Marhalim Zaini
http://www.riaupos.com/
JUDUL tulisan ini, adalah juga pertanyaan yang diajukan oleh salah seorang penulis pemula yang mengirimkan karyanya ke Xpresi. Agaknya sobat kita ini sedang merasa stagnasi dalam menulis. Atau tiba-tiba merasa bahwa proses kreatif menulis yang dia jalani tidak “memberikan apapun” padanya. Atau, karena sebab-sebab yang lain, sehingga ia “malas” untuk kembali menulis.
Adik-adik, ini namanya penyakit. Dan penyakit sejenis ini, memang kerap menjangkiti banyak penulis kita, terutama mereka yang belum “mantap” pilihan hidupnya untuk menjadi seorang penulis. Tentu, penulis pemula adalah sasaran empuk penyakit ini. Tapi, tak sedikit pula, para penulis “yang sudah jadi” berguguran, berhenti menulis.
Saya kira, tiap penyakit tentu ada obatnya. Namun sebelum kita mencari obatnya, kita harus tahu dulu indikasi-indikasi yang menyebabkan seorang penulis kehilangan motivasi untuk menulis, dan memilih untuk berpaling. Indikasi itu bisa kita lacak dari berbagai sisi. Misalnya, yang paling banyak dialami adalah, ketika ia merasa bahwa dunia menulis tak dapat memberi “jaminan” ekonomis padanya.
Sebab lain, bisa jadi karena merasa tulisan-tulisannya tidak mendapat apresiasi (sebagaimana yang diharapkan) dari pembaca, juga kerap ditolak media massa. Dengan begitu, ia kecewa dan merasa bahwa tulisannya tak berguna bagi orang lain. Sebab lain lagi, bisa jadi juga karena ia merasa dunia menulis itu adalah dunia yang sepi, yang tak banyak diminati orang, dan lalu tergoda dengan dunia yang lain, yang lebih populer dan massif.
Nah, indikasi-indikasi itu bisa bertambah. Sebab tiap orang tentu memiliki problem-problem yang berbeda. Namun, jika kita mau sedikit bersabar dan terus belajar, saya kira kita pun segera menemukan berbagai kiat dan aktivitas yang bisa memotivasi kita untuk kembali menulis. Apa itu?
Di antaranya, bergabunglah dengan berbagai komunitas menulis. Dunia sepi, bisa akan terobati jika kita bertemu dengan orang-orang yang memiliki minat dan profesi serupa dengan kita.
Di sana, kita berdiskusi, bertukar informasi, dan saling mengkritisi karya. Atau, datanglah kepada para penulis yang “mapan”, berbincang-bincang, atau melihat bagaimana proses kreatif dia menulis, serap energinya dengan menggali pengalaman-pengalamannya.
Jika tidak ada komunitas, kenapa tidak kita buat komunitas sendiri. Kumpulkan beberapa kawan yang gemar membaca dan menulis. Tak perlu ramai, tiga atau lima orang saja cukup. Buatlah pertemuan-pertemuan rutin, membahas karya. Saya kira, segera kita akan termotivasi untuk menulis, jika kita membaca karya kawan-kawan kita itu. Boleh juga membuat agenda-agenda lain, yang sifatnya membangkitkan motivasi.
Selain itu, satu kiat yang paling mudah adalah membaca buku, membaca karya orang lain yang termuat di media massa. Berkunjung ke toko buku atau ke perpustakaan harus diagendakan tiap minggu, untuk menjaga semangat dan energi kita dalam menulis.
Motivasi pun akan terus terjaga, jika kita kembali bertanya pada diri kita sendiri, benarkah niat kita untuk menjadi penulis? Sudah mantapkah niat itu, atau cuma sekedar ikut-ikutan? Tak akan ada yang berhasil jika dikerjakan dengan setengah-setengah, bukan?
Baiklah, mari kita simak karya kawan-kawan kita edisi ini. Ada Yusparizal dengan cerpen “Telat Seminggu.” Ceritanya dituturkan dengan lancar dengan plot linier. Konflik-konfliknya meski belum terasa mendalam, tetap bisa kita nikmati. Agaknya, Yusparizal ke depan harus berani mengangkat tema-tema lain yang jarang disentuh oleh penulis lain. Atau tema sederhana, tapi dengan cara menulis yang berbeda.
Puisi, “Derap Sang Penerjang” karya Resty Zuliyanti. Puisi yang cukup panjang ini memang terasa belum kokoh susunan diksinya. Terasa juga melompat-lompat, terutama dalam membangun metafora. Meski, kita cukup paham apa yang hendak disampaikan oleh Resty. Puisi lain, ada Wari Rahmawati, “Kau yang Tidak Menjawab.” Sebuah puisi naratif yang sederhana. Agaknya, perlu diperkuat pencarian metaforanya, dengan pencitraan-pencitraan. Sehingga puisinya tidak terasa menggantung.
Puisi berikut “Sang Bintang” karya Muhammad Hadi. Antara satu bait dengan bait berikutnya, masih terasa berjarak. Tidak padu. Bait pertama yang cukup imajis itu, mestinya dipertahankan pada bait-bait berikutnya. Hanya saja, saya suka dengan penutup puisi ini, “aku ingin bintang tetap tinggi/ meski dilirik rendah/ dari genangan air.” Puisi “Membaca Hari” karya Zulkarnaen, cukup kuat membangun diksi, juga irama. Repetisi (pengulangan) pada diksi tertentu, cukup memberi penegasan atas makna. Tentu, Zul harus terus menggali perbendaharaan kata, agar puisinya kaya.
Dua puisi terakhir, “Tangisan Anak Bulan” karya Riza Rizki, dan “Air Mata” karya May Moon Nasution. Riza kadang bisa menghadirkan imaji yang kuat dalam puisinya, meski kadang tak bisa bertahan sampai akhir. Tema kepedihan sosial yang diangkat, hampir terasa juga pada puisi May. Meski May lebih lugas memberi penekanan pada rasa marah dan kecewa.***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
28/09/10
26/09/10
Sebias Cerah di Kampung Warna
Agus B. Harianto
http://www.sastra-indonesia.com/
Kampung Warna telah terukir dalam black list kepolisian setempat. Setiap intel seringkali mendapati Kartu Tanda Penduduk yang terselip dalam saku celana tahanannya menunjuk alamat kampung itu. Hingga guyonan tersendiri merebak di gedung pemerintah tersebut. Yang lebih menggembirakan lagi, mereka dapat langsung mengarahkan pencarian kala tindak kriminal terjadi di sekitar Surabaya Selatan. Sebagian besar dari penghuni penginapan mereka adalah warga kampung itu.
Berbalik fakta dalam Kampung Warna. Walaupun, kesedihan melanda janda-janda sementara, kesombongan semu tertelan waktu singkat, mengalun syahdu di sela-sela percakapan. Sudah menjadi rahasia umum, sebagian besar penduduk Kampung Warna merupakan residivis kambuhan. Hampir setiap warga merasakan kesenangan tersendiri dengan julukan yang terberi. Akibat yang timbul, kampung itu ditakuti warga kampung lain. Mereka tak pernah perduli dengan anggapan orang lain, tetap melangkah pada keteguhan sikap moral yang terbilang miring.
Letak kampung yang berdekatan dengan salah satu lokalisasi ternama di Surabaya itu, mungkin menjadi faktor utama pembentukan karakter penduduknya. Wanita-wanita hanya sebagai pelampiasan; pemuas birahi saat tidak mendapatkan sasaran empuk. Walau kata cinta menggelayuti nurani-nurani penduduk perempuan.
Tak kalah hebatnya, sebagian kaum hawa kampung tersebut, menafikan seks atas nama cinta pada keluarga. Mereka menjadi sangat liar mencari mangsa di malam hari, di mana saja. Bertebaran layaknya kunang-kunang memberikan sinar di rawa-rawa mistis lelaki hidung belang.
Warna hitam kehidupan terpasung sempurna di kampung itu. Sebagian penduduknya menjalankan ritual hidup yang menyimpang; mengejar gemerlap duniawi dengan segala cara. Di siang hari, rutinitas mereka mengacu pada kegiatan normal pekerja-pekerja kasar. Menyembunyikan kedok. Tanjung Perak ataupun tempat bekerja lain yang masih menerima pekerja yang hanya bermodalkan tenaga kasar, menjadi pelabuhan.
Kebanggaan lain Kampung Lawas, kampung tempat mereka tinggal aman dari maling kelas teri yang usil. Hingga tak jarang dijumpai motor-motor terparkir di halaman rumah tak berpagar pada malam hari, ataupun, barang berharga kainnya. Kalaupun toh ada yang hilang, hanya ulah iseng anak-anak yang keesokan hari telah kembali. Sehingga di kalangan warga sekitar, kampung tersebut menjadi teladan di bidang keamanan.
Tata ruang kampung yang diusulkan Cak Min—orang yang disegani oleh kawan maupun lawan terlebih dalam Kampung Warna. Walau tidak berkenan, predikat Tetua tersandang pada namanya—kepada kepala desa dan warga, kala rembug desa diadakan di balai desa, telah dilaksanakan penataannya beberapa tahu lalu. Menjadikan kampung Warna semakin tak terjangkau oleh kawanan pencuri manapun. Setiap perempatan jalan tembusan yang tak teratur, didirikan bangunan yang berfungsi sebagai pos ataupun sekedar tempat cangkruk pemuda-pemuda desa.
Setiap hari, tanpa memperdulikan waktu, tempat-tempat itu selalu terisi. Meski jauh dari tujuan semula. Ada yang sekedar menghabiskan waktu jenuh dengan bercanda bersama warga yang lain, ataupun sebagai pelabuhan tempat berjudi serta berpesta bersama kawan lain. Bagaimanapun juga, sesemrawut apapun itu, niatan awal tetap tercapai; pencurian-penjarahan tak pernah merambah kampung itu lagi.
Said adalah salah satu preman kambuhan yang memiliki selera humor tinggi, berpendapat dalam hatinya sendiri. Mengulas pekerjaannya dan menghubungkannya dengan usulan Cak Min. Kemudian, dia menjadikannya tebakan sesama saudara sependeritaan. Ketika menghabiskan siang kata bosan dalam gardu-pos yang dibangun. Dia dan beberapa warga yang kebetulan sedang libur ataupun menunggu giliran shift kerja, bercengkerama tanpa ada jurang pemisah di antara dua kalangan masyarakat yang sungguh berlawanan.
“Pekerja apa yang takut pada pekerjaannya sendiri?” tanya Said siang itu.
“Kamu, ada-ada saja, Id. Ya, tidak ada.”
“Ada!”
“Lantas, apa?”
“Ya, pekerjaan kita itu.” Di sambut dengan gelengan dan bibir menganga tanda tak mengerti. “Masih belum mengerti?”
Tak ada yang menjawab. Masing-masing melihat satu sama lain, karena kebebalan nalar mengejawantah artian. Maklum, mereka bukan pemikir, laksana orang-orang di papan atas yang mampu membodohi mereka dengan bermacam dalih. Said membiarkan keadaan itu berselang cukup lama, memancing rasa penasaran dan emosi jiwa meluap-luap.
“Kalian memang dungu, pantas saja kerjaannya maling.” Dengan semangat berucap, bagaikan penyair sedang melantunkan puisi perjuangan.
“Bangsat kau, Id! Apa jawabannya?”
“Pencuri, Tolol!” Sembari berlalu, meninggalkan mereka dalam kejengkelan.
“Diamput!” Disambut tawa ceria yang lain.
***
Bagaimanapun juga, preman juga makhluk sosial. Dalam kampung itu terdapat norma-norma sosial yang tertanam indah dalam benak masing-masing warga. Salah satunya adalah wajib saling menghargai. Meski tak luput dari kata-kata kotor dan cacian yang di luar kampung merupakan kata-kata dan kalimat tabu yang membakar telinga. Kelakar itulah yang justru menjadi salam pengantar dan intermesso perbincangan, tak perduli bocah hingga kakek-kakek, bahkan kaum wanita.
Seperti halnya pagi itu. Beberapa bocah tengah asyik berlarian, mengejar layang-layang putus, dengan latahnya, memaki pemuda seberang desa yang menghalangi. Tak seorang pun berani membalas sapaan akrab yang terjadi karena terpaksa, hanya karena pengucap sapa berasal dari Kampung Warna. Dengan keluguannya, mereka lantas mengambil layang-layang itu di pohon mangga di balik pagar teras perumahan tersebut.
“Hei, lagi ngapain kalian?” tegur dari pemilik pekarangan.
“Diamput, Lek! Aku cuma mengambil layang-layang.”
“Kalian arek mana, hah.”
“Kampung Warna. Memangnya kenapa! Nggak boleh?”
“Ya sudah. Ambillah dan lekas pergi.” Setengah memelas dan terkesan enggan menambah masalah dengan memarahi mereka, pemilik rumah membiarkan tiga bocah lugu tersebut mengacak-acak pekarangan rumahnya.
Pengalaman lalu; seorang pemilik rumah di lain desa, yang seharusnya tidak bersalah menjadi bulan-bulanan beberapa warga Kampung Warna, lantaran mengomeli seorang anak kecil dari Kampung Warna yang mengambil kelerengnya di pekarangan sebuah rumah mewah, dengan tuduhan-tuduhan keji yang dilontarkan oleh pemilik rumah tersebut.
“Iya, Lek. Terima kasih.” Mereka pun pergi sambil berlari meninggalkan pemilik pekarangan dalam kedunguan sikap.
Tiga Begundal Merah yang baru pulang dari mendapatkan sasaran empuk—konon, mereka adalah sahabat Said dari Yogyakarta. Melarikan diri setelah menganiaya anak pejabat teras kota budaya itu. Mereka bertiga bermigrasi kemari—menyaksikan ulah bocah-bocah tersebut, berdecak kagum akan keberanian. Mengingatkan mereka pada saat-saat bahagia masa kecil.
***
Setelah puas bercengkerama di gardu RT. 5 itu, Said membenamkan diri dengan secangkir kopi di warung depan Gedung Serbaguna, yang dulunya adalah telaga tempatnya memancing. Mendengarkan dangdut dari tape recorder yang disetel keras. Kepulan asap Djisamsu memenuhi ruang sempit warung tersebut. Beberapa warga yang nimbrung dalam permainan catur di depan warung, berangsur pulang. Hawa gerah menghunjam kulit.
Entah kenapa dengan matahari. Sudah tujuh hari ini, ia begitu senangnya di bayangi mendung putih. Sinarnya tiada lagi akrab menyapa manusia, khususnya di bumi Kampung Warna. Sebentar menampakkan muka di awal pagi, setelah itu, menghilang di balik kerimbunan pekat.
“Hey, Id. Sendirian, yang lain kemana?” tanya salah seorang Begundal Merah.
“Ngapain ngurus mereka. Mau kemana saja, ya terserah.”
“Kenapa denganmu? Biasanya kau begitu periang.”
“Entahlah, beberapa hari ini perasaanku tak enak. Seringkali merasa was-was. Walau sudah kualihkan pada minuman ataupun canda kelakar bersama yang lain, tetap saja perasaan itu menghantui.”
“Kau punya kasus?” tanya personil Begundal Merah yang lain, sambil menerima kopi pesanan mereka dari penjaga warung.
“Kalian ‘kan tahu, aku sudah lama libur.”
“Terus, kenapa?”
“Sudahlah! Kalian dari mana?”
“Biasa ….”
“O ..”
“Sebentar ya Id!” mereka bertiga pun menyusup ke ruangan kecil di sebelah kanan warung. Sebuah ruangan sempit yang biasanya digunakan sebagai tempat tidur penjaganya.
Langkah gontai ketiga Begundal Merah, semenjak kedatangan mereka, merupakan isyarat tersendiri bagi Said; bergebok-gebok uang terselip di saku-saku mereka. Dan ini mengartikan, salah seorang korban telah terkapar dalam keterpurukan setelah perampokan.
Mereka beradu pandang dalam kepuasan, membagikan uang dalam ruang tertutup warung pinggir jalan. Menyisihkan Said pada lembah-lembah keprihatinan. Dengan beberapa lembar uang puluhan, mereka mengisyaratkan pemilik warung untuk mengamati setiap yang datang.
Suasana warung yang sepi, meleluasakaan mereka bergurau tentang perbuatan mereka semalam, jauh di tepian sudut kota tetangga. Dari kisah pembobolan, penawanan, pengurasan harta, hingga pelarian diri yang sempurna; tanpa diketahui warga yang lain. Setelah membayar, tanpa jengah akan cuaca gerah sedikit gerimis, mereka beranjak.
“Kita ke pos RT 8 saja. Kita main di sana sampai puas.” Ajak Begundal Merah, menyeret teman-temannya dan Said untuk berjudi melawan entah siapa. Dalam benak mereka, pastilah ada arena yang sedang digelar disana.
Benar dugaan mereka. Di tempat itu, telah berkumpul beberapa maniak judi sekaligus peminum berat. Mereka asyik menikmati suasana yang mereka ciptakan sendiri. Said dan tiga Begundal Merah nimbrung, setelah salah seorang Begundal Merah memberikan beberapa lembar uang lima puluhan kepada salah seorang peminum di luar gardu.
Melihat kedatangan Said dan Begundal Merah, para maniak itu pun semakin girang. Kelakar-kelakar jalanan mengalun renyah. Mereka tidak perduli pada adzan dhuhur yang di kumandangkan pak Syaifuddin dari masjid beberapa blok dari tempat mereka bermain. Tetap fokus pada kartu-kartu celaka.
Kyai Darussalam yang melintas menuju masjid—jalan gardu itu sebagai satu-satunya jalan baginya menuju masjid—hanya menggelengkan kepala dengan meninggalkan sapaan hangat seorang kyai. Tak pernah ada sungkan ataupun malu pada lantunan abadi pemanggil jiwa, mereka tetap bersitegang dalam benak masing-masing ingin memenangkan sejumlah uang.
Kyai itu seakan sungkan menegur, teringat akan pertemuannya dengan Cak Min beberapa bulan lalu. Ketika dia memiliki niatan membersihkan kampung dari kemaksiatan, dia pun mendatangi Cak Min guna meminta bantuannya. Namun, yang dia dapatkan tidaklah sesuai dengan keinginan. Tuhan tidak selalu mengabulkan permohonan hamba-hamba-Nya. Hidup tak selalu berjalan mulus sesuai rencana manusia-manusianya.
***
“Permisi, Cak Min. Aku rasa sudah saatnya kita semua kembali ke jalan-Nya.” Kyai Darussalam mengawali perbincangan, setelah berbasa-basi sebentar saat bertamu ke rumah Cak Min, di suatu malam beberapa bulan yang lalu.
“Maksud Pak Kyai?”
“Mungkin sebaiknya Cak Min sebagai orang yang disegani, mengingatkan mereka untuk kembali menyembah-Nya, mengikuti kami meramaikan masjid.”
“Maafkan kami, Pak Kyai. Kami hanya orang-orang yang berkecimpung di lembah hitam.”
“Maka dari itulah, kalian sudah saatnya bertaubat. Tak ada yang abadi di dunia ini, Cak Min.”
“Memang benar. Tetapi, kami merasa merugi jika kami hanya berniat meramaikan masjid. Sedangkan hati kami hanya dan hanya untuk-Nya.”
“Setidaknya, sesekali kalian mengisi ruang-ruang kosong rumah suci tersebut.”
“Maaf, Pak Kyai. Ibadah kami bukan hanya untuk masjid. Kami belum bisa mengikuti program anda. Hati kami sibuk dengan introspeksi diri”
“Kenapa?”
“Secara hakikinya, ketika kita menyembah pada-Nya dan setiap saat hal itu dituntut dari kita. Maka, Dia bukanlah angan-angan ataupun lafadz yang selalu menggelayut dalam benak kita. Sedangkan, ilmu itu menyebutkan, kita selau digerakkan oleh-Nya. Hati kami sibuk dengan kerinduan pada-Nya. Mampukah kami mempraktekkan itu dalam hati?”
“Oleh sebab itu, bukan hanya ilmu tapi juga praktek.” Kelit kyai Darussalam. Setelah lama terpekur, membenamkan diri dalam perenungan dalam.
“Justru itu, kami kian nelangsa dengan menilik sejarah,” lanjut Cak Min, ”tak seorangpun dari hamba mampu bertemu Tuhan sebelum dia mati, kecuali Beliau. Maka kami pun memohon syafaat, melalui sholawat yang kami kumandangkan dari sanubari paling dalam, sekiranya Beliau sudi memohonkan ampunan dengan garis-garis kerasulan beliau. Sudahkah seperti itu? Itulah yang mejadi tanda tanya besar dalam kehidupan kami. Sadarkah kita? Terlebih dengan Dajjal yang menggoda manusia dari berbagai arah, termasuk menggunakan ibadah seorang mukmin sebagai jalan menyesatkannya?”
Kyai Darussalam terperanjat dengan ucapan Cak Min yang terakhir. Dentang jam dinding menggema dalam ruang-ruang kosong. Tak seorang pun mengucap kata. Hanya sanubari-sanubari kecut oleh ketidakberdayaan melawan bisikan halus musuh abadi manusia. Walau, berbagai macam jihad telah dikobarkan. Namun, nafsu-nafsu semakin menjadi. Dia hampir tidak mempercayai pendengarannya, terlebih santrinya.
“Lantas, perbuatan kalian?” Kyai Darussalam memecah kesunyian.
“Mereka sudah tahu dan mengerti hakekat hidup. Maka, biarkan saja mereka menempuh jalan yang mereka pilih. Mungkin, suatu saat nanti masjid kita akan mereka penuhi dengan berjamaah.”
“Baiklah, Cak Min. Terimakasih untuk semuanya, aku pamit.”
“Maaf, Kyai Darussalam. Saya tidak bisa membantu anda”
Setelah mengucap salam, Kyai Darussalam beranjak pergi. Berpasang-pasang mata menaruh kecurigaan pada kehadiran Kyai Darussalam di pusat hitam Kampung Warna. Tetapi, mereka menitipkannya pada lalu-lalang kendaraan lewat dan klotekan pedang-pedagang kaki lima yang kebetulan melintas. Seorang santri yang selalu setia mengiring Kyai Darussalam, selaksa berdendam benak terpancar dari tajamnya sorot mata. Tertunduk lesu mendapati senyuman Kyai Darussalam mengembang penuh arti. Tak seorang pun tahu yang terjadi di dalam sentral kehitaman hidup kampung itu. Hanya dinding-dinding beku menjadi saksi, serta telinga Said yang mencuri dengar pada pembenahan.
Said bersorak penuh riang, bagaikan berlaksa pada tontonan orkes di lapangan kampung tiap bulan Agustus. Dia melihat dua manusia yang selama ini selalu memicingkan mata dari kursinya di teras loteng bangunana megah kehidupan pada kebiasaan kawan sahabatnya itu mendapatkan hantaman telak. Dengan senyum kepuasan yang menganga lebar, dia lantas berlalu menuju gardu-gardu setia tempatnya mangkal.
***
Jalanan lengang siang hari tidak mempengaruhi keramaian yang terjadi. Jalinan kesepakatan seorang warga Kampung Warna dengan berbagai pihak, sungguh rapi meniadakan peraturan yang berlaku. Dengan catatan, seluruh preman yang ada tidak mengacaukan kawasan sekitar. Sehingga tak pernah ada penggerebekan di dalam kampung. Hanya berita-berita tentang salah seorang warga tertangkap di luar kampung dan wilayah kerja polsek setempat.
Said tak mendapatkan tempat. Dengan berat hati, dia pun bergabung dengan peminum-peminum setia dalam kerumunan itu dan sesekali menambah taruhan pada temannya. Kepayahan kalbu, kelelahan raga dan miringnya jiwa-jiwa penat, menjadikan Said bersegera oleng. Sambil sesekali melebarkan mata, dia mengakrabi saudara-saudara senasibnya.
Dari utara, siang itu, angin musim kemarau serasa menidurkan penduduk Kampung Warna dalam pelukan bidadari-bidadari binaannya. Menina-bobokkan mereka dalam mimpi panjang harapan tak bertepi. Sesekali, seringai kemenangan dari seseorang menyembul tiba-tiba dari ketegangan, disambut cacian kesal yang lain.
Mendadak, telinga Said dan yang lain dikejutkan pengeras suara yang berbunyi lama dari biasanya, sebagai tanda sebuah pengumuman penting. Tak seorang pun bersuara demi mengetahui berita. Betapa terkejut mereka setelah sang suara menyebut nama salah seorang yang disegani di kampung ini. ‘Cak Min telah meninggal.’ Secepat kilat, mereka membuyarkan diri, meninggalkan sampah berserakan tak terurusi. Dengan mengantongi puing-puing kemenangan, sekaligus aroma alkohol menyeruak, mereka segera berjalan ke timur, tempat jasad Cak Min disemayamkan, rumah semi permanen yang selama ini menjadi pusat perhatian segenap warga akan kegiatannya yang tidak umum.
Sudah menjadi adat Kampung Warna, setiap ada yang meninggal dunia, warga berduyun-duyun melayat. Warga laki-laki akan menghentikan perkerjaanya setelah mendengar kabar tersebut. Selama perjalanan pulang dapat ditempuh sebelum mayat dikubur, mereka pasti menyempatkan diri, meminta ijin atasan dan meninggalkan pekerjaannya. Kecuali, yang berada jauh di luar area, mereka tidak wajib datang.
Said melihat Kyai Darussalam duduk di kursi panjang bersama para santrinya. Ramai pelayat, membentuk kelompok masing-masing, tak menghalanginya masuk dan melihat jasad Cak Min. Tubuh tak bergerak yang telah dimandikan itu, pernah menolongnya keluar dari masalah rumit yang pernah menimpanya. Dia tertegun pada wajah tegar dan garang, telah pernah melanglangbuana dalam dunia hitam. Kini terbujur lunglai tak bernafas. ‘Semua pasti mati,’ gumamnya.
Dalam lamunannya akan jasa-jasa si mayat, Said dikejutkan Kyai Darussalam yang tiba-tiba menyeruak di sela-sela dirinya dan teman-temannya. Dia pun cukup tahu diri dan memilih duduk di belakang bersama yang lain, hingga cukup bisa melihat, Kyai itu menggelengkan kepala setelah memeriksa keadaan jasad. Dengan segala kemampuannya, Said memanjatkan doa dalam hati.
Tiba-tiba keadaan menjadi gaduh oleh ulah para santri yang saling bergumam dan bertanya-tanya pada Kyai mereka. Hingga ia mengalir mulus dari mulut-mulut yang tak bisa diam akan fenomena keganjilan. Tidak selayaknya orang-orang hitam yang meninggalkan jasadnya; kaku tak bergeming, bahkan menggerakkan tangan-tangannya untuk bersedekap pun susah. Ataupun kaki-kaki menekuk yang sulit diluruskan kembali. Namun, kini yang terpampang di hadapan Kyai Darussalam mewakili ketidakwajaran. Mayat itu lemas-lungai bagaikan pingsan. Ketidakpercayaan benaknya menjadikan dia memeriksa ulang tubuh tak bernyawa tersebut. Tetap tak ada nafas ataupun tanda-tanda kehidupan terpancar.
“Seorang alim, belum tentu mendapatkan keistimewaan ini. Lantas, siapakah orang ini di hadapan-Mu, ya Allah? Ampunilah segala dosaku.” Gumam Kyai Darussalam yang cukup bisa didengar khalayak dalam ruang itu dengan diteruskan para santrinya, memperlakukan jenazah lebih istimewa.
Said bungkam. Dia telah mengetahui sebab-akibatnya. Dia tidak terpengaruh dengan ulah mereka yang menurutnya kelewat batas. Dia bergegas mengajak beberapa saudara menuju tempat pemakaman. Meninggalkan fenomena-fenomena yang baginya adalah kewajaran dari lelaku hati seseorang. Membiarkan Kyai Darussalam dan warga yang lain dalam penasaran. Menyambung doa-doa permohonan ampun.
Surabaya, 1998
NB; Cerita ini berdasarkan kisah nyata yang terjadi di Kampung Banjarsugihan, Surabaya, di sekitar tahun 1996-an. Yang dikisahkan ulang oleh seorang sahabat warga kampung tersebut kepada penulis pada bulan Maret 1998.
*) Cerpenis lahir di Lamongan. Sudah menerjemahkan beberapa antologi puisi, esai, cerpen, dan terjemahan novel dalam proses penyelesaian. Kini sedang menimba ilmu di ICAS Jakarta. Nomor telpon 085731347267
http://www.sastra-indonesia.com/
Kampung Warna telah terukir dalam black list kepolisian setempat. Setiap intel seringkali mendapati Kartu Tanda Penduduk yang terselip dalam saku celana tahanannya menunjuk alamat kampung itu. Hingga guyonan tersendiri merebak di gedung pemerintah tersebut. Yang lebih menggembirakan lagi, mereka dapat langsung mengarahkan pencarian kala tindak kriminal terjadi di sekitar Surabaya Selatan. Sebagian besar dari penghuni penginapan mereka adalah warga kampung itu.
Berbalik fakta dalam Kampung Warna. Walaupun, kesedihan melanda janda-janda sementara, kesombongan semu tertelan waktu singkat, mengalun syahdu di sela-sela percakapan. Sudah menjadi rahasia umum, sebagian besar penduduk Kampung Warna merupakan residivis kambuhan. Hampir setiap warga merasakan kesenangan tersendiri dengan julukan yang terberi. Akibat yang timbul, kampung itu ditakuti warga kampung lain. Mereka tak pernah perduli dengan anggapan orang lain, tetap melangkah pada keteguhan sikap moral yang terbilang miring.
Letak kampung yang berdekatan dengan salah satu lokalisasi ternama di Surabaya itu, mungkin menjadi faktor utama pembentukan karakter penduduknya. Wanita-wanita hanya sebagai pelampiasan; pemuas birahi saat tidak mendapatkan sasaran empuk. Walau kata cinta menggelayuti nurani-nurani penduduk perempuan.
Tak kalah hebatnya, sebagian kaum hawa kampung tersebut, menafikan seks atas nama cinta pada keluarga. Mereka menjadi sangat liar mencari mangsa di malam hari, di mana saja. Bertebaran layaknya kunang-kunang memberikan sinar di rawa-rawa mistis lelaki hidung belang.
Warna hitam kehidupan terpasung sempurna di kampung itu. Sebagian penduduknya menjalankan ritual hidup yang menyimpang; mengejar gemerlap duniawi dengan segala cara. Di siang hari, rutinitas mereka mengacu pada kegiatan normal pekerja-pekerja kasar. Menyembunyikan kedok. Tanjung Perak ataupun tempat bekerja lain yang masih menerima pekerja yang hanya bermodalkan tenaga kasar, menjadi pelabuhan.
Kebanggaan lain Kampung Lawas, kampung tempat mereka tinggal aman dari maling kelas teri yang usil. Hingga tak jarang dijumpai motor-motor terparkir di halaman rumah tak berpagar pada malam hari, ataupun, barang berharga kainnya. Kalaupun toh ada yang hilang, hanya ulah iseng anak-anak yang keesokan hari telah kembali. Sehingga di kalangan warga sekitar, kampung tersebut menjadi teladan di bidang keamanan.
Tata ruang kampung yang diusulkan Cak Min—orang yang disegani oleh kawan maupun lawan terlebih dalam Kampung Warna. Walau tidak berkenan, predikat Tetua tersandang pada namanya—kepada kepala desa dan warga, kala rembug desa diadakan di balai desa, telah dilaksanakan penataannya beberapa tahu lalu. Menjadikan kampung Warna semakin tak terjangkau oleh kawanan pencuri manapun. Setiap perempatan jalan tembusan yang tak teratur, didirikan bangunan yang berfungsi sebagai pos ataupun sekedar tempat cangkruk pemuda-pemuda desa.
Setiap hari, tanpa memperdulikan waktu, tempat-tempat itu selalu terisi. Meski jauh dari tujuan semula. Ada yang sekedar menghabiskan waktu jenuh dengan bercanda bersama warga yang lain, ataupun sebagai pelabuhan tempat berjudi serta berpesta bersama kawan lain. Bagaimanapun juga, sesemrawut apapun itu, niatan awal tetap tercapai; pencurian-penjarahan tak pernah merambah kampung itu lagi.
Said adalah salah satu preman kambuhan yang memiliki selera humor tinggi, berpendapat dalam hatinya sendiri. Mengulas pekerjaannya dan menghubungkannya dengan usulan Cak Min. Kemudian, dia menjadikannya tebakan sesama saudara sependeritaan. Ketika menghabiskan siang kata bosan dalam gardu-pos yang dibangun. Dia dan beberapa warga yang kebetulan sedang libur ataupun menunggu giliran shift kerja, bercengkerama tanpa ada jurang pemisah di antara dua kalangan masyarakat yang sungguh berlawanan.
“Pekerja apa yang takut pada pekerjaannya sendiri?” tanya Said siang itu.
“Kamu, ada-ada saja, Id. Ya, tidak ada.”
“Ada!”
“Lantas, apa?”
“Ya, pekerjaan kita itu.” Di sambut dengan gelengan dan bibir menganga tanda tak mengerti. “Masih belum mengerti?”
Tak ada yang menjawab. Masing-masing melihat satu sama lain, karena kebebalan nalar mengejawantah artian. Maklum, mereka bukan pemikir, laksana orang-orang di papan atas yang mampu membodohi mereka dengan bermacam dalih. Said membiarkan keadaan itu berselang cukup lama, memancing rasa penasaran dan emosi jiwa meluap-luap.
“Kalian memang dungu, pantas saja kerjaannya maling.” Dengan semangat berucap, bagaikan penyair sedang melantunkan puisi perjuangan.
“Bangsat kau, Id! Apa jawabannya?”
“Pencuri, Tolol!” Sembari berlalu, meninggalkan mereka dalam kejengkelan.
“Diamput!” Disambut tawa ceria yang lain.
***
Bagaimanapun juga, preman juga makhluk sosial. Dalam kampung itu terdapat norma-norma sosial yang tertanam indah dalam benak masing-masing warga. Salah satunya adalah wajib saling menghargai. Meski tak luput dari kata-kata kotor dan cacian yang di luar kampung merupakan kata-kata dan kalimat tabu yang membakar telinga. Kelakar itulah yang justru menjadi salam pengantar dan intermesso perbincangan, tak perduli bocah hingga kakek-kakek, bahkan kaum wanita.
Seperti halnya pagi itu. Beberapa bocah tengah asyik berlarian, mengejar layang-layang putus, dengan latahnya, memaki pemuda seberang desa yang menghalangi. Tak seorang pun berani membalas sapaan akrab yang terjadi karena terpaksa, hanya karena pengucap sapa berasal dari Kampung Warna. Dengan keluguannya, mereka lantas mengambil layang-layang itu di pohon mangga di balik pagar teras perumahan tersebut.
“Hei, lagi ngapain kalian?” tegur dari pemilik pekarangan.
“Diamput, Lek! Aku cuma mengambil layang-layang.”
“Kalian arek mana, hah.”
“Kampung Warna. Memangnya kenapa! Nggak boleh?”
“Ya sudah. Ambillah dan lekas pergi.” Setengah memelas dan terkesan enggan menambah masalah dengan memarahi mereka, pemilik rumah membiarkan tiga bocah lugu tersebut mengacak-acak pekarangan rumahnya.
Pengalaman lalu; seorang pemilik rumah di lain desa, yang seharusnya tidak bersalah menjadi bulan-bulanan beberapa warga Kampung Warna, lantaran mengomeli seorang anak kecil dari Kampung Warna yang mengambil kelerengnya di pekarangan sebuah rumah mewah, dengan tuduhan-tuduhan keji yang dilontarkan oleh pemilik rumah tersebut.
“Iya, Lek. Terima kasih.” Mereka pun pergi sambil berlari meninggalkan pemilik pekarangan dalam kedunguan sikap.
Tiga Begundal Merah yang baru pulang dari mendapatkan sasaran empuk—konon, mereka adalah sahabat Said dari Yogyakarta. Melarikan diri setelah menganiaya anak pejabat teras kota budaya itu. Mereka bertiga bermigrasi kemari—menyaksikan ulah bocah-bocah tersebut, berdecak kagum akan keberanian. Mengingatkan mereka pada saat-saat bahagia masa kecil.
***
Setelah puas bercengkerama di gardu RT. 5 itu, Said membenamkan diri dengan secangkir kopi di warung depan Gedung Serbaguna, yang dulunya adalah telaga tempatnya memancing. Mendengarkan dangdut dari tape recorder yang disetel keras. Kepulan asap Djisamsu memenuhi ruang sempit warung tersebut. Beberapa warga yang nimbrung dalam permainan catur di depan warung, berangsur pulang. Hawa gerah menghunjam kulit.
Entah kenapa dengan matahari. Sudah tujuh hari ini, ia begitu senangnya di bayangi mendung putih. Sinarnya tiada lagi akrab menyapa manusia, khususnya di bumi Kampung Warna. Sebentar menampakkan muka di awal pagi, setelah itu, menghilang di balik kerimbunan pekat.
“Hey, Id. Sendirian, yang lain kemana?” tanya salah seorang Begundal Merah.
“Ngapain ngurus mereka. Mau kemana saja, ya terserah.”
“Kenapa denganmu? Biasanya kau begitu periang.”
“Entahlah, beberapa hari ini perasaanku tak enak. Seringkali merasa was-was. Walau sudah kualihkan pada minuman ataupun canda kelakar bersama yang lain, tetap saja perasaan itu menghantui.”
“Kau punya kasus?” tanya personil Begundal Merah yang lain, sambil menerima kopi pesanan mereka dari penjaga warung.
“Kalian ‘kan tahu, aku sudah lama libur.”
“Terus, kenapa?”
“Sudahlah! Kalian dari mana?”
“Biasa ….”
“O ..”
“Sebentar ya Id!” mereka bertiga pun menyusup ke ruangan kecil di sebelah kanan warung. Sebuah ruangan sempit yang biasanya digunakan sebagai tempat tidur penjaganya.
Langkah gontai ketiga Begundal Merah, semenjak kedatangan mereka, merupakan isyarat tersendiri bagi Said; bergebok-gebok uang terselip di saku-saku mereka. Dan ini mengartikan, salah seorang korban telah terkapar dalam keterpurukan setelah perampokan.
Mereka beradu pandang dalam kepuasan, membagikan uang dalam ruang tertutup warung pinggir jalan. Menyisihkan Said pada lembah-lembah keprihatinan. Dengan beberapa lembar uang puluhan, mereka mengisyaratkan pemilik warung untuk mengamati setiap yang datang.
Suasana warung yang sepi, meleluasakaan mereka bergurau tentang perbuatan mereka semalam, jauh di tepian sudut kota tetangga. Dari kisah pembobolan, penawanan, pengurasan harta, hingga pelarian diri yang sempurna; tanpa diketahui warga yang lain. Setelah membayar, tanpa jengah akan cuaca gerah sedikit gerimis, mereka beranjak.
“Kita ke pos RT 8 saja. Kita main di sana sampai puas.” Ajak Begundal Merah, menyeret teman-temannya dan Said untuk berjudi melawan entah siapa. Dalam benak mereka, pastilah ada arena yang sedang digelar disana.
Benar dugaan mereka. Di tempat itu, telah berkumpul beberapa maniak judi sekaligus peminum berat. Mereka asyik menikmati suasana yang mereka ciptakan sendiri. Said dan tiga Begundal Merah nimbrung, setelah salah seorang Begundal Merah memberikan beberapa lembar uang lima puluhan kepada salah seorang peminum di luar gardu.
Melihat kedatangan Said dan Begundal Merah, para maniak itu pun semakin girang. Kelakar-kelakar jalanan mengalun renyah. Mereka tidak perduli pada adzan dhuhur yang di kumandangkan pak Syaifuddin dari masjid beberapa blok dari tempat mereka bermain. Tetap fokus pada kartu-kartu celaka.
Kyai Darussalam yang melintas menuju masjid—jalan gardu itu sebagai satu-satunya jalan baginya menuju masjid—hanya menggelengkan kepala dengan meninggalkan sapaan hangat seorang kyai. Tak pernah ada sungkan ataupun malu pada lantunan abadi pemanggil jiwa, mereka tetap bersitegang dalam benak masing-masing ingin memenangkan sejumlah uang.
Kyai itu seakan sungkan menegur, teringat akan pertemuannya dengan Cak Min beberapa bulan lalu. Ketika dia memiliki niatan membersihkan kampung dari kemaksiatan, dia pun mendatangi Cak Min guna meminta bantuannya. Namun, yang dia dapatkan tidaklah sesuai dengan keinginan. Tuhan tidak selalu mengabulkan permohonan hamba-hamba-Nya. Hidup tak selalu berjalan mulus sesuai rencana manusia-manusianya.
***
“Permisi, Cak Min. Aku rasa sudah saatnya kita semua kembali ke jalan-Nya.” Kyai Darussalam mengawali perbincangan, setelah berbasa-basi sebentar saat bertamu ke rumah Cak Min, di suatu malam beberapa bulan yang lalu.
“Maksud Pak Kyai?”
“Mungkin sebaiknya Cak Min sebagai orang yang disegani, mengingatkan mereka untuk kembali menyembah-Nya, mengikuti kami meramaikan masjid.”
“Maafkan kami, Pak Kyai. Kami hanya orang-orang yang berkecimpung di lembah hitam.”
“Maka dari itulah, kalian sudah saatnya bertaubat. Tak ada yang abadi di dunia ini, Cak Min.”
“Memang benar. Tetapi, kami merasa merugi jika kami hanya berniat meramaikan masjid. Sedangkan hati kami hanya dan hanya untuk-Nya.”
“Setidaknya, sesekali kalian mengisi ruang-ruang kosong rumah suci tersebut.”
“Maaf, Pak Kyai. Ibadah kami bukan hanya untuk masjid. Kami belum bisa mengikuti program anda. Hati kami sibuk dengan introspeksi diri”
“Kenapa?”
“Secara hakikinya, ketika kita menyembah pada-Nya dan setiap saat hal itu dituntut dari kita. Maka, Dia bukanlah angan-angan ataupun lafadz yang selalu menggelayut dalam benak kita. Sedangkan, ilmu itu menyebutkan, kita selau digerakkan oleh-Nya. Hati kami sibuk dengan kerinduan pada-Nya. Mampukah kami mempraktekkan itu dalam hati?”
“Oleh sebab itu, bukan hanya ilmu tapi juga praktek.” Kelit kyai Darussalam. Setelah lama terpekur, membenamkan diri dalam perenungan dalam.
“Justru itu, kami kian nelangsa dengan menilik sejarah,” lanjut Cak Min, ”tak seorangpun dari hamba mampu bertemu Tuhan sebelum dia mati, kecuali Beliau. Maka kami pun memohon syafaat, melalui sholawat yang kami kumandangkan dari sanubari paling dalam, sekiranya Beliau sudi memohonkan ampunan dengan garis-garis kerasulan beliau. Sudahkah seperti itu? Itulah yang mejadi tanda tanya besar dalam kehidupan kami. Sadarkah kita? Terlebih dengan Dajjal yang menggoda manusia dari berbagai arah, termasuk menggunakan ibadah seorang mukmin sebagai jalan menyesatkannya?”
Kyai Darussalam terperanjat dengan ucapan Cak Min yang terakhir. Dentang jam dinding menggema dalam ruang-ruang kosong. Tak seorang pun mengucap kata. Hanya sanubari-sanubari kecut oleh ketidakberdayaan melawan bisikan halus musuh abadi manusia. Walau, berbagai macam jihad telah dikobarkan. Namun, nafsu-nafsu semakin menjadi. Dia hampir tidak mempercayai pendengarannya, terlebih santrinya.
“Lantas, perbuatan kalian?” Kyai Darussalam memecah kesunyian.
“Mereka sudah tahu dan mengerti hakekat hidup. Maka, biarkan saja mereka menempuh jalan yang mereka pilih. Mungkin, suatu saat nanti masjid kita akan mereka penuhi dengan berjamaah.”
“Baiklah, Cak Min. Terimakasih untuk semuanya, aku pamit.”
“Maaf, Kyai Darussalam. Saya tidak bisa membantu anda”
Setelah mengucap salam, Kyai Darussalam beranjak pergi. Berpasang-pasang mata menaruh kecurigaan pada kehadiran Kyai Darussalam di pusat hitam Kampung Warna. Tetapi, mereka menitipkannya pada lalu-lalang kendaraan lewat dan klotekan pedang-pedagang kaki lima yang kebetulan melintas. Seorang santri yang selalu setia mengiring Kyai Darussalam, selaksa berdendam benak terpancar dari tajamnya sorot mata. Tertunduk lesu mendapati senyuman Kyai Darussalam mengembang penuh arti. Tak seorang pun tahu yang terjadi di dalam sentral kehitaman hidup kampung itu. Hanya dinding-dinding beku menjadi saksi, serta telinga Said yang mencuri dengar pada pembenahan.
Said bersorak penuh riang, bagaikan berlaksa pada tontonan orkes di lapangan kampung tiap bulan Agustus. Dia melihat dua manusia yang selama ini selalu memicingkan mata dari kursinya di teras loteng bangunana megah kehidupan pada kebiasaan kawan sahabatnya itu mendapatkan hantaman telak. Dengan senyum kepuasan yang menganga lebar, dia lantas berlalu menuju gardu-gardu setia tempatnya mangkal.
***
Jalanan lengang siang hari tidak mempengaruhi keramaian yang terjadi. Jalinan kesepakatan seorang warga Kampung Warna dengan berbagai pihak, sungguh rapi meniadakan peraturan yang berlaku. Dengan catatan, seluruh preman yang ada tidak mengacaukan kawasan sekitar. Sehingga tak pernah ada penggerebekan di dalam kampung. Hanya berita-berita tentang salah seorang warga tertangkap di luar kampung dan wilayah kerja polsek setempat.
Said tak mendapatkan tempat. Dengan berat hati, dia pun bergabung dengan peminum-peminum setia dalam kerumunan itu dan sesekali menambah taruhan pada temannya. Kepayahan kalbu, kelelahan raga dan miringnya jiwa-jiwa penat, menjadikan Said bersegera oleng. Sambil sesekali melebarkan mata, dia mengakrabi saudara-saudara senasibnya.
Dari utara, siang itu, angin musim kemarau serasa menidurkan penduduk Kampung Warna dalam pelukan bidadari-bidadari binaannya. Menina-bobokkan mereka dalam mimpi panjang harapan tak bertepi. Sesekali, seringai kemenangan dari seseorang menyembul tiba-tiba dari ketegangan, disambut cacian kesal yang lain.
Mendadak, telinga Said dan yang lain dikejutkan pengeras suara yang berbunyi lama dari biasanya, sebagai tanda sebuah pengumuman penting. Tak seorang pun bersuara demi mengetahui berita. Betapa terkejut mereka setelah sang suara menyebut nama salah seorang yang disegani di kampung ini. ‘Cak Min telah meninggal.’ Secepat kilat, mereka membuyarkan diri, meninggalkan sampah berserakan tak terurusi. Dengan mengantongi puing-puing kemenangan, sekaligus aroma alkohol menyeruak, mereka segera berjalan ke timur, tempat jasad Cak Min disemayamkan, rumah semi permanen yang selama ini menjadi pusat perhatian segenap warga akan kegiatannya yang tidak umum.
Sudah menjadi adat Kampung Warna, setiap ada yang meninggal dunia, warga berduyun-duyun melayat. Warga laki-laki akan menghentikan perkerjaanya setelah mendengar kabar tersebut. Selama perjalanan pulang dapat ditempuh sebelum mayat dikubur, mereka pasti menyempatkan diri, meminta ijin atasan dan meninggalkan pekerjaannya. Kecuali, yang berada jauh di luar area, mereka tidak wajib datang.
Said melihat Kyai Darussalam duduk di kursi panjang bersama para santrinya. Ramai pelayat, membentuk kelompok masing-masing, tak menghalanginya masuk dan melihat jasad Cak Min. Tubuh tak bergerak yang telah dimandikan itu, pernah menolongnya keluar dari masalah rumit yang pernah menimpanya. Dia tertegun pada wajah tegar dan garang, telah pernah melanglangbuana dalam dunia hitam. Kini terbujur lunglai tak bernafas. ‘Semua pasti mati,’ gumamnya.
Dalam lamunannya akan jasa-jasa si mayat, Said dikejutkan Kyai Darussalam yang tiba-tiba menyeruak di sela-sela dirinya dan teman-temannya. Dia pun cukup tahu diri dan memilih duduk di belakang bersama yang lain, hingga cukup bisa melihat, Kyai itu menggelengkan kepala setelah memeriksa keadaan jasad. Dengan segala kemampuannya, Said memanjatkan doa dalam hati.
Tiba-tiba keadaan menjadi gaduh oleh ulah para santri yang saling bergumam dan bertanya-tanya pada Kyai mereka. Hingga ia mengalir mulus dari mulut-mulut yang tak bisa diam akan fenomena keganjilan. Tidak selayaknya orang-orang hitam yang meninggalkan jasadnya; kaku tak bergeming, bahkan menggerakkan tangan-tangannya untuk bersedekap pun susah. Ataupun kaki-kaki menekuk yang sulit diluruskan kembali. Namun, kini yang terpampang di hadapan Kyai Darussalam mewakili ketidakwajaran. Mayat itu lemas-lungai bagaikan pingsan. Ketidakpercayaan benaknya menjadikan dia memeriksa ulang tubuh tak bernyawa tersebut. Tetap tak ada nafas ataupun tanda-tanda kehidupan terpancar.
“Seorang alim, belum tentu mendapatkan keistimewaan ini. Lantas, siapakah orang ini di hadapan-Mu, ya Allah? Ampunilah segala dosaku.” Gumam Kyai Darussalam yang cukup bisa didengar khalayak dalam ruang itu dengan diteruskan para santrinya, memperlakukan jenazah lebih istimewa.
Said bungkam. Dia telah mengetahui sebab-akibatnya. Dia tidak terpengaruh dengan ulah mereka yang menurutnya kelewat batas. Dia bergegas mengajak beberapa saudara menuju tempat pemakaman. Meninggalkan fenomena-fenomena yang baginya adalah kewajaran dari lelaku hati seseorang. Membiarkan Kyai Darussalam dan warga yang lain dalam penasaran. Menyambung doa-doa permohonan ampun.
Surabaya, 1998
NB; Cerita ini berdasarkan kisah nyata yang terjadi di Kampung Banjarsugihan, Surabaya, di sekitar tahun 1996-an. Yang dikisahkan ulang oleh seorang sahabat warga kampung tersebut kepada penulis pada bulan Maret 1998.
*) Cerpenis lahir di Lamongan. Sudah menerjemahkan beberapa antologi puisi, esai, cerpen, dan terjemahan novel dalam proses penyelesaian. Kini sedang menimba ilmu di ICAS Jakarta. Nomor telpon 085731347267
16/09/10
Mata Sastra Tak Melirik Mata Uang?
Binhad Nurrohmat
http://cetak.kompas.com/
Ada ungkapan dalam khazanah tradisi Jawa: sugih tanpa banda (kaya tanpa harta). Rasa ungkapan itu ”non-materialistik” dan kontradiktif sebab makna umum ”kaya” identik dengan ”harta”. Ungkapan bervisi etika itu bagi common-sense modern bisa dianggap cuma pelipur kemelaratan atau dalih ”romantisme kemiskinan”. Dalam konteks sejenis, ada ungkapan lain dalam khazanah tradisi kita yang dianggap ”realistik” bagi nalar modern lantaran bervisi pragmatis: kalau ada uang di pinggang, dunia sempit menjadi lapang.
Aristoteles dalam La Politica menilai, sejak ditemukan uang, manusia mengenal perniagaan eceran (ritel). Sebelumnya manusia memenuhi kebutuhan hidup melalui tukar-menukar barang (barter).
Ihwal uang semula sederhana dan menjadi rumit setelah manusia belajar kapan dan dengan apa pertukaran dengan uang dilakukan bisa meraup laba. Akibatnya, uang dianggap paling penting untuk meraih kekayaan. Sejak itu pula bersemi ”nafsu” mengakumulasi. Dalam pandangan etika Aristoteles: mencari kekayaan tak terbatas, tetapi punya batas.
Karl Marx dan Georg Simmel (keduanya hidup jauh setelah masa Aristoteles) merenungi ihwal uang juga. ”Uang adalah dewa,” kata Marx. Lewat uang, spiritualitas dan kultur digusur materialistik ekonomi dan politik. Bagi Simmel, uang adalah biang penyebar kuasa-modernitas.
Kesusastraan Indonesia juga sudah mengendus efek ”kuasa-uang”, contohnya petikan novel Telegram (1972) Putu Wijaya ini: ”Terhadap hal-hal yang pernah mereka terima sebagai sesuatu yang tidak perlu diperbincangkan, kini diusahakan agar tidak menyimpang dari prinsip-prinsip ekonomi” (…) ”Satu hari penuh aku membungkuk di belakang mesin ketik. Masih ada sisa sore sedikit tatkala aku menancapkan kalimat-kalimat terakhir. Sementara itu, tengah hari, waktu makan aku telah membicarakan pada Direksi soal libur dan pinjaman uang. Untung saja ia seorang yang bisa memaklumi. Inilah yang membuat tanganku cepat sekali menyelesaikan karangan itu.”
Contoh lain, nukilan novel Pasar (1995) Kuntowijoyo ini:
”Wah, sekarang lain,” tegur penjual nasi gulai.
Paijo mengamati bajunya. ”Apa yang lain?”
”Bajunya baru. Dan tak mau jajan lagi.”
Ya. Paijo pernah bertengkar dengan penjual itu. Mereka mau rujuk kembali nampaknya.
”Wah, punya pasar luas, tetapi tak ada uang,” katanya.
”Karcis sudah lama tak ditarik?”
”Habis!”
”Salahmu sendiri? Malas!”
”Sekarang mana uang karcis!”
Paijo main-main saja, tetapi penjual nasi itu mengeluarkan uang. Paijo menerima uang itu. Dan buru-buru pergi ke kantor pasar.
Masih ada contoh lain efek ”kuasa-uang” dalam kesusastraan Indonesia, sebut saja novel Belenggu (1940) Armijn Pane dan novel Ronggeng Dukuh Paruk (1982) Ahmad Tohari. Keduanya ikut merefleksikan manusia modern yang terkena efek ”kuasa-uang” melalui tokoh Yah yang menjadi perempuan panggilan dalam Belenggu dan tokoh Srintil yang menjadi ronggeng dalam Ronggeng Dukuh Paruk.
Resepsi
Gundah gulana Bandung Mawardi dalam tulisannya di koran ini, ”Uang, Modernitas, dan Tafsir Sastra” (Minggu, 7 Maret 2010) merangsang pemaparan-pemaparan saya di atas. Ia menilai penting tema uang dalam kesusastraan.
Harapan Bandung: ”Kesanggupan untuk menggarap tema ini mungkin membuka wacana kompleks kesadaran atas fakta-fakta dalam garapan sastra” dan ”penggarapan sastra dengan tema uang tentu bisa jadi dokumen untuk membaca resepsi dan perilaku orang Indonesia terhadap uang sebagai pamrih untuk hidup atau menjadi modern”.
Rada prihatin pula Bandung menuliskan: ”Eksplorasi terhadap tema uang justru masih jarang dilakukan oleh empu-empu sastra Indonesia” dan ia mencontohkan novel-novel non-Indonesia bertema uang seperti The House of Mirth (1905) Edith Wharton dan The Great Gatsby karya F Scott Fitzgerald.
”Kuasa-uang” tak bisa dielak meski filsuf dan ilmuwan mewanti-wanti dan mengkritik habis-habisan. Di zaman ini, tanpa uang potensial menerima risiko isi pepatah ini: ada uang abang disayang, tak ada uang abang melayang.
Maka ”moralitas uang” menjadi penting. Keserakahan modernitas menjadikan uang sebagai senjata dan tujuan. Ini berarti kesusastraan yang merefleksikan moralitas uang merupakan kritik telak ke jantung modernitas.
Tak mempankah money politics, money laundering, korupsi, dan suap diteriaki oleh media massa, pamflet, jargon, slogan, poster, dan aksi massa? Belum kuatkah suara ilmu dan filsafat mendengungkan ancaman ”kuasa-uang” bagi kemanusiaan modern sehingga kesusastraan mesti turun tangan? Ilmu dan filsafat menyalakan ”kesadaran pikiran” dalam mengungkai perkara dan kesusastraan punya cara sendiri untuk menggaungkannya, misal lewat strategi literer yang menyentuh ”kesadaran batin”.
Ihwal ”kuasa-uang”, pada 1842 terbit cerpen panjang Nikolai Gogol, Shinel. Alkisah, Akaki Akakiewitsch pegawai kecil yang miskin. Ia kerap dihina karena mantelnya rombeng. Ia tak bisa segera membeli mantel baru. Setelah lama menabung, ia bisa membeli mantel baru tetapi dirampas bandit jalanan saat musim dingin. Aparat malas mengurus kasusnya. Ia mati terserang demam sebab kedinginan. Hantu Akakiewitsch gentayangan merampasi mantel (shinel) para pegawai dan siapa saja.
Shinel memendarkan kompleksitas dan absurditas efek ”kuasa-uang” dengan mengaduk rasionalitas dan irasionalitas. Akakiewitsch berjuang menabung receh demi receh untuk sehelai mantel yang lantas dirampas bandit dan setelah mati ia membalas dendam.
Apakah Gogol menakuti modernitas atau meneror ”kuasa uang” lewat hantu Akakiewitsch? Ia mahir mendeskripsikan efek ”kuasa-uang” melalui dialog, pengisahan, dan penokohan. Tanpa propaganda. Ia bercerita secara bagus dan mencerminkan pemahaman mendalam pada manusia modern dan masalah hidupnya.
Gogol tak memperalat Akakiewitsch. Akakiewitsch adalah contoh korban modernitas yang menjadikan uang sebagai ukuran dan tujuan tertinggi sehingga mengikis nilai kemanusiaan. Banyak ”Akakiewitsch lain” atau hantu-hantunya yang mengantre disastrakan, bukan?
Binhad Nurrohmat Penyair dan Sivitas Akademika Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
http://cetak.kompas.com/
Ada ungkapan dalam khazanah tradisi Jawa: sugih tanpa banda (kaya tanpa harta). Rasa ungkapan itu ”non-materialistik” dan kontradiktif sebab makna umum ”kaya” identik dengan ”harta”. Ungkapan bervisi etika itu bagi common-sense modern bisa dianggap cuma pelipur kemelaratan atau dalih ”romantisme kemiskinan”. Dalam konteks sejenis, ada ungkapan lain dalam khazanah tradisi kita yang dianggap ”realistik” bagi nalar modern lantaran bervisi pragmatis: kalau ada uang di pinggang, dunia sempit menjadi lapang.
Aristoteles dalam La Politica menilai, sejak ditemukan uang, manusia mengenal perniagaan eceran (ritel). Sebelumnya manusia memenuhi kebutuhan hidup melalui tukar-menukar barang (barter).
Ihwal uang semula sederhana dan menjadi rumit setelah manusia belajar kapan dan dengan apa pertukaran dengan uang dilakukan bisa meraup laba. Akibatnya, uang dianggap paling penting untuk meraih kekayaan. Sejak itu pula bersemi ”nafsu” mengakumulasi. Dalam pandangan etika Aristoteles: mencari kekayaan tak terbatas, tetapi punya batas.
Karl Marx dan Georg Simmel (keduanya hidup jauh setelah masa Aristoteles) merenungi ihwal uang juga. ”Uang adalah dewa,” kata Marx. Lewat uang, spiritualitas dan kultur digusur materialistik ekonomi dan politik. Bagi Simmel, uang adalah biang penyebar kuasa-modernitas.
Kesusastraan Indonesia juga sudah mengendus efek ”kuasa-uang”, contohnya petikan novel Telegram (1972) Putu Wijaya ini: ”Terhadap hal-hal yang pernah mereka terima sebagai sesuatu yang tidak perlu diperbincangkan, kini diusahakan agar tidak menyimpang dari prinsip-prinsip ekonomi” (…) ”Satu hari penuh aku membungkuk di belakang mesin ketik. Masih ada sisa sore sedikit tatkala aku menancapkan kalimat-kalimat terakhir. Sementara itu, tengah hari, waktu makan aku telah membicarakan pada Direksi soal libur dan pinjaman uang. Untung saja ia seorang yang bisa memaklumi. Inilah yang membuat tanganku cepat sekali menyelesaikan karangan itu.”
Contoh lain, nukilan novel Pasar (1995) Kuntowijoyo ini:
”Wah, sekarang lain,” tegur penjual nasi gulai.
Paijo mengamati bajunya. ”Apa yang lain?”
”Bajunya baru. Dan tak mau jajan lagi.”
Ya. Paijo pernah bertengkar dengan penjual itu. Mereka mau rujuk kembali nampaknya.
”Wah, punya pasar luas, tetapi tak ada uang,” katanya.
”Karcis sudah lama tak ditarik?”
”Habis!”
”Salahmu sendiri? Malas!”
”Sekarang mana uang karcis!”
Paijo main-main saja, tetapi penjual nasi itu mengeluarkan uang. Paijo menerima uang itu. Dan buru-buru pergi ke kantor pasar.
Masih ada contoh lain efek ”kuasa-uang” dalam kesusastraan Indonesia, sebut saja novel Belenggu (1940) Armijn Pane dan novel Ronggeng Dukuh Paruk (1982) Ahmad Tohari. Keduanya ikut merefleksikan manusia modern yang terkena efek ”kuasa-uang” melalui tokoh Yah yang menjadi perempuan panggilan dalam Belenggu dan tokoh Srintil yang menjadi ronggeng dalam Ronggeng Dukuh Paruk.
Resepsi
Gundah gulana Bandung Mawardi dalam tulisannya di koran ini, ”Uang, Modernitas, dan Tafsir Sastra” (Minggu, 7 Maret 2010) merangsang pemaparan-pemaparan saya di atas. Ia menilai penting tema uang dalam kesusastraan.
Harapan Bandung: ”Kesanggupan untuk menggarap tema ini mungkin membuka wacana kompleks kesadaran atas fakta-fakta dalam garapan sastra” dan ”penggarapan sastra dengan tema uang tentu bisa jadi dokumen untuk membaca resepsi dan perilaku orang Indonesia terhadap uang sebagai pamrih untuk hidup atau menjadi modern”.
Rada prihatin pula Bandung menuliskan: ”Eksplorasi terhadap tema uang justru masih jarang dilakukan oleh empu-empu sastra Indonesia” dan ia mencontohkan novel-novel non-Indonesia bertema uang seperti The House of Mirth (1905) Edith Wharton dan The Great Gatsby karya F Scott Fitzgerald.
”Kuasa-uang” tak bisa dielak meski filsuf dan ilmuwan mewanti-wanti dan mengkritik habis-habisan. Di zaman ini, tanpa uang potensial menerima risiko isi pepatah ini: ada uang abang disayang, tak ada uang abang melayang.
Maka ”moralitas uang” menjadi penting. Keserakahan modernitas menjadikan uang sebagai senjata dan tujuan. Ini berarti kesusastraan yang merefleksikan moralitas uang merupakan kritik telak ke jantung modernitas.
Tak mempankah money politics, money laundering, korupsi, dan suap diteriaki oleh media massa, pamflet, jargon, slogan, poster, dan aksi massa? Belum kuatkah suara ilmu dan filsafat mendengungkan ancaman ”kuasa-uang” bagi kemanusiaan modern sehingga kesusastraan mesti turun tangan? Ilmu dan filsafat menyalakan ”kesadaran pikiran” dalam mengungkai perkara dan kesusastraan punya cara sendiri untuk menggaungkannya, misal lewat strategi literer yang menyentuh ”kesadaran batin”.
Ihwal ”kuasa-uang”, pada 1842 terbit cerpen panjang Nikolai Gogol, Shinel. Alkisah, Akaki Akakiewitsch pegawai kecil yang miskin. Ia kerap dihina karena mantelnya rombeng. Ia tak bisa segera membeli mantel baru. Setelah lama menabung, ia bisa membeli mantel baru tetapi dirampas bandit jalanan saat musim dingin. Aparat malas mengurus kasusnya. Ia mati terserang demam sebab kedinginan. Hantu Akakiewitsch gentayangan merampasi mantel (shinel) para pegawai dan siapa saja.
Shinel memendarkan kompleksitas dan absurditas efek ”kuasa-uang” dengan mengaduk rasionalitas dan irasionalitas. Akakiewitsch berjuang menabung receh demi receh untuk sehelai mantel yang lantas dirampas bandit dan setelah mati ia membalas dendam.
Apakah Gogol menakuti modernitas atau meneror ”kuasa uang” lewat hantu Akakiewitsch? Ia mahir mendeskripsikan efek ”kuasa-uang” melalui dialog, pengisahan, dan penokohan. Tanpa propaganda. Ia bercerita secara bagus dan mencerminkan pemahaman mendalam pada manusia modern dan masalah hidupnya.
Gogol tak memperalat Akakiewitsch. Akakiewitsch adalah contoh korban modernitas yang menjadikan uang sebagai ukuran dan tujuan tertinggi sehingga mengikis nilai kemanusiaan. Banyak ”Akakiewitsch lain” atau hantu-hantunya yang mengantre disastrakan, bukan?
Binhad Nurrohmat Penyair dan Sivitas Akademika Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
Uang, Modernitas, dan Tafsir Sastra
Bandung Mawardi*
http://cetak.kompas.com/
Uang adalah wacana tak selesai untuk memperkarakan kehidupan manusia modern. Uang sebagai benda, kata, dan makna terus jadi kuasa untuk mengantarkan manusia pada permainan-permainan hidup dalam seribu satu risiko. Pengenalan manusia modern terhadap uang menjadi absorsi dan internalisasi untuk melakoni hidup dengan konstitusi atas nama nilai dan kompensasi. Uang sebagai juru bicara membuat manusia menerima mekanisme atau prosedur hidup dalam perhitungan angka untuk mencapai makna. Angka jadi penentu, tetapi makna kadang hadir dalam kesamaran.
Uang mengantarkan peradaban manusia pada pertaruhan ekonomi modern secara sistemik. Efek pertaruhan itu meluber dalam lakon politik, spiritualitas, sosial, pendidikan, dan kultural. Uang menjelma monster dengan sabda-sabda untuk memberi instruksi dan sanksi. Manusia-manusia modern jadi tokoh-tokoh dalam lakon fiksi modern karena uang telah mengaburkan fakta-fakta dalam nalar tradisional. Fiksi mutakhir adalah pembenaran uang dalam konstruksi nalar modern dengan penentuan tema, alur, dan latar.
Karl Marx dengan satire mengungkapkan uang adalah dewa. Uang telah menjadi penguasa manusia dan alam. Uang menjelma pusat dari nilai segala sesuatu. Uang telah merampas dunia dari tatanan kosmis yang mengacu pada norma spiritualitas dan kultural menuju ke tatanan ekonomi dan politik yang materialistik. Karl Marx pun menilai uang sebagai esensi alineatif dari eksistensi manusia dan laku kerja untuk hidup. Uang justru menemukan eksistensi dalam iman manusia karena ritual pemujaan dalam mekanisme produksi dan konsumsi.
Satire itu muncul dari lakon peradaban manusia modern dengan pemahaman uang sebagai dewa atau pusat. Fakta-fakta modernitas jadi ”fiksi realisme” atau ”fiksi absurd” karena kuasa uang. Georg Simmel memberi penjelasan lanjutan bahwa uang memang jadi pokok dan tokoh dalam modernitas. Dalil reflektif dari Simmel adalah modernitas digerakkan oleh kota dan uang. Kota adalah tempat modernitas dipusatkan dan diintensifkan. Uang adalah sebab untuk sebaran kuasa modernitas. Uang adalah lambang dan metafora yang terus mendapati terjemahan dan realisasi untuk lakon konstruktif atau destruktif.
Wacana uang di Eropa mendapat perhatian dari kalangan studi filsafat, sosiologi, ekonomi, politik, teologi, seni, dan sastra. Pelbagai pembacaan dan penilaian terhadap uang menjadi prosedur legitimasi uang dalam lakon manusia modern. Uang jadi dalil untuk alienasi, hedonisme, perbankan, kapitalisme, pasar bebas, revolusi, pasar modal, asuransi, dan globalisasi. Legitimasi uang pun menampakkan pengaruh pada laku spiritual, olah estetika, interaksi sosial, dan operasionalisasi demokrasi.
Uang dalam wacana-wacana kritis memang jadi momok untuk berkah atau kutukan. Pemahaman uang secara kuantitatif dan kualitatif lalu memunculkan kontradiksi-kontradiksi dilematis. Uang menjadi tukang sulap untuk manusia modern melakoni hidup sebagai fakta atau fiksi. Pembedaan rasionalitas dan irrasionalitas semakin tak mempan ketika uang menjebol definisi dan tafsir atas peradaban modern. Uang bisa menjelma dewa kapitalisme, spiritualisasi ekonomi, lokomotif politik, sakralitas prestise, mistik sosial, aktor seni populer, atau iblis kemiskinan.
Tafsir
Membaca dan menilai uang dalam garapan sastra tentu jadi tindakan reflektif untuk memahami resepsi manusia-manusia modern terhadap uang. Sastra memang pewartaan dalam bentuk dokumentasi fragmen-fragmen historis, sosiologis, etis, teologis, dan estetis. Sastra pun memiliki orientasi untuk memuat nubuat atas kondisi manusia dan peradaban modern dalam kuasa uang. Sastra memberi warta reflektif ketimbang analisis ekonomi atau sosiologi dengan suguhan data dan tafsir-tafsir ilmiah dan rasional.
Hugh Dalziel Duncan (1997) memberi paparan reflektif tentang uang dalam fiksi-fiksi modern. Uang adalah tema penting dalam arus modernitas dan hasrat manusia untuk melegitimasi eksistensi-esensi. Uang mengandung misteri dan kodrat hierarkis untuk membedakan derajat manusia dalam mengonsumsi seni atau materi-materi lain untuk klaim kemapanan atau prestise. Uang jadi kunci untuk menciptakan nikmat atau jatuh dalam sengsara.
Edith Wharton (1862-1937) dalam novel The House of Mirth (1905) memberikan deskripsi tentang relasi manusia modern dengan uang untuk eksplisitas eksistensi melalui tindakan konsumsi dan gaya hidup: ”Tuan Rosedale memiliki ketepatan khas rasanya dalam hal memuja nilai-nilai, dan untuk dilihat orang tatkala ia berjalan menuruni tangga di jam istirahat makan siang yang penuh sesak dengan ditemani oleh Nona Lily Bart sama rasanya dengan uang dalam kantong, sebagaimana kata-kata yang akan dipilih sendiri oleh Tuan Rosedale”. Uang adalah aura modernitas, tetapi mungkin jadi faktor untuk membuka aurat hedonisme dan kapitalisme.
Konklusi kritis diajukan Duncan ketika menilai novel-novel F Scott Fitzgerald dan Thomas Mann. Fitzgerald dalam novel The Great Gatsby menciptakan tokoh-tokoh yang terangsang secara seksual dan rohani oleh uang. Tokoh-tokoh dalam novel Buddenbrooks anggitan Thomas Mann justru luluh, membusuk, dan musnah oleh kuasa dan aura uang. Tokoh-tokoh itu adalah representasi dari lakon manusia-manusia modern di Amerika dan Jerman.
Fiksi-fiksi di Eropa memang kentara untuk mewartakan lakon uang dalam peradaban modern. Bagaimana lakon uang di negeri Indonesia? Novel-novel awal abad XX di Indonesia sudah merepresentasikan tema uang dalam kadar tertentu terkait dengan hasrat untuk hedonis, kawin paksa, gaya hidup modern oleh kaum pribumi, kemiskinan di desa dan kota, modal dalam pendidikan modern, atau progresivitas kebudayaan populer di kota. Penggarapan sastra dengan tema uang tentu bisa jadi dokumen untuk membaca resepsi dan perilaku orang Indonesia terhadap uang sebagai pamrih untuk hidup atau menjadi modern.
Eksplorasi terhadap tema uang justru masih jarang dilakukan oleh empu-empu sastra Indonesia. Kesanggupan untuk menggarap tema ini mungkin membuka wacana kompleks kesadaran atas fakta-fakta dalam garapan sastra. Uang tentu jadi perkara besar dalam biografi manusia-manusia Indonesia ketika dengan gairah atau gerah tumbuh dalam arus dan alur modernitas pada abad XX.
*) Peneliti Kabut Institut Solo dan Redaktur Jurnal Kandang Esai.
http://cetak.kompas.com/
Uang adalah wacana tak selesai untuk memperkarakan kehidupan manusia modern. Uang sebagai benda, kata, dan makna terus jadi kuasa untuk mengantarkan manusia pada permainan-permainan hidup dalam seribu satu risiko. Pengenalan manusia modern terhadap uang menjadi absorsi dan internalisasi untuk melakoni hidup dengan konstitusi atas nama nilai dan kompensasi. Uang sebagai juru bicara membuat manusia menerima mekanisme atau prosedur hidup dalam perhitungan angka untuk mencapai makna. Angka jadi penentu, tetapi makna kadang hadir dalam kesamaran.
Uang mengantarkan peradaban manusia pada pertaruhan ekonomi modern secara sistemik. Efek pertaruhan itu meluber dalam lakon politik, spiritualitas, sosial, pendidikan, dan kultural. Uang menjelma monster dengan sabda-sabda untuk memberi instruksi dan sanksi. Manusia-manusia modern jadi tokoh-tokoh dalam lakon fiksi modern karena uang telah mengaburkan fakta-fakta dalam nalar tradisional. Fiksi mutakhir adalah pembenaran uang dalam konstruksi nalar modern dengan penentuan tema, alur, dan latar.
Karl Marx dengan satire mengungkapkan uang adalah dewa. Uang telah menjadi penguasa manusia dan alam. Uang menjelma pusat dari nilai segala sesuatu. Uang telah merampas dunia dari tatanan kosmis yang mengacu pada norma spiritualitas dan kultural menuju ke tatanan ekonomi dan politik yang materialistik. Karl Marx pun menilai uang sebagai esensi alineatif dari eksistensi manusia dan laku kerja untuk hidup. Uang justru menemukan eksistensi dalam iman manusia karena ritual pemujaan dalam mekanisme produksi dan konsumsi.
Satire itu muncul dari lakon peradaban manusia modern dengan pemahaman uang sebagai dewa atau pusat. Fakta-fakta modernitas jadi ”fiksi realisme” atau ”fiksi absurd” karena kuasa uang. Georg Simmel memberi penjelasan lanjutan bahwa uang memang jadi pokok dan tokoh dalam modernitas. Dalil reflektif dari Simmel adalah modernitas digerakkan oleh kota dan uang. Kota adalah tempat modernitas dipusatkan dan diintensifkan. Uang adalah sebab untuk sebaran kuasa modernitas. Uang adalah lambang dan metafora yang terus mendapati terjemahan dan realisasi untuk lakon konstruktif atau destruktif.
Wacana uang di Eropa mendapat perhatian dari kalangan studi filsafat, sosiologi, ekonomi, politik, teologi, seni, dan sastra. Pelbagai pembacaan dan penilaian terhadap uang menjadi prosedur legitimasi uang dalam lakon manusia modern. Uang jadi dalil untuk alienasi, hedonisme, perbankan, kapitalisme, pasar bebas, revolusi, pasar modal, asuransi, dan globalisasi. Legitimasi uang pun menampakkan pengaruh pada laku spiritual, olah estetika, interaksi sosial, dan operasionalisasi demokrasi.
Uang dalam wacana-wacana kritis memang jadi momok untuk berkah atau kutukan. Pemahaman uang secara kuantitatif dan kualitatif lalu memunculkan kontradiksi-kontradiksi dilematis. Uang menjadi tukang sulap untuk manusia modern melakoni hidup sebagai fakta atau fiksi. Pembedaan rasionalitas dan irrasionalitas semakin tak mempan ketika uang menjebol definisi dan tafsir atas peradaban modern. Uang bisa menjelma dewa kapitalisme, spiritualisasi ekonomi, lokomotif politik, sakralitas prestise, mistik sosial, aktor seni populer, atau iblis kemiskinan.
Tafsir
Membaca dan menilai uang dalam garapan sastra tentu jadi tindakan reflektif untuk memahami resepsi manusia-manusia modern terhadap uang. Sastra memang pewartaan dalam bentuk dokumentasi fragmen-fragmen historis, sosiologis, etis, teologis, dan estetis. Sastra pun memiliki orientasi untuk memuat nubuat atas kondisi manusia dan peradaban modern dalam kuasa uang. Sastra memberi warta reflektif ketimbang analisis ekonomi atau sosiologi dengan suguhan data dan tafsir-tafsir ilmiah dan rasional.
Hugh Dalziel Duncan (1997) memberi paparan reflektif tentang uang dalam fiksi-fiksi modern. Uang adalah tema penting dalam arus modernitas dan hasrat manusia untuk melegitimasi eksistensi-esensi. Uang mengandung misteri dan kodrat hierarkis untuk membedakan derajat manusia dalam mengonsumsi seni atau materi-materi lain untuk klaim kemapanan atau prestise. Uang jadi kunci untuk menciptakan nikmat atau jatuh dalam sengsara.
Edith Wharton (1862-1937) dalam novel The House of Mirth (1905) memberikan deskripsi tentang relasi manusia modern dengan uang untuk eksplisitas eksistensi melalui tindakan konsumsi dan gaya hidup: ”Tuan Rosedale memiliki ketepatan khas rasanya dalam hal memuja nilai-nilai, dan untuk dilihat orang tatkala ia berjalan menuruni tangga di jam istirahat makan siang yang penuh sesak dengan ditemani oleh Nona Lily Bart sama rasanya dengan uang dalam kantong, sebagaimana kata-kata yang akan dipilih sendiri oleh Tuan Rosedale”. Uang adalah aura modernitas, tetapi mungkin jadi faktor untuk membuka aurat hedonisme dan kapitalisme.
Konklusi kritis diajukan Duncan ketika menilai novel-novel F Scott Fitzgerald dan Thomas Mann. Fitzgerald dalam novel The Great Gatsby menciptakan tokoh-tokoh yang terangsang secara seksual dan rohani oleh uang. Tokoh-tokoh dalam novel Buddenbrooks anggitan Thomas Mann justru luluh, membusuk, dan musnah oleh kuasa dan aura uang. Tokoh-tokoh itu adalah representasi dari lakon manusia-manusia modern di Amerika dan Jerman.
Fiksi-fiksi di Eropa memang kentara untuk mewartakan lakon uang dalam peradaban modern. Bagaimana lakon uang di negeri Indonesia? Novel-novel awal abad XX di Indonesia sudah merepresentasikan tema uang dalam kadar tertentu terkait dengan hasrat untuk hedonis, kawin paksa, gaya hidup modern oleh kaum pribumi, kemiskinan di desa dan kota, modal dalam pendidikan modern, atau progresivitas kebudayaan populer di kota. Penggarapan sastra dengan tema uang tentu bisa jadi dokumen untuk membaca resepsi dan perilaku orang Indonesia terhadap uang sebagai pamrih untuk hidup atau menjadi modern.
Eksplorasi terhadap tema uang justru masih jarang dilakukan oleh empu-empu sastra Indonesia. Kesanggupan untuk menggarap tema ini mungkin membuka wacana kompleks kesadaran atas fakta-fakta dalam garapan sastra. Uang tentu jadi perkara besar dalam biografi manusia-manusia Indonesia ketika dengan gairah atau gerah tumbuh dalam arus dan alur modernitas pada abad XX.
*) Peneliti Kabut Institut Solo dan Redaktur Jurnal Kandang Esai.
SASTRA KONTEKSTUAL
Saut Situmorang
http://sautsitumorang.multiply.com/
Polemik atas apa yang disebut sebagai “sastra kontekstual” di media massa terbitan pulau Jawa di pertengahan tahun 1980an bisa dikatakan sebagai sebuah peristiwa yang (berpretensi) mempersoalkan isu tradisi dan bakat individu dalam sastra Indonesia. Arief Budiman dan Ariel Heryanto, kedua tokoh utama yang gencar mempropagandakan apa yang oleh Ariel Heryanto disebut sebagai “sastra kontekstual” tersebut, yakin bahwa tradisi “bersastra” dalam sastra Indonesia, yang mereka klaim sebagai tradisi “sastra universal” itu, merupakan tradisi yang “tidak berakar” dalam realitas kehidupan Indonesia, “kebarat-baratan”, makanya “teralienasi”, “menjadi asing di negerinya sendiri” (lihat buku Perdebatan Sastra Kontekstual, 1985, susunan Ariel Heryanto). Apa yang jadi masalah dalam sastra Indonesia, menurut Arief Budiman, misalnya, adalah “kenyataan” bahwa “sastra Indonesia tidak akrab dengan publiknya. Atau lebih tepat, publiknya adalah kritikus-kritikus yang berwawasan kesusastraan Barat”. Karena itu, sastra Indonesia “ibarat pohon, dia tidak bisa tumbuh, karena tidak punya tanah. Dia hanya menggapai-gapai ke atas. Sedangkan akarnya tidak menyentuh tanah”. Sastrawan Indonesia, menurut Arief Budiman lagi, menulis hanya untuk “audience yang ada di Barat”, “sastrawan-sastrawan atau kritisi Barat”, tapi ironisnya justru “tidak diakui oleh dunia Barat”, yang oleh Arief direpresentasikan oleh Hadiah Nobel Sastra yang belum pernah dimenangkan oleh sastrawan Indonesia itu, sehingga akibatnya secara psikologis sastrawan Indonesia memiliki karakter kombinasi dari “perasaan megalomaniak dan rendah diri”. Megalomaniak karena membodoh-bodohkan bangsanya sendiri yang gagal menghargai karya sastranya, dan rendah diri karena karyanya belum dapat dihargai oleh orang-orang Barat. Demikianlah “kritik sosiologi sastra” ala sosiolog Arief Budiman.
Membaca kembali tulisan-tulisan Arief Budiman dalam buku Perdebatan Sastra Kontekstual tersebut ada beberapa hal yang mencengangkan saya, terutama kalau saya mempertimbangkan reputasi Arief Budiman di dunia intelektual Indonesia selama periode Orde Baru. Reputasi Arief Budiman yang saya maksudkan itu mungkin akan lebih jelas teruraikan dengan kutipan pendapat Ariel Heryanto dari bagian “pendahuluan” buku Perdebatan Sastra Kontekstual di bawah ini:
“Arief Budiman mempunyai kombinasi kualitas yang jarang sekali dimiliki oleh warga masyarakat kita pada umumnya. Ia tidak hanya populer di kalangan pengamat “sastra” (atau “seni” umumnya) di Indonesia masa ini, tetapi juga kaum sekolahan yang menjadi bagian (ter)penting dari pembaca media-massa, termasuk mereka yang tidak benar-benar tertarik pada masalah “sastra”. Ia tidak saja berotak cemerlang dan berkepribadian kokoh. Gagasan-gagasannya yang segar dan tajam berkali-kali menimbulkan kontroversi besar di antara para cendekiawan.”
Dengan mengutip secara panjang pendapat Ariel di atas tentang sosok intelektual Arief Budiman, saya hanya ingin menekankan betapa besarnya kekecewaan intelektual saya waktu membaca tulisan-tulisannya tentang “sastra kontekstual” dalam buku susunan Ariel tersebut. Pertama, Arief Budiman mengklaim bahwa apa yang ingin dikemukakannya dalam ceramahnya “Sastra yang Berpublik” di Sarasehan Seni di Solo, 28 Oktober 1984, yang menjadi pemicu terjadinya perdebatan sastra kontekstual tersebut adalah “mengenai sosiologi kesenian”. Dia bahkan yakin bahwa apa “Yang saya bahas kebanyakan berlaku untuk kesusastraan, tapi saya kira untuk batas-batas tertentu juga merupakan persoalan di bidang kesenian umumnya”. Persoalan itu adalah persoalan “kesusastraan”, atau seni, “yang berpublik”. Atau apa yang oleh Ariel Heryanto disebut sebagai “sastra kontekstual” itu.
Bagi saya, pembicaraan Arief Budiman, baik dalam ceramahnya itu maupun di tulisan-tulisannya di media massa setelah itu, bukanlah sebuah “sosiologi kesenian”. Terlalu gampang dia mengklaim pendapat-pendapatnya tersebut sebagai sebuah “sosiologi” hanya karena dia dikenal sebagai seorang “sosiolog”. Apa yang dinyatakannya tentang sastra Indonesia dalam semua tulisannya pada dasarnya hanya klaim-klaim asersif, atau kesimpulan-kesimpulan mentah, yang satu kali pun tidak pernah (mampu) dibuktikannya. Misalnya pernyataannya bahwa (tradisi) sastra Indonesia adalah “sastra universal” yang “tidak berakar” dalam realitas kehidupan Indonesia. Apa sebenarnya yang dimaksudkannya dengan “sastra universal” itu? Apakah sastra di “Barat” memang merupakan contoh dari “sastra universal” yang dimaksudkannya? Apa kriterianya? Juga, “Barat” yang mana yang dia maksud sebagai “Barat” dalam pernyataan-pernyataan xenofobiknya itu: Amerika Serikat, Eropa Barat, Eropa Timur yang dalam konteks terjadinya perdebatan sastra kontekstual itu merupakan bagian dari imperium Uni Soviet? Apakah sastra Selandia Baru yang berbahasa Inggris yang kuat unsur budaya lokal Maorinya itu, misalnya, termasuk “sastra Barat” itu? Atau karya-karya para sastrawan Afro-Amerika seperti Langston Hughes, Ralph Ellison, Alice Walker, dan Toni Morrison? Arief juga mengklaim bahwa Hadiah Nobel Sastra merupakan semacam standar artistik bagi apa yang disebutnya sebagai “sastra universal”, “sastra yang kebarat-baratan” itu, sambil melecehkan kenyataan betapa Tagore dari India dan Kawabata dari Jepang juga mendapatkan penghargaan Nobel dengan menyatakan bahwa kedua sastrawan Asia ini dipilih karena “sedikit banyak mereka memenuhi standar penulisan orang-orang di dunia Barat”! Tapi Arief Budiman lagi-lagi tidak mampu menjelaskan apa yang dimaksudkannya sebagai “standar penulisan orang-orang di dunia Barat” itu, atau paling tidak apa karakteristik karya sastra yang jadi pemenang Hadiah Nobel Sastra. Bagaimana kita bisa percaya bahwa dia memang sedang melakukan sebuah “sosiologi kesenian” kalau isi dari semua pembicaraannya cuma repetisi dari klaim-klaim asersif yang tanpa bukti-bukti alias tergantung pada kata hatinya belaka! Kekecewaan kedua saya adalah bahwa kegagalan teoritis ini makin diperparah oleh kenyataan betapa Arief Budiman, dan Ariel Heryanto, malah tidak mampu memberikan elaborasi konseptual atas apa sebenarnya yang mereka maksud sebagai “sastra kontekstual” itu sendiri, kecuali bahwa “sastra kontekstual” itu adalah “sastra yang berpublik”, “sastra yang tidak kebarat-baratan”, “sastra yang berpijak di bumi”! Ketimbang memberikan penjelasan, kita malah dicekoki dengan slogan-slogan yang cuma makin mengaburkan isu apa sebenarnya yang ingin mereka bicarakan.
Terakhir, kalau kita bandingkan “bahasa” yang dipakai Arief Budiman dalam “perdebatan” tentang “sastra kontekstual” dengan bahasa S Takdir Alisjahbana dan lawan-lawannya dalam Polemik Kebudayaan di tahun 1930an, maka terlihatlah betapa parahnya kemerosotan “bahasa intelektual” Arief Budiman. Bukan saja dia mengulang-ulang-tanpa-elaborasi apa-apa yang sudah pernah dinyatakannya sebelumnya, dia juga terjatuh kepada bahasa vulgar yang sangat tidak sesuai dengan pretensi sosiologis tulisan-tulisannya, seperti pemakaian istilah-istilah kolokuial semacam “megalomaniak”, “astaga, tahi kerbo apa ini!”, atau “teler minum bir”. Terutama soal “teler minum bir” ini, dari mana Arief Budiman tahu bahwa kalau seseorang itu menulis esei, sebaiknya dia tidak dalam keadaan mabuk bir? Apakah ini juga merupakan bagian dari “sosiologi sastra” ala Arief Budiman atau sekedar sebuah catatan pinggir otobiografis?!
Persoalan “sosiologi sastra” adalah sebuah persoalan kontekstual dalam dunia sastra di mana saja, kapan saja. Merupakan sebuah persoalan universal sastra. Dari perspektif “kritik sastra”, sastra adalah sesuatu yang otonom, sebuah dunia sendiri, dan harus dipahami melalui struktur intrinsiknya, atau arsitektur tekstualnya, seperti imajeri, metafor, irama, penokohan, alur cerita, dan sebagainya, atau apa yang oleh kaum Formalis Rusia disebut sebagai “kesastraan”nya. Menyatakan bahwa sastra hanyalah ekspresi dari kepentingan kelas sosial belaka, atau cuma sebuah epifenomena dari struktur sosial, atau sebuah refleksi/cermin dari kehidupan atau zaman sang pengarang, seperti yang umumnya dilakukan dalam “sosiologi sastra”, tentu saja akan menimbulkan resistensi yang kuat dari kalangan sastra(wan), seperti yang terjadi dalam polemik Sastra Kontekstual tersebut. Apalagi kalau menganggap bahwa hanya faktor-faktor ekstrinsik demikian merupakan kunci dalam pemahaman/penafsiran, bahkan sebagai (keharusan) kredo penciptaan, karya sastra seperti yang dipropagandakan oleh Arief Budiman dan Ariel Heryanto jelas merupakan sebuah reduksionisme konseptual yang sangat tidak adil atas sastra(wan). Juga merupakan sebuah pelecehan tekstual karena sastra telah digusur-paksa dari habitatnya, yaitu Seni, menjadi cuma sekedar sebuah dokumen sosial belaka – sama dengan berita kriminal di koran atau laporan perjalanan di majalah – seperti pada pemakaian tanda-kutip pada istilah “sastra” oleh Ariel Heryanto. Akan menarik sekali untuk mengetahui apa seorang sosiolog akan rela menerima hasil riset akademisnya tentang korupsi di Indonesia, misalnya, cuma dianggap tidak lebih bernilai ketimbang sebuah episode sinetron yang bertema sama.
Kelemahan lain dari konsep “sastra kontekstual” ala Arief Budiman dan Ariel Heryanto adalah persoalan: siapa yang bisa menentukan bahwa “tokoh-tokoh” ataupun “realitas sosial” dalam sebuah karya “sastra kontekstual” memang benar-benar merupakan “representasi sebenarnya” dari kontekstualisme sastra dimaksud? Apa kriteria untuk menentukannya? Isu-isu penting semacam ini tak pernah sekalipun melintas dalam pemikiran kedua kontekstualis ini, apalagi sampai mereka membicarakannya.
Pemahaman mekanistik atas hubungan antara sastra dan masyarakat seperti yang ditawarkan konsep “sastra kontekstual” merupakan sebuah “sosiologi sastra” yang sangat dogmatis-skematis, kalau tidak mau dikatakan cuma sebuah pseudo-sosiologi-sastra belaka. Ini dengan mudah bisa dilihat hanya dari tuduhan-tuduhan yang dilakukan Arief Budiman atas sastra(wan) Indonesia pada judul tulisan-tulisannya yang berkesan sangat sensasional itu. Ada baiknya saya ingatkan di sini bahwa Marx, Engels dan Trotsky (tiga tokoh utama sosiologi seni Marxis) pun tidak begitu dogmatis dalam “sosiologi sastra” mereka. Walaupun Marx dan Engels tidak pernah menciptakan sebuah teori tentang hubungan sastra dan masyarakat, tapi cukup banyak terdapat “catatan” yang menunjukkan betapa mereka tidak selalu menganggap status sastra hanya sebagai cermin dari proses sosial semata. Dalam tulisan mereka yang sangat terkenal, Manifesto Komunis, mereka menyatakan bahwa kapitalisme adalah representasi dari tahap produksi sosial yang paling maju, sebuah formasi sosial yang progresif. Dan kalau dikaitkan dengan sastra, maka hal ini mengisyaratkan mustahilnya keberadaan sebuah sastra nasional yang mandiri karena kapitalisme mengembangkan berbagai sastra nasional dan lokal menjadi sebuah “sastra dunia”, sastra yang melampaui kelas sosial, daerah, dan kebangsaan, dan yang berbicara kepada manusia di mana saja. Atau “sastra universal”, dalam istilah Arief Budiman dan Ariel Heryanto. Engels sendiri, misalnya, menyatakan bahwa dalam sebuah karya sastra yang politis, tendensi politis pengarang sebaiknya implisit saja; ideologi politik bukanlah persoalan utama seniman dan karya itu sendiri pun diuntungkan kalau pandangan pengarangnya tetap tersembunyi. Menurut Engels lagi, tema sebuah novel mesti muncul dengan alami dari situasi dan peristiwa yang diceritakan di dalam novel tersebut. Karena, “tak ada keharusan bagi pengarang untuk menyediakan kepada pembacanya penyelesaian atas konflik sosial yang diceritakannya”. Sementara itu dalam pembelaannya atas kaum Formalis Rusia yang diejek-ejek Lunacharsky, Komisar Pendidikan dan Seni Uni Soviet pertama di zaman Lenin, sebagai sebuah “peninggalan budaya dari zaman pra-Rusia Revolusioner”, sebuah “eskapisme”, dan sebuah “ideologi dekaden”, Trotsky menyatakan persetujuannya dengan pandangan kaum Formalis tersebut bahwa penilaian utama atas teks sastra mestilah didasarkan pada kualitas sastranya, bahwa seni memiliki aturan-aturannya sendiri, dan sosiologi Marxis tidak bisa melampaui penilaian estetik.
Sebuah “sosiologi sastra” yang “kontekstual” dengan dirinya sebagai sosiologi “sastra” tidak dapat mereduksi sastra menjadi sekedar cermin dari masyarakatnya semata, menjadi cuma sebuah dokumen sosial belaka, dengan mengesampingkan status sastra sebagai seni, seperti yang diyakini Ariel Heryanto. Begitu juga dengan pandangan absolutis-idiosinkratik Arief Budiman bahwa “pada dasarnya semua sastra adalah kontekstual”, yang bermakna bahwa sastra hanyalah sekedar refleksi dari romantika kelas sosial, terbatas publik penikmatnya tergantung hanya kepada siapa sang pengarang mengalamatkan karangannya, terlalu superfisial untuk bisa diterima sebagai sebuah “sosiologi” sastra karena menyiratkan bahwa selera seni, atau selera keindahan (sense of beauty), berbanding lurus dengan isi kocek dan warna kulit seseorang. Kecuali hitam-putih, tak ada warna lain dalam estetika Arief Budiman, tak ada nuansa kebenaran lain dalam positivisme “sosiologi”nya. Pertanyaan terakhir yang ingin saya ajukan kepada beliau, dan Ariel Heryanto, sambil menutup esei ini adalah bagaimana Anda akan menjelaskan betapa Shakespeare begitu universal kepopulerannya, sejak abad 17 sampai sekarang dan di mana-mana, termasuk di Indonesia, mirip dengan universalnya kepopuleran “sosiologi”, ilmu pengetahuan yang sangat kebarat-baratan itu?
http://sautsitumorang.multiply.com/
Polemik atas apa yang disebut sebagai “sastra kontekstual” di media massa terbitan pulau Jawa di pertengahan tahun 1980an bisa dikatakan sebagai sebuah peristiwa yang (berpretensi) mempersoalkan isu tradisi dan bakat individu dalam sastra Indonesia. Arief Budiman dan Ariel Heryanto, kedua tokoh utama yang gencar mempropagandakan apa yang oleh Ariel Heryanto disebut sebagai “sastra kontekstual” tersebut, yakin bahwa tradisi “bersastra” dalam sastra Indonesia, yang mereka klaim sebagai tradisi “sastra universal” itu, merupakan tradisi yang “tidak berakar” dalam realitas kehidupan Indonesia, “kebarat-baratan”, makanya “teralienasi”, “menjadi asing di negerinya sendiri” (lihat buku Perdebatan Sastra Kontekstual, 1985, susunan Ariel Heryanto). Apa yang jadi masalah dalam sastra Indonesia, menurut Arief Budiman, misalnya, adalah “kenyataan” bahwa “sastra Indonesia tidak akrab dengan publiknya. Atau lebih tepat, publiknya adalah kritikus-kritikus yang berwawasan kesusastraan Barat”. Karena itu, sastra Indonesia “ibarat pohon, dia tidak bisa tumbuh, karena tidak punya tanah. Dia hanya menggapai-gapai ke atas. Sedangkan akarnya tidak menyentuh tanah”. Sastrawan Indonesia, menurut Arief Budiman lagi, menulis hanya untuk “audience yang ada di Barat”, “sastrawan-sastrawan atau kritisi Barat”, tapi ironisnya justru “tidak diakui oleh dunia Barat”, yang oleh Arief direpresentasikan oleh Hadiah Nobel Sastra yang belum pernah dimenangkan oleh sastrawan Indonesia itu, sehingga akibatnya secara psikologis sastrawan Indonesia memiliki karakter kombinasi dari “perasaan megalomaniak dan rendah diri”. Megalomaniak karena membodoh-bodohkan bangsanya sendiri yang gagal menghargai karya sastranya, dan rendah diri karena karyanya belum dapat dihargai oleh orang-orang Barat. Demikianlah “kritik sosiologi sastra” ala sosiolog Arief Budiman.
Membaca kembali tulisan-tulisan Arief Budiman dalam buku Perdebatan Sastra Kontekstual tersebut ada beberapa hal yang mencengangkan saya, terutama kalau saya mempertimbangkan reputasi Arief Budiman di dunia intelektual Indonesia selama periode Orde Baru. Reputasi Arief Budiman yang saya maksudkan itu mungkin akan lebih jelas teruraikan dengan kutipan pendapat Ariel Heryanto dari bagian “pendahuluan” buku Perdebatan Sastra Kontekstual di bawah ini:
“Arief Budiman mempunyai kombinasi kualitas yang jarang sekali dimiliki oleh warga masyarakat kita pada umumnya. Ia tidak hanya populer di kalangan pengamat “sastra” (atau “seni” umumnya) di Indonesia masa ini, tetapi juga kaum sekolahan yang menjadi bagian (ter)penting dari pembaca media-massa, termasuk mereka yang tidak benar-benar tertarik pada masalah “sastra”. Ia tidak saja berotak cemerlang dan berkepribadian kokoh. Gagasan-gagasannya yang segar dan tajam berkali-kali menimbulkan kontroversi besar di antara para cendekiawan.”
Dengan mengutip secara panjang pendapat Ariel di atas tentang sosok intelektual Arief Budiman, saya hanya ingin menekankan betapa besarnya kekecewaan intelektual saya waktu membaca tulisan-tulisannya tentang “sastra kontekstual” dalam buku susunan Ariel tersebut. Pertama, Arief Budiman mengklaim bahwa apa yang ingin dikemukakannya dalam ceramahnya “Sastra yang Berpublik” di Sarasehan Seni di Solo, 28 Oktober 1984, yang menjadi pemicu terjadinya perdebatan sastra kontekstual tersebut adalah “mengenai sosiologi kesenian”. Dia bahkan yakin bahwa apa “Yang saya bahas kebanyakan berlaku untuk kesusastraan, tapi saya kira untuk batas-batas tertentu juga merupakan persoalan di bidang kesenian umumnya”. Persoalan itu adalah persoalan “kesusastraan”, atau seni, “yang berpublik”. Atau apa yang oleh Ariel Heryanto disebut sebagai “sastra kontekstual” itu.
Bagi saya, pembicaraan Arief Budiman, baik dalam ceramahnya itu maupun di tulisan-tulisannya di media massa setelah itu, bukanlah sebuah “sosiologi kesenian”. Terlalu gampang dia mengklaim pendapat-pendapatnya tersebut sebagai sebuah “sosiologi” hanya karena dia dikenal sebagai seorang “sosiolog”. Apa yang dinyatakannya tentang sastra Indonesia dalam semua tulisannya pada dasarnya hanya klaim-klaim asersif, atau kesimpulan-kesimpulan mentah, yang satu kali pun tidak pernah (mampu) dibuktikannya. Misalnya pernyataannya bahwa (tradisi) sastra Indonesia adalah “sastra universal” yang “tidak berakar” dalam realitas kehidupan Indonesia. Apa sebenarnya yang dimaksudkannya dengan “sastra universal” itu? Apakah sastra di “Barat” memang merupakan contoh dari “sastra universal” yang dimaksudkannya? Apa kriterianya? Juga, “Barat” yang mana yang dia maksud sebagai “Barat” dalam pernyataan-pernyataan xenofobiknya itu: Amerika Serikat, Eropa Barat, Eropa Timur yang dalam konteks terjadinya perdebatan sastra kontekstual itu merupakan bagian dari imperium Uni Soviet? Apakah sastra Selandia Baru yang berbahasa Inggris yang kuat unsur budaya lokal Maorinya itu, misalnya, termasuk “sastra Barat” itu? Atau karya-karya para sastrawan Afro-Amerika seperti Langston Hughes, Ralph Ellison, Alice Walker, dan Toni Morrison? Arief juga mengklaim bahwa Hadiah Nobel Sastra merupakan semacam standar artistik bagi apa yang disebutnya sebagai “sastra universal”, “sastra yang kebarat-baratan” itu, sambil melecehkan kenyataan betapa Tagore dari India dan Kawabata dari Jepang juga mendapatkan penghargaan Nobel dengan menyatakan bahwa kedua sastrawan Asia ini dipilih karena “sedikit banyak mereka memenuhi standar penulisan orang-orang di dunia Barat”! Tapi Arief Budiman lagi-lagi tidak mampu menjelaskan apa yang dimaksudkannya sebagai “standar penulisan orang-orang di dunia Barat” itu, atau paling tidak apa karakteristik karya sastra yang jadi pemenang Hadiah Nobel Sastra. Bagaimana kita bisa percaya bahwa dia memang sedang melakukan sebuah “sosiologi kesenian” kalau isi dari semua pembicaraannya cuma repetisi dari klaim-klaim asersif yang tanpa bukti-bukti alias tergantung pada kata hatinya belaka! Kekecewaan kedua saya adalah bahwa kegagalan teoritis ini makin diperparah oleh kenyataan betapa Arief Budiman, dan Ariel Heryanto, malah tidak mampu memberikan elaborasi konseptual atas apa sebenarnya yang mereka maksud sebagai “sastra kontekstual” itu sendiri, kecuali bahwa “sastra kontekstual” itu adalah “sastra yang berpublik”, “sastra yang tidak kebarat-baratan”, “sastra yang berpijak di bumi”! Ketimbang memberikan penjelasan, kita malah dicekoki dengan slogan-slogan yang cuma makin mengaburkan isu apa sebenarnya yang ingin mereka bicarakan.
Terakhir, kalau kita bandingkan “bahasa” yang dipakai Arief Budiman dalam “perdebatan” tentang “sastra kontekstual” dengan bahasa S Takdir Alisjahbana dan lawan-lawannya dalam Polemik Kebudayaan di tahun 1930an, maka terlihatlah betapa parahnya kemerosotan “bahasa intelektual” Arief Budiman. Bukan saja dia mengulang-ulang-tanpa-elaborasi apa-apa yang sudah pernah dinyatakannya sebelumnya, dia juga terjatuh kepada bahasa vulgar yang sangat tidak sesuai dengan pretensi sosiologis tulisan-tulisannya, seperti pemakaian istilah-istilah kolokuial semacam “megalomaniak”, “astaga, tahi kerbo apa ini!”, atau “teler minum bir”. Terutama soal “teler minum bir” ini, dari mana Arief Budiman tahu bahwa kalau seseorang itu menulis esei, sebaiknya dia tidak dalam keadaan mabuk bir? Apakah ini juga merupakan bagian dari “sosiologi sastra” ala Arief Budiman atau sekedar sebuah catatan pinggir otobiografis?!
Persoalan “sosiologi sastra” adalah sebuah persoalan kontekstual dalam dunia sastra di mana saja, kapan saja. Merupakan sebuah persoalan universal sastra. Dari perspektif “kritik sastra”, sastra adalah sesuatu yang otonom, sebuah dunia sendiri, dan harus dipahami melalui struktur intrinsiknya, atau arsitektur tekstualnya, seperti imajeri, metafor, irama, penokohan, alur cerita, dan sebagainya, atau apa yang oleh kaum Formalis Rusia disebut sebagai “kesastraan”nya. Menyatakan bahwa sastra hanyalah ekspresi dari kepentingan kelas sosial belaka, atau cuma sebuah epifenomena dari struktur sosial, atau sebuah refleksi/cermin dari kehidupan atau zaman sang pengarang, seperti yang umumnya dilakukan dalam “sosiologi sastra”, tentu saja akan menimbulkan resistensi yang kuat dari kalangan sastra(wan), seperti yang terjadi dalam polemik Sastra Kontekstual tersebut. Apalagi kalau menganggap bahwa hanya faktor-faktor ekstrinsik demikian merupakan kunci dalam pemahaman/penafsiran, bahkan sebagai (keharusan) kredo penciptaan, karya sastra seperti yang dipropagandakan oleh Arief Budiman dan Ariel Heryanto jelas merupakan sebuah reduksionisme konseptual yang sangat tidak adil atas sastra(wan). Juga merupakan sebuah pelecehan tekstual karena sastra telah digusur-paksa dari habitatnya, yaitu Seni, menjadi cuma sekedar sebuah dokumen sosial belaka – sama dengan berita kriminal di koran atau laporan perjalanan di majalah – seperti pada pemakaian tanda-kutip pada istilah “sastra” oleh Ariel Heryanto. Akan menarik sekali untuk mengetahui apa seorang sosiolog akan rela menerima hasil riset akademisnya tentang korupsi di Indonesia, misalnya, cuma dianggap tidak lebih bernilai ketimbang sebuah episode sinetron yang bertema sama.
Kelemahan lain dari konsep “sastra kontekstual” ala Arief Budiman dan Ariel Heryanto adalah persoalan: siapa yang bisa menentukan bahwa “tokoh-tokoh” ataupun “realitas sosial” dalam sebuah karya “sastra kontekstual” memang benar-benar merupakan “representasi sebenarnya” dari kontekstualisme sastra dimaksud? Apa kriteria untuk menentukannya? Isu-isu penting semacam ini tak pernah sekalipun melintas dalam pemikiran kedua kontekstualis ini, apalagi sampai mereka membicarakannya.
Pemahaman mekanistik atas hubungan antara sastra dan masyarakat seperti yang ditawarkan konsep “sastra kontekstual” merupakan sebuah “sosiologi sastra” yang sangat dogmatis-skematis, kalau tidak mau dikatakan cuma sebuah pseudo-sosiologi-sastra belaka. Ini dengan mudah bisa dilihat hanya dari tuduhan-tuduhan yang dilakukan Arief Budiman atas sastra(wan) Indonesia pada judul tulisan-tulisannya yang berkesan sangat sensasional itu. Ada baiknya saya ingatkan di sini bahwa Marx, Engels dan Trotsky (tiga tokoh utama sosiologi seni Marxis) pun tidak begitu dogmatis dalam “sosiologi sastra” mereka. Walaupun Marx dan Engels tidak pernah menciptakan sebuah teori tentang hubungan sastra dan masyarakat, tapi cukup banyak terdapat “catatan” yang menunjukkan betapa mereka tidak selalu menganggap status sastra hanya sebagai cermin dari proses sosial semata. Dalam tulisan mereka yang sangat terkenal, Manifesto Komunis, mereka menyatakan bahwa kapitalisme adalah representasi dari tahap produksi sosial yang paling maju, sebuah formasi sosial yang progresif. Dan kalau dikaitkan dengan sastra, maka hal ini mengisyaratkan mustahilnya keberadaan sebuah sastra nasional yang mandiri karena kapitalisme mengembangkan berbagai sastra nasional dan lokal menjadi sebuah “sastra dunia”, sastra yang melampaui kelas sosial, daerah, dan kebangsaan, dan yang berbicara kepada manusia di mana saja. Atau “sastra universal”, dalam istilah Arief Budiman dan Ariel Heryanto. Engels sendiri, misalnya, menyatakan bahwa dalam sebuah karya sastra yang politis, tendensi politis pengarang sebaiknya implisit saja; ideologi politik bukanlah persoalan utama seniman dan karya itu sendiri pun diuntungkan kalau pandangan pengarangnya tetap tersembunyi. Menurut Engels lagi, tema sebuah novel mesti muncul dengan alami dari situasi dan peristiwa yang diceritakan di dalam novel tersebut. Karena, “tak ada keharusan bagi pengarang untuk menyediakan kepada pembacanya penyelesaian atas konflik sosial yang diceritakannya”. Sementara itu dalam pembelaannya atas kaum Formalis Rusia yang diejek-ejek Lunacharsky, Komisar Pendidikan dan Seni Uni Soviet pertama di zaman Lenin, sebagai sebuah “peninggalan budaya dari zaman pra-Rusia Revolusioner”, sebuah “eskapisme”, dan sebuah “ideologi dekaden”, Trotsky menyatakan persetujuannya dengan pandangan kaum Formalis tersebut bahwa penilaian utama atas teks sastra mestilah didasarkan pada kualitas sastranya, bahwa seni memiliki aturan-aturannya sendiri, dan sosiologi Marxis tidak bisa melampaui penilaian estetik.
Sebuah “sosiologi sastra” yang “kontekstual” dengan dirinya sebagai sosiologi “sastra” tidak dapat mereduksi sastra menjadi sekedar cermin dari masyarakatnya semata, menjadi cuma sebuah dokumen sosial belaka, dengan mengesampingkan status sastra sebagai seni, seperti yang diyakini Ariel Heryanto. Begitu juga dengan pandangan absolutis-idiosinkratik Arief Budiman bahwa “pada dasarnya semua sastra adalah kontekstual”, yang bermakna bahwa sastra hanyalah sekedar refleksi dari romantika kelas sosial, terbatas publik penikmatnya tergantung hanya kepada siapa sang pengarang mengalamatkan karangannya, terlalu superfisial untuk bisa diterima sebagai sebuah “sosiologi” sastra karena menyiratkan bahwa selera seni, atau selera keindahan (sense of beauty), berbanding lurus dengan isi kocek dan warna kulit seseorang. Kecuali hitam-putih, tak ada warna lain dalam estetika Arief Budiman, tak ada nuansa kebenaran lain dalam positivisme “sosiologi”nya. Pertanyaan terakhir yang ingin saya ajukan kepada beliau, dan Ariel Heryanto, sambil menutup esei ini adalah bagaimana Anda akan menjelaskan betapa Shakespeare begitu universal kepopulerannya, sejak abad 17 sampai sekarang dan di mana-mana, termasuk di Indonesia, mirip dengan universalnya kepopuleran “sosiologi”, ilmu pengetahuan yang sangat kebarat-baratan itu?
Memahami Jarak dan Aroma Ajal
Taufiq Ismail
http://www.gatra.com/
HAMID Jabbar, 55 tahun, wafat ketika sedang baca puisi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN), Ciputat, Sabtu malam, 23.00, 29 Mei 2004, di depan mahasiswa, dosen, dan tamu yang memadati aula dalam acara dies natalis perguruan tinggi itu. Dua larik puisi terbarunya itu dibaca dari layar Communicator 9210i, berbunyi: Walaupun Indonesia menangis/ mari kita tetap menyanyi//
Besoknya, Abdurrahman Faiz menulis puisi berjudul “Berpuisi Sampai Mati”, mengenang kejadian itu. Faiz, berumur 8 tahun, murid kelas II baru naik ke kelas III SD. Sebaya cucu Hamid, Faiz (mungkin) penyair termuda di Indonesia, yang sudah menerbitkan buku puisinya, Untuk Bunda dan Dunia (Januari 2004), dan buku keduanya akan terbit pula akhir tahun ini.
// Malam itu/ di atas sebuah panggung/ dengan ratusan penonton di hadapan/
kau bacakan puisi terakhir/ lalu kau tiba-tiba rebah/ sambil tersenyum/
orang ramai/ bertepuk tangan menyoraki/ tapi kau tak bangun lagi/ tak
akan pernah bangun kembali/ Seperti tak ada/ yang memahami jarak dan
aroma ajal/ sedekat engkau//
Malam itu Jamal D. Rahman, Ketua Redaksi Horison, bersama Prof. Franz Magnis
Suseno orasi, Hamid orasi dan baca puisi, Jamal baca puisi, Putu Wijaya baca cerpen, dan Franky Sahilatua menyanyi di UIN. Pada pukul 23.15 Jamal menelepon Ati, istri saya, menangis memberitahu bahwa “Bang Hamid sudah tidak ada.”
Kami berdua segera berangkat ke Ciputat. Pekarangan poliklinik UIN di seberang kampus penuh dengan mahasiswa, suasana malam hening, semuanya tepekur dan diam. Hamid dibaringkan di atas tempat tidur beroda, diselimuti, rahang dibebat dan mata terpicing.
Pada saat tersebut, Hamid sangat paham “jarak dan aroma ajal” itu. Dengan ajal dia sudah tak berjarak lagi dan bagaimana aromanya, sudah penuh dihirupnya. Saya belum. Kami, seperti semua orang di klinik UIN Ciputat, saat itu masih terguncang keras oleh kepergian Hamid yang sangat tiba-tiba. Padahal sebelumnya isyarat sudah sampai, yang tentulah tidak seluruhnya terbaca. Dalam perjalanannya ke Kalimantan Tengah dan Timur, untuk acara dan survei Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya tahun kelima ini, tanda-tanda sebenarnya sudah membayang.
Bercerita tentang perjalanan surveinya ke Kalimantan Timur, 17-28 Mei, ke kota Balikpapan, Tanjung Redeb, Tarakan, Nunukan, Bontang dan Samarinda, ketika menyebut Balikpapan dia selalu kepleset, keliru, tertukar dengan Pontianak. “Balikpapan kan artinya kuburan,” kata Hamid.
Aktor Iman Soleh bercerita, ketika 13-14 April di Palangkaraya, bersama Rendra di sebuah rumah makan di tepi sungai, Hamid sakit, napasnya tersengal-sengal dan dia bilang, “Ini bukan serangan jantung. Ini diabetes. Jangan khawatirkan kesehatanku.” Kemudian katanya, “Cita-citaku, kalau tidak mati di depan Ka’bah di Makkah, ya mati di atas panggung,” sambil ketawa-ketawa. Selanjutnya Hamid bilang: “Ini penting!” Iman Soleh tak paham apa yang dimaksud Hamid penting itu. Allah Yang Maha Pemurah mengabulkan cita-cita penting penyair ini, cepat sekali, cuma 45 hari kemudian.
Sesudah salat subuh, nomor HP Hamid di HP Iman Soleh terhapus. Dalam SMS Iman yang diteruskan kepada saya mengenai misteri nomor telepon raib itu, dia menyebut, “Wah, ada jiwa di balik nomor HP-nya.”
Di kamar hotel Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, 21 April, penyair Cecep Samsul Hari ketika mengobrol berdua, Hamid berulang-ulang membicarakan maut. Sesudah capek bicara dua jam, “Kami turun ke kafe hotel dan bernyanyi dan menari disaksikan penyair Jamal T. Suryanata dan Elki.”
***
Hamid Jabbar periang, ekspresif, lincah bagai bola bekel, tegur-sapanya sejati, mudah bergaul dengan semua orang. Dia tidak suka dan tak pernah saya dengar bergunjing, tidak hobi memperkatakan kejelekan orang lain. Hamid tidak pemarah, dan cepat meminta maaf. Bila mendengar musik, badannya tidak akan tahan diam, senantiasa bergoyang, kedua tangannya naik melambai-lambai seperti hutan tangan kerumunan anak muda dalam konser musik pop dan kepalanya akan bergerak ke kiri dan ke kanan.
Hamid sangat musikal. Entah mana yang lebih dulu: puisinya yang musikal dengan permainan bunyi kata yang khas Hamid, atau memang sejak kecilnya dia sudah senantiasa bersenandung-berdendang dalam bahasa Minang di kampung kelahiran Koto Gadang. Saya rasa yang kedua ini yang jadi mata air bagi puisi Hamid. Dia pembaca puisi papan atas Indonesia, sangat komunikatif dan belakangan sering memakai musik sebagai latar belakang, baik pop maupun jazz.
Sejak 1972, dia sudah mulai menulis puisi di berbagai media, dan hingga wafatnya sudah berjumlah ratusan. Dalam rentang seperempat abad, 143 sajak pilihannya dikumpulkannya dalam Super Hilang, terbitan Balai Pustaka (1998). Dia mengatakan bahwa dia berguru kepada Sutardji Calzoum Bachri di Bandung.
Empat puisi Hamid yang penting dan khas dia adalah “Assalamu’alaikum I”, “Indonesiaku”, “Homo Homini Lupus”, dan “Proklamasi, 2″. Kecuali puisi keempat, semua puisinya “berakar dari pengungkaian total akan (permainan) bunyi,” demikian catatan Cecep Samsul Hari. Rima dalam “Indonesiaku” maksimal digarap Hamid. Tipografi dibuatnya kacau, yang memperkuat “kekacauan dan nasib bangsa Indonesia yang juga berliku-liku”. Dalam “Homo Homini Lupus”, unsur pengulangan bunyi “plakplakplakplak” menyedapkan pendengaran.
Secara politis Hamid pun sensitif, yang tampak jelas dalam “Proklamasi, 2″, yang sempat dicekal di bawah rezim Orde Baru, “Indonesiaku” dan banyak lagi yang lain. “Assalamu’alaikum I” contoh puisinya dengan rasa religiusitas dan kesalehan yang dalam.
Hamid menulis enam buku puisi, biografi dan skenario, dua buku tentang Pertamina dan El Nusa (bersama Taufiq Ismail), dan editor enam antologi Horison Sastra Indonesia dan Horison Esai Indonesia. Keenam antologi ini, sejalan dengan SBSB, sebanyak 36.000 eksemplar telah masuk ke 4.500 perpustakaan SMU dan sekolah sederajat di Indonesia melalui bantuan Yayasan Ford.
Kumpulan puisi terpenting Hamid adalah Super Hilang, yang pada tahun 1998 mendapat dua penghargaan, yaitu buku puisi terbaik dari Yayasan Buku Utama dan dari Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Penyair ini pernah mewakili Indonesia dalam pertemuan/baca puisi di Singapura, Malaysia, Mesir, dan
Bulgaria.
Ketika masih bersekolah, Hamid aktif dalam Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI) Sukabumi dan Bandung. Kemudian dia pernah bekerja sebagai mandor perkebunan di Sukabumi Selatan, kepala gudang Panca Niaga Padang, wartawan di Bandung, Padang, dan Kuala Lumpur, asisten manajer keuangan perusahaan swasta, redaktur penerbitan Balai Pustaka, Sekretaris Dewan Kesenian Jakarta (1993-1996), dan terakhir redaktur senior majalah sastra Horison.
Kemampuannya mengonsep ide dan mengatur pelaksanaan program merupakan kelebihan Hamid dari rata-rata sastrawan rekannya. Sejak 1996, dia salah seorang konseptor dari Enam Gerakan Sastra Horison, yaitu pembuatan sisipan “Kakilangit” di Horison, lampiran khusus sastra yang bisa dipakai langsung di kelas 4.500 SMA seluruh Indonesia. Kedua, pelatihan guru bahasa dan sastra dalam membaca, menulis karangan dan apresiasi sastra (MMAS, yang dilaksanakan di 11 kota Indonesia dan sudah melatih kl 1.800 guru). Ketiga, acara sastrawan berdialog dengan siswa SMA, Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB). Keempat, sastrawan berdialog dengan mahasiswa, Sastrawan Bicara Mahasiswa Membaca (SBMM), di 12 universitas. Kelima, lomba menulis esai dan cerpen untuk guru bahasa dan sastra (LMKS-LMCP), diikuti kurang lebih 400 guru setiap tahunnya. Keenam, Sanggar Sastra Remaja Indonesia (SSRI) di 11 kota Indonesia. Tiga dari program di atas dibantu Ford, dan dua dari Depdiknas.
Acara favorit Hamid adalah SBSB. Dulu program ini akan diberi nama Sastra Masuk Sekolah. Hamid mengeritik, karena mirip ABRI Masuk Desa. Berubahlah, dan Hamid menciptakan nama Sastrawan Bicara Siswa Bertanya. Begitu disebut, langsung ketahuan bentuknya. SBSB sudah masuk tahun kelima (sejak 2000), menjalani seluruh provinsi (kecuali Aceh, Ambon dan Papua, karena alasan keamanan), dan sekarang sedang berlangsung di Kalimantan.
Sekembali Hamid survei di Kalimantan Timur (17-28 Mei), mendarat di Cengkareng Jumat siang, dia menelepon Ati mau langsung datang sorenya ke Rumah Horison untuk rapat laporan survei, tapi Ati menolak. “Istirahatlah dulu, Mid. Hari Senin 31 Mei saja kita rapat.” Sabtu malam, Hamid beristirahat untuk selama-lamanya. Innalillahi wa inna ilayhi raaji’uun.
Semoga Anis, ibu kedua anaknya Mutia dan Lillah, kedua menantu dan dua cucunya, ikhlas ditinggalkan Hamid. Mudah-mudahan kegiatan Hamid diterima sebagai ibadah oleh Yang Maha Pencipta, dan diampuni kesalahan-kekhilafannya. Amin.
Demikianlah, maka Hamid tak akan hadir di acara penutupan SBSB Kalimantan Sabtu, 11 September 2004, di Balikpapan. Pada waktu itu SBSB telah menjalani 26 provinsi, 133 kota, 205 SMA, dihadiri (sekitar) 92.000 siswa dan guru, didatangi sekitar 90 sastrawan. Kita akan merindukan Hamid. Paling kurang 100 SMA telah didatanginya dan 50.000 siswa dan guru telah mendengarkan langsung pembacaan puisi “Assalamu’alaikum”, lalu “Indonesiaku” dengan melagu bersama, dan “Proklamasi, 2″ yang selalu mendapat tepukan tangan sangat meriah. Siswa akan mengenangnya selalu karena dalam baca puisi dia juga menyanyi dan terkadang berjoget, dalam berdiskusi senantiasa hangat dan edukatif, geraknya lincah bagai bola bekel, karena rambutnya putih pernah dipanggil kakek atau eyang, dan tersebab postur badan serta matanya mirip, disebut Habibie.
Selamat jalan, Mid, selamat beristirahat, tak perlu kau pikirkan lagi Indonesia yang banyak rambu-rambu ini.
Taufiq Ismail, Penyair [Seni, GATRA, Edisi 30 Beredar Jumat 4 Juni 2004]
http://www.gatra.com/
HAMID Jabbar, 55 tahun, wafat ketika sedang baca puisi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN), Ciputat, Sabtu malam, 23.00, 29 Mei 2004, di depan mahasiswa, dosen, dan tamu yang memadati aula dalam acara dies natalis perguruan tinggi itu. Dua larik puisi terbarunya itu dibaca dari layar Communicator 9210i, berbunyi: Walaupun Indonesia menangis/ mari kita tetap menyanyi//
Besoknya, Abdurrahman Faiz menulis puisi berjudul “Berpuisi Sampai Mati”, mengenang kejadian itu. Faiz, berumur 8 tahun, murid kelas II baru naik ke kelas III SD. Sebaya cucu Hamid, Faiz (mungkin) penyair termuda di Indonesia, yang sudah menerbitkan buku puisinya, Untuk Bunda dan Dunia (Januari 2004), dan buku keduanya akan terbit pula akhir tahun ini.
// Malam itu/ di atas sebuah panggung/ dengan ratusan penonton di hadapan/
kau bacakan puisi terakhir/ lalu kau tiba-tiba rebah/ sambil tersenyum/
orang ramai/ bertepuk tangan menyoraki/ tapi kau tak bangun lagi/ tak
akan pernah bangun kembali/ Seperti tak ada/ yang memahami jarak dan
aroma ajal/ sedekat engkau//
Malam itu Jamal D. Rahman, Ketua Redaksi Horison, bersama Prof. Franz Magnis
Suseno orasi, Hamid orasi dan baca puisi, Jamal baca puisi, Putu Wijaya baca cerpen, dan Franky Sahilatua menyanyi di UIN. Pada pukul 23.15 Jamal menelepon Ati, istri saya, menangis memberitahu bahwa “Bang Hamid sudah tidak ada.”
Kami berdua segera berangkat ke Ciputat. Pekarangan poliklinik UIN di seberang kampus penuh dengan mahasiswa, suasana malam hening, semuanya tepekur dan diam. Hamid dibaringkan di atas tempat tidur beroda, diselimuti, rahang dibebat dan mata terpicing.
Pada saat tersebut, Hamid sangat paham “jarak dan aroma ajal” itu. Dengan ajal dia sudah tak berjarak lagi dan bagaimana aromanya, sudah penuh dihirupnya. Saya belum. Kami, seperti semua orang di klinik UIN Ciputat, saat itu masih terguncang keras oleh kepergian Hamid yang sangat tiba-tiba. Padahal sebelumnya isyarat sudah sampai, yang tentulah tidak seluruhnya terbaca. Dalam perjalanannya ke Kalimantan Tengah dan Timur, untuk acara dan survei Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya tahun kelima ini, tanda-tanda sebenarnya sudah membayang.
Bercerita tentang perjalanan surveinya ke Kalimantan Timur, 17-28 Mei, ke kota Balikpapan, Tanjung Redeb, Tarakan, Nunukan, Bontang dan Samarinda, ketika menyebut Balikpapan dia selalu kepleset, keliru, tertukar dengan Pontianak. “Balikpapan kan artinya kuburan,” kata Hamid.
Aktor Iman Soleh bercerita, ketika 13-14 April di Palangkaraya, bersama Rendra di sebuah rumah makan di tepi sungai, Hamid sakit, napasnya tersengal-sengal dan dia bilang, “Ini bukan serangan jantung. Ini diabetes. Jangan khawatirkan kesehatanku.” Kemudian katanya, “Cita-citaku, kalau tidak mati di depan Ka’bah di Makkah, ya mati di atas panggung,” sambil ketawa-ketawa. Selanjutnya Hamid bilang: “Ini penting!” Iman Soleh tak paham apa yang dimaksud Hamid penting itu. Allah Yang Maha Pemurah mengabulkan cita-cita penting penyair ini, cepat sekali, cuma 45 hari kemudian.
Sesudah salat subuh, nomor HP Hamid di HP Iman Soleh terhapus. Dalam SMS Iman yang diteruskan kepada saya mengenai misteri nomor telepon raib itu, dia menyebut, “Wah, ada jiwa di balik nomor HP-nya.”
Di kamar hotel Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, 21 April, penyair Cecep Samsul Hari ketika mengobrol berdua, Hamid berulang-ulang membicarakan maut. Sesudah capek bicara dua jam, “Kami turun ke kafe hotel dan bernyanyi dan menari disaksikan penyair Jamal T. Suryanata dan Elki.”
***
Hamid Jabbar periang, ekspresif, lincah bagai bola bekel, tegur-sapanya sejati, mudah bergaul dengan semua orang. Dia tidak suka dan tak pernah saya dengar bergunjing, tidak hobi memperkatakan kejelekan orang lain. Hamid tidak pemarah, dan cepat meminta maaf. Bila mendengar musik, badannya tidak akan tahan diam, senantiasa bergoyang, kedua tangannya naik melambai-lambai seperti hutan tangan kerumunan anak muda dalam konser musik pop dan kepalanya akan bergerak ke kiri dan ke kanan.
Hamid sangat musikal. Entah mana yang lebih dulu: puisinya yang musikal dengan permainan bunyi kata yang khas Hamid, atau memang sejak kecilnya dia sudah senantiasa bersenandung-berdendang dalam bahasa Minang di kampung kelahiran Koto Gadang. Saya rasa yang kedua ini yang jadi mata air bagi puisi Hamid. Dia pembaca puisi papan atas Indonesia, sangat komunikatif dan belakangan sering memakai musik sebagai latar belakang, baik pop maupun jazz.
Sejak 1972, dia sudah mulai menulis puisi di berbagai media, dan hingga wafatnya sudah berjumlah ratusan. Dalam rentang seperempat abad, 143 sajak pilihannya dikumpulkannya dalam Super Hilang, terbitan Balai Pustaka (1998). Dia mengatakan bahwa dia berguru kepada Sutardji Calzoum Bachri di Bandung.
Empat puisi Hamid yang penting dan khas dia adalah “Assalamu’alaikum I”, “Indonesiaku”, “Homo Homini Lupus”, dan “Proklamasi, 2″. Kecuali puisi keempat, semua puisinya “berakar dari pengungkaian total akan (permainan) bunyi,” demikian catatan Cecep Samsul Hari. Rima dalam “Indonesiaku” maksimal digarap Hamid. Tipografi dibuatnya kacau, yang memperkuat “kekacauan dan nasib bangsa Indonesia yang juga berliku-liku”. Dalam “Homo Homini Lupus”, unsur pengulangan bunyi “plakplakplakplak” menyedapkan pendengaran.
Secara politis Hamid pun sensitif, yang tampak jelas dalam “Proklamasi, 2″, yang sempat dicekal di bawah rezim Orde Baru, “Indonesiaku” dan banyak lagi yang lain. “Assalamu’alaikum I” contoh puisinya dengan rasa religiusitas dan kesalehan yang dalam.
Hamid menulis enam buku puisi, biografi dan skenario, dua buku tentang Pertamina dan El Nusa (bersama Taufiq Ismail), dan editor enam antologi Horison Sastra Indonesia dan Horison Esai Indonesia. Keenam antologi ini, sejalan dengan SBSB, sebanyak 36.000 eksemplar telah masuk ke 4.500 perpustakaan SMU dan sekolah sederajat di Indonesia melalui bantuan Yayasan Ford.
Kumpulan puisi terpenting Hamid adalah Super Hilang, yang pada tahun 1998 mendapat dua penghargaan, yaitu buku puisi terbaik dari Yayasan Buku Utama dan dari Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Penyair ini pernah mewakili Indonesia dalam pertemuan/baca puisi di Singapura, Malaysia, Mesir, dan
Bulgaria.
Ketika masih bersekolah, Hamid aktif dalam Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI) Sukabumi dan Bandung. Kemudian dia pernah bekerja sebagai mandor perkebunan di Sukabumi Selatan, kepala gudang Panca Niaga Padang, wartawan di Bandung, Padang, dan Kuala Lumpur, asisten manajer keuangan perusahaan swasta, redaktur penerbitan Balai Pustaka, Sekretaris Dewan Kesenian Jakarta (1993-1996), dan terakhir redaktur senior majalah sastra Horison.
Kemampuannya mengonsep ide dan mengatur pelaksanaan program merupakan kelebihan Hamid dari rata-rata sastrawan rekannya. Sejak 1996, dia salah seorang konseptor dari Enam Gerakan Sastra Horison, yaitu pembuatan sisipan “Kakilangit” di Horison, lampiran khusus sastra yang bisa dipakai langsung di kelas 4.500 SMA seluruh Indonesia. Kedua, pelatihan guru bahasa dan sastra dalam membaca, menulis karangan dan apresiasi sastra (MMAS, yang dilaksanakan di 11 kota Indonesia dan sudah melatih kl 1.800 guru). Ketiga, acara sastrawan berdialog dengan siswa SMA, Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB). Keempat, sastrawan berdialog dengan mahasiswa, Sastrawan Bicara Mahasiswa Membaca (SBMM), di 12 universitas. Kelima, lomba menulis esai dan cerpen untuk guru bahasa dan sastra (LMKS-LMCP), diikuti kurang lebih 400 guru setiap tahunnya. Keenam, Sanggar Sastra Remaja Indonesia (SSRI) di 11 kota Indonesia. Tiga dari program di atas dibantu Ford, dan dua dari Depdiknas.
Acara favorit Hamid adalah SBSB. Dulu program ini akan diberi nama Sastra Masuk Sekolah. Hamid mengeritik, karena mirip ABRI Masuk Desa. Berubahlah, dan Hamid menciptakan nama Sastrawan Bicara Siswa Bertanya. Begitu disebut, langsung ketahuan bentuknya. SBSB sudah masuk tahun kelima (sejak 2000), menjalani seluruh provinsi (kecuali Aceh, Ambon dan Papua, karena alasan keamanan), dan sekarang sedang berlangsung di Kalimantan.
Sekembali Hamid survei di Kalimantan Timur (17-28 Mei), mendarat di Cengkareng Jumat siang, dia menelepon Ati mau langsung datang sorenya ke Rumah Horison untuk rapat laporan survei, tapi Ati menolak. “Istirahatlah dulu, Mid. Hari Senin 31 Mei saja kita rapat.” Sabtu malam, Hamid beristirahat untuk selama-lamanya. Innalillahi wa inna ilayhi raaji’uun.
Semoga Anis, ibu kedua anaknya Mutia dan Lillah, kedua menantu dan dua cucunya, ikhlas ditinggalkan Hamid. Mudah-mudahan kegiatan Hamid diterima sebagai ibadah oleh Yang Maha Pencipta, dan diampuni kesalahan-kekhilafannya. Amin.
Demikianlah, maka Hamid tak akan hadir di acara penutupan SBSB Kalimantan Sabtu, 11 September 2004, di Balikpapan. Pada waktu itu SBSB telah menjalani 26 provinsi, 133 kota, 205 SMA, dihadiri (sekitar) 92.000 siswa dan guru, didatangi sekitar 90 sastrawan. Kita akan merindukan Hamid. Paling kurang 100 SMA telah didatanginya dan 50.000 siswa dan guru telah mendengarkan langsung pembacaan puisi “Assalamu’alaikum”, lalu “Indonesiaku” dengan melagu bersama, dan “Proklamasi, 2″ yang selalu mendapat tepukan tangan sangat meriah. Siswa akan mengenangnya selalu karena dalam baca puisi dia juga menyanyi dan terkadang berjoget, dalam berdiskusi senantiasa hangat dan edukatif, geraknya lincah bagai bola bekel, karena rambutnya putih pernah dipanggil kakek atau eyang, dan tersebab postur badan serta matanya mirip, disebut Habibie.
Selamat jalan, Mid, selamat beristirahat, tak perlu kau pikirkan lagi Indonesia yang banyak rambu-rambu ini.
Taufiq Ismail, Penyair [Seni, GATRA, Edisi 30 Beredar Jumat 4 Juni 2004]
Ular Betina
Teguh Winarsho AS
http://www.sinarharapan.co.id/
Malam pucat di mata Tamin seperti selembar kertas kusam. Jidatnya berleleran keringat, tampak licin berkilat. Pandangan matanya remang, kabur, seperti dilingkupi kabut tebal. Tamin menggosok-gosok matanya dengan ujung jarinya yang berkuku panjang. Ada rasa perih menusuk. Juga kantuk yang masih mengutuk. Tapi Tamin tak mungkin bisa tidur lagi. Tamin akan melek sampai pagi bahkan siang hari. Sebab mimpi buruk itu pasti akan mengendap-endap mendatangi tidurnya begitu ia berhasil mengatupkan kelopak mata dan merapatkan selimut ke sekujur tubuhnya.
Begitulah, tengah malam Tamin selalu terbangun oleh mimpi buruk ketika sorenya habis bercinta dengan Linda, istrinya. Selalu begitu setiap malam hingga membuat Tamin bosan. Sejak itu Tamin tak pernah bisa tidur lagi meski matanya ia katupkan rapat-rapat. Meski lampu kamar ia padamkan dan selimut ia bentangkan menutup ke sekujur tubuhnya.
Bayangan mimpi buruk itu terus berkelebat-kelebat dalam batok kepalanya. Kenikmatan bercinta yang baru ia reguk bersama istri tercinta, yang belum hilang sepenuhnya berubah malapetaka. Tamin benar-benar tersiksa. Kecewa. Tamin iri melihat istrinya yang tidur pulas di sampingnya. Begitu nyaman seperti tanpa beban.
Kadang muncul keinginan di hati Tamin untuk membangunkan Linda yang tengah terlelap itu lalu menceritakan mimpi yang baru dialaminya. Tapi Tamin selalu ragu. Apalagi setelah melihat seraut wajah cantik yang tidur lelap itu. Begitu tenang dan damai.
Tamin sadar istrinya tentu sangat capek setelah seharian kerja banting tulang. Tamin tak tega. Diam-diam Tamin justru membetulkan letak selimut Linda yang sedikit tersingkap memperlihatkan paha mulus membuat jakunnya bergerak naik turun. Menelan ludah serak.
Tersiksa di atas ranjang, gelisah, sumpek, tak bisa tidur, Tamin bergerak ke dapur bikin kopi lantas duduk di teras depan. Berbatang-batang rokok ia habiskan di situ sambil menikmati kerlip bintang di langit kelam dan hembusan angin malam yang dingin menyegarkan. Tubuhnya memang terasa lebih segar dan enteng, tapi tidak kepalanya. Bayangan mimpi buruk itu terus menggeliat-geliat dalam batok kepalanya seperti ada puluhan serangga menggerogoti sel-sel saraf otaknya. Saking jengkelnya kadang Tamin membentur-benturkan kepalanya di dinding berharap bayangan mimpi buruk itu segera lenyap dari batok kepalanya. Tetapi bayangan mimpi buruk itu tak mau hilang. Tamin justru merasakan kepalanya nyeri seperti ditusuk-tusuk ratusan jarum tajam.
Tamin sering heran sendiri kenapa dirinya selalu mimpi buruk setiap kali habis bercinta dengan istrinya. Malam-malam lain, ketika ia tak menjamah istrinya, ia tak mimpi apa-apa. la bisa tidur nyenyak. Bahkan saking nyenyaknya kadang sampai bangun kesiangan—dan hanya mendapati secarik kertas pesan Linda di atas meja dengan tulisan seperti cakar ayam yang mengabarkan bahwa ia telah berangkat kerja. Sudah lama Tamin merindukan suasana malam yang indah dengan tidurnya yang nyenyak dan panjang tanpa gangguan mimpi buruk meski sorenya ia habis bercinta habis-habisan dengan istrinya.
Tapi cita-cita itu tak pernah terlaksana. Tamin masih ingat mimpi buruk itu mulai mengusik tidurnya sejak Linda banting setir dari seorang ibu rumah tangga menjadi pekerja kantoran yang cukup sukses. Tamin tak bisa berbuat apa-apa. Sebab ia sendiri nganggur total setelah dipecat dengan tidak hormat dari perusahaan tempatnya kerja atas tuduhan korupsi uang jatah lembur milik beberapa karyawan bagian gudang.
Seperti seorang kakek tua renta, seharian Tamin hanya duduk mencangkung di teras rumah menghabiskan berbatang-batang rokok, sedikit kue dan kopi. Pikirannya kacau. Gelisah. Wajahnya muram berkerut, terlipat-lipat, membuat ia tampak jauh lebih tua dari usia seharusnya. Tak ada pekerjaan yang bisa dilakukan dengan baik dalam kondisi pikiran kacau dan gelisah. Tamin sadar itu. Karenanya ia malas mencari pekerjaan sebelum kegelisahannya sirna. Tapi, dari hari ke hari kegelisahannya justru kian bertambah banyak seperti tak ada habisnya. Persoalan yang ia hadapi terus menumpuk-numpuk seperti tumpukan pakaian kotor di pojok kamar. Tamin pusing. Kepalanya berdengung-dengung, berat, seperti mau pecah.
Apalagi jika Tamin ingat gunjingan tetangga kanan kiri yang belakangan sering menyindirnya sebagai laki-laki brengsek, bodoh, pemalas, tak mau bekerja. Membuat Tamin semakin dongkol, jarang keluar rumah. Membuat Tamin malas menyapa atau sekadar menganggukkan kepala pada para tetangga yang kebetulan melintas di jalan depan rumahnya. Tamin diam-diam malu pada mereka. Tamin merasa dirinya tak berguna, gagal menjadi seorang suami yang baik.
Satu-satunya jalan yang ingin segera ditempuh Tamin adalah menceritakan mimpi buruk itu pada istrinya. Siapa tahu istrinya bisa mencarikan jalan keluar. Tapi lagi-lagi Tamin ragu, takut, khawatir, jika istrinya malah marah-marah setelah mendengar ceritanya.
Bukan tidak mungkin Linda kemudian purik, pulang ke rumah orangtuanya. Atau tiba-tiba minta cerai. Betapa celaka!
Tamin tak ingin membuat istrinya marah hanya karena persoalan sepele; mimpi. Tamin tak mau ditinggalkan istrinya. Tamin takut nanti tak akan ada lagi orang yang mengurusnya; memberi makan, minum, rokok, pakaian dan lain-lain. Siapa? Sejak di-PHK ia tak punya masukan uang sedikit pun kecuali dari Linda. Padahal ia harus merokok, makan, minum, dan sesekali jalan-jalan di akhir bulan. ltu semua sudah menjadi kebutuhan yang tak terhindarkan. Tamin sadar tanpa uluran tangan Linda, hidupnya akan berubah neraka. Bagi Tamin, Linda ibarat bank berjalan yang bisa dimintai duit kapan saja. Adalah tindakan bodoh jika sampai membuat Linda marah. Apalagi sampai minta pulang ke rumah orang tuanya. Karena itu Tamin sering mengalah, tak mau ribut-ribut apalagi bikin gara-gara.
Kecuali mimpi buruk yang terus menerus mengusik tidur setiap kali habis bercinta dengan istrinya, sebenarnya kehidupan Tamin cukup bahagia. Sangat bahagia. la tak perlu susah payah bekerja, seperti tetangga kanan kiri karena semua kebutuhan keluarga sudah dipenuhi Linda. Tamin tinggal duduk ongkang-ongkang di teras depan; menikmati hisapan demi hisapan tembakau kretek sembari menyruput kopi kental dan melahap kue sekadarnya. Bolehlah sesekali melakukan pekerjaan ringan, menyapu halaman, memotong rumput, mengecat dinding atau mengepel lantai.
Gunjingan tetangga kanan kiri yang kian deras dialamatkan kepada dirinya bisa ia anggap sebagai angin lalu. Tak perlu digubris. Bukankah hanya orang-orang iri dan yang tak punya pekerjaan saja yang masih suka bergunjing? Jadi pada dasarnya mereka sedang menertawakan diri mereka sendiri, begitu Tamin selalu menghibur diri. Tamin yakin suatu kali jika sudah capek tentu mulut-mulut nyinyir itu akan bungkam sendiri. Atau kalau memang ia sudah tak sabar dan terpaksa harus turun tangan, dengan senang hati ia akan membungkam mulut-mulut itu dengan sekop atau balok kayu. Sebagai laki-laki Tamin juga punya harga diri.
Satu-satunya persoalan yang kini mengusik ketenangan hidup Tamin adalah soal mimpi buruk itu. Tamin tak habis pikir bagaimana mungkin mimpi buruk itu selalu datang setiap kali ia habis bercinta dengan istrinya. Pada malam-malam lain ketika ia tak menyentuh istrinya, ia bisa tidur nyenyak tak mimpi apa-apa. Pernah suatu kali Tamin mencoba tidak tidur semalaman setelah sorenya bercinta habis-habisan dengan istrinya. Ia minum kopi dan menyulut rokok sebanyak-banyaknya untuk mengusir rasa kantuk. Tamin berhasil tidak tidur hingga pagi dan siang hari. Tapi ketika sore sedikit angin mulai berembus masuk, dingin memeluk, ia mulai tak kuat menahan kantuk, tertidur di atas kursi empuk, dan kembali menjumpai mimpi buruk. Lebih ganas dan liar. Tamin sontak terbangun persis orang kesurupan. Jantungnya berdebar. Matanya melotot merah. Keringat dingin mengucur deras membuat tubuhnya basah menggigil seperti orang habis kecebur kolam.
***
TAMIN merasa istrinya dari hari ke hari kian bertambah cantik. Bibirnya yang tebal dan kenyal selalu dicat lipstik wama merah muda. Menggairahkan. Sangat serasi dengan kulit wajahnya yang putih mulus. Rambutnya yang panjang juga selalu digelung rapi begitu pulang kerja hingga lehernya yang jenjang tampak cemerlang. Bau parfum bercampur keringat sesekali meruap lamat. Membuat hidung Tamin kembang kempis, gelagapan, tak kuasa menahan sesuatu yang menggelegak di dada. Membuat mata Tamin jelalatan persis mata kucing jantan yang tengah berahi. Tapi Tamin sadar, sangat sadar, mimpi buruk itu pasti akan menyergap tidurnya jika ia sampai berani menggauli istrinya. Karenanya Tamin berusaha sekuat tenaga menahan birahinya. la tak mau kenikmatan sesaat itu dibalas dengan malapetaka berkepanjangan. Paling-paling ia kemudian lari ke kamar mandi.
Tetapi suatu malam Tamin benar-benar tak kuat menahan birahi pada Linda yang tampak begitu cantik seperti bidadari baru turun dari surga. Kecantikan Linda membuat Tamin lupa akan mimpi buruk yang pasti mengusik tidurnya. Begitulah, malam itu Tamin begitu bersemangat menggauli Linda setelah sebelumnya minum dua butir viagra. Ibarat seorang petani yang sudah lama mengharapkan turun hujan lebat, Tamin menghempaskan cangkul sedalam-dalamnya di ladang Linda. Keringat dingin berleleran. Selimut dan bantal berhamburan. Tamin benar-benar kesetanan. Sementara Linda hanya bisa pasrah memenuhi kewajiban. Satu jam. Tamin terkapar. Lemas. Lelap.
Tengah malam Tamin terloncat dan atas ranjang. Wajahnya pucat. Mimpi buruk itu kembali menyergapnya! ”Ular! Ular! Ular!” Tamin berteriak-teriak. Tubuhnya menggigil basah keringat, Sontak Linda terbangun. Bengong. Menggosok-gosok mata. Letih. Perih.
”Ada ular besar! Aku takut! Takut…. Takut….” Suara Tamin berangsur pelan menyadari bahwa ular itu hanya ada dalam mimpinya.
Linda bergerak mendekati Tamin. Langkahnya hati-hati. Tamin masih menggigil, gemetar, di sudut kamar.
”Tidak usah takut. Kau hanya mimpi….” suara Linda lembut. Mesra. ”Kau mimpi apa, Sayang?”
Tamin terngungun. ”Aaaku….mimpi menggauli seekor ular betina besar….” ucap Tamin seperti tak sadar. Tapi ingatannya segera melayang pada peristiwa beberapa waktu lalu saat ia menemui seorang pintar yang menafsirkan mimpi itu sebagai pengkhianatan Linda terhadap dirinya. Benarkah?
Linda tampak kaget. Tetapi dengan cepat ia bisa menguasai diri. Tersenyum merengkuh bahu Tamin. ”Sudahlah, mungkin kau terlalu lelah.”
Tamin seperti ingin berkata-kata lagi, tapi Linda telah mendaratkan satu kecupan mesra di bibirnya. Membuat bibir Tamin bergetar, tenggorokannya gatal seperti tersumpal batu. Malam larut. Tapi diam-diam Linda memendam keinginan untuk segera menelepon seseorang. Kepada orang itu Linda ingin membatalkan kencan yang telah ia sepakati esok hari. Juga esok dan esoknya lagi, sampai keadaan benar-benar aman.
”Tidurlah, Sayang. Atau, kau masih ingin…..” Linda tak melanjutkan kata-katanya melihat Tamin menggelengkan kepala. Lesu. Pucat….
Depok, November 2001
http://www.sinarharapan.co.id/
Malam pucat di mata Tamin seperti selembar kertas kusam. Jidatnya berleleran keringat, tampak licin berkilat. Pandangan matanya remang, kabur, seperti dilingkupi kabut tebal. Tamin menggosok-gosok matanya dengan ujung jarinya yang berkuku panjang. Ada rasa perih menusuk. Juga kantuk yang masih mengutuk. Tapi Tamin tak mungkin bisa tidur lagi. Tamin akan melek sampai pagi bahkan siang hari. Sebab mimpi buruk itu pasti akan mengendap-endap mendatangi tidurnya begitu ia berhasil mengatupkan kelopak mata dan merapatkan selimut ke sekujur tubuhnya.
Begitulah, tengah malam Tamin selalu terbangun oleh mimpi buruk ketika sorenya habis bercinta dengan Linda, istrinya. Selalu begitu setiap malam hingga membuat Tamin bosan. Sejak itu Tamin tak pernah bisa tidur lagi meski matanya ia katupkan rapat-rapat. Meski lampu kamar ia padamkan dan selimut ia bentangkan menutup ke sekujur tubuhnya.
Bayangan mimpi buruk itu terus berkelebat-kelebat dalam batok kepalanya. Kenikmatan bercinta yang baru ia reguk bersama istri tercinta, yang belum hilang sepenuhnya berubah malapetaka. Tamin benar-benar tersiksa. Kecewa. Tamin iri melihat istrinya yang tidur pulas di sampingnya. Begitu nyaman seperti tanpa beban.
Kadang muncul keinginan di hati Tamin untuk membangunkan Linda yang tengah terlelap itu lalu menceritakan mimpi yang baru dialaminya. Tapi Tamin selalu ragu. Apalagi setelah melihat seraut wajah cantik yang tidur lelap itu. Begitu tenang dan damai.
Tamin sadar istrinya tentu sangat capek setelah seharian kerja banting tulang. Tamin tak tega. Diam-diam Tamin justru membetulkan letak selimut Linda yang sedikit tersingkap memperlihatkan paha mulus membuat jakunnya bergerak naik turun. Menelan ludah serak.
Tersiksa di atas ranjang, gelisah, sumpek, tak bisa tidur, Tamin bergerak ke dapur bikin kopi lantas duduk di teras depan. Berbatang-batang rokok ia habiskan di situ sambil menikmati kerlip bintang di langit kelam dan hembusan angin malam yang dingin menyegarkan. Tubuhnya memang terasa lebih segar dan enteng, tapi tidak kepalanya. Bayangan mimpi buruk itu terus menggeliat-geliat dalam batok kepalanya seperti ada puluhan serangga menggerogoti sel-sel saraf otaknya. Saking jengkelnya kadang Tamin membentur-benturkan kepalanya di dinding berharap bayangan mimpi buruk itu segera lenyap dari batok kepalanya. Tetapi bayangan mimpi buruk itu tak mau hilang. Tamin justru merasakan kepalanya nyeri seperti ditusuk-tusuk ratusan jarum tajam.
Tamin sering heran sendiri kenapa dirinya selalu mimpi buruk setiap kali habis bercinta dengan istrinya. Malam-malam lain, ketika ia tak menjamah istrinya, ia tak mimpi apa-apa. la bisa tidur nyenyak. Bahkan saking nyenyaknya kadang sampai bangun kesiangan—dan hanya mendapati secarik kertas pesan Linda di atas meja dengan tulisan seperti cakar ayam yang mengabarkan bahwa ia telah berangkat kerja. Sudah lama Tamin merindukan suasana malam yang indah dengan tidurnya yang nyenyak dan panjang tanpa gangguan mimpi buruk meski sorenya ia habis bercinta habis-habisan dengan istrinya.
Tapi cita-cita itu tak pernah terlaksana. Tamin masih ingat mimpi buruk itu mulai mengusik tidurnya sejak Linda banting setir dari seorang ibu rumah tangga menjadi pekerja kantoran yang cukup sukses. Tamin tak bisa berbuat apa-apa. Sebab ia sendiri nganggur total setelah dipecat dengan tidak hormat dari perusahaan tempatnya kerja atas tuduhan korupsi uang jatah lembur milik beberapa karyawan bagian gudang.
Seperti seorang kakek tua renta, seharian Tamin hanya duduk mencangkung di teras rumah menghabiskan berbatang-batang rokok, sedikit kue dan kopi. Pikirannya kacau. Gelisah. Wajahnya muram berkerut, terlipat-lipat, membuat ia tampak jauh lebih tua dari usia seharusnya. Tak ada pekerjaan yang bisa dilakukan dengan baik dalam kondisi pikiran kacau dan gelisah. Tamin sadar itu. Karenanya ia malas mencari pekerjaan sebelum kegelisahannya sirna. Tapi, dari hari ke hari kegelisahannya justru kian bertambah banyak seperti tak ada habisnya. Persoalan yang ia hadapi terus menumpuk-numpuk seperti tumpukan pakaian kotor di pojok kamar. Tamin pusing. Kepalanya berdengung-dengung, berat, seperti mau pecah.
Apalagi jika Tamin ingat gunjingan tetangga kanan kiri yang belakangan sering menyindirnya sebagai laki-laki brengsek, bodoh, pemalas, tak mau bekerja. Membuat Tamin semakin dongkol, jarang keluar rumah. Membuat Tamin malas menyapa atau sekadar menganggukkan kepala pada para tetangga yang kebetulan melintas di jalan depan rumahnya. Tamin diam-diam malu pada mereka. Tamin merasa dirinya tak berguna, gagal menjadi seorang suami yang baik.
Satu-satunya jalan yang ingin segera ditempuh Tamin adalah menceritakan mimpi buruk itu pada istrinya. Siapa tahu istrinya bisa mencarikan jalan keluar. Tapi lagi-lagi Tamin ragu, takut, khawatir, jika istrinya malah marah-marah setelah mendengar ceritanya.
Bukan tidak mungkin Linda kemudian purik, pulang ke rumah orangtuanya. Atau tiba-tiba minta cerai. Betapa celaka!
Tamin tak ingin membuat istrinya marah hanya karena persoalan sepele; mimpi. Tamin tak mau ditinggalkan istrinya. Tamin takut nanti tak akan ada lagi orang yang mengurusnya; memberi makan, minum, rokok, pakaian dan lain-lain. Siapa? Sejak di-PHK ia tak punya masukan uang sedikit pun kecuali dari Linda. Padahal ia harus merokok, makan, minum, dan sesekali jalan-jalan di akhir bulan. ltu semua sudah menjadi kebutuhan yang tak terhindarkan. Tamin sadar tanpa uluran tangan Linda, hidupnya akan berubah neraka. Bagi Tamin, Linda ibarat bank berjalan yang bisa dimintai duit kapan saja. Adalah tindakan bodoh jika sampai membuat Linda marah. Apalagi sampai minta pulang ke rumah orang tuanya. Karena itu Tamin sering mengalah, tak mau ribut-ribut apalagi bikin gara-gara.
Kecuali mimpi buruk yang terus menerus mengusik tidur setiap kali habis bercinta dengan istrinya, sebenarnya kehidupan Tamin cukup bahagia. Sangat bahagia. la tak perlu susah payah bekerja, seperti tetangga kanan kiri karena semua kebutuhan keluarga sudah dipenuhi Linda. Tamin tinggal duduk ongkang-ongkang di teras depan; menikmati hisapan demi hisapan tembakau kretek sembari menyruput kopi kental dan melahap kue sekadarnya. Bolehlah sesekali melakukan pekerjaan ringan, menyapu halaman, memotong rumput, mengecat dinding atau mengepel lantai.
Gunjingan tetangga kanan kiri yang kian deras dialamatkan kepada dirinya bisa ia anggap sebagai angin lalu. Tak perlu digubris. Bukankah hanya orang-orang iri dan yang tak punya pekerjaan saja yang masih suka bergunjing? Jadi pada dasarnya mereka sedang menertawakan diri mereka sendiri, begitu Tamin selalu menghibur diri. Tamin yakin suatu kali jika sudah capek tentu mulut-mulut nyinyir itu akan bungkam sendiri. Atau kalau memang ia sudah tak sabar dan terpaksa harus turun tangan, dengan senang hati ia akan membungkam mulut-mulut itu dengan sekop atau balok kayu. Sebagai laki-laki Tamin juga punya harga diri.
Satu-satunya persoalan yang kini mengusik ketenangan hidup Tamin adalah soal mimpi buruk itu. Tamin tak habis pikir bagaimana mungkin mimpi buruk itu selalu datang setiap kali ia habis bercinta dengan istrinya. Pada malam-malam lain ketika ia tak menyentuh istrinya, ia bisa tidur nyenyak tak mimpi apa-apa. Pernah suatu kali Tamin mencoba tidak tidur semalaman setelah sorenya bercinta habis-habisan dengan istrinya. Ia minum kopi dan menyulut rokok sebanyak-banyaknya untuk mengusir rasa kantuk. Tamin berhasil tidak tidur hingga pagi dan siang hari. Tapi ketika sore sedikit angin mulai berembus masuk, dingin memeluk, ia mulai tak kuat menahan kantuk, tertidur di atas kursi empuk, dan kembali menjumpai mimpi buruk. Lebih ganas dan liar. Tamin sontak terbangun persis orang kesurupan. Jantungnya berdebar. Matanya melotot merah. Keringat dingin mengucur deras membuat tubuhnya basah menggigil seperti orang habis kecebur kolam.
***
TAMIN merasa istrinya dari hari ke hari kian bertambah cantik. Bibirnya yang tebal dan kenyal selalu dicat lipstik wama merah muda. Menggairahkan. Sangat serasi dengan kulit wajahnya yang putih mulus. Rambutnya yang panjang juga selalu digelung rapi begitu pulang kerja hingga lehernya yang jenjang tampak cemerlang. Bau parfum bercampur keringat sesekali meruap lamat. Membuat hidung Tamin kembang kempis, gelagapan, tak kuasa menahan sesuatu yang menggelegak di dada. Membuat mata Tamin jelalatan persis mata kucing jantan yang tengah berahi. Tapi Tamin sadar, sangat sadar, mimpi buruk itu pasti akan menyergap tidurnya jika ia sampai berani menggauli istrinya. Karenanya Tamin berusaha sekuat tenaga menahan birahinya. la tak mau kenikmatan sesaat itu dibalas dengan malapetaka berkepanjangan. Paling-paling ia kemudian lari ke kamar mandi.
Tetapi suatu malam Tamin benar-benar tak kuat menahan birahi pada Linda yang tampak begitu cantik seperti bidadari baru turun dari surga. Kecantikan Linda membuat Tamin lupa akan mimpi buruk yang pasti mengusik tidurnya. Begitulah, malam itu Tamin begitu bersemangat menggauli Linda setelah sebelumnya minum dua butir viagra. Ibarat seorang petani yang sudah lama mengharapkan turun hujan lebat, Tamin menghempaskan cangkul sedalam-dalamnya di ladang Linda. Keringat dingin berleleran. Selimut dan bantal berhamburan. Tamin benar-benar kesetanan. Sementara Linda hanya bisa pasrah memenuhi kewajiban. Satu jam. Tamin terkapar. Lemas. Lelap.
Tengah malam Tamin terloncat dan atas ranjang. Wajahnya pucat. Mimpi buruk itu kembali menyergapnya! ”Ular! Ular! Ular!” Tamin berteriak-teriak. Tubuhnya menggigil basah keringat, Sontak Linda terbangun. Bengong. Menggosok-gosok mata. Letih. Perih.
”Ada ular besar! Aku takut! Takut…. Takut….” Suara Tamin berangsur pelan menyadari bahwa ular itu hanya ada dalam mimpinya.
Linda bergerak mendekati Tamin. Langkahnya hati-hati. Tamin masih menggigil, gemetar, di sudut kamar.
”Tidak usah takut. Kau hanya mimpi….” suara Linda lembut. Mesra. ”Kau mimpi apa, Sayang?”
Tamin terngungun. ”Aaaku….mimpi menggauli seekor ular betina besar….” ucap Tamin seperti tak sadar. Tapi ingatannya segera melayang pada peristiwa beberapa waktu lalu saat ia menemui seorang pintar yang menafsirkan mimpi itu sebagai pengkhianatan Linda terhadap dirinya. Benarkah?
Linda tampak kaget. Tetapi dengan cepat ia bisa menguasai diri. Tersenyum merengkuh bahu Tamin. ”Sudahlah, mungkin kau terlalu lelah.”
Tamin seperti ingin berkata-kata lagi, tapi Linda telah mendaratkan satu kecupan mesra di bibirnya. Membuat bibir Tamin bergetar, tenggorokannya gatal seperti tersumpal batu. Malam larut. Tapi diam-diam Linda memendam keinginan untuk segera menelepon seseorang. Kepada orang itu Linda ingin membatalkan kencan yang telah ia sepakati esok hari. Juga esok dan esoknya lagi, sampai keadaan benar-benar aman.
”Tidurlah, Sayang. Atau, kau masih ingin…..” Linda tak melanjutkan kata-katanya melihat Tamin menggelengkan kepala. Lesu. Pucat….
Depok, November 2001
Cincin Kawin
Danarto
http://www.jawapos.co.id/
Ketika ibu mendapatkan cincin kawinnya berada di dalam perut ikan yang sedang dimakannya, seketika ibu terkulai di meja makan, pingsan. Lalu koma sekitar satu minggu, kemudian ibu meninggal dunia. Sejak saat itu sejarah hidup keluarga kami diputar ulang. Seperti digelar di kamar keluarga, juga di pekarangan belakang rumah, hari demi hari diperlihatkan malaikat betapa cara kerja langit tak mempunyai patokan. Tak dapat ditebak. Tak terduga. Dalam mengarungi pemandangan yang terbentang di hadapan, kami tak tahu benar apakah itu pemandangan alam atau lukisan pemandangan alam di atas kanvas.
Kami juga sering turun dari kendaraan umum lalu beramai-ramai menambal aspal jalan yang mengelupas. Atau mendorong bus kami yang terjerembab banjir. Pemandangan indah, pemandangan suram, semua disajikan kepada kami.
Kami harus jujur, kami sekeluarga bukan kumpulan orang-orang baik tapi kami mematuhi rambu-rambu lalu-lintas. Hidup kami baik-baik saja sampai gempa yang berkekuatan dahsyat itu jatuh dari angkasa. Seluruh bangunan porak-poranda sampai sekecil-kecilnya rata dengan tanah. Nama, watak, kelakuan, pikiran, emosi, keberuntungan, dan nasib jelek, berputar-putar di dalam kubangan rajah tangan yang sudah dicetak di dalam K.T.P. yang tersimpan dalam segel laminasi dengan warna emas.
Jika kami bongkar, apa satpam tidak marah? Jika tidak kami bongkar, kami megap-megap. Tapi itulah harga mati dari rantai yang sudah telanjur bergandengan.
Hari itu hari yang mendidih. Walau hujan sehari-harinya, Desember yang hitam-pekat oleh bara yang menganga telah membayangi hidup kami sekeluarga setiap detiknya. Hari belum tinggi benar ketika ayah diseret ke tepi Sungai Brantas bersama puluhan orang –laki-laki dan perempuan– yang duduk dengan mata tertutup dan tangan terikat ke belakang. Mereka basah-kuyup menggigil kedinginan oleh hujan dan kepanasan oleh hantu yang mengintip dari balik kancing baju mereka. Persis gundukan tanah yang tumbuh berderet-deret menghiasi sungai, mereka gundukan-gundukan yang tak dikenal. Gundukan semak belukar yang setiap saat dibabat supaya kelihatan rapi.
Ketika itu mata saya mengintip dari balik semak dalam hujan lebat yang tak mau tahu. Mata yang berumur sekitar dua puluh delapan tahun. Mata yang menatap tajam di antara tetesan hujan deras itu. Saya menyaksikan satu per satu dari leher orang-orang yang duduk termangu-mangu setelah disambar kilatan putih menyemburkan cairan merah dengan deras ke udara. Lalu tubuh-tubuh yang masih duduk tak berkepala itu didorong terjungkal ke sungai. Tubuh-tubuh itu tenggelam lalu tersembul kembali. Dalam sekejap mayat-mayat yang mengapung-apung itu memenuhi seluruh permukaan Sungai Brantas.
Rasanya hujan bertambah deras. Para petugas yang telah melaksanakan perintah itu, dalam keadaan basah-kuyup berlarian dengan pedang yang telanjang berkilatan oleh cahaya petir, menuju sejumlah truk yang telah kosong, lalu tancap gas meninggalkan kawasan itu. Dengan menjerit-jerit memanggili ayah, saya yang menggigil dalam hujan penuh geledek menyambar-nyambar, berlari menyusuri tepi sungai mengikuti mayat-mayat yang mengapung dibawa deras air.
Lalu saya terjun ke sungai berusaha keras mencari jenazah ayah. Saya menyembul dan menyelam di antara jenasah-jenasah itu, mencoba mengingat kembali baju apa yang dipakai ayah. Rasanya seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Hujan yang sangat deras menyebabkan permukaan air sungai penuh uap. Saya megap-megap. Saya berenang menepi setelah usaha saya sia-sia.
Mayat-mayat embun, taruhlah di nampan, jadi hidangan suci dari bau tangan yang gatal. Menyayat-nyayat dada, menyayat-nyayat air liur yang dijilati petir. Mayat-mayat yang menyembunyikan nama, watak, kelakuan, pekerjaan, emosi, elan vital. Mayat-mayat, puluhan, ratusan ribu, carilah dalam map dari para pencari data. Para pencari data yang berdatangan dari seantero dunia.
Memanggili ayah, memanggili nama dari halaman yang hilang. Mayat-mayat yang begitu mengerti mengantarkan kepala-kepala yang timbul tenggelam dalam air. Saya tidak bisa mengerti. Saya tidak bisa mengerti.
Yang mana tubuh ayah? Yang mana jenazah ayah? Saya mengikuti terus tumpukan mayat-mayat itu yang terus diseret sungai sampai menuju entah. Saya berlari terus, saya berlari terus, saya berlari terus . . .
Hari-hari yang sangat berat bermunculan. Hari-hari yang sangat berat yang harus kami panggul. Saya dikeluarkan dari pekerjaan saya sebagai pemasar barang-barang kebutuhan dapur karena dianggap tidak bersih lingkungan. Begitu juga kakak perempuan saya, Retno, guru SMP. Masih untung, adik saya, Ning, yang bekerja di sebuah usaha kerajinan rakyat, alhamdulillah, masih boleh bekerja. Mungkin karena Ning masih kecil. Sementara itu uang tabungan ibu semakin menipis.
Waktu itu kabar merebak, ikan-ikan yang harganya masih murah sebagai lauk, mulai ditinggalkan karena di dalam tubuh ikan-ikan itu biasa ditemukan potongan jari, bola mata, usus, maupun barang-barang yang menempel di tubuh-tubuh mayat yang memenuhi Sungai Brantas.
Kami masih bertahan makan ikan karena harganya semakin murah, sampai ibu menemukan cincin kawinnya yang dipakai di jari ayah. Hari-hari semakin bertambah berat bagi kami bertiga yang semakin lemah menjalaninya, ketika kami merawat ibu yang koma satu minggu lamanya dengan makanan seadanya yang sangat tidak pantas dan menguburkannya pada hari ke delapan.
Kami bertiga menangis dengan airmata yang menusuk-nusuk hulu hati, mengantarkan jenazah ibu yang diusung oleh para tetangga yang kasihan melihat penderitaan kami. Di gundukan kuburan itu, Ning menangis sejadi-jadinya sambil mencakar-cakar tanah gundukan.
Beberapa bulan kemudian merupakan hari-hari teror dan horor menghantui kami karena di waktu dini hari kami sering terbangun dari tidur terkaget-kaget oleh gedoran orang-orang. Mereka merangsek masuk mencari buron. Mengoprak-oprak kamar tidur kami, memeriksai kolong tempat tidur, dipan, lemari pakaian, dapur, plafon, maupun kebun belakang. Sering Ning terbangun dari tidur menjerit-jerit memanggil ayah, memanggili ibu. Baru reda setelah dipeluk Retno. Sungguh saya tidak bisa mengerti mengapa kami kecebur dalam kubangan begini rupa tetapi kami harus bertahan atau kami hancur berantakan. Saya bekerja serabutan. Apa saja saya kerjakan untuk bisa bertahan hidup. Termasuk jadi tukang sapu pasar.
Hari-hari yang mengerikan itu sering mendorong nyawa kami sampai di tenggorokan. Nyawa yang digondeli raga sekuat-kuatnya. Supaya tidak terlepas. Supaya tetap betah menghuni di dalam tubuh kami dalam keadaan sengeri apa pun. Duh, raga, gondelilah nyawa.
Rasanya tubuh kami tinggal kulit pembalut tulang. Kecantikan Retno yang mewarisi kecantikan ibu, lenyap. Retno tinggal kering kerontang, tanpa seyum, tanpa harapan. Begitu juga Ning yang tampak lebih cantik dari kakaknya, persis anak gelandangan yang memakan apa saja supaya perut tidak lapar. Segala puji bagi Allah Yang Maha Suci, kami masih memiliki rumah tempat kami berlindung dan tempat kami menangis sepuas-puasnya.
Diam-diam saya sering mengunjungi kuburan ibu. Saya tumpahkan segala unek-unek sambil berlelehan air mata. Juga saya mendoakan ibu semoga Allah mengampuni dosa-dosanya dan mengaruniai ibu kebahagiaan di akhirat. Kadang saya merasa ibu hadir di samping saya yang membuat saya menangis sejadi-jadinya.
Saya juga sering menapak-tilasi tempat ayah terduduk di tepi sungai bersama puluhan orang sebelum dieksekusi. Saya meraba-raba pasir yang mungkin keringat dari kaki ayah masih tersisa. Saya memeluk dan menangisinya sambil memohon Allah mengampuni dosa-dosanya dan mengaruniai ayah kenyamanan di akhirat.
Ayah adalah kepala SMP. Semua kegiatan ayah berkisar antara rumah dan sekolah. Hampir tak pergi ke mana-mana. Jika sekolah piknik, ayah tak pernah ikut. Ia menugaskan guru yang lebih muda. Ayah cukup berbahagia mendampingi ibu yang sibuk dengan usaha kateringnya. Ayah tak tertarik politik. Beliau murni seorang pendidik. Setiap kali saya terbangun tengah malam atau dini hari, ayah dan ibu tampak sedang khusyuk beribadah yang membuat saya malu hati karena siapa tahu sedikit banyak sapuan ibadahnya juga untuk keselamatan hidup saya, seorang anak yang barangkali saja tidak memiliki dimensi spiritual, kurang bersyukur, tak menyadari dilahirkan oleh sepasang orang tua yang selalu menginjakkan kakinya di halaman surga, di mana tak semua orang mampu pergi ke sana.
Sampai malam malapetaka itu mengetuk pintu rumah kami dan membawa ayah pergi. Untuk sesaat, saya, ibu, Retno, dan Ning tertegun, sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi. Orang-orang yang menggelandang ayah begitu garang, juga tak bersedia memberi alasan.
Beberapa tetangga yang ikut jadi korban berkumpul di rumah kami, saling bertanya boleh jadi di antara kami ada yang jauh lebih mengerti akan situasi yang terjadi.
Di rumah kami inilah semuanya bertangis-tangisan meluapkan kesedihan masing-masing, seperti gaung yang tak henti-hentinya, tak bisa dimengerti, tak bisa dimengerti, tak bisa dimengerti . . .
Yang saya takutkan setelah meninggalnya ibu, Retno dan Ning tergoncang jiwanya sehingga menjadi tidak waras. Saya ikuti terus perkembangan jiwa keduanya. Saya cukup lega, keduanya cukup sehat, hanya saja kesehatan Retno dari hari ke hari terus memburuk.
”Bertahanlah, Retno,” bisik saya di telinga Retno yang membujur kaku dan panas. ”Jangan kecewakan ayah dan ibu. Jangan bikin ayah dan ibu menangis di dalam kuburnya. Kamu harus bangun dan bekerja. Kita bertiga harus bekerja supaya ayah dan ibu bangga.”
Ning memeluk erat-erat Retno sambil menangis keras-keras.
Setelah sakit beberapa lamanya, Retno muntah darah. Karena ketiadaan obat dan makanan yang baik, akhirnya Retno meninggal.
Retno saya kuburkan di samping kuburan ibu. Setiap hari saya kunjungi kuburannya yang menyadarkan saya bahwa saya telah gagal menyelamatkan keluarga kecil ini. Apalagi Ning pergi meninggalkan saya entah ke mana.***
Tangerang, 20 Januari 2008
http://www.jawapos.co.id/
Ketika ibu mendapatkan cincin kawinnya berada di dalam perut ikan yang sedang dimakannya, seketika ibu terkulai di meja makan, pingsan. Lalu koma sekitar satu minggu, kemudian ibu meninggal dunia. Sejak saat itu sejarah hidup keluarga kami diputar ulang. Seperti digelar di kamar keluarga, juga di pekarangan belakang rumah, hari demi hari diperlihatkan malaikat betapa cara kerja langit tak mempunyai patokan. Tak dapat ditebak. Tak terduga. Dalam mengarungi pemandangan yang terbentang di hadapan, kami tak tahu benar apakah itu pemandangan alam atau lukisan pemandangan alam di atas kanvas.
Kami juga sering turun dari kendaraan umum lalu beramai-ramai menambal aspal jalan yang mengelupas. Atau mendorong bus kami yang terjerembab banjir. Pemandangan indah, pemandangan suram, semua disajikan kepada kami.
Kami harus jujur, kami sekeluarga bukan kumpulan orang-orang baik tapi kami mematuhi rambu-rambu lalu-lintas. Hidup kami baik-baik saja sampai gempa yang berkekuatan dahsyat itu jatuh dari angkasa. Seluruh bangunan porak-poranda sampai sekecil-kecilnya rata dengan tanah. Nama, watak, kelakuan, pikiran, emosi, keberuntungan, dan nasib jelek, berputar-putar di dalam kubangan rajah tangan yang sudah dicetak di dalam K.T.P. yang tersimpan dalam segel laminasi dengan warna emas.
Jika kami bongkar, apa satpam tidak marah? Jika tidak kami bongkar, kami megap-megap. Tapi itulah harga mati dari rantai yang sudah telanjur bergandengan.
Hari itu hari yang mendidih. Walau hujan sehari-harinya, Desember yang hitam-pekat oleh bara yang menganga telah membayangi hidup kami sekeluarga setiap detiknya. Hari belum tinggi benar ketika ayah diseret ke tepi Sungai Brantas bersama puluhan orang –laki-laki dan perempuan– yang duduk dengan mata tertutup dan tangan terikat ke belakang. Mereka basah-kuyup menggigil kedinginan oleh hujan dan kepanasan oleh hantu yang mengintip dari balik kancing baju mereka. Persis gundukan tanah yang tumbuh berderet-deret menghiasi sungai, mereka gundukan-gundukan yang tak dikenal. Gundukan semak belukar yang setiap saat dibabat supaya kelihatan rapi.
Ketika itu mata saya mengintip dari balik semak dalam hujan lebat yang tak mau tahu. Mata yang berumur sekitar dua puluh delapan tahun. Mata yang menatap tajam di antara tetesan hujan deras itu. Saya menyaksikan satu per satu dari leher orang-orang yang duduk termangu-mangu setelah disambar kilatan putih menyemburkan cairan merah dengan deras ke udara. Lalu tubuh-tubuh yang masih duduk tak berkepala itu didorong terjungkal ke sungai. Tubuh-tubuh itu tenggelam lalu tersembul kembali. Dalam sekejap mayat-mayat yang mengapung-apung itu memenuhi seluruh permukaan Sungai Brantas.
Rasanya hujan bertambah deras. Para petugas yang telah melaksanakan perintah itu, dalam keadaan basah-kuyup berlarian dengan pedang yang telanjang berkilatan oleh cahaya petir, menuju sejumlah truk yang telah kosong, lalu tancap gas meninggalkan kawasan itu. Dengan menjerit-jerit memanggili ayah, saya yang menggigil dalam hujan penuh geledek menyambar-nyambar, berlari menyusuri tepi sungai mengikuti mayat-mayat yang mengapung dibawa deras air.
Lalu saya terjun ke sungai berusaha keras mencari jenazah ayah. Saya menyembul dan menyelam di antara jenasah-jenasah itu, mencoba mengingat kembali baju apa yang dipakai ayah. Rasanya seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Hujan yang sangat deras menyebabkan permukaan air sungai penuh uap. Saya megap-megap. Saya berenang menepi setelah usaha saya sia-sia.
Mayat-mayat embun, taruhlah di nampan, jadi hidangan suci dari bau tangan yang gatal. Menyayat-nyayat dada, menyayat-nyayat air liur yang dijilati petir. Mayat-mayat yang menyembunyikan nama, watak, kelakuan, pekerjaan, emosi, elan vital. Mayat-mayat, puluhan, ratusan ribu, carilah dalam map dari para pencari data. Para pencari data yang berdatangan dari seantero dunia.
Memanggili ayah, memanggili nama dari halaman yang hilang. Mayat-mayat yang begitu mengerti mengantarkan kepala-kepala yang timbul tenggelam dalam air. Saya tidak bisa mengerti. Saya tidak bisa mengerti.
Yang mana tubuh ayah? Yang mana jenazah ayah? Saya mengikuti terus tumpukan mayat-mayat itu yang terus diseret sungai sampai menuju entah. Saya berlari terus, saya berlari terus, saya berlari terus . . .
Hari-hari yang sangat berat bermunculan. Hari-hari yang sangat berat yang harus kami panggul. Saya dikeluarkan dari pekerjaan saya sebagai pemasar barang-barang kebutuhan dapur karena dianggap tidak bersih lingkungan. Begitu juga kakak perempuan saya, Retno, guru SMP. Masih untung, adik saya, Ning, yang bekerja di sebuah usaha kerajinan rakyat, alhamdulillah, masih boleh bekerja. Mungkin karena Ning masih kecil. Sementara itu uang tabungan ibu semakin menipis.
Waktu itu kabar merebak, ikan-ikan yang harganya masih murah sebagai lauk, mulai ditinggalkan karena di dalam tubuh ikan-ikan itu biasa ditemukan potongan jari, bola mata, usus, maupun barang-barang yang menempel di tubuh-tubuh mayat yang memenuhi Sungai Brantas.
Kami masih bertahan makan ikan karena harganya semakin murah, sampai ibu menemukan cincin kawinnya yang dipakai di jari ayah. Hari-hari semakin bertambah berat bagi kami bertiga yang semakin lemah menjalaninya, ketika kami merawat ibu yang koma satu minggu lamanya dengan makanan seadanya yang sangat tidak pantas dan menguburkannya pada hari ke delapan.
Kami bertiga menangis dengan airmata yang menusuk-nusuk hulu hati, mengantarkan jenazah ibu yang diusung oleh para tetangga yang kasihan melihat penderitaan kami. Di gundukan kuburan itu, Ning menangis sejadi-jadinya sambil mencakar-cakar tanah gundukan.
Beberapa bulan kemudian merupakan hari-hari teror dan horor menghantui kami karena di waktu dini hari kami sering terbangun dari tidur terkaget-kaget oleh gedoran orang-orang. Mereka merangsek masuk mencari buron. Mengoprak-oprak kamar tidur kami, memeriksai kolong tempat tidur, dipan, lemari pakaian, dapur, plafon, maupun kebun belakang. Sering Ning terbangun dari tidur menjerit-jerit memanggil ayah, memanggili ibu. Baru reda setelah dipeluk Retno. Sungguh saya tidak bisa mengerti mengapa kami kecebur dalam kubangan begini rupa tetapi kami harus bertahan atau kami hancur berantakan. Saya bekerja serabutan. Apa saja saya kerjakan untuk bisa bertahan hidup. Termasuk jadi tukang sapu pasar.
Hari-hari yang mengerikan itu sering mendorong nyawa kami sampai di tenggorokan. Nyawa yang digondeli raga sekuat-kuatnya. Supaya tidak terlepas. Supaya tetap betah menghuni di dalam tubuh kami dalam keadaan sengeri apa pun. Duh, raga, gondelilah nyawa.
Rasanya tubuh kami tinggal kulit pembalut tulang. Kecantikan Retno yang mewarisi kecantikan ibu, lenyap. Retno tinggal kering kerontang, tanpa seyum, tanpa harapan. Begitu juga Ning yang tampak lebih cantik dari kakaknya, persis anak gelandangan yang memakan apa saja supaya perut tidak lapar. Segala puji bagi Allah Yang Maha Suci, kami masih memiliki rumah tempat kami berlindung dan tempat kami menangis sepuas-puasnya.
Diam-diam saya sering mengunjungi kuburan ibu. Saya tumpahkan segala unek-unek sambil berlelehan air mata. Juga saya mendoakan ibu semoga Allah mengampuni dosa-dosanya dan mengaruniai ibu kebahagiaan di akhirat. Kadang saya merasa ibu hadir di samping saya yang membuat saya menangis sejadi-jadinya.
Saya juga sering menapak-tilasi tempat ayah terduduk di tepi sungai bersama puluhan orang sebelum dieksekusi. Saya meraba-raba pasir yang mungkin keringat dari kaki ayah masih tersisa. Saya memeluk dan menangisinya sambil memohon Allah mengampuni dosa-dosanya dan mengaruniai ayah kenyamanan di akhirat.
Ayah adalah kepala SMP. Semua kegiatan ayah berkisar antara rumah dan sekolah. Hampir tak pergi ke mana-mana. Jika sekolah piknik, ayah tak pernah ikut. Ia menugaskan guru yang lebih muda. Ayah cukup berbahagia mendampingi ibu yang sibuk dengan usaha kateringnya. Ayah tak tertarik politik. Beliau murni seorang pendidik. Setiap kali saya terbangun tengah malam atau dini hari, ayah dan ibu tampak sedang khusyuk beribadah yang membuat saya malu hati karena siapa tahu sedikit banyak sapuan ibadahnya juga untuk keselamatan hidup saya, seorang anak yang barangkali saja tidak memiliki dimensi spiritual, kurang bersyukur, tak menyadari dilahirkan oleh sepasang orang tua yang selalu menginjakkan kakinya di halaman surga, di mana tak semua orang mampu pergi ke sana.
Sampai malam malapetaka itu mengetuk pintu rumah kami dan membawa ayah pergi. Untuk sesaat, saya, ibu, Retno, dan Ning tertegun, sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi. Orang-orang yang menggelandang ayah begitu garang, juga tak bersedia memberi alasan.
Beberapa tetangga yang ikut jadi korban berkumpul di rumah kami, saling bertanya boleh jadi di antara kami ada yang jauh lebih mengerti akan situasi yang terjadi.
Di rumah kami inilah semuanya bertangis-tangisan meluapkan kesedihan masing-masing, seperti gaung yang tak henti-hentinya, tak bisa dimengerti, tak bisa dimengerti, tak bisa dimengerti . . .
Yang saya takutkan setelah meninggalnya ibu, Retno dan Ning tergoncang jiwanya sehingga menjadi tidak waras. Saya ikuti terus perkembangan jiwa keduanya. Saya cukup lega, keduanya cukup sehat, hanya saja kesehatan Retno dari hari ke hari terus memburuk.
”Bertahanlah, Retno,” bisik saya di telinga Retno yang membujur kaku dan panas. ”Jangan kecewakan ayah dan ibu. Jangan bikin ayah dan ibu menangis di dalam kuburnya. Kamu harus bangun dan bekerja. Kita bertiga harus bekerja supaya ayah dan ibu bangga.”
Ning memeluk erat-erat Retno sambil menangis keras-keras.
Setelah sakit beberapa lamanya, Retno muntah darah. Karena ketiadaan obat dan makanan yang baik, akhirnya Retno meninggal.
Retno saya kuburkan di samping kuburan ibu. Setiap hari saya kunjungi kuburannya yang menyadarkan saya bahwa saya telah gagal menyelamatkan keluarga kecil ini. Apalagi Ning pergi meninggalkan saya entah ke mana.***
Tangerang, 20 Januari 2008
Selina Gita
Hamsad Rangkuti
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/
“SETIAP abang berada di tengah hutan, abang selalu ingat dialog awal percakapan Rafi dengan anaknya dalam sebuah film. Abang dipercayakan memegang peran sebagai Rafi dalam film ’Promise Land’ karya Holga Martina Straubinger dan Lisa Hodsoll. Film semi dokumenter itu disutradarai Andreas Pascal. Misalnya, dalam perjalanan kita menyusuri rimba lebat ini, dialog itu datang pada abang dan abang bisa mengulang omongan itu, tapi abang lupa nama peran anak lawan ngomong abang dalam film itu.”
“Anak itu lelaki atau perempuan?” tanya Yon Adlis yang menjemput kami.
“Kalau jenis kelaminnya abang selalu ingat, perempuan.”
“Ya, sudah, pakai saja nama Selina Gita.”
“Selina? Nama siapa itu? Dari mana kau punya ide memberi nama itu?”
“Tak abang lihat foto yang terpampang di sepanjang jalan dari Bandara Jambi Sultan Thaha hingga perjalanan kita sudah sampai di sini. Dia itu anak mantan Bupati Bungo memajang foto mempersiapkan diri jadi calon anggota DPR-RI Provinsi Jambi.”
“O, foto wanita muda yang cantik yang senyum kepada kita itu? Itu yang kau maksud? Abang merasa dia senyum untuk abang.”
“Sukaryo coba kau posisikan mobil kita di bawah foto Selina Gita” kata Yon kepada sopir kami. Mobil dibelokkan dan masuk ke bahu jalan ke arah foto yang dimaksud Yon. Yuli memberi kami masing-masing segelas air. Kami minum. Tampak Selina Gita senyum kepada kami. Dia memakai tudung gadis Melayu. Aku suka memandang foto wanita mengenakan kerudung seperti itu. Kepalanya terbuka memperlihatkan rambut hitamnya tergerai seperti yang sering dipakai ibu. Kerudung itu berwarna kuning tipis menutup sanggulnya hingga kedua telinga sampai ke bahu. Kedua biji matanya yang hitam berada di tengah kedua biji matanya memandang kamera waktu gambar diambil. Bibirnya terkatub mengisyaratkan gerak tawa ekspresif yang tidak bersuara menunjukkan rasa senang. Dia gembira senang dan suka memandang kami.
“Satu-satunya yang punya akar di dunia ini adalah pohon. Itu sebabnya pohon tidak bisa beli tiket pesawat dan pergi.” kataku mengulang dialog yang kuucapkan dalam film itu.
“Apa itu enggak bikin pohon-pohon sedih?” Kata Selina
“Oh iya. Pohon-pohon sangat sedih. Pohon-pohon sedih karena saat manusia datang dengan kapak dan gergaji mereka, saat manusia menebang dahan dan batang mereka, pohon-pohon tidak bisa berbuat apa-apa.
“Bagaimana kalau pohon-pohon ga punya akar Ayah?” tanya Selina.
“Pohon-pohon akan tumbang.”
“Kenapa mereka tidak terbang pergi saja Yah?” katanya lagi.
“Andai saja mereka bisa begitu, Sayang. Masalahnya, mereka tidak bisa mengubah sifat alami mereka. Mereka telah tertanam kuat-kuat di tempat mereka tumbuh dan dibesarkan.”
“Oke cuma itu saja yang abang ingat.”
“Ayo mantan bodigat penyanyi dangdut, lanjutkan perjalanan,” kata Yon kepada sopir.
**
MOBIL bergerak meninggalkan Selina. Di belakangnya hutan yang lebat seakan miliknya lewat tanda foto yang dipajang itu. Fredi merokok.
“Jangan merokok, Bang,” kata Acep, melarang.
“Lihat Bang, foto Selina ketemu lagi terpajang. Dia masih tersenyum.”
Hujan turun dengan lebat. Kami masuk daerah sepi. Di depan kami tampak banyak orang berdiri di tepi jalan. Mobil-mobil sebelum kami tampak berderet menghentikan perjalanan.
“Kita berhenti saja dulu,” kata Yon. “Coba tanya apa yang terjadi.”
Karyono turun berpayung. Kulihat dia mendekati orang-orang yang berkerumun di tepi jalan.Tidak lama kemudian Karyono kembali ke mobil.
“Ada apa?”
“Ada harimau dalam jebakan penduduk, kata mereka,” kata Karyono naik ke mobil.
“Tunggu. Abang mau lihat,” kataku meminta payung.
“Bahaya Pak. Harimau itu bahaya. Sudah sepuluh orang terbunuh. Diterkam raja hutan itu.”
“Kata kau dalam lubang jebakan.”
“Iya Pak, tapi jauh ke dalam. Bukan di pinggir jalan.”
“Ya sudah. Yang berani ayo ikut bersamaku.Yang tidak berani di dalam mobil saja. Aku mau lihat harimau sumatra yang telah menerkam sepuluh warga itu.”
“Kata mereka harimau itu masuk ke dalam lubang jebakan,” kata bodigat penyanyi dangdut kota Pati itu. Payung kuminta dari tangannya. Yon sebagai tuan rumah tak tega membiarkan aku sendiri. Kulihat dia mengiringiku dengan payung sendiri.
“Hati-hati Bang. Jalan licin,” kata Yon memegang tanganku.
Kami sampai ke banyak orang yang berdiri di pinggir jalan.
“Di mana harimau itu terjebak?” tanyaku.
“Jauh Pak. Di dalam rimba.”
“Berapa jauh?”
“Ya, jauh dan becek. Kita harus menyibak belukar dan nyamuk menemukan makanannya di tangan kita.”
“Ada yang pergi ke sana?”
“Ada. Beberapa orang. Tetapi belum ada yang balik.”
“Kok tahu keadaan jalan ke sana.”
“Begitu yang kita temukan kalau kita masuk ke dalam hutan.”
“Aku mau lihat. Ayo Yon. Kau takut juga seperti sopir mantan bodigat penyanyi dangdut itu?” Aku menginjak kayu bulat melintasi parit jalan. Yon memegang tanganku melintasi jembatan.
“Hati-hati Bang.”
Terdengar kayu berderak menahan tubuh Yon. Dia melompat. Kami telah di seberang jalan. Kami terus berjalan. Hujan menyiram kami. Air mengetuk payung. Kami mengikuti jalan yang sudah dilalui pengunjung sebelum kami. Katak melompat melintasi kami. Cerita yang kudengar induk dan anak harimau itu ditangkap penebang liar yang datang dari luar Jambi. Anak harimau itu dagingnya mereka sate. Kulitnya mereka isi kapas dijadikan boneka anak Harimau. Induknya mereka jual. Harimau jantan itu marah dan menuntut balas. Mereka telah merusak habitat, tempat hidup yang alami. Binatang buas itu tak menemukan makanan mereka lagi.
“Berhenti dulu Bang.” Yon memegang tanganku. Biarkan ular itu naik memburu kodok yang melompat tadi.” seekor ular naik dari tempat kodok tadi melompat. Ular air menguber kodok makanannya. Setelah ular itu menjalar melintas jalan setapak itu, kami melanjutkan perjalanan. Menyusuri jalan licin becek yang disiram hujan. Kami sampai di daerah tandus yang dipenuhi tunggul kayu. Rumput tak tampak menutupinya. Air hujan melintas membawa erosi mengaliri jalan kami.
“Masih kuat Bang? Jalan masih jauh.”
“Ayo terus. Abang tiap pagi jalan pagi. Tidak masalah. Ayo. Sekarang baru Abang merasakan hasil jalan pagi itu. Abang yakin kau yang tak kuat. Tampaknya tempat galian lubang jebakan itu masih jauh.”
Kami membelok ke kiri mengikuti tanda bekas dilalui orang sebelum kami.
“Lihat ke sana Bang! ” Yon menunjuk ke atas. Kulihat ada burung pemakan bangkai berputar-putar beberapa ekor.
“Mungkin di bawah itu.”
“Mungkin.” Kami meneruskan langkah.
“Sudah jam satu.”
“O ya, sebentar lagi gelap.”
“Ah tidak. Masih lama gelap. Waktu Jakarta dan Jambi sama.
“Hati-hati Bang, kita menurun.”
“Ya kita menurun.” Kami berjalan menuruni jalan yang licin. Hujan masih juga turun.
**
KAMI telah melihat banyak orang di bawah sana. Mereka melihat kami. Ada di antara mereka mengangkat tangan. Aku makin semangat melihat banyak orang yang mengalami perjalanan yang sama menuruni jalan setapak ini menuju tempat yang sama. Beberapa langkah yang sama kami sampai ke tempat itu. Mereka menyibak diri memberi jalan. Aku melihat lubang 3 X 4 meter dengan dalam yang tak tampak. Beberapa orang dari sebelah kiri lobang memegang kayu bulian dan tembesi yang kuat seperti kayu ulin di Kalimantan. Kayu itu sudah musnah dicuri para pemilik dana untuk dikumpul berton-ton untuk dibawa keluar pulau sehingga hutan jadi gundul.
Kulihat di dalam air yang keruh harimau yang terjebak ke dalam lubang galian itu telah mati tenggelam, tak bisa diselamatkan mereka dengan menopangnya dengan batang kayu-kayu menahan tubuh binatang buas itu.
“Kami tak bisa menyelamatkannya,” kata mereka.
“Kapan kira-kira harimau ini masuk ke dalam lubang perangkap?” tanyaku.
“Mungkin sore kemarin.”
“Mengapa tidak segera diselamatkan”
“Kami menemukannya dalam sekarat pagi harinya. Kami langsung menghubungi pihak-pihak yang ditunjuk menanganinya kalau binatang buas itu tertangkap.”
Kulihat bagian tanah bekas cakarnya untuk dia naik ketika dia masih mengapung. Hujan turun membasahi hutan yang gundul. Curah hujan mengikis tanah dan terjadi erosi, kikisan permukaan bumi oleh pengangkatan benda-benda memadatkan permukaan tanah, air begitu cepat mengalir masuk ke dalam lubang jebakan. Perlahan air naik membasahi kaki, perlahan hingga sampai lutut dan perut. Air telah mengangkatnya dan dia saat mengapung merangkul permukaan tanah yang lunak. Begitu dia lakukan mencakar permukaan tanah sampai dia lelah dan kehabisan tenaga dan mati terkulai. Tak ada yang menolongnya.
“Kami datang pagi harinya, dia telah terbenam, mati.”
“Tak ada di antara kalian yang datang menopang tubuhnya agar tidak terbenam?”
“Kami telah melakukannnya. Kami masukkan beberapa batang kayu bersilangan untuk menahan berat tubuhnya agar tidak tenggelam.”
“Malah kami telah mengangkat kepalanya untuk dia bernapas. Tapi kami terlambat. Air begitu deras masuk ke dalam lubang. Kami telah melakukan hal yang sia-sia.”
Kulihat binatang buas itu telah terbenam dan burung-burung yang berputar-putar di atas telah mencium kematian itu.
Kami pergi dari situ. Yon mengetuk pintu mobil. Mereka terbangun.
“Sudah pulang?”
“Ayo jalan. Nanti kita kemalaman. Jalanan kita masih jauh.” Mobil kami bergerak. Tempat itu telah sepi. Kedua arah tempat mobil diparkir telah kosong.
“Selina, Bang!” kata Yon menunjuk foto yang dipajang di pinggir jalan.
Hujan masih terus menderas membasahi foto yang dipajang di pinggir hutan itu. Kulihat curah hujan jatuh menimpa mata Selina. Air hujan itu mengalir dari sudut ujung matanya membasahi celah pipi dan hidungnya terus mengalir melintasi bibir dan jatuh ke dagu.***
Jambi 2009
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/
“SETIAP abang berada di tengah hutan, abang selalu ingat dialog awal percakapan Rafi dengan anaknya dalam sebuah film. Abang dipercayakan memegang peran sebagai Rafi dalam film ’Promise Land’ karya Holga Martina Straubinger dan Lisa Hodsoll. Film semi dokumenter itu disutradarai Andreas Pascal. Misalnya, dalam perjalanan kita menyusuri rimba lebat ini, dialog itu datang pada abang dan abang bisa mengulang omongan itu, tapi abang lupa nama peran anak lawan ngomong abang dalam film itu.”
“Anak itu lelaki atau perempuan?” tanya Yon Adlis yang menjemput kami.
“Kalau jenis kelaminnya abang selalu ingat, perempuan.”
“Ya, sudah, pakai saja nama Selina Gita.”
“Selina? Nama siapa itu? Dari mana kau punya ide memberi nama itu?”
“Tak abang lihat foto yang terpampang di sepanjang jalan dari Bandara Jambi Sultan Thaha hingga perjalanan kita sudah sampai di sini. Dia itu anak mantan Bupati Bungo memajang foto mempersiapkan diri jadi calon anggota DPR-RI Provinsi Jambi.”
“O, foto wanita muda yang cantik yang senyum kepada kita itu? Itu yang kau maksud? Abang merasa dia senyum untuk abang.”
“Sukaryo coba kau posisikan mobil kita di bawah foto Selina Gita” kata Yon kepada sopir kami. Mobil dibelokkan dan masuk ke bahu jalan ke arah foto yang dimaksud Yon. Yuli memberi kami masing-masing segelas air. Kami minum. Tampak Selina Gita senyum kepada kami. Dia memakai tudung gadis Melayu. Aku suka memandang foto wanita mengenakan kerudung seperti itu. Kepalanya terbuka memperlihatkan rambut hitamnya tergerai seperti yang sering dipakai ibu. Kerudung itu berwarna kuning tipis menutup sanggulnya hingga kedua telinga sampai ke bahu. Kedua biji matanya yang hitam berada di tengah kedua biji matanya memandang kamera waktu gambar diambil. Bibirnya terkatub mengisyaratkan gerak tawa ekspresif yang tidak bersuara menunjukkan rasa senang. Dia gembira senang dan suka memandang kami.
“Satu-satunya yang punya akar di dunia ini adalah pohon. Itu sebabnya pohon tidak bisa beli tiket pesawat dan pergi.” kataku mengulang dialog yang kuucapkan dalam film itu.
“Apa itu enggak bikin pohon-pohon sedih?” Kata Selina
“Oh iya. Pohon-pohon sangat sedih. Pohon-pohon sedih karena saat manusia datang dengan kapak dan gergaji mereka, saat manusia menebang dahan dan batang mereka, pohon-pohon tidak bisa berbuat apa-apa.
“Bagaimana kalau pohon-pohon ga punya akar Ayah?” tanya Selina.
“Pohon-pohon akan tumbang.”
“Kenapa mereka tidak terbang pergi saja Yah?” katanya lagi.
“Andai saja mereka bisa begitu, Sayang. Masalahnya, mereka tidak bisa mengubah sifat alami mereka. Mereka telah tertanam kuat-kuat di tempat mereka tumbuh dan dibesarkan.”
“Oke cuma itu saja yang abang ingat.”
“Ayo mantan bodigat penyanyi dangdut, lanjutkan perjalanan,” kata Yon kepada sopir.
**
MOBIL bergerak meninggalkan Selina. Di belakangnya hutan yang lebat seakan miliknya lewat tanda foto yang dipajang itu. Fredi merokok.
“Jangan merokok, Bang,” kata Acep, melarang.
“Lihat Bang, foto Selina ketemu lagi terpajang. Dia masih tersenyum.”
Hujan turun dengan lebat. Kami masuk daerah sepi. Di depan kami tampak banyak orang berdiri di tepi jalan. Mobil-mobil sebelum kami tampak berderet menghentikan perjalanan.
“Kita berhenti saja dulu,” kata Yon. “Coba tanya apa yang terjadi.”
Karyono turun berpayung. Kulihat dia mendekati orang-orang yang berkerumun di tepi jalan.Tidak lama kemudian Karyono kembali ke mobil.
“Ada apa?”
“Ada harimau dalam jebakan penduduk, kata mereka,” kata Karyono naik ke mobil.
“Tunggu. Abang mau lihat,” kataku meminta payung.
“Bahaya Pak. Harimau itu bahaya. Sudah sepuluh orang terbunuh. Diterkam raja hutan itu.”
“Kata kau dalam lubang jebakan.”
“Iya Pak, tapi jauh ke dalam. Bukan di pinggir jalan.”
“Ya sudah. Yang berani ayo ikut bersamaku.Yang tidak berani di dalam mobil saja. Aku mau lihat harimau sumatra yang telah menerkam sepuluh warga itu.”
“Kata mereka harimau itu masuk ke dalam lubang jebakan,” kata bodigat penyanyi dangdut kota Pati itu. Payung kuminta dari tangannya. Yon sebagai tuan rumah tak tega membiarkan aku sendiri. Kulihat dia mengiringiku dengan payung sendiri.
“Hati-hati Bang. Jalan licin,” kata Yon memegang tanganku.
Kami sampai ke banyak orang yang berdiri di pinggir jalan.
“Di mana harimau itu terjebak?” tanyaku.
“Jauh Pak. Di dalam rimba.”
“Berapa jauh?”
“Ya, jauh dan becek. Kita harus menyibak belukar dan nyamuk menemukan makanannya di tangan kita.”
“Ada yang pergi ke sana?”
“Ada. Beberapa orang. Tetapi belum ada yang balik.”
“Kok tahu keadaan jalan ke sana.”
“Begitu yang kita temukan kalau kita masuk ke dalam hutan.”
“Aku mau lihat. Ayo Yon. Kau takut juga seperti sopir mantan bodigat penyanyi dangdut itu?” Aku menginjak kayu bulat melintasi parit jalan. Yon memegang tanganku melintasi jembatan.
“Hati-hati Bang.”
Terdengar kayu berderak menahan tubuh Yon. Dia melompat. Kami telah di seberang jalan. Kami terus berjalan. Hujan menyiram kami. Air mengetuk payung. Kami mengikuti jalan yang sudah dilalui pengunjung sebelum kami. Katak melompat melintasi kami. Cerita yang kudengar induk dan anak harimau itu ditangkap penebang liar yang datang dari luar Jambi. Anak harimau itu dagingnya mereka sate. Kulitnya mereka isi kapas dijadikan boneka anak Harimau. Induknya mereka jual. Harimau jantan itu marah dan menuntut balas. Mereka telah merusak habitat, tempat hidup yang alami. Binatang buas itu tak menemukan makanan mereka lagi.
“Berhenti dulu Bang.” Yon memegang tanganku. Biarkan ular itu naik memburu kodok yang melompat tadi.” seekor ular naik dari tempat kodok tadi melompat. Ular air menguber kodok makanannya. Setelah ular itu menjalar melintas jalan setapak itu, kami melanjutkan perjalanan. Menyusuri jalan licin becek yang disiram hujan. Kami sampai di daerah tandus yang dipenuhi tunggul kayu. Rumput tak tampak menutupinya. Air hujan melintas membawa erosi mengaliri jalan kami.
“Masih kuat Bang? Jalan masih jauh.”
“Ayo terus. Abang tiap pagi jalan pagi. Tidak masalah. Ayo. Sekarang baru Abang merasakan hasil jalan pagi itu. Abang yakin kau yang tak kuat. Tampaknya tempat galian lubang jebakan itu masih jauh.”
Kami membelok ke kiri mengikuti tanda bekas dilalui orang sebelum kami.
“Lihat ke sana Bang! ” Yon menunjuk ke atas. Kulihat ada burung pemakan bangkai berputar-putar beberapa ekor.
“Mungkin di bawah itu.”
“Mungkin.” Kami meneruskan langkah.
“Sudah jam satu.”
“O ya, sebentar lagi gelap.”
“Ah tidak. Masih lama gelap. Waktu Jakarta dan Jambi sama.
“Hati-hati Bang, kita menurun.”
“Ya kita menurun.” Kami berjalan menuruni jalan yang licin. Hujan masih juga turun.
**
KAMI telah melihat banyak orang di bawah sana. Mereka melihat kami. Ada di antara mereka mengangkat tangan. Aku makin semangat melihat banyak orang yang mengalami perjalanan yang sama menuruni jalan setapak ini menuju tempat yang sama. Beberapa langkah yang sama kami sampai ke tempat itu. Mereka menyibak diri memberi jalan. Aku melihat lubang 3 X 4 meter dengan dalam yang tak tampak. Beberapa orang dari sebelah kiri lobang memegang kayu bulian dan tembesi yang kuat seperti kayu ulin di Kalimantan. Kayu itu sudah musnah dicuri para pemilik dana untuk dikumpul berton-ton untuk dibawa keluar pulau sehingga hutan jadi gundul.
Kulihat di dalam air yang keruh harimau yang terjebak ke dalam lubang galian itu telah mati tenggelam, tak bisa diselamatkan mereka dengan menopangnya dengan batang kayu-kayu menahan tubuh binatang buas itu.
“Kami tak bisa menyelamatkannya,” kata mereka.
“Kapan kira-kira harimau ini masuk ke dalam lubang perangkap?” tanyaku.
“Mungkin sore kemarin.”
“Mengapa tidak segera diselamatkan”
“Kami menemukannya dalam sekarat pagi harinya. Kami langsung menghubungi pihak-pihak yang ditunjuk menanganinya kalau binatang buas itu tertangkap.”
Kulihat bagian tanah bekas cakarnya untuk dia naik ketika dia masih mengapung. Hujan turun membasahi hutan yang gundul. Curah hujan mengikis tanah dan terjadi erosi, kikisan permukaan bumi oleh pengangkatan benda-benda memadatkan permukaan tanah, air begitu cepat mengalir masuk ke dalam lubang jebakan. Perlahan air naik membasahi kaki, perlahan hingga sampai lutut dan perut. Air telah mengangkatnya dan dia saat mengapung merangkul permukaan tanah yang lunak. Begitu dia lakukan mencakar permukaan tanah sampai dia lelah dan kehabisan tenaga dan mati terkulai. Tak ada yang menolongnya.
“Kami datang pagi harinya, dia telah terbenam, mati.”
“Tak ada di antara kalian yang datang menopang tubuhnya agar tidak terbenam?”
“Kami telah melakukannnya. Kami masukkan beberapa batang kayu bersilangan untuk menahan berat tubuhnya agar tidak tenggelam.”
“Malah kami telah mengangkat kepalanya untuk dia bernapas. Tapi kami terlambat. Air begitu deras masuk ke dalam lubang. Kami telah melakukan hal yang sia-sia.”
Kulihat binatang buas itu telah terbenam dan burung-burung yang berputar-putar di atas telah mencium kematian itu.
Kami pergi dari situ. Yon mengetuk pintu mobil. Mereka terbangun.
“Sudah pulang?”
“Ayo jalan. Nanti kita kemalaman. Jalanan kita masih jauh.” Mobil kami bergerak. Tempat itu telah sepi. Kedua arah tempat mobil diparkir telah kosong.
“Selina, Bang!” kata Yon menunjuk foto yang dipajang di pinggir jalan.
Hujan masih terus menderas membasahi foto yang dipajang di pinggir hutan itu. Kulihat curah hujan jatuh menimpa mata Selina. Air hujan itu mengalir dari sudut ujung matanya membasahi celah pipi dan hidungnya terus mengalir melintasi bibir dan jatuh ke dagu.***
Jambi 2009
Tentang Cerpen Nirwan
Ribut Wijoto
http://www.sastra-indonesia.com/
Rentang sepuluh tahun terakhir, 1998-2007, ada kesalahan pada perkembangan eksplorasi bahasa cerpen. Bahasa diolah-maksimalkan, dicari pilihan kata paling tepat, dan kalimat diberi rima-ritme; kesemua usaha dilakukan tidak untuk memperkuat unsur cerpen. Justru sebaliknya, usaha kuat-keras tersebut, sepenuhnya untuk memperlemah potensi unsur cerpen.
Ini kesalahan fatal. Soalnya, ini kesalahan dilakukan oleh orang-orang yang justru berkompeten di bidang kesusastraan. Lebih fatal lagi, ini kesalahan diikuti oleh beragam kaum sastrawan. Ia menjadi standar nilai cerpen. Sebuah standar nilai yang membalik arah.
Lihatlah kutipan cerpen “Dadu” dari Nirwan Dewanto: Bertahun-tahun kami bertikai apakah di negeri Matsya Sairindri dan lima pengiringnya itu penyamar atau bukan. Bertikai pangkai bahkan sampai kini, ketika kami harus bahu-membahu di pulau jahanam ini demi mengukai tilas Muka Sepuluh.
Nirwan membuka kisah dalam cerpen dengan kata-kata “wah”. Kalimat-kalimat imajinatif. Di situ tampak, ada rima bertikai-pangkai-mengungkai. Ada kalimat imajinatif. Bertahun-tahun bertikai. Sungguh, jalinan kata-kata yang mirip puisi. Sayangnya, itu kalimat tidak mendukung terbentuknya peristiwa, memperlemah kisah.
Nirwan terlalu obsesif pada puitisasi peristiwa, puitisasi kisah. Setiap kalimat dimaksudkan mengemban citraan. Menampilkan lanskap warna, gerak, rasa, ataupun bau-bauan. Menggugah imajinasi pembaca. Membikin pikiran terombang-ambing dalam tamasya bahasa. Dan, pembaca pun melupakan peristiwa.
Kalimat pembuka cerpen “Dadu” diikuti oleh kalimat-kalimat lain yang bernasib sama. Puitis, imajinatif, dan berlarat-larat dengan majas. Akibatnya, cerpen rada panjang Nirwan terbata-bata dalam membentuk cerita. Padahal di situ ada cerita. Sebuah interpretasi ulang dari kisah Mahabarata dan Ramayana. Pasalnya, uraian Nirwan gagal menampilkan kejernihan peristiwa. Ada kabut tebal pada tiap kalimat Nirwan. Kabut yang menutup peristiwa.
Oleh sebab gagal membentuk peristiwa, Nirwan pun gagal mencipta penokohan. Tokoh-tokoh pada cerpen “Dadu” bukanlah tokoh yang bisa dibayangkan berbadan, berdaging, atau bernafas selayaknya manusia biasa. Ia tokoh metaforis. Tokoh konsep. Artinya, “tokoh” yang belum sempat menjadi tokoh. Sebatas konsep tentang tokoh. Ini disebabkan melimpahnya kiasan dalam pemaparan tokoh. Cerpen Nirwan menjadi lebih mirip puisi.
Mungkin, cerpen Nirwan memang lebih berharga jika dipahami sebagai puisi. Tetapi tetap saja tidak bisa. Keindahan bahasa puisi selalu mengemban makna personal. Pada metafora, ritme, rima, citraan puisi; di situ ada melekat ideologi.
Adapun pada Cerpen Nirwan, keindahan bahasa hanya sebatas ornamen. Perlengkapan pengindah kalimat. Snobisme. Kemewahan berbahasa. Metafor, rima, ritme, dan citraan semata-mata digunakan untuk menghasilkan “wah”. Di titik simpul ini, bila memaksa dipahami sebagai puisi, ia adalah puisi gagal.
Lihatlah kutipan cerpen “Dadu” berikut: Ketika seluruh jalur urat nadi Dandaka terbuka tampa k berderai putihmu –Percayalah, ketka jubahku terkembang berlapis-lapis memerangkap pasukan yang memburumu- aku mengenali perempuan lain yang mengular dalam hutan menguntitmu, mungkin untuk mengambil bakal permaisuri itu darimu. Aku berseru dalam hati, “Kenapa wajah mereka serupa dengan titisan Laksmi?”
Pemahaman yang salah atas eksplorasi bahasa cerpen membikin cerpen pada posisi ambang. Sebagai prosa, ia gagal membentuk kejernihan peristiwa dan ketajaman penokohan. Sebagai puisi, ia gagal menciptakan personalitas ideologi.
Tragisnya, Nirwan hanyalah satu dari deretan panjang para cerpenis yang suka mengindah-indahkan bahasa. Para cerpenis yang mengutamakan citraan daripada penokohan. Memilih metafor daripada peristiwa. Di gerbong mewah ini ada nama-nama seperti Sitok Srengenge, Nukila Amal, Dewi Sartika, Dewi Lestari, Ayu Utami, dan sebagainya.
Mengapa ini kondisi fatal bisa meluas? Mungkin, jaman menghendaki demikian. Mungkin juga, tanpa diduga, ada keseragaman pikiran. Keseragaman konsep tentang cerpen yang gemilang. Mungkin saja, merebaknya pengindahan bahasa cerpen dipacu oleh kemenangan novel Saman dari Ayu Utami pada Sayembara novel DKJ tahun 1998.
Pada novel Saman, Ayu Utami menyeruakkan tiga model bahasa. Pertama, model bahasa metaforis. Hampir tiap peristiwa dipaparkan dengan kiasan. Kedua, model bahasa lugas. Peristiwa dipaparkan dengan cara sederhana. Ketiga, model bahasa minimalis. Peristiwa dibahasan dengan kalimat-kalimat pendek, seperti kalimat dalam pesan pendek di telepon genggam.
Para cerpenis, mungkin, berusaha mengekor model bahasa Ayu Utami yang pertama. Model bahasa metaforis. Padahal, ini sungguh tragis. Seorang juri dari sayembara novel DKJ mencatatkan, novel Saman berhak menang karena kejernihannya memaparkan peristiwa penindasan yang terjadi di perkebunan karet. Di bagian tersebut, Ayu Utami tidak memakai model bahasa metaforis. Di situ, Ayu Utami menggunakan bahasa lugas, sederhana, dengan seminimal mungkin kiasan.
Mungkin juga, Nirwan dan sebagainya tidak sedang mengekor Ayu Utami. Mereka sedang terpesona oleh model bahasa Gabriel Garcia Marquez dalam novel Seratus Tahun Kesunyian.
Melalui eksotisme bahasa realisme-magis, Gabriel berhasil mengusung banyak tokoh dalam satu novel. Cerpen “Dadu” dari Nirwan pun dengan bahasa eksotis menampilkan banyak tokoh. Tapi ada perbedaan mendasar. Gabriel menggunakan eksotisme realisme-magis tidak sebatas gagah-gagahan. Itu model bahasa dipakai untuk memberi detail gambaran peristiwa dan memberi detail gambaran karakter tokoh. Selebihnya, detailitas peristiwa menciptakan kompleksitas penokohan. Hasilnya bukan sekadar tamasya bahasa, tetapi lebih penting lagi adalah, tamasya peristiwa. Tamasya kisah dengan beragam penokohan.
Adapun Nirwan dan sebagainya malah terjebak pada eksotisme bahasa yang mengaburkan peristiwa, mengaburkan penokohan. Semestinya, bahasa cerpen diolah-maksimalkan, dicari pilihan kata paling tepat, dan kalimat diberi rima-ritme; kesemua usaha dilakukan untuk memperkuat unsur cerpen. Eksplorasi yang mengarah pada pembentukan kejernihan peristiwa dan penajaman penokohan. Seperti pada cerpen-cerpen dalam buku Orang-orang Bloomington dari Budi Darma.
_______Surabaya, April 2007
Sumber: http://www.facebook.com/people/Ribut-Wijoto/670164104
http://www.sastra-indonesia.com/
Rentang sepuluh tahun terakhir, 1998-2007, ada kesalahan pada perkembangan eksplorasi bahasa cerpen. Bahasa diolah-maksimalkan, dicari pilihan kata paling tepat, dan kalimat diberi rima-ritme; kesemua usaha dilakukan tidak untuk memperkuat unsur cerpen. Justru sebaliknya, usaha kuat-keras tersebut, sepenuhnya untuk memperlemah potensi unsur cerpen.
Ini kesalahan fatal. Soalnya, ini kesalahan dilakukan oleh orang-orang yang justru berkompeten di bidang kesusastraan. Lebih fatal lagi, ini kesalahan diikuti oleh beragam kaum sastrawan. Ia menjadi standar nilai cerpen. Sebuah standar nilai yang membalik arah.
Lihatlah kutipan cerpen “Dadu” dari Nirwan Dewanto: Bertahun-tahun kami bertikai apakah di negeri Matsya Sairindri dan lima pengiringnya itu penyamar atau bukan. Bertikai pangkai bahkan sampai kini, ketika kami harus bahu-membahu di pulau jahanam ini demi mengukai tilas Muka Sepuluh.
Nirwan membuka kisah dalam cerpen dengan kata-kata “wah”. Kalimat-kalimat imajinatif. Di situ tampak, ada rima bertikai-pangkai-mengungkai. Ada kalimat imajinatif. Bertahun-tahun bertikai. Sungguh, jalinan kata-kata yang mirip puisi. Sayangnya, itu kalimat tidak mendukung terbentuknya peristiwa, memperlemah kisah.
Nirwan terlalu obsesif pada puitisasi peristiwa, puitisasi kisah. Setiap kalimat dimaksudkan mengemban citraan. Menampilkan lanskap warna, gerak, rasa, ataupun bau-bauan. Menggugah imajinasi pembaca. Membikin pikiran terombang-ambing dalam tamasya bahasa. Dan, pembaca pun melupakan peristiwa.
Kalimat pembuka cerpen “Dadu” diikuti oleh kalimat-kalimat lain yang bernasib sama. Puitis, imajinatif, dan berlarat-larat dengan majas. Akibatnya, cerpen rada panjang Nirwan terbata-bata dalam membentuk cerita. Padahal di situ ada cerita. Sebuah interpretasi ulang dari kisah Mahabarata dan Ramayana. Pasalnya, uraian Nirwan gagal menampilkan kejernihan peristiwa. Ada kabut tebal pada tiap kalimat Nirwan. Kabut yang menutup peristiwa.
Oleh sebab gagal membentuk peristiwa, Nirwan pun gagal mencipta penokohan. Tokoh-tokoh pada cerpen “Dadu” bukanlah tokoh yang bisa dibayangkan berbadan, berdaging, atau bernafas selayaknya manusia biasa. Ia tokoh metaforis. Tokoh konsep. Artinya, “tokoh” yang belum sempat menjadi tokoh. Sebatas konsep tentang tokoh. Ini disebabkan melimpahnya kiasan dalam pemaparan tokoh. Cerpen Nirwan menjadi lebih mirip puisi.
Mungkin, cerpen Nirwan memang lebih berharga jika dipahami sebagai puisi. Tetapi tetap saja tidak bisa. Keindahan bahasa puisi selalu mengemban makna personal. Pada metafora, ritme, rima, citraan puisi; di situ ada melekat ideologi.
Adapun pada Cerpen Nirwan, keindahan bahasa hanya sebatas ornamen. Perlengkapan pengindah kalimat. Snobisme. Kemewahan berbahasa. Metafor, rima, ritme, dan citraan semata-mata digunakan untuk menghasilkan “wah”. Di titik simpul ini, bila memaksa dipahami sebagai puisi, ia adalah puisi gagal.
Lihatlah kutipan cerpen “Dadu” berikut: Ketika seluruh jalur urat nadi Dandaka terbuka tampa k berderai putihmu –Percayalah, ketka jubahku terkembang berlapis-lapis memerangkap pasukan yang memburumu- aku mengenali perempuan lain yang mengular dalam hutan menguntitmu, mungkin untuk mengambil bakal permaisuri itu darimu. Aku berseru dalam hati, “Kenapa wajah mereka serupa dengan titisan Laksmi?”
Pemahaman yang salah atas eksplorasi bahasa cerpen membikin cerpen pada posisi ambang. Sebagai prosa, ia gagal membentuk kejernihan peristiwa dan ketajaman penokohan. Sebagai puisi, ia gagal menciptakan personalitas ideologi.
Tragisnya, Nirwan hanyalah satu dari deretan panjang para cerpenis yang suka mengindah-indahkan bahasa. Para cerpenis yang mengutamakan citraan daripada penokohan. Memilih metafor daripada peristiwa. Di gerbong mewah ini ada nama-nama seperti Sitok Srengenge, Nukila Amal, Dewi Sartika, Dewi Lestari, Ayu Utami, dan sebagainya.
Mengapa ini kondisi fatal bisa meluas? Mungkin, jaman menghendaki demikian. Mungkin juga, tanpa diduga, ada keseragaman pikiran. Keseragaman konsep tentang cerpen yang gemilang. Mungkin saja, merebaknya pengindahan bahasa cerpen dipacu oleh kemenangan novel Saman dari Ayu Utami pada Sayembara novel DKJ tahun 1998.
Pada novel Saman, Ayu Utami menyeruakkan tiga model bahasa. Pertama, model bahasa metaforis. Hampir tiap peristiwa dipaparkan dengan kiasan. Kedua, model bahasa lugas. Peristiwa dipaparkan dengan cara sederhana. Ketiga, model bahasa minimalis. Peristiwa dibahasan dengan kalimat-kalimat pendek, seperti kalimat dalam pesan pendek di telepon genggam.
Para cerpenis, mungkin, berusaha mengekor model bahasa Ayu Utami yang pertama. Model bahasa metaforis. Padahal, ini sungguh tragis. Seorang juri dari sayembara novel DKJ mencatatkan, novel Saman berhak menang karena kejernihannya memaparkan peristiwa penindasan yang terjadi di perkebunan karet. Di bagian tersebut, Ayu Utami tidak memakai model bahasa metaforis. Di situ, Ayu Utami menggunakan bahasa lugas, sederhana, dengan seminimal mungkin kiasan.
Mungkin juga, Nirwan dan sebagainya tidak sedang mengekor Ayu Utami. Mereka sedang terpesona oleh model bahasa Gabriel Garcia Marquez dalam novel Seratus Tahun Kesunyian.
Melalui eksotisme bahasa realisme-magis, Gabriel berhasil mengusung banyak tokoh dalam satu novel. Cerpen “Dadu” dari Nirwan pun dengan bahasa eksotis menampilkan banyak tokoh. Tapi ada perbedaan mendasar. Gabriel menggunakan eksotisme realisme-magis tidak sebatas gagah-gagahan. Itu model bahasa dipakai untuk memberi detail gambaran peristiwa dan memberi detail gambaran karakter tokoh. Selebihnya, detailitas peristiwa menciptakan kompleksitas penokohan. Hasilnya bukan sekadar tamasya bahasa, tetapi lebih penting lagi adalah, tamasya peristiwa. Tamasya kisah dengan beragam penokohan.
Adapun Nirwan dan sebagainya malah terjebak pada eksotisme bahasa yang mengaburkan peristiwa, mengaburkan penokohan. Semestinya, bahasa cerpen diolah-maksimalkan, dicari pilihan kata paling tepat, dan kalimat diberi rima-ritme; kesemua usaha dilakukan untuk memperkuat unsur cerpen. Eksplorasi yang mengarah pada pembentukan kejernihan peristiwa dan penajaman penokohan. Seperti pada cerpen-cerpen dalam buku Orang-orang Bloomington dari Budi Darma.
_______Surabaya, April 2007
Sumber: http://www.facebook.com/people/Ribut-Wijoto/670164104
Diplomasi Sastra Indonesia ke Level Internasional*
Satmoko Budi Santoso
http://satmoko-budi-santoso.blogspot.com/
DALAM rentang waktu mulai tahun 2000-an, kesusastraan Indonesia yang diharapkan mampu “tinggal landas” berkaitan dengan momentum pasar bebas, rasanya kurang begitu menunjukkan hasil. Dalam konteks ini adalah kesusastraan Indonesia yang mampu unjuk sampai ke level internasional. Oleh karena itu, eksistensi sastra Indonesia memang masih harus belajar keras agar mampu menembus ke level diplomasi sastra tingkat internasional. Kebanyakan, kalaupun ada sejumlah sastrawan yang mampu menembus pasar internasional, itu tidak lebih karena upayanya sendiri dalam berjejaring dengan orang atau komunitas atau juga lembaga yang memang memunyai komitmen sama dalam mengembangkan diplomasi sastra menjadi lebih baik lagi.
Tentu, dalam persoalan semacam ini perlu kepedulian berupa kebijakan dari negara yang berusaha mendudukkan karya sastra sehingga memunyai peluang yang sama dengan bidang disiplin ilmu lain yang lebih memunyai kesempatan mempertaruhkan eksistensinya pada diplomasi dunia Barat. Dalam hal ini, rupanya juga perlu diperhatikan bahwa terlepas dari persoalan estetika, upaya politis untuk mendudukkan karya sastra sehingga terterimakan di publik luar Indonesia haruslah jadi pertimbangan cukup urgen agar sastra Indonesia tak menghuni narsisisme wilayah sosialisasi hanya pada lingkup dalam negeri.
Kebijakan-kebijakan politis untuk memberi porsi aktualisasi karya sastra Indonesia yang setara dengan disiplin bidang ilmu yang bersifat teknologi, misalnya, penting diperjuangkan. Kalau kita tengok pengalaman terkonkretkannya karya sastra Barat terasionalisasi dengan baik pada publik Indonesia, jelas disebabkan karena terbukanya peluang aktualisasi karya lewat jalur seperti perangkapan status sastrawan yang sekaligus menjadi diplomat. Kalau departemen-departemen tertentu pemerintahan atau lazimnya kantor kedutaan gagal memperjuangkan hal ini, berarti karya sastra Indonesia mesti memunyai strategi tertentu untuk merasionalisasi publik di luar dirinya sendiri.
Penyair Tjahjono Widarmanto, misalnya, sepulang menghadiri acara Jakarta International Literary Festival 11-14 Desember 2008 silam memberikan catatan khusus di Majalah Gong Edisi No:106/X/2009. Menurut Tjahjono, ada sejumlah strategi yang bisa dilakukan. Kebetulan di dalam forum tersebut dihadirkan tokoh-tokoh sastra seperti Putu Wijaya, Budi Darma, Mikihiro Moriyama (Jepang), Steven Danarek (Swedia), Henry Chambert (Perancis), Maria Emilia Irmler (Portugal), Katrin Bandel (Jerman), dan Jamal Tukimin (Singapura). Salah satu rekomendasi yang menguat dalam forum tersebut adalah perlunya dilakukan upaya penerjemahan dan pengenalan karya sastra Indonesia yang lebih serius lagi. Hal ini, tentu akan membuka peluang apresiasi seluas mungkin, sehingga membuat sastra Indonesia tertempatkan dalam porsi dan kursi yang setara dengan karya sastra produk Barat.
Selain itu, menurut saya adalah pada terbukanya sikap proaktif sastrawan Indonesia, untuk mau berjejaring dengan sastrawan asing, baik melalui media elektronik seperti internet maupun lainnya. Biasanya, banyak lembaga asing di luar negeri yang menyediakan tempat untuk fasilitasi acara residensi sastra. Peluang inilah yang mestinya perlu dicermati dengan baik. Pada negara-negara yang sudah maju apresiasi dan kedudukan karya sastranya di tengah masyarakat, seperti Perancis, Jerman, Australia, dan lainnya, pastilah dalam kurun waktu tertentu akan diselenggarakan festival-festival sastra bergengsi. Oleh karena itu, peluang tersebut semestinya juga menjadi kesempatan aktualisasi bagi sastrawan Indonesia. Tentu saja, upaya mengantisipasi problem elementer berupa kendala bahasa dan hal lainnya sudah harus teratasi terlebih dahulu. Sehingga tidak menjadi batu sandungan yang signifikan dalam menyosialisasikan karya sastra.
Tentu saja, kelak akan bernilai fenomenal jika sastra Indonesia pada akhirnya terterimakan pada publik luar negeri. Bukan pada persoalan momentum mendapatkan penghargaan yang menjadi tolok ukur, seperti misalnya pengalaman sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang dinominasikan mendapatkan penghargaan Nobel sastra, namun lebih pada usaha konkretisasi rasionalisasi agar tak selamanya publik sastra Indonesia merasakan rasionalisasi yang cuma sepihak, di negeri sendiri saja. ***
*) Pernah dimuat di harian Bernas.
http://satmoko-budi-santoso.blogspot.com/
DALAM rentang waktu mulai tahun 2000-an, kesusastraan Indonesia yang diharapkan mampu “tinggal landas” berkaitan dengan momentum pasar bebas, rasanya kurang begitu menunjukkan hasil. Dalam konteks ini adalah kesusastraan Indonesia yang mampu unjuk sampai ke level internasional. Oleh karena itu, eksistensi sastra Indonesia memang masih harus belajar keras agar mampu menembus ke level diplomasi sastra tingkat internasional. Kebanyakan, kalaupun ada sejumlah sastrawan yang mampu menembus pasar internasional, itu tidak lebih karena upayanya sendiri dalam berjejaring dengan orang atau komunitas atau juga lembaga yang memang memunyai komitmen sama dalam mengembangkan diplomasi sastra menjadi lebih baik lagi.
Tentu, dalam persoalan semacam ini perlu kepedulian berupa kebijakan dari negara yang berusaha mendudukkan karya sastra sehingga memunyai peluang yang sama dengan bidang disiplin ilmu lain yang lebih memunyai kesempatan mempertaruhkan eksistensinya pada diplomasi dunia Barat. Dalam hal ini, rupanya juga perlu diperhatikan bahwa terlepas dari persoalan estetika, upaya politis untuk mendudukkan karya sastra sehingga terterimakan di publik luar Indonesia haruslah jadi pertimbangan cukup urgen agar sastra Indonesia tak menghuni narsisisme wilayah sosialisasi hanya pada lingkup dalam negeri.
Kebijakan-kebijakan politis untuk memberi porsi aktualisasi karya sastra Indonesia yang setara dengan disiplin bidang ilmu yang bersifat teknologi, misalnya, penting diperjuangkan. Kalau kita tengok pengalaman terkonkretkannya karya sastra Barat terasionalisasi dengan baik pada publik Indonesia, jelas disebabkan karena terbukanya peluang aktualisasi karya lewat jalur seperti perangkapan status sastrawan yang sekaligus menjadi diplomat. Kalau departemen-departemen tertentu pemerintahan atau lazimnya kantor kedutaan gagal memperjuangkan hal ini, berarti karya sastra Indonesia mesti memunyai strategi tertentu untuk merasionalisasi publik di luar dirinya sendiri.
Penyair Tjahjono Widarmanto, misalnya, sepulang menghadiri acara Jakarta International Literary Festival 11-14 Desember 2008 silam memberikan catatan khusus di Majalah Gong Edisi No:106/X/2009. Menurut Tjahjono, ada sejumlah strategi yang bisa dilakukan. Kebetulan di dalam forum tersebut dihadirkan tokoh-tokoh sastra seperti Putu Wijaya, Budi Darma, Mikihiro Moriyama (Jepang), Steven Danarek (Swedia), Henry Chambert (Perancis), Maria Emilia Irmler (Portugal), Katrin Bandel (Jerman), dan Jamal Tukimin (Singapura). Salah satu rekomendasi yang menguat dalam forum tersebut adalah perlunya dilakukan upaya penerjemahan dan pengenalan karya sastra Indonesia yang lebih serius lagi. Hal ini, tentu akan membuka peluang apresiasi seluas mungkin, sehingga membuat sastra Indonesia tertempatkan dalam porsi dan kursi yang setara dengan karya sastra produk Barat.
Selain itu, menurut saya adalah pada terbukanya sikap proaktif sastrawan Indonesia, untuk mau berjejaring dengan sastrawan asing, baik melalui media elektronik seperti internet maupun lainnya. Biasanya, banyak lembaga asing di luar negeri yang menyediakan tempat untuk fasilitasi acara residensi sastra. Peluang inilah yang mestinya perlu dicermati dengan baik. Pada negara-negara yang sudah maju apresiasi dan kedudukan karya sastranya di tengah masyarakat, seperti Perancis, Jerman, Australia, dan lainnya, pastilah dalam kurun waktu tertentu akan diselenggarakan festival-festival sastra bergengsi. Oleh karena itu, peluang tersebut semestinya juga menjadi kesempatan aktualisasi bagi sastrawan Indonesia. Tentu saja, upaya mengantisipasi problem elementer berupa kendala bahasa dan hal lainnya sudah harus teratasi terlebih dahulu. Sehingga tidak menjadi batu sandungan yang signifikan dalam menyosialisasikan karya sastra.
Tentu saja, kelak akan bernilai fenomenal jika sastra Indonesia pada akhirnya terterimakan pada publik luar negeri. Bukan pada persoalan momentum mendapatkan penghargaan yang menjadi tolok ukur, seperti misalnya pengalaman sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang dinominasikan mendapatkan penghargaan Nobel sastra, namun lebih pada usaha konkretisasi rasionalisasi agar tak selamanya publik sastra Indonesia merasakan rasionalisasi yang cuma sepihak, di negeri sendiri saja. ***
*) Pernah dimuat di harian Bernas.
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzib
A. Junianto
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abang Eddy Adriansyah
Abdi Purmono
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurahman Wahid
Abidah el Khalieqy
Abiyyu
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achiar M Permana
Ade Ridwan Yandwiputra
Adhika Prasetya
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Adreas Anggit W.
Adrian Ramdani
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Agus Utantoro
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajie Najmudin
Ajip Rosidi
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Saefudin
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alhafiz K
Ali Shari'ati
Alizar Tanjung
Alvi Puspita
Alwi Karmena
Amarzan Loebis
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amiruddin Al Rahab
Amirullah
Amril Taufiq Gobel
Amy Spangler
An. Ismanto
Andrea Hirata
Andy Riza Hidayat
Anes Prabu Sadjarwo
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anne Rufaidah
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anung Wendyartaka
Anwar Holid
Aprinus Salam
Ari Dwijayanthi
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Aris Darmawan
Aris Kurniawan
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asep Yayat
Askolan Lubis
Asrul Sani
Asvi Marwan Adam
Asvi Warman Adam
Audifax
Awalludin GD Mualif
Awaludin Marwan
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Bambang Bujono
Bambang Irawan
Bambang Kempling
Bambang Unjianto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonnie Triyana
Bre Redana
Brunel University London
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hatees
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cepi Zaenal Arifin
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Cucuk Espe
D Pujiyono
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darwin
David Krisna Alka
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dicky
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Dodi Ambardi
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Khoirotun Nisa’
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Suprianto
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulwesi
Endi Haryono
Endri Y
Enung Sudrajat
Erwin
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evieta Fadjar
F. Aziz Manna
Fadjriah Nurdiarsih
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Farida-Suliadi
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Feby Indirani
Felik K. Nesi
Fenny Aprilia
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Firdaus Muhammad
Firman Nugraha
Fuad Nawawi
Galang Ari P.
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Guntur Alam
Gus tf Sakai
Gusti Eka
H Marjohan
HA. Cholil Mudjirin
Hadi Napster
Halim HD
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hanik Uswatun Khasanah
Hans Pols
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hawe Setiawan
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Heru Kurniawan
Heru Nugroho
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Hudel
Humaidiy AS
Humam S Chudori
I.B. Putera Manuaba
Ibn Ghifarie
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Ika Karlina Idris
Ilham khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tranggono
Indrian Koto
Intan Indah Prathiwie
Inung AS
Iskandar Noe
Iskandar P Nugraha
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut Fitra
J.J. Rizal
Jacques Derrida
Jafar Fakhrurozi
Jafar M Sidik
Jafar M. Sidik
Jaleswari Pramodhawardani
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean Couteau
Jean-Marie Gustave Le Clezio
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ Rizal
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Jonathan Ziberg
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku
Juli
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kang Warsa
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasijanto Sastrodinomo
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Keith Foulcher
Khansa Arifah Adila
Khisna Pabichara
Khrisna Pabichara
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristine McKenna
Kritik Sastra
Kukuh Yudha Karnanta
Kurie Suditomo
Kurniawan Yunianto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L. Ridwan Muljosudarmo
Lan Fang
Langgeng W
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Kelana
Leo Tolstoy
Lia Anggia Nasution
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Abdullah Badri
M Aditya
M Anta Kusuma
M Fadjroel Rachman
M. Arman AZ
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Misbahuddin
M. Mushthafa
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makyun Subuki
Maman S Mahayana
Marcus Suprihadi
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Mashuri
Matroni
Matroni El-Moezany
Mawar Kusuma
Max Lane
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Miziansyah J.
Moh. Samsul Arifin
Mohammad Eri Irawan
Muhammad Antakusuma
Muhammad Firdaus Rahmatullah
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhammd Ali Fakih AR
Muhidin M. Dahlan
Mukhlis Al-Anshor
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Musa Asy’arie
Mustafa Ismail
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nandang Darana
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nazar Nurdin
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Nina Herlina Lubis
Ning Elia
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nobel
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novelet
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nunik Triana
Nur Faizah
Nur Wahida Idris
Nurcholish Madjid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurman Hartono
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Obrolan
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Olivia Kristinasinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Pandu Jakasurya
Parak Seni
Parakitri T. Simbolon
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Pembebasan Sastra
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta-Toer
Pringadi Abdi Surya
Pringadi AS
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Rahmat Hidayat
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ranang Aji S.P.
Ranggawarsita
Ratih Kumala
Ratna Sarumpaet
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Rengga AP
Resensi
Resistensi Kaum Pergerakan
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riswan Hidayat
Riyadi KS
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rojil Nugroho Bayu Aji
Rukardi
S Sopian
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sari Oktafiana
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra
Sastra Liar Masa Awal
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Selo Soemardjan
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Sevgi Soysal
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Slamet Hadi Purnomo
Sobih Adnan
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sotyati
Sri Wintala Achmad
St. Sunardi
Stefanus P. Elu
Stevy Widia
Sugi Lanus
Sugilanus G. Hartha
Suherman
Sukardi Rinakit
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surat
Suripto SH
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susiyo Guntur
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi San
Syafruddin Hasani
Syahruddin El-Fikri
Syaiful Amin
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T Agus Khaidir
Tasyriq Hifzhillah
Tatang Pahat
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tia Setiadi
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tony Herdianto
Tosa Poetra
Tri Purna Jaya
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Utami Widowati
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vien Dimyati
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Heriyadi
Wahyu Hidayat
Wahyu Utomo
Walid Syaikhun
Wan Anwar
Wandi Juhadi
Warih Wisatsana
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Wayan Supartha
Wendoko
Wicaksono Adi
William Bradley Horton
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Wong Wing King
Y. Wibowo
Yang Lian
Yanuar Yachya
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopie Setia Umbara
Yos Rizal Suriaji
Yoserizal Zein
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudhi Herwibowo
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Zacky Khairul Uman
Zakki Amali
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhou Fuyuan
Zul Afrita