27/06/10

RONTAAN TANAH IBU

Sabrank Suparno
http://www.sastra-indonesia.com/

*** Surat surat luapan keluh

Ayah..Bunda..kalian tau gak! Sekarang aku bagaimana?, dan ada di mana? Dalam kembara rantauku, jauuuh sekali. Mengelanai ruang-ruang hampa. Ahirnya aku sampai di suatu tempat yang tak bernama. Tempat ini sunyi, pengap, pekat, sesak, berdinding plasma yang buntu, tak bercerca, tak berjendela. Berjuta tahun aku disini sendirian. Sepi..Ayah..aku takut.! Kian hari kian mencekam Bunda..!

Tak hanya tak bernama Ayah..tapi juga tak berwarna Bunda..! Seluruh hamparan tampak sringkah, kuning kemerah-merahan. Dan jika dipandangi terus, risauku kian geram, galauku numpuk berjubel berbebal-bebal. Judegku tak kunjung berujung. Ruangan ini kadar udaranya, nol koma sekian persen saja. Sesak, sengal. Nafasku sejengkal-jengkal. Hanya sebintik air dari titik nisbi uap yang mencair.

Ini bukan negeri Stepa atau Sabana, yang masih tumbuhkan kaktus dan lumut. Segala sesuatu ada disini, cuma tak bisa dijamah. Anak-anak sejawatku memang berkeliaran Ayah, tapi kami tak bisa sepermainan Bunda..! Anak-anak disini mengerti bertegur sapa, tapi tak punya bahasa. Andai bisa beroral fisik, masih asyik, tapi aku hanya bergumam monolog lirih dengan telanan lidah.

Ayah, Bunda, kalian mau tau gak? Ruang disini hanya dipenuhi kabut. Wulau tidak begitu tebal namun juga tidak terlalu tipis. Tiada siang, tiada malam. Gerak hanya tercerap ke satu arah. Dan pada ahirnya berfokus di satu titik muara. Mungkin Bunda bertanya! “Anakku, kalau tidak ada gerak, tidak ada suara, lantas dengan apa kamu mengerti perintah? Sesuatu telah dihunjamkan kepadaku, menancap dalam ke palung diri. Selaksa jemparing lusurkan busur.

Tepat. Selalu tepat dititik koordinat. Ahh, tapi tak mungkin, kenapa juga Bunda harus bertanya. Bukankah Ayah- Bunda sudah singgahi tempat ini sejak berjuta tahu lalu. Dan akan kembali ketempat ini untuk berjuta tahun lagi.

Ayah..! Ini penjara abad..Yaah. bukan hanya aku yang terkurung. Imaji yang telah kurangkai untuk mainan juga terkerangkeng. Meskipun tak susut, juga tak muai.
Seribu tahun sudah aku beranjak. Selama itu pula aku menumpuk seribu tanya. Apakah kalian masih mengenali wajahku? Tidakkah kalian lupa? Aku resah Ayah..Aku kawatir Bunda! Seribu tahun sudah aku tinggalkan kampung halaman. Kadang sampai letih juga rasananya.

***.Surat Letupan damba.

Antara iya dan tidak, sesungguhnya aku sudah diperkenankan pulang menjenguk kalian berdua. Aku retakkan dinding waktu dengan tenaga cinta. Aku memasuki atmosfer. Aku mengunjungi bumi, bermandian kilatan benderang matahari. Berbasuh kilauan bulan purnama. Saat udara pongah, aku diterpa angin dengan silirnya. Saat lidahku keluh, kualamatkan mimikku sekedar bergumam mencandai awan-awan berarak. Saat rabun rimang mataku, kubelalakkan di hijau dedaunan dan pucuk padi. Saat bising dengarku, aku plongkan di derunya ombak yang berdeburan. Saat gerah badanku, aku berbalur sketsa mega yang tergelar di sepanjang kaki cakrawala.

Ayah.. aku adalah garis-garis cinta yang berserakan. Garis yang di sadap dari perasan cahaya. Di awal kepulanganku, kan ku”sungkemi”lanskap putihmu yang kosong. Gubahlah aku menjadi jelma yang merona. Bubuhkan serbuk lembut tubuhku sebagai racun bisa busurmu. Semat dan rangkai busur itu di “jemparing cintamu”. Incar tepat di dada Ibundaku. Melesat dan tancap, sampai Ibunda terkapar. Aku mengerti lelahmu Ayah. Tak gampang memang membidik Ibu. Ingat! Ibu adalah wanita. Wanita yang selalu bersolek di depan kaca. Berpupur bedak Shinta, lipstick Juliet, baju Cinderella, dan pada ahirnya berparas Hawa. Mereka selalu berumus bahwa wanita berbanding sederajat dengan satu gen ovarium yang takberkembang. Saat Ibu sekarat , tangannya terus mendekap luka. Luka mengangah yang selalu dirawatnya dengan helaian kain putihnya.

Aku membawa hutang-hutang yang menumpuk di angkasa. Ajari aku melunasinya. Aku memanggili kalian tiap malam ketaman cinta,tuk mananam bunga penuh makna yang paginya bermekaran di halama rumah. Bebijian subur di lahan gembur. Aku tak ingin tumbuh sekeras aku memecah batu. Ayah ..aku tak perlu bunda seribu, cukup satu saja namun serasa seribu.
Aku kangen pada hujan yang menggelendengku ke tengah lapang. Sekedar berbasah kuyup, likatan lumpur sekujur badan. Diam-diam aku merancang tangis, maksa kalian membopongku. Aku belum tertawa sebelum kalian mendekat, aku baluri lumpur sesudahnya. Ha..ha..ha..kita bermain hujan bersama. Lumpur dan hujan adalah debu untuk bertayamum pengganti wudlu.

Antar tidurku diayunan ninabobo kisah percintaan kalian. Apa kehebatan Bunda, hingga Ayah merengkuh Bunda, padahal ada milyatan wanita. Setelah jauh lelap dan pulas, aku mengigau-ngigau minta boneka India. Esok kusapa pagi dengan tangisan. Kubuang.Kulelehkan. Kuhabiskan berpuluh-puluh tetes jatah airmata hidupku, agar jika berpacaran kelak,aku tak lagi kebagian linangan. Sesekali aku selahi hari dengan tangisan, aku takut dengan luka dan kecacatan. Cacat yang berakibat ulah Ayah- Bunda yang tak bisa saling menerima kekurangan.

Namai aku Bre`.Lahir dari rahim mulia, yang dibuai benih cinta penuh kasih. Kedahsyatan cinta kalian menghantarku goncangkan dunia.
Bunda.. air susumu bagaikan putauw, yang kutenggak tiap tiap aku ingin manja. Sembari aku merekam lagumu, yang kuputar ulang nanti didepan sejarah. Ahhh..Bunda, aku besarkan sel-sel kromosom tubuhku dengan cairnya cinta kasihmu. Ku kebalkan kependekaranku dengan putih sucinya ketulusanmu. Tak hanya manja, akupun bergenit mesrah. Aku tidak nakal Bunda, kalau aku sibukkanmu dengan hangat kencingku, agar bunda mengerti,setiap orang tua itu muara kekencingan masalah.

Ayah-Bunda. Terlampau jauh aku mengulum angan. Meski fatamorga serasa jatiku telah menjelma. Sementara aku tetap disini. Ditempat tak bernama, ada, namun tak nyata. Entah berapa hari, bulan, dan tahun lagi yang aku semai dengan ahiran hampa.
Ayah-Bundaku. Disini aku terus menjerit, meraung- raung lengking, meratap-ratap, menunggu kalian segera menjemput, bebaskan aku.
Tapi kalian malah sibuk bersolek tampang demi ambisi. Kalian terus berkilah demi gemuruhnya dunia. Kalian bersumpal telinga dari lengkingan ratapku. Entah berapa musim lagi tegamu mengelantangku dirantau ini. Apalah arti kalian tanpa hadirku. Waktuku jangan kalian curi.

Segeralah Ayah! Cari, taksir, tembak, cintai, pacari, pinang, nikahi Ibunda tanpa syarat apapun. Sebab syarat hanyalah buatku cacat.
Segeralah Bunda! Gaet Ayah dengan cantikmu, walau engkau tak jelita. Lantarmu pada Ayah, lantarku jua. Sedangkan baktimu adalah geriangku.
Kejam kejamnya kejam adalah Ibunda yang tak segera menyusuiku. Borgol kerangkengku akan berlepasan saat gending ditabuh dihari pelaminan kalian. Dan…sesudahnya..aku pasti datang.
Namai aku Bre`! lahir dari rahim wanita mulia, ditaburi benih cinta penuh kasih.
*****

*) Petani, Pencetak bata, Cerpenis, kolomnis, Pemerhati budhaya. Aktif di komunitas Padhang mBulan dan penulis Jombang, bergiat di Lincak sastra dowong. Tergabung bersama sasterawan muda Jawa Timur. Beralamat di Dowong, Ds. Plosokerep. Kec. Sumobito. Kab. Jombang Jawa Timur
Hp:081-359-913-627

Pembantu Bintang Lima

A Rodhi Murtadho
http://www.sastra-indonesia.com/

Pembantu bintang lima. Sudah menjadi cita-cita Lina untuk menjadi pembantu. Sejak keinginan itu tebersit dalam benak. Berbagai usaha pun dilakukan untuk mewujudkannya. Belajar dari berbagai macam bacaan yang ada di sekolah. Magang langsung menjadi pembantu ataupun bergabung dalam organisasi masyarakat yang kerjanya membantu orang. Semua itu dilakukan untuk mencapai pangkat tertinggi pembantu. Bintang lima. Setara dengan jendral, pikirnya. Tentu saja akan menjadi terobosan baru dalam dunia karir perempuan.

Koran, majalah, radio, televisi, dan berbagai macam media memberitakan bencana yang sedang terjadi. Catatan jumlah korban dan kerugian. Terpampang begitu jelas. Total keseluruhan yang jelas makin bertambah.

Lina mengemasi peralatan pembantu yang ia gunakan. Perlengkapan yang selalu ia bawa setiap ingin membantu. Menjadi pembantu. Darah ‘O’ yang ia punyai. Sejumlah uang yang memenuhi tasnya. Beberapa koper pakaian bertumpuk. Buku pelajaran, buku bacaan buku tulis, dan alat tulis. Kardus-kardus berisi mie instan. Tenaganya juga dipersiapkan.

“Semua sudah masuk ke truk, Pak Marno?” tanya Lina pada sopir truk yang setia menemani.
“Siap Non, tapi…”
“Tapi apa pak?”

Kedua insan yang dipenuhi kegalauan terdiam terpaku. Mematung tak bergerak. Sejenak, Marno ingat truk yang akan dikendarai hampir tak bersolar. Bingung. Uang gajinya bulan ini dari mandor Parjo sudah diberikan kepada istrinya, Marini. Biasanya urusan solar selalu menjadi tanggung jawabnya. Walau sudah jelas kalau memang ada jatah dari mandor Parjo, ayah Lina.

“Tapi apa, Pak Marno?” memecah diam, “nanti sore kita harus berangkat. Kalau semua belum disiapkan, tentu keberangkatan kita bisa tertunda lama.”

“Sol…lar, Non.”
“Lho, bukankah sudah diberikan Ayah. Biasanya selalu begitu kan?”
“Be…betul, Non. Tapi uangnya sudah terlanjur sudah saya saya berikan istri saya untuk SPP anak-anak.”

Marno memang orang yang tak begitu berada. Kehidupan pas-pasan. Rumah kayu sedikit reot. Lantai tak berubin. Roda kelancaran hidup bergantung kepada mandor Parjo. Bekerja kepadanya sebagai sopir truk. Namun akhir-akhir ini harus menuruti perintah mandornya untuk menemani Lina. Keluar kota, bahkan keluar pulau untuk mengangkut segala kebutuhan yang diperlukan.

Lina mengambil beberapa lembar uang dari tasnya. Tak ada perintah berarti dari mulut Lina. Hanya diam. Namun isyarat Lina segera menggegaskan Marno untuk segera berangkat membeli solar. Lina masuk ke dalam rumah. Mengistirahatkan tubuhnya di kamar.

Lina terhenyak ketika tiba-tiba ia sudah sampai di lokasi bencana. Naluri pembantu yang ia punyai seakan musnah. Ia tak bisa menggerakkan dirinya. Kerumunan mayat dan puing-puing kesengsaraan terpampang. Ia merasakan darah golongan donor resepiennya muncrat keluar. Mencari lahan manusia yang kekeringan tak bergerak, tak tersadar. Darah yang ia persiapkan malayang mengitari air mata kesakitan.

“Marno, apa yang terjadi?” gumamnya lirih tak bertenaga. Tak juga ada jawaban dari Marno. Suaranya parau terkalahkan erangan dan isak tangis. Puji selalu ia panjatkan. Ia tak menemukan dirinya. Entah hilang ke mana dan menjadi apa. Tak peduli.

Detak jantung melayangkan pikirannya. Hembusan nafas memelintir otaknya. Bahkan mata yang nyalang dan ambisius redup dalam keremangan senja. Lina ingat bencana yang menimpa negeri. Mungkin sudah layak ia menggantikan jendral. Paling tidak kerjanya lebih cepat dari mereka yang hanya berpangku tangan.

“Saya akan menjadi pembantu bintang lima. Sebentar lagi setelah bencana ini. Paling tidak sudah 67 bencana yang telah saya bantu. Karir saya akan melonjak. Semua orang akan kenal saya sebagi dermawan. Dengan begitu para majikan nantinya akan berpikir seribu kali untuk menggaji saya rendah.”

“Saya tidak sepakat. Kamu ambil untung dari kejadian yang kuciptakan.”

Lina kaget. Matanya dibuka lebar mengawasi. Telinga ia tajamkan. Hidung pun mencari bau datangnya suara. Tangan meraba, mencari bentuk.

“Siapa kau?”
“Aku Bencana.”

Gerakan Lina semakin cepat. Menoleh kiri kanan. Tak mendapatkan siapa pun. Menghendus tak melewatkan anyir darah. Mungkin darah ini yang bicara, pikirnya. Tapi bagaimana? Mana mulutnya? Di mana otaknya?

“Hai Bencana! Kami sudah sulit untuk menciptakan tata keindahan. Mengapa kau selalu ciptakan kehancuran. Apa salah kami? Mengapa kau benci pada manusia?”

“Aku akan selalu membuat kehancuran dan bencana sebagai akibat dari pemanfaatan manusia kepada sesama manusia dan alam. Selalu mengambil keuntungan dari air mata dan darah saudara mereka.”

“Apa maksudmu.”

“Sebuah bencana,” diam sejenak, “memang ada penggalangan bantuan atas nama kemanusiaan. Tapi di balik itu demi nama mereka sendiri. Perjamuan makan di hotel berbintang untuk menggalang dana bagi bencana kelaparan. Nyanyian dan tarian untuk setiap bencana. Bahkan penceramah selalu berkoar mencari-cari siapa yang salah. Bukannya membantu tapi mementingkan nama dirinya dikenal orang lain. Apa itu bukan mencari keuntungan?”

Lina semakin bingung. Tak mengerti apa yang diucapkan oleh Bencana. Mengais-ngais segala ingatannya tentang bencana. Seluruh bencana. Apa yang ditimbulkannya. Untung dan rugi? Apa maksudnya? Semakin Lina bertanya pada apa yang ia sendiri tak mengerti.

“Ingat juga, kalau kamu mau bintang lima atau bintang berapa pun akan saya berikan. Akan saya timbulkan banyak bencana lagi. Dengan begitu kau akan semakin dikenal orang. Dermawan.”

“Tidak. Saya tidak mau.”

“Mengapa kau mesti berubah pikiran. Lakukanlah. Itu sudah menjadi cita-citamu. Menjadi pembantu bintang lima. Sampai majikan akan kalah kaya dengan pembantunya.”

Di kejauhan, Lina seperti melihat dirinya dan Rudi, pacarnya, yang ia tinggalkan demi mencapai cita-citanya. Kekasih yang menyayanginya dengan tulus. Tanpa pamrih. Ia meninggalkannya tanpa alasan yang kurang masuk akal. Demi menjadi pembantu.

“Maafkan saya, Mas, saya harus mewujudkan cita-cita,” Lina melihat dirinya di kejauhan berucap.

“Tidak! Tidak! Bukankah setiap orang akan menjadi pembantu. Sekretaris jadi pembantu direktur. Presiden pun akan jadi pembantu negara. Bahkan seluruh mandor dan majikan akan menjadi pembantu untuk kepentingannya.”

“Tapi saya harus punya predikat bintang lima sampai orang akan segan. Menundukkan kepala setiap berpapasan dengan saya.”

Lina terheran-hern bisa melihat dirinya dan Rudi bercakap-cakap di kejauhan. Bagaimana mungkin dirinya ada dua. Siapa sebenarnya orang yang mirip dirinya.

Sejenak Lina terdiam. Ia kembali kepada lautan mayat. Hamparan kepedihan. Serakan darah. Pikiran yang tertumpah nyaris sia-sia ditelan bencana. Menyanjung segala yang tersisa walau terisak kehilangan.

“Non, kita sudah sampai Sleman. Hampir sampai rumah,” seperti suara Marno mengingatkan.

Lina tergeragap. Pancaran mata yang tak bertuju. Degup jantung tak normal. Cepat. Tersengal-sengal nafas dalam guncangan diri. Pakaiannya basah dengan segala peluh. Asam. Parfum yang sempat ia cipratkan tadi pagi terbuai dalam setiap angin yang menyapa tubuhnya.

“Aku tak butuh bintang lima,” gumam Lina pelan, benar-benar lirih. Mewanti-wanti dirinya agar tak terjebak dalam kubangan kesalahan yang kerap dilakukan atas nama kemanusiaan.

Waktu sudah mengalahkan siang. Matahari sudah lelah dengan panasnya. Meredup di ufuk barat. Sore hari. Sayu-sayu sinar menentramkan. Lina terbangun dari tidurnya dan langsung menemui Marno.

“Marno, jika nanti ada wartawan tanya, jangan dijawab. Jika ada kamera merekam cepat menghindar. Jangan sampai apa yang kita berikan dan lakukan ini tersiar bangga di masyarakat,” ucap Lina pada Marno.

“Eh…bukankah…”

“Tidak,” potong Lina, “kita di sana nanti untuk membantu bukan mencari keuntungan. Lupakan cita-cita saya untuk menjadi pembantu bintang lima. Aku tak perlu lagi. Saya pun sudah berniat berhenti mewujudkan cita-cita itu. Sekarang saya hanya ingin membantu saudara tanpa pamrih.”

Marno makin tak paham yang diucapkan majikan kecil. Sebelumnya Marno malah disuruh mengekspose besar-besaran kegiatan kemanusiaan kepada wartawan. Membicarakan kepada seluruh korban tentang sumbangan yang diberikan. Bahkan kegiatan-kegiatan atas nama kemanusiaan harus dirinci setepat-tepatnya.

“Bencana, saya tidak akan membiarkan pengambilan untung atas nama kemanusiaan. Saya akan memulai dari diri saya, kawan saya, tetangga-tetangga. Kami akan tulus menolong mereka, saudara-saudara yang kau celakai. Yang kau jadikan mereka melarat. Berenang dalam kolam air mata. Tangis yang sudah bercampur darah, air mata, peluh, dan nanah,” Lina berucap pada dirinya.

Truk sudah menunggu. Sore yang telah direncanakan membuat tergesa. Lina masih berada di rumah tapi bencana mulai anyir tercium. Erangannya makin keras. Wujudnya makin jelas di mata Lina. Tangannya pun mulai merasakan kehangatan suhu bentuknya. Kasar. Lina meronta keras. Mengurungkan langkahnya menuju truk. Segera ia mendekati Parjo, ayahnya, yang jatuh tersungkur. Setiap langkah ia gunakan untuk memapah ayahnya yang sudah lemas. Belum sempat keluar rumah, Lina sudah tertimpa atap rumah yang ambruk.

Semilir angin tak menadakan apapun. Keriangan asap mulai berpesta di antara rumah. Melalap semua. Marno hanya terpaku menyaksikan dari kejauhan. Tak ada sempat langkah untuk menolong. Marno hanya mendengar jerit tangis majikan-majikannya. Marno tak bisa berhenti memikirkan. Baru akan mewujudkan ketulusan niat untuk membantu saudara jauh yang tertimpa bencana. Namun bencana sudah memeluk erat Lina dan keluarganya.

Marno semakin cemas. Tak memiliki majikan tentu tak akan memiliki pekerjaan. Tentu juga tak memiliki penghasilan. Marno terus memikirkan cara menghidupi keluarga tanpa majikan. Tak juga ditemukan cara. Marno berlari ke tengah bara api dengan solar berada di tangan. Menyusul majikannya.

Lamongan, 6 Juni 2006

Sirkus Kuda Tante Rosa

Karya: Sevgi Soysal (1936-1976)
Terjemah versi Inggris: Amy Spangler
Terjemah versi Indonesia: Anton Kurnia
http://www.korantempo.com/

PADA umur sebelas, Tante Rosa membaca tulisan di bawah foto Ratu Victoria dalam majalah mingguan Kau dan Dirimu: “Ratu Victoria yang berumur 18 tahun menginspeksi Pasukan Kavaleri Kerajaan. Sekali lagi Yang Mulia berhasil menaklukkan hati pasukan kavaleri dan rakyat seluruh negeri.”

Tak lama setelah mematri dalam memorinya frasa “menaklukkan hati” bersama gambar kuda-kuda yang tampak di dalam foto itu, Tante Rosa memutuskan untuk menjadi pemain akrobat sirkus kuda.

Ketika Rosa memberitahukan keputusannya kepada ibunya, sang ibu sedang membaca kalimat-kalimat berikut dalam cerita bersambung di majalah Kau dan Dirimu: “Bulan demi bulan berlalu, hari berganti minggu, dan lelaki itu, agar tak melihat perut membuncit adik perempuannya dengan hati dicekam dosa, memalingkan pandangannya yang terbakar oleh hasrat bertarung melawan makhluk-makhluk buas. Dan disertai aib atas air mata yang menetes untuk sebab yang tak pantas, serta demi mengeraskan hatinya–yang sebenarnya amat lembut–terhadap bayi tak berdosa yang batal dilahirkan, ia….”

Dengan ngeri ibunda Rosa melempar majalah itu dan berlari menghampiri ayah Rosa, sumber kebahagiaan Rosa selama ini. Ayahnya lelaki yang tegas, tapi selalu seolah tak berdaya di hadapan rengekan Rosa, dan ia memutuskan untuk mengizinkan Rosa bergabung dengan sirkus. Ia memastikan dengan kata-kata tegas mengenai keselamatan Rosa kepada pimpinan kelompok sirkus itu sebelum menyerahkan putrinya.

Pada hari pertama, mereka menunggangkan Rosa di punggung kuda paling liar di sirkus itu. Walaupun dia berkali-kali terjatuh dari kuda hari itu, Rosa kecil yang malang begitu terpesona oleh rok lipit-lipit dan baju pentas yang indah sehingga saat dia pulang dia lupa pada segala rasa sakit tak tertahankan yang mendera bokongnya yang memar-memar dan dengan keras kepala bersikeras tentang mimpinya menjadi pemain akrobat sirkus kuda.

Barulah dia seakan-akan berhenti bermimpi menjadi pemain sirkus kuda setelah ayahnya menampar bokongnya dua kali sebagai pelajaran moral. Namun, ketika ayah Rosa meninggal dunia, ibunda Rosa segera mengubah sikap dan membuat kebijakan baru untuk menjamin kebahagiaan Rosa dengan kawin lagi.

Ayah baru Rosa tak keberatan dengan keinginan Rosa menjadi pemain akrobat sirkus kuda. Maka, Rosa pun kembali ke sirkus. Kali ini Rosa diserahkan kepada pemimpin sirkus tanpa upaya untuk berkata tegas sehingga jelaslah bagi si pemimpin sirkus bahwa kulit bokong Rosa berharga lebih murah daripada buku-buku sekolahnya.

Kini Rosa disambut dengan tangan terbuka. Ketika seorang gadis tak diinginkan menjadi pemain sirkus kuda, dia akan segera ditunggangkan ke punggung kuda liar. Namun, seorang gadis yang dipersiapkan menjadi pemain akrobat sirkus kuda justru tak diizinkan menunggang kuda.

Rosa tak lagi jatuh dari kuda. Alih-alih, dia disuruh mengumpulkan tahi binatang-binatang sirkus dan menjualnya kepada penduduk sekitar sebagai pupuk. Rosa menangis. Dia terus menangis. Pertama, dia membenci kotoran binatang, kedua dia membenci kuda, ketiga dia membenci tulang ekornya karena rasa sakit di bagian itu akibat terhantam tanah adalah satu-satunya kenangan yang bisa diingatnya dari kuda.

Walaupun para psikolog mungkin akan menyatakan bahwa kasus sembelit parah akan diidapnya pada usia tua karena trauma jatuh dari kuda ini, insiden yang berdampak paling dahsyat terhadap hidup Rosa sesungguhnya terjadi pada awal pecah perang yang paling populer pada masa itu.

Pada tahun pertama perang, ketika seragam para opsir masih amat kemilau dan semangat mereka masih berkobar-kobar, suatu malam Rosa menonton pemain akrobat kuda menampilkan jurus-jurusnya melalui sebuah lubang di tenda sirkus seperti yang dia lakukan setiap malam. Dengan dibingkai jari-jari mungilnya untuk mengangakan lubang kecil itu agar menjadi lebih lebar, dia menyaksikan semuanya. Bahkan, bau tahi yang tersisa di jari-jemarinya tak mampu menyadarkannya dari fantasi di kepalanya bahwa dialah yang sedang menampilkan jurus-jurus akrobat kuda di dalam tenda.

Aku melompat di udara dan kini aku mendarat. Aku menunggang punggung kuda. Kuangkat kakiku dan kudengar tepuk tangan membahana. Siapa itu, letnan muda di baris depan yang matanya lebih cemerlang daripada kancing jasnya yang berkilat-kilat? Lelaki itu menatapku. Dia jatuh cinta kepadaku. Dia datang kemari setiap malam, menontonku, lalu pergi. Kini aku akan menampilkan pertunjukan puncak. Hanya untuknya. Jika saja kuda ini bisa menjaga langkahnya sehingga aku punya waktu untuk jungkir balik…. Dan dia… ah, melompat!

Tiba-tiba dia mendengar suara berderak. Bunyi itu menyebar. Semua menjadi benderang. Makin terang. Lalu terdengar jeritan. Panas. Percik api. Nyala api. Kobaran api. Api yang menyelubungi mimpi. Rosa melihat nyala api dengan cepat menjalar memenuhi tenda. Dia melihat para penonton berupaya menyelamatkan diri. Tiang-tiang terbakar. Pemimpin sirkus mengutuk-ngutuk. Bola lampu di atas tenda telah menjadi kelabu karena asap. Semua orang memburu ke arah pintu, tapi pintu itu terlalu sempit.

Namun, yang dia lihat hanyalah si pemain akrobat, dirinya sendiri, tengah menampilkan nomor pamungkas untuk kekasihnya:

Aku baru saja mengangkat sebelah kakiku saat kudengar percikan api pertama diikuti suara jeritan. Kepalaku berdenyut sakit. Butuh beberapa detik bagiku untuk menyadari bahwa kudaku jadi ketakutan dan melemparkanku sehingga kepalaku terbentur pagar besi melingkar pembatas pentas.

Kini kuda itu seperti gila dan maju menerjangku. Tapi aku tidak takut. Aku tahu bahwa lelaki bermata paling cemerlang dengan kancing jas paling berkilat itu akan menyelamatkanku. Dan itulah dia: dia melompati pagar pembatas. Dengan seluruh kekuatannya, dia menarik tali kekang kuda. Kuda itu langsung menjadi jinak seperti domba. Sang pahlawan bergegas menghampiriku. Dia menggendongku dan melompat ke pelana kuda. Ditendangkannya sepatunya ke pinggul kuda dan kami pun berderap keluar tenda. Meninggalkan teriakan, asap, dan api di belakang kami. Dengan kecepatan penuh kami melaju menuju arah matahari terbit.

Rosa tak perlu lagi menguak lubang tenda dengan jemarinya karena api telah membakar tenda, meninggalkan lubang lebar. Rosa melihat kuda itu ketakutan, melemparkan gadis penunggangnya ke tanah dan mundur dengan gerakan liar seperti kuda gila. Dia tak melihat gadis itu terkapar, tapi dia melihat sang letnan muda melompati pagar pembatas. Dalam kecamuk asap kebakaran dan teriakan, hanya lelaki itulah yang dia lihat. Letnan itu lalu melompat ke punggung kuda dan kemudian berderap meninggalkan lokasi kebakaran. Rosa melihat saat sang letnan mengendarai kuda keluar, ia berderap cepat melewati si gadis pemain akrobat kuda.

Tante Rosa melihat foto Ratu Victoria menunggang kuda di majalah Kau dan Dirimu dan tahu bahwa dia tidak akan pernah menjadi pemain akrobat sirkus kuda.

*) Sevgi Soysal (1936-1976) adalah pengarang perempuan kelahiran Turki. Cerita di atas diterjemahkan oleh Anton Kurnia dari versi Inggris Amy Spangler.

Sebuah Mimpi

Agus Sunarto
http://www.suarakarya-online.com/

Semalam saya bermimpi begitu indah, Kang,” kata Rofiq kepada tetangganya. “Saya memasuki kehidupan yang begitu dinamis, tapi tenang dan menggetarkan. Segalanya penuh dengan cinta.”
“Seperti dalam sinetron atau film itu?”

“Bukan tentang manusia baik dan manusia jahat seperti itu. Manusia dalam impian saya, ada dalam ketegangan baik dan buruk. Semua tindakan didukung oleh sebab sosiologis dan psikologis.”
“Ceritanya tentang apa?”
“Tentang sebuah negara yang damai. Tentang masyarakat yang saling membantu.

Tentang kekuasaan yang saling melindungi. Tentang orang pintar yang mendidik. Tentang orang kaya yang menolong. Tentang orang miskin yang optimis. Tentang alam yang begitu indah. Tentang puasa dari nafsu berlebihan.”

Rofiq menerawang mengingat kembali apa yang pernah diimpikannya. Pikiran dan hatinya begitu khusuk merasakan kembali angin kedamaian yang pernah menyentuhnya, kehangatan api yang pernah mengelusnya, kesuburan tanah yang pernah menggembirakannya.

Saking menakjubkannya mimpi yang diingat kembali itu, wajah Rofiq bercahaya. Senyumnya mengembang, matanya bersinar, pipinya berseri, baju dan segala yang dipakainya tiba-tiba begitu serasi.

Kang Oman begitu takjub melihat perubahan wajah Rofiq. Baru kali ini ia melihat Rofiq secakep itu. Kang Oman menepuk-nepuk bahunya, ingin segera mengetahui mimpi yang pernah dialami Rofiq.
“Ceritakanlah selengkapnya, seperti apa keindahan mimpimu itu.”
Lama Rofiq mereka-reka kata untuk merasakan kembali mimpinya.
“Ceritakanlah Rofiq.”

“Sekali waktu, ketika semua manusia mempraktekkan hidupnya seperti alam, di dunia ini tidak dikenal perselisihan sampai bunuh-bunuhan, tipu menipu, saling mementingkan individu atau golongan. Semuanya mengalir seperti air, datang dan pergi seperti matahari yang menerangi dan menggelapkan tanpa direkayasa, berembus seperti angin tanpa dibebani kepentingan, subur dan gersang seperti tanah tanpa melihat golongan atau ras atau perbedaan lainnya. Kalaupun ada badai, topan, gunung meletus, semua itu dipahami sebagai takdir yang tak bisa dimungkiri. Itu semua malah mendekatkan manusia akan keagungan Tuhan.”
“Terus?”

“Semua peraturan diatasi oleh semua orang. Wah, pokoknya begitu menakjubkan, Kang Oman. Semuanya penuh cinta. Saya tidak bisa menceritakannya lebih lanjut. Barangkali semua perbendaharaan kata-kata saya habis pun tidak bisa menggambarkan mimpi saya itu.”

Rofiq mengingat kembali mimpi menakjubkan itu. Wajahnya bercahaya, matanya bersinar, bibirnya berseri. Kang Oman terpesona melihat wajah Rofiq. Dia seperti melihat pegunungan dengan lekuk-lekuk lembahnya, semilir anginnya, kebeningan telaganya, kemerduan kicau burungnya, kelincahan kijang, dan keberagaman binatangnya.

“Ceritakanlah, Rofiq, saya ingin mendengarkan mimpimu selengkapnya. Sejujurnya, sudah lama saya merindukan cerita seperti itu.”
“Tapi saya merasa tidak akan mampu menceritakan kembali, Kang. Saya hanya bisa merasakannya.”
Kang Oman menyesal mendengarkannya.

* * *

Dalam setiap obrolan di warung kopi, pos ronda, tukang kue serabi, Kang Oman selalu menceritakan keterpesonaannya melihat Rofiq. Rofiq diceritakan dengan begitu memesona: wajah bercahaya, senyum menawan, mata sesejuk telaga, pakaian serasi dengan tubuh yang tegap.

“Cakepan mana dengan pemain sinetron yang sering muncul di televisi itu, Kang Oman?” tanya salah seorang peserta obrolan di warung kopi, suatu senja.

“Jangan bandingkan dengan pemain sinetron, karena kelasnya memang beda. Wajah bercahaya Rofiq tidak bisa dibuat-buat, dengan kosmetik yang paling modern dan paling mahal sekalipun.”
“Lalu, bandingannya dengn apa?”

“Ya, jangan dibandingkan. Terlalu riskan kalau senyum menawan Rofiq harus dibandingkan dengan senyum lainnya. Itu baru Rofiq-nya. Belum lagi dengan mimpinya, yang Rofiq sendiri merasa terpesona. Ah, ingin sekali saya mendengar cerita yang sesungguhnya dalam mimpi-mimpi itu.”

Orang orang menanggapi obrolan Kang Oman dengan berbagai macam sikap. Ada yang tersenyum, mengangguk-angguk, berdecak, ada juga yang tidak peduli, berkali-kali dia malah makan pisang goreng dan menyeruputnya.

Obrolan itu berkembang ke obrolan obrolan lain di tempat-tempat lainnya. Cerita dari mulut ke mulut memang kadang lebih hebat dari cerita aslinya. Beberapa hari setelah Rofiq bercerita kepada Kang Oman, orang sekampung tahu cerita tentang Rofiq dan mimpinya.

Obrolan-obrolan yang menghangat menjadi kepenasaran yang perlu pembuktian. Sekali waktu orang-orang sepakat untuk mendatangi rumah Rofiq dan menanyakan secara langsung mimpinya itu. Memang banyak yang percaya dengan cerita Kang Oman, tapi tidak sedikit yang setengah-setengah dan yang tidak percaya sama sekali.

Mereka yang percaya berdasar pada pengetahuan mereka tentang Rofiq selama ini. Rofiq dikenal sebagai warga yang tidak banyak omong. Ke mana-mana ia selalu tidak lupa menyunggingkan senyum buat siapa saja yang berpapasan dengannya.

Rofiq ramah kepada siapa saja. Tidak jarang orang yang punya kebutuhan mendesak meminta tolong kepada Rofiq. Biasanya Rofiq mengusahakan, meski barangkali hasilnya tidak maksimal.

Rofiq memang bukan orang yang kaya. Dia hidup biasa saja bersama istrinya yang juga sederhana, bertani dengan kebun dan sawah yang tidak begitu luas.

Pernah sekali waktu ada anak yatim yang sakit parah. Orang orang angkat tangan untuk menolongnya, termasuk orang orang kaya di kampung, karena memerlukan biaya yang besar. Tanpa banyak omong, Rofiq mengantar anak itu ke rumah sakit, menjual hartanya untuk biaya, termasuk baju-baju bagusnya dan televisi yang dimilikinya.

Tapi, tidak juga berarti Rofiq jarang bicara. Rifiq pernah berbantah-bantah dengan Pak Camat saat pak Camat bersikeras menganjurkan (tentu dengan sedikit memaksa) agar warga menjual tanah di lereng gunung yang ada mata air besarnya kepada orang kota. Kata Rofiq, kalau tanah di seputar itu dijual, artinya sumber air pun terjual. Mau dari mana warga kampung memenuhi kebutuhan airnya nanti?

Warga kampung yang asalnya diam saja mendukung Rofiq waktu itu. Mereka protes dan berani menjaga lereng gunung bermata air besar itu setiap hari, sampai orang kota itu membatalkan rencananya.

Setelah peristiwa itulah orang-orang segan kepada Rofiq. Rofiq yang petani kecil itu lebih dihormati dibanding orang kaya lainnya yang punya tanah lebih luas, atau pegawai kantoran yang pakaiannya selalu bagus.

“Jadi, memang tidak ada yang diragukan kalau Rofiq mengalami mimpi seperti itu,” kata seseorang. Orang menanggapinya ada yang mengangguk, berdecak, tak acuh, dan sebagainya.

* * *

Malam begitu sunyi. Angin berembus pelan, hinggap dari daun ke daun, membunyikan suara kresek-kresek-kresek yang bersahutan dengan suara jangkrik dan binatang malam lainnya. Tidak ada orang yang keluar rumah kecuali tiga orang yang terkantuk-kantuk di pos ronda itu. Di sebelah utara, gunung yang begitu banyak menghasilkan air itu berdiri gagah.

Sebenarnya, tidak ada yang istimewa malam itu, kecuali bagi Kang Oman. Sejak tengah malam, Kang Oman mendengar ada orang yang menangis. Setelah menajamkan telinganya dan menyusuri asal suara tangis, Kang Oman berkesimpulan bahwa suara itu datang dari rumah Rofiq, tetangganya itu.

Kang Oman mengintip dari celah-celah bilik. Di dalam rumah kecil yang diterangi lampu tempel itu, Kang Oman melihat Rofiq sedang bersimpuh di lantai yang beralaskan tikar.

Guncangan badan dan suara tangis itu seperti ditahan, tapi mungkin Rofiq tak bisa menahan air mata yang berjatuhan. Kang Oman melihat butiran butiran air itu bercahaya. Tiba-tiba Kang Oman merasa begitu senyap dan rendah diri. Semalaman Kang Oman tidak bisa tidur.
“Kenapa menangis, Rofiq?” tanya Kang Oman besok siangnya.
Rofiq yang sejak semula tidak mau membicarakan hal itu, diam saja.
“Semalam saya mendengar dan melihat kamu menangis. Ceritakanlah, jangan sungkan-sungkan.”

Rofiq menarik napas panjang sebelum kemudian bicara. “Sesungguhnya, dalam pengakuan yang paling dalam, kita hanyalah kumpulan kekalahan dan air mata.”

Kang Oman tidak lagi bertanya. Pertanyaan yang telah disiapkan sejak semalam tiba-tiba menjadi pertanyaan yang sebenarnya mesti dijawab oleh dirinya sendiri.

* * *

Suatu siang, orang orang mendatangi rumah Rofiq. Mereka ingin membuktikan cerita Kang Oman yang ditambah lagi cerita air mata Rofiq yang bercahaya. Mereka mengetuk pintu. Tapi tidak ada jawaban. Mereka kemudian mengintip.

Mereka melihat Rofiq bersama istrinya sedang bersimpuh di tikar. Mereka tidak berani lagi mengetuk pintu. Mereka terpesona dengan cahaya yang memancar dari wajah suami istri itu. Mereka bertekad untuk menunggu sampai Rofiq membuka pintu. Tapi siang itu Rofiq tidak membuka pintu.

Setelah menjelang senja, orang-orang terkejut saat melihat Rofiq bersama istrinya datang dari kebun. Rofiq menyapa dengan ramah dan mempersilakan orang orang masuk.

Senyumnya mengembang, senyum tidak akan bisa dilupakan oleh orang-orang yang menyaksikannya. Rofiq menanyakan, apakah kedatangan warga kampung itu ada satu keperluan atau hanya bertandang biasa.

Orang orang tidak menjawab. Berbagai pertanyaan yang memenuhi kepala mereka tidak bisa keluar dari mulutnya. Mereka terpesona oleh senyum dan cahaya wajah Rofiq, dan sejuknya udara di dalam rumah Rofiq. Semuanya merasakan begitu tenang dan indah.

Orang orang pulang dengan menyimpan berbagai pertanyaan: jadi, siapa yang tadi berada di rumah Rofiq? Cahaya apa yang terpancar dari wajahnya? Senyuman yang menawan seperti itu kapan bisa dilihatnya lagi? Udara apa yang begitu sejuk di rumah Rofiq?

Setumpuk pertanyaan itu masih tetap tidak terjawab bertahun-tahun kemudian, juga setelah Rofiq dan istrinya meninggal dunia. Orang orang yang pernah menyaksikan cahaya wajah Rofiq, senyum menawannya, butir-butir air matanya yang menggetarkan, sejuknya udara rumah Rofiq, menceritakan pengetahuan itu dari mulut ke mulut.

Bertahun-tahun kemudian, syahdan, untuk mewujudkan kedamaian seperti yang dialami Rofiq itu, orang orang kampung itu mau melakukan apa saja. Termasuk bertikai, berperang, merampok, mencuri, menindas, dan sebagainya. Seluruhnya untuk kedamaian dan keindahan yang pernah diperlihatkan Rofiq. ***

Seseorang dengan Agenda di Tubuh

Pringadi Abdi Surya
http://suaramerdeka.com/

(1)
BIASANYA, setiap cerita pembunuhan akan dimulai dengan ditemukan mayat korban. Lalu dimulailah penyelidikan oleh seorang inspektur polisi yang meneliti satu per satu misteri sampai ditemukan motif dan bukti-bukti yang mengarah ke siapa pelaku pembunuhan. Tetapi, saya tidak akan bercerita dengan metode kuno seperti itu. Saya akan mulai dengan sebuah pengakuan: sayalah yang telah melakukan pembunuhan dengan memukulkan benda keras ke kepala, berkali-kali (saya akan berhenti kalau sudah merasa puas), sampai berdarah-darah dan sang korban sudah tak lagi mengembuskan napas. Kemudian, akan saya tinggalkan sebuah jam dinding di samping mayat korban. Jam dinding yang jarum-jarumnya sudah saya atur sesuai urutan dan waktu pembunuhan.
Ini sudah korban yang kesebelas. Tidak seperti cerita-cerita yang umum terjadi, saya tidak butuh topeng darah misterius yang bikin saya jadi gila. Saya juga tidak memiliki kepribadian ganda atau motif biasa seperti untuk melindungi diri, kepentingan bisnis, atau cinta. Tiba-tiba saya jadi ingin membunuh kalau ada orang yang rasanya ingin dan sedang berbohong pada saya. Saya tahu itu dari matanya. Saya tahu dari bahasa tubuhnya. Mudah sekali mengenali orang-orang yang bisa berbohong. Terlebih saya adalah seorang psikolog. Bertahun-tahun bergelut dengan kepribadian dan bahasa tubuh seseorang.

(2)
Namun, cerita ini tidak bisa dimulai dari jarum jam yang kesebelas. Semua akibat pasti memiliki sebab. Setiap perjalanan pasti memiliki permulaan. Begitupun pembunuhan ini yang juga mengenal kata kali pertama. Tetapi, sebelum kamu tahu siapa dan bagaimana saya membunuh korban pertama, hendaknya dipikirkan apa cita-citamu semasa kecil. Cita-cita yang kerap ditanya oleh ibu guru gendut yang tiap bagi rapor akan menanti kue-kue kecil dari muridnya. Kemudian sebagian kue dibagikan lagi ke setiap murid. Sementara sebagian yang lain (yang biasanya lebih banyak atau lebih enak) akan ia bawa pulang ke rumah. Dibagikan kepada anak-anaknya sendiri.
Cita-citaku ingin jadi pesulap. Mengeluarkan burung dari topi. Memotong-motong tubuh tetapi tidak mati. Tetapi mereka bilang pesulap itu tukang bohong. Pesulap itu tukang tipu. Ada pula yang bilang pesulap itu budak setan, penentang Tuhan. Saya ingat siapa yang bilang itu. Dia seorang anak yang bercita-cita jadi polisi. Saya geli dengan profesi yang satu ini. Baru kemarin saya kecurian. Kemudian saya ke kantor polisi melakukan pelaporan. Bukan bantuan yang saya dapatkan, saya malah dimintai biaya Rp 200.000 dengan alasan untuk biaya administrasi. Begitu pula ketika saya baru lulus sekolah, Rp 20.000 melayang untuk mendapatkan surat berkelakuan baik. Bayangkan betapa paradoksnya profesi yang satu ini. Saya hanya miris melihat slogannya yang berbunyi melayani masyarakat. Benar mental pelayan yang bergaji rendah, tetapi diam-diam mencuri barang milik majikan. Tidakkah kamu juga berpikir demikian, bahwa rakyat adalah majikan, adalah Tuan? Tetapi, berkat itu pula saya jadi mengerti, bahwa polisi-polisi di negeri ini banyak tak memiliki dedikasi, tak memiliki kemampuan untuk menyelidiki sebuah misteri. Terlebih misteri pembunuhan.
“Kamu tidak punya cita-cita lain selain jadi tukang sulap, Nak?” tanya ibu guru itu. Saya diam, memikirkan hal-hal lain seperti dokter, pilot atau presiden. Tetapi belum sempat saya menjawab, laki-laki kecil tadi berteriak, “Dia ‘kan anak pelacur, Bu…tidak pantas punya cita-cita!” Dan dia (beserta teman-temannya) menertawakan saya. Saya tidak menjawab meski sangat ingin mengatakan kalau ibu saya bukan pelacur. Ibu saya adalah seorang ibu yang baik hati dan bekerja siang malam untuk menyekolahkan saya.

(3)
Mempunyai ibu yang dicap pelacur adalah takdir saya.
Ibu memang suka pulang malam. Malam sekali sampai televisi hanya menyisakan gambar semut buram. Kata Ibu, semut-semut di dalam televisi itu sedang bertengkar memperebutkan posisi raja. Ibu juga bilang kalau semut itu hanya punya satu ratu yang berkuasa. Ratu yang mengatur segala-galanya. “Ibu adalah ratu saya,” saya katakan itu kepadanya dan dia tersenyum sambil kembali menyanyikan tembang yang tak saya ketahui judulnya. Tetapi, tembang itu selalu berhasil membuat saya tertidur.
Saya juga tidak punya teman. Tetapi tak ada yang berani melawan saya jika sudah menyangkut soal pelajaran. Saya selalu jadi juara kelas. Saya selalu meraih nilai tertinggi di setiap pelajaran yang saya ikuti. Laki-laki kecil yang bercita-cita jadi polisi itu tentu mendapat nilai terendah. Saya jadi tertawa-tawa sendiri kalau memikirkan asumsi ini, bahwa setiap laki-laki yang bercita-cita jadi polisi adalah laki-laki yang paling bodoh dalam pelajaran dan paling pandai membuat ulah pada masa kecilnya. Karena itulah, daripada suatu saat mereka ditangkap polisi, lebih baik mereka jadi polisi.
“Anak pelacur pasti mencontek. Mana ada anak pelacur yang pintar. Anak pelacur hanya akan jadi pelacur.”
Dia mulai mengolok-ngolok saya lagi. Kali ini saya tidak bisa menahan emosi. Saya berjalan mendekat. “Kamu mau apa?” tanyanya menantang.
Seketika saya lemparkan pasir ke matanya. Saya tendang kemaluannya. “Semoga suatu saat kemaluanmu ini tidak kau pakai di tempat pelacuran!” ucap saya dengan kasar.

(4)
Apa dari tadi kamu berpikir saya ini seorang lelaki?
Kamu salah. Saya seorang perempuan. Murni seorang perempuan.
Sudah hampir 17 tahun berlalu sejak saya menendang kemaluan laki-laki (untuk pertama kali). Untuk perihal yang satu ini, saya tidak ketagihan. Tetapi hanya jika ada kesempatan, saya akan melakukan lagi.
O, jangan dulu menuduh kalau ini perihal keturunan. Saya tidak suka disebut buah yang jatuh tak jauh dari pohonnya
Ibu memang pernah membawa laki-laki datang ke rumah. Tapi itu cuma satu kali. Hanya satu kali dan itu diakhiri dengan pertengkaran. Saya disuruh Ibu masuk ke dalam kamar, tetapi saya nekat mencuri dengar.
“Kamu tidak pernah bilang kamu punya anak?!” teriak laki-laki itu.
“Tapi kamu bilang mencintai aku apa adanya?” Ibu berkilah.
“Ah, persetan!”
Braak! Pintu dibanting dan laki-laki itu pergi entah ke mana.
Saya muncul dari balik kamar, “Siapa dia, Bu?”
Ibu diam saja.
“Apa dia ayah saya?” tanya saya lagi.
“Ayah? Kamu pikir kamu punya ayah?” Ibu menangis sambil tertawa. “Ayahmu mungkin saja pejabat. Mungkin saja dia wartawan keparat atau preman-preman pasar yang suka menggoda Ibu!” lanjut ibu berteriak.
Saya menangis. “Kenapa Ibu berbohong? Ibu bilang ayah adalah seorang prajurit yang pergi ke medan perang. Bukan pejabat. Bukan wartawan keparat. Bukan preman-preman pasar yang mengoda ibu?”
“Ibu ini cuma pelacur, Nak…,” Ibu diam.
Mengusap air mata. Membenahi rambutnya yang awut-awutan. “Kembalilah ke kamar, tidurlah, sudah terlalu malam,” lanjutnya.
Dan saya menurut saja. Tak lama Ibu menyusul dan memeluk saya. Masih ada air mata yang basah di pipi.
Keesokan harinya, Ibu sudah tergeletak tak bernyawa. Ada pisau yang tertancap di dada kirinya. Saya berteriak memanggil orang-orang. Orang-orang datang. Orang-orang panik. “Kamu tahu siapa pelakunya, Nak?” seorang polisi yang sedang mengidentifikasi bertanya pada saya.
Katanya Ibu bukan bunuh diri, tetapi dibunuh.
“Semalam ada laki-laki…” dan saya mulai bercerita tentang apa yang semalam terjadi. Tetapi saya tahu Ibu tidak mati di tangan sang lelaki. Tetapi di tangan saya sendiri, tentu, tanpa meninggalkan sidik jari.
Tak seharusnya kamu membohongi saya, Ibu…

(5)
Sendok. Air. Gula. Dan gelas. Kamu pilih yang mana?
Perempuan ini sepertinya akan menjadi korban kedua belas. Dia baru mengaku kalau ia tengah selingkuh. Padahal ia sudah bertunangan. Sebentar lagi akan menikah. Dia mengambil gelas. Itu artinya dia merasa menjadi wadah tempat menampung cinta. Pantas saja dia seolah bisa menerima semuanya. “Kamu tahu kenapa jam dinding itu selalu mengarah ke pukul dua belas?”
“Dia akan kembali ke pukul satu dan selanjutnya dan selanjutnya. Tidak hanya menuju pukul dua belas,” ia menjawab dengan enteng.
“Kenapa kamu selingkuh?” tanya saya lagi.
“Karena dia sudah lebih dulu selingkuh. Satu-satu kan?” jawab wanita itu.
“Kamu merasa bersalah?” saya mulai mengetuk-ngetukkan sendok ke gelas.
Matanya mengikuti setiap ketukan-ketukan saya. “Kamu tahu, setiap kamu dengar ketukan ini, kamu akan terlelap dalam dan lebih dalam?” saya mulai memainkan teknik hipnotis.
Dan tentu saja berhasil. Pelan tapi pasti dia mulai memejamkan mata. Lalu tertidur, masuk ke alam bawah sadarnya. “Mulai sekarang kamu akan merasa bersalah dan sangat ingin mati dengan membenturkan kepalamu ke jam dinding yang membentuk angka dua belas,” ucap saya memberi sugesti.

(6)
Apakah wanita tadi sudah mati? Apakah saya tertangkap polisi?
Pasti pertanyaan-pertanyaan semacam itu sekarang ada di dalam benak kamu.
Seorang polisi datang mengetuk pintu. Tentu laki-laki, seusia saya. Rambutnya rapi. Senyumnya juga rapi seakan sudah diatur satu centi ke kanan dan ke kiri. Tetapi, ada yang saya kenali. Matanya yang tengil dan tahi lalat di samping kanan hidungnya membuat saya tertawa geli, akibat sebuah prediksi.
“Maaf, apa benar perempuan ini adalah pasien Anda?” dia bertanya sambil menyodorkan sebuah foto.
Foto perempuan kemarin itu.
“Ya. Baru dua hari yang lalu dia datang kemari, berkonsultasi,” jawab saya.
“Dia ditemukan meninggal hari ini. Kemungkinan dia bunuh diri,” lanjutnya dengan tatapan menyelidik.
Saya tahu tatapan itu. Saya juga tahu harus bagaimana menghadapi tatapan itu. Saya tetap tenang dan juga balik menyelidik.
“Saya pikir dia tipe perempuan yang mandiri. Tidak mungkin bunuh diri. Apa tidak ada kemungkinan lain?” saya balik bertanya.
Balik menatap matanya. “Seperti dibunuh misalnya?” saya ajukan pertanyaan ini dan matanya terkesiap.
“Tidak, tidak ada petunjuk yang mengarah ke sana. Dia membenturkan kepalanya ke jam dinding sampai mati. Tapi…,” dia terdiam sejenak, “tapi ada yang aneh dengan jam dinding itu. Jarum jamnya tepat menunjuk ke jam dua belas, dan setelah diautopsi dia pun mati tepat di jam dua belas. Bukankah ini terlihat seperti bunuh diri yang sangat direncanakan?” gumamnya kebingungan, atau sengaja dibuat kebingungan.
“Sebentar…,” saya ke belakang.
Tak lama kemudian saya kembali dengan secangkir kopi.
“O, terima kasih,” ucapnya sambil tersenyum. Dia meneguknya dengan pelan. Memandangi belahan di dada saya yang elegan. Saya pun sengaja sedikit menunduk. Matanya sudah seperti banteng yang mau menyeruduk.
“Menurutmu, apakah tukang sulap itu pekerjaan setan? Apakah tukang sulap itu adalah pekerjaan penipuan?”
Sejak saat itulah harusnya dia sadar bahwa matanya tak akan pernah lagi jelalatan. Matanya tak akan pernah lagi sembarangan. Dan jam dinding besar yang ada di ruang tamu ini pun berdentang keras menunjukkan pukul satu yang baru. Pukul satu yang berbeda.

2010

Merentang Riwayat Reggae

Hudel*
http://terpelanting.wordpress.com/

Tahun 1968 banyak disebut sebagai tahun kelahiran musik reggae. Sebenarnya tidak ada kejadian khusus yang menjadi penanda awal muasalnya, kecuali peralihan selera musik masyarakat Jamaika dari Ska dan Rocsteady, yang sempat populer di kalangan muda pada paruh awal hingga akhir tahun 1960-an, pada irama musik baru yang bertempo lebih lambat : reggae. Boleh jadi hingar bingar dan tempo cepat Ska dan Rocksteady kurang mengena dengan kondisi sosial dan ekonomi di Jamaika yang sedang penuh tekanan.

Kata “reggae” diduga berasal dari pengucapan dalam logat Afrika dari kata “ragged” (gerak kagok–seperti hentak badan pada orang yang menari dengan iringan musik ska atau reggae). Irama musik reggae sendiri dipengaruhi elemen musik R&B yang lahir di New Orleans, Soul, Rock, ritmik Afro-Caribean (Calypso, Merengue, Rhumba) dan musik rakyat Jamaika yang disebut Mento, yang kaya dengan irama Afrika. Irama musik yang banyak dianggap menjadi pendahulu reggae adalah Ska dan Rocksteady, bentuk interpretasi musikal R&B yang berkembang di Jamaika yang sarat dengan pengaruh musik Afro-Amerika. Secara teknis dan musikal banyak eksplorasi yang dilakukan musisi Ska, diantaranya cara mengocok gitar secara terbalik (up-strokes), memberi tekanan nada pada nada lemah (syncopated) dan ketukan drum multi-ritmik yang kompleks.

Teknik para musisi Ska dan Rocsteady dalam memainkan alat musik, banyak ditirukan oleh musisi reggae. Namun tempo musiknya jauh lebih lambat dengan dentum bas dan rhythm guitar lebih menonjol. Karakter vokal biasanya berat dengan pola lagu seperti pepujian (chant), yang dipengaruhi pula irama tetabuhan, cara menyanyi dan mistik dari Rastafari. Tempo musik yang lebih lambat, pada saatnya mendukung penyampaian pesan melalui lirik lagu yang terkait dengan tradisi religi Rastafari dan permasalahan sosial politik humanistik dan universal.

Album “Catch A Fire” (1972) yang diluncurkan Bob Marley and The Wailers dengan cepat melambungkan reggae hingga ke luar Jamaika. Kepopuleran reggae di Amerika Serikat ditunjang pula oleh film The Harder They Come (1973) dan dimainkannya irama reggae oleh para pemusik kulit putih seperti Eric Clapton, Paul Simon, Lee ‘Scratch’ Perry dan UB40. Irama reggae pun kemudian mempengaruhi aliran-aliran musik pada dekade setelahnya, sebut saja varian reggae hip hop, reggae rock, blues, dan sebagainya.

Jamaika

Akar musikal reggae terkait erat dengan tanah yang melahirkannya: Jamaika. Saat ditemukan oleh Columbus pada abad ke-15, Jamaika adalah sebuah pulau yang dihuni oleh suku Indian Arawak. Nama Jamaika sendiri berasal dari kosa kata Arawak “xaymaca” yang berarti “pulau hutan dan air”. Kolonialisme Spanyol dan Inggris pada abad ke-16 memunahkan suku Arawak, yang kemudian digantikan oleh ribuan budak belian berkulit hitam dari daratan Afrika. Budak-budak tersebut dipekerjakan pada industri gula dan perkebunan yang bertebaran di sana. Sejarah kelam penindasan antar manusia pun dimulai dan berlangsung hingga lebih dari dua abad. Baru pada tahun 1838 praktek perbudakan dihapus, yang diikuti pula dengan melesunya perdagangan gula dunia.

Di tengah kerja berat dan ancaman penindasan, kaum budak Afrika memelihara keterikatan pada tanah kelahiran mereka dengan mempertahankan tradisi. Mereka mengisahkan kehidupan di Afrika dengan nyanyian (chant) dan bebunyian (drumming) sederhana. Interaksi dengan kaum majikan yang berasal dari Eropa pun membekaskan produk silang budaya yang akhirnya menjadi tradisi folk asli Jamaika. Bila komunitas kulit hitam di Amerika atau Eropa dengan cepat luntur identitas Afrika mereka, sebaliknya komunitas kulit hitam Jamaika masih merasakan kedekatan dengan tanah leluhur.

Sejarah gerakan penyadaran identitas kaum kulit hitam, yang kemudian bertemali erat dengan keberadaan musik reggae, mulai disemai pada awal abad ke-20. Adalah Marcus Mosiah Garvey, seorang pendeta dan aktivis kulit hitam Jamaika, yang melontarkan gagasan “Afrika untuk Bangsa Afrika…” dan menyerukan gerakan repatriasi (pemulangan kembali) masyarakat kulit hitam di luar Afrika. Pada tahun 1914, Garvey mendirikan Universal Negro Improvement Association (UNIA), gerakan sosio-religius yang dinilai sebagai gerakan kesadaran identitas baru bagi kaum kulit hitam.

Pada tahun 1916-1922, Garvey meninggalkan Jamaika untuk membangun markas UNIA di Harlem, New York. Konon sampai tahun 1922, UNIA memiliki lebih dari 7 juta orang pengikut. Antara tahun 1928-1930 Garvey kembali ke Jamaika dan terlibat dalam perjuangan politik kaum hitam dan pada tahun 1929 Garvey meramalkan datangnya seorang raja Afrika yang menandai pembebasan ras kulit hitam dari penindasan kaum Babylon (sebutan untuk pemerintah kolonial kulit putih—merujuk pada kisah kitab suci tentang kaum Babylon yang menindas bangsa Israel). Ketika Ras Tafari Makonnen dinobatkan sebagai raja Ethiopia di tahun 1930, yang bergelar HIM Haile Selassie I, para pengikut ajaran Garvey menganggap Ras Tafari sebagai sosok pembebas itu. Mereka juga menganggap Ethiopia sebagai Zion—tanah damai bak surga—bagi kaum kulit hitam di dalam maupun luar Afrika. Ajaran Garvey pun mewujud menjadi religi baru bernama Rastafari dengan Haile Selassie sebagai sosok yang di-tuhan-kan

Pada bulan April 1966, karena ancaman pertentangan sosial yang melibatkan kaum Rasta, pemerintah Jamaika mengundang HIM Haile Selassie I untuk berkunjung menjumpai penghayat Rastafari. Dia menyampaikan pesan menyediakan tanah di Ethiopia Selatan untuk repatriasi Rasta. Namun Haile Selassie juga menekankan perlunya Rasta untuk membebaskan Jamaika dari penindasan dan ketidak adilan dan menjadikan Rastafari sebagai jalan hidup, sebelum mereka eksodus ke Ethiopia.

Tahun-tahun setelahnya kredo gerakan tersebut makin tersebar luas, yakni “Bersatunya kemanusiaan adalah pesannya, musik adalah modus operandinya, perdamaian di bumi seperti halnya di surga (Zion) adalah tujuannya, memperjuangkan hak adalah caranya dan melenyapkan segala bentuk penindasan fisik dan mental adalah esensi perjuangannya.” Ketika Bob Marley menjadi pengikut Rastafari di tahun 1967 dan setahun kemudian disusul kelahiran reggae, maka modus operandi penyebaran ajaran Rastafari pun ditemukan: reggae!

Bob Marley

Terlahir dengan nama Robert Nesta Marley pada Februari 1945 di St. Ann, Jamaika, Bob Marley berayahkan seorang kulit putih dan ibu kulit hitam. Pada tahun 1950-an Bob beserta keluarganya pindah ke ibu kota Jamaika, Kingston. Di kota inilah obsesinya terhadap musik sebagai profesi menemukan pelampiasan. Waktu itu Bob Marley banyak mendengarkan musik R&B dan soul, yang kemudian hari menjadi inspirasi irama reggae, melalui siaran radio Amerika. Selain itu di jalanan Kingston dia menikmati hentakan irama Ska dan Steadybeat dan kemudian mencoba memainkannya sendiri di studio-studio musik kecil di Kingston.

Bersama Peter McIntosh dan Bunny Livingston, Bob membentuk The Wailing Wailers yang mengeluarkan album perdana di tahun 1963 dengan hit “Simmer Down”. Lirik lagu mereka banyak berkisah tentang “rude bwai” (rude boy), anak-anak muda yang mencari identitas diri dengan menjadi berandalan di jalanan Kingston. The Wailing Wailers bubar pada pertengahan 1960-an dan sempat membuat penggagasnya patah arang hingga memutuskan untuk berkelana di Amerika. Pada bulan April 1966 Bob kembali ke Jamaika, bertepatan dengan kunjungan HIM Haile Selassie I —raja Ethiopia– ke Jamaika untuk bertemu penganut Rastafari. Kharisma sang raja membawa Bob menjadi penghayat ajaran Rastafari pada tahun 1967, dan bersama The Wailer, band barunya yang dibentuk setahun kemudian bersama dua personil lawas Mc Intosh dan Livingston, dia menyuarakan nilai-nilai ajaran Rasta melalui reggae. Penganut Rastafari lantas menganggap Bob menjalankan peran profetik sebagaimana para nabi, menyebarkan inspirasi dan nilai Rasta melalui lagu-lagunya.

The Wailers bubar di tahun 1971, namun Bob segera membentuk band baru bernama Bob Marley and The Wailers. Tahun 1972 album Catch A Fire diluncurkan. Menyusul kemudian Burning (1973–berisi hits “Get Up, Stand Up” dan “ I Shot the Sheriff” yang dipopulerkan Eric Clapton), Natty Dread (1975), Rastaman Vibration (1976) dan Uprising (1981) yang makin memantapkan reggae sebagai musik mainstream dengan Bob Marley sebagai ikonnya.

Pada tahun 1978, Bob Marley menerima Medali Perdamaian dari PBB sebagai penghargaan atas upayanya mempromosikan perdamaian melalui lagu-lagunya. Sayang, kanker mengakhiri hidupnya pada 11 Mei 1981 saat usia 36 tahun di ranjang rumah sakit Miami, AS, seusai menggelar konser internasional di Jerman. Sang Nabi kaum Rasta telah berpulang, namun inspirasi humanistiknya tetap mengalun sepanjang zaman.

One Love! One Heart!
Lets get together and feel all right.
Hear the children cryin (One Love!);
Hear the children cryin (One Heart!)
(One Love / People Get Ready)

Dreadlock
Selain Bob Marley dan Jamaika, rambut gimbal atau lazim disebut “dreadlocks” menjadi titik perhatian dalam fenomena reggae. Saat ini dreadlock selalu diidentikkan dengan musik reggae, sehingga secara kaprah orang menganggap bahwa para pemusik reggae yang melahirkan gaya rambut bersilang-belit (locks) itu. Padahal jauh sebelum menjadi gaya, rambut gimbal telah menyusuri sejarah panjang.

Konon, rambut gimbal sudah dikenal sejak tahun 2500 SM. Sosok Tutankhamen, seorang fir’aun dari masa Mesir Kuno, digambarkan memelihara rambut gimbal. Demikian juga Dewa Shiwa dalam agama Hindu. Secara kultural, sejak beratus tahun yang lalu banyak suku asli di Afrika, Australia dan New Guinea yang dikenal dengan rambut gimbalnya. Di daerah Dieng, Wonosobo hingga kini masih tersisa adat memelihara rambut gimbal para balita sebagai ungkapan spiritualitas tradisional.

Membiarkan rambut tumbuh memanjang tanpa perawatan, sehingga akhirnya saling membelit membentuk gimbal, memang telah menjadi bagian praktek gerakan-gerakan spiritualitas di kebudayaan Barat maupun Timur. Kaum Nazarit di Barat, dan para penganut Yogi, Gyani dan Tapasvi dari segala sekte di India, memiliki rambut gimbal yang dimaksudkan sebagai pengingkaran pada penampilan fisik yang fana, menjadi bagian dari jalan spiritual yang mereka tempuh. Selain itu ada kepercayaan bahwa rambut gimbal membantu meningkatkan daya tahan tubuh, kekuatan mental-spiritual dan supernatural. Keyakinan tersebut dilatari kepercayaan bahwa energi mental dan spiritual manusia keluar melalui ubun-ubun dan rambut, sehingga ketika rambut terkunci belitan maka energi itu akan tertahan dalam tubuh.

Seiring dimulainya masa industrial pada abad ke-19, rambut gimbal mulai sulit diketemukan di daerah Barat. Sampai ketika pada tahun 1914 Marcus Garvey memperkenalkan gerakan religi dan penyadaran identitas kulit hitam lewat UNIA, aspek spiritualitas rambut gimbal dalam agama Hindu dan kaum tribal Afrika diadopsi oleh pengikut gerakan ini. Mereka menyebut diri sebagai kaum “Dread” untuk menyatakan bahwa mereka memiliki rasa gentar dan hormat (dread) pada Tuhan. Rambut gimbal para Dread iniah yang memunculkan istilah dreadlocks—tatanan rambut para Dread. Saat Rastafarianisme menjadi religi yang dikukuhi kelompok ini pada tahun 1930-an, dreadlocks juga menjelma menjadi simbolisasi sosial Rasta (pengikut ajaran Rastafari).

Simbolisasi ini kental terlihat ketika pada tahun 1930-an Jamaika mengalami gejolak sosial dan politik. Kelompok Rasta merasa tidak puas dengan kondisi sosial dan pemerintah yang ada, lantas membentuk masyarakat tersendiri yang tinggal di tenda-tenda yang didirikan diantara semak belukar. Mereka memiliki tatanan nilai dan praktek keagamaan tersendiri, termasuk memelihara rambut gimbal. Dreadlocks juga mereka praktekkan sebagai pembeda dari para “baldhead” (sebutan untuk orang kulit putih berambut pirang), yang mereka golongkan sebagai kaum Babylon—istilah untuk penguasa penindas. Pertengahan tahun 1960-an perkemahan kelompok Rasta ditutup dan mereka dipindahkan ke daerah Kingston, seperti di kota Trench Town dan Greenwich, tempat dimana musik reggae lahir pada tahun 1968.

Ketika musik reggae memasuki arus besar musik dunia pada akhir tahun 1970-an, tak pelak lagi sosok Bob Marley dan rambut gimbalnya menjadi ikon baru yang dipuja-puja. Dreadlock dengan segera menjadi sebuah trend baru dalam tata rambut dan cenderung lepas dari nilai spiritualitasnya. Apalagi ketika pada tahun 1990-an, dreadlocks mewarnai penampilan para musisi rock dan menjadi bagian dari fashion dunia. Dreadlock yang biasanya membutuhkan waktu sekitar lima tahun untuk terbentuk, sejak saat itu bisa dibuat oleh salon-salon rambut hanya dalam lima jam! Aneka gaya dreadlock pun ditawarkan, termasuk rambut aneka warna dan “dread perms” alias gaya dreadlock yang permanen.

Meski cenderung lebih identik dengan fashion, secara mendasar dreadlock tetap menjadi bentuk ungkap semangat anti kekerasan, anti kemapanan dan solidaritas untuk kalangan minoritas tertindas.

*) Layouter asal Pare, Kediri, Indonesia. Masih jomblo. Kerap gonta ganti aliran musik. Pernah suka dangdut koplo, reggae, musik rakyat, jazz, tapi anti musik klasik.

Memoar Seorang Pendekar Tua

Judul Buku : Nagabumi I; Jurus Tanpa Bentuk
Penulis : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : November 2009
Tebal : x + 815 halaman
Harga : Rp. 150.000,-
Peresensi : Akhmad Sekhu
http://hiburan.kompasiana.com/

Apa yang dapat dilakukan seorang pendekar tua yang tahu ajalnya sudah dekat? Ia tak ingin mati sebelum dapat menuliskan memoar riwayat hidupnya, sebagai cara untuk membongkar rahasia sejarah. Demikian yang tersirat dari buku berjudul “Nagabumi I; Jurus Tanpa Bentuk” yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma.

Buku itu tentu bukan menceritakan jaman sekarang, tapi jaman dahulu kala yaitu sekitar tahun 871 di Pulau Jawa. Alhasil buku itu harus menyertakan banyak referensi, baik itu referensi buku-buku sejarah maupun website. Bahkan tidak tanggung-tanggung Seno terpaksa kudu menyertakan catatan kaki sekitar 45 halaman. Ini sungguh lain dari para pengarang cerita silat sebelumnya, sebutlah misalnya Kho Ping Ho, pengarang buku silat legendaris Indonesia yang sangat produktif. Ia tak pernah menyertakan catatan kaki sedikitpun, selain hanya cerita asli rekaannya saja.

Mengapa Seno demikian peduli dengan sejarah yang melatari ceritanya? Padahal ia dikenal sebagai sosok sastrawan pembangkang dengan imajinasinya yang sangat liar. Mungkin ia ingin menciptakan tren baru dengan gaya khasnya sebagai tukang cerita yang sangat kaya dengan referensi. Ini yang dinamakan sebagai karya kreatif karena menciptakan sesuatu yang baru. Tapi diam-diam kita mesti curiga, jangan-jangan Seno sedang mengandai-andai dirinya menjadi seorang pendekar. Sebagaimana dulu ia pernah seperti Old Shatterhand di rimba suku Apache, cerita karya pengarang Jerman Karl May, yang mengembara mencari pengalaman.

Menggapai Wibawa Naga

Dalam buku setebal 815 halaman, diceritakan tentang Pendekar Tanpa Nama yang telah mengundurkan diri dari dunia persilatan karena umurnya sudah 100 tahun. Pendekar tua itu sudah lupa, siapa saja lawan yang pernah terbunuh olehnya, dan barangkali kini murid atau kerabat lawan-lawannya datang menuntut pembalasan dendam. Bahkan negara menawarkan hadiah besar untuk kematiannya.

Pembahasan dari bab pertama, yaitu Jurus Tanpa Bentuk, dimulai dari cerita Pendekar Tanpa Nama mengundurkan diri dari dunia persilatan. Kemudian, dari situ ia flashback panjang ke masa silam, seperti tentang dirinya yang pernah membantai seratus lawan dalam semalam. Setelah itu, cerita berturut-turut, tentang ketika maut berkelebat di balik kelam, rumah ketiadaan, Naga Emas, melawan suara seruling, sampai pada cerita kunci penalaran dan Pendekar Aksara Berdarah.

Bab berikutnya, bab kedua, Anak Sepasang Naga, dimulai dari cerita sepasang Naga dari Celah Kledung, mengenai pendekar harus membela yang lemah dan tidak berdaya, tentang Kitab Ilmu Naga Kembar, sampai pertanyaan; apakah menulis itu? Selanjutnya, bab ketiga, Kematian dan Kesempurnaan, pada Sub bab Rehat dan Filsafat menyodorkan perenungan mendalam; jika ilmu silat dalam sastra hanya semu, bagaimana caranya menjadi filsafat? Ketajaman pedang kata-kata dalam dirimu, lebih tajamkah dari pedang pesilat?

Bab Keempat, Dua Pedang Menuliskan Kematian, yang dimulai dari pengandaian bagaikan ruang angkasa; tentang ilmu hitam dan ilmu putih; seperti Berciuman dan Bercinta; Mantara atawa Aksara Bercahaya, sampai tentang tulisan dan kejujuran. Terakhir, bab kelima, Pendekar Tujuh Lautan, dimulai dari cerita berlayar ke Samudradvipa, pembantaian di tengah lautan, Naga Laut dan Nagarjuna, Mantra Nagarjuna, Putri Asoka, sampai dengan cerita tentang seorang putri di atas kudanya, dan paling akhir kehormatan pada pembaca tentang memoar seorang pendekar tua.

Buku ini diniatkan oleh penulisnya sebagai sebuah cerita tempat orang-orang awam menghayati dunia persilatan sebagai dongeng, tentang para pendekar yang telah menjadi terasing dari kehidupan sehari-hari, karena tujuan hidupnya untuk menggapai wibawa naga. Apakah kita percaya begitu saja dengan paparannya ini? Referensi yang sangat banyak itu tampaknya tak cukup untuk dapat menjawabnya.

Mengusung Intrik Politik Kekuasaan

Kemudian dikatakan Nagabumi adalah drama di antara pendekar-pendekar, pertarungan jurus-jurus maut, yang diwarnai intrik politik kekuasaan, maupun pergulatan pikiran-pikiran besar, dari Nagasena sampai Nagarjuna, dengan selingan kisah asmara mendebarkan, dalam latar kebudayaan dunia abad VIII-IX. Nah, inilah yang menjadi poin penting buku ini, yaitu dengan mengusung intrik politik kekuasaan. Sebuah tema yang mengemuka begitu bebasnya sejak bergulirnya era reformasi dengan eforia kebebasan berpendapat tentang intrik politik kekuasaan.

Misalnya pada sub bab; Menggugat Pembebasan Tanah, diceritakan persaingan kekuasaan, yang memanfaatkan segala perbedaan, termasuk agama, yang justru menghendaki perpecahan tersebut. Dengan terdapatnya perpecahan, suatu bangsa menjadi rapuh, dan mereka yang berkepentingan dengan keadaan ini akan mudah merebut kekuasaan. (hal. 43-44)

Begitu juga pada bab berikutnya, Permainan Kekuasaan, bahwa manusia bertarung memperebutkan kekuasaan atas nama agama dan bukan sebaliknya. Agama apa pun tidak membenarkan pertarungan antar agama dan tidak akan pernah ada kecuali manusia yang begitu bodoh sehingga menafsirkan yang sebaliknya. (hal. 424)

Ada lagi yang tentu patut untuk pembaca ketahui, yaitu dibanding pemerintahan raja-raja sebelumnya, masa pemerintahan Rakai Kayuwangi kemudian akan kuketahui sebagai salah satu masa yang paling tenang, sehingga mengherankan juga sebenarnya, permainan kekuasaan macam apa yang membuat istana sampai mengeluarkan selebaran untuk memburu dan membunuhku. (hal. 756)

Demikian Pendekar Tanpa Nama selalu bertanya-tanya seperti itu yang mungkin jawabannya akan kita temukan pada buku Nagabumi berikutnya. Sebuah buku yang tentu relatif tebal, tapi tampaknya tak cukup menampung semua paparan flashback panjang memoar seorang pendekar tua.

—-
Akhmad Sekhu lahir 27 Mei 1971 di Jatibogor, Suradadi, Tegal, Jateng. Tulisan-tulisannya; puisi, cerpen, novel, esai budaya, resensi buku, artikel arsitektur-kota, kupasan film, telaah televisi, biografi dan company profile. Mantan Ketua Umum Kelompok Sastra Mangkubumen (KSM), Ketua Divisi Penerbitan Himpunan Sastrawan Muda Indonesia (Hismi), Ketua Divisi Apresiasi Masyarakat Sastra Jakarta (MSJ), Koordinator Komunitas Penulis Senen Gelanggang Remaja Jakarta Pusat, kini tinggal di Jakarta & Tegal. Web: http://asekhu.wordpress.com/ Email: sekhu006@yahoo.com, Mobile: 081575620485

Perempuan Menjelaskan Perempuan

HERStory: Sejarah Perjalanan Payudara

Bandung Mawardi
http://suaramerdeka.com/

KARTINI adalah pemula dari kemauan dan kepentingan untuk menjelaskan perempuan melalui perspektif perempuan. Segepok surat Kartini telah menjadi suara perempuan dan tanda mata zaman bagi gerakan emansipasi perempuan di Indonesia.

Kartini menjelma inspirasi dari perubahan lakon perempuan dari zaman ke zaman. Naning Pranoto pun mengacu pada Kartini dalam ikhtiar menjelaskan perempuan oleh perempuan melalui tarikan sejarah sampai sampai realitas mutakhir.

Naning Pranoto menganggap Kartini adalah simbol dari gerakan penghapusan diskriminasi gender. Sejarah patriarkat dalam biografi diri Kartini telah menutupi terang dan mengurung perempuan dalam kegelapan. Pemikiran dan gerakan Kartini untuk melawan diskriminasi dengan model pendidikan merupakan bukti dari ikhtiar menuju terang dan membuka jalan bagi perempuan memiliki-mengembangkan diri.

Kartini dalam buku ini memang memberi inspirasi bersama sekian tokoh-tokoh perempuan kondang di dunia. Naning Parnoto dalam buku ini sengaja menampilkan sosok perempuan dengan penjelasan melalui paradigma perempuan. Model perempuan menjelaskan perempuan menjadi pilihan rasional untuk pemihakan tanpa harus membutakan diri untuk menganggap lelaki adalah musuh bebuyutan. Buku ini memihak perempuan dengan dalil lugas: “Musuh yang paling menindas bagi kaum perempuan adalah sistem yang sangat kejam tetapi tidak berkelamin.“

Mozaik Pemikiran

Buku ini hadir sebagai mozaik pemikiran dan kisah. Ramuan dan olah imajinasi menjadi pemberi nikmat dalam mengurusi pelbagai fakta tentang perempuan. 26 tulisan dalam buku ini memang terkesan beda tema tapi memiliki pengikat menjadikan perempuan sebagai subjek wacana. Suguhan tematik memang memikat perhatian pembaca karena relevan untuk memandang lakon perempuan dari perkara sepele sampai ke perkara kompleks.

Suguhan pertama adalah “Misteri di Balik Payudara“. Naning mengutip pemikiran Sigmund Freud dan ocehan Pablo Picasso untuk menelisik pandangan atas sejarah payudara melalui perbandingan perspektif lelaki dan perempuan. Freud menganggap payudara sama penting dengan penis bagi lelaki.
Payudara dan penis bersifat libidis: membangkitkan nafsu berahi secara instinktif atau sumber kenikmatan seksual. Picasso mengatakan: “Tanyalah pada lelaki apa yang diinginkannya?
Jawabannya singkat: sepasang payudara montok! Maka aku pun berkali-kali melukisnya dengan gairah.“

Dua pandangan itu dikembalikan Naning Pranoto pada tafsir historis-teologis mengenai makna asal payudara.
Patung Venus dalam peradaban Yunani merupakan simbol dari perempuan dengan payudara besar dan subur.
Payudara itu tidak sekadar sentral libido tapi mengandung makna sakral.
Kemontokan payudara adalah simbol kesuburan, kasih sayang, dan sumber kehidupan. Tafsir ini dihadirkan untuk memberi tanggapan atas perlakuan perempuan terhadap payudara.

Keengganan perempuan untuk menyusui bayi, operasi bedah plastikimplantasi payudara, dan praktik menjadikan payudara sebagai komoditas ekonomi merupakan masalah-masalah aktual dalam lakon perempuan mutakhir. Pemaknaan sekuler terhadap payudara telah ikut menentukan penghilangan sakralitas dan pemuliaan martabat perempuan.

Peran dan Makna

Lakon mutakhir juga membuat gerakan perempuan ada dalam perdebatan pelik. Perempuan menolak memiliki anak merupakan fenomena mengejutkan tapi telah terjadi di pelbagai negeri dengan pengajuan sekian argumentasi. Para tokoh feminis radikalliberal mengatakan bahwa keengganan untuk memiliki anak merupakan hak pilih perempuan dan harus dihormati.

Argumentasi ini ditopang oleh jalan perempuan dalam karier. Gerakan perempuan untuk membebaskan diri dari “penjara domestik“ dengan bekerja telah memicu pilihan kontroversial itu sejak 1970-an. Karier seperti pembebasan perempuan kendati mengandung konsekuensi dilematis. Naning Pranoto dalam urusan ini menampilkan jawaban tak tuntas melalui pengutipan pernyataan Betty Friedan dalam buku The Second Stage: “Mengombinasikan antara perkawinan, menjadi ibu, dan berkarier bukanlah hal mudah.“

Pelbagai pemikiran dan gerakan perempuan mutakhir memang gampang memicu perdebatan sengit. Naning Pranoto dengan elegan pun menampilkan tema lesbian, keperawanan, nikah siri, kekerasan dalam rumah tangga, makna tubuh, aborsi, narsisme perempuan, dan lain-lain untuk mencari terang dan penjelasan melalui perspektif perempuan. Pandangan miring atau kecaman kerap menimpa revolusi gerakan perempuan dalam tuduhantuduhan politis, etis, teologis, atau estetis. Konstruksi negatif itu diladeni dengan pembongkaran paradigma lama dan ikhtiar menggulirkan wacana produktif atas peran-nilai perempuan dalam spirit perubahan zaman.

Naning Pranoto mengutip penggalan surat Kartini (4 Oktober 1902): “Pelerjaan memajukan peradaban itu haruslah diserahkan kepada kaum perempuan –jika sudah demikian peradaban itu akan amat deras majunya.“ Optimisme atas peran perempuan dalam progresivitas peradaban menjadi acuan positif bagi gerakan perempuan untuk meruntuhkan pelbagai mitos tentang diskriminasi atau inferiorisasi terhadap kaum perempuan. Pelbagai gerakan feminis dengan aliran liberal, radikal, marxis dan sosialis, eksistensialis, multikultural, atau global mengarah pada penolakan mitos-mitos untuk merendahkan dan melemahkan peran perempuan. Perempuan justru adalah sosok melindungi dan menyelamatkan dalam riwayat peradaban manusia.

Gerakan menghadirkan perempuan sebagai subjek terus dilakukan kendati harus diramaikan dengan pertentangan pendapat. Ikhtiar membebaskan dan membuka jalan terang pada perempuan adalah agenda besar sepanjang abad dalam pelbagai ranah kehidupan: politik, ekonomi, sosial, pendidikan, hukum, seni, teknologi, dan kultural.

Margareth Mead mengungkapkan: “Membebaskan perempuan dari belenggu jiwa yang gelap sama dengan memberi penerangan kepada kaum lelaki.“ Misi pembebasan ini terasakan dalam buku ini dalam pelbagai serpihan kritik, argumentasi, kisah, dan usulan. Buku ini tidak sekadar untuk perempuan tetapi lelaki patut membaca agar ada pembelajaran bersama dan menghindari bias dikriminatif dalam memerkarakan diskursus perempuan.

Karena Hukum Tidak di Ruang Hampa

Buku Sosiologi Hukum, Esai-Esai Terpilih

Gugun El-Guyanie
http://www.suaramerdeka.com/

Pak Tjip almarhum, diakui oleh publik Tanah Air sebagai mujtahid (pembaru) dalam bidang hukum. Karena lompatan-lompatan ijtihad-nya, ilmu hukum menjadi tidak angker dan elitis, atau hanya berada dalam ruang yang abstrak dan hampa. Karena Pak Tjip, perangkat ilmu-ilmu sosial, termasuk sosiologi bisa menjadi pisau analisis yang menyentuh, bahkan menguliti angkernya disiplin ilmu hukum.

Sosiologi hukum lahir karena kegelisahan Pak Tjip, yakni adanya disparitas antara idealitas hukum dan realitas masyarakat. Jurang yang begitu lebar antara cita-cita mulia perundang-undangan untuk mengatur dan menertibkan masyarakat, tak kuasa berdialektika dengan kenyataan sosiologis yang selalu dinamis. Melalui kerangka baru sosiologi hukum, tentunya semakin terbuka pintu pembebasan dari dominasi cara berpikir hukum yang mengandalkan rules and logic untuk mendukung tatanan yang normatif. Hukum bergerak sesuai dengan regulasi dan dinamika sosial masyarakat. Maka bagi begawan hukum yang satu ini, sesungguhnya hukum mempunyai watak sesuai dengan kosmologi masyarakatnya karena muncul dan dimunculkan dari a peculiar form of social life.

Banyak peristiwa hukum di Tanah Air yang direkam dan menjadi bahan refleksi Pak Tjip untuk dianalisis dengan pisau sosilogi hukum. Esaiesai terpilih dalam buku inilah beberapa fragmen yang menginspirasi generasi bangsa untuk senantiasa melakukan koreksi terhadap produkproduk hukum perundangan yang terkesan mekanistis, menjadi nilainilai hukum yang dialektis dan dinamis. Sosiologi hukum melihat dan menerima hukum sebagai bagian dari kehidupan riil masyarakat. Inilah bedanya dengan ilmu hukum dogmatis (rechtsdogmatiek) yang sematamata memandang hukum sebagai struktur peraturan yang tersusun secara logis sistematis.

Salah satu tema menarik yang dikupas oleh penulis adalah perihal sosiologi hukuman mati. Masalah pidana mati yang usianya sudah setua peradaban manusia, sedang diperdebatkan oleh dunia Barat yang mengusung human rights, berseberangan dengan kelompok agama yang puritan yang memandang hukuman mati sebagai firman dan ketentuan Tuhan.

Melalui sosiologi hukum, kita semua bisa menimbang banyak hal tanpa sikap yang ekstrem, termasuk bagaimana konteks sosilogis hukuman mati bagi pelaku kejahatan. Tentunya juga muncul satu pertanyaan yang serba sulit dijawab; hukuman mati masih relevankah diterapkan di Indonesia?

Dipancung

Dalam sejarah, ada beberapa tokoh-tokoh besar dunia yang menjadi sasaran hukuman mati dengan caracara kuno, digantung, dipancung, diminumkan racun, ditembak atau ditebas dengan guilotine. Mereka yang tereksekusi ada Raja Louis XVI, permaisuri Marie Antoinette, Robespiere, Kaisar Rusia Nicholas, sampai ke Herman Goring serta sejumlah petinggi Nazi Jerman di akhir perang dunia kedua, dan yang paling akhir adalah Saddam Hussein presiden diktator dari Irak (halaman 160).

Sampai detik ini, masih ada beberapa negara di dunia yang tetap menerapkan pidana mati. Namun muncul juga gerakan abolisi atau penghapusan pidana mati. Secara sosiologis, pidana mati tidak bisa lepas dari psikologi budaya masyarakat setempat, atau juga berdasarkan pada tingkat puritanisme terhadap pemahaman agama.

Dalam Islam dikenal qisas, orang yang membunuh harus dibalas dengan dibunuh. Di Madura dikenal ada carok, orang Jawa mengenal peribahasa; utang nyawa bayar nyawa.
Di Sulawesi Selatan ada siri. Pepatah Belanda mengenal oog om oog, tand om tand. Semakin dinamis dan terbuka masyarakatnya, peluang pidana mati semakin kecil, sebaliknya semakin terisolasi budaya masyarakat, hukuman mati masih berpeluang diterapkan.

Namun yang perlu diketahui, sosiologi hukum tidak akan melakukan intervensi terhadap diberlakukan atau tidaknya hukuman mati. Hanya sebatas mengelaborasi, mendeskripsikan dan menjernihkan konteks sosiologis dan kulturalnya. Termasuk dalam membedah institusi Polri dan gagasan polisi sipil-nya, Pak Tjip hanya menyediakan optik yang objektif. Bagaimana sosiologi hukum memotret profesi polisi yang memegang kendali hukum di masyarakat.

Hukum yang mati (black letter law) yang sebatas aturan dan ancaman di atas kertas, akan menjadi hidup oleh kendali pelakunya, termasuk polisi. Dalam satu seminar internasional tentang polisi di Sisilia, William Tafoya, salah seorang pembicara, mengatakan bahwa sesungguhnya polisi itu adalah pemimpin bangsanya.

Setiap perubahan besar dalam masyarakat akan selalu menarik polisi untuk berjalan di depan sebagai panutan, termasuk isu penegakan HAM (halaman 108).

Dalam era reformasi, tuntutan terhadap peran polisi semakin besar.
Beban tambahan yang disebut sebagai “diskresi arus bawah“ harus dipikul oleh polisi. Maka, gagasan polisi sipil darii penulis menemukan konteks yang tepat di tengah arus deras demokratisasi.

Polisi sipil dipakai sebagai idiom untuk menggambarkan karakteristik pekerjaan polisi yang melindungi rakyat. Polisi Belanda bersemboyan “Kami bekerja supaya orang lain dapat tidur nyenyak“. Hanya dengan optik sosiologi hukum, Pak Tjip menggagas dan bermimpi mewujudkan polisi sipil yang bisa menyatu dengan masyarakat untuk menegakkan nilai-nilai hukum.

Paus Bicara soal Seks?

D Pujiyono
http://www.suaramerdeka.com/

Pelbagai sebutan telah dikenakan pada mendiang Paus Yohanes II.
Pejuang kebenaran, pembela kehidupan, penentang budaya kekerasan dan kematian, pelopor perdamaian, pembela kaum miskin dan komunikator ulung.

Presiden Iran Mohammad Khatami menyebut Paus Yohanes Paulus II sebagai seorang tokoh agama yang sangat terpuji. Dia juga mengatakan Paus yang bernama asli Karol Wojtyla ini adalah orang yang mengusahakan terciptanya koeksistensi damai, moderasi, dialog antar-agama, terutama antara Islam dan Katolik. Pernyataan ini disampaikan, ketika Paus Yohanes Paulus II wafat Sabtu, 2 April 2005 melalui Al-Jazeera.

Satu sebutan lagi yang mesti dikenakan, ia adalah seorang seksolog yang andal. Beberapa bulan setelah terpilih, Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan ensiklik pertamanya Redemptor Hominis (4 Maret 1979). Kemudian ia mengeluarkan Ensiklik II yang berjudul Dives in Misericordia (30 Nopember 1980). Pada tahun berikutnya muncul Ensiklik Laborem Exercens (14 September 1981). Kira-kira empat tahun sesudah itu, muncullah Ensiklik Slavorum Apostoli (2 Juni 1985).

Melihat itu semua, tentu saja banyak orang mencoba menebak-nebak arah kepemimpinan Paus Yohanes Paulus II.
Ternyata, tanpa diketahui oleh banyak orang, secara perlahan-lahan Paus Yohanes Paulus II sedang membuat revolusi besar. Boleh percaya atau tidak, Yohanes Paulus II membuat sebuah revolusi seks! (halaman 17).

Banyak orang mungkin akan bereaksi: seorang pemimpin besar agama, nan suci, agung dan terhormat bicara soal seks! Sebagian orang memandang seks, sebagai sesuatu yang rendah, tabu dan hanya konsumsi untuk obrolan orang-orang pinggiran. Ada pula yang berkomentar; tahu apa Paus tentang seks? Ia seorang selibat (tidak menikah). Ia menyerahkan hidup dan kesucian tubuhnya untuk Tuhan. Untuk bisa bicara tentang seks, tidak harus mengalami atau menghayati dulu, sebagaimana bicara soal etik lainnya: Jangan membunuh, Jangan berzina, Jangan mencuri. Untuk mengerti dan memahami segala hal yang berhubungan dengan seksualitas, tidak harus pernah mengalami dulu. Pun, seks tidak hanya terbatas pada hubungan seks atau persetubuhan. Istilah seks, sekarang sudah sering diselewengkan dan pada giliranya direduksi menjadi melulu hubungan badan. Seks itu menyangkut dasar hidup setiap manusia, sejak lahir, bertumbuh, sebelum menikah, selibat atau menikah, menyambut kelahiran anak, sampai akhirnya mati.

Deshi Ramadhani, penulis buku ini menjelaskan kekristenan senyatanya sangat seksual. Kitab Suci menunjukkan bahwa Allah yang mewahyukan diri-Nya dalam Kitab Suci tidak punya persoalan menggunakan tubuh manusia sebagai simbol. “Mengapa sekarang pembicaraan tentang seksualitas menjadi sesuatu yang tabu, seolah-seolah menjadi sesuatu yang asing dari Kitab Suci, asing dari kesucian?“ urai Doktor Teologi, pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini. Buku ini disusun dari pergulatanya sebagai seorang selibat (yang menghayati hidup tidak menikah), dengan memasukkan ajaran “Teologi Tubuh“ dari mendiang Paus Yohanes Paulus II. Menurut Yohanes Paulus II, seperti dikutip dalam buku ini, tubuh memiliki arti yang melekat (nupsial), sehingga perubahan dunia akan bisa diperbaiki jika setiap manusia mulai memahami arti nupsial dalam tubuhnya.

Setiap bagian tubuh manusia adalah perkataan tentang Allah, sehingga Allah mau mewahyukan diri-Nya dalam Kitab Suci melalui simbol-simbol tubuh. Hanya tubuh manusia yang membuat terlihat apa yang tidak bisa terlihat, yang spiritual dan yang ilahi. Ajaran Paus ini sangat baik, terutama pada era modern ini ketika tubuh manusia sering disalahgunakan, bahkan hanya sebagai objek saja.

Buku ini bisa mengguncang pemahaman kita tentang ungkapan cinta insani lelaki dan perempuan, sebagai gambar dan rupa Allah sendiri! Paus Yohanes Paulus II telah menyediakan bom waktu lewat ajaran-ajarannya mengenai tubuh manusia. Pada saatnya bom waktu itu akan meledak, dan efeknya akan dirasakan tidak hanya di dalam gereja, tetapi di seluruh dunia, karena memang semua itu akan menyentuh manusia secara mendasar.

Bila bom ini meledak, tidak ada pilihan lain, cara manusia hidup dengan tubuhnya dan mengenali tubuhnya, atau memperlakukan tubuhnya, mau tidak mau harus diubah. Mau tidak mau, segala macam cara harus dilakukan agar tubuh manusia dikembalikan ke keadaan sebagaimana itu semua diciptakan.
Tidak ada pilihan lain, seluruh cara paham kita tentang seks dan seksualitas harus ditinjau kembali.

Tidak ada pilihan lain, seluruh ekonomi global akan terkena akibatnya, karena banyak bisnis besar bergerak dan ditentukan oleh perlakuan terhadap Judul: Lihatlah Tubuhku, Membebaskan Seks Besama Yohanes Paulus II Penulis: Deshi Ramadhani SJ Penerbit: Kanisius, Yogyakarta Cetakan: Pertama, Oktober 2009 Tebal: x+ 268 halaman tubuh manusia.

Teologi tubuh menawarkan sebuah pembebasan seksual dengan cara berbeda.
Kita diajak untuk melihat seks sebagai yang tak terpisahkan dari kenyataan diri kita manusia yang bertubuh ini. Istilah “seks bebas“ adalah tipuan zaman ini.
Yohanes Paulus II ingin menawarkan sebuah bentuk “seks bebas“ yang sejati.
Artinya, seks sebagai tanda penunjuk jelas akan keadaan manusia sebagai gamabar dan rupa Allah sendiri, yang pada dasarnya memiliki sifat dasar “bebas“.
Bukan melakukan apa pun yang kita kehendaki, melainkan melakukan apa yang memang diserukan oleh bahasadalam tubuh kita. Seks yang pada dasarnya bebas itu adalah dorongan untuk mencintai. Artinya, seks memampukan kita untuk tidak melakukan apa yang “kita rasa baik“, melainkan apa yang memang sungguh baik, not what “feels“ good, but what “is“ good.

Tidak hanya ajaran “Teologi Tubuh“ yang mengajak semua orang memandang tubuh sebagai bait Allah. Paus Yohanes Paulus II, juga bicara seks dalam arti sempit (hubungan suami-istri). Ia mengatakan.. “secara anatomis gairah muncul dalam cara yang sama baik dalam diri perempuan maupun laki-laki (tempat bangkitnya gairah itu terdapat dalam system cerebro-spinal pada S2-S3)“. Lebih lanjut ia mengatakan: “Klimaks harus dicapai dalam harmono, tidak dengan mengorbankan salah satu pihak, tetapi dengan keduanya terlibat secara penuh.“ Dengan kata lain, wahai, suami dan istri, khususnya hai suami, usahakanlah supaya hubungan seks kalian tidak memanfaatkan pribadi lain, melainkan mencapai klimaks secara bersamaan.

Hal itu mulai dikumandangkan secara lantang sejak 1958, oleh seorang dosen etika di Universitas Lublin Polandia, yang bernama Karol Wojtila. Dengan demikian, sudah dua puluh tahun ia menjadi Paus, mediang Paus Yohanes Paulus II sungguh tahu soal seks. Ia memutuskan menerjukan diri ke bidang yang mungkin oleh rekan sesama imam atau uskup ketika itu dianggap wilayah tabu, kotor, tidak boleh didekati oleh orang yang ingin mengejar kesucian hidup. Ia melakukan itu karena ia yakin, dari sanalah penebusan manusia secara utuh harus dimulai.

Sekali lagi, melihat ini semua, Karol Wojtila –Yohanes Paulus II almarhum-adalah seorang seksolog yang ulung. Satu pesan singkat yang membaca buku ini muliakanlah Allah dengan tubuhmu!

07/06/10

KEPADA YANG MELUPAKAN*

:Pengantar Antologi Puisi Penyair Perempuan Asas “Sihir Terakhir” (diterbitkan PUstaka puJAngga 2009)

Nenden Lilis A.**
http://www.sastra-indonesia.com/

Membuka lembar demi lembar antologi puisi yang ditulis para perempuan yang tergabung dalam komunitas ASAS dan menghikmatinya satu demi satu, saya seperti membuka lembar demi lembar album kenangan sekaligus sejarah perjalanan sastra perempuan kita. Dari tiap lembar album yang terbuka menganga itu seolah menjerit suara tentang perempuan, yang dalam sejarah atau segala hal lainnya selalu di “sunyi”-kan dan ditinggalkan waktu; dimarjinalkan dan didiskriminasi.

Saya ingin membuka sedikit gambaran itu dari pengalaman personal saya sebagai penyair yang berjenis kelamin perempuan. Kalau kemudian saya bercerita tentang hal itu dari kondisi kepenyairan di Jawa Barat, itu karena kebetulan saja saya berdomisili di Jawa Barat. Tetapi, saya yakin, bahwa gambaran ini adalah juga representasi kondisi perempuan di wilayah-wilayah lainnya.

Di Jawa Barat, baik dengan diam-diam, maupun dengan mempublikasikan karya lewat media massa, tentulah banyak perempuan yang berkarya. Tetapi, sejauh itu, mereka seolah dianggap tak ada. Hingga tahun 1996-an saja, seperti salah satunya dapat dilihat dalam antologi puisi 10 penyair Jawa Barat Cermin Alam, tak satu pun tercantum nama dan karya perempuan. Terlebih lagi dalam kegiatan sastra. Perempuan adalah jenis kelamin yang dilupakan.

Saya baru merasa keberadaan perempuan agak ditoleh, dari event sastra nasional yang diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, yang kebetulan saya termasuk salah seorang yang diundang di dalamnya. Dalam event itu pun, dari ratusan penyair yang diundang dari seluruh Indonesia, jumlah perempuan hanya empat orang (saya sendiri dari Bandung, Oka Rusmini dari Bali, Sirikit Syah dari Surabaya, dan Anil Hukma dari Makassar). Jumlah itu mewakili jumlah propinsi saja tidak. Selanjutnya, seringkali dalam berbagai even sastra lainnya, saya selalu melihat diri saya sendirian dan terasing di tengah para laki-laki. Kondisi empirik itu menyadarkan saya akan termarjinalisasinya perempuan dalam kesusastraan.

Tahun 1995 “perlawanan” terhadap pemarjinalan itu dimulai. Kebetulan saya bergabung dalam komunitas Bandung Literature Society yang diketuai Beni R. Budiman (alm.). Melalui wadah tersebut, bekerja sama dengan Forum Sastra Bandung (FSB), pada 17 Desember 1995, Beni R. Budiman menggagas pernyelenggaraan pembacaan puisi oleh para penyair dari kalangan perempuan dalam dua kota Bandung-Jakarta. Upaya ini dilanjutkan dengan merangkum para penyair dari kalangan perempuan yang tersebar di berbagai kampus dalam sebuah diskusi dan pembacaan puisi di CCF Bandung pada 23 April dengan menghadirkan pembicara Melani Budianta dan saya sendiri.

Benih-benih ini melahirkan sebuah komunitas sastra peduli perempuan bernama Komunitas Sastra Dewi Sartika (KSDS) yang pada saat itu aktif mengadakan diskusi, berbagai event sastra, penerbitan buku. Tulisan-tulisan yang menggugat diskriminasi gender ini pun gencar dipublikasikan.

Apa yang digambarkan di atas, akan dianggap besar atau kecil, adalah jejak-jejak yang telah ditorehkan dan telah turut merintis jalan bagi terbukanya hutan patriarki yang menghegemoni kesusastraan kita selama ini.

Mengenang jejak-jejak itu sambil membayangkan kata-kata futurolog John Naisbit yang meramalkan abad 21 sebagai abad kebangkitan perempuan, atau feminis Amerika Naomi Wolf yang mengatakan hal yang sama, yakni abad 21 sebagi era kekuasaan perempuan, saya berharap kini ’hutan’ itu sudah betul-betul terbuka. Tetapi, kehadiran antologi Kepada Yang Melupakan (antologi puisi perempuan ASAS) ini menegunkan saya dari harapan tersebut. Apa yang saya kira sudah ada di hadapan saya itu ternyata masih jauh.

Tatkala antologi-antologi semacam ini hadir, tentulah ada sesuatu di balik itu. Tak ada asap jika tak ada api. Mengapa dalam kesusastraan Indonesia muncul buku-buku antologi karya sastra khusus perempuan? Mengapa terbentuk komunitas-komunitas sastra perempuan? Mengapa pula ada penyelenggaraan kegiatan-kegiatan sastra yang pengisi dan isi yang dikupasnya tentang perempuan? Tak perlu berpikir panjang untuk menjawabnya sebab hal-hal tersebut cukup jelas menegaskan kepada kita betapa perempuan tidak terakomodasi dalam ruang kesusastraan yang melingkupinya.

Betapa pun dilematisnya upaya seperti itu. Upaya seperti ini di satu sisi memang dapat menegaskan eksistensi perempuan dalam kesusastraan dan mengangkat posisi mereka dari penenggelaman yang mereka alami selama ini. Namun di sisi lain, hal itu menimbulkan kesan seolah-olah kesusastraan perempuan berada di wilayah lain, terpisah dari sejarah dan diskursus kesusastraan secara umum. Hal seperti ini pun bukan tidak mungkin menyebabkan peng-hierarki-an antara perempuan dan laki-laki.

Tetapi, selama pemarjinalan terhadap perempuan terjadi, upaya berupa affirmative action seperti itu perlu terus dilakukan. Seperti kita ketahui, affirmative action adalah tindakan yang sengaja diambil dengan cara memperlihatkan perbedaan suatu kelompok dari kelompok lainnya dengan tujuan mengangkatnya dari ketidakadilan kesempatan. Tindakan afirmatif dilakukan jika ada suatu kelompok yang terpinggirkan. Upaya seperti ini, seperti yang sudah kita rasakan, sedikit demi sedikit mengikis keangkuhan hegemoni patriarki dalam kesusastraan kita. Dalam konteks affirmative action inilah tampaknya antologi puisi ini hadir, dan kita perlu menyambutnya dengan penuh keterbukaan.

***

Disadari atau tidak disadari oleh para penulis dalam antologi ini, bahwa yang mereka lakukan dengan penerbitan antologi ini sesungguhnya tidak sekedar tindakan afirmatif dalam konteks seperti digambarkan di atas, tetapi juga sebuah kerja politik. Michel Foucalt pernah menyatakan bahwa dalam masyarakat patriarki, perempuanlah yang mengalami kelangkaan kekuasaan (lack of power). Untuk memperbaiki ketidakadilan itu, perempuan harus melancarkan strategi, yaitu bicara (menjadi ”subjek yang berbicara”). Harus disadari dan diyakini bahwa suara-suara perempuan yang lahir dari setiap personalitasnya itu hadir di masyarakat sebagai upaya politik mengubah struktur dan relasi yang tidak adil. Menulis adalah salah satu bentuk penghadiran suara-suara itu. Dengan begitu, bagi perempuan, menulis adalah upaya politik bagi terciptanya sebuah dunia yang lebih adil dan sehat. ”Personal is political,” begitulah salah satu prinsip feminisme berujar.

Dan, membaca antologi ini, akan banyak kita temukan suara-suara itu. Begitu berwarna dan bernuansa. Isi, cara pandang, dan penyajian dari 18 penyair muda ini begitu beraneka. Ditilik dari segi kemampuan teknis menulis puisi, sebagian memang masih tampak tertatih-tatih. Tetapi, sebagian yang lain, seperti tampak pada sajak Dian Hartati dan Fina sato yang memang sudah punya jam terbang tinggi dalam bidang ini, sudah menunjukkan kematangan. Begitu pula pada sajak-sajak Desti Fatin Fauziyyah dan Alfatihatus Sholihatunnisa yang jernih, Cut Nanda yang bereksplorasi bunyi kata, Ellie R. Noer yang menghadirkan cara pandang jeli, unik, dan orisinal, atau Evi Sefiani yang tanpa pretensi dengan tema dan lebih memilih sajak-sajak manis dan liris, dan banyak lagi. Tentu saja, para penulis ini sedang berproses, dan yang namanya proses tidak akan pernah berhenti. Orang yang berhenti berproses sama artinya dengan orang yang berhenti berkreativitas. Dengan demikian, terlalu dini untuk menilai mereka dari segi nilai puisi-puisinya.

Perkembangan dan kemajuan mereka masih kita tunggu. Namun, sekecil atau sebesar apapun, apa yang mereka lakukan perlu dicatat sebagai upaya untuk mengingatkan mereka yang selalu ”melupakan” sebuah kehadiran, terutama kehadiran perempuan. Dengan menulis, pada dasarnya mereka pun telah turut menjaga kita dari lupa. Namun, pekerjaan rumah belum berarti selesai, sebab seperti dikatakan Desti Fatin dalam puisinya: kita belum menjadi kita/dan kau melulu jadi pelupa.***

*) Dari judul puisi karya Desti Fatin Fauziyyah.
**) Penyair, pendiri KSDS, dan dosen di Jurdiksatrasia FPBS UPI.

04/06/10

Menakar “Syahwat” Politik Santri

Judul Buku: Politik Santri; Cara Menang Merebut Hati Rakyat
Penulis: Abdul Munir Mulkhan
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: I (Pertama), 2009
Tebal: 304 halaman
Harga: Rp. 55.000,-
Peresensi: Humaidiy AS
http://oase.kompas.com/

Islam dengan politik tetap menjadi bahan perbincangan menarik untuk dicermati terlebih menjelang pilpres Juli 2009. Dari perspektif politik (upaya mencari dukungan untuk menduduki kursi kekuasaan), suara umat Islam yang nota bene adalah mayoritas sampai saat ini masih menjadi kartu truf dalam upaya untuk memperoleh kursi dalam kekuasaan. Bagi elite politik Indonesia, Islam ibarat “gadis cantik” yang selalu dijadikan rebutan untuk memperbesar kekuatan masing-masing partai politik.

Abdul Munir Mulkhan melalui buku yang berjudul Politik Santri; Cara Menang Merebut Hati Rakyat, berusaha menelusuri sejauh mana manuver partai-partai politik berbasis Islam (diistilahkan oleh penulis sebagai politik santri) berhasil bertahan dalam lingkaran pertarungan politik praktis dengan berbagai ideologi yang dibawanya, lebih khusus mencermati kiprah perjalanan politik oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang tak lain adalah ”anak kandung” dari rahim gerakan Islam-tradisional; Nahdlatul Ulama (NU) dan gerakakan Islam-modernis; Muhammadiyah, yang tak lain adalah dua ormas terbesar di negeri ini.

Keterlibatan politik santri terlihat jelas dari perjalanan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai organisasi terbesar santri yang lahir sejak zaman sebelum kemerdekaan. Dalam perjalannya, keduanya tidak pernah benar-benar terlepas dari kegiatan politik walaupun menyatakan diri bukan bagian dari gerakan politik seperti dirumuskan dalam khittah masing-masing. Hal ini dapat dilihat dari upaya memasukkan Islam kedalam kekuasaan menjadi dasar negara secara resmi.

Pada era 1950-an, terjadi pertentangan ideologis di antara partai politik yang ada. Konflik itu dipicu oleh perdebatan apa seharusnya yang pantas menjadi dasar negara setelah penjajahan. Perdebatan itu meliputi tiga macam yang harus dijadikan dasar negara, Pancasila, Islam, dan sosial ekonomi. Partai-partai Islam menghendaki Islam dijadikan dasar negara Indonesia, sedangkan kelompok partai nasionalis menolaknya. Rancangan pembukaan undang-undang dasar yang mengatakan, sila pertama ketuhanan dengan menjalankan syariah bagi pemeluknya, (Piagam Jakarta) ditentang oleh kelompok non-Islam. Melalui perbincangan yang sangat melelahkan, akhirnya umat Islam menerima keberatan kelompok non-Islam dan nasionalis dengan bersedia menghapus tujuh kata yang ada dalam Piagam Jakarta. Sampai runtuhnya rezim Orde Baru, dasar negara tidak pernah dipertanyakan. Baru pada era Reformasi, dasar negara mulai dipertanyakan kembali. Muncullah sebagian kelompok Islam yang menghendaki Islam dijadikan dasar resmi kenegaraan dan memberlakukan syariat Islam sebagai hukum resmi pemerintah. Asumsi yang digunakan, menggunakan Islam sebagai dasar negara adalah salah satu cara efektif untuk mengatasi krisis multidimensi bangsa Indonesia. Perbincangan Islam sebagai ideologi negara, kembali terjadi di antara partai politik Islam. PAN dan PKB secara tegas menolak menjadikan Islam sebagai dasar negara. Alasannya, Indonesia terdiri dari penduduk yang pluralis dalam hal suku, etnis, agama, dan budaya. Sementara itu, PPP, PBB dan Partai Keadilan, setuju Islam menjadi dasar negara Indonesia. Banyak pihak kemudian memandang bahwa keterlibatan gerakan politik gerakan Islam dalam dunia Islam bisa menghambat pertumbuhan demokrasi. (hal. 45).

Menurut penulis, perdebatan hubungan Islam dan politik, khususnya keterlibatan gerakan Islam dan kaum santri dalam dunia politik diakibatkan bahwa kaum santri meletakkan keterlibatannya dalam dunia politik sebagai realisasi kebenaran ajaran agama yang sebenarnya profan dan sangat ptragmatis. Cara pandang ini menyebabkan aktivitas politik santri mengalami kesulitan berkomunikasi secara terbuka dan dialogis dengan konstituen rakyat pemilih (hal. 233). Walaupun lebih dari 87% penduduk Indonesia memeluk Islam, tidak semua pemeluk Islam kemudian mendukung partai Islam. Ironisnya, perolehan suara partai Islam dalam seluruh pemilu yang dilangsungkan tidak pernah mencapai 50% dari jumlah pemeluk Islam. Suara tertinggi dicapai dalam pemilu pertama tahun 1955 (43%) dan cenderung terus mengalami penurunan. Kenyataan ini akan terus bergulir berkelindan sepanjang identitas ideologi politik partai islam selalu berkutat pada jargon doktrin “normatif” keagamaan dan cenderung elitis, sementara agenda-agenda “seksi” seputar permasalahan sosial seperti kemiskinan, pengangguran, pendidikan yang lebih menyentuh kepada kepentingan masyarakat luas dimanfaatkan dengan baik sebagai flatform (bentuk kebijakan) oleh partai-partai berbasis nasionalis atau sekuler. Simpati publik pun mengalir, sehingga mereka meraih dukungan mayorits muslim. Parpol Islam hanya menawarkan flatform berdasar rumusan formal ajaran yang kurang membumi tanpa kemauan untuk memahami realitas sosial, ekonomi dan budaya rakyat kebanyakan.

Lebih jauh, jika kita perhatikan, politik islam Indonesia memang banyak yang bercorak formalistik dan jauh dari substansi. Konflik kepentingan dan pandangan yang berbuntut perpecahan internal banyak terjadi di tubuh partai islam atau berbasis umat Islam. Perpecahan dan konflik hamper merata terjadi di tubuh PPP, PKB, PAN dan PBB adalah fakta yang tak terbantahkan. Hanya jika islam ditawarkan dengan bahasa rakyat, peluang partai santri memperoleh dukungan mayoritas pemilih muslim dan rakyat secara keseluruhan akan terbuka.

Membangun sinergi kesadaran

Masa depan suatu partai, apakah ia dibangun dari sebuah keyakina teologis, tradisi lokal ataupun ideologi sekuler, pada akhirnya ditentukan bagaimana aktivitas partai tersebut membangun komunikasi dengan konstituen. Kegagalan perjuangan politik Islam terjadi terutama tidak adanya kesesuaian antara doktrin dan aksi politik. Kenyataan demikian dapat dilihat setidaknya dari dua hal, pertama, anggapan bahwa doktrin yang berupa wahyu tampak hanya bersifat konseptual dan universal tanpa kesadaran perlunya tafsir ulang. Sebut saja misalnya penolakan-penolakan mereka terhadapa de-ide Barat dan kengototan untuk menerapkan syariat islam secara formal. Kedua, doktrin agama tidaklah menjadi faktor penentu utama dalam aksi politik. Artinya, meskipun partai Islam menekankan pada egaliteranisme, keadilan dan kesejahteraan rakyat, namun faktor ekonomi dan sosial lebih ditonjolkan oleh aktivis Islam politik. Hal ini tampak pada pragmatisme dan opurtonisme yang banyak menjalar pada politisi Islam.

Mulkhan dalam penelusuran bab demi bab dalam buku setebal 304 halaman ini menekankan, bahwa jika ingin merebut simpati masyarakat muslim dan memenangi pemilu, parpol Islam harus melepas keengganan untuk membangun sumber daya manusia (generasi muda santri), terutama melalui pengkajian ilmu pengetahuan secara mendalam dan pengaturan manajemen yang efisien. Selama ini, kekuatan politik santri lebih banyak dikerahkan pada aspek ideologis simbolis dan kekuasaan yang bersifat semu dan sesaat saja.

Politik umat islam kedepan –meminjam istilah Kuntowijoyo— haruslah melakukan objektivitas terhadap praktik perjuangan politiknya. Artinya, mereka yang bergerak dilevel partai dan ormas keislaman seyogyanya memperjuangkan aspek-aspek substansi islam, memperbaikai pendidikan dan pemberantasan KKN serta bersikap toleran terhadap umat agama lain demi pelakukan pembebasan kemanusiaan. Di luar itu semua, bangsa Indoensia suadah selayaknya tidak lagi terjebak dalam simbol-simbol politik semacam sosialis, agamis ataupun nasionalis. Yang dibutuhkan bangsa sekarang ini adalah pemerintah yang cerdik melakukan prioritas tindakan dan kebijakan politik demi tumbuhnya iklim demokratisasi yang sehat. Jadi, bukan pemerintahan atau partai yang hanya pandai beretorika dan mengelabui massa dengan mengedepankan ideologi tertentu. Krisis politik, ekonomi, hukum, moral dan budaya Indoensia sudah saatnya diselesaikan dengan cara membangun sinergi kesadaran bersama oleh setiap elemen bangsa ini tanpa terjebak pada simbol golongan dan ideologi. Selamat membaca!

A Rodhi Murtadho A. Anzib A. Junianto A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.D. Zubairi A.S. Laksana Abang Eddy Adriansyah Abdi Purmono Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurahman Wahid Abidah el Khalieqy Abiyyu Abu Salman Acep Zamzam Noor Achiar M Permana Ade Ridwan Yandwiputra Adhika Prasetya Adi Marsiela Adi Prasetyo Adreas Anggit W. Adrian Ramdani Afrizal Malna Afthonul Afif Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Agus Utantoro Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajie Najmudin Ajip Rosidi Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Saefudin Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alhafiz K Ali Shari'ati Alizar Tanjung Alvi Puspita Alwi Karmena Amarzan Loebis Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amiruddin Al Rahab Amirullah Amril Taufiq Gobel Amy Spangler An. Ismanto Andrea Hirata Andy Riza Hidayat Anes Prabu Sadjarwo Anett Tapai Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anne Rufaidah Anton Kurnia Anton Suparyanto Anung Wendyartaka Anwar Holid Aprinus Salam Ari Dwijayanthi Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Aris Darmawan Aris Kurniawan Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asep Yayat Askolan Lubis Asrul Sani Asvi Marwan Adam Asvi Warman Adam Audifax Awalludin GD Mualif Awaludin Marwan Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Bambang Bujono Bambang Irawan Bambang Kempling Bambang Unjianto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonnie Triyana Bre Redana Brunel University London Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hatees Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cepi Zaenal Arifin Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Cucuk Espe D Pujiyono D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Dantje S Moeis Darju Prasetya Darwin David Krisna Alka Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dian Hartati Dian Sukarno Dicky Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Dodi Ambardi Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Khoirotun Nisa’ Dwi Pranoto Dwicipta Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Eko Suprianto Emha Ainun Nadjib Endah Sulwesi Endi Haryono Endri Y Enung Sudrajat Erwin Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evieta Fadjar F. Aziz Manna Fadjriah Nurdiarsih Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Farida-Suliadi Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Feby Indirani Felik K. Nesi Fenny Aprilia Festival Sastra Gresik Fikri MS Firdaus Muhammad Firman Nugraha Fuad Nawawi Galang Ari P. Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Guntur Alam Gus tf Sakai Gusti Eka H Marjohan HA. Cholil Mudjirin Hadi Napster Halim HD Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hanik Uswatun Khasanah Hans Pols Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Firdaus Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hawe Setiawan Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Heru Kurniawan Heru Nugroho Hudan Hidayat Hudan Nur Hudel Humaidiy AS Humam S Chudori I.B. Putera Manuaba Ibn Ghifarie Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Ika Karlina Idris Ilham khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tranggono Indrian Koto Intan Indah Prathiwie Inung AS Iskandar Noe Iskandar P Nugraha Iwan Nurdaya-Djafar Iyut Fitra J.J. Rizal Jacques Derrida Jafar Fakhrurozi Jafar M Sidik Jafar M. Sidik Jaleswari Pramodhawardani Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean Couteau Jean-Marie Gustave Le Clezio Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ Rizal JJ. Kusni Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Jonathan Ziberg Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Juli Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kang Warsa Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasijanto Sastrodinomo Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Keith Foulcher Khansa Arifah Adila Khisna Pabichara Khrisna Pabichara Kirana Kejora Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristine McKenna Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kurie Suditomo Kurniawan Yunianto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L. Ridwan Muljosudarmo Lan Fang Langgeng W Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Kelana Leo Tolstoy Lia Anggia Nasution Linda Christanty Liza Wahyuninto LN Idayanie Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Abdullah Badri M Aditya M Anta Kusuma M Fadjroel Rachman M. Arman AZ M. Faizi M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Misbahuddin M. Mushthafa M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makyun Subuki Maman S Mahayana Marcus Suprihadi Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Mashuri Matroni Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Max Lane Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Misbahus Surur Miziansyah J. Moh. Samsul Arifin Mohammad Eri Irawan Muhammad Antakusuma Muhammad Firdaus Rahmatullah Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhammd Ali Fakih AR Muhidin M. Dahlan Mukhlis Al-Anshor Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Murnierida Pram Musa Asy’arie Mustafa Ismail N. Syamsuddin CH. Haesy Nandang Darana Nara Ahirullah Naskah Teater Nazar Nurdin Nenden Lilis A Nezar Patria Nina Herlina Lubis Ning Elia Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nobel Noor H. Dee Noval Jubbek Novelet Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nunik Triana Nur Faizah Nur Wahida Idris Nurcholish Madjid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurman Hartono Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Obrolan Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Olivia Kristinasinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Pandu Jakasurya Parak Seni Parakitri T. Simbolon PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Pembebasan Sastra Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta-Toer Pringadi Abdi Surya Pringadi AS Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Prosa Proses Kreatif Puisi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Rahmat Hidayat Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ranang Aji S.P. Ranggawarsita Ratih Kumala Ratna Sarumpaet Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Rengga AP Resensi Resistensi Kaum Pergerakan Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riswan Hidayat Riyadi KS Rodli TL Rofiqi Hasan Rojil Nugroho Bayu Aji Rukardi S Sopian S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sari Oktafiana Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Sastra Liar Masa Awal Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Selo Soemardjan Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Sevgi Soysal Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siswoyo Sita Planasari A Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitor Situmorang Slamet Hadi Purnomo Sobih Adnan Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sotyati Sri Wintala Achmad St. Sunardi Stefanus P. Elu Stevy Widia Sugi Lanus Sugilanus G. Hartha Suherman Sukardi Rinakit Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surat Suripto SH Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susiyo Guntur Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Syafruddin Hasani Syahruddin El-Fikri Syaiful Amin Syifa Aulia Syu’bah Asa T Agus Khaidir Tasyriq Hifzhillah Tatang Pahat Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tia Setiadi Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tony Herdianto Tosa Poetra Tri Purna Jaya Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Indonesia Universitas Jember Urwatul Wustqo Usman Arrumy Utami Widowati UU Hamidy Veronika Ninik Vien Dimyati Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Heriyadi Wahyu Hidayat Wahyu Utomo Walid Syaikhun Wan Anwar Wandi Juhadi Warih Wisatsana Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Wayan Supartha Wendoko Wicaksono Adi William Bradley Horton Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Wong Wing King Y. Wibowo Yang Lian Yanuar Yachya Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopie Setia Umbara Yos Rizal Suriaji Yoserizal Zein Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudhi Herwibowo Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusri Fajar Yuval Noah Harari Z. Afif Zacky Khairul Uman Zakki Amali Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhou Fuyuan Zul Afrita