruh, bisakah saya menyatakan diri dengan polos bahwa saya tak sadar?

Mencontek Cerdas

Ada yang mengatakan pelajaran menulis bisa dimulai dengan meniru terlebih dulu sebelum bisa menemukan gaya sendiri. Anda boleh tak setuju, tapi jika Anda memiliki ingatan kuat dan mempunyai dorongan yang sama kuatnya untuk mencontek seperti saya, saya hanya ingin mengingatkan satu prinsip.

Sebagai follower kita patut malu kalau tidak bisa menciptakan yang lebih baik. Jika sudah nyontek malah sama bahkan lebih buruk, artinya kita memang bodoh betulan. Jadilah cerdas dalam mencontek, kalau perlu sampai orang yang kita tiru pun bisa kagum pada tulisan kita.

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan. Pertama, temukan karakter tulisan itu. Seandainya kita menyukai kolom gaya hidup Samuel Mulia dan ingin menulis seperti dia. Pelajarilah yang khas darinya. Dia tidak pernah mengambil contoh negatif dengan menyebut orang lain sebagai pelaku. Dia menyampai segala perilaku jelek, seolah dia sendiri yang melakukannya. Dengan cara itu pembaca belajar sesuatu tanpa merasa diceramahi.

Jika kita ingin menulis sepeti Samuel, jangan panggilannya, plesetannya dan cara berceritanya yang selalu menyebut teman saya itu yang kita tiru. Ini akan sangat kentara. Kita bisa mencuri diksinya yang sinis dan blak-blakan untuk menghasilkan efek jenaka yang sama. Kita tiru saja struktur tulisannya yang tak terlalu padat demi melahirkan gaya yang ringan.

Jangan kira ini gampang lho. Ketika hendak meniru tulisan seseorang, sebenarnya kita hendak mengopi karakter mereka. Ini repot. Sekali dua kali mungkin masih teratasi. Tapi selanjutnya kita mungkin akan merasa kelelahan karena mencoba menduplikasi sesuatu yang bukan kita.

Setelah itu kita pun terserang was-was. Jangan-jangan orang tahu bahwa kita mengimitasi Samuel. Wong tiap minggu tulisannya hadir di koran dengan oplah terbesar di Indonesia.

Nah sebetulnya ini contoh yang berbahaya. Kita hanya akan mempermalukan diri sendiri.

Tenang. Ada cara lain yang mungkin lebih manjur.

Carilah penulis lain yang kita sukai gayanya, tapi belum mendapatkan porsi ekspose terlalu banyak. Tiru cara pengungkapannya. Pilihan katanya. Pemenggalan kalimatnya yang menentukan intonasi sebuah tulisan layaknya orang berbicara. Kalau ada termin-termin khas dia yang bisa kita ambil, curi saja. Toh tak banyak orang yang akan menyadarinya.

Sekarang Anda mengerutkan kening. Lalu bertanya ketus kepada saya, Jadi benar Anda menganjurkan orang mencontek?

Jujur, saya mesti mengatakan meniru itu adalah jalan pintas yang menyenangkan. Tapi hati-hati, rasa cemas tak serta merta raib. Tetap saja ada kemungkinan ada orang lain mengendusnya, minimal penulis yang kita imitasi itu. Dan saat rahasia kita terungkap, harga kita pun dijamin jatuh.

Sayangnya, meniru hanya cocok untuk jangka pendek, tapi merugikan buat jangka panjang. Kita hanya akan berakhir menjadi penulis yang tak pernah punya karakter. Setiap kita menemukan tulisan orang yang bagus, kita akan mudah terseret. Padahal barang palsu tak pernah naik harganya.

Seandainya saja kita mau lebih intensif melakukan perjalanan ke dalam diri, kita tak perlu berakhir demikian. Daripada meniru, lebih baik kita berupaya tak putus untuk menggali diri dan melatih kemampuan bertutur yang khas. Kata kuncinya adalah eksplorasi. Sejauh mana kemampuan kita mengeksplorasi diri sendiri akan menentukan seberapa berkarakternya tulisan kita. Mungkin kita mesti menempuh jalan terjal, namun untuk jangka panjang, dijamin membuahkan kepuasan lebih besar.

Baiklah, jawab Anda setuju. Anda lalu berusaha menjadi orisinil. Anda berusaha sekeras mungkin untuk menciptakan sesuatu yang baru. Anda berusaha meninggalkan sidik jari pada setiap karya yang Anda lahirkan. Apapun hasilnya, selamat! Setidaknya Anda maju beberapa langkah, Anda sedang berproses menjadi Anda yang lebih baik dan bukan seorang gadungan.

Lalu, tantangan lain muncul. Tiba-tiba, seseorang datang meniru style yang hendak Anda kukuhkan sebagai identitas Anda. Sialnya lagi, ia bahkan mendapat pujian untuk hasil contekannya itu. Aha! Sejak kapan dunia itu adil? Seolah si peniru menyapa Anda sambil mengedipkan sebelah mata.

Mau tak mau Anda mengipas dada. Panas? Tentu saja.

Bila itu yang terjadi, saya hendak menyampaikan kabar buruk dan kabar baik untuk Anda. Kabar buruknya, tulisan Anda memang masih jelek, dalam pengertian belum benar-benar berkarakter. Anda pasti juga belum terlalu produktif. Ini yang membuat tulisan Anda masih memungkinkan untuk ditiru.

Jangan putus asa. Anda masih harus mengeksplorasi style yang lebih khas, berkontemplasi lebih dalam untuk melahirkan sudut pandang yang lebih tajam dan mengemasnya dengan cara bertutur yang lebih personal. Dan tentu saja menulislah lebih banyak lagi.

Sampai saat ini, sependek pengetahuan saya sudah banyak korban berjatuhan, mereka yang gagal meniru gaya catatan pinggir Goenawan Mohamad. Upayakan Anda mencapai level ini agar orang-orang yang suka meniru seperti saya tak akan bisa melakukannnya.

Nah kabar baiknya adalah, tulisan Anda sudah cukup menarik, sampai-sampai ada orang yang tergerak untuk mengikutinya. Jadi tak usahlah terlalu kesal.

Lho, sergah Anda, tapi saya kan dicontek orang, masak saya nggak boleh marah? Ya, itu sih hak Anda. Tapi ingat, peniruan adalah bentuk tertinggi dari pujian. Karena orang tak akan mungkin mencontek, baik secara sadar terlebih sampai masuk ke alam bawah sadarnya, bila tulisan Anda tak dianggap bagus. Anda harusnya bangga.

Daripada menggerutu, kita mungkin bisa menjadikan berapa banyak orang yang mencontek gaya kita sebagai indikator sukses. Ini artinya tulisan kita sudah berhasil merebut hati orang.

Ukuran berikutnya adalah, sejauh mana kemudian mereka mampu melakukannya. Semakin besar persentasinya keberhasilan mereka, artinya semakin banyak lagi lubang pada tulisan kita yang masih harus diperbaiki. Dengan berpikir seperti ini, Anda tak akan bete lagi.

Jadi, apa sudah ada yang ingin meniru gaya tulisan saya? Ah terimakasih!

*) Penulis yang kerap gagal meniru dan akan bangga jika style-nya diimitasi orang.

“Sebuah Pertemuan Puisi Indonesia-Prancis”

Membaca Puisi dan Budaya Tradisi Lisan
Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/

“Puisi-puisi di Prancis saat ini juga kontemporer,” ujar Isabelle Pincon, penyair Prancis kepada SH di acara “Sebuah Pertemuan Puisi Indonesia-Prancis”. Acara itu digelar di Galeri Cemara 6 Jl. HOS Cokroaminoto No. 9-11 Menteng, Selasa (9/3) malam.

Itulah yang diungkapkan oleh Pincon terhadap karya-karya penyair Prancis. Ia juga menuturkan tentang ledakan masa surealisme dalam karya sastrawan Prancis sejak tahun 1940-an.

Karya para penyair Indonesia yang dimunculkan malam itu juga tak jauh berbeda, kata Pincon. Dengan kata lain, dia merasakan juga varian puisi di Indonesia yang kompleks. Dia mengatakan bahwa sebelumnya dia tak pernah berinteraksi dengan puisi-puisi para penyair Indonesia, namun telah membaca dan mendengarkannya dalam forum pembacaan malam ini. Hasilnya? “Saya suka, misalnya saja, puisi karya Goenawan Mohamad saya lebih sukai,” ujar Isabelle.

Begitulah, karya-karya para penyair Prancis dan penyair Indonesia itu sama-sama mengalir. Dua-tiga sajak mereka dibukukan, lalu diurutkan dan dibacakan.

Para penyair Indonesia yang dihadirkan termasuk Gunawan Mohamad, Sitor Situmorang, Toeti Heraty Noerhadi, Dorothea Rosa Herliany, Joko Pinurbo, Eka Budianta, Ayatrohaedi, Ajip Rosidi, Ayatro Haedi, Putu Oka Sukanta, dan Rieke Dyah Pitaloka telah duduk di muka penonton yang hadir di galeri itu. Mereka siap membacakan bersama para penyair Prancis yang dihadirkan juga di malam itu: Oscar Riou dan Christian Dumet.

Pincon menyebutkan ciri dan karakter puisi para penyair Indonesia juga modern, terlihat dari penekanan pada kebaharuan dan juga pemilihan agar bahasa-bahasa itu tak biasa sehingga menjadi tawaran segar saat diciptakan dalam bentuk puisi.

Malam itu, para penyair, selain membaca puisinya sendiri, juga membacakan karya-karya penyair yang lain, termasuk yang kini sudah almarhum tetapi tetap merupakan tonggak sejarah dari bentuk dan karakter puisi. Toeti membaca karya Soebagio Sastrowardoyo, Dorothea membacakan karya puisi Chairil, Sitor Situmorang membaca puisi Toto Sudarto Bachtiar. Atau untuk para penyair dari Prancis Isabelle Pincon, setelah membaca puisi sendiri juga membaca karya penyair Arthur Rimbaude dan Verlaine. Atau Roland Reutenauer, yang membacakan sajak Charles Baudelaire.

Pembacaan yang dilakukan lebih pada mengeja secara khidmat teks itu, menurut Pincon tak berbeda jauh dengan pembacaan puisi di Prancis. Di forum yang terjadi atas kerja sama dengan Pusat Kebudayaan Prancis di Jakarta ini, memang pembacaannya teramat variatif, termasuk vokal, inner dan ekspresinya itu.

Pincon berkomentar bahwa di dalam teks, karya penyair Indonesia sangat kuat. Sama halnya seperti ia membuat sebuah puisi. Pincon mengatakan saat mencipta teks ia sudah membayangkan bagaimana teknik ngomong dan berbicaranya saat puisi itu harus juga dibacakan.

Interaksi dan Intensitas

Hal itu juga dilontarkan Toeti Heraty dalam kata pengantar buku yang sekaligus berfungsi sebagai “semikatalog” acara pembacaan puisi itu: Oleh karena itu, peristiwa “Poesie Musim Semi 2003” yang diulang tahun 2004 menjadi penting. Selain workshop antarpenyair yang bukanlah hal ikhwal terjemahan sajak dan sajaknya didiskusikan, tetapi hal-hal yang lebih umum seperti publikasi karya poesie, penyebaran poesie dan kedudukan poesie di dalam masyarakat.

Selain itu, momen ini dikemas lewat pertunjukan dengan patokan katalog dwibahasa: Indonesia dan Prancis, hingga memudahkan para penonton yang berbeda latar bahasa memahami karya yang dibacakan.

Pendapat Pascal Riou bahwa di Prancis tak ada lagi tradisi sastra lisan. Sementara itu, Sitor Situmorang berpendapat penyair yang baik bukan hanya pembaca yang baik dan akrab dengan tradisi lisan, dengan upacara ritual dan syair hapalan karena di Indonesia tradisi sangat kaya dan beragam begitu pula dengan puisi.

Hal ini menjawab tentang pembacaan Pincon dan Reutenauer yang lebih pada pembacaan biasa dan berbeda dengan Dorothea yang membacakan puisi dengan nada yang terkadang ekspresif dan nada lagu yang terkadang kental, atau bahkan pembacaan puisi Rieke yang sempat disajikan dalam bentuk lagu.

Wajar saja, para penyair itu ada juga yang berinteraksi dengan dunia luar negara Indonesia, termasuk bahasa Prancis.

Ada juga penyair Indonesia yang memperlihatkan dialog dengan negara Prancis lewat tema karyanya. Hal itu terlihat dari salah satu pembaca karya yaitu Ayatrohaedi yang berjudul Di Katedral Saint Andre, Bordeaux: Di Katedral Saint Andre//seorang pendeta tua//dengan khidmat bersimpuh//di depan patung Maryam.// Berdoa…

Selain itu, Isabelle mengungkapkan bahwa momen ini punya dampak di sisi lain yang sangat positif, diharapkan momen pembacaan juga dapat berguna untuk membuka jalinan interaksi di antara penyair kedua negara tersebut.

Acara ini, tambah Toeti, memberikan pemahaman tentang kata ke kata atau dari makna ke makna, penghayatan di luar cakrawala sehari-hari. Hal ini juga dapat dijadikan sebagai penyelaman dan mereguk intensitas penghayatan yang berbeda, intensif tetapi tanpa risiko, sebagai pengalaman yang luar biasa.

Goenawan Mohamad: Sebuah Pertemuan

Judul: Setelah Revolusi Tak Ada Lagi
Penulis: Goenawan Mohamad
Pengantar: Hamid Basyaib
Penerbit Pustaka Alvabet
Edisi Revisi, September 2005
Tebal: xxxii + 481 halaman
Peresensi: Ning Elia*
http://www.ruangbaca.com/

Ketika revolusi tak ada lagi, maka yang ada hanya keadaan yang tak semuanya sama. Menerima revolusi sama saja menerima perubahan yang menyeluruh yang menyentak. Tak semuanya sama sebagaimana revolusi itu sendiri yang berbeda-beda di tiap tempat di tiap waktu. Tak ada narasi besar yang meng-umum-kan segala keadaan di segala tempat.

Kurun waktu 33 tahun, adalah waktu yang panjang bagi Goenawan Mohamad (GM) untuk menulis dan menceritakan ketiadasamaan antar keadaan di tiap tempat yang berbeda. Kesamaan mungkin sudah dulu, dulu sekali, ketika tekad dan praktek mesti sesuai dengan narasi besar yang meng-umum-kan.

Tapi 33 tahun amat panjang bagi seorang GM untuk tetap—tetap menulis, sekalipun ada alasan untuk itu. Terbit dalam rangka 60 tahun dirinya, SETELAH REVOLUSI TAK ADA LAGI* adalah cerita PER SE tentang GM yang mulai menunjukkan kecenderungan untuk tak meng-umum-kan jawaban atas pelbagai keadaan sejak tahun 1960-an sampai 2000-an. Jadi bukan sekedar kumpulan tulisannya (dengan tema tertentu) selama kurun waktu itu.

Hamid Basyaib yang mengatapengantari, sebenarnya cukup untuk melukiskan apa yang terjadi pada GM selama kurun waktu itu. GM adalah orang barat yang lahir di Batang, katanya. Ia, GM maksudnya, melihat segala hal bukan untuk menyimpulkan. Karena menyimpulkan, sering hanya melahirkan kekecewaan. Ia memakai tokoh untuk melihat. Ia tak menjawab dalam tulisan-tulisannya. Ia justru bertanya.

Baiknya, tinggalkan saja dulu apa yang dikatapengantari itu. Mari adakan pertemuan dengan GM.

Ketika revolusi tak ada lagi, hidup manusia tetap berubah. Kecenderungan-untuk-tetap hilang. Yang ada hanya kenangan bahwa dulu pernah ada orang-orang “kepala besar” yang mau mengubah dunia menyeluruh, meng-umum. Kebanyakan mereka gagal untuk tak mengatakan semua. Dan tentu: mereka adalah anak-anak yang ditelan oleh perubahan itu sendiri.

Apa yang mereka umumkan sebagai kenyataan sekarang telah terjungkal, nyaris semua. Termasuk modernitas (“Heteropia Untuk Mister Rigen”, “Mangan Ora Mangan Kumpul”). Dunia modern adalah serba terjungkal, serba terbalik, tapi malah bercampur-akrab dengan dunia tradisional. Belum tentu Karl Marx dapat menjelaskannya.

Tapi yang tak patut dilupakan, modernitas itu sendiri justru sebuah rekayasa. Modernitas adalah sesuatu yang didefinisikan. Akibatnya lawan dari modernitas, adalah sesuatu yang direkayasa, didefinisikan juga. Tak jelas hingga sekarang mana yang lebih sahih mana yang lebih salah. Celakanya, sering karena tak jelas itu, selera yang dominan menjadi anggapan yang menentukan. Kembali lagi karenanya: ada yang diakui ada yang dibuang, ada yang diangkat ada yang dipinggir.

Kesadaran inilah membuat HOAKIAU DI INDONESIA Pramoedya Ananta Toer (“Sebuah Catatan Lain”) tampak sebagai buah kezaliman dari anggapan yang menyeluruh, yang meng-umum, juga yang dominan kala itu. Anggapan itu kuat, besar, dan tentu saja makan korban. Sebaliknya dari anggapan kuat itu, orang-orang Cina dan atau keturunannya di Indonesia—sebagai contoh—adalah kita sendiri. Kita sendiri sebagai orang-orang Indonesia.

Memang, terkadang anggapan yang telah kuat, mendarah-daging, mengundang banyak orang untuk memilih sesuatu yang tak dianggap, sesuatu yang seksi. Dan inilah pula yang tampak ketika sesuatu yang kuat tersebut mengancam. Ada yang heboh.

Kehebohan yang terjadi sebenarnya pula adalah kelainan yang sering muncul setelah lama tak dipikirkan. Dan itu mewarnai segala, termasuk puisi. Mengambil contoh dalam “Saini dan Puisi Platonis,” Saini KM malah tampak bagai seorang platonis dengan puisi-puisi yang ketinggalan zaman untuk tahun 1968. Sehingga, puisi-puisinya adalah sebuah kehebohan di tengah puisi-puisi perlawanan, puisi-puisi “yang bukan apa-apa”, puisi-puisi eksperimen yang bakal muncul tak lama setelah itu.

Itu pula yang terjadi pada puisi-puisi Sapardi Joko Damono (“Nyanyi Sunyi Kedua: SAJAK-SAJAK SAPARDI JOKO DAMONO 1967—1968”) dan puisi-puisi Trisno Sumardjo (“Trisno Sumardjo: Puisi Modern dan Horatio”). Keduanya adalah semacam dua kehebohan meski jelas berbeda. Apa yang dipuisikan Sapardi Joko Damono adalah kehebohan baru di tengah puisi-puisi perlawanan, sedang apa yang dipuisikan Trisno Sumardjo adalah kehebohan baru di tengah eksperimentasi puisi-puisi modern di Indonesia kala itu.

Dengan cara pandang itu pula, kearifan adalah sebuah hasil yang menggembirakan darinya. Ambil saja contoh Gus Dur (“Surat Terbuka untuk Pramoedya Ananta Toer”). Apa yang dimulai dalam pemerintahannya yang ‘seumur jagung” itu adalah rekonsiliasi. Kepada korban pembantaian tahun 1965—1966, ia meminta maaf. Kepada Israel, ia membuka hubungan. Sebab, toh, yang terjadi adalah dulu yang tak patut dibawa sekarang. Gus Dur bikin heboh.

Yang patut diingat, sebenarnya, bagaimana agar tak terjadi lagi keadaan yang seperti itu. Bukan melupakan, karena melupakan berarti menolak kebenaran. Dengan mengingat, ketegasan akan adanya salah itu ada dan keadaan bahwa manusia itu bukan apa-apa itu nyata. Dari sanalah, hidup dimulai lagi dengan harapan. Begitulah yang terkesan.

Keengganan untuk menyamakan ada, dan agaknya bertahan dalam waktu yang panjang. Dalam “DARI SUNYI KE BUNYI: Sebuah Pengantar”, seperti menegaskan kesan itu. Seolah bercerita tentang dirinya, GM melihat Hartojo Andangdjaja seseorang yang menghargai sesuatu yang bukan apa-apa di mata umum. Di tengah hidup yang dipenuhi dan diributi dengan persoalan yang “riil”, seseorang yang menekuni sesuatu yang bukan apa-apa seperti itu adalah seseorang yang juga patut dihargai.

Ketika revolusi tak ada lagi, adakan saja pertemuan dengan GM. Maka, inilah yang akan didapatkan: semua berbeda, tak ada yang sama, tapi hargai semua. Kira-kira begitu.

Mereka yang melulu meng-umum-kan segala hal dengan narasi-narasi besar, lebih baik tak usah baca buku ini. Sebab GM jelas-jelas orang yang memilih untuk melihat segala hal bukan dengan cara seperti itu. Ia bukan orang eksklusif yang seringkali teriak, “Bakar! Bakar rumah ini. Kita gemparkan negeri ini bahwa kami kalian kini pisah sudah.” Ia cuma pencerita tentang revolusi yang sekarang tak ada lagi.

*) Ning Elia, penyair, tinggal di Bandung.

MISTERI TAWA ALA MILAN KUNDERA

Imamuddin SA *
http://www.forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Realitas yang terjadi dalam kehidupan, sebuah ritmik dinamis yang terbentuk lewat gerak manusianya. Darinya, segala sesuatu itu mengada. Peristiwa-peristiwa serta benda-benda yang bersifat baru yang merupakan komplemen itu hadir akibat dari pola eksistensi mausia. Misalkan saja keberadaan barang-barang elektronik. Barang-barang semacam itu pada mulanya bulum ada di lingkungan ini. Itu termasuk barang baru yang difungsikan untuk mengefisienkan pribadi manusia sendiri dalam melengkapi kebutuhannya. Dulu, sebelum ada telekomunikasi, manusia masih kerap memperdayakan burung untuk memberikan kabar ke suatu tempat. Ada lagi dengan memasukkan secarik kertas ke dalam botol, lalu dilemparkan ke laut. Namun keberadaan kabar yang disampaikan lewat tindakan semacam itu memiliki nilai kecil untuk sampai pada orang lain yang dimaksud. Adakalanya kabar itu dibawa langsung oleh seorang utusan. Dan ini membutuhkan rentang waktu yang relatif lama. Baru kemudian setelah alar relekomunikasi (telepon) ada, hanya dalam hitungan detik, seseorang dapat memberi kabar kepada sesamanya yang notabenenya berada di tempat yang jauh dan berlainan.

Proses terbentuknya barang baru tersebut masuk dalam sebuah peristiwa. Jika sebuah peristiwa berkonotasi pada tindakan yang besar, itu dapat dikategorikan sebagai sejarah peradaban manusia. Lebih jauh dari itu, terjadinya peristiwa-perisriwa kecil dan sederhana dalam realitas ini juga pengaruh dari gerak manusia. Semisal adanya ramah-tamah, tolong-menolong, pencurian, pemerkosaan dan lain-lain termasuk sebagian dari eksistensi manusia. Bahkan peristiwa perang pun akibat dari ulah tangan manusia.

Semua itu terjadi akibat pola pikir seorang manusia yang mendapat sugesti dari kehendak hatinya. Baru kemudian terciptalah gerak utuk membentuk sesuatu yang baru. Membentuk suatu perubahan yang ada dalam lingkungan sekitarnya. Entah itu perubahan yang bersifat universal maupun sebatas sederhana. Dan semuanya itu, juga tidak terlepas dari eksistensi tuhan yang tengah memberikan keleluasaan kepada manusia untuk mengatur dan mengolah segala yang ada dalam realitas kebendaan ini. Manusialah pemimpinya. Pemimpin bagi dirinya. Pemimpin untuk lingkungannya.

Peran serta manusia dalam realitas kebendaan ini sangatlah dominan. Namun kemutlakkannya masih berada di tangan tuhan. Eksistensi tuhan di sini kebanyakan hanya meng-amini apa yang telah menjadi kehendak manusia. Hanya dalam momen-momen tertentu, tuhan menunjukkan kebesarannya, bahwa Ia lebih kuasa ketimbang manusia. Itu dilakukan hanya untuk menunjukkan bahwa kekuasan manusia itu masih berada dalam naungan kekuasaan tuhan.

Keleluasaan itu diberikan untuk pendayagunaan akal manusia sendiri. Bagimana eksistensi akal di sini dipertanyakan dengan serius. Dengan kemampuan akal yang ada, manusia diharapkan memberikan suatu kevariatifan serta kedinamisan dalam lingkungannya. Namun hal itu masih dengan satu catatan, jangan sampai membuat kerusakan di dalamnya.

Pemberdayaan akal dalam realitas ini sangat berperan aktif. Sebab eksistensi manusia di sini ditunjukkan dengan eksistensi akalnya. Descartes juga sempat menekankan akan pentingnya akal dalam realitas ini. Dengan pernyataan; ketika aku berfikir maka aku ada, ia sebenarnya telah membongkar keberadaan manusia yang sebenar-benarnya dalam lingkungan ini. Dengan pengolahan dan penggerakan akal, maka realitas lingkungan akan turut bergerak pula. Mobilitas akan terjadi secara dinamis. Itulah yang kemudian dapat dirujukkan pada ungkapan Milan Kundera; saat manusia berfikir, Tuhan tertawa.

Tuhan tertawa saat melihat manusia berfikir sebenarnya masih menimbulkan pertanyaan. Saya kira tawa tuhan di sini masih menjadi misteri. Apakah tawa itu menunjukkan suatu kebanggaan terhadap manusia, ataukah justru malah sebaliknya. Tawa itu sebagian dari penghinaan oleh tuhan terhadap misi kemanusiaan. Pernyataan Kundera dapat mengena pada kedua premis ini. Ini tinggal tumpuan berfikir manusia ditujukan ke arah yang bagaimana. Jika orientasi berfikir seorang manusia itu ke arah yang positif, maka tuhan akan bangga dengan sikap terebut. Namun jika pola pikirnya tertuju pada sesuatu yang bersifat negatif dan buruk, maka tuhan pun akan menertawakannya. Tuhan merendahkan kredebilitas manusia sebagai makhluk yang sempurna dengan keberadaan akal padanya. Misalkan peristiwa perang. Sudah jelas, tuhan membenci perpecahan, pertumpahan darah, dan kerususakan, tapi mengapa perang masih saja tetap terjadi. Semua itu tidak lepas dari kepentingan personal yang dipicu gelar, nama besar, maupun kedudukan.. Sehingga pola pikir pun terserang virus keserakahan dan eksistensinya terkendali oleh nafsu. Akal tak sanggup memfilter, menimbang dan menilai dengan baik. Akal lemah. Saat itulah tuhan menertawakannya.

Ini tidak hanya merujuk pada peristiwa universal seperti peperangan saja. Suatu tindak penilaian yang buruk dan negatif terhadap segala ungkapan, pernyataan, maupun tindakan orang lain itu juga sanggup merendahkan kredebilitas manusia di hadapan tuhan. Tuhan akan menertawakannya. Termasuk yang hanya bersifat prasangka buruk juga. Segala yang ada dan terjadi sebagai suatu rangkaian peristiwa negatif itu seyogyanya tidak dipandang dengan nilai yang buruk. Realitas semacam itu semestinya kita pandang sebagai suatu kemutlakan untuk becermin terhadap diri sendiri. Mengambil kebaikannya dan menjadikan kenegatifannya sebagai wacana serta pengalaman yang berharga. Biar tuhan bangga dengan pola pikir kita. Tuhan bangga dengan keberadaan kita dalam mengemban amanahnya.

Kundera juga memberi pandangan akan kebajikan utama yang kudu dikembangbiakkan oleh manusia. Hal itu meliputi; toleransi, humor, dan imajinasi. Toleransi berkaitan erat dengan tindakan penghormatan terhadap individu lain. Selain itu gotong royong dan tolong-menolong juga tergolong dalam tindak toleransi. Fokusnya untuk menjalin harmonisasi antarindividu. Jika ini telah tercipta, maka rasa aman, kepercayaan, serta kesejahteraan akan menjadi buahnya dalam lingkungan masyarakat.

Masalah humor tidak hanya semata-mata sebuah lelucon yang mampu membuat seseorang tertawa terpingkal-pingkal. Ini dapat dibiaskan pada persoalan usaha memberi kebahagiaan serta menciptakan suasana yang menyenangkan kepada individu lain. Sedangkan imajinasi berkonotasi pada tindak berfikir untuk menciptakan sesuatu yang baru. Manusia dituntut untuk berkreasi. Tentunya kreasi itu bukanlah sesuatu yang bernilai negatif. Kreasi yang tidak sekedar menguntungkan diri sendiri namun merugikan orang bayak. Ini bertalian dengan pernyataan bahwa saat manusia berfikir, Tuhan tertawa. Dan ketiga rumusan kebajikan itu bersifat menunjang-mengisi satu sama lain. Yang semestinya diaplikasikan secara bersama-sama, bukan sebagian saja. Kita tidak bisa meninggalkan salah satu di antaranya.

Pebruari 2009

*) Imamuddin SA, lahir di desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim. 13 Maret 1986, nama aslinya Imam Syaiful Aziz. Aktif mengikuti diskusi di Forum Sastra Lamongan [FSL], Candrakirana Kostela, Sanggar Seni Simurg. Sempat sebagai sekretaris redaksi pada Jurnal Sastra Timur Jauh, serta Jurnal Kebudayaan The Sandour. Karya-karyanya terpublikasi di Majalah Gelanggang, Gerbang Masa, Tabloid Telunjuk, Jurnal Kebudayaan The Sandour, dll. Karyanya terantologi di Lanskap Telunjuk, Absurditas Rindu, Khianat Waktu, dan Memori Biru. Antologi tunggalnya: Esensi Bayang-Bayang (PUstaka puJAngga), Sembah Rindu Sang Kekasih (PUstaka puJAngga).

16/10/10

Generasi Terbaru Novelis Kita: Antara Marrakesh, Moskow, dan Spinoza

Seno Joko Suyono, Heru Nugroho, Imron Rosyid, Bobby Gunawan
http://majalah.tempointeraktif.com/

Perkenalkan Galih….
Ia dosen di Universitas Gadjah Mada. Dahulu tahun 1990-an tinggal di Moskow. Pernah memiliki pacar asli Rusia bernama Krasnaya. Krasnaya bekerja di Kalinin Bookstore di wilayah Kalinin Prospek. Berdua mereka dari Moskow sering ke St. Petersburg menjenguk nenek Krasnaya. Tapi, di era akhir pemerintahan Gorbachev, terjadilah tragedi itu. Suatu hari di depan pintu panti jompo sang nenek, tergeletak dua bungkusan mayat: mayat Krasnaya dan ayahnya—mereka dibunuh….

Perkenalkan juga Kejora….
Ia lulusan sebuah pesantren di Jawa, aktivis pelbagai kegiatan diskusi. Pengalamannya luar biasa. Ia menjelajah ke kota-kota, masjid-masjid, dan situs-situs kuno di Timur Tengah: Damaskus, Marrakesh, Casablanca, Tangier, El-Shareque, Amman, puing-puing kota Iram. Sering keluar-masuk kampus Universitas Qurowiyyin sampai Universitas Al-Akhawayn. Bergaul dengan mahasiswi-mahasiswi, baik Palestina maupun Yahudi. Hafal lagu-lagu Arab, Suriah, dan Maroko, dari El-Arabi Serghini, Omar Metioui, Jorge Rozemblum, Majida al-Roumi, Mayada el-Hennawi, sampai Rasheed Thaha.

Inilah tokoh-tokoh novel terbaru Indonesia. Kejora adalah tokoh dalam novel Geni Jora karya Abidah el-Khalieqy dan Galih adalah protagonis novel Tabula Rasa karya Ratih Kumala. Dua sastrawan perempuan ini adalah pemenang kedua dan ketiga penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 2003. Segera khazanah novel Indonesia mengalami perluasan setting. Sementara Nh. Dini pernah membuat novel dengan setting Jepang atau Paris, Bur Rasuanto dengan Vietnam, Ayu Utami dengan New York, dan Fira Basuki memakai setting Singapura, kini giliran Rusia dan Damaskus. “Ada kecenderungan generasi kini semakin menciptakan tokoh-tokoh yang memiliki mobilitas dalam dunia internasional,” kata Sapardi Djoko Damono, salah satu anggota dewan juri. Tokoh-tokoh tak lagi terkungkung dalam geografi lokal seperti Siti Nurbaya.

Yang menarik, perluasan lokasi itu bisa diperoleh sepenuhnya dengan riset. Kedua pengarang di atas sama sekali tak pernah ke daerah-daerah yang menjadi lokasi novel mereka. “Saya belum pernah ke Rusia. Saya tertarik mengambil setting Rusia karena bahasanya dinilai banyak orang sulit. Saya sendiri tak bisa bahasa Rusia,” kata Ratih Kumala, 24 tahun, sambil tertawa. Di beberapa bagian, mahasiswa sastra Inggris Universitas Sebelas Maret, Solo, ini menampilkan petikan kalimat-kalimat langsung berba-hasa Rusia. “…Ya zhdu tebya b Gorki Park (kutunggu kamu di Gorky Park)”—bagian ketika Krasnaya berteriak kangen kepada Galih.

Memang yang demikian bukan hal yang haram. Sebut saja Karl May, yang dengan kekuatan bahasanya mampu melukiskan sabana-sabana Amerika tanpa ia sendiri pernah pergi ke sana. Itu menandakan bahwa imajinasi bisa lebih perkasa dari pengalaman fisik. Namun lengkapnya data dan kualitas sumber informasi adalah tetap kunci utama untuk hal ini. Harus diingat, petualangan Winnetou dan Old Shatterhand sendiri, meski memikat, banyak yang ternyata tak akurat—nama-nama lokasi tak ada dalam kenyataan.

Untuk membangun setting novelnya, di samping mengandalkan buku-buku tentang Rusia, Ratih Kumala selalu berkonsultasi dengan seorang temannya, mahasiswa sas-tra Rusia Universitas Indonesia. “Saya sempat hendak mengganti setting ke Negara Jerman karena terbentur data, padahal sudah separuh lebih saya jalan. Saya kemudian memutuskan untuk mencari data tentang Rusia yang lebih lengkap dulu, kemudian baru menulisnya,” ujarnya.

Juga demikian Abidah el-Khalieqy. Ia pernah ke Mesir, tapi malah tidak memakai Mesir untuk setting Geni Jora, melainkan Maroko, Damaskus, Palestina, Libanon, dan sebagian Israel. “Saya pilih setting Timur Tengah karena saya melihat novel-novel mutakhir Indonesia lebih banyak mengambil setting negara Barat,” kata Abidah. Menurut Abidah, biasanya citra orang Timur Tengah negatif, padahal kota-kota tua Timur Tengah—setelah Athena, Yunani, dahulu—adalah jalur peradaban dunia. “Timur Tengah itu sebetulnya merupakan keseharian mimpi-mimpi saya. Kalau ada yang menawarkan perjalanan gratis ke luar negeri, saya pingin ke Timur Tengah, terutama ke daerah-daerah yang saya pakai dalam novel itu.”

Novel Geni Jora bukan novel pertama Abidah. Ia lebih dulu menghasilkan Perempuan Berkalung Sorban (2000). Novel pertamanya itu menekankan persoalan gender dan feminisme—berbeda dengan Geni Jora, yang lebih bercerita tentang gejolak perasaan cinta. Dari rumahnya di Jombang, Jawa Timur, ia menjangkau Timur Tengah lewat dua cara: buku-buku dan survei Internet. “Kalau soal lokasi, saya melihat di peta, tapi kalau soal cuaca, soal bunga, atau makanan dan bagaimana cara meramunya, saya chatting dengan teman-teman saya di Timur Tengah,” katanya.

Ketika mendeskripsikan musim dingin di Damaskus, misalnya, ia menulis dengan detail tentang segelas khamr, secangkir shahi nekna, sepiring falafel, sepiring besar dolmades…. Betapapun, mungkin karena bukan pandangan mata lang-sung, penggambarannya tak mengirim pembacanya ke suasana lokasi. Dalam soal makan tadi, misalnya, kita tak bisa membayangkan gerak-gerik mereka makan.

Juga ketika ia menyebut nama-nama masjid dan kampus, suasana atmosfer masjid atau kampus itu tak berdenyar. Maka, menurut Sapardi Djoko Damono, karena ini menyangkut soal akurasi, novel-novel pemenang ini harus diedit. Di mata Sapardi, pengarang harus rendah hati bahwa ia tak tahu tentang segala-galanya, tentang bahasa, dialek, atau detail sebuah lokasi. “Saya sering menjadi juri lomba penulisan cerita bersambung Femina. Banyak tokoh cerber itu dikisahkan tinggal Eropa dan penulisnya lalu sering menampilkan kutipan dialog dalam bahasa Inggris. Tapi 50 persen bahasa Inggrisnya salah kaprah semua,” kata Sapardi.

Perlunya diedit sebelum diterbitkan ini jadi penting karena para pemenang itu melakukan inovasi stilistika yang rumit. Diakui atau tidak, setelah Ayu Utami, makin banyak pengarang kita yang berani melakukan eksperimen struktur. Inovasi seolah tantangan yang menggairahkan. “Dari segi alur, saya melihat para novelis wanita sekarang cenderung menggunakan alur yang berbelit-belit atau tidak lurus. Naratornya juga tidak hanya satu orang,” kata Budi Darma.

Terlihat para pengarang sekarang dengan sangat sadar mengutak-atik sistem untuk menyiapkan kejutan-kejutan. Itu yang membedakan pengarang perempuan sastra Indonesia modern dengan pengarang sastra daerah. Dalam sastra daerah, perluasan tema apalagi inovasi strukturnya minim. Belum ada penelitian tentang perbandingan itu memang. Tapi kita mungkin dapat menduga penyebabnya. Para pembaca sastra Sunda atau Jawa tentu berbeda dengan segmen pembaca Dewi “Supernova” atau Djenar Maesa Ayu.

Djenar bisa dengan rileks menulis tentang kelamin, sisi bukunya yang kemudian menjadi perbincangan hangat para pembacanya. Tapi tidak begitu halnya sastrawan Sunda Holisoh. Guru dan Kepala Sekolah Dasar Cileunyi V, Bandung, yang dikenal produktif menulis novel berbahasa Sunda ini suatu kali pernah diprotes habis-habisan oleh koleganya lantaran tokoh utama novelnya, Kembang-Kembang Petingan. Mereka, para pembacanya, marah dan mempertanyakan mengapa ia sebagai pendidik malah justru mengangkat tokoh utama seorang pelacur.

Inovasi struktur dalam novel pemenang lomba penulisan Dewan Kesenian Jakarta tahun 2003 ini, misalnya, sangat tampak pada novel pemenang pertama, Dadaisme, karya Dewi Sartika. Dalam novelnya, tersebutlah tokoh yang berprofesi sebagai dokter jiwa. Namanya Dokter Aleda. Aleda adalah dokter yang menangani pasien anak kecil bernama Nedena. “Dia anak kecil yang memiliki khayalan. Dia bisa bicara dari umur 4 sampai 6 tahun. Umur 6 sampai 9 tahun tidak bisa bicara,” kata Dewi kepada TEMPO.

Alur ceritanya berpindah-pindah. Ada adegan soal Dokter Aleda yang berusaha membuat Nedena bisa bicara lagi. “Dipaksa bicara tapi tidak mau. Dia cuma bicara kepada teman khayalnya dalam hati,” kata Dewi. Teman khayalan Nedena itu bernama Michail. Dia seorang malaikat dengan satu sayap. Yang menarik, malaikat ini muncul juga di hati tokoh lain dalam novel. Misalnya ia muncul pada Ging, seorang biksu. “Michail ini karakter yang menggambarkan kesedihan saya sendiri,” kata Dewi. Dengan gagasan seperti itu, setiap karakter jadi mungkin berkisah sendiri-sendiri. Satu sama lain punya hubungan yang mengikatkan: si malaikat bersayap satu.

Yang lucu, banyak teman Dewi kaget ketika mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia ini menang. Wanita berumur 24 tahun ini memiliki taman bacaan Mochan—singkatan dari Monyet Cantik—di Jalan Saluyu B-IV Nomor 16, Kompleks Riung Bandung. Ketika TEMPO berkunjung ke sana, Tutu, teman sehari-hari Dewi, tak tahu bahwa diam-diam Dewi menulis novel. Sebab, selama ini, Dewi dikenalnya lebih suka cerita-cerita remaja. Dewi sendiri mengakui hal itu. Menurut dia, selama di SMU, ia malah sering menggambar komik dan selama ini sering mengirim cerita remaja ke media. Ironisnya, cerita remajanya tak pernah dimuat. Sebaliknya karya yang berbobot sastra: langsung menyambar hadiah. “Saya sangat suka dengan cerita remaja, tapi yang lolos malah yang sastra. Saya jadi bingung,” katanya jujur.

Struktur novel Dewi kompleks. Dan itu—menurut Sapardi—tidak mengejutkan betul. “Bagi saya, tidak ada satu pun novel yang mengikuti sayembara ini memuaskan dari segi struktur,” katanya. Sapardi melihat semua novel yang diikutsertakan dalam sayembara ini ditulis dengan tergesa-gesa. Buktinya, banyak yang datang ke panitia mendekati batas waktu pengiriman. Menurut Sapardi, kecerobohan, kekurangan, dan keteledoran banyak terjadi. Maka hasil tak memuaskan akan muncul jika buku diterbitkan begitu saja, tanpa dirapikan.

Semua karya pemenang Nobel sastra, menurut Sapardi, saat diterbitkan selalu melalui proses editing yang ketat. “Bahkan puisi T.S. Elliot, The Waste Land, yang membuat dia meraih Nobel, sebenarnya hasil editing habis-habisan Ezra Pound, temannya yang sesama penyair,” katanya. Pengalaman Sapardi menerjemahkan novel The Old Man and the Sea karya Ernest Hemingway semakin menguatkan keyakinan dia bahwa novel apa pun perlu pengeditan. Semua kata dan kalimat Lelaki Tua dan Laut begitu kompak. Tidak ada satu adegan pun yang tidak berguna atau tidak bermakna. Novel laris seperti karya John Grisham, Sidney Sheldon, dan J.K. Rowling juga hasil editing.

Menurut dia, sastrawan besar selalu menjadi sahabat karib editornya. Karena itu, proses penyuntingan selalu dalam dialog. Pengeditnya bisa bersama-sama pengarangnya melakukan penyuntingan. Novel Grisham, yang aslinya lebih dari 750 halaman, oleh editornya misalnya bisa dipadatkan menjadi 350 halaman. Tapi Grisham tetap merasa puas. Itu berlainan dengan mayoritas sastrawan Indonesia, yang marah bila diedit. Bagaimana dengan Saman, yang setelah menang sayembara Dewan Kesenian Jakarta langsung diterbitkan tanpa diubah sama sekali? “Tapi saya yakin seyakin-yakinnya, sebelum dikirimkan ke lomba, Saman mengalami editing. Jadi, sudah ada yang mengedit. Siapa? Saya tidak tahu, tapi pasti sudah ada yang mengedit karena hasilnya serapi itu,” kata Sapardi.

Tapi Sapardi mengakui yang menjadi soal sekarang adalah Indonesia kekurangan editor yang baik. “Itu krisis yang paling serius dalam dunia sastra kita,” katanya. Pengertian editor yang tumbuh di sini adalah seperti tukang yang hanya memperbaiki ejaan, abjad, dan koma. Padahal tugas editor lebih dari itu. Ia bisa menajamkan struktur, menghapuskan hal-hal yang tak relevan, pokoknya melakukan segala hal yang menajamkan gagasan. Di luar negeri, menurut Sapardi, orang bisa lebih bangga menjadi editor daripada penulis: “I am editor” bukan “I am writer.” Untuk tiga pemenang penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 2003 ini, Sapardi sebenarnya mau menjadi editor. Tapi, lantaran tak banyak waktu, ia meminta agar para novelis tersebut sabar. Tapi rupanya para novelis pemenang memilih jalan lain. Mereka lebih suka karyanya diterbitkan tanpa diedit.

Dan buku novel mereka diluncurkan di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 28 April lalu, yang dihadiri sekitar seratus orang. Novel yang kemudian dibukukan oleh penerbit Matahari itu dibahas oleh Melani Budianta dan Gadis Arivia Effendi. Melani memuji kekompleksan struktur Dadaisme dan kemampuan Dewi Sartika menyambung cerita. Tapi kritiknya, struktur membuat karakter tokoh jadi datar dan tak optimal karena ruang yang ditampilkan hanya sedikit. Penyebutan nama filsuf yang bertebaran di novel, menurut Melani, juga mengganggu. Dalam novel Dadaisme banyak terdapat paparan surat-menyurat via e-mail antara dokter jiwa Aleda dan rekannya, Magnos. Mereka berdiskusi tentang apa saja, malaikat, Tuhan.… Dan mereka banyak mengutip pendapat filsuf seperti Leibniz, Spinoza, dan Descartes. Menurut Melani, sebaiknya itu dihilangkan. Lebih nyaman ditampilkan gagasannya saja.

“Sastrawan yang tak mau diedit mengambil posisi tidak betul. Mereka seperti Gusti Allah,” kritik Sapardi. Lepas dari persoalan itu, Dewi, Abidah, dan Ratih makin memantapkan tesis Sapardi bahwa masa depan sastra Indonesia memang berada di tangan perempuan. Baik dalam lomba maupun nonlomba akhir-akhir ini, kehidupan sastra Indonesia didominasi pengarang perempuan. Dari mereka, lahir sesuatu yang kreatif. Budi Darma, misalnya, mengamati bahwa kini banyak mahasiswanya yang memiliki keinginan besar menjadi novelis—gejala yang justru banyak didapat di antara mahasiswa perempuan. “Sekarang ini saja ada empat novel karya seorang perempuan di atas meja saya. Penerbitnya minta saya memberikan kata pengantar ringkas,” kata guru besar sastra ini.

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita