30/08/10

Jalur Awal Sastra Facebook

Nurel Javissyarqi
http://www.sastra-indonesia.com/

Sebelum berbilang kata. Haturkan diri ini sekadar pengelana, serupa tamu kurang sopan dengan kesiapan mati konyol ke medan magnetik kesusastraan. Meski yang kutulis melewati keyakinan kuat, kadang keraguan ganjil segetaran menggejolaki tubuh melampaui masa.

Dapat dibilang kesusastraan facebook di Indonesia bermula tahun 2009, atas deru semarak hingga hantu-hantu sebelumnya terlelap berbangkit berupa ketampanan aneh. Ialah para sastrawan yang mati suri tak lagi berkarya, kini mendapati darah segar seharum perubahan yang dihembuskan para generasi muda, yang kemuncul memandangi hamparan luas padang rumput nan menghijau bersama kesegarannya.

Kelak mandek menstupa atau berpuing-puing atas pantulan kesungguhan ditimbang percepatan lesat alam halus bathiniah masing-masing. Sejarah ialah teks tercetak di lembaran kertas, demi kemudahan diteliti juga penjelmaan gairah abadi penciptaan itu wujud fisikal menjadi dokumentasi penting di kemudian hari.

Di sini aku tak sebut nama-nama pun komunitas yang berkisaran di facebook. Semua sampai terukur daya dinayanya sendiri-sendiri. Dan diriku lebih yakin kesemangatan murni bukan dari dorongan seorang pun golongan, tapi gairah dari dalam membumi. Ini kudu ditempa berkali-kali keraguan, penjegalan mematangkan jiwa bermandiri.

Jika mengguna istilah mengamati, pelaku sastra facebook yang baru sadar sejarah sastra Indonesia terhanyut setubuh menggumuli teks dunia maya, dan serasa abai kurang suntuk menyinahuni lebih di luarnya; buku-buku, koran, majalah pun jurnal sastra. Bagaimana sanggup mengganyang realitas seluruh, jika berpangku tangan menyimak hanya yang disuntuki, meski yakin menghantar ke mimbar perkenalan.

Kata abai terpantul minimnya perbendaharaan, tapi langsung nyempelung ke sumur yang diandaikan sampai terpesona tiada kemampuan bergerak lincah. Apalagi hanya mengedarkan pandangan ke alam susastra, namun kurang sudi menggali bencah di sekitarnya; sejarah, filsafat, agama, sosiologi pun lainnya yang memantabkan sendi-sendi bersastra.

Bagiku yang doyan merevisi karya, ladang maya sekadarlah wilayah pembelajaran, menjajal kemungkinan teks diedarkan demi kematangan kelak kala tercetak dalam buku, serta patut diuji ulang perbaikan lanjut jika mengharap kesegaran ruh jaman dinafaskan. Kalau menilik fitroh hayati berawal keraguan ataupun diragukan, namun tatkala makna pertahanan sama dengan perlawanan, kemungkinan menjelma tradisi dan mau tak mau ditelan meski pahit.

Sudah menjelma kutukan ialah sejarah terpegang bagi yang berkuasa dalam ruang-waktu kedirian menantang hasil-hasil luaran merangsek bentuk sebelumnya, lewat melahirkan peluang menebarkan jala kemungkinan pada yang jauh pula terdekat.

Ini berbenturan sampai ada yang pingsan juga lontang-lantung kurang manfaat. Maka hanya bermental baja dibalut beton ampuh sulit dihantam badai keisengan setengah lelah di tengah jalan juga yang lekas tergiur kemapanan.

Bergulat di dunia sastra dengan keuletan menggali nilai-nilai, ruh lengkingan suara yang dikumandangkan kalimah dengan pesona, maka kekurangseriusan tertebas di medan laga. Jika menegok para empu dunia sastra, ditimbang-timbang hampir 30% pelakunya mendekati mati keadaan gila. Ini dapat dimaklumi, tersebab karya sastra bersimpan keseimbangan jaman dirasai para pensiarnya.

Mereka sengaja bernafas di alam antara pertimbangan nalar angan mengambili bebatuan realitas, dipadu gagasan yang diharapkan abadi, terbaca setiap jaman setelahnya, seperti jiwa-jiwa menetralisir perubahan atas benturan budaya yang memayungi hayat di dalam hembusan peradaban.

Jika dicermati, hampir 60% karya sastra facebook merupakan cipta rasa dadakan, setidaknya terimbasi percepatan dunia maya yang tampak kurang endapan kukuh. Apa yang diandalkan? Kalau ini melaju tanpa kendali kritik diri, pihak lain dengan tajam, tapi cuman pujian. Lebih parah sanjungan dimasukkan hati tidak menggali ulang pencarian jati diri demi mempuni karyanya.

Sungguh malang nasibnya ditumbuhi jamur-jamur oleh hujan dadakan, tentu dapat dipastikan terlibas kekuatan sastra di negara tetangga Asia; Cina, Jepang yang kian memantabkan diri menggali kekayaan tradisi bathiniahnya.

Dengan tidak kesampingkan peran serta dedengkot pesastra Indonesia sebelumnya yang masih segar bugar berkarya. Tampak benar politik sastra lebih kental daripada pengujian karya secara terbuka, kekuatannya berpamorkan faham tertentu dan abai corak sastra yang tak semadzab dengannya.

Padahal jikalau ditengok pertumbuhan kesusastraan di bumi Nusantara, merupakan benturan berbagai aliran yang pernah tumbuh di Timur serta Barat. Maka keteguhan suntuk memegang kedaulatan jiwa-jiwa berkarya akan teruji perubahan masa-masa.

Bagiku karya sastra yang mengendap di facebook itu tantangan harus dihadapi, apalagi bagi yang telah merasa aman sudah dipertuan sejarah. Seyogyanya tidak memicingkan mata sebelah pada dunia yang bergerak mengukuhkan tapal batas pendapatan, kalau tak ingin terkena serangan jantung keyakinan nan serempak.

Aku tidak menjawab apakah catatan yang bercokol di facebook kelak bertahan di dunia luar, atas pergolakan budaya global melampaui jamannya. Semua kembali oleh citraan ruh penciptaan nasib teremban yang menggelinding padanya. Sebab facebook sekadar sarana perkenalan, mengukuhkan bathin penulisnya. Ini cuaca rindu musim berdamainya diri, kala negara dipimpin manusia bermental serakah.

Kelak bermuara ke batas kesungguhan masing-masing. Ini bisa disiasati bagi yang mampu mengatur nafas pengolah perasaan, tidak hanya hadir lewat, atau hujaman jantung sekali sudah. Maka bobot ruang-waktu pengendalian laju timbunan kenang pengalaman, patut diolah baik guna tak sia-sia pengetahuan yang selama ini dibaca.

Dapat dimaknai kesusastraan facebook baru gejala terciptanya karya lebih paripurna nantinya, semisal kawah candradimuka bagi yang tak menelan mentah pujian dalam proses kreatif berlangsung. Sebab sekurang-kurangnya kritik dan anggapan kurang tepat, sanggup membelokkan niatan unggul tercebur dalam pandangan sempit, jika tidak berbaca perluasan sejarah kesusastraan dunia juga yang tengah menggejolak.

Akan menjadi bahan sia-sia atau sampah abad 21 dari negeri dunia ketiga, sungguh ini tak kita harapkan. Padahal berkarya sastra merupakan benih unggul perkenalkan pandangan nalar perasaan, dari watak geografis menapaki tubuh bangsanya menuju derajat sejajar bangsa lainnya.

Bagiku, minimal tebaran gemintang kesastraan yang memancar di facebook seperti jembatan awal mengenali watak pesastra indonesia yang terperangkap pun sekadar ngincipi dunia maya. Di samping melihat gelagat kesusastraan dunia pada umumnya dalam jarak terdekat juga lebih mudah menjiwai karya dan pelakunya, sebab keluar-masuknya bathin menyuntuki teks tercetak serta yang betebaran di jendela beranda.

Pun sarana memahami karakter keindonesiaan dari karya sastra, nun tergantung penyikapan ruang-waktu manusianya. Kala kesempatan usia sempit atas padatnya pergolakan pribadi mematangkan diri melalui karangan, menuju pertemuan nyata pada gerak bertukar singgung keilmuan dalam memperluas jiwa mantab menapaki.

Dan gelagat bayang-bayang jaman menjadi nyata kesadaran sendiri, untuk pelaku berpandangan luas ke dapan, hingga mampu menarik benang kesimpulan. Darinya diharapkan terciptanya karya-karya mempuni, yang sanggup menjawab tantangan jaman, demi mencerahkan abad-abad mendatang di atas bumi kemanusiaan damai.

Menelusuri Jejak Skriptorium dan Tradisi Pernaskahan Masyarakat Kediri, Jombang, dan Lamongan*

Agus Sulton
http://pondokpayak.wordpress.com/

Pendahuluan
Tradisi menulis sudah dimulai sejak berabad-abad lampau sebelum Islam datang ke Jawa Timur. Hal ini, terbukti dari penemuan batu bertulis—yang banyak tersebar di Jawa Timur. Secara tidak langsung bukti peninggalan tersebut merupakan produk peradaban nenek moyang kita pada masa pengaruh Hindu-Budha. Tulisannya masih berbentuk Kakawin atau tembang Gedhe dengan aksara Jawa kuno. Keberadaan ini—diperkuat dengan temuan prasasti Poh Rinting 851 Saka di desa Glagahan kecamatan Perak kabupaten Jombang, prasasti Geweng 855 Saka di desa Teggaran kecamatan Peterongan kabupaten Jombang, dan prasasti Anjukladang 937 M masa pemerintahan Pu Sindok, dalam prasasti itu menjelaskan bahwa pusat pemerintahan yang semula di Medang (Jawa Tengah) kini berpindah ke Watugalug. Diduga Watugalug merupakan pusat pemerintahan Mataram kuno terletak di kecamatan Diwek kabupaten Jombang. Sejumlah prasasti, candi dan artefak banyak diketemukan oleh masyarakat Watugaluh.

Seiring berjalannya waktu tradisi tulis beralaskan batu mulai ditinggalkan dialihkan ke daun lontar, tulang, dan ukiran kayu, tetapi alas tulis batu tidak bisa lepas ditinggalkan begitu saja masih banyak mpu dari keluarga kerajaan yang masih tetap menggunakannya. Hal ini, terkait dengan perkembangan pola pikir pujangga istina kerajaan, bahwa menulis suatu kebutuhan untuk pendokumentasian (mencitrakan kekuasaan raja), sehingga lontar dijadikan posisi harmoni untuk menuliskan kesusastraan, silsilah raja, atau sekedar gambaran kehidupan istana karena lontar itu sendiri mempunyai daya kreasi penampungan tulisan yang tidak terbatas. Mamam S. Mahayana (2005: 21), selain menyuguhkan hiburan (kesusastraan) supranatural, fungsi pujangga pada istana kerajaan adalah sebagai aparat yang dapat mencitrakan kekuasaan raja dan melegitimasi kekuasaan raja. Oleh karena itu, selain praktis—tersimpan dalam bumbung (potongan bambu) lontar juga punya fungsi signifikan, yaitu pembacaan lontar pada saat upacara adat (Arps, 1990: 36, dalam Mulyadi).

Dalam konteks perkembangannya, kehidupan istana kerajaan mengalami kemunduran setelah Islam masuk melalui pesisir Timur pulau Jawa. Begitu juga karya tulis yang dihasilkan sangat memberikan dampak yang begitu pesat dan semakin beragam persoalan. Asdi S. Dipodjojo (1986: 7) membagi persoalan-persoalan tersebut menyangkut masalah:

1.hukum dan undang-undang
2.bermacam-macam pengetahuan
3.pelajaran agama Islam
4.ilmu tasawuf, dan
5.bermacam-macam hikayat

Persoalah atau ragam konsep tersebut nantinya akan dijadikan sebagai alat untuk mempengarui masyarakat yang sebelumnya masih memeluk agama Hindu, Budha, atau memeluk animisme, dinamisme. Sekitar abad ke-16 seorang penyiar agama Islam dari Arab bernama Maulana Malik Ibrahim menetap di Gresik. Penyiar lain bernama R. Mahdun (Sunan Bonang) atau Syakh al Barri yang terkenal dengan karyanya Wukuf Sunan Bonang merupakan hasil interpretasi dari kitab Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazzali. Ulama-ulama tersebut melakukan penyiaran agama Islam (Islamisasi) terhadap penduduk sekitar dengan beragam cara, diantaranya menggunakan gamelan di depan halaman masjid pada saat memperingati kelahiran Nabi Muhammad selama satu minggu (Dipodjodjo, 1986: 19-20). Cara tersubut lebih efektif untuk mempengarui masyarakat pada saat itu, karena kebudayaan masyarakat Jawa lebih tinggi tarafnya, yaitu berpandangan hidup Hindu-Budha yang berlangsung berabad-abad lamanya (Dojosantosa, 1985: 5).

Pada gilirannya—Islam terus mengalami perkembangat begitu pesat terjadi pada abad ke-18 sampai dipelosok-pelosok Kediri, Jombang, dan Lamongan. Ini terbukti dari banyaknya manuskrip yang tersebar di perkampungan dan jejak sriptorium (sanggar tempat menulis atau penyalin naskah/manuskrip). Manuskrip-manuskrip itu memakai aksara Jawa, Arab, atau pegon (Arab-Jawa) dan masih tersimpan secara pribadi di pelosok-pelosok perkampungan, di langgar (mushola), masjid, dan pondok pesantren kuno yang jauh dari peradaban modern (lereng perbukitan atau ditengah hutan kecil).

Manuskrip (naskah) yang dikoleksi masyarakat itu kondisinya sangat memperihatinkan, karena sebagian naskah banyak yang berlubang (dimakan rayap), tercecer (tanpa sampul), dan rapuh (memet). Beberapa faktor yang menyebabkan kerusakan tersebut tidak lain, adalah kurangnya perawatan (faktor primer) dan umur naskah, sehingga banyak naskah-naskah koleksi pribadi masyarakat awam—yang tidak ada sampulnya, dan bagian lembaran naskah banyak yang sobek, akhirnya hampir (sebagian) masyarakat Kediri, Jombang, Lamongan yang menyimpan naskah dalam kondisi seperti ini selanjutnya dibakar. Praktik pembakaran naskah bukan suatu hal yang aneh dan konyol, ini seperti adat atau kebiasaan orang awam di daerah. Robson (1994: 18-19) mengatakan sebagai ”rendah diri budaya” dan sesuatu yang dianggap maju adalah kebanyakan yang kebarat-baratan, sehingga sesuatu yang bernafaskan sumber sejarah nenek moyang (manuskrip) dianggap kuno dan terbelakang. Sikap seperti ini tidak ubahnya rasa hormat yang di buat-buat untuk segala sesuatu yang modern atau baru. Padahal, manuskrip dalam produk budaya diperankan sebagai penggalian internalisasi nilai-nilai atau semacam wodr of view dari sirkulasi alamiah akan dunia hiperrealitas (Sulton, 2010). Sementara itu, Robson menambahkan (1994: 9) dalam usaha membentuk ”kebudayaan nasional” yang terdiri dari ”puncak-puncak kebudayaan daerah” atau dapat membentuk dasar untuk ”identitas Indonesia” atau kebanggaan akan prestasi masa lalu.

Dengan demikian, keberadaan manuskrip-manuskrip di Kediri, Jombang, dan Lamongan merupakan warisan (khazanah) hasil budaya yang perlu untuk dikembangkan dan dilestarikan, selanjutnya dilakukan pengkajian lebih dalam agar mutiara yang terkandung dalam naskah benar-benar terungkap. Tamara A. Susetyo Salim (2008) mengungkapkan, bahwa manuskrip sebagai sebuah artefak budaya, yakni hasil karya budaya manusia, merupakan sumber informasi yang penting, baik diperpustakaan, kearsipan, museum, serta pusat-pusat dokumentasi serta informasi lainnya. Dari segi kandungan isinya, naskah-naskah yang tersebar di daerah-daerah itu banyak mengungkapkan ajaran-ajaran, tradisi, dan perkembangan agama Islam. Siti Baroroh Baried, dkk (1994: 10), dalam bukunya mengenai pengantar teori filologi, menyebutkan bahwa dari segi kandungan isinya naskah-naskah nenek moyang bangsa Indonesia menyimpan banyak informasi, seperti pengobatan, sejarah, ajaran-ajaran agama, dsb. Naskah-naskah yang menyimpan ajaran agama Islam banyak yang menggunakan tulisan Arab, Jawa, dan Pegon (Arab-Jawa), hal ini sangat penting untuk memahami sejarah perkembangan dan kehidupan agama Islam di Indonesia. Dari sini artefak budaya nampak sebagai akar kekuatan terciptanya identitas dan jatidiri bangsa, dan akhirnya terhindar dari posisi Indonesia yang subordinat atau pincang dalam posisi epigonis.

Usaha semacam itu tidak bisa lepas dukungan dari multi-pihak. Yang penting tetap konsisten dan tidak ditunggangi oleh beberapa kepentingan sepihak. Seperti apa yang sering terjadi belakangan ini, mendalami filologi karena unsur keterpaksaan—bertendensi untuk meraih beasiswa dan gelar semata. Padahal setelah gelar diraih, mereka akan demostikasi atau sekedar sadar budaya di lidah (penjinakan sosial budaya). Serangkaian ini akan memberikan perenungan kepada kita—yang terutama berkecimpung di ranah disiplin ilmu filologi. Masalah lain yang muncul, yaitu penelitian di Indonesia yang saat ini lebih memprioritaskan pada telaah teks, persoalan mengenai pengkoleksian dan pemeliharaan diabaikan. Seperti apa yang disinggung oleh Robson (1994: 4-5), keasyikan dengan pelestarian merupakan sebetulnya gejala, bahwa pasiennya sudah mati dan hanya tunggu dikremasi. Untuk itu kita sesegera mungkin melakukan langkah dengan gagasan yang jelas dalam usaha pelestarian dan sasaran dari pencapaian suatu hal.

Memang, pada dasarnya—yang penting untuk dikembangkan bukanlah semata-mata bentuk penelitian filologinya, melainkan lebih pada apresiasi kita terhadap naskah sebagai bagian masa lalu (Lubis, 2001: 6). Sampai saat ini hanya beberapa gelintir orang yang peduli untuk preservasi atau semacam perawatan, penggalian, digitalisasi terhadap naskah-naskah koleksi pribadi di masyarakat. Padahal kalau kita sedikit telusuri lebih dalam, koleksi naskah pribadi yang ada di Kediri, Jombang, dan Lamongan sungguh luar biasa jumlahnya, terutama manuskrip Islam (kitab ajaran). Sekitar abad 18-20 M banyak dilakukan penyalinan manual besar-besaran, terutama oleh sesepuh desa atau beberapa kyai dari pesantren, yaitu berupa kitab wacan (aksara pegon) dan kitab bermakna ”jenggotan” yang sekarang sudah dicetak ulang. Data ini penulis peroleh selama melakukan pelacakan dari kampung-kampung, pondok pesantren kuno, dan pemilik sanggar-sanggar budaya—dari tahun 2007-2010. Bisa dipastikan naskah yang dikoleksi secara pribadi oleh masyarakat Kediri (minus tankunswi), Jombang, dan Lamongan saat ini—yang belum terungkap jumlahnya sekitar 5.000-lebih, dalam kondisi 70% tidak terawat. Hal ini, dibutuhkan keterampilan atau metode tersendiri untuk melakukan melacak akan keberadaan naskah-naskah tersebut.

Selanjutnya dari konsep dan gagasan di atas, tulisan ini akan menjelaskan konsep naskah, fungsi penulisan (penyalinan) naskah, dan apa saja yang melatar belakangi tradisi pernaskahan pada masa lalu di perkampungan dan pesantren, terutama di wilayah Kediri, Jombang, dan Lamongan begitu luar biasa. Di samping itu, tulisan ini juga akan menggambarkan sedikit mengenai konsep skriptorium dan jejak skriptorium (tempat naskah-naskah dilakukan penyalinan oleh juru tulis) di Kediri, Jombang, dan Lamongan.

Jombang, 13 Juli 2010
*Ini merupakan dokumen/renungan—selama penulis melakukan penelitian di beberapa kolektor-koletor manuskrip di perkampungan dan pesantren-pesantren kuno. (fb: soeketboe@yahoo.com)

Sajak-Sajak Heri Latief

http://www.sastra-indonesia.com/
Lingkaran Api Puisi
: Saut Situmorang

tanah terbelah gempa di hati
matahari kembar terbakar ilusi
abunya melayang dipeluk badai

dunia dalam lingkaran api puisi
dihempas gelombang memori laut
melawan trauma wajib hukumnya

dibacalah sajak penolak bala
jangan biarkan tikus berkeliaran
waspada kita kerna pengalaman

Amsterdam, 21/08/2010



Politik Comberan?

bayangan bulan di atas comberan
panen pahala di bulan ramadhan

janji surga katanya sejuta ampunan
tersihir dosa korupsi di gemerlap berlian
lalu bernapsu menjilati kekuasaan

pameran dagang politik lidah bercabang
siapa berani mencolek harta hasil mencuri
indonesia seperti melihat fatamorgana

dari jauh kayaknya banyak tikus berpesta
ternyata di kandang bi…



Puisi

setelah berdiskusi sampai pagi
penyair kembali berpuisi

mengasah batin
memompa nyali

sajak ditulis demi keadilan
bakarlah semua hayalan!

Amsterdam, 19/08/2010

Sajak-Sajak Mardi Luhung

http://www.sastra-indonesia.com/
KUBUR PANJANG

Dalam usianya yang ke-700, dia kembali bangkit dari kuburnya. Berjalan ke pantai dan pergi mencari sore. Sambil sesekali mengingati tubuhnya yang limbung. Lewat perseteruan ujung parang. Dan kesetiaan untuk tetap menyimpan rahasia. Yang telah dititipkan guru. Saat seluruh bandar yang dipijak masih seperti lembaran lontar yang kosong. Yang bolong.

Dan ususnya terburai. Limpa dan hatinya yang keluar diseretnya. Lima ekor kera cuma menatap. Rimbun pohon setigi merunduk sesaat dia lewat. Meski langkahnya lebam seperti diarah ketam. Lalu seekor belibis melintas. Di sebelahnya, ada yang menunggang sapu terbang. Perawakannya kabur. Tapi, rasanya, selalu menyebut nama istri sunan yang tak mau dimadu: “Dinda, Dinda!”

Di karang yang licin dia pun bersedekuh. Matanya terpicing. Tapi langit keruh. Apa perseteruan ujung parang yang melimbungkan tubuhnya dulu telah mengusir sore? Ya, dia pun terlentang. Seluruh tubuhnya penat. Dan rahasia guru masih disimpannya. Disimpan di jantung sebelah dalam. Bersebelahan dengan denyut yang tak bisa berhenti: “Tak-tak-tak…”

“Guru, bagaimana rahasia ini dapat aku lepas,” Akh, racaunya pelan. Dan dari sela bakau yang subur, dia pun melihat istri sunan yang tak mau dimadu itu menangis. Menderas tafsir. Yang isinya: “Ketahuilah, ada yang memang tampak telanjang. Ada pula yang membayang. Di antara keduanya, ada yang terus mengapung. Ada yang terus mengepung. Dan memanjang…”

(Gresik, 2007)



PEMBUANGAN

Dia menipuku. Sebab dia tak punya itikad. Hanya mau
membayar dengan janji. Dan karcis kapal muat ke pulau
yang menumbuhkan nasi hijau, marmer dan losmen kuno
dengan gambar punden. Tapi, anehnya, aku mau saja
ditipunya. Barangkali karena bau tubuhnya. Seperti bau tubuh
wanita kuning. Mata sipit. Yang pernah menulis sekian
serdadu bunuh diri. Hanya karena matahari sedikit usil.
Menurunkan hujan. Dan di kapal muat ini, aku teringat
sepatunya. Sepatu yang juga menipuku. Sepatu perak dengan
gandulan potongan kuping. Yang katanya: “Setiap aku
berjalan, kuping inilah yang akan menguping setiap yang
aku sapa: hai!” Dan di kapal muat ini juga, aku
teringat seragamnya. Seragam yang juga menipuku. Seragam
yang bersulam dua mata. Yang satu juling. Satunya
lagi menyala penuh muslihat. Menyergap setiap yang lewat.
Dan sederet miliknya yang lain. Miliknya yang juga
menipuku. Menipu langsung atau tidak. Dengan ini atau itu.
Dan dengan sentuhan atau cengkraman. Yang kerap
menjelma taring yang keling. Tapi, akh, kapal muat terus saja
melaju. Dan dia tetap menipuku. Dan anehnya, lagi-lagi
aku tetap mau ditipunya. Sebab, di luar semuanya, jika kapal
muat ini nanti tiba di pulau, aku pasti tahu tak akan ada
apa-apa. Kecuali sisa mabuk laut dan muntahan yang pahit.
Sedang di pinggiran pulau, aku akan bertemu dengan
kuburan wanita kuning. Wanita kuning yang baunya aku sukai
itu. Wanita kuning yang pernah berbisik padaku: “Ajari
aku untuk memetik kecapi. Tanpa serdadu, matahari, nasi hijau,
marmer dan juga losmen kuno dengan gambar punden,”
Rantai di kakiku pun menggerincing…

(Gresik, 2007)



KOMALASA

Kapal ramping yang selurup dan menyembul. Merapat. Menurunkan
yang lunglai. Yang melambai. Dan yang merasa masih menyimpan
langgam di mulutnya. Langgam dari perangkat bumbung. Seperti
demam atau dengung di surau. Dengung lembut yang mirip degup.

“Dulu, orang-orang usil yang datang. Juga orang-orang putih, coklat
dan ungu,”

Dan gapura pulau. Apa tidak lebih mirip perut yang terbuka?
Perut meski bergigi, tapi siapa pun bisa masuk. Lalu
berdiam. Dan meraba apa yang bisa diraba: ladang, tambak,
warung sampai pasar yang penuh bulu.

“Dulu, orang-orang yang datang itu menjual bawang, kopi, gula
dan juga tali.”

Matahari makin tinggi. Sebuah kamar dari rumah terbuka. Dan
ketika akan mencatat. Melintas kuntul. Melintas juga yang siaga.
Mengusung senapan. Senapan bagi yang menyusui. Yang punya
selempang di perut dan dada. Dan telapak yang berkuku gasal.

“Itu muskil, itu muskil!” begitu dulu orang-orang yang datang menyela.

Tapi, karena kapal ramping telah henti. Kamar telah terisi. Maka,
lebih baik mandi, keramas dan menaburi bedak di tiap jengkal
keringat. Lalu berkeliling. Seperti si bengal yang mencari
layang-layangnya. Yang tersangkut di genting. Genting dari
rumah orang-orang yang datang dulu itu.

Rumah yang ketika di malam tiba merangkak ke pantai. Dua kaki
dan dua tangannya bersisik keras. Seperti menorehi pasir. Lalu
memberi siratan: “Biarlah hanya surau yang tertinggal. Hanya surau
yang mendengung. Dan menyelimuti kekelabuan pulau.”

“Komalasa, kaukah itu yang telah menyalakan unggun? Dan menaburkan
tungku. Menjelma pernik. Menjelma renik. Tepat ketika angkasa mengelupas
engselnya. Dan yang berkuda berkebat seakan satelit?”

(Gresik 2007)

*) Dari kumpulan puisi Mardi Luhung bertitel “BUWUN” diterbitkan PUstaka puJAngga, 2010.

Sajak-Sajak Gampang Prawoto

http://www.sastra-indonesia.com/
Ziarah Akhir Tahun

aku
debu dari kerikil
kerikil yang terlempar
membinasakan nafsu

aku
embun dari karat
karat malam tanpa cercah cahaya
rembulan telah membangun sawung di atas laut biru
dan mentari di balik bukit membisu

Tuhan
dalam renung menung yang hening
bening
hari-hariku, bulan-bulanku
bahkan tahun tahun-tahunku
“ tidak ada apaapa ”
“ belum ada apaapa ”
hanya darah memerah bercampur nanah
dan dosa-dosa

Subhaanallah
Walhamdulillah
Walaila Haillaallah
Huallah Huakbar

Tuhan
dalam kering dan tandus
percikkan senyum langit biru
pada hati yang kelabu,
remang-remang bahkan gulita

di bulan sucimu
mendung telah bergeser
menjilma jasad penglihatanku
di bulan penuh maghfiroh
akan kutanam benih cahaya
dalam lembaran baru
aroma ziarah wangi bulan ramadhanmu

Kraton Sastra Alas-Jati,12082010



M u n a j a t

Redup mata malamku
melinangkan embun di balik dedaunan
tatkala musim saling berimigrasi,
menukar langit
dan matahari mengernyitkan dahinya

ribuan tahun cahaya adalah sejarah
telapak-telapak malamku
mengendap, memfosil
dalam lelap remang sinar rembulan

Tuhan
pada tenang hijau air telagaMu
gelombang ombak biru kedalaman lautMu
telah hijrah meninggalkan batinku

berjuta hijau rerimbun daun-daun murbei
menyisakan ranting kering
rerintih dan lembab membasah munajatku
dalam dosa-dosaku
doaku
akan kupintal serat-serat ayat suratmu
menjadi gulungan renungan panjang
kutenun lembara-lembaran sajadah sutra
sujud lahir batinku
di sisa hidupku

KratonSastra, 24082010

SERAT KALATIDHA Karya Raden Ngabehi Ranggawarsita

http://www.sastra-indonesia.com/
Dan diterjemahkan oleh Puji Santosa

1. Mangkya darajating praja
kawuryan wus sunya-ruri
rurah pangrehing ukara
karana tanpa palupi.
Ponang parameng-kawi
kawileting tyas malatkung
kongas kasudranira
tidhem tandhaning dumadi.
Hardayengrat dening karoban rubeda.

2. Ratune ratu utama
patihe patih linuwih
pra nayaka tyas raharja
panekare becik-becik
parandene tan dadi
paliyasing kalabendu
Malah sangkin andadra
rubeda kang ngreribedi.
Beda-beda hardane wong sanagara.

3. Katatangi tangisira
sira sang parameng kawi
kawileting tyas duhtita
kataman ing reh wirangi
dening upaya sandi
sumaruna anarawang
panglipur manuhara
met pamrih melik pakolih
temah suh-ha ing karsa tanpa weweka.

4. Dhasar karoban pawarta
babaratan ujar lamis
pinudya dadya pangarsa
wekasan malah kawuri.
Yen pinikir sayekti
pedah apa aneng ngayun
andhedher kaluputan
siniraman banyu lali.
Lamun tuwuh dadi kekembanging beka.

5. Ujaring Panitisastra
awawarah asung peling
ing jaman keneng musibat
wong ambek jatmika kontit.
Mangkono yen niteni.
Pedah apa amituhu
pawarta lalawora
mundhak angroronta ati.
Angur-baya ngiketa cariteng kuna.

6. Keni kinarya darsana
palimbang ala lan becik.
Sayekti akeh kewala
lalakon kang dadi tamsil
masalahing ngaurip
wahanira tinemu
temahan anarima
mupus papasthening takdir
puluh-puluh anglakoni kaelokan.

7. Amenangi jaman edan
ewuh aya ing pambudi
Melu edan nora tahan
yen tan milu anglakoni
boya kaduman melik
kaliren wakasanipun.
Dilalah kersa Allah
begja-begjaning kang lali
luwih begja kang eling lan waspada.

8. Samono iku babasan
padu-paduning kapengin
enggih makoten Man Doplang
bener ingkang ngarani
nanging sajroning batin
sejatine nyamut-nyamut.
Wis tuwa arep apa
muhung mahasing ngasepi
supayantuk parimamaning Hyang Suksma.

9. Beda lan kang wus santosa
kinarilan ing Hyang Widhi
satiba malanganeya
tan susah ngupaya kasil
saking mangunah prapti
Pangeran paring pitulung
marga samaning titah
rupa sabarang pikolih
parandene masih taberi ikhtiyar.

10. Sakadare linakonan
mung tumindak mara ati
angger tan dadi prakara
karana wirayat muni
ikhtiyar iku yekti
pamilihe reh rahayu
sinambi budi daya
kanthi awas lawan eling
kang kaesthi antuka parmaning Suksma.

11. Ya Allah ya Rasulullah
kang sipat murah lan asih
mugi-mugi aparinga
pitulung ingkang nartani
ing alam awal akhir
dumunung ing gesang ulun
mangkya sampun awredha
ing wekasan kadi pundi
mila mugi wontena pitulung Tuwan.

12. Sageda sabar santosa
mati sajroning ngaurip
kalis ing reh huru-hara
murka angkara sumingkir
tarlen meleng melatsih
sanityaseng tyas mamatuh
badharing sapudhendha
antuk wajar sawatawis
borong angga suwarga mesi martaya.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut:

ZAMAN RUSAK
Raden Ngabehi Ranggawarsita

1. Sekarang derajat negara
terlihat telah suram
pelaksanaan undang-undang sudah rusak
karena tanpa teladan.
Kini, Sang Pujangga
hatinya diliputi rasa sedih, prihatin
tampak jelas kehina-dinannya
amat suram tanda-tanda kehidupan
akibat kesukaran duniawi, bertubi-tubi kebanjiran bencana.

2. Raja yang tengah berkuasa adalah raja utama
perdana menterinya pun seorang yang terpilih
para menteri juga bercita-cita menyejahterakan rakyat
pegawai aparatnya pun baik-baik,
meski demikian tidak menjadi
penolak atas zaman terkutuk ini,
malahan keadaan semakin menjadi-jadi
berbagai rintangan yang mengganggu
berbeda-beda perbuatan angkara orang seluruh negara.

3. Daripada menangis sedih, bangkitlah
wahai Sang Pujangga
meski diliputi penuh duka cita
mendapatkan rasa malu
atas berbagai fitnahan orang.
Mereka yang mendekatimu bergaul,
menghibur, seolah membuat enak hatimu,
padahal bermaksud memperoleh keuntungan,
sehingga merusak cita-cita luhur, karena tanpa kehati-hatianmu.

4. Dasarnya terbetik berbagai berita,
kabar angin yang berujar munafik
Sang Pujangga hendak diangkat menjadi pemuka,
akhirnya malahan berada di belakang.
Apabila dipikir-pikir dengan benar
berfaedah apa berada di muka?
Menanam benih-benih kesalahan
disirami oleh air kelupaan
apabila tumbuh berkembang menjadi kesukaran.

5. Menurut buku Panitisastra
memberi ajaran dan peringatan
di dalam zaman yang penuh bencana
bahwa orang berjiwa bijak justru kalah dan berada di belakang.
Demikian apabila mau memperhatikan tanda-tanda zaman.
Apakah gunanya kita percaya
pada berita-berita kosong
justru terasa semakin menyakitkan hati
lebih baik menulis cerita-cerita kuna.

6. Hal itu dapat digunakan sebagai teladan
untuk membandingkan hal buruk dan baik.
Tentunya banyak juga
lakuan-lakuan yang menjadi contoh
tentang masalah-masalah hidup
hingga akhirnya ditemukannya,
keadaan tawakal (narima),
menyadari akan ketentuan takdir Tuhan,
bagaimana pula hal ini mengalami keanehan.

7. Menghadapi zaman edan
keadaan menjadi serba sulit
turut serta edan tidak tahan
apabila tidak turut serta melakukan
tidak mendapatkan bagian
akhirnya menderita kelaparan.
Sudah kehendak Tuhan Allah
betapun bahagianya orang yang lupa
lebih berbahagia mereka yang sadar dan waspada.

8. Demikianlah perumpamaannya
padahal mereka menginginkan,
bukankah demikian Paman Doplang?
Benar juga yang menyangkanya,
namun di dalam batin
sesungguhnya hal itu masih jauh.
Sudah tua mau apalagi,
sebaiknya menjauhkan diri dari keramaian duniawi
supaya mendapatkan anugerah kasih Tuhan Yang Maha Esa.

9. Berbeda bagi mereka yang telah teguh sentosa jiwanya
dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa
betapapun tingkah laku perbuatannya
tidak susah untuk mendapatkan penghasilan
oleh karena dari datangnya pertolongan Tuhan
Tuhan senantiasa memberi petunjuk dan pertolongan
jalannya melalui sesama makhluk
berupa segala sesuatu yang bermanfaat.
Meskipun demikian, dia masih tetap tekun rajin berusaha.

10. Sekadar menjalani hidup
hanya semata bertindak mengenakan hati
asalkan tidak menjadi suatu masalah
dengan memperhatikan petuah orang tua
bahwa ikhtiar itu sesungguhnya
memilih jalan agar selamat
sambil terus berusaha
disertai dengan awas dan sadar
yang bertujuan agar mendapatkan kasih anugerah Tuhan.

11. Ya Allah, ya Rasulullah
yang bersifat pemurah dan pengasih
semoga berkenan melimpahkan
pertolongan yang menyelamatkan
di dunia hingga ke akhirat
tempat hidup hamba
padahal sekarang (hamba) sudah tua
pada akhirnya nanti bagaimana (terserah),
maka semoga ada pertolongan Tuhan.

12. Semoga dapat sabar sentausa
laksana mati di dalam hidup
terbebas dari segala kerusuhan,
angkara murka, tamak, loba menyingkir semua
tiada lain karena berkonsentrasi diri memohon kasih Tuhan
senantiasa melatih hatinya patuh
agar dapat mengurungkan kutukan
sehingga mendapatkan sinar terang sekadarnya
berserah diri agar dapat masuk surga yang berisi keabadian.

(Teks asli bahasa Jawa diambil dari Bratakesawa (ed). 1959. Djangka Ranggawarsitan. Cetakan ketiga. Yogyakarta: Kulawarga Bratakesawa. Terjemahan bahasa Indonesia dilakukan oleh Puji Santosa).

[Puji Santosa adalah peneliti bidang kebahasaan dan kesusastraan pada Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, pernah menjabat sebagai Kepala Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah (2006—2008), alumnus magister humaniora dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (2002), dan kini menjabat sebagai Koordinator Jabatan Fungsional di lingkungan Pusat Bahasa. Naskah ini dimuat dalam Kakilangit 161/Mei 2010, halaman 1—13; Sisipan Majalah Sastra Horison Tahun XLIV, Nomor 5/2010. Mei 2010).http://www.facebook.com/topic.php?uid=151560011581&topic=16181

Mantan

M.D. Atmaja
http://www.sastra-indonesia.com/

Dhimas Gathuk menyandarkan tubuhnya di pematang sawah ketika iring-iringan mobil melaju kencang di jalan setapak yang menuju ke tengah pusat Kelurahan Luruh Indon.

“Pejabat lewat.” Ungkap Dhimas Gathuk tanpa mengangkat kepala. “Jalan kok seperti milik mereka sendiri. Wus… wus… seenaknya sendiri.”

“Halah, Dhi, kok apa-apa kamu komentari. Dan gak ada yang bener buat kamu.” Sahut Kangmas Gothak sambil membersihkan lumpur dengan aliran sungai.

“Hehehehehe.. namanya juga komentator, Kang. Pasti, seenaknya sendiri.” Ungkap Dhimas Gathuk mengangkat kepala menyaksikan Kakangnya yang tengah membungkuk dan menggosok kaki.

Hitam lumpur yang menempel lama kelamaan tersapu air sungai. Warna yang tadinya jernih menjadi keruh. Hitam itu mengalir. Lama kelamaan memudar.

“Kang,” panggil Dhimas Gathuk namun Kakangnya tidak menyahuti atau mengangkat kepala. “sepertinya enak ya jadi pejabat.”

“Sepertinya, Dhi. Wang sinawang.”

“Lha, sudah gajinya besar, jalan dipakai sendiri, Kang. Semua orang suruh minggir.”

“Hehehehehe.. aku gak tahu, Dhi.” Kangmas Gothak naik dari sungai, “Semua itu kan sudah ada jatahnya sendiri.”

“Kok mereka tidak membuat jalan sendiri, Kang. Kan ada rumah dinas. Lha, tidak sekalian minta jalan dinas?”

“Halah, aneh-aneh.”

“Kamu punya banyak kenalan pejabat, Kang. Siapa tahu nanti Kakang bisa jadi pejabat.”

“Heh,”

“Berandai, Kang.” Sahut Dhimas Gathuk, “Dulu si Pak Miko itu juga temanmu di Serikat Rakyat Demokrat to, Kang?”

“Iya. Teman seperjuangan.”

“Nah, Pak Miko kan sudah menjabat. Kok Kakang belum?”

Kangmas Gothak langsung memfokuskan diri pada adiknya. Dhimas Gathuk cukup terkenal dengan sifat isengnya. Menggosipkan pejabat. Mencari seluk beluk kesalahan. Siang ini terlihat berbeda. Kangmas Gothak menyelidik. Saudara muda yang cerewet.

“Kamu ingin aku jadi pejabat, Dhi?”

“Bukan keinginan, Kang, siapa tahu dengan Kakang Gothak menjadi pejabat, nasib orang seperti adikmu ini bisa lebih baik.”

“Aku tidak berani berjanji, Dhi. Terlalu banyak godaan. Mendingan tetap seperti ini saja. Tidak beresiko.”

“Lho, memang resiko apa, Kang?” sahut Dhimas Gathuk sambil bangkit dari tidurannya.

“Kalau aku lupa bagaimana?”

“Lupa pada apa, Kang?”

“Lupa pada perjuangan yang sekarang.”

Dhimas Gathuk kini memfokuskan diri. Mencermati Kakangnya seseksama mungkin. Lalu menggelengkan kepala.

“Sistem itu akan melumatku habis, Dhi. Bau lumpur petani teramat sulit untuk tercium. Aku takut, Dhi, kalau justru lupa.”

Dhimas Gathuk mengedipkan mata dengan cepat. Menyaksikan Kakangnya yang menerawang. Ia melihat kepedihan di mata itu. Kepedihan yang terendam di dalam kalbu dan tak terungkapkan. Mata Kakangnya sudah seperti bola kaca yang berkilauan. Pada saat itu lah, Dhimas Gathuk sedih.

“Kalau tidak mau ya sudah, Kang. Jangan jadi pejabat. Jangan lupa pada perjuanganmu.” Dhimas Gathuk mencoba menarik kata-katanya.

Kangmas Gothak menggelengkan kepala. “Lebih baik seperti ini, Dhi. Tetap bisa berjuang sekuat tenaga. Mempertaruhkan apa pun yang ada. Jangan sampai, justru hilang ingatan akan perjuangan. Karena tidak ada mantan pejuang, Dhi.”

“Iya, Kang. Aku tahu.”

“Halah, sudah, Dhi. Lebih baik kita terus bertani. Menanam untuk memanen.” Ungkap Kangmas Gothak yang kemudian bangkit untuk turun ke sawah kembali.

Dhimas Gathuk masih memandangi Kakangnya. Air yang tadi ditumpahkan, masih utuh. Ketika saudara tua itu bangkit dan menghambur ke lumpur, Dhimas Gathuk merasakan bulu romanya berdiri, “Pejuang tidak boleh lupa dengan perjuangannya, sebab tidak ada mantan pejuang!” pikir Dhimas Gathuk sambil terus mengamati Kakangnya.

Bantul – Studio SDS Fictionbooks, 28 Agustus 2010.

19/08/10

PERI KECIL DAN DEWA MALAM

Kirana Kejora
http://www.sastra-indonesia.com/

CINTA MAYA
”Virus hampa telah rajam hati malam ini dewa…”
Larasati mulai membuka sapa mayanya di Yahoo Messenger pada sebuah id dewa_malam. Sambil dia pilih lagu-lagu cinta di mp3-nya. Teralunlah Dealova-nya Once…aku ingin menjadi mimpi indah dalam tidurmu…aku ingin kau tahu bahwaku selalu memujamu…

”Jingga lembayung tumpah dalam genangan, menyentuh kerling mata senja”
Laras nampak tersenyum ciut, sambil mata kejoranya menatap layar monitor PC- nya.
”Genangan asmara peri kecil dengan dewa malamnya..siangku bersenandung hampa tanpa ujarmu..kenapa tak kau runuti jejak hatiku yang kosong hari ini? Riakmupun tak kutemui, tak ada sentuh relungku..aku sedih…”
”Janganlah air mata tumpah tanpa ada di dadaku.”
”Namun kapan kau rasa hangatnya air mata di dada itu?”
”Saat rindumu mencapai klimaks, maka pejamkan matamu, panggil aku dengan mantramu.”

”Tak kah kau rasa asa pelukku? Setiap malam cekam rajam tubuh peri kecilmu?”
”Aku akan ada dengan keseluruhanmu.”
”Peri kecilmu jiwanya mulai sakit.”
”Dewa malammupun semakin gila! Makin sadar bahwa birahinya menjadi sumber inspirasinya! Tanpanya aku hilang!”
”Ketika birahi datang melanda, apa yang akan kamu lakukan? Make love dengan dewi mayamu?”
”Mendatangi kamar suciku, bercinta dengan tubuhku, mencipta dewi mayaku..kamu Peri Kecil.”
”The candle make love? Kita bikin sebuah mahakarya…kolaborasi yang indah sepasang pujangga khayal!”
”Ya! Sebuah cerita panjang tentang kisahnya sendiri…Perkawinan Surga judulnya.”

”Penulisnya cukup dewa malam feat peri kecil.”
”Perkawinan Surga/Kuda, Ksatria, dan Peri Kecil.”
”Jangan…better..Perkawinan Surga/Dewa Malam dan Peri Kecil.”
”Peri, kurang menggigit sub judulnya.”
”Ya sudah, bagaimana kalau begini saja, Perkawinan Surga/Kuda, Dewa Malam dan Peri Kecil.”
”Ya…bagus begitu Periku, bagaimana alurnya?”
”Energi Dewa Malamku bisa jadi jiwa tulisan itu, ketika real kita bertemu, tergantung aura pertemuan cinta kita kelak.”
”Peri Kecil dan Dewa Malam yang menemukan makna cinta sesungguhnya, cinta yang selama ini dianggapnya telah hilang.”

”Kali ini kita bikin skenario buat perjalanan kita sendiri…bukan fiksi murni Dewa…dan kau tahu, aku selalu bikin hentakan yang menyakitkan pembacanya di akhir cerpen-cerpenku selama ini.”
”Tunggu! Aku tak ingin kau un happy-kan tulisan ini, ingat, ini kolaborasi Dewa Malam dan Peri Kecil…tak bisa Peri Kecil egois dengan pilihannya..dan please, kamu jadi mengingatkanku dengan seseorang…NGGAK!”
”Kenapa kamu Dewa? Kamu telah bikin sakit seseorang? Atau kamu telah membuat sebuah luka?”

Tak ada jawaban…berhentilah kalimat-kalimat maya mereka berdua…tiba-tiba Dewa Malam offline. Wajah putih Laras semakin memucat, dia kernyitkan dahi, dan tangan kirinya mengambil HP yang tergeletak di samping kiri monitor PC-nya. Dia cari nama Dewa Malam dalam daftar contacts HP-nya.

Terdengar nada tunggu begitu panjang, tanpa jawaban…Kau tahu mengapa, percintaan ini, kembali terjadi, Tuhan semoga ini menjadi…suratan takdirku..hidup bersamanya, hingga maut memisahkan..Tuhan semoga ini terjadi…Tuhan Kau tahu, cintaku, tlah jatuh kepadanya…hati dan juga hidupku, tlah kuserahkan kepadanya..Tuhan Kau tahu…suara flamboyan Ari Lasso dengan Tuhan Kau Tahu-nya..begitu menyayat hati Larasati.
Lalu dimatikannya HP, Laras termenung, membatin,”Apa yang salah padaku? Aku telah menyakitinya Tuhan?”

Segera dia meninggalkan pesan di inbox ym dewa_malam, setelah sebelumnya dia klik Pujaanku milik Melly feat Jimmo. Larut dalam lagu hati adalah energi Laras buat menulis apa yang menjadi cerca pikir buat rehatkan hatinya, yang sesungguhnya sudah sangat lelah dengan sebuah kembara cintanya selama ini.
Persembahan kalbuku..nantikan dikau di tidur lelapku..pujaanku… Sayatan gitar Anto Hoed membalut kalut hatinya….burung berkicau tanda setia pada pagi, ku dengan engkau tak bisa dipisahkan lagi, jantung kau mintapun kan kuberikan, betapa dalamnya cinta untukmu…

”Kita buat sebuah persembahan nirwana hati yang putih, indah tak bernoda, kan kupakai gaun jingga pemberianmu, yang menjadi selimut sutra tubuhku yang dahaga…”
”Menjaring kekangan di tepian cakrawala, duduk di sutra langit yang terhampar, di belantar ruap yang bangun pura.”
Laras nampak girang, lega, ketika muncul jawaban dewa_malam, yang ternyata online, invisible. Jemarinya makin berenergi meraba huruf demi huruf keyboard PC-nya.
”Hingga aku klimaks pada puncak batas, aku tak tahu bahasa langitmu..terlalu tinggi buat Peri Kecil, yang tetap berusaha jadi telaga hatimu.”
”Aku sembunyi di balik bukit tubuh, yang terhempar di samudra luas, riak meriak mendawai senja, temaram rebah dalam pelukan bulan, menyatu dalam syair birahi, larut dan hilang.

”Ketika kau telah sentuh begitu dahsyat, Peri Kecilmu tak bisa berbuat”
”Sihir pesona tubuh, meradang, memerah bibir, meraih tubuh, mencipta aku dalam bayangan suci terhenti, mengaum, menindih, mencengkeram, dan terkulai
”Belai aku dg syair-syair romanmu yg dalam, peluk aku dalam remang rembulan, ajak aku berdansa dalam roman surgamu…aku lelah menulis orang lain…kali ini syahkan kita menulis tentang dera hati kita…syahkan percintaan nyata kita…tak dalam kembara maya yang hanya lamun khayal semata…kita buang sosok-sosok imajiner kita..saatnya kita bertarung dengan nyata raga, berani bercinta kembali!”

”Why silent?” kusambung sapaku lagi.
”Aku mati kata dan terantuk batu, mendengar syair-syairmu, kataku hilang begitu saja, nggak banyak kata-kata lagi…selain, L A K U K A N!”
”When?”
”Tiga hari lagi, senja menjelang maghrib, ku telah tiba pada pijakan bumimu.”
”Saat penampakan kau dan aku yang sebenarnya…kita akhiri ujaran-ujaran maya ini, buat memulai raba raga nyata..dengan makna cinta yang ada. Kutunggu sambutmu, sungguh.”
”Namun satu pintaku, jangan akhiri kolaborasi cerita ini dengan sebuah kepahitan. Meski selalu katamu…kepahitan, kepedihan itu adalah bagian dari sebuah realita hidup..cinta adalah luka…namun, tak bisakah kita tulis skenario ini dengan indah berbuah senyum?”

Larasati tak bisa menjawab ujaran Dewa Malam kali ini, terpaku diam, entah apa yang menjadi cerca pikirnya malam itu…***

TERHELA NYATA
Sebuah keberanian berkomitmen, tiba saat gelisahkan hati Larasati. Namun satu sisi hatinya, mengiyakannya.

Kembali terngiang wejangan alm. Ibunya,”Sampai kapan kamu bercinta di dunia maya? Tak ada ujungnya Laras, hadapi dengan nyata cinta itu. Berkomitmenlah dengan cinta yang sesungguhnya, kubur semua trauma yang bisa menyakitkanmu setiap saat. Sakitmu karena Diandra, tak harus membuatmu terus melukai diri sendiri, dengan sembunyi. Siapapun pujaanmu itu, ajaklah untuk bertemu…”

Dalam kesenyapan hati, sendiri mendiami rumah joglo yang begitu besar, akhir-akhir ini menjadi alasan kuat Laras untuk mendobrak kelambu-kelambu hitam yang sering membutakan hatinya untuk menguraikannya, melihat matahari menerangi rumah hatinya.

Baginya, telah cukup pertapaan semu ini, meski telah lahir beberapa buku dari kesenyapan hatinya selama ini. Namun saat ini, dia benar-benar ingin menjadi wanita seutuhnya, bercinta kembali, menikmati hidup dalam hangat dekap seorang lelaki sejati. Yang selama ini hanya ada dalam sosok-sosok imajiner novel-novelnya.
”Bangun Laras! Buang impian kamu tentang dia. Elang Lazuardi itu tak pernah ada! Dia hanya ada dalam bumi mayamu! Kamu harus keluar dari rumah gelapmu. Khayalanmu telah melewati batas nadirmu sebagai manusia normal…”

Dia ingat kembali kalimat-kalimat terakhir Jingga…dan tak terasa matanya yang telah lama kering, basah…Larasati menangisi kepergian orang-orang yang dicintainya…ibu, Jingga, Diandra?

Ah! Nggak! Nama terakhir itu tak boleh kutangisi kepergiannya! Go to hell! Namun air matanya makin deras membasahi ranum pipinya, menggenangi dua lesung pipi kanan kirinya. Menangisi sebuah kebodohan! Batinnya.

Tiba-tiba terdengar…wahai cintaku, andaikan kau tahu, bahwa sekali hidupku, hanya untuk mencintaimu, selamanya di hati…selamanya dalam hidupku…Mati Bersamamu-nya Bebi Romeo. Nada panggil Dewa Malam.

Segera Laras menghapus air matanya, diambilnnya HP dari dalam tas ransel hitamnya.
”Peri kecil, aku landing. Dimana posisi kamu? Ok, aku ke sana. Jangan ada getar berlebih karena sua awal ini…”
Tiba-tiba gemuruh riak dalam hati Larasati menjadi ombak besar yang terus menggulung paru-parunya, menyesakkan dadanya. Dia terus menghela nafas panjang.
Sebuah langkah berani, berkomitmen tanpa saling mengenal raga dan wajah! Gila! Sebuah gambling yang terlalu berani, mungkin…entah…begitu batinnya selama ini.

Tak terasa Larasati telah meneguk dua gelas orange juice, namun, minuman dingin itu, tetap tak kuasa mengusir keringat yang terus mengucur dari dahinya. Tissue di atas meja Nirwana Café bandara Juanda-pun, tak kuasa untuk menampik buliran-buliran hangat yang terus muncul di wajahnya.
”Duh! Lama banget ya? 60 menit berlalu, tak muncul jua…paling lama 20 menit telah sampai ke sini..” rutuknya.

Lalu ditelponnya Dewa Malam. Hingga 3 kali, hanya terdengar…. Tuhan Kau tahu, cintaku, tlah jatuh kepadanya, hati dan juga hidupku, tlah kuserahkan kepadanya…kembali penggalan syair Tuhan Kau Tahu-nya Ari Lasso.
”Shitt! You lie me! I hate you!
Tiba-tiba matanya basah, menangisi kebodohannya kali ini. Segera dia membayar bill café, dan keluar café secepatnya. Setengah berlari memanggil taxi.
”Peri kecil…”
Lambaian tangan kiri Larasati untuk menghentikan taxi, tiba-tiba ditangkap jemari kanan lelaki tegap berambut ikal sebahu, yang telah berdiri di samping kanan Larasati.

Setengah terperangah, Laras menoleh, menatap tajam wajah lelaki yang menangkup jemari tangan kirinya, tak kuasa dia melepas jemari tangannya, karena genggaman lelaki itu makin kuat.
Lirih, Larasati membuka bibirnya, berucap,” Dewa malam…”
”Dia seperti Elang Lazuardi-ku Tuhan…” batinnya.
”Kita bicarakan semua kenyataan yang tak pernah terbayang sebelumnya ini…”
Kalimat Dewa Malam, menghentikan lamunan sesaat Larasati. Sambil berjalan, terus memegang erat tangan Peri Kecil, Dewa Malam mengajaknya memasuki Nirwana café. Mereka duduk di sudut kanan café.
Senja yang makin merubung, membuat nyala lilin di meja kayu itu makin nampak terang berpijar.

Dewa Malam menatap tajam mata kejora Larasati, yang masih terpana dengan penampakan raga Dewa Malam. Dia begitu merasa, bertemu dengan sosok imajiner-nya sendiri.
”Aku tahu kalutmu, setelah 1 jam tepat, menungguku…”
Jemari tangan kiri Dewa menambah erat genggaman jemari kanannya menangkup jemari tangan kiri Laras yang terasa makin dingin.
”Jujur, aku telah 40 menit menatapmu dari luar jendela café…aku begitu terkejut, berkali-kali kupelototkan mataku menatapmu, tak percaya Peri Kecilku adalah kamu…”
”Kenapa?”
”Jujur, wajahmu mirip sekali dengan dia…”
”Ah..klise sekali!” tiba-tiba mendidih darah Larasati, terasa ada sesuatu yang membuatnya illfeel dengan kalimat-kalimat Dewa Malam barusan.
”Yakinilah, jujur… Kamu mirip sekali dengan dia, yang telah 3 tahun ini meninggalkanku…”
”Dewa…buat apa berlama-lama dengan imaji-mu? Masa lalumukah yang kau buat persembahan raga kita? Agar aku yakini cintamu? Kamu salah! Aku tak pernah mau dalam baying-bayang masamu! Apapun alasan kamu! Kita sudahi semua cerita konyol ini!”
Dewa semakin tajam menatap mata kejora Larasati. Kali ini, dia begitu nampak serius.
”Dengar Peri Kecil! Dia pergi karena suratan takdir! Dia berada di surga yang sebenarnya, karena dia meninggal dalam sebuah kecelakaan bersama ibunya…dan bersama benih cinta kami di dalam rahimnya…”

Nampak berkaca bening, mata elang Dewa Malam. Dan Larasati begitu merah matanya, tajam menatap mata lelaki yang telah jujur berujar tentang kisahnya. Hatinya mulai bisa meraba siapa Dewa Malam.
”Jadi…kamu Hans?”
Dewa Malam menggangguk, tanpa melepas pandang matanya ke wajah Laras yang makin nampak memerah.
”Ya Tuhan!”
”Kamu mirip sekali dengan Jingga…”
”Jingga tak pernah bercerita tentangmu…tiga hari menjelang peristiwa itu, dia menulis email ke aku, cerita romannya denganmu. Aku memutuskan pergi dari Surabaya, setelah Diandra meninggalkanku begitu saja, aku ingin mengubur semua ceritaku dengan lelaki brengsek itu di Surabaya.”
Sejenak Larasati berhenti bicara, ketika seorang waitress perempuan menyodorkan datfar menu.
”Minum apa kamu Peri? Air jeruk kesukaanmu?”
Larasati menggelengkan kepala, sambil menghela panjang nafasnya.

”Ok, nanti saja mbak…terima kasih.”
Setelah waitress café pergi meninggalkan meja mereka, Larasati melanjutkan ujarannya.
”Bagiku saat itu, Surabaya adalah neraka jahanam… Surabaya kembali menjadi bumi bagiku, setelah orang-orang yang kucintai, yang kutinggalkan selama 3 tahun, telah pergi dengan cintanya buatku. Ibu dan Jingga, menyusulku, menjemputku di tempat pengasinganku, tempat aku begitu larut dengan sosok-sosok imajiner-ku, yang kupikir, begitu tulus memiliki cinta buatku. Ibu dan Jingga begitu mencemaskan aku, karena banyak yang telah menganggapku gila, meski novel-novelku banyak yang menjadi best seller, aku terus hidden, mencintai kesenyapanku di sebuah pondok… lari dari kenyataan pahitnya cinta. Aku tak lebih dari seorang perempuan bodoh! Dosaku terbesar pada Ibu dan Jingga. Hingga maut menjemput mereka hanya sesaat, 10 menit, sebelum mereka menemuiku…untuk menjemput dan memberi tahuku tentang rencana pernikahan kalian.”

”Tapi, kenapa Jingga tak pernah bercerita tentangmu?”
”Sama. Diapun tak pernah bercerita tentangmu…dia tak ingin saudara kembarnya makin nelangsa, dengan tahu kisah roman apiknya denganmu, karena patah hati yang telah membelenggu hidupku selama ini. Aku salah, begitu mengkultuskan cintaku pada Diandra..”
”Sudahlah Peri…”
”Hans, kini kau tahu siapa Peri Kecilmu. Aku tak ingin cintamu jatuh, karena bayang-bayang Jingga, Bidadari Pelangi-mu…”
Hans, menggelengkan kepalanya, menyibakkan ikal rambut yang menutupi sebagian wajahnya.

”Bukankah, Dewa Malam menjatuhkan cintanya pada Peri Kecil, ketika belum tahu raga, wajah Peri Kecil itu? Kita bercinta karena syair roman maya, tanpa tersekat nyata raga mulanya. Dan bagiku, itu sebuah keindahan nirwana cinta yang sebenarnya. Aku tulus memilikinya buatmu Peri Kecilku. Harusnya kamu yakini itu, karena aku telah kubur namaku, Ksatria Malam, buat Bidadari Pelangi, yang nyata telah hilang dari kehidupanku, meski dia dulu pernah singgah begitu dalam, menelusupi ruang hatiku. Tapi itu harus kuakui, hanya masa lalu, yang harus segera kututup, tak perlu kubuka kembali, jika itu membuatku sakit.”

Larasati tak kuasa menatap tatapan tajam Hans, dia buang mukanya, memandangi pesawat yang landing di hamparan lantai beton di depan jendela café.
Burung besi yang telah memiliki masa yang tepat, buat mendaratkan tubuh, roda, dan sayap-sayapnya, ke sebuah landasan yang kuat. Karena dia tak ingin nyawa-nyawa yang terhela di dalam tubuhnya, hilang sia-sia karena salah landasan.
Begitupun hati Laras, mulai menemukan landasannya. Bisa menerima realita cintanya sebagai sang Peri Kecil dengan Hans, sang Dewa Malamnya.
“Inikah cintaku yang sesungguhnya Tuhan? Cintaku pada orang-orang yang mencintaiku dengan tulus? Ibu, Jingga, dan Hans? Maafkan aku Jingga, jika ternyata cintaku jatuh pada Ksatria Malam yang dulu pernah kau miliki…Tuhan, berilah surgamu, buat Jingga yang telah berkorban buatku…” batin Larasati.

Kembali buliran air bening keluar dari mata kejoranya. Jemari kanan Hans, mengusapnya pelan, namun Laras segera menampiknya.
”Biarkan air mata ini keluar Hans…aku ingin menangis buat Jingga. Dia telah berkorban buat cinta kita…persembahan nirwana itu buatnya Hans…”
Hans, memeluk erat Laras, dibiarkannya air mata Laras menghangati dadanya.

”Saat tepat kau tumpahkan semua air mata itu untuk menghangatkan senyap dadaku setelah kepergian Jingga… Bagiku, saat ini dan esok, kaulah Peri Kecilku, cinta nyata dalam hidupku. Jingga adalah seseorang yang membawa cintanya buat kita dalam keabadian nirwana cinta. Kita sama-sama memiliki cinta buatnya.”

Aku menangis mengenangmu…sgala tentangmu ku memanggilmu dalam hati ini…ku memanggilmu dalam hati ini..ku kenang dirimu…Lirih-nya Ari Lasso mengakhiri drama indah Peri Kecil dan Dewa Malam dalam temaram Nirwana café.

Larasati telah menemukan Elang Lazuardi yang sesungguhnya, sosok khayalannya itu, kini ada di hadapannya, memeluknya nyata. Dalam wujud seorang Hans, Dewa Malamnya, Ksatria Malam milik Jingga.
Tulisan hatinya malam itu, begini…Cinta sejati tak pernah terkuak oleh siapapun, hingga kapanpun, karena, cinta sejati tetap abadi menjadi rahasia Dia! Sang Maha Pecinta! Penulis Eksotik Maha Terbaik!

—-
Rumah Putih, awal bulan ke tujuh 07, mengenangmu buat persembahan nirwana cinta, sebuah energi dari dewa malam..

Seketsa Kabut Kabut Silam

Sabrank Suparno
http://www.sastra-indonesia.com/

*) Raja Malaikat Kepincut Bumi

Seperti biasanya, Arsy, istana langit tak pernah sepi. Milyatan malaikat berkumpul mengelilingi Alloh. Tak ada pemandangan lain. Sejauh hamparan mata memandang ruang tak terbatas hanya dipenuhi wajah malaikat. Suara bergemuruh, berkumandang menggema. Tak lain lagi lantunan irama tasbih. Pagi, siang tiada henti. Malaikat itu makhluk statis. Susunan tubuhnya hanya satu jenis partikel zat yang di sebut cahaya. Statis-tetep, tidak bisa berkembang atau memuai. Barangkali kalau dunia ilmuwan modern sekarang menemukan dua zat yang baru lagi yang disebut Bozon dan Firmon. Mungkin partikel sel kromosom malaikat lebih tercipta zat Firmon tersebut. Firmon bukan cahaya dalam bentuk cahaya fisik berkilauan. Tetapi menjelma wujut sang malaikat atau bidadari penolong yang benderang dalam hati, fikiran buntu, judeg, BeTe, kemudian tiba-tiba merasa lega, semangat hidup tumbuh kembali, masalah dengan mudah di atasi, itu lebih karena cahaya Firmon. Cahaya yang bukan cahaya lampu atau matahari. Cahaya fisik hanya menerangi ruang pandangan mata, tetapi cahaya Firmon menerangi hati dan fikiran yang ”notabenenya” tak meruang dan tak mewaktu.

Suatu hari Alloh mengumumkan hari libur, cuti, kepada para malaikat. “ Wahai para malaikatKu, hari ini Aku izinkan kalian semua berlibur. Bertamasyahlah ke seluruh planet yang telah Aku sebarkan. Terbanglah semampumu untuk mengetahui luasnya ruang yang telah Aku bentangkan “. Suruh Alloh sang raja Theokrasi. Ketika itu malaikat masih diwakili lima staf tertinggi. Yakni Azazil, Jibril, Mikail, Izro’il, dan yang terakhir Isro’fil. Karena kehidupan bumi belum ada, manusia belum tercipta, staf Rokib, Atid belum ada. Sebab belum ada tugas nyatat amal baik buruk manusia. Begitu juga Munkar-Nakir juga belum terbentuk. Sebab belum di tugasi mencabut nyawa kehidupan. Pun jua demikian Malik dan Ridwan. Mereka masih tercipta di alam angan untuk mengawasi sorga dan neraka.. Dari 5 malaikat tersebut diatas ada salah satu malaikat yang paling dibanggakan dan di kagumi Alloh. Dia di juluki “ Syayyidul Malaikah “, sesepuh para malaikat. Dia adalah Azazil. Alloh memberi Azazil kelebihan khusus di segala bidang dari pada 4 saudaranya. Azazil di kenal malaikat yang paling taat kepada Alloh. Sedang yang lain hanya berada dibawah stratanya Azazil.

Bersemburatlah para malaikat. Mereka keluar dari Arsy tempat Alloh bersemayam, Melesat cepat dari pintu-pintu Sidrotul Muntaha. Mereka meluncur keberbagai penjuru mata angin dan dua arah vertikal-horisontal. Karena malaikat tercipta dari cahaya dan berbentuk cahaya, maka tak heran jika kecepatan terbang malaikat bisa mencapai 10 x 1010 km/dt. Dalam beberapa jam saja para malaikat itu sudah menempuh jarak sejauh bermilyar-milyar tahun cahaya. Akan tetapi saking luasnya cakrawala yang digelar Alloh, tak sanggup juga malaikat merampungkan perjalanannya. Tak sanggup dan tak pernah sanggup. Sangking luasnya jajaran century dan sangking banyaknya gugusan ganesa.

Terhitung sekian milyart tahun cahaya, para malaikat itu berdatangan pulang kembali ke haribaan Alloh. Yakni Jibril, Mikail, Izro’il dan Isro’fil. Tetapi Azazil tak kelihatan batang hidungnya. Kemana gerangan Azazil? Karena tidak ada yang mengetahui, akhirnya Jibril disuruh pergi kembali mencari keberadaan Azazil kakak tuanya.

Jibril kini mendapat misi ke dua meluncuri jagat raya. Tetapi bertugas mencari kakak tuanya, Azazil, dan bukan seperti tugas semula, bertamasya. Jibril memasang strategi ultra modern. Hal ini karena intensitas proyek yang ditanganinya tergolong mega-sulit. Tak hanya teknologi infra-red, Bluetoot, Wi-fi saja yang diandalkan. Tetapi juga memakai teknik bias pikrometer dan blue energi yang belum dan masih akan ditemukan ilmuwan tahun 2020 mendatang. Kecanggihan mega teknologi Jibril ini tak pelak dengan cepat, Jibril mendapatkan deteksi yang akurat mengenai keberadaan Azazil. Ternyata Azazil sedang asyik bersantai di planet yang bernama bumi. Pada waktu yang bersamaan seolah hand phon Jibril dapat SMS dari Alloh, agar Jibril kalau beretemu Azazil, Jibril diberi kewenangan memaksa Azazil pulang. “ Mas Azazil! aku disuruh Alloh untuk memaksa panjenengan pulang “. Azazil berkomentar untuk tidak bersedia pulang. “ Jibril, sampaikan kepada Alloh meskipun aku di bumi, tetap saja aku bertasbih dan bersujud ke Alloh. Kita ini kan makhluk statis. Meskipun di bumi tetap saja yang kita kerjakan kebaikan. Aku gak krasan di langit, jenuh. Bril……… apa kamu gak merasa! Bumi ini planet masa depan yang mengasyikkan. Di bumi ini nanti akan ada, dan dihuni makhluk yang tingkahnya harmoni dan bersahaja. Ada panjang-ada pendek, tinggi-rendah, tua-muda, atas-bawah, sedih-suka, laki-laki dan perempuan, ada cowok-cewek yang saling berpandangan dan kemudian jatuh cinta. Woww…asyik men….! “ Jadi mas Azazil membantah disuruh Alloh pulang “! Tegas Jibril. Tak urung perkelahian terjadi. Akan tetapi karena Azazil terlalu sakti, Jibril dengan mudah dilempar begitu saja.

Akhirnya Jibril kembali melapor perihal yang terjadi pembangkangan Azazil tersebut. Rapat sidang pleno istana langit kembali digelar. “Rupanya Azazil kesengsem, tertarik dengan bumi yang Aku ciptakan. Dia rupanya jatuh cinta terhadap ciptaanku dan melupakan Aku. ”Oke!, sekarang giliranmu Mikail, turun ke bumi, ambil tanah lempung yang paling baik. Posisi tanah yang baik berada di sekitar kutub selatan dan dekat katulistiwa. Aku hendak membikin saingan cinta untuk menandingi Azazil di bumi. Ayo kita bikin manusia dengan nama Adam“.

*) Tanah Lempung Adam Terbuat Dari Tanah Jawa

Bergegaslah Mikail meluncur ke bumi. Diincarlah tanah subur se-dunia yang posisinya dekat dengan kutub selatan. Dijumpailah tanah yang bernama Jawa. Jauh sebelumnya sudah di adakan study riset di laboratorium of cakrawala. Tanah yang paling subur sedunia diakui negara manapun adalah hamparan Nusantara. Di wilayah nusantara inipun masih di mainset lagi arahnya untuk bisa disebut tanah unggul dan produktif, syaratnya harus ada banyak gunung berapi dan sungai. Maping area di kecilkan lagi dan di temukanlah Jawa Timur. Sebuah wilayah kecil dengan jumlah gunung merapi terbanyak, tanahnya subur, gembur gemah ripah loh jinawi, toto tentrem karto raharjo. Jenis tanaman apa saja tumbuh dengan baik. Kala pagi, sunrise mengintip di ufuk timur. Sinarnnya menerpa dahan-dahan dan dedaunan. Memancar senyum menyaput embun. Jika kilau mentari menerpa bumi pagi itu, sesungguhnya adalah sinar yang telah terpancarkan sejak berjuta-juta tahun lalu di suralaya. Kalau si muka bumi manusia mengalami apa saja hari ini, ketemu jodoh atau kekasih misalnya, sesungguhnya itu sudah di mainset langit sejak di alam ruh dahulu. Burung pagipun mencandai pagi dengan ocehnya. Sambil berloncat, bertelanting diantara dahan. Sesekali menukik bawah, incar ulat, serangga melata. Beraneka bunga mekar tebarkan semerbak harum aneka warna, penuhi pelupuk mata. Tiada negeri seindah Nusantara Jawa ini. Tidak ada sinar mentari dibelahan bumi manapun yang sinarnya sesumringah di bumi Nusantara. Sungguh sorga seakan pernah bocor, dan cipratannya menjadi Nusantara raya ini. Kemungkinan besar tanah lempung yang di bikin sebagai Adam dahulu adalah tanah Jombang. Kalau kita menggeledah, melihat kamus Bahasa Indonesia arti makna Jombang adalah “ tampak elok/cantik. Artinya bakal makhluk yang paling sempurna, paling cantik, yang di lengkapi dengan akal dan budi. Lantas Jombang bagian mana ? Desa apa namanya ? Ilmuan dan ahli kebatinan harus meriset secara ilmiyah, sebab sejauh ini hanya kabut tebal pekat menghalau daras pandangan .

Misi Mikail sebagai penerus gerakan Jibril tidak segampang itu. Sebab seluruh ion-ion atom bumi rupanya sudah didoktrin Azazil untuk memberontak. Indoktrinisasi Azazil berhasil rapi, hingga seluruh jajaran bumi sepakat kalau sebagian tubuhnya di ambil dan di jadikan bahan mentah Adam, bumi menolak.Bumi juga bentangkan sepanduk berdemonstrasi menolak perihal keberadaan manusia di bumi. Bumi meyakini manusia kelak hanya berpotensi merusak bumi dan mengalirkan pertumpahan darah.

Yang dihadapi Mikail lebih berat dari pada Jibril, sebab Azazil menerapkan politik double standtar. Di satu sisi harus menghadapi Azazil, di sisi lain menghadapi bumi itu sendiri. Kekuatan Mikail belumlah sebanding dengan kesaktian Azazil, kecerdikan Mikail dalam berpolitik praktis juga belum sepiawai Azazil. Akhirnya Mikail mengalami kekalahan yang sama dengan Jibril. Ia terpental dan terpukul mundur. Alloh pun segera kirimkan delegasi ke tiga.Yakni Izro’il. Tetapi usahanya serasa sia-sia. Nasib Izro’il tak beda jauh dengan Jibril dan Mikail. Seolah Alloh sudah putus asa. Pasukan langit tinggal satu batalion lagi. Yakni pasukan yang dipimpin Isrofil. Agar Isrofil tidak membikin malu dan membuahkan hasil, Alloh membombardir gerakan Isrofil dengan keras. Alloh juga mengklaim Isrofil, jika gagal dalam misinya. “ Wahai Isrofil…..! Kalau engkau kalah juga dalam melawan kakakmu Azazil, maka tidak Saya perkenankan kembali ke istana langit ini, ingat! camkan baik-baik! “ ancam Alloh. Isrofilpun berangkat. Belajar dari kekalahan tiga kakaknya membuat Isrofil berfikir. Serangan Isrofil berbeda haluan dengan kakak-kakaknya. Isrofil menitik beratkan dengan cara diplomasi dari pada pertumpahan darah, adu kanuragan, dan perhelatan fisik. Konsep pertarungan Isrofil; sepandai-pandai tupai melompat pernah jatuh juga. Sekuat, sesakti apapun kedigjayaan Azazil pasti ada teledornya. Dalam satu hari saja hidup, ada kalanya “ kanggonan joyo “ ada kalanya “ kanggonan apes “. Aji sirep megananda dirapal. Ramuan bedak dioplos dengan asap mesiu dan dicampur obat bius segera ditaburkan. Agaknya tidak sia-sia usahanya. Pada jam yang sudah diperhitungkan berdasarkan pasaran neptu hari, Azazil mulai menguap, matanya merah, daya tahan tubuhnya lemes lunglai. Pada saat itulah Isrofil membujuk bumi untuk mengadakan pertemuan tertutup. Siapa saja dilarang meliput, termasuk wartawan dan media masa. Dalam perjanjian tertutup itu disepakati naskah draf perjanjian, Adapun salah satu konsesi perjanjian itu; Isrofil berjanji mengambil tanah lempung dari bumi dan untuk dibikin adam. Dan apabila Adam sudah mati, jasadnya dipersembahkan lagi sebagai santapan bumi. Kesepakatan ini ditanda tangani kedua belah pihak.

Mengingat keadaan genting, takut keburu Azazil tersadar dari tidurnya, dengan cepat kilat Isrofil menyaut sebat tanah lempung. Sebelum mengepal segenggam tanah di olak-alik lebih dulu. Dilihatlah semua jenis tanah di Jombang. Mula-mula Isrofil menggali tanah di desa Mojokuripan. Namun waktu itu pohon mojonya mati, dan baru di hidupkan kembali, makanya disebut Mojokuripan. Kalau pohonnya mati berarti tanahnya tandus dan kurang bagus. Terus Isrofil bergeser ke timur. Tetapi jenis tanahnya jeblok, lemor atau terlalu becek, tentu sulit jika dibuat patung Adam nanti. Isrofil bergeser ke barat, tetapi tanahnya tambah padas dan keras, makanya disebut desa Badas, kemudian bergeser ke utara, di temui desa Balongrejo, tanah yang berbentuk balong atau jublang, atau rawa-rawa. Isrofil bergeser ke barat, malah bertemu ikan lele. Makanya disebut desa Nglele. Lele adalah jenis makhluk biotik, padahal yang dibutuhkan adalah tanah, , makhluk abiotik. Isrofil meloncat ke barat. Namun cuma bertemu tanah yang berbentuk hutan ( wono ) yang rapi ( kerto ). Dari desa Wonokerto inilah kemudian Isrofil bergeser ke timur. Di sini ada tanah yang di tumbuhi jenis pohon ploso yang kerep(rindang berjajar). Tempat ini bernama desa Plosokerep. Dimungkinkan Isrofil mengambil tanah di Plosokerep ini, ia merasa aman dari jagaan Azazil. Sambil ngumpet di antara rerimbunan pohon ploso yang kerep, Isrofil beranggapan kecil tidak mudah diketahui Azazil. Isrofil menyelinap-nyelinap di antara pohon ploso. Sampailah Isrofil di Plosokerep bagian timur.

*) Penjaga Surga, si Naga & Burung Garuda

Ditempat ini terdapat parit sungai kecil. Sungai yang meskipun kemarau ranau kering kerontang mata airnya tetap mengalir bening. Sumber air yang mengalir berasal dari cela-cela pemulu serabut akar kambium pepohonan. Menetes demi setetes mengalir gemercik. Di tempat inilah Isrofil mengais dan meraup segenggam tanah. Setelah tanah tergenggam, segera beranjak cepat melesat menuju cakrawala. Layaknya pesawat super sonik buatan Rusia, Isrofil sekejap saja sudah sampai di perbatasan atmosfer dan ruang hampa udara. Karena terlalu cepat, tanah dalam genggaman Isrofil itu ada yang semburat dari sela jari-jemarinya. Punceratan tanah itu nyaris menjadi dataran tanah kecil sebuah desa. Isrofil berpesan pada bumi, agar suatu saat nanti desa itu diberi nama ”Dowong”. Yang berasal dari bahasa jawa “kondo o lek lemah iki biyen cikal bakale dadi wong”. Wong, dalam bahasa Indonesia sama artinya dengan manusia.

Perjalanan pulang Isrofil tidak segampang itu. Sesampai di perbatasan atmosfer dan ruang hampa, tiba-tiba Azazil terjaga dari tidurnya. Menyadari apa yang terjadi, bahwa bumi telah di curi, Azazil tersentak jenggirat mengejar Isrofil. Di perbatasan atmosfr nilah Isrofil tertangkap. Dalam pertempuran itu Isrofil lontarkan debat argumentasi. “ Aku ke bumi mengambil tanah lempung bukan keinginanku sendiri, melainkan disuruh Alloh, jadi aku tidak ada urusan dengan siapapun kecuali dengan Alloh. Kalau engkau tidak terima, jangan marah kepadaku, protes saja sendiri kepada Alloh “. Mendengar argumen diplomasi Isrofil selihai ini, Azazil tidak bisa menjawab. Azazil berfikir ”Isrofil dapat dengan mudah aku kalahkan, tetapi dengan Alloh..!”. Cara diplomasi model Isrfoil ini paling efektif bermutu dan rasional. Apalagi jika dipakai konsep toriqot hati. Mengerjakan seseatu dalam hidup hendaknya ihlas. Bukan karena cuma ingin dipandang makhluk. Sebab makhluk menilai kita hanya sebatas usianya saja. Jika makhluk sudah meninggal, berakhir pula penghargaan citra imag buildingnya ke amaliyah kita. Akan tetapi jika kita menyandarkan amal energi kita ke Alloh, maka sampai kiamatpun tetap kita jumpai, tidak hanya sebatas usia manusia saja.

Tanah lempung sudah berhasil dibawah ke istana langit. Semua malaikat dikumpulkan. Seperti niat awal, Alloh berkehendak membikin manusia di bumi sebagai saingan cinta terhadap Azazil. Para malaikat memulai proyeknya atas intruksi intensif Alloh. Karena Alloh adalah satu-satunya desain grafik calon gambar jadinya manusia. Di dalam desain interior dan exterior Adam, ditetapkan bahwa ukuran telapak kaki Adam sepanjang 60 dhiro’. Sedang 1 dhiro’nya lebih kurang sepanjang ujung kuku sampai siku tangan manusia dewasa. Penciptaan manusia ini adalah proyek langit yang paling berat. Perdebatan kesempurnaan terus terjadi di antara insinyur para melaikat mengenai kegunaan, fungsi serta sebab akibat. Proyek pengadaan Adam ini memakan waktu enam masa. Proyek ini juga berhasil menyabet gelar piala rekor aworld sebagai makhluk terbaik yang dilengkapi dengan akal. Perdebatan malaikat yang paling tajam adalah saat membikin kemaluan Adam. Usulan bertubi-tubi dari berbagai fraksi legislatif. Interupsi yang dilancarkan dari 75% fraksi yang hadir, agar ukurannya di perkecil dari ukuran sketsa semula. Alasan interupsi adalah “alat vital satu ini, yang akan menjadi biang kerok keributan dunia. Dibikin kecil saja sudah menghebohkan dunia dengan pemerkosaan dan perselingkuhan, apalagi jika dibikin besar”. Atas dasar perhitungan dan kebijaksanaan yang proporsional akhirnya usulan di setujui Alloh. Proses pembentukan Adam memasuki tahap finishing, ditiupkannya ruh jadilah Adam. Adam memang tercipta dari tanah lempung, akan tetapi bukan karena tanah lempung itu Adam dicipta. Karena apa ? Karena kreatifitas murni ide Alloh. Teori toriqoh ini dapat dikembangkan ke berbagai lelaku kehidupan. Semisal kalau manusia bisa sekolah dan kuliah itu bukan karena orang tuanya kaya, tetapi karna Alloh mengijinkanya. Layaknya manusia tidak perlu sombong. Banyak anak orang kaya yang tidak di takdirkan sekolah dan kuliah. Alloh memang berniat membikin Adam, tetapi hanya ide. Sedang team pelaksananya adalah malaikat. Artinya copyright pihak pertama belum tentu dan sah dilakukan UU oleh pihak kedua. Perusahaan McDonald, KFC dan lain-lain adalah copyright orang Amerika. Akan tetapi perusahaan McDonald dan KFC di Indonesia tidak harus dikerjakan orang Amerika, melainkan sah di masak anak-anak paribumi, asalkan resepnya sama dengan desain resep menu yang ada di Amerika.

Sementara itu Azazil makin akrab dengan bumi. Apalagi dengan pulau jawa. Di pulau jawa, untuk menyebut kata Azazil tentu sulit lidahnya. Di jawa Azazil diganti namanya menjadi Idhajil atau Dajjal. Makanya kalau ada orang yang bertingkah niru Azazil yang gampang kesemsem dengan ciptaannya Alloh, dan melupakan yang mencipta disebut gejajilan.

Kabar terciptanya Adam terdengar langsung sampai kepelosok bumi. Hal ini membuat Idhajil kebakaran jenggot, dan naik pitam. Idhajilpun naik ke langit hendak protes ke Alloh. Ia pergi ke surga tempat proyek pembuatan Adam dikerjakan. Semua media masa memuatnya, termasuk televisi gabungan BBC antariksa.

Tapi na’as bagi Idhajil. Di pintu sorga pertama dijaga oleh naga raksasa besar yang kejam dan bengis. Kesaktian Idhajil tak sangup menandinginya. Namun Idhajil cerdik, ditungunya naga itu dengan sabar. Ketika naga itu menguap, terbukalah mulutnya lebar-lebar. Idhajil kemudian menyelinap masuk melalui mulut naga. Setelah Idhajil dikeluarkan menjadi tai, barulah Idhajil berhasil masuk ke sorga pertama. Di pintu surga kedua, Idhajilpun kesulitan lagi, di pintu ini dijaga burung garuda besar yang kejam dan bengis. Idhajil harus mencari cara. Ia mengubah dirinya menjadi ulat. Di depan garuda ia berkeliat-keliat. Melihat ulat berkeloget, naluri Garuda sebagai pemangsa karnivora tergugah. Dipatoklah ulat tersebut. Setelah dikeluarkan menjadi tai, barulah Idhajil jatuh kesorga dan menemui Adam. Melihat seluruh jajaran malaikat lengkap, untuk menghargai karya besar Alloh yang berupa Adam, semua malaikat disuruh bersujud kepada Adam. Semuanya sujud menghormati Alloh, kecuali Idhajil. Idhajil malah sombong dengan pengingkaran kebodohannya. Bahwa dirinya mengira tercipta dari gen berkelas tinggi. Yakni gen cahaya yang merupakan bayangan Alloh. Alloh menyuruh malaikat bersujud pada Adam hanya untuk menghormati karya Alloh, dan bukan menyembah Adam sebagai Tuhan. Pada saatnya nanti Nusantara pasti akan menjadi central pusat dunia. Sebab ceceran negara kepulaun yang membentang dari Sabang sampai Merauke adalah akibat gempilnya retakan surga jaman alam malakut dulu. Ketika itu Azazil malakukan kesalahan pertamanya. Saat itu Alloh mengadakan kontes desain mode cahaya. Hal yang menakjubkan terjadi. Cahaya hasil desainan peserta dari para malaikat sangat memukau. Memanjang berwarna-warni, meliuk-liuk kilaunya, memancar ronanya dengan kilatan hingar bingar. Dan hasil kontes cahaya waktu itu diabadikan sampai sekarang. Dan akan dipertontonkan kemegahan cahaya surga itu bagi manusia kelak yang mampu memasukinya.

Sejak awal Idhajil memang dianugerahi kahebatan lebih oleh Alloh. Tetapi kehebatan itu sekaligus kekurangan dia. Dalam kontes cahaya inipun Idhajil meraih juara utama. Saking gembiranya, karena menjadi pemenang, Idhajilpun berpesta. Ia mabok sembari berdansa. Terlalu asyik berjoget, Idhajil tak sadar tangannya menyentuh dinding pagar tembok sorga. Pagar surga itu kemudian retak, ambrol, dan berjatuhan kebumi. Jejatuhan puing-puing pagar surga itulah yang berserakan dan menjadi jajaran pulau Nusantara raya ini.

Kapan mimpi manusia penghuni Nusantara ini menjadi kenyataan? Nusantara yang makmur bersahaja bagaikan di sorga. Untuk memasuki Sorga Nusantara baru tidaklah mudah, kecuali kita suatu saat penghuninya mampu menggabungkan dua kekuatan besar ’si Naga dan si Garuda’.

Gerak Kepribadian Diri dalam Kumala Pusaka Kasih

Denny Mizhar
http://www.sastra-indonesia.com/

Pergerakan sastra di Lamongan cukuplah dinamis. Hal tersebut dapat kita lihat pada agenda-agenda sastra di Lamongan, walaupun menurut pengamatan saya masih belum masif. Tidak hanya agenda sastra, tetapi penerbitan buku menjadi media pembacaan atas dinamisnya sastra di Lamongan. Ada penerbit Pustaka Pujangga, Pustaka Ilalang, LA Rose. Baru-baru saja penerbit Pustaka Pujangga, Penerbit yang digawangi oleh penyair Nurel Javissyarqi menerbitkan buku-buku baru. Kebanyakan buku yang diterbitkan adalah buku sastra. Salah satunya adalah Novel Kumala Pusaka Kasih Karya A. Rodhi Murtadho, penulis yang karyanya sudah banyak terjilid dalam buku-buku kumpulan sastra.

Sehabis membaca Novel Kumala Pusaka Kasih tersebut ada beberapa hal yang mengelitik buat saya. Di antaranya alur cerita. Hal tersebut serupa yang diungkap oleh Bambang Kempling sastrawan Lamongan dalam komentarnya di caver belakang buku: “Imajinasi yang kuat bahkan terkadang nyasar ke dalam dunia jungkir balik dengan metafor-metafor yang dapat menjadikan pembaca terperangah….”. Dari kejutan-kejutan yang di hadirkan oleh penulis yang membuat alurnya berbolak-balik. Hal tersebut membuat rasa penasaran menguat. Bagaimana nasib para tokoh dalam kisah novel tersebut.

Selain alur cerita yang menjadi menarik dan dapat dijadikan kajian secara psikologis adalah nasib tokoh-tokoh dalam novel tersebut. Novel ini menceritakan bagaimana kepribadian yang bermuasal dari masa lalu hinggap dalam perjalanan masa-masa ke depan tokoh-tokohnya. Untuk memulai mengungkapnya hasil dari pembacaan, baiknya saya tulisankan puisi yang berjudul “Anak” karya Kahlil Gibran dalam bukunya Sang Nabi:

ANAK
Anak-mu bukan milikmu.
Mereka putera-puteri Sang Hidup
yang rindu pada diri sendiri.
Lewat engkau mereka lahir,
namun tidak dari engkau
Mereka ada padamu, tetapi bukan hakmu.

Berikan mereka kasih sayangmu,
tetapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu,
sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri.
Patut kau berikan rumah untuk raganya,
tetapi tidak untuk jiwanya.

Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
yang tiada dapat kaukunjungi, sekalipun dalam impian.

Kau boleh berusaha menyerupai mereka,
namun jangan membuat mereka menyerupaimu.
Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
pun tidak tenggelam di masa lampau.

Kau busur,
dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur.
Sang Pemanah maha tahu sasaran bidikan keabadian,
Dia merentangmu dengan kekuasaanNya,
hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.
Meliuklah dengan sukacita dalam rentangan tangan Sang Pemanah
Sebab Dia mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat,
sebagaimana pula dikasihiNya busur yang mantap.

Puisi di atas mengantarkan saya atas pemahaman dari masalah-masalah yang timbul dari konflik-konflik para tokoh. Bahwa ternyata masa kanak adalah masa yang menentukan bagaimana anak tersebut memiliki kepribadian diri di masa depanya. Dalam Novel Kumala Pusaka Kasih, mengisahkan seorang anak yang lahir dari keluarga harmonis pada awalnya tetapi selanjutnya menjadi berantakan. Ketika keharmonisan seorang Bapak dan Ibu tak dirasakannya lagi. Bapak selingkuh dengan sekertarisnya di perusahaan yang dipimpin. Ibu pun tak mau kalah membalas dengan perselingkuhan juga. Namanya anak kecil di ajak ke mana saja sama orang tuanya pasti akan menurut. Yang diinginkan adalah senang dan dapat mainan. Kumajas nama anak itu. Dengan segala ingatan masa lalu yang mempengaruhi kepribadiaannya. Hingga dia bertemu Eliza lalu bersetubuh dengannya. Tetapi tidak hanya bercinta dengan Eliza, Kumajas juga berhubungan badan dengan Hendry teman sekerjanya. Eliza ternyata punya masa lalu yang tidak indah. ketika kecil dia mendapat julukan nonok artinya kemaluan perempuan. Eliza ditinggal oleh bapaknya, sebab itu dia seakan tidak bisa memunculkan rasa hormat pada laki-laki. Dia ingin seperti Ibunya ketika melihat ibunya bercinta sama bapaknya ketika Bapaknya masih ada. Dan Eliza melihat Ibunya mengalahkan Bapaknya hingga tak berdaya.

Tak ubahnya Hendry juga memiliki masa kanak yang aneh. Dia mengidap kleptomani. Yakni mencuri untuk kesenangan meskipun barang yang dicurinya tidak ada guna bagi dirinya. Kedua orang tua Hendry membawa ke psikiater hingga dukun tapi tak ada kesembuhan. Malah paranormal yang hendak menyembuhkan memberikan nasehat, hanya orang tuanya sendiri yang mampu menyembuhkan penyakitnya
.
Masa kecil memberi bekas luka ketika hari telah beranjak dewasa. Saya melihat pada dialog Kumajas pada Ibunya “Lantas, aku meniru siapa? aku berasal dari kalian, kehidupan pertamaku dan mengukirkanku dengan jiwa kalian” (hal 25). Pembrontakan Kumajas adalah bentuk dari pengakuannya bahwa yang menjadikan dirinya begitu adalah masa kanaknya dan yang mengajarkan dirinya tidak bermoral dalah orang tuanya.

Nah, dari situ saya dapat menarik kesimpulan tentang teorinya Sigmund Freud tentang masa-masa dalam pertumbuhan yang berpengaruh dalam kepribadian seseorang. Hal senada juga diungkapkan oleh Supaat I. Lathief penulis buku sastra “Eksistensialisme-Mistisisme Religius” dalam komentarnya atas novel tersebut bahwa novel Kumala Pusaka Kasih berusaha membongkar abnormalitas sex dan kehidupan pribadi kumajas dengan teori Sigmund Freud.

Sebuah karya sastra memang realitas yang hidup. Dihidupi tokoh-tokoh yang bersuara dalam ceritanya. Bisa jadi hal tersebut adalah cermin kondisi yang diamati ataupun dialami penulis. Maka, teks sastra pun dapat dijadikan kajian untuk melihat fenomena-fenomena yang terjadi dalam arus budaya yang terjadi melingkupi penulis. Bisa jadi juga hasil dari perenungan-perenungan penulis yang memunculkan ide dan gagasan-gagasan baru serta memberi petunjuk bagi pembacanya atau bagi ilmuwan sastra ataupun non sastra. Karena ilmu itu holistik tidak parsial. seperti halnya Novel ini, bentuknya sastra yang merangkai fenomena psikologis.

Novel Kumala Pusaka Kasih yang di tulis oleh A. Rodhi Murtadho menarik untuk dibaca dan dijadikan pengayaan kajian psikologi serta maramaikan gerak sastra Indonesia khusunya novel.

Judul: Kumala Pusaka Kasih
Penulis: A. Rodhi Murtadho
Cetakan: I, Februari 2010
Hal : 12 X 19 cm 196 Hlm
Penerbit : PUstaka puJAngga

Melirik Sajak “Perjalanan” Charles Baudelaire

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=480


Aku tak pernah mengukur suhu tubuhku dengan alat ukur. Namun dapatlah terasa, sebab telah akrab membawaku kemana pun pergi. Hampir beberapa hari ini aku tidak menulis, hanya perbaiki tulisan lama yang belum tegak berkaki-kaki kefitrohan sebagai hasil cipta.

Betapa kejiwaan tiada lepas kondisi badan, pun tidak bisa diabaikan jalinan pencernaan, yang membentuk karakter menentukan tapak-tapak langkah bathin pula yang wadak.

Yang mengintriki timbangan nasib mengakibatkan sepyuran air di depan cahaya menghasilkan lengkung pelangi, meneguhkan corak yang tengah direngkuh bersama bayang-bayang harapan.

Alam puitik sewujud uap naluri, yang peka perasaannya memandangi lelingkup sehari-hari. Mencerna lewat perenungan dalam, mengkombinasi antara materi pula yang non materi tergayuh keyakinan musti.

Keimanan bergumul dalam tungku peleburan realitas goda mencipta sesosok gagasan, atau layang-layang ditarik ulur benang-benang hawatir terus-menerus.

Ada merekah selaksa pecahnya mentari fajar di ufuk selat kemungkinan, ini seharusnya dikejar angin berkabar kesembuhan. Selesung pipit bersenyum sumringah sedari kungkungan rapuh jasad lusa.

Tidakkah peristiwa sakit serupa mengaduk bahan merekatkan lem pada kertas-kertas yang hendak dibuhulkan buku. Pula letak penyeimbang bacaan dengan yang ingin menyimak nyanyian masa depan.

Ketika menulis berkeseluruhan jiwa, terpesona tidak terkira. Ketakjuban menyerupai tangan tengada, bukan pengemis meminta. Ada jerih ikhtiar lenguhan gelisah berharap-harap cemas berkesaksian mendung bergelayutan sehitam arang, tetapi tidak juga hendak menurunkan geraian hujan.

Dia rekatkan kebetulan-kebetulan waktu demi mendukung yang diidamkan. Bersama sentakan hebat, lahirlah yang musti dirapal. Mantra tiba-tiba meluncur sedari mulut keserupan, dalam kejiwaan dirupai kemenjadian lebih daripada realitas.

Yang dituliskan sekadar menyampaikan kesaksian, tidak hendak mengguratkan tekanan urat syaraf di luar pandangan. Terkesima suara wewarna perubahan menyertai, terbentuklah alam kalimah panggilan terbaca. Diteruskan paduan nada, hukum keindahan menyetubuh mereka bersapa di atas kedudukan mempesona.

Puisi itu kumpulan padat waktu persilangan ruang peristiwa diendapkan, dileburkan ke dalam harmoni musikal dipunyai. Awal semangat mulanya pancaroba dari padatan mencair jelma hembusan bayu nyanyian.

Olehnya, penyampai patut rela kondisi apapun bergojalak demi melayarkan kata-kata, bergulung menggelombang membenturkan tubuh ke batuan karang keangkuhan; waktu-waktu kebodohan, sambillau merasa terhibur pantai emas kejayaan.

Namun menaik-turunkan melodi kecantikan, memandang sedari kejauhan berkedip terdekat; kalbu tertambatkan kilauan puitik yang ditenggak jiwa-jiwa merdeka, atau para pencari dari generasi setelahnya.

Lantas ditinggikan hasil iktisarnya atau setiap kata yang terbilang puisi, kumpulan capaian sudut kemilau tersendiri. Bilangan cerlang dipantulkan, kelembutan bersimpan kharisma masa, pamor ruang abad-abad ditelusuri.

Maka cahaya kepenyairan menyerupai jalinan sukma kenabian yang selalu ada di setiap jaman, turun-temurun mengikuti gejolak bangsa yang terkandung dalam dirinya.

Atas itu, pribadi penyair bukan hasil dicetak, namun yang terbit dari kesetiaan menggelandang melakoni hayat mencahayai sesama. Ini tanggungan umur diterima anugerah hidup pada perasaan berlipat kepekaan. Jikalau tidak melaksanakan, tertutuplah pepintu siratan yang membenderangi hidupnya.

Menyerupai kebuntuan akal, daya jangkaunya ketul tidak setajam parang diasah, tiada melahirkan rutinitan purnakan kedalaman bathinnya. Jadi batu-batu gesek perasaan dipegangnya (:prinsip), memercik kilataan menandai gairah dari tingkatan sedurungnya.

Menambahkan tekstur tulisan ini lebih kentara, serta nafas-nafasnya pada bentukan akhir. Marilah simak sajak Charles Baudelaire, bertitel
LE VOYAGE / PERJALANAN:

Maut, nahkoda tua! Sudah waktunya kita bertolak
Betapa jeleknya negeri ini, O Maut! Pasang layar!
Walau langit dan lautan hitam bagai tinta
Jantung kita mencat sinar-sinar merah berpijar

Curahkan racunmu atas kami agar kami tawakkal
Oleh sebab api ini terlalu membara dalam kepala
Kami akan menyelam ke dasar lautan, Surga atau Neraka
Ke daerah tak dikenal, di mana Yang Baru
menghembus dari hadapan.

[dijumput dari buku Sajak-Sajak Modern Perancis Dalam Dua Bahasa, disusun Wing Kardjo, Pustaka Jaya, cetakan kedua, Januari 1975].

Sang penyair diberikan kesaksian melampaui jamannya, memerindingkan penyaksi. Di mana perjalanan hidup, nasib bumi tua keriput, bakal bertolak menghadap kehadirat Maut.

Layar-layar kudu dikembangkan lekas sebelum disergap pemangsa, meski bayangan buram sehitam tinta menyamudra, oleh awan-gemawan kelam di atasnya memayungi perasaan was-was.

Tetaplah jantung mencerna kejadian menyiratkan sinar merah, memantulkan pijaran cahaya menantang yang bakalan tiba; racun kebinasaan, takut mencekam-menekan diharapkan tawakalnya menebal.

Api menyala di kepala menghanguskan fikiran tinggal intuisi semata, menyelam ke dasar ketakmungkinan, kebahagiaan dan celaka. Daerah asing paling wingit yang dulu dongengan bagi tidurnya anak-anak srigala, sehembusan bukit-bukit tua menghadapkan diri penuh percaya.

Menyerap segenap kejadian ditatanya membentuk tumpukan bebatuan waktu. Luka-luka jemari, kalbu lembut memar dipukuli masa, disayat-sayat peristiwa kian matang memaknai akhir maut tidak tergoyahkan.

Kejatuhan musti, batang kata-kata dilahirkan takdir benderang keyakinan, dia curahkan jiwa yang papa demi terbukanya hijab yang menyelimuti selama ini. Menginginkan kenyataan dirindu, serta telah lama ditinggalkan goda ayunan timbangan masa lalu.

Jikalau terjerat hukuman mati, berharap lekas dipenggal lehernya demi menuntaskan pandangan dunia yang tidak saling memberi makna, kecuali jatuhnya embun pengadilan.

Demi kedatangan benar-benar merasai, betapa yang dipanggul selama ini padat mendebar setiap waktu. Menyusuri jalan pedaskan mata, menulikan telinga, sampai perjalanan hidupnya kepada Kuasa segenap alam raya.

Insan penyair mengindit beban tambah lama memberat sebab tanjakan. Kala sampai tujuan akhir, bukan kecewa. Dia peroleh kesaksian lebih, telah tertembus lapisan yang ada dan tembuslah lelapisan tiada.

Menyusuri lorong tidak ditemukan jalan lain. Ini bukan berbicara batas kemampuan tetapi dunia terhampar telah menyatu dalam diri. Ialah ingin lenyap bersama, tertimpa cahaya di tengah malam tepat mengenai tubuh terlentang, lantas diperoleh kenikmatan ganjil yang tidak dirasai sebelumnya.

Seperti batasan lidah mencecap rasa, maut diterima rela. Seorang hamba terpesona, segera mendatangi panggilan petir gemawan. Memerindingkan dedaunan bayu, mengangkat tingkatan rahayu dalam keseluruhan bathin penyampai kepada Sang Penghulu.

Perdebatan Hukum dan Sastra

Wahyu Heriyadi*
http://www.lampungpost.com/

Fiat justitia ruat caelum atau yang lebih dikenal dengan tegakkan hukum walaupun langit runtuh, merupakan kalimat yang sering disebut oleh orang-orang yang berprofesi di bidang hukum.

Laman Wikipedia mencatat kalimat berbahasa Latin tersebut menurut Charler Sumner, politisi Inggris di abad 19, diambil dari epos Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM), epos ini diprasastikan oleh Arian, bukunya Operasi Militer Alexandria mencatatkan drama ini. Pada zaman Romawi, kalimat tersebut juga dikatakan berasal dari drama Piso’s Justice oleh Seneca penyair Romawi dalam De Ira (On Anger). Dalam cerita tersebut, kalimat fiat justitia ruat caelum dimaksudkan sebagai alasan pembenar untuk menghukum siapa saja asalkan ada hukuman yang telah ditetapkan.

Sastra, memang seakan tidak berada pada wilayah yang membantu ilmu hukum atau diberi titik taut apabila kita membuka-buka lagi buku pengantar ilmu hukum karena dalam perkembangannya ilmu hukum positif ini dipengaruhi August Comte yang memperkenalkan studi fisika menjadi paradigma di ilmu sosial. Di sini hukum sangat dipengaruhi pandangan positivisme yang seakan tidak menempatkan sastra ataupun fiksi ke dalamnya. August Comte mengandaikan bahwa objek studi itu benda mati, bisa menjadi bahan refleksi betapa ilmu hukum positif mengafirmasi kerangka teoretis itu.

Namun bukan berarti sastra dikesampingkan begitu saja dalam perkembangan hukum. Justru kemudian hukum dan sastra merupakan sebuah gerakan interdisipliner dalam perkembangan pengetahuan, metode, dan pendekatan keilmuan.

Meskipun buku-buku mengenai bahasa hukum telah ada, wilayah hukum dan sastra tidak bertempat dan berkenan di sana. Bahasa hukum berdasar pada alasan hukum dan cara berpikir hukum. Sebab, dalam bahasa hukum, sejalan dengan pola hukum yang normatif dan positifistik.

Awaludin Marwan (2009) dalam tulisannya Dekonstruksi Teks Hukum; Ketika Derrida Memikirkan Hukum, mengungkapkan bahwa ilmu hukum positif mengumpamakan objek studi itu benda mati, sehingga Wetboek van Stafrecht (yang diterjemahkan oleh Moeljatno menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) menerjemahkan konsep itu dalam pasal “barang siapa”. Kata “barang siapa” ini memberi isyarat bahwa paradigma ilmu hukum positif telah terpengaruh kuat ajaran Comte. Objek studi yang memprioritaskan kepastian, seperti fisika bersyaratkan benda mati. Ketentuan “barang siapa” dalam KUHP diandaikan seperti manusia yang ditranformasikan dalam benda mati, sehingga hati nurani-moralitas-hasrat tidak mendapat tempat. Kata “barang siapa” juga menunjukkan penggunaan metafora yang mengibaratkan manusia seperti benda mati. Mungkin dengan metode tersebutlah “kepastian” dapat dijamin, dan barangkali inilah yang mengilhami ide subtansial asas kepastian hukum.

Derrida mengemukakan bahwa teori itu adalah tak ubahnya metafora. Tak ada bedanya antara teori dengan sastra puisi dan novel karena semua mengungkapkan pengandaian yang diwakilkan dalam bahasa. Betapapun hebatnya teori, ia tak bisa meninggalkan metafora, dan itu membuat novel dengan teori sama kedudukannya. Tak ada yang istimewa dan tak ada yang lebih baik. Dua bentuk tulisan tersebut memiliki derajat yang sama. Dua-duanya sama-sama menggunakan metafora. Begitupun dengan hukum, di mana teks perundangan dan putusan hakim tak bisa dilepaskan dari metafora, ia tetap sarat dengan metafora.

Namun, ketika Marwan mengungkapkan the Death of Author apabila dikatkan dengan hukum berarti menjadi matinya negara, tak luput dan lebih mengena adalah matinya pembuat peraturan (the death of legislator) atau matinya putusan hakim (the death of yurisprudence). Di sini baik itu legislator maupun yurisprudensi adalah author.

Gary Minda dalam bukunya yang terbit tahun 1995, Postmodern Legal Movements: Law and Jurisprudence at Century’s End, membagi jurisprudential movements tahun 1980an sebagai berikut: Hukum dan ekonomi, critical legal studies (CLS), legal feminist theory, hukum dan sastra, critical race theory. Semua itu bermuara dari gerakan CLS yang diproklamasikan pada 1977 pada sebuah konferensi ahli hukum di University of Wisconsin, Madison, AS. CLS menerapkan gagasan, teori dan filsafat post-modernisme pada studi hukum. Banyak teori dari ilmu-ilmu lain digunakan dan diterapkan untuk memajukan teori hukum, termasuk teori sastra.

Hukum dan Sastra ini mulai berkembang sejak bukunya James Boyd Whites yang berjudul The Legal Imagination: Studies in the Nature of Legal Thought and Expression terbit tahun 1973. Whites merupakan profesor di bidang hukum, bahasa Inggris, dan studi klasik di Universitas Michigan. Buku tersebut mengembangkan pemikiran bahwa studi sastra seharusnya dimasukkan ke dalam pendidikan hukum karena dalam beberapa karya sastra terdapat tema tentang hukum dan pengadilan.

Melalui Cultural Backround of The Legal Imagination (2006), White mengemukakan hubungan antara hukum dan seni bahasa berawal dari sejarah Eropa. Seperti di Yunani dan Romawi, pakar hukum umumnya adalah ahli dalam retorika sebab retorika merupakan pokok dari pendidikan di Eropa hingga sekitar abad ke 17 sehingga kepercayaan pada pendidikan yang baik di bidang humaniora pada masa lalu adalah penting untuk perkembangan hukum.

Di Eropa, universitas yang terdapat fakultas hukumnya secara alamiah terhubung ke filsafat, sejarah, filologi, dan teologi.

Selain istilah hukum dan sastra (law and literature) juga dikenal istilah hukum dan fiksi (law and fiction). Tulisan Kurniawan (2002) tentang hukum dan fiksi. Hukum dan fiksi ini dibagi ke dalam hukum menyambangi fiksi (law as literature) kemudian fiksi menyambangi hukum (law in literature). Kurniawan mengungkapkan penggunaan istilah hukum dan fiksi agar lebih lentur dalam pengelompokannya. Namun istilah fiksi hukum yang dikemukakan Kurniawan nantinya tumpang tindih dengan teori fiksi hukum yang mengungkapkan bahwa apabila suatu peraturan telah ditetapkan, seluruh masyarakat dianggap telah mengetahui.

Hukum dalam sastra (law in literature), pandangan ini penekannya adalah tema hukum dalam wilayah sastra. Maka fokusnya adalah buku-buku karya sastra yang bertemakan hukum karena buku sastra bertemakan hukum itu akan bermanfaat untuk memahami hukum. Sebuah pertanyaan mendasar hukum dalam sastra ini, misalnya, apakah Apologia karya Socrates, drama Merchant of Venice karya Shakespeare, novel-novel karya John Grisham, Serat Cabolek karya Yasadipura, Carita Pondok karya Ahmad Bakri, Cerita Buntak karya Asarpin dapat memberi tahu kita untuk memahami hukum?

Hukum sebagai sastra, pandangan ini membaca hukum melalu pendekatan kajian dan teori sastra, analisis dan kritik sastra. Hal ini berkaitan dengan pemanfaatan ilmu-ilmu bidang lain ke dalam hukum. Metode yang dilakukan adalah memahami teks hukum melalui pendekatan interpretasi, analisis dan kritik sastra. Sebuah bentuk pencarian untuk menerapkan metode kritik sastra kepada teks hukum.

Richard Weisberg dari Cardozo Law School menyarankan bahwa dikotomi antara law in literature dan law as literature untuk saat ini dapat ditinjau dengan cara Law in Literature sebagai agenda untuk memperkaya khasanah pendidikan ke arah perspektif law as literature. Buku-buku fiksi hebat pada abad 19 dan 20, ternyata menawarkan tradisi hermeunitik yang responsif terhadap post-modern dalam menginterpretasi hukum. Tetapi Ronald Dworkin, Stanley Eugene Fish, dan Owen Fiss menolak penyatuan dikotomi antara law in literature dan law as literature.

Studi-studi tersebut dimaksudkan untuk menyediakan pendekatan alternatif dalam studi hukum. Karena dominasi paradigma legal positivisme sebagai studi hukum arus utama dianggap tidak mampu menjawab berbagai persoalan yang berkembang di masyarakat jika hanya mengandalkan paradigma legal positivisme. Sehingga hubungan antara hukum dan sastra saat ini adalah tak terbantahkan.

*) Peminat critical legal studies, lulusan Universitas Lampung.

NIETZSCHE DAN KEMATIAN TUHAN DALAM SEBUAH REFLEKSI

Imamuddin SA
http://www.sastra-indonesia.com/

Ini bukan omong kosong, melainkan sesuatu yang benar-benar terjadi. Ini adalah realitas kehidupan dari dulu hingga sekarang. Fenomena ini kerap dipandang sebelah mata oleh kalangan-kalangan tetentu, padahal jika mereka bersedia menelisik kedalaman makna, mereka akan menemukan sesuatu yang besar yang sanggup dijadikan perenungan, permenungan serta refleksi terhadap realitas yang ada. Mereka tidak akan menganggap bahwa kata-kata ini bukan sebuah kata bualan yang terpancar dari mulut seorang radikal ateistik. Andaikan kata-kata ini benar merupakan ujaran dari seorang radikal ateistik, paling tidak mereka dapat mengambil sisi baiknya, sebab segala sesuatu yang ada pasti mengandung nilai yang dapat diambil dan dijadikan sebuah pembelajaran bagi diri pribadi.

Coba, cermati serta telisik kembali ungkapan ini serta kantongi nilai-nilainya. Ini merupakan harapan serta tantangan bagi anda semua untuk bisa menghargai kata-kata atau pengujarnya agar tidak selalu berpandangan picik atau culas terhadap realitas hidup dan kehidupan yang sedang menyapa.

“Tuhan telah mati!”! Ungkapan Nietzsche dalam Sabda Zaratustranya inilah yang dari zaman dahulu sampai sekarang seolah-olah menjelma sebagai virus dalam diri manusia. Virus ini terus menggerogoti logika dan perasaan manusia. Ungkapan ini selalu dianggap sebagai virus yang mematikan yang harus segera dibumihanguskan. Padahal jika diperhatikan lebih jauh, ungkapan ini merupakan cambuk pengingat bagi mereka yang telah lalai. Cambuk bagi mereka yang selalu mengutamakan esensi dan eksistensi pribadi hingga mereka menjual, mematahakan dan bahkan membunuh eksistensi Tuhan dalam dirinya.

Ungkapan “Tuhan telah mati”mengandung nilai filosofis yang begitu dahsyat. Kematian ini bukan mengarah pada kematian esensi (dzat), melainkan mengarah pada kematian eksistensi (wewenang dan perintah) Tuhan dalam diri seorang manusia..

Secara kodrati, dzat Tuhan bersifat kekal dan abadi. Keberadaanya selalu ada melampaui ruang dan waktu serta menjadi poros kehidupan. Begitu juga dengan eksistensi Tuhan. Secara kodrati eksistensi Tuhan juga bersifat kekal dan abadi, namun dalam realitasnya eksistensi inilah yang kerapa dikebiri oleh pribadi seseorang. Ia kerapa dibantai dan ditiadakan.

Bentuk pembantaian serta peniadaan eksistensi Tuhan mungkin terlihat jelas pada waktu itu, sehingga dengan seketika pula Nietzsche mengujarkan kata-kata tersebut. Pada waktu itu manusia banyak yang beralih pandangan. Mereka selalu mengejar kenikmatan duniawi yang bersifat sementara dibandingkan dengan mengabdi kepada Tuhan. Mereka menghalalkan segala cara demi kepuasan tersebut. Mereka kerap berbuat curang, culas terhadap sesama, dan bahkan mereka kerap membuat kerusakan-kerusakan di muka bumi hanya demi kepuasan nafsiahnya semata. Di sinilah letak pembantaian dan peniadaan eksistensi Tuhan dalam diri seorang manusia. Wewenang dan perintah-Nya untuk bertaqwa dan tidak membuat kerusakan di muka bumi telah di kebiri dan di tiadakan dari dalam diri pribadinya. Tuhan seolah tidak ada hingga mereka berbuat sewenang-wenang dan semaunya.

Tidakkah telah terungkap jelas, bahwa nafsulah yang telah mengantarkan manusia berada dalam lembah kesesatan. Dialah pengantar manusia untuk berbuat ingkar kepada Tuhan. Olehnya, manusia kini telah beralih melakukan pengagungan dan pemujaan terhadap hakekat Tuhan yang sejati. Manusia telah beralih menuhankan benda-benda, harta, tahta dan lain sebagainya yang merupakan perhiasan dunia yang bersifat semu dan menipu. Orientasi hidupnya kini telah berbelok menuju kebendaan duniawi.

Berkaitan dengan hal tersebut, fenomena semacam itu juga telah dilukiskan beberapa puluh tahun yang lalu sebelum adanya konsep Nietzcsche. Tindakan semacam ini dilakukan oleh Karl Marx. Pada saat itu ia mengkritisi realitas sosial yang terjadi dengan mengatakan bahwa “Agama Itu Candu”. Realitas sosial sudah kacau balau. Agama sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Agama hanya berposisi sebagai alat pemuas kebutuhan nafsiah manusia. Agama hanya dijadikan tunggangan dalam mempertinggi stratifikasi sosial, dan juga untuk mengeruk harta kekayaan demi kepentingan personal seseorang.

Terdapat satu fenomena lain dari konsep ujaran Nietzsche. Konsep ini mungkin juga diperuntukkan bagi mereka yang benar-benar mengabdikan diri terhadap hakekat Tuhan yang sejati. Bagi mereka yang benar-benar mengorientasikan diri hanya kepada hakekat Tuhan yang sejati, maka esensi dan eksistensi tuhan-tuhan yang lain akan ditiadakan. Tuhan yang bersifat kebendaan akan ia bantai habis-habisan, hingga pesonanya tidak ada lagi melekat di dalam diri seorang individu. Contoh saja agama Islam. Dalam agama Islam sudah terlihat jelas lewat kesaksian yang dibuat oleh para pemeluknya. Secara konseptual kesaksian ini berlaku bagi siapa saja yang hendak masuk dalam agam tersebut. Semua orang pasti mengikrarkan ungkapan ini, yaitu ikrar yang bersifat peniadaan terhadap Tuhan yang bersifat kebendaan. Mereka hanya meyakini hanya ada satu Tuhan yaitu Allah. Dialah yang dijadikan sandaran dan tujuan hidup bagi mereka. Dia diyakini sebagai sesuatu yang bersifat kekal, abadi, kuasa, dsan sempurna.

Dalam realitasnya, konsep ini telah ditanamkan bagi siapa saja yang memeluk agama Islam, namun dalam praktik yang sebenarnya masih perlu dipertanyakan. Pertanyaan yang timbul adalah: sudahkah para pemeluk agama Islam menerapakna dengan sepenuh hati konsep tersebut dalam hidup dan kehidupanya? Sudahkah mereka melakukan pembunuhan dan pembantaian terhadap segala sesuatu yang besifat kebendaan dan hanya berorientasi pada Allah semata? Ini menjadi tantangan besar bagi umat Islam untuk melakukan penerapan secara real bukan hanya sekedar dijadikan lipstik atau kaligrafi yang disakralkan.

Coba tengok lebih jauh lagi tentang pembunuhan dan pembantaian Tuhan. Fenomena yang terjadi di dalam dunia sufistik, bahwa ungkapan Tuhan sudah tidak ada lagi. Ungkapan ini mereka ganti dengan istilah kekasih. Tuhan yang notabenenya masih bersifat plural, mereka spesifikkan dengan kata Kekasih. Mereka menggapai dan menuju Tuhan bukan sebagai Tuhan lagi, melainkan sebagai Kekasih yang harus didekati dengan cinta bukan dengan ketakutan-ketakutan. Mereka beranggapan bahwa segala sesuatu yang diberikan Tuhan kepada manusia tidak lain adalah bentuk kasih sayang-Nya, sehingga cara pendekatan diri pun harus dilakukan dengan cinta dan kasih sayang pula.

Perhatikan ungkapan yang diujarkan oleh seorang “Pir” pada Abu Sa’id saat ia berilustrasi hendak bertemu dengan Tuhan. Saat Abu Said ditanya: “Apakah kau ingin bertemu Tuhan?”. Jawab Abu Sa’id: “Tentu saja aku ingin”. Kemuduan “Pir” itu menjawab: ”Jika demikian, kapan pun saat kau sendirian, lantunkan syair ini:

“Tanpa Dikau, oh, Kekasih, setitik pun aku tidak bisa tenang;
Kebaikan-Mu terhadapku tak sanggup kubalas.
Sekali pun setiap helai rambut di tubuhku menjadi lidah,
Ribuan syukur terhadap-Mu tak akan bisa kudaras.”

Dalam syair tersebut dikatakan bahwa Tuhan diibaratkan atau disimbulkan sebagai Kekasih. Ia telah melimpahkan begitu banyak kasih sayang terhadap manusia, sehingga beribu syukur dan terima kasih yang diucapkan seorang manusia terhadap-Nya masih tidak sanggup untuk membalas cinta kasih-Nya, bahkan seumpama helaian rambut yang ada pada tubuh manusia menjelma menjadi lidah dan saling mengucap syukur kepada-Nya, itu pun masih tidak sanggup membalas banyaknya cinta kasih yang telah dianugrahkan kepadanya. Oleh sebab itu, dalam ajaran Islam, setiap kali seseorang hendak melakukan sesuatu hal, ia disunnahkan untuk membaca basmalah. Ini menunjukkan akan bentuk kesaksian terhadap cinta kasih Tuhan yang esa.

Semua orang mengetahui, bahwa seorang sufi selalu mengorientasikan hidup dan kehidupanya hanya kepada Tuhan. Yang ia tuju hanyalah esensi dan eksistensi Tuhan semata. Hal tersebut kerap tercermin melalui ungkapan-ungkapanya, termasuk ungkapan syair di atas yang mengibaratkan Tuhan sebagi Sang Kekasih. Perlu dijadikan catatan, bahwa pengungkapan tersebut merupakan simbol semata. Masih banyak simbol-simbol lain yang merupakan bentuk pembantaian dan pembunuhan terhadap penuhanan benda-benda keduniawian, yaitu harta, tahta, dan lain sebagainya.

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita